• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA STRATEGI PENGGUNAAN BAHASA JAWA DAN BAHASA INDONESIA DENGAN PERSEPSI KEPUASAN MAD’U PADA CERAMAH DR. H. DARMAWAN, S.HI, M.HI DI WONOCOLO SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA STRATEGI PENGGUNAAN BAHASA JAWA DAN BAHASA INDONESIA DENGAN PERSEPSI KEPUASAN MAD’U PADA CERAMAH DR. H. DARMAWAN, S.HI, M.HI DI WONOCOLO SURABAYA."

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

BAITI RAHMAWATI

B51212057

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

JURUSAN KOMUNIKASI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Baiti Rahmawati, NIM. B51212057, 2016. (Hubungan Antara Strategi Penggunaan Bahasa Jawa Dan Bahasa Indonesia Dengan Persepsi Kepuasan

Mad’u Pada Ceramah Dr. H. Darmawan, SH.I, MH.I di Wonocolo Surabaya). Skripsi program studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci : Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, Persepsi Kepuasan Mad’u.

Bahasa merupakan alat komunikasi yang dipakai oleh masyarakat bahasa untuk berinteraksi dengan sesama, dalam memilih penggunaan bahasa, setiap orang memiliki hak untuk menentukan bahasa apa yang akan dipakai, hal ini dipengaruhi oleh sikap bahasa dari masing-masing individu terkait dengan rasa kepemilikan serta kebanggaan terhadap bahasa mereka. Penelitian ini bertujuan

untuk mengkaji penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia oleh da’i dan hubungannya dengan persepsi kepuasan mad’u dalam ceramah yang dilakukan

oleh Dr. H. Darmawan, SH.I, MH.I di Wonocolo Surabaya.

Objek penelitian ini adalah warga RT/001 dan RT/008 yang mengikuti

ceramah yang disampaikan oleh Kyai Wawan pada peringatan Isra’ mi’raj nabi

Muhammad Saw di Jl. Pabrik Kulit Wonocolo.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian korelasi yakni mencari hubungan antara variabel satu dengan yang lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara strategi penggunaan

bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u. Hal ini

dibuktikan dengan perolehan nilai yang menyatakan bahwa rhitung > rtabel

( yaitu pada taraf signifikansi 5% yang menyatakan bahwa terdapat korelasi atau hubungan.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ……….... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ………. ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ………... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………. iv

PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN SKRIPSI …………... vi

ABSTRAK ………. vii

KATA PENGANTAR ………... viii

DAFTAR ISI ……….. xi

DAFTAR TABEL ……….. xv

BAB I : PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Rumusan Masalah.……… 8

C. Tujuan Penelitian.. ..………. 8

D. Hipotesis……… ………... 9

E. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ..……. 10

F. Kegunaan Penelitian……….. 10

G. Definisi Operasional ……….. 11

(8)

BAB II : KAJIAN KEPUSTAKAAN ………... 19

A. Kajian Pustaka ……….. 19

1. Bahasa……….………. 19

a. Pengertian Bahasa……….…. 19

b. Fungsi Bahasa……… 20

c. Ragam Bahasa………... 22

1) Bahasa Jawa……… 23

2) Bahasa Indonesia……… 25

2. Persepsi……….…………. 29

a. Pengertian Persepsi……….. 29

b. Faktor-faktor yang beperan dalam pesepsi 30 c. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi 32 d. Proses Terjadinya persepsi………. 34

3. Kepuasan………..……… 37

4. Mad’u……….. 42

B. Hubungan Strategi Penggunaan bahasa dengan persepsi kepuasan mad’u……….……. 45

C. Kerangka Teoritik ………. 45

D. Penelitian Terdahulu yang Relevan…………... 47

BAB III : METODE PENELITIAN ……… 50

A. Rancangan Penelitian…………..……… 50

(9)

C. Populasi dan Teknik Sampling….……... 52

D. Variabel, Indikator dan Instrumen Penelitian …. 57 E. Teknik Pengumpulan Data ………. 61

F. Teknik Analisis Data ……….. 63

BAB IV : HASIL PENELITIAN……….………….. 70

A. Deskripsi Objek Penelitian..……… 70

B. Desripsi Subyek penelitian………. 72

C. Penyajian data dan analisis hasil penelitian..…. 74

1. Penyajian data……….. 74

a. Penyajian data observasi……… 74

b. Penyajian data angket……… 74

1) Penggunaan bahasa Jawa………… 75

2) Penggunaan bahasa Indonesia……. 85

3) Persepsi kepuasan mad’u………… 94

2. Analisis hasil penelitian..……… 103

a. Penggunaan bahasa Jawa………. 103

b. Penggunaan bahasa Indonesia……….. 105

c. Persepsi kepuasan mad’u………. 108

D. Pengujian hipotesis……… 118

BAB V : PENUTUP ………... 120

(10)

B. Saran……… ………. 122

DAFTAR PUSTAKA

BIODATA PENULIS

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh tidak hanya mengatur

hubungan manusia dengan Tuhannya tetapi juga mengatur hubungan manusia

dengan dirinya sendiri juga dengan sesamanya yang diturunkan kepada nabi

Muhammad Saw untuk disampaikan kepada umatnya. Dakwah pada hakikatnya

adalah upaya untuk menumbuhkan kecenderungan dan ketertarikan pada apa yang

diserukan tentang Islam.1 Komitmen seorang muslim dengan dakwah Islam mengharuskan dirinya untuk memberikan contoh yang hidup dari apa yang

diserukan melalui lisannya, sekaligus memberikan gambaran Islam sejati melalui

ketertarikannya secara benar dengan Islam itu sendiri.

Allah berfirman dalam surat Al-Fushilat ayat: 33

menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata: "Sungguh aku termasuk orang-orang muslim (yang menyerah diri)?". (Qs. Al-Fushilat: 33).2 Ayat ini menegaskan bahwa seseorang dikatakan paling baik apabila

perkataannya mengandung tiga perkara, yaitu; a) mengandung seruan untuk

mengikuti agama tauhid, b) ajakan untuk beramal saleh dan taqwa, c) menjadikan

(12)

Islam sebagai agama dan memurnikan ketaatan hanya pada Allah semata3. Ibnu Sirin, as-suddi, Ibnu Zaid dan Al-Hasan berpendapat bahwa yang dimaksud orang

yang paling baik perkataannya adalah Rasulullah, karena Rasululullah adalah

manusia pilihan dan kecintaan Allah sehingga ia diperkenankan oleh Allah untuk

menyeru manusia untuk menaati Allah. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat

ini dimaksudkan untuk umum yaitu menyeru orang lain untuk beriman kepada

Allah dengan cara memperbaiki diri terlebih dahulu dengan memperkuat iman di

dada, mentaati segala perintah dan menghentikan segala larangan-Nya.

Menyeru manusia ke jalan Allah merupakan kewajiban sekaligus ibadah

yang dapat mengantar pelakunya untuk dekat dengan Tuhannya. Dakwah ke jalan

Allah merupakan aktifitas terpenting dari para Nabi. Mereka senantiasa

menjalankan dakwah sebagai upaya menegakkan agama Islam.

Salah satu kehidupan sosial yang ada di negara kita adalah kehidupan

beragama. Kehidupan beragama adalah sebuah kehidupan yang terdiri atas

masyarakat tutur yang berbeda dengan masyarakat tutur yang lain. Menurut

Soepomo Poedjasoedarmo kehidupan beragama adalah termasuk salah satu

tingkatan dari tingkatan yang ada pada masyarakat. Seperti halnya masyarakat

pada umumnya, masyarakat tutur ini juga memiliki pemimpin yang disebut

dengan ulama’ atau orang yang menguasai ilmu agama (dalam dunia dakwah

maka ulama bisa disebut sebagai da’i), keteladanan da’i menjadi panutan bagi pengikutnya. Oleh karena itu akan sangat menarik jika tuturan-tuturannya

(13)

disampaikan dengan bahasa yang baik sesuai dengan tugasnya sebagai seorang

da’i4

.

Terdapat lima komponen dalam dakwah yaitu da’i (pembicara), mad’u (pendengar), pesan, media dan efek. Kelima komponen itu tidak dapat dipisahkan

karena merupakan satu-kesatuan dalam kegiatan dakwah. Seorang da’i akan menggunakan cara tertentu untuk mendekati mad’unya, beberapa strategi akan ia lakukan agar mendapatkan perhatian sesuai dengan tujuan yang ia harapkan,

perkataan da’i akan menjadi pusat perhatian pertama ketika berdakwah, oleh karena itu penting bagi seorang da’i untuk mengetahui bahasa apa yang tepat untuk digunakan dalam menyampaikan materi ceramah.

Bahasa adalah sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai suatu

anggota masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama

berdasarkan budaya yang mereka miliki bersama5. Berlakunya suatu bahasa dalam daerah tertentu merupakan kesepakatan bersama, karena dipakai oleh

sekelompok orang yang termasuk suatu masyarakat bahasa. Siapa yang termasuk

dalam masyarakat bahasa?, yang termasuk adalah mereka yang menggunakan

bahasa yang sama. Jadi kalau disebut masyarakat bahasa Jawa adalah semua

orang yang memiliki dan menggunakan bahasa Jawa, di samping sebagai

pengguna bahasa daerah mereka juga menjadi pemilik dan pengguna bahasa

Indonesia karena mereka tinggal di negara Indonesia6. Persepsi mad’u akan

4 Asep Abbas Abdullah, Humor Ulama: Pengaruh Latar Belakang Sosial Terhadap Dakwah Di Pondok Pesantren Tebuireng (Kajian Sosiolinguistik), (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2012),

(14)

mengalami perbedaan pada setiap individunya, dan selain itu kesan kesopanan

akan mengesan membentuk pola penerimaan pesan yang disampaikan oleh da’i. Dalam kajian fenomena kebahasaan, bahasa merupakan tempat terwadahi

perubahan (evolusi) dan gambaran yang terjadi baik pada masa lampau maupun

masa kini (periksa Glazer dan Daniel P. Moynihan, 1975: 470). Dalam hubungan

ini pula, Foley (1997: 384) menyebutkan bahwa secara alamiyah kontak antara

dua atau lebih kebudayaan (komunitas) yang berbeda akan selalu termanifestasi

dalam wujud perubahan bahasa. Lebih jauh dinyatakan bahwa perubahan yang

dimaksud dapat berupa proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh

bahasa yang lain atau kedua-duanya saling melakukan proses yang sama

(bandingkan dengan McMohan, 1994:200) dan Labov, 1994). Oleh karena itu,

gambaran tentang bahasa akan menunjukkan gambaran tentang kondisi sosial

suatu masyarakat. Begitu pula sebaliknya, gambaran tentang kondisi sosial suatu

masyarakat akan tercermin dalam bahasa yang mereka gunakan.7

Beberapa syarat penggunaan gaya bahasa harus mengandung tiga unsur

berikut: kejujuran, sopan-santun dan menarik8. 1) Kejujuran dalam berbahasa

berarti seorang da’i harus mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Ia harus menyampaikan isi pikirannya secara terus terang

dengan tidak menyembunyikan pikirannya itu dibalik rangkaian kata-kata yang

kabur dan jaringan kalimat yang berbelit-belit, bisa juga dengan menggunakan

bahasa yang tidak dimengerti oleh pendengar. 2) Sopan Santun, yang dimaksud

dengan sopan santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang

(15)

diajak bicara, khususnya pendengar. Dalam hal kesantunan dalam penggunaan

bahasa menyiratkan bahwa pembicara harus menggunakan ragam tertentu pada

pendengar sesuai dengan kedudukan sosialnya, misalnya menyapa mad’u laki-laki dan perempuan tua dengan sapaan panjenengan bukan sampean. Lalu mad’u yang lebih muda dengan sapaan sampean bukan dengan Koen (dialek Surabaya) atau

kata yang lainnya. 3) Menarik, sebuah gaya bahasa yang menarik dapat diukur

melalui beberapa komponen berikut: kesamaan bahasa, variasi, humor yang

sehat, tenaga hidup (vitalitas). Penggunaan variasi akan menghindari monotoni

dalam nada dan pemilihan kata, untuk itu seorang da’i harus memiliki kekayaan dalam kosa kata yang dapat diterima oleh mad’unya. Humor yang sehat berarti gaya bahasa itu mengandung tenaga yang dapat menciptakan rasa gembira dan

nikmat. Sedangkan tenaga hidup (vitalitas) merupakan pembawaan yang

berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan dan pengalaman da’i dalam menyampaikan ceramah.

Ketika seorang mad’u mendengarkan ceramah maka mereka telah melakukan proses penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus dari

indera telinga kemudian menafsirkan menjadi perasaan menerima pesan itu atau

menolaknya. Banyak di antara para da’i melakukan pendekatan kepada mad’u dengan strategi menggunakan bahasa yang berkembang atau biasa digunakan

dalam sebuah masyarakat. Misalnya menggunakan bahasa daerah, misalnya

bahasa Jawa ataupun bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional.

(16)

kelompok yang dituju. Bahasa merupakan sarana komunikasi yang sangat penting

dalam kehidupan bermasyarakat. Penggunaan bahasa dalam suatu komunikasi

ditentukan oleh beberapa faktor, baik faktor linguistik maupun non linguistik

seperti faktor sosial, psikologi dan budaya. Oleh karenanya kajian mengenai

penggunaan bahasa selalu menarik untuk diamati karena pemilihan bahasa

mencerminkan kaidah sosial yang berlaku dalam masyarakat.dalam penelitian ini,

penulis mengangkat permasalahan mengenai penggunaan bahasa dalam ceramah

yang disampaikan oleh Dr. H Darmawan SH.I MH.I.

Dalam hal ini masyarakat yang dituju adalah masyarakat bahasa Jawa

yang menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang tinggal di kelurahan

Jemurwonosari kecamatan Wonocolo. Menurut data yang diperoleh dari

pengamatan lingkungan, masyarakat kecamatan Wonocolo merupakan

masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa serta bahasa Indonesia sebagai

bahasa sehari-hari.

Sebagian besar masyarakat Wonocolo menggunakan bahasa daerah

sebagai bahasa keseharian di samping juga menggunakan bahasa Indonesia.

Dalam perilaku sehari-hari mereka berinteraksi dengan yang lainnya mengunakan

bahasa Jawa, hal ini terlihat dalam perilaku bertetangga dan dalam kegiatan

keagamaan seperti rutinan tahlil dan lain sebagainya.

Bahasa yang indah adalah bahasa yang memperhatikan pilihan kata dan

kaidah sehingga dapat membawa perasaan seperti yang dirasakan oleh penutur

cerita. Misalnya menceritakan tentang sebuah kisah orang yang sengsara

(17)

serta memperoleh kepuasan dalam menerima rangsangan berupa kalimat yang

diungkapkan dengan etika dan kesopanan.

Dalam penelitian ini peneliti mengkaji bagaimana hubungan antara

penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah DR. H. Darmawan, S.HI, M.HI di Wonocolo Surabaya. Kyai

Wawan (begitu biasanya ia disapa) adalah alumni mahasiswa UINSA yang kini

bergelut di bidang syiar agama Islam dan juga sebagai dosen di fakultas Syariah

dan Hukum UINSA Surabaya. Antusias mad’u begitu tampak ketika da’i melontarkan kalimat ringan berbahasa Jawa. Sebagian dari mereka mungkin

tersenyum atau mengatakan hal-hal yang bagus mengenai ceramah yang di

berikan oleh Kyai Wawan. Kedua hal ini bisa jadi merupakan tanda bahwa mad’u merasa puas atau senang terhadap ceramah tersebut.

Kepuasan mad’u dapat di ukur dengan seberapa besar tingkat kepekaan emosi mereka terhadap ceramah yang diberikan oleh kyai Wawan, sehingga

materi dakwah dapat diterima sesuai dengan harapan mad’u yang telah dibentuk sebelum mengikuti ceramah. Jika persepsi kepuasan mad’u muncul sebagai akibat dari penggunaan bahasa maka kedua komponen ini bisa dikatakan memiliki

hubungan atau keterkaitan.

Masalah di atas memberikan suatu inspirasi bagi penulis untuk meneliti

penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang digunakan oleh da’i ketika menyampaikan ceramahnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik

(18)

Bahasa Jawa Dan Bahasa Indonesia Dengan Persepsi Kepuasan Mad’u Pada Ceramah Dr. H. Darmawan, S.Hi., M.Hi Di Wonocolo Surabaya

B. Rumusan Masalah

1. Adakah hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dengan persepsi kepuasan

mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI, M.HI di Wonocolo Surabaya?

2. Adakah hubungan antara penggunaan bahasa Indonesia dengan persepsi

kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya?

3. Secara bersama-sama adakah hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dan

bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara penggunaan bahasa Jawa

dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

2. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara penggunaan bahasa Indonesia

dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

3. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dan

(19)

D. Hipotesis

Secara etimologi, hipotesis dibentuk dari dua kata yaitu kata Hypo dan

Thesis. Hypo berarti kurang dan Thesis adalah pendapat. Kedua kata itu kemudian

digunakan secara bersama menjadi Hypothesis dan penyebutan dalam dialek

Indonesia menjadi hipotesa kemudian berubah menjadi hipotesis yang maksudnya

adalah suatu kesimpulan yang masih kurang atau kesimpulan yang belum

sempurna. Sehingga perlu disempurnakan dengan membuktikan kebenaran

hipotesis melalui penelitian. Pembuktian itu hanya dapat dilakukan dengan

menguji hipotesis yang dimaksud dengan data dilapangan.9

1. Hipotesis

a. Ho:

1) Tidak terdapat hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dengan

persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

2) Tidak terdapat hubungan antara penggunaan bahasa Indonesia dengan

persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

3) Tidak terdapat hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dan bahasa

Indonesia secara bersama-sama dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

(20)

b. Ha:

1) Terdapat hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dengan persepsi

kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

2) Terdapat hubungan antara penggunaan bahasa Indonesia dengan

persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

3) Terdapat hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dan bahasa

Indonesia secara bersama-sama dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

E. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Agar pembahasan dalam skripsi ini jelas dan tidak meluas, maka peneliti

memberikan batasan masalah pada persepsi mad’u dalam hal kepuasan, yakni perasaan senang atau tidak senang mad’u ketika menerima pesan ceramah KH. Darmawan, SH.I, MH,I yang menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia

sebagai strategi dakwah, Objek yang diambil adalah masyarakat RT 001 dan 008

RW 004 Jl. Pabrik Kulit Gang 1 Wonocolo Surabaya yang pernah mengikuti

ceramah Kyai Wawan pada peringatan isra’ mi’raj nabi Muhammad Saw 1436 H..

F. Kegunaan Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Menambah khazanah pengetahuan dalam Komunikasi Penyiaran Islam,

terutama bagi perkembangan kajian kebahasaan dalam dakwah.

(21)

Sebagai informasi dan masukan penting bagi seorang pembicara dalam

memilih strategi dakwah, sehingga materi ceramah dapat diterima sesuai

dengan harapan da’i dan juga mad’u.

G. Definisi Operasional

Sebagai upaya antisipasi agar judul atau tema yang penulis angkat tidak

menimbulkan penafsiran yang keliru maka diperluakan penjelasan yang lebih

detail.

1. Penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia

Keberhasilan dakwah yang komunikatif sangat ditentukan oleh adanya

hal-hal yang mempengaruhi kegiatan dakwah itu. Salah satu faktor yang

mempengaruhi komunikasi dakwah adalah faktor bahasa. Bahasa pada

dasarnya merupakan alat komunikasi yang paling esensial, sebab dengan

menggunakan bahasa maka terlaksanalah kegiatan komunikasi secara efektif.

Kemampuan berbahasa merupakan ciri dari suatu bangsa yang telah maju

terutama bahasa dalam pengertian umum. Jika dakwah yang dilaksanakan

mampu memperhatikan kepada siapa bahasa itu ditujukan, maka kegiatan

dakwah akan lebih komunikatif.

Kecenderungan menggunakan bahasa yang tepat menuju ke arah

tercapainya tujuan yang dimiliki oleh komunikator sehingga pesan dakwah

menjadi mudah dipahami. Itulah sebabnya bahasa menjadi salah satu faktor

dominan yang mempengaruhi keberhasilan dalam proses komunikasi

(22)

Sebagian besar masyarakat wonocolo adalah masyarakat yang

menggunakan dwibahasa yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Sebagai

dwibahasawan, diantara mereka berkomunikasi dengan bahasa jawa dan

bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia

tergantung pada penguasaan kedua bahasa tersebut. Di samping itu, pemilihan

penggunaan bahasa oleh masyarakat Wonocolo ditentukan oleh faktor-faktor

luar bahasa seperti siapa yang diajak bicara, di mana tempatnya, untuk tujuan

apa dan apa yang dibicarakan.

Harimurti mengartikan bahasa sebagai sistem lambang arbitrer yang

dipergunakan masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan

mengidentifikasikan diri10. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa diartikan dalam tiga batasan, yaitu: 1) Sistem lambang bunyi berartikulasi

(yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer)

dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan

suatu perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu

bangsa (suatu bangsa, daerah, Negara dsb); 3) percakapan (perkataan) yang

baik: sopan santun, tingkah laku yang baik11.

Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi. Bahkan hal ini dapat

dipandang sebagai fungsi utama bahasa. Kata komunikasi berasal dari kata

Latin communication dan bersumber dari kata communis yang berarti

“sama”. Maksudnya adalah sama makna. Jika dua orang terlibat dalam

komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan

(23)

berlangsung jika ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan.

Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu

menimbulkan kesamaan makna . dengan kata lain, mengerti bahasanya belum

tentu mengerti makna yang dibawa oleh bahasa itu.

Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang digunakan oleh

masyarakat yang tinggal di sekitar pulau Jawa. Dalam bahasa Jawa dikenal

istilah Unggah-ungguh basa atau undha-usuk basa yang lazim pula disebut

dengan tingkat tutur bahasa. Hal ini merupakan suatu kekayaan budaya yang

dimiliki oleh beberapa suku di Indonesia, terutama suku Jawa, Sunda dan

Bali. Unggah-ungguh merupakan khazanah budaya bangsa yang sampai saat

ini masih digunakan dan dilestarikan oleh masyarakat pemakainya.

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi bangsa Indonesia sekaligus

sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Awal penamaan bahasa

Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal

28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta,

dicanangkanlah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa Indonesia

pasca-kemerdekaan12. Penutur bahasa Indonesia, dalam kesehariannya senantiasa bertutur sapa dengan menggunakan dan memperantikan bahasa

Indonesia. Penggunaan bahasa ini dipraktikkan melalui bahasa lisan dalam

komunikasi keseharian.13

Dalam yang penelitian penggunaan bahasa (Language use), masyarakat

tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan masyarakat dengan aneka

(24)

latar belakang sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji

dalam penelitian ini adalah kesantunan bahasa Indonesia dalam segi maksud

dan tuturan. Berkaitan dengan kesantunan, secara singkat disebutkan bahwa

terdapat tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan memiiki cirri santun.

ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas (formality) yakni terkandung maksud

bahwa tuturan hendaknya bersifat formal, tidak terkesan memaksa ataupun

angkuh, (2) ketidaktegasan (hesinany) berarti bahwa penutur dianjurkan

untuk bersifat lentur atau tidak bersifat kaku dalam bertutur14. Dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality) tekandung makna agar penutur

memperlakukan mitra tutur sebagai teman penutur, sehingga menimbulkan

rasa aman.

Bahasa digunakan dalam segala kegiatan manusia di dalam masyarakat,

begitu pula masyarakat Wonocolo, mereka menggunakan bahasa daerah

sebagai bahasa sehari-hari karena mereka tinggal di pulau Jawa, mereka juga

menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional karena merupakan

bagian dari bangsa Indonesia dan juga karena latar kehidupan mereka berada

di kota Surabaya. Terkait persepsi tentang penggunaan bahasa jawa maupun

bahasa Indonesia dalam ceramah merupakan satu kesatuan yang tidak sama

dari masing-masing mad’u. Beberapa di antara mereka menyatakan senang ketika mendengar ceramah dengan bahasa Jawa karena bersifat akrab dan

pada umumnya didasarkan pada rasa hormat, penghargaan dan rasa

solidaritas suku. Namun sebagian yang lain menyatakan bahwa penggunaan

(25)

bahasa Indonesia sebagai bahasa ceramah lebih tepat karena jelas dan mudah

dimengerti oleh setiap orang.

2. Persepsi Kepuasan Mad’u

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses

penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu

melalui alat indera. Kata persepsi biasanya dikaitkan dengan kata lain

misalnya, persepsi diri, persepsi sosial dan persepsi interpersonal.15 Dalam kepustakaan bahasa Inggris, istilah yang banyak digunakan adalah “social

perception”.

Dalam perspektif ilmu komunikasi, persepsi dapat diartikan sebagai inti

komunikasi sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi yang

identik dengan penyandian balik-balik (decoding) dalam proses komunikasi.

Hal ini tampak jelas dalam persepsi yang diartikan oleh John R. Wenburg dan

William W. Wilmot; “Persepsi dapat diartikan sebagai cara organisme

memberi makna”, atau definisi Rudolph F. Verderber; “Persepsi adalah

proses menafsirkan informasi inderawi”.16

Untuk mendeskripsikan persepsi kepuasan mad’u tentang hubungannya dengan penggunaann bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, diperlukan

responden penelitian yang berkualifikasi mencukupi. Keseluruhan responden

penelitian peringkan persepsi kepuasan penggunaan bahasa ini berjumlah 30

orang, jumlah itu didapatkan secara acak dari masyarakat yang tinggal di

kelurahan Jemurwonosari RT/001 dan RT/008. Diasumsikan bahwa para

(26)

responden yang manifestinya dibuat sangat bervariasi itu dapat menentukan

bagaimana persepsi kepuasan mad’u tentang kaitaanya dengan penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

Mad’u adalah pihak yang didatangi pesan komunikasi atau pihak yang

menerima pesan komunikasi sebagai sasaran komunikasi untuk tujuan

tertentu17. orang yang menjadi sasaran dakwah lazim disebut sebagai mad’u, yaitu setiap orang yang berhak memberikan penafsiran atau pesepsi terhadap

penampilan maupun pesan yang disampaikan oleh da’i.

Pembentukan persepsi ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis

kelamin, umur, latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Responden yang

berjenis kelamin laki-laki berjumlah 55 orang sedangkan yang berjenis

kelamin perempuan sebanyak 65 orang.

Setiap individu pasti memiliki persepsi yang berbeda, kondisi ini selain

dipicu oleh faktor di atas, bisa juga dipicu dari keadaan emosi, motivasi serta

pengalaman mad’u dalam mengikuti ceramah. Mad’u yang merasa cocok dengan pesan yang digunakan da’i akan memberikan persepsi yang positif yang menunjukkan bahwa ia merasa senang dan puas dengan penyampaian

da’i, namun tidak menutup kemungkinan bahwa di antara sekian mad’u juga

menunjukkan persepsi negatif yang menyatakan bahwa mereka tidak puas

dan merasa kecewa karena harapan mereka tidak sesuai dengan apa yang

ditampilkan oleh da’i.

(27)

Jadi, persepsi kepuasan mad’u timbul karena ada kesesuaian antara harapan mad’u dengan strategi yang digunakan oleh da’i, yakni dengan menggunakan bahasa yang tepat yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia,

hasil dari kepuasan dapat berupa perasaan senang atau tidak senang dengan

ceramah yang diterima oleh mad’u.

H. Sistematika Pembahasan

BAB I : Pendahuluan

Bab ini meliputi langkah-langkah yang berkaitan dengan rancangan

pelaksanaan penelitian yang berkaitan dengan rancangan pelaksanaan

penelitian secara umum terdiri dari sub-sub tentang latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis, ruang lingkup

dan batasan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional serta

sistematika pembahasan yag dipakai dalam skripsi ini.

BAB II : Kajian Teoritis

Bab ini berisi tentang kajian pustaka yang akan membahas Bahasa,

pengertian bahasa, macam-macam bahasa, persepsi, pengertian persepsi,

faktor-faktor yang berperan dalam persepsi, proses terjadinya persepsi,

faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi. Kepuasan, pengertian

kepuasan, Mad’u, pengertian mad’u. Sedangkan dalam kajian teori peneliti akan menjelaskan teori yang dipakai dalam penelitian ini, dan

(28)

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab ini berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian, obyek penelitian,

populasi dan sampel, variable penelitian, indikator dan teknik

pengumpulan data.

BAB IV : Penyajian Dan Analisis Data

Bab ini berisi tentang deskriptif subyek, deskriptif obyek, penjajian dan

analisis data serta pengujian hipotesis.

BAB V : Penutup

(29)
(30)

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Kajian Pustaka 1. Bahasa

a. Pengertian Bahasa

Dalam kajian linguistik umum bahasa, baik sebagai langage atau

langue, lazim didefinisikan sebagai sebagai sistem lambang bunyi yang

bersifat arbitrer yang digunakan manusia sebagai alat komunikasi atau

alat interaksi sosial1.

F.B. Condillac seorang filsuf bangsa Perancis berpendapat bahwa

bahasa itu berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-gerik badan yang

bersifat naluri yang dibangkitkan oleh perasaan atau emosi yang kuat.

Kemudian teriakan itu berubah menjadi bunyi-bunyi yang bermakna.

Sebelum adanya teori Condillac, orang (terutama ahli agama)

menganggap bahwa bahasa itu dari Tuhan. Tuhan telah melengkapi

kehadiran pasangan manusia pertama (Adam dan Hawa) dengan

kepandaian berbahasa. Von Hender, ahli filsafat bangsa Jerman

mengatakan bahwa bahasa terjadi dari proses onomatope yaitu peniruan

bunyi-bunyi alam. Bunyi-bunyi yang ditiru ini merupakan benih yang

tumbuh menjadi bahasa sebagai akibat dorongan hati yang sangat kuat

untuk berkomunikasi. Harimurti mengartikan bahasa sebagai sistem

(31)

lambang arbitrer yang dipergunakan masyarakat untuk bekerja sama,

berinteraksi dan mengidentifikasikan diri2.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa diartikan dalam

tiga batasan, yaitu: 1) Sistem lambang bunyi berartikulasi (yang

dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) dan

konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan

suatu perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh

suatu bangsa (suatu bangsa, daerah, Negara dsb); 3) percakapan

(perkataan) yang baik: sopan santun, tingkah laku yang baik3. b. Fungsi Bahasa

Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi.

Bahkan hal ini dapat dipandang sebagai fungsi utama bahasa. Kata

komunikasi berasal dari kata Latin communication dan bersumber dari

kata communis yang berarti “sama”. Maksudnya adalah sama makna antara dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk

percakapan, maka komunikasi akan berlangsung jika ada kesamaan

makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang

dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan

makna . Dengan kata lain, mengerti bahasanya belum tentu mengerti

makna yang dibawa oleh bahasa itu4.

2 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia, 1982), cet-1, h. 17

3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet-1, hal. 66-67

(32)

Dalam praktiknya, urutan-urutan proses komunikasi-bahasa

berlangsung dengan cepat. Semakin tinggi kemampuan berbahasa dari

kedua belah pihak yang berkomunikasi maka semakin lancarlah proses

komunikasi itu berlangsung5. Kelancaran komunikasi dapat juga mengalami hambatan karena adanya unsur gangguan. Misalnya, ketika

komunikasi itu berlangsung terjadi kebisingan suara di tempat

berlangsungnya komunikasi, atau salah satu pihak komunikasi memiliki

kekurangan dalam kemampuan berbahasa.

Ada dua macam komunikasi bahasa, yaitu komunikasi searah dan

komunikasi dua arah. Dalam komunikasi searah, si pengirim pesan tetap

menjadi pengirim dan penerima pesan tetap menjadi penerima.

Komunikasi searah ini terjadi misalnya dalam komunikasi yang bersifat

memberitahukan, seperti khotbah atau ceramah yang tidak diikuti tanya

jawab. Dalam komunikasi dua arah, secara bergantiansi pengirim pesan

bisa menjadi penerima pesan dan penerima pesan bisa menjadi pengirim

pesan. Komunikasi dua arah ini misalnya komunikasi dalam rapat

perundingan, diskusi dan sebagainya. Penelitian yang peneliti lakukan

termasuk dalam penelitian komunikasi jenis satu arah karena masuk

dalam model ceramah6.

Kekuatan bahasa yang dimiliki oleh da’i harus memperhatikan kemampuan berbahasa dari mad’u. Kemampuan berbahasa tergantung

(33)

dari kwalitas serta kwantitas dari pengalaman mad’u7. Semakin banyak pengalaman maka semakin banyak pula perbendaharaan kata yang

dimiliki oleh da’i maupun mad’u, untuk itu da’i dituntut untuk ikut terlibat dengan situasi lingkungan di mana seorang da’i tengah berdakwah. Penggunaan bahasa dalam suatu komunikasi ditentukan oleh

beberapa faktor, baik faktor linguistik maupun faktor non linguistik

seperti faktor sosial, psikologi dan budaya.

c. Ragam Bahasa

Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia akan cenderung

menggunakan ragam bahasa sebagai alat untuk berinteraksi dalam suatu

tuturan. Masyarakat modern mempunyai kecenderungan memiliki

masyarakat tutur yang terbuka dan cenderung menggunakan variasi

bahasa dalam kesehariannya.

1) Bahasa Jawa

Pada abad ke-2 hingga abad ke-15, orang-orang Jawa banyak

yang memeluk agama Hindu. Orang-orang Hindu pada waktu itu

selain menyebarkan agama juga memberi piwulang (ajaran)

mengenai: bercocok tanam, membatik, membaca dan menulis hingga

akhirnya bahasa orang Hindu bercampur dengan bahasa setempat

sehingga melahirkan bahasa baru yang disebut Bahasa Jawa Kuna,

terjadinya dari percampuran bahasa pribumi dengan bahasa

Sansekserta. Oleh karena bahasa itu terus berkembang,

(34)

kelamaan bahasa Jawa Kuna mengalami perubahan dan

perkembangan sehingga melahirkan kata-kata kawi dan selanjutnya

menjadi Bahasa Jawa yang ada sekarang ini8.

Bahasa Jawa satu asal dengan bahasa orang-orang di sekitar

Pulau Jawa, seperti bahasa Sunda, bahasa Melayu, bahasa Madura

dan lainnya. Menurut penelitian para ahli bahasa, terutama yang

dilakukan oleh Pater J.W. Smith sarjana dari Austria, bahasa-bahasa

di Indonesia telah berhasil mereka petakan. Dalam bahasa Jawa

dikenal istilah Unggah-ungguh basa atau undha-usuk basa yang

lazim pula disebut dengan tingkat tutur bahasa. Hal ini merupakan

suatu kekayaan budaya yang dimiliki oleh beberapa suku di

Indonesia, terutama suku Jawa, Sunda dan Bali. Unggah-ungguh

merupakan khazanah budaya bangsa yang sampai saat ini masih

digunakan dan dilestarikan oleh masyarakat pemakainya9.

Dalam Karti basa terbitan Kementrian PP dan K

(1946:64-84) disebutkan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa (buku ini

menyebutkan dengan undha-usuk) terdiri atas (1) ngoko: ngoko lugu

dan ngoko andhap,ngoko andhap dibedakan lagi menjadi dua yaitu

ngoko antyabasa dan basaantya (2) madya: madya ngoko,

madyantara dan madya krama, (3) Krama: mudha krama,

kramantara dan wredha krama, (4) krama Inggil, (5) Kedhaton, (6)

8 Aryo Bimo Setiyanto, Parama Sastra Bahasa Jawa. (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), h. 24

(35)

Krama desa dan (7) kasar. Basa ngoko merupakan bahasa yang lugu

(sederhana, wajar dan alami) yang belum mengalami perubahan

apapun. Basa krama merupakan bahasa yang hormat, penggunaanya

sesuai dengan tingat dengan siapa penutur berbicara, misalnya anak

muda dengan orang tua, orang tua dengan anak muda dan digunakan

oleh seseorang yang sejajar status sosialnya atau sejawat.10

Perilaku masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi ajaran

kesopanan yaitu menerapkan tata krama dalam setiap perilaku.

Tindakan ini dapat berupa tindakan saling menghormati dan

menghargai nilai-nilai kemanusiaan, baik dalam bersikap,

berperilaku dan berbahasa11. Perilaku sopan dalam penuturan dapat memaksimalkan rasa hormat seorang da’i kepada mad’u dan meminimalkan rasa tidak hormat da’i kepada mad’u, karena mad’u diibaratkan sebagai seorang pembeli. Seperti ungkapan “Pembeli

adalah raja” maka seharusnya da’i memilih cara yang tepat dalam menyampaikan ceramah agar mendapatkan kesan yang baik

sehingga pesan akan diterima sesuai dengan harapan da’i dan juga

mad’u.

Persepsi mad’u yang menyatakan kekaguman maupun kebosanan sangat tergantung pada segala hal yang berkaitan dengan

bicara atau bahasa lisan yang digunakan oleh da’i. di dalam berbicara, da’i maupun mad’u sama-sama menyadari bahwa ada

10 Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, Unggah-ungguh Bahasa Jawa, h.

(36)

kaidah-kaidah yang mengatur tindakan, penggunaan bahasa serta

interpretasi atau penafsiran terhadap tindakan dan ucapan lawan

bicara. Seorang da’i menyampaikan pesan dakwah dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu dan berharap dapat dipahami

oleh mad’u. 2) Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu termasuk

rumpun Austronesia. Penanaman istilah “Bahasa Melayu” telah

dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang

tercantum pada prasasti berbahasa Melayu kuno dari Palembang dan

Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas

perintah raja kerajaan Sriwijaya., kerajaan Maritim yang berjaya

pada abad ke-7 dan ke-812.

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi bangsa Indonesia

sekaligus sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Awal

penamaan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari

Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada

Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan

bahasa Indonesia sebagai bahasa Indonesia pasca-kemerdekaan13. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa Nasional, bahasa

Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan bangsa, lambang

identitas Nasional, alat penghubung antar warga Negara dan alat

12 Alek & Achmad, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 9

(37)

pemersatu berbagai suku bangsa dengan latar belakang dan bahasa

masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia.14

Sebagai lambang kebanggaan bangsa, bahasa Indonesia

mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa

kebangsaan setiap warga Negara yang terus membina dan

mengembangkan rasa bangga akan bahasanya. Sebagai lambang

identitas Nasional yang selalu dijunjung bersama berdera dan

lambang Negara Indonesia.

Fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional adalah

sebagai penghubung antar warga, antar daerah dan antar suku

bangsa, sehingga kesalahpahaman sebagai bentuk perbedaan latar

belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan.

Fungsi bahasa Indonesia yang ke empat dalam kedudukannya

sebagai bahasa Nasional adalah alat bagi terlaksananya penyatuan

berbagai suku bangsa yang memiliki suku dan bahasa yang berbeda,

sehingga memungkinkan tercapainya keserasian hidup sebagai

bangsa yang bersatu.

Penutur bahasa Indonesia, dalam kesehariannya senantiasa

bertutur sapa dengan menggunakan dan memperantikan bahasa

Indonesia. Penggunaan bahasa ini dipraktikkan melalui bahasa lisan

dalam komunikasi keseharian.15 Dalam yang penelitian penggunaan

14 E, Zainal Arifin. S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2010), h. 12

(38)

bahasa (Language use), masyarakat tutur yang dimaksud adalah

masyarakat dengan masyarakat dengan aneka latar belakang sosial

dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji dalam

penelitian ini adalah kesantunan bahasa Indonesia dalam segi

maksud dan tuturan. John R. Searle dalam bukunya Speech Acts: An

Essay in The Philosophy of Language menyatakan bahwa dalam

praktik penggunaan bahasa setidaknya terdapat tiga mcam tindak

tutur, (1) tindak lokusioner (locutinary acts), (2) tindak ilokusioner

(illocutionary acts) dan (3) tindak perlokusioner (perlocotionary

acts).16

Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa

dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa

dan kalimat itu. tindak tutur ini dapat disebut sebagai the act of the

saying something. Dalam tindak lokusioner tidak dipermasalahkan

maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh penutur. tindak

ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan

fungsi tertentu pula.Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act

of doing something. Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan

pengaruh (effect) kepada mitra tutur. tindak tutur ini dapat disebut

dengan the act of affecting something.17

16 Ibid, h.35

(39)

Dalam hal kesantuan berbahasa, Leech membagi enam prinsip

kesantunan, antara lain18: a. Maksim kebijaksanaan

Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinip

kesantunan adalah bahwa peserta tutur hendaknya selalu

memaksimalkan keuntungan orang lain dan mengurangi

keuntungan dirinya sendiri, dengan prinsip ini ia akan dapat

menghindarkan sikap dengki, iri hati dan sikap lain yang kurang

santun.

b. Maksim kedermawanan

Dengan maksim kedermawanan atau kemurhan hati, para

peserta tutur diharapkan dapat menghormati orang lain.

c. Maksim Penghargaan

Dalam maksim ini dijelaskan bahwa orang akan dapat

dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha

memberikan penghargaan kepada pihak lain, sehingga peserta

tutur tidak saling mengejek, mencaci atau merendahkan pihak

lain.

d. Maksim kesederhanaan

Dalam maksim kesederhanaan peserta tutur diharapkan

dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian

terhadap dirinya sendiri.

(40)

e. Maksim Pemufakatan

Maksim ini seringkali disebut dengan maksim kecocokan,

dalam maksim ini ditekankan agar peserta tutur dapat saling

membina kecocokan dalam kegiatan tutur.

f. Maksim kesimpatisan

Dalam maksim ini diharapkan agar peserta tutur dapat

memaksimalkan sikap simpati antara pihak satu dengan yang lain

dan mengurangi sikap antipati terhadap yang lainnya.

2. Persepsi

a. Pengertian Persepsi

Persepsi adalah pemaknaan/arti terhadap informasi

(energi/stimulus) yang masuk ke dalam kognisi manusia. Persepsi adalah

pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang

diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan19. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses

penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu

melalui alat indera. Kata persepsi biasanya diakaitkan dengan kata lain

misalnya, persepsi diri, persepsi sosial dan persepsi interpersonal. Dalam

kepustakaan bahasa Inggris, istilah yang banyak digunakan adalah

“social perception”. 20.

Dalam perspektif ilmu komunikasi, persepsi dapat diartikan

sebagai inti komunikasi sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti

19 Nina W Syam, Psikologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011), h. 3

(41)

persepsi yang identik dengan penyandian balik-balik (decoding) dalam

proses komunikasi. Hal ini tampak jelas dalam persepsi yang diartikan

oleh John R. Wenburg dan William W. Wilmot; “Persepsi dapat diartikan

sebagai cara organisme memberi makna”, atau definisi Rudolph F.

Verderber; “Persepsi adalah proses menafsirkan informasi inderawi”.21

Persepsi disebut inti komunikasi, Karena jika persepsi seseorang

tidak akurat maka ia tidak akan dapat berkomunikasi dengan efektif.

Persepsilah yang memilih seseorang menentukan suatu pesan atau

mengabaikannya. Semakin tinggi derajat kesamaan antara individu,

semakin mudah dan sering mereka untuk berkomunikasi.

b. Faktor-Faktor Yang Berperan dalam Persepsi

Persepsi setiap individu berbeda-beda karena dipengaruhi oleh

berbagai faktor yaitu faktor personal, situasional, fungsional dan

structural. Diantara faktor yang besar pengaruhnya dalam mempersepsi

sesuatu adalah perhatian, konsep fungsional dan struktural22. 1) Faktor Perhatian

Perhatian adalah proses mental di mana kesadaran terhadap

suatu stimuli lebih menonjol, dan pada saat yang sama terhadap

stimuli yang lain melemah.

2) Faktor fungsional

21 Dedi Mulyana, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Bandung: PT. REmaja Rosdakarya, 2000), h. 167

(42)

Faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi antara lain

faktor kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional dan latar

belakang budaya.

3) Faktor struktural

Menurut teori Gestalt, bila seseorang mempersepsikan sesuatu

maka ia mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan, bukan

bagian-bagian.

Su’adah dan Fauzik Lendriono dalam bukunya Pengantar

Psikologi berpendapat bahwa agar individu dapat menyadari dan

mengadakan persepsi maka ada beberapa faktor yang harus dipenuhi

yaitu:23

a. Ada obyek yang dipersepsi, obyek menimbulkan stimulus yang

mengenai alat indera (reseptor), stimulus bisa datang dari dalam atau

luar individu yang mempersepsi dan langsung mengenai syaraf

penerima (sensoris) yang bekerja sebagai reseptor.

b. Ada alat indera (reseptor), syaraf (sensoris dan motoris), pusat

susuna syaraf (otak); merupakan alat untuk menerima stimulus,

selain itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk

meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf

yaitu otak sebagai pusat kesadaran dan sebagai alat untuk

mengadakan respon diperlukan syaraf motoris.

(43)

c. Ada perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu

persiapan dalam mengadakan persepsi. Perhatian merupakan

pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang

ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan obyek. Tanpa perhatian

persepsi tidak akan terjadi.

Jadi, persepsi akan terjadi ketika ada obyek yang dipersepsi, ada

stimulus dari alat indera sehingga timbul komunikasi antara obyek yang

dipersepsi dengan kita.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

Persepsi lebih bersifat psikologi dari pada merupakan proses

penginderaan saja, maka dalam berbagai faktor yang mempengaruhi

persepsi adalah24: 1) Faktor situasional

Dalam kehidupan setiap manusia akan menerima banyak

sekali rangsangan / stimuli dari lingkungannya. Namun mereka

tidak harus menerima semua stimuli yang diterima. Dengan

menerima stimuli yang tidak tampak oleh panca indera mereka

mencoba untuk memahami dan menduga karakteristik orang lain

melalui petunjuk-petunjuk eksternal yang diamati.

a. Deskripsi verbal

Yang dimaksud verbal dalam hal ini adalah isi komunikasi

pesona stimuli bukan cara. Misalnya orang yang menggunakan

(44)

alihan kata-kata yang tepat, mengorganisasikan pesan secara

sistematis, mengungkapkan pikiran yang dalam dan

komprehensif akan menimbulkan kesan bahwa orang itu

cerdas dan terpelajar. Dengan kata lain, deskripsi verbal

melukiskan bagaimana cara orang menyampaikan berita

tenteng orang lain dengan kata-kata sehingga bisa merubah

kesan atau mengarahkan seluruh penilaian kita tentang orang

lain baik berupa konotasi positif dan negatif.

b. Deskripsi non verbal

Petunjuk non verbal juga sangat menentukan makna

dalam komunikasi interpersonal dan sebagai sumber informasi

untuk membentuk persepsi kita tentang orang orang lan.

Melalui petunjuk gerakan tubuh, nada suara, pengatur jarak

dan ruang atau penampilan bisa mempengaruhi persepsi kita

pada orang lain.

2) Faktor personal

Persepsi interpersonal mempunyai pengaruh yang besar bukan

saja pada komunikasi interpersonal tetapi juga pada hubungan

interpersonal. Karena itu kecermatan persepsi interpersonal sangat

berguna untuk meningkatkan kwalitas komunikasi interpersonal .

(45)

a) Pengalaman

Dengan pengalaman seseorang akan mempersepsi

dunianya atau yang diamati. Karena pengalaman tidak hanya

bertambah melalui proses belajar namun juga menlaui peristiwa

apapun yang dihadapi. Hal ini menunjukkan pengalaman

mempengaruhi kecermatan persepsi.

b) Motivasi

Dalam hal ini proses konstruksi yang sangat banyak

melibatkan unsur-unsur motivasi. Yang dimaksud di sini adalah

bagaimana kita menafsirkan stimuli atau mempersepsi peristiwa

di luar kita.

3) Kepribadian

Dalam psikoanalisis dikenal sebagai suatu pertahanan ego

(proyeksi). Proyeksi adalah menginternalisasikan pengalaman

subyektif secara tidak sadar pada persepsi interpersonal.

c. Proses Terjadinya Persepsi

Proses terjadinya persepsi adalah obyek menimbulkan stimulus

dan stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Proses stimulus

mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik.

Stimulus yang diperoleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris ke

otak. Proses ini yang disebut sebagai proses fisiologis kemudian

terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu

(46)

diraba. Proses yang terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran

inilah yang disebut sebagai proses psikologis.

Proses interpersonal disebut sebagai proses pembentukan kesan

(impression formating) adapun proses pembentukan kesan ini antara

lain:

a. Stereotyping

Yang dimaksud dengan Stereotyping penggunaan konsep

dalam menyederhanakan begitu banyaknya stimulus yang diterima.

Menurut psikologi kognitif, pengalaman baru akan dimasukkan

pada “laci” kategori yang ada dalam memori berdasarkan

kesamaannya dengan kesamaan masa lalu. Demikian pula semua

sifat yang ada pada kategori pengalaman lama dikenakan pada

pengalaman baru. Dengan cara seperti ini, seseorang segera

memperoleh informasi tambahan sehingga membantu dalam

pengambilan keputusan yang cepat atau dalam meramalkan

peristiwa.

Dengan demikian dapat dikatakan Stereotyping ini mungkin

yang menjelaskan terjadinya primacy effect dan hallo effect di

mana primacy effect secara sederhana menunjukkan bahwa kesan

pertama amat menentukan, karena kesan itulah yang menentukan

(47)

senangi telah mempunyai kategori tertentu yang positif dan dalam

kategori itu telah disimpan semua sifat yang baik25. b. Implicit Personality Theory

Dalam kehidupan sehari-hari di mana setiap individu

mempunyai konsepsi sendiri tentang sifat-sifat apa konsepsi ini

merupakan teori yang dipergunakan orang ketika membentuk kesan

tentang orang lain.

c. Atribusi

Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud dan

karakteristik orang lain dengan melihat pada perilakunya yang

tampak. Dalam hal ini ada dua atribusi pada orang lain yaitu:

1) Atribusi kausalitas

Menurut Heider, apabila kita mengamati perilaku sosial

maka kita akan menentukan apakah yang menyebabkan sebuah

perilaku, apakah karena faktor personal atau faktor situasional.

Dalam teori atribusi hal ini lazim disebut kausalitas atau

kausalitas internal.

2) Atribusi kejujuran

Bagaimana kita dapat menyimpulkan bahwa personal

stimuli jujur atau tidak?, menurut Robert A. Baron dan Donn

Byrne kita akan memperhatikan dua hal: 1) sejauh mana

pernyataan orang itu menyimpang dari pendapat yang popular

(48)

dan diterima orang; 2) sejauh mana orang itu memperoleh

keuntungan dari kita dengan pernyataan itu.

Taraf terahir dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang

apa yang dilihat, atau apa yang didengar maupun yang diraba, yaitu

stimulus yang diterima melalui alat indera. Respon merupakan akibat

dari persepsi yang dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam

bentuk. Dalam proses persepsi perlu adanya perhatian sebagai langkah

persiapan dalam pesepsi. Hal ini menunjukkan bahwa individu tidak

hanya dikenai satu stimulus saja namun juga mendapat berbagai macam

stimulus yang ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya.

3. Kepuasan

Kepuasan berasal dari kata puas yang artinya perasaan senang (lega,

kenyang, dan sebagainya karena sudah terpenuhi hasrat hatinya), kepuasan

berarti keadaan psikis yang menyenangkan, yang dirasakan seseorang dalam

suatu lingkungan karena kebutuhannya telah terpenuhi26. Kepuasan mad’u merupakan suatu tingkatan di mana kebutuhan, keinginan dan harapan dari

mad’u sehingga timbul perasaan atau emosi yang mendorong mad’u untuk

memperhatikan ceramah yang disampaikan oleh da’i. Persepsi kepuasan

mad’u terjadi pada saat mad’u menambah tingkat perhatian terhadap materi

ceramah sehingga ia memusatkan seluruh perhatiannya hanya pada ceramah

yang sedang ia dengarkan.

26

(49)

Kepuasan seorang pendengar erat hubungannya dengan perilaku dan

sikap berbahasa seseorang. Perilaku berbahasa adalah sikap mental seseorang

dalam memilih dan menggunakan bahasa. Pada dasarnya, seseorang bebas

memilih dan menggunakan bahasa sesuai dengan keinginannya. Situasi

kebahasaan di Indonesia sangatlah kompleks karena terdapat sejumlah besar

bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Selain menggunakan bahasa Indonesia

sebagai identitas Nasional mereka juga menggunakan bahasa daerah seperti

bahasa Jawa.

Sebagian besar masyarakat wonocolo adalah masyarakat yang

menggunakan dwibahasa yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Sebagai

dwibahasawan, diantara mereka berkomunikasi dengan bahasa jawa dan

bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia

tergantung pada penguasaan kedua bahasa tersebut. Di samping itu, pemilihan

penggunaan bahasa oleh masyarakat Wonocolo ditentukan oleh faktor-faktor

luar bahasa seperti siapa yang diajak bicara, di mana tempatnya, untuk tujuan

apa dan apa yang dibicarakan.

Sikap bahasa adalah anggapan atau pandangan seseorang terhadap

suatu bahasa, apakah senang atau tidak terhadap bahasa tersebut sehingga

sikap bahasa mempengaruhi terhadap pemilihan bahasa. Ada tiga komponen

dalam pemilihan bahasa27:

27

http://bagus710.blogspot.co.id/2015/01/makalah-bahasa-dan-sikap-berbahasa.html, di akses

(50)

a. Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan dan gagasan yang

digunakan dalam proses berfikir.

b. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian suka atau tidak suka

terhadap sesuatu.

c. Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai perbuatan

akhir. Melaui komponen inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana

sikap seseorang terhadap keadaan yang dihadapinya.

Ada tiga ciri sikap bahasa, sebagai berikut:

a. Kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu

bahasa mempertahankan bahasanya.

b. Kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang

mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang

identitas dan kesatuan masyarakat.

c. Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong

orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan

bahasa, antara lain:

a. Kemampuan penutur, biasanya penutur akan menggunakan bahasa

yang lebih dikuasainya.

b. Kemampuan pendengar, biasanya penutur juga cenderung

(51)

c. umur, orang yang lebih dewasa cenderung menggunakan bahasa

kedua untuk menunjukkan rasa kepemilikannya terhadap suatu

tempat.

d. Status sosial, pada situasi tertentu seseorang akan menggunakan suatu

bahasa yang menunjukkan strata sosial yang tinggi.

e. Derajat hubungan, terkadang seseorang menggunakan suatu bahasa

pada pertemuan pertama, namun menggunakan bahasa yang lain

ketika hubungan semakin dekat.

Dalam segi psikologi, pemilihan penggunaan bahasa berorientasi

pada individu seperti motivasi individu dari pada berorientasi pada

masyarakat. Seorang penutur akan memilih menggunakan bahasa yang

lebih dikuasainya atau memilih bahasa karena situasi lain yang berkaitan

dengan norma-norma kelompoknya yang memungkinkan diri unrtuk

menggunakan bahasa yang lainnya.hal ini terjadi ketika penutur ingin

menekankan loyalitas pada mitra bicara.

Masyarakat Jawa identik dengan etika dan kesantunan. Baik dalam

berperilaku maupun dalam hal bertutur kata, dalam berbicara dan

membawakan diri, masyarakat Jawa selalu menunjukkan sikap hormat

terhadap orang lain sesuai dengan kedudukannya. Pemilihan ragam

bahasa dan tingkat tutur yang tepat akan membawa suasana yang nyaman,

(52)

terpelihara dan tidak menimbulkan konflik lahir dan batin. Ketepatan

penggunaan bahasa akan berdampak pada tingkat kepuasan pendengar28. Persepsi kepuasan dapat terbentuk dari kesantunan linguistik

tuturan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia, yang meliputi29: a. Panjang pendek tuturan

Di dalam masyarakat bahasa dan kebudayaan Indonesia,

panjang pendeknya tuturan yang digunakan dalam menyampaikan

maksud kesantunan penutur itu dapat diidentifikasi dengan jelas.

b. Urutan tutur

Pada kegiatan tutur yang sesungguhnya, orang selalu

mempertimbangkan apakah tuturan yang digunakan itu tergolong

sebagai tuturan santun ataukah tidak santun.

c. Intonasi tuturan dan isyarat kinesik

Intonasi adalah tinggi-rendah, panjang-pendek, keras-lemah

suara, jeda, irama, timbre yang mneyertai tuturan. Intonasi tuturan

menentukan peringkat kesantunan pemakaian tuturan bahasa. Selain

itu, kesantunan bahasa juga dipengaruhi oleh isyarat-isyarat kinesik

yang dimunculkan lewat bagian-bagian tubuh penutur seperti ekspresi

wajah, sikap tubuh, gerakan jari-jemari, gerakan tangan, ayunan

tangan dan lainnya.

d. Pemakaian ungkapan pananda kesantunan

28http://ihwan42.blogspot.co.id/2013/01/sifat-dan-karakter-orang-jawa.html diakses pada 26 Juli 2016

(53)

Secara linguistik, kesantuna dalam pemakaian tuturan sangat

ditentukan oleh muncul atai tidaknya ungkapan-ungkapan penanda

kesantunan seperti: tolong, mohon, hendaknya, hendaklah, mari,

sudi-lah kiranya dan lain sebagainya.

4. Mad’u

a. Pengertian Mad’u

Mad’u yaitu manusia yang merupakan individu atau bagian dari komunitas tertentu. Secara psychologis, manusia mempunyai beberapa

keinginan yang harus dicukupi untuk menyertai pertumbuhan jiwa dan

perkembangan tubuhnya menuju kesempurnaan hidup. Ada empat

keinginan yang terdapat dalam diri manusia antara lain; a) keinginan akan

keselamatan diri, b) keinginan akan penghargaan, c) keinginan akan cinta,

d) keinginan akan pengetahuan dan pengalaman baru. Empat keinginan ini

menjadikan mad’u memiliki kesiapan untuk menerima materi dakwah30. Sebagai obyek dakwah manusia dikelompokkan berdasarkan latar

belakang, yaitu:

1. Dari latar belakang jenis kelamin: laki-laki, perempuan.

2. Dari latar belakang status sosial: rakyat biasa, tokoh masyarakat,

tokoh agama, tokoh adat dan lain-lain.

3. Dari latar belakang etnis: Tionghoa, Batak, Jawa, Madura dan

lain-lain

(54)

Dengan memahami latar belakang mad’u atau audiens diharapkan pelaksanaan dakwah akan lebih efektif karena materi dan strategi dakwah

yang dipakai akan lebih komunikatii dan dapat diterima oleh mad’u. a. Etika mad’u (sebagai murid) terhadap da’i (guru)

b. Menghormati da’i sebagai gurunya

Mengenai keharusan mad’u menghormati da’i sebagai gurunya terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 70 yang berbunyi:

Dia berkata: "Jika engkau mengikutiku, Maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu"31.

Dalam ayat ini diceritakan bahwa ketika nabi Khidhir melakukan

perjalanan bersama nabi Musa, nabi Khidhir berpesan kepadanya agar

tidak menanyakan tentang segala sesuatu yang ia lakukan berserta

rahasianya sehingga nabi Khidhir sendiri yang menerangkannya. Hal

yang demikian merupakan wujud sopan santun murid terhadap guru atau

sikap pengikut kepada yang diikutinya. Kadang-kadang rahasia guru atau

orang yang diikuti belum tentu diketahui murid atau pengikut pada waktu

itu, tetapi baru dapat dipahami kelak dikemudian hari32.

Begitu pula dengan mad’u, seyogiyanya untuk memperhatikan dengan seksama setiap materi yang disampaikan oleh da’i. jika memang ceramah itu tidak bersifat kontrak, dalam arti dikemas dalam suasana

31

Mushaf Al-QuranTerjemah, (Jakarta: Nur Publishig, 2009), h. 301

(55)

santai maka mad’u boleh saja menanggapi perkataan da’i agar terjalin komunikasi yang dapat menumbuhkan semangat dalam kegiatan dakwah,

baik untuk da’i maupun mad’u.

c. Memperhatikan keterangan yang disampaikan oleh da’i.

Mengenai kewajiban ini diterangkan dalam Al-Quran surat

Thaha ayat 114 yang berbunyi:

Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al qur'an sebelum selesai di wahyukan kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.33"

Diriwayatkan bahwa nabi Muhammad Saw ketika Jibril

membacakan ayat-ayat yang diturunkan kepadanya maka ia cepat-cepat

menghafalnya karena takut lupa. Malaikat Jibril kemudian melarang

Rasulullah mengulang bacaan Al-Quran sebelum Jibril selesai

membaca semuanya. Hal ini dimaksudkan karena dapat mengacaukan

hafalan nabi seluruhnya, sedangkan Allah telah menjamin bahwa

Gambar

  Tabel 3.1
    Tabel 3.2
  Tabel 3.3
  Tabel 3.5
+7

Referensi

Dokumen terkait

4) Selama perpindahan kalor benda tidak mengalami perubahan bentuk dan volume.. 1) Mendapatkan syarat stabilitas agar metode beda hingga cara eksplisit dapat

Mengetahui ada atau tidak pengaruh emosional dan kecerdasan kecerdasan spiritual secara bersama terhadap prestasi belajar matematika pada siswa-siswi kelas VIII MTs

Dari hasil analisis data diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi dan kemandirian dalam belajar berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap

Pada Tabel 1 – 4 kolom pertama merupakan variasi nilai awal, kolom kedua merupakan jumlah iterasi, kolom ketiga merupakan metode yang dibandingkan, kolom kempat

Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung kertha wara nugraha-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi saluran sungai bawah tanah sebagai potensi sumberdaya air pada Goa Saleh di kawasan morfologi karst Maros

SISTEM INFORMASI PENGELOLAAN PENYEWAAN PERALATAN DEKORASI DAN PENDUKUNG LAINNYA PADA SALMA DEKORASI

Dari Putusan Hakim Nomor 3346/Pdt.G/2016/PA.Sby tersebut, maka dapat dilihat dari sudut pandang Hukum Islam yang mengacu pada Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang