• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT MAZHAB HANBALI DALAM PERSPEKTIF MAQASID AL-SHARI’AH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT MAZHAB HANBALI DALAM PERSPEKTIF MAQASID AL-SHARI’AH."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT MAZHAB HANBALI DALAM PERSPEKTIF

MAQASID AL-SHARI’AH

SKRIPSI

Oleh:

MUHAMMAD NAJID AUFAR NIM: C51211146

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Program Studi Hukum Keluarga Islam

(2)

PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT MAZHAB HANBALI DALAM PERSPEKTIF

MAQASID AL-SHARI’AH

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-I) Dalam Bidang Hukum Islam

Oleh:

MUHAMMAD NAJID AUFAR NIM: C51211146

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Program Studi Hukum Keluarga Islam

(3)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Najid Aufar

Nim : C51211146

Fak./Jur./Prodi : Syariah dan Hukum / Hukum Perdata Islam / Hukum Keluarga Islam

Judul skripsi : Pernikahan Beda Agama Menurut Mazhab hanbali dalam Perspektif Maqasid al-Shari’ah

Dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada bagian yang dirujuk sumbernya.

Surabaya, 18 Januari 2014 Yang membuat pernyataan,

(4)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi yang berjudul “Pernikahan Beda Agama menurut Mazhab Hanbali dalam Perspektif Maqasid al-Syari’ah” yang ditulis oleh Muhammad Najid Aufar, NIM C51211146 ini sudah diperiksa dan disetujui untuk dimunaqasahkan.

Surabaya, 15 Januari 2015 Dosen Pembimbing

(5)

PENGESAHAN

Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Najid Aufar ini telah dipertahankan di depan sidang Majelis Munaqasah Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel pada hari Kamis, tanggal 29 Januari 2015 dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program sarjana strata satu dalam Ilmu Syariah.

Majelis Munaqasah Skripsi:

Ketua Sekretaris

Drs. Suwito, M.Ag Saoki, M.HI.

NIP. 195405251985031001 NIP: 197404042007101004

Penguji I Penguji II Pembimbing

Dr. Hj. Suqiyah Musyafa’ah, M.Ag. Hj. Nurul Asiya Nadhifah, M.HI. Drs. Suwito, M.Ag NIP. 196303271999032001 NIP. 197504232003122001 NIP. 195405251985031001

Surabaya, Februari 2015 Mengesahkan, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Dekan,

(6)
(7)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Pernikahan Beda Agama menurut Mazhab Hanbali dalam Perspektif Maqa@s}id al-Syari@’ah” ini merupakan hasil penelitian pustaka yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana hukum pernikahan beda agama menurut mazhab Hanbali dan Bagaimana tinjauan maqa@s}id al-syari@’ah terhadap perkawinan beda agama menurut mazhab Hanbali.

Data penelitian dihimpun dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi kepustakaan. Selanjutnya data yang telah dihimpun dianalisis dengan metode deskriptif analitis yaitu suatu metode yang memaparkan dan menggambarkan data yang telah terkumpul dengan menggunakan pola pikir deduktif.

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa di dalam mazhab Hanbali, pernikahan antara perempuan muslim dan laki-laki non-muslim secara mutlak hukumnya adalah haram, sebagaimana di dalam surat al-Mumtah}anah ayat 10. Dengan kandungan hikmah (maqa@s}id al-shari@’ah) untuk penjagaan atas agama perempuan tersebut, tidak dipimpinnya orang muslim oleh orang kafir, dan penjagaan atas agama anak. Pernikahan antara laki-laki muslim dan perempuan musyrik hukumnya adalah haram sebagaimana di dalam surat al-Baqarah ayat 221, dengan kemaslahatan yang kembali pada hamba yakni penjagaan atas agama hamba. Sedangkan pernikahan antara laki-laki muslim dan perempuan ahl kita@b hukumnya adalah boleh sebagaimana di dalam surat al-Ma@idah ayat 5, namun hal itu sebaikanya tidak dilakukan sebab Umar pernah menyuruh sahabat menceraikan istrinya yang termasuk ahl al-kita@b. Adapun hikmahnya adalah menjaga agama laki-laki muslim. Akan tetapi penjagaan itu menuntut kesadaran manusia atas penjagaan agamanya, karena di dalam ayat tersebut hanya menyebutkan ancaman bagi orang yang kembali menuju kekafiran.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI... x

MOTTO ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 12

C. Rumusan Masalah ... 12

D. Tinjauan Pustaka... 13

E. Tujuan Penelitian ... 15

F. Kegunaan Hasil Penelitian... 16

G. Definisi Operasional ... 16

H. Metode Penelitian ... 18

I. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II MAQA@S{ID AL-SHARI@’AH A. Sejarah Perkembangan Maqa@s}id al-Syari@’ah ... 22

B. Pengertian dan Dasar Maqa@s}id al-Shari@’ah ... 29

C. Klasifikasi Maqa@s}id al-Shari@’ah ... 31

D. Cara Memahami Maqa@s}id al-Syari@’ah ... 39

(9)

B. Metode dalam Penentuan Hukum ... 49 C. Pernikahan Beda Agama menurut Mazhab Hanbali ... 55

BAB IV PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT MAZHAB HANBALI

DALAM PERSPEKTIF MAQA@S{ID AL-SHARI@‘AH

A. Analisis Hukum Pernikahan Beda Agama menurut Mazhab

Hanbali ... 62 1. Hukum Melakukan Pernikahan ... 62 2. Hukum Pernikahan Beda Agama ... 63 B. Tinjauan Maqa@s}id al-Shari@‘ah terhadap Pernikahan Beda

Agama Menurut Mazhab Hanbali ... 66 1. Pemahaman Mazhab Hanbali terhadap

Maqa@s}id al-Shari@‘ah ... 66 2. Maqa@s}id al-Shari@‘ah dalam Pernikahan Menurut

Mazhab Hanbali ... 70 3. Tinjauan Maqa@s}id al-Shari@‘ah terhadap Hukum

Pernikahan Beda Agama ... 72

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 79 B. Saran ... 80

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan sunnatullah (hukum alam) yang diciptakan Allah dalam masalah penciptaan dan pewujudan makhluk secara umum, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Inilah cara Allah dalam reproduksi keturunan, memperbanyak populasi, dan mempertahankan kehidupan jenis makhluk tersebut.1 Di dalam kalimat lain, Abraham Maslow menyebutkan bahwa diantara kebutuhan manusia, terdapat yang ia sebut dengan kebutuhan fisiologis, dalam artian kebutuhan seksual, merupakan kebutuhan dasar manusia yang menjadi syarat untuk melangsungkan kehidupannya.2

Pernikahan merupakan satu-satunya ibadah yang disyariatkan kepada manusia sejak nabi Adam AS. hingga sekarang dan sampai hari kiamat, bahkan akan berlanjut hingga di akhirat.3 Pernikahan sebagai ibadah yang disyariatkan untuk manusia di sepanjang masa, selain sebagai wadah untuk menyalurkan kebutuhan biologis setiap manusia, juga mengandung dua dimensi. Kedua dimensi tersebut adalah dimensi ibadah dan dimensi sosial.

Ada beberapa indikator pernikahan mempunyai dimensi ibadah, diantaranya adalah pernikahan (baca: berhubungan suami istri) lebih baik dilakukan dalam keadaan sepi, sebagaimana ibadah pada umumnya yang

1Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 2008), 453.

2Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, (Yogyakarta: Andi, 2004), 16.

3Zadah 'Abdurrahman bin Muhammad Sulaiman,Majma' al-Anhur Sharh} Multaqa al-Abh}ur Juz

(11)

2

lebih baik dilakukan dalam kondisi sepi. Indikator kedua adalah Rasul memerintahkan umatnya untuk menikah serta telah dipraktekkan oleh Rasulullah sendiri.4

Dengan pernikahan, Islam ingin menempatkan manusia pada derajat kemanusiaannya yang membedakannya dengan hewan, yakni dalam menyalurkan kebutuhan seksual tanpa adanya aturan tersendiri. Dengan pernikahan yang mengatur dalam penyaluran kebutuhan seksual, ingin memberikan perlindungan pada diri umatnya yang pada akhirnya akan mendatangkan kemanfaatan serta menolak kerusakan baik di dunia ini, maupun setelah di akhirat.

Sebagai konsekuensi adanya dimensi ibadah dalam pernikahan, di dalam al-Qur’an dan al-Hadits diatur beberapa akibat hukum dari pernikahan. Diantara aspek-aspek yang diatur adalah subjek hukum pernikahan, hak dan kewajiban dari subjek hukum, putusnya sebuah pernikahan, dan nasab anak yang dilahirkan dari sebuah pernikahan.

Pembahasan tentang subjek hukum pernikahan, di dalam al-Qur’an disebutkan dengan perempuan-perempuan yang dilarang untuk dinikahi. Tentang perempuan-perempuan yang dilarang untuk dinikahi disebutkan secara eksplisit di dalam ayat 23 surat al-Nisa@’:

(12)

3                                                      

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. al-Nisa’ : 23)5

Para ulama’ membagi kedalam 2 kelompok perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi selamanya (muabbad) dan perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi dalam waktu tertentu (muaqqat)6. Menurut mazhab

Maliki, ada 25 perempuan yang dilarang dinikahi selamanya. 14 orang karena nasab, 8 karena pernikahan, para istri nabi, perempuan yang di-li’an, dan perempuan yang dinikahi di masa ‘iddah.7

Adapun perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi dalam waktu tertentu sebanyak 23 orang. Diantaranya adalah orang murtad (orang

5Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya,(Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 136.

6 Yang dimaksud muaqqat bukan karena ada batasan waktu yang telah ditentukan, melainkan karena adanya suatu syarat yang tidak terpenuhi. Sehingga ketika syarat tersebut telah terpenuhi, maka pernikahan tersebut dapat dilaksanakan. Lebih lanjut lihat Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala@ al-Madza@hib al-Arba’ah Juz IV, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 2003), 60.

(13)

4

yang keluar dari agama Islam) dan selain perempuan kitabiyyah.8 Disini terjadi dinamika pemikiran sejak masa sahabat hingga sekarang. Bagaimana hukum laki-laki muslim menikahi perempuan non-muslim atau sebaliknya. Baik perempuan tersebut khusus ahl al-kita@b atau perempuan non-muslim secara umum.9

Perbedaan pendapat itu juga terjadi di Indonesia. Di dalam UU Nomer 1 Tahun 1974 tidak secara eksplisit mengatur tentang pernikahan beda agama. Akan tetapi, menurut Ahmad Sukarja, di dalam pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 menyebutkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya itu” dan pasal 8 point f “Perkawinan dilarang antara dua orang yang : (f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau aturan lain yang berlaku, dilarang kawin."10 Hukum agama Islam di Indonesia yang mempunyai kekuatan hukum adalah Kompilasi Hukum Islam.11 Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 40 butir c dan pasal 44 secara tegas melarang pernikahan antara seorang yang beragama Islam (baik laki-laki ataupun perempuan) dengan orang non-muslim. Dengan demikian pernikahan antara orang Islam dan non-muslim di

8Ibid., 130.

9Perbedaan pendapat tentang pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim sudah

terjadi sejak masa sahabat. Sebagian membolehkan menikahi perempuan ahl al-kitab sebagai pengkhususan dari perempuan musyrik yang haram dinikahi. Tetapi sebagian mengharamkannya. Lihat Al-Qurthubi, Al-Ja@mi’ al-Ahka@m al-Qur’an, Juz III, (Riyadl: Dar ‘Alam al-Kutb, 2003), 68. Di Indonesia, akan dibahas setelah ini.

10Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar islam, (Yogyakarta: LkiS, 2006), 52. 11 Kompilasi Hukum Islam berkekuatan hukum di Indonesia dengan menggunakan Instruksi

(14)

5

Indonesia diyakini dilarang berdasarkan ketentuan agama maupun ketentuan peraturan perundang-undangan negara.

Al-Qur’an, membahas khusus tentang pernikahan beda agama di dalam 3 (tiga) tempat, yakni ayat 221 surat Baqarah, ayat 5 surat al-Maidah, dan ayat 10 surat al-Mumtahanah. Dari ketiga ayat tersebut, ada 3 term yang muncul, yakni musyrik, kafir, dan ahl al-kitab.Pada ayat 221 surat al-Baqarah mengungkapkan larangan mengawini orang musyrik, baik laki-laki mengawini perempuan musyrik maupun sebaliknya. Adapun surat al-Mumtahanah ayat 10 menyebutkan larangan perempuan mukmin dikawinkan dengan laki-laki kafir. Sedangkan ayat 5 surat al-Maidah menjelaskan adanya kebolehan bagi pengikut Muhammad untuk menikahi ahl al-kitab.12

Di dalam mazhab Hanbali, seorang laki-laki boleh menikahi perempuan ahli kitab secara mutlak baik ahli kitab harbi (memusuhi Islam) ataupun ahli kitab dzimmi (tunduk pada pemerintahan Islam). Tidak makruh baik ahli kitab harbi maupun dzimmi, karena ayat dinyatakan secara mutlak kebolehannya tidak ada pengkhususan bagi ahli kitab dzimmi saja. Namun dengan syarat, kedua orang tua dari perempuan tersebut harus juga ahli kitab. Jika salah satu dari ayah atau ibunya tidak ahli kitab (seperti penyembah berhala) maka menikahi perempuan tersebut dilarang.13

Di dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 5 membolehkan adanya pernikahan antara laki-laki muslim dengan ahl al-kitab(Nasrani dan Yahudi), akan tetapi di dalam KHI kebolehan itu dihapuskan dan secara mutlak

12Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam,20.

13

(15)

6

melarang pernikahan antara orang Islam dengan non-Islam.14 Hal ini terjadi karena adanya kekhawatiran yang berlebih terhadap fenomena perpindahan agama seorang muslim yang diakibatkan adanya pernikahan beda agama. Pernikahan beda agama menjadi ketakutan tersendiri bagi para elit muslim. Ketakutan ini membuatnya buta, hingga menemukan momentumnya di KHI bukan hanya dengan melarang perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim, tetapi juga melarang laki-laki muslim mengawini perempuan ahl al-kitab.15

Pernikahan beda agama yang dilarang di Indonesia terdapat alasan politik dan persaingan antar agama, khususnya Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan), yang mengakibatkan keluarnya fatwa MUI pada tanggal 1 Juni 1980 dan mencapai puncaknya diberlakukannya KHI sebagai pedoman hakim di Pengadilan Agama. Di dalam buku Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam disebutkan bahwa di dalam masalah nikah lintas agama, umat Islam masih terkungkung dalam “nalar politik-agama”. Keterkungkungan ini terlalu lama, sehingga sulit untuk keluar dan menuju “nalar religi” yang lebih jernih.16

Di dalam sisi lain, terdapat pendapat dari Kaum Islam Liberalis Progresif yang terkumpul dalam organisasi bernama Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok ini berpendapat bahwa pernikahan beda agama adalah hal yang diperbolehkan. Ulil Abshor Abdala, kordinator JIL, berpendapat bahwa

14Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, 129. 15Ibid., 145.

(16)

7

larangan pernikahan beda agama sudah tidak relevan lagi dan al-Qur’an sendiri tidak pernah secara tegas melarang pernikahan beda agama. Abdul Moqsith Ghazali juga berpendapat bahwa dalam pemahaman secara bahasa (literal) pun pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab atau antara perempuan muslimah dengan laki-laki non-muslim (ahli kitab), diperbolehkan. Selain itu juga, tidak ditemukan di dalam teks-teks keagamaan tentang larangan pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki non-muslim (ahli kitab). Sehingga tidak adanya dalil yang melarang itu adalah dalil diperbolehkannya pernikahan tersebut.

(17)

8

yaitu keluarga pencipta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.17

Dalam menyikapi tentang pernikahan beda agama, golongan pertama yang diwakili oleh fatwa MUI dan Kompilasi hukum Islam, cenderung masih memahami suatu ayat dengan literal, sehingga sulit dalam menyelesaikan permasalahan kontemporer termasuk pernikahan beda agama. Sedangkan kelompok kedua, terkesan kurang memperhatikan teks-teks keagamaan, khususnya ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga diperlukan suatu pendekatan lain yang dapat mengakomodasi kedua kelompok tersebut dan tidak menghilangkan semangat moral dan spiritual hukum Islam.

Islam adalah agama yang sesuai dengan segala tempat dan waktu. Keyakinan ini berimplikasi bahwa hukum-hukum Islam juga harus mampu menyelesaikan permasalahan kontemporer dengan tidak menghilangkan semangat moral dan spiritual hukum Islam. Hal ini dapat diwujudkan dengan menangkap prinsip-prinsip dasar, makna-makna universal, dan tujuan-tujuan yang terkandung di dalamnya untuk selanjutnya diterapkan dalam wajah baru yang sesuai dengan semangat merealisasikan kemasalahatan umum.18 Disini letak urgensi pemahaman atas maqa@s}i@d al-syari@’ah yang menjadi penentu benar atau tidaknya suatu hukum.

17It. Imam Hurmain, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal, artikel pernah disampaikan diskusi Rutin yang di selenggarakan F.U.S.UIN. Riau Tangga1 5 Desember 2007

18 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid al-Syari’ah

(18)

9

Di dalam sejarah ilmu ushul fiqh, istilah maqa@s}i@d al-syari@’ah tidak ditemukan secara tegas di dalam pemikiran ulama’-ulama’ ushul fiqh sebelum masa Al-Syatibi.19Di tangan al-Syatibi maqa@s}i@d al-syari@’ah menjadi bagian dari ushul fiqh. Disinilah terjadi pertemuan antara teori hukum Islam dan filsafat Hukum Islam. Maka tidak mengherankan oleh para ulama’, al-Syatibi dikukuhkan sebagai Mua’assis ‘Ulum al-Maqa@s}i@d al-Syari@’ah (pendiri ilmu maqa@s}i@d al-syari@’ah).20

Menurut Jaser Audah, terdapat tiga hal yang disumbangkan oleh al-Syatibi dalam reformasi maq@ashid al-syari’ah. Pertama, pergeseran maq@ashid al-syari’ahdari unrestricted interest (kepentingan yang tidak dibatasi dengan jelas) menuju ke fundamentals of law (point inti hukum). Kedua, pergeseran dari wisdom behind ruling (hikmah dibalik aturan hukum) menuju bases for the ruling (dasar bagi pengaturan hukum). Ketiga, pergeseran dari uncertainty (dzanniyyah) ke certainty (qath’iyyah).21

Dari sini penulis dapat melihat al-Syatibi menggeser maq@ashid al-syari’ah dari konsep yang diam (tidak bergerak) menjadi sebuah landasan metodologis yang aktif dan dinamis. Maq@ashid al-syari’ah bukan hanya

19Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996), 57.

20 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid al-Syari’ah

dari Konsep ke Pendekatan, 189.

(19)

10

menjadi alat pembenaran ijtihad, tetapi dijadikan sebagai landasan dalam berpikir bahkan menjadi penentu benar tidaknya suatu ijtihad.22

Konsep dasar di dalam maq@ashid al-syari’ah menurut al-Syatibi adalah bahwa pembebanan syari’at untuk manusia selalu bermuara pada penjagaan tujuan-tujuan syariat. Tujuan syariat tersebut oleh al-Syatibi dibagi dalam 3 (tiga) tingkatan, yakni dlaruriyya@t, h}a@jiyya@t, dan tah}si@niyya@t. Maqas}hid al-Dlaruriyya@t terdapat 5 unsur yang menjadi pokok dari tingkatan

kemaslahatan yang lain, yaitu penjagaan terhadap agama, jiwa (diri), akal, keturunan, dan harta benda.23

Penjagaan agama mengambil dua bentuk yakni menjaga agar agama Islam tetap berada di dalam diri manusia serta menjaga eksistensi agama Islam.24 Dalam pandangan ulama’ yang melarang adanya pernikahan beda agama yang dikhawatirkan adalah terjadinya perpindahan agama, dan memang hal ini sejalan maq@ashid al-syari’ah yang terdapat di dalam ayat 221 surat al-Baqarah dan ayat 5 surat al-Maidah, akan tetapi kekhawatiran itu tidak sepenuhnya terjadi pada setiap pernikahan beda agama. Dengan kedewasaan keagamaan masing-masing pihak, perpindahan agama tidak akan terjadi. Kalaupun seandainya memang terdapat pihak yang berpindah agama, Islam tidak mengenal paksaan dalam masalah keyakinan. Karena

22 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid al-Syari’ah

dari Konsep ke Pendekatan, 194-195.

23Ibrohim bin Musa al-Syatibi, al-Muw@afaq@at, (Arab Saudi: Dar Ibn ‘Affan, 1997), 20.

(20)

11

Islam hanya mengarahkan kemana seharusnya berjalan, agar kelak mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat.25

Dari pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada pernikahan beda agama yang menjadi polemik hukum, menggunakan paradigma maq@ashid al-syari’ah yang dikembangkan oleh al-Syatibi. Meskipun pada masa sekarang kajian maq@ashid al-syari’ah sudah sangat maju, bahkan ditangan Ibnu Asyur telah menjadi ilmu yang mandiri26, tetapi kajian maq@ashid al-syari’ah menurut al-Syatibi tetap menarik karena hingga sekarang, pembahasan maq@ashid al-syari’ah tetap identik dan tidak bisa lepas dari nama al-Syatibi. al-Syatibi adalah ulama’ pertama yang memberikan pedoman aplikatif dalam menggunakan maq@ashid al-syari’ah sebagai sebuah pendekatan.

Dalam penelitian ini, akan dipaparkan teori al-Syatibi tentang tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk menemukan maq@ashid al-syari’ah, metode dan kaidah yang dikembangkan untuk menggunakan maq@ashid al-syari’ah sebagai sebuah pendekatan, dan pada puncak pembahasan, peneliti akan berusaha menerapkan teori al-Syatibi tersebut pada pernikahan beda agama di Indonesia.

Oleh karena itu, peneliti dalam penelitian ini mengangkat judul “Pernikahan Beda Agama menurut Hanbali dalam Perspektif Maqa@s}id al-Syari@’ah”.

25 M. Subhan et al., Tafsir Maqashidi Kajian Tematik Maqashid al-Syari’ah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 81.

(21)

12

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang yang dikemukakan di atas, penulis dapat mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :

1. Hikmah pernikahan dalam Islam. 2. Tujuan disyariatkannya pernikahan.

3. Pernikahan beda agama menurut mazhab Hanbali.

4. Teori maqa@s}id al-syari@’ahdalam memandang pernikahan yang dilakukan antara orang yang berbeda agama.

Melihat luasnya permasalahan yang muncul dari latar belakang di atas, penulis membatasi penelitian ini dengan hanya memfokuskan pembahasan pada masalah-masalah berikut ini :

1. Hukum pernikahan beda agama menurut mazhab Hanbali.

2. Tinjauan maqa@s}id al-syari@’ah terhadap perkawinan beda agama menurut Mazhab Hanbali.

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, identifikasi dan batasan masalah, maka masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana hukum pernikahan beda agama menurut mazhab Hanbali? 2. Bagaimana tinjauan maqa@s}id al-syari@’ah terhadap perkawinan beda

(22)

13

D. Tinjauan Pustaka

Dalam telaah pustaka yang telah dilakukan, peneliti tidak menemukan penelitian yang membahas tentang pernikahan beda agama dalam perspektif maqa@s}id al-syari@’ah. Di sisi lain, penulis telah menemukan beberapa penelitian yang membahas tentang pernikahan beda agama akan tetapi bukan dipandang dari perspektif maqa@s}id al-syari@’ah, penelitian-penelitian tersebut adalah sebagai berikut :

1. Skripsi di IAIN Sunan Ampel pada tahun 2003 dengan judul “Nikah Beda Agama Dalam Perspektif Syariah dan Relevansinya dengan Hak Asasi Manusia (Studi Kritis Terhadap Pemikiran Abdullah Ahmad An-Na’i@m). Pada skripsi ini, peneliti mengemukakan relevansi nikah beda agama dalam perspektif syariah dengan Hak Asasi Manusia menurut an-Na’im. Menurut an-Na’im tidak ada alasan bagi agama untuk melarang umatnya secara bebas memilih pasangan yang berbeda keyakinan, tetapi oleh peneliti cita-cita an-Na’im dianggap suatu utopis belaka. Selain itu, skripsi ini juga membahas tentang penerapan hukum Islam tentang nikah beda agama yang masih didasarkan pada syariah historis menurut an-Na’im.

(23)

14

ahlul kitab. Tetapi ketika antara perempuan muslimah dengan lelaki ahlul kitab, Nurcholis Madjid menggaris bawahi prinsip dasar tentang tidak adanya pemaksaan dalam hal agama. Akan tetapi menurut KHI, secara tegas untuk melarang pernikahan beda agama.

3. Skrips di IAIN Sunan Ampel fakultas Syariah tahun 2008 dengan judul “Studi Analisis Terhadap Kawin Beda Agama dalam Perspekti Fiqh Lintas Agama.” Dalam penelitian ini, peneliti menjelaskan bahwa dalam fiqih lintas agama, kawin beda agama adalah sesuatu yang diperbolehkan. Pendapat ini berlandaskan ayat 5 surat al-Maidah. Selain itu menurut peneliti, dalam pandangan fiqh lintas agama, terminologi ahlul kitab yang ada pada masa nabi dan masa sekarang adalah sama. Sedangkan menurut ulama’ fiqh, terminologi ahlul kitab hanya dikhususkan pada zaman Nabi saja, karena pada zaman nabi mereka (ahlul kitab) masih berpedoman pada tauhid, sedangkan sekarang mereka mengakui adanya konsep trinitas.

(24)

15

5. Skripsi di IAIN Sunan Ampel fakultas Syariah tahun 2005 dengan judul “Analisis Atas Ketentuan Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draff KHI”. Dalam penelitian ini, disebutkan bahwa menurut KHI pernikahan beda agama adalah dilarang secara mutlak, sedangkan menurut CLD KHI, pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim atau perempuan muslimah dengan laki-laki non-muslim itu diperbolehkan. Dari kedua kubu ini, sama-sama mendasarkan pendapatnya pada surat al-Baqarah ayat 221, surat al-Maidah ayat 5, dan surat al-Mumtahanah ayat 10. 6. Skripsi di IAIN Sunan Ampel fakultas Syariah tahun 1998 dengan judul

“Tinjauan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Perkawinan Beda Agama.” Dalam penelitian ini, peneliti berkesimpulan bahwa di dalam UU tentang Perkawinan tersebut tidak mengatur tentang perkawinan beda agama, sehingga ketika orang yang ingin melakukan pernikahan beda agama, mereka menggunakan berbagai cara. Dengan berbagai cara tersebut tentunya bukan solusi yang baik, akan tetapi malah menjadi ketidakjelasan hukumnya.

7. Skripsi di IAIN Sunan Kalijaga fakultas Syariah tahun 2000 dengan judul “Penerapan Kritik Nalar Islam Arkoun atas Larangan Perkawinan Antaragama dalam Hukum Islam”.

E. Tujuan Penelitian

(25)

16

1. Mengetahui hukum pernikahan beda agama menurut mazhab Hanbali. 2. Mengetahui tinjauan maqa@s}id al-syari@’ah terhadap perkawinan beda

agama menurut mazhab Hanbali.

F. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan, setidaknya dalam 2 (dua) hal berikut ini :

1. Aspek Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas pengetahuan tentang aplikasi teori maqa@s}id al-syari@’ah dalam kasus-kasus tertentu serta diharapkan hasil penelitian ini menjadi dasar penyusunan penelitian lanjutan yang relevan dengan penelitian ini.

2. Aspek Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat undang-undang serta para ulama’ dan dai dalam menentukan hukum perkawinan antara orang yang berbeda agama, khususnya antara orang Islam dan non-muslim.

G. Definisi Operasional

(26)

17

1. Pernikahan Beda Agama

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan yang berbeda agama. Salah satu pihak beragama Islam dan lainnya beragama selain Islam.

2. Mazhab Hanbali

Adalah salah satu mazhab dalam hukum Islam (fiqh) yang didirikan oleh Ahmad bin Hanbal.

3. Perspektif

Yang dimaksud perspektif disini adalah sudut pandang27 yang diambil dalam penelitian ini. Teori maqas~hi@d al-syar@iah menurut al-Syatibi yang menjadi sudut pandang penliti dalam menganalisis pernikahan beda agama.

4. Maqa@s}id al-Syari@’ah

Maqa@s}id al-Syari@’ah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Tujuan-tujuan akhir yang harus terealisasi dengan diaplikasikannya syariat, baik berupa maqa@s}id al-syari@’ah al-‘a@mmah (keseluruhan aspek syariat) maupun maqa@s}id al-syari@’ah al-kha@s{s{ah (khusus suatu bab tertentu yakni pernikahan).28

27Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 864. 28 Ini menurut Yusuf Hamid al’Alim dalam bukunya Maqa@s}id ‘Ammah li Syari@’ah

(27)

18

H. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini.

2. Data yang Dikumpulkan

Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, untuk dapat menjawab rumusan masalah tersebut, data yang perlu untuk dikumpulkan adalah sebagai berikut :

a. Biografi Ahmad bin Hanbal.

b. Metode penentuan hukum dalam mazhab Hanabilah.

c. Hukum pernikahan beda agama menurut mazhab Hanabilah. 3. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini, semuanya berupa data tertulis, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Adapun sumber-sumber data tersebut adalah sebagai berikut :

a) Al-Qur’an dan al-Hadits

b) Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, Jami’ Baya@n ‘an Ta’wil ai al-Qur’an.

c) Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal. d) Ibnu Najar,Syarhul Kaukibil Munir.

(28)

19

g) Ibnu Muflih al-Hanbali,al-Furu' fi al-Fiqh al-Hanbali.

h) Al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘ala@ al-Madza@hib al-Arba’ah. i) Buku, Jurnal, dan artikel lain yang berhubungan dengan penelitian

ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kepustakaan ini, pengumpulan data dilakukan penulis melalui teknik dokumentasi. Dengan teknik ini, penulis melakukan penelaahan bacaan yang sesuai dengan objek penelitian yakni hukum pernikahan beda agama menurut mazhab Hanabilah.

5. Metode Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan menggunakan pola pikir deduktif yakni dengan mengungkapkan teori maqa@s}id al-syari@’ah, kemudian menjelaskan hukum perkawinan beda agama menurut mazhab Hanabilah, serta kemudian penerapan teori maqa@s}id al-syari@’ah terhadap hukum perkawinan beda agama menurut mazhab Hanabilah.

I. Sistematika Penulisan

(29)

20

Bab Pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Dalam bab ini, deskripsi awal yang menjadi titik tolak penelitian akan dijelaskan. Selain itu, yang paling penting adalah rumusan masalah yang akan menjadi objek penelitian ini setelah melihat latar belakangnya.

Bab Kedua, landasan teori penelitian ini yang berisi sejarah perkembangan maqa@s}id al-syari@’ah, pengertian dan dasar maqa@s}id al-syari@’ah, klasifikasi maqa@s}id al-syari@’ah, cara memahami maqa@s}id al-syari@’ah, dan metode ijtihad yang harus dikembangkan serta peranan

maqa@s}id al-syari@’ah di dalamnya. Dalam bab kedua, teori yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan. Teori maqa@s}id al-syari@’ah ini yang akan menjadi landasan dan alat menganalisis tentang pernikahan beda agama menurut mazhab Hanbali.

Bab Ketiga, data yang akan diteliti dalam penelitian ini terdiri atas biografi Ahmad bin Hanbal, metode dalam penentuan hukum, dan pernikahan beda agama menurut mazhab Hanbali. Bab ini mengemukakan objek dan fokus pembahasan dalam penelitian ini, sehingga menjadi jelas objek penelitian tersebut.

(30)

21

hukum menurut mazhab Hanbali, konstruksi hukum pernikahan beda agama menurut mazhab Hanbali, dan hukum pernikahan beda agama yang berdasarkan maqa@s}id al-syari@’ah.

(31)

BAB II

MAQA@S{ID AL-SYARI@’AH

A. Sejarah Perkembangan Maqa@s}id al-Syari@’ah

Tidak banyak buku ataupun kitab yang membahas tentang

perkembangan maqa@s}id al-syari@’ah dari masa ke masa secara utuh.

Kebanyakan pembahasan maqa@s}id al-syari@’ah secara parsial dengan

memaparkan pembahasan tokoh, dan berhenti sampai Syatibi. Ahmad

al-Raysuni dalam makalahnya, memaparkan kronologis ulama yang ikut

terlibat dalam perkembangan maqa@s}id al-syari@’ah hingga perkembangan

masa setelah al-Syatibi yakni sampai kemunculun Muhammad Ibnu Thahir

ibn ‘Asyu@r.1 Selain Ibnu ‘Asyu@r, kitab yang memaparkan perkembangan

pemikiran ulama tentang maqa@s}id al-syari@’ah adalah kitab Maqa@s{id

al-Syari@’ah al-Isla@miyyah wa ‘Alaqatuha@ bi al-Adillah al-Syar’iyyah yang

ditulis oleh Muhammad Sa’id bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi.

Di dalam makalah tersebut, al-Raysu@ni berkesimpulan bahwa

maqa@s}id al-syari@’ah mengalami kemajuan besar pada tiga tokoh ulama’.

Mereka adalah Ima@m al-Haramayn Abu@ al-Ma’ali@ ‘Abd Allah al-Juwayni@

(wafat 478 H), Abu@ Isha@q al-Sya@tibi@ (wafat 790 H), dan Muhammad al-T{a@hir

ibn ‘A@syu@r (wafat 1379 H / 1973 M). Penyebutan ini dengan tidak

mengesampingkan peran-peran ulama’ lain yang memiliki andil besar dalam

mengawali dan mempertegas konsep maqa@s}id al-syari@’ah. Tetapi di tangan

1Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqa@shid al-Syari@’ah dari

(32)

23

ketiga ulama inilah maqa@s}id al-syari@’ah mengalami pergeseran yang

benar-benar tampak berbeda dari konsep maqa@s}id al-syari@’ah yang ada sebelum

masa mereka.2

Sebelum al-Juwayni, terdapat ulama’ yang terkenal dengan sebutan

Al-Turmudhi al-Haki@m. Al-Turmudhi al-Haki@m3 adalah orang yang pertama

kali menggunakan lafadl “Maqa@s{id” di dalam judul kitabnya yakni al-S{ala@t

wa Maqas{iduha@ dan al-Hajj wa Asra@ruha@. Di dalamnya terdapat pembahasan

tentang illat, rahasia, dan hikmah hukum dari shalat serta haji.4 Ini yang

menjadi cikal bakal dari kajian maqa@s}id al-syari@’ahsecara umum.

Setelah Turmudhi Haki@m, muncullah Abu@ Bakr Qaffa@l

al-Shashi@ atau yang biasa dikenal dengan sebutan al-Qaffa@l al-Kabi@r. Beliau

dianggap ulama’ pertama yang mengkaji maqa@s}id al-shari@’ah dari sisi

cakupan syari’ahnya yaitu di dalam kitabnya yang berjudul Mah}a@sin

al-Shara@’i’ fi furu@’ al-Shafi’iyyah Kitab fi@ Maqa@s}id al-Shari@’ah. Di dalam

muqaddimah kitab tersebut, al-Qaffal mengatakan bahwa tujuan ditulisnya

kitab tersebut adalah untuk menjawab mereka yang mempertanyakan

kebijakan dan keindahan syariat Islam. Istilah yang digunakan memang

mah}a@sin, tetapi inilah tulisan tertua yang isinya sama dengan maqa@s}id.5

2 Ahmad al-Raysu@ni@, “al-Bahth fi Maqas{id al-Syari@’ah Nasy’atuhu wa Tat{awwuruhu wa

Mustaqbaluh”, makalah yang disampaikan pada seminar tentang maqa@s}id al-syari@’ah yang

diadakan oleh Muassasah al-Furqa@n li al-Turath al-Isla@miy di London pada tanggal 01-05 Maret 2005 didownload dari http://www.riyadhalelm.com/catsmktba-282.html pada tanggal 10 Oktober 2015.

3 Nama aslinya adalah Abu@ ‘Abd Allah Muhammad bin ‘Ali@ al-Turmudhi. Terjadi perbedaan

tentang tahun wafatnya, namun menurut pendapat yang kuat adalah ia hidup sampai abad ke-3 H.

4Ahmad al-Raysu@ni@, “al-Bahth fi Maqas{id al-Syari@’ah ..” , 5-6.

(33)

24

Perkembangan berikutnya adalah pemikiran dari Abu@ Hasan

al-‘Amiri (wafat 381 H). Berbeda dengan para ulama’ sebelumnya yang hanya

menguasai keahlian fiqh, beliau ulama’ yang ahli dalam filsafat dan ilmu

kalam, dalam kitabnya yang berjudul al-I’la@m bi Mana@qib al-Isla@m6 beliau

menyatakan bahwa dalam rangka membangun kehidupan individu dan sosial

yang baik haruslah menegakkan lima pilar, yang tanpanya kemaslahatan

tidak akan terealisasi. Kelima pilar tersebut adalah mazjarah qatl al-nafs

(sanksi hukunm untuk pembunuhan jiwa), mazjarah akhdh al-ma@l (sanksi

hukum untuk pencurian harta), mazjarah hatk al-satr (sanksi hukum untuk

membuka aib), mazjarah thalb al-‘ird} (sanksi hukum untuk pengrusakan

kehormatan), dan mazjarah khal’ al-Bayd}ah (sanksi hukum untuk pelepasan

kehormatan). Lima pilar ini yang kemudian menjadi cikal bakal al-d}aru@riyya@t

al-khams yang menjadi inti pembahasan maqa@s}id al-shari@’ah pada

perkembangan selanjutnya.7

Imam al-Haramayn ‘Abd al-Ma@lik al-Juwayni, walaupun tidak

menulis kitab dengan tema khusus maqa@s}id al-shari@’ah, akan tetapi beliau

termasuk yang harus disebut ketika membicarakan maqa@s}id al-shari@’ah.

Beliau adalah ulama’ yang merumuskan dasar-dasar maqa@s}id al-shari@’ah

dengan membagi kemaslahatan ke dalam tiga tingkatan yakni d{aruriyya@t,

h}ajiyya@t, dan tah}siniyya@t. Pembahasan tersebut terdapat di dalam kitab

momumentalnya yakni al-Burha@n fi@ Us}u@l al-Fiqh.8

6Kitab tersebut adalah kitab yang membahas tentang perbandingan agama.

7Ahmad al-Raysu@ni@, “al-Bahth fi Maqas{id al-Syari@’ah ..” , 6-7.

(34)

25

Nama yang populer setelah al-Juwayni adalah sang murid jenius

dengan keahlian multidisipliner, Abu@ H{a@mid al-Ghaza@li@. Di tangannya, aspek

d{aru@riyya@t dijabarkan ke dalam al-d{aru@riyya@t al-khams, yang tanpanya

maslahah dinyatakan tidak ada. Al-d{aru@riyya@t al-khams menurutnya pasti

dimiliki oleh setiap agama dan syariat demi untuk kebaikan manusia. Dialah

orang pertama yang memberikan nama al-d{aru@riyya@t al-khams,menjelaskan

secara rinci dan menyusun urutan dengan agama, jiwa, akal, keturunan, dan

harta sebagai hal-hal yang dilindungi oleh Islam. Hal ini dijelaskan dalam

kitabnya yang berjudul al-Mustas}fa fi ‘Ilm al-Us}u@l.9

Kajian maqa@s}id al-shari@’ahmengalami perkembangan yang signifikan

oleh hadirnya al-Sha@t}ibi@ yang telah dikukuhkan oleh sejarah sebagai pendiri

ilmu maqa@s}id al-shari@’ah. Sampai saat ini, tak seorang pun yang membahas

maqa@s}id al-shari@’ahtanpa menyebut namanya sehingga seolah-olah maqa@s}id

al-shari@’ah identik dengannya. Nama asli beliau adalah al-Ima@m Abu@ Ish}a@q

Ibra@hi@m bin Mu@sa@ bin Muhammad al-Lakhmi@ al-Sha@t}ibi@ al-Gharna@t}i@. Dua

kitabnya yang fenomenal adalah al-I’tis}a@m dan Muwa@faqa@t fi@ Us}u@l

al-Shari@’ah.10 Al-Sha@t}ibi@ dianggap mampu membuka ilmu tersebut yang

terkunci, mengurai kejanggalan, merinci keumuman, menjabarkan

kaidah-kaidah serta menyusun pembahasan secara sistematis.11

Kitab al-Muwa@faqa@t membuat kajian maqa@s}id al-shari@’ah mengalami

metamorfosis sempurna. Kitab yang membahas maqa@s}id al-shari@’ah secara

9Ibid., 13.

10Ibid., 14.

11Muhammad bin Sa’d bin Mas’ud al-Yubi, Maqa@s}id al-Shari@’ah al-Isla@miyyah wa ‘Ala@qatuha@ bi

(35)

26

luas tersebut, tidak hanya menjabarkan definisi dan konsep nilai yang

dibawanya, tetapi sampai pada kaidah-kaidah dasar yang harus dilalui dalam

berpikir menggunakan pendekatan maqa@s}id al-shari@’ah. Al-Sha@ti}bi dianggap

pula mampu menampilkan wajah baru maqa@s}id al-shari@’ah yang lebih

dinamis dan aplikatif. Al-Sha@t}ibi@ bukan hanya menjadikan maqa@s}id

al-shari@’ah sebagai landasan dalam berpikir bahkan menjadi penentu benar

tidaknya suatu ijtihad 12

Menurut Jaser Audah, terdapat tiga hal yang disumbangkan oleh

al-Sha@tibi@ dalam reformasi maq@ashid al-syari’ah. Pertama, pergeseran maq@ashid

al-syari’ahdari unrestricted interest (kepentingan yang tidak dibatasi dengan

jelas) menuju ke fundamentals of law (point inti hukum). Kedua, pergeseran

dari wisdom behind ruling (hikmah dibalik aturan hukum) menuju bases for

the ruling (dasar bagi pengaturan hukum). Ketiga, pergeseran dari

uncertainty (dzanniyyah) ke certainty (qath’iyyah).13

Dalam perkembangannya, tokoh ketiga dalam perkembangan

kemajuan besar maqa@s}id al-shari@’ah adalah seorang sarjana bernama

Muhammad al-T{a@hir ibn ‘A@shu@r (wafat 1379 H / 1973 M). Karyanya yang

terkenal adalah Maqa@s}id al-Shari@’ah al-Isla@miyyah. Walaupun gagasam

besarnya sama dengan al-Sha@t}ibi, karena sebagaimana pengakuannya, ia

memang bertujuan untuk melanjutkan pemikiran al-Sha@t}ibi.14

12Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh al-Aqalliyat.., 193-195.

13Jasser Audah, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law a Systems Approach, (London:

IIIT, 2008), 20-21.

(36)

27

Menarik untuk disimak kesimpulan yang diambil oleh al-Mi@sa@wi@,

komentator karya Ibn ‘A@shu@r tersebut. Menurutnya, di tangan Ibn ‘A@shu@r ini

maqa@s}id al-shari@’ah menjadi disiplin ilmu yang mandiri, menjadi ilmu yang

lengkap secara konseptual, prinsip, dan metodologinya.15 Maka tidak

mengherankan tatakala Ibn ‘A@shu@r dijadikan sebagai Bapak Maqa@s}id yang

kedua setelah al-Sha@t}ibi sebagai bapak Maqa@s}id yang pertama.16

Setelah Ibn ‘A@shu@r hingga saat ini, maqa@s}id al-shari@’ahmenuju pada

puncak kejayaan dengan indikator utama dijadikannya maqa@s}id al-shari@’ah

sebagai rujukan dan dalil dalam menjawab sebagian permasalahan yang

timbul dewasa ini, terutama tentang hubungan Islam dengan modernitas,

persoalan sosial politik, dan etika global untuk membangun perdamaian

dunia.17

B. Pengertian dan Dasar Maqa@s}id Al-Shari@’ah

Kata maqa@s}id al-shari@’ah terdiri atas dua kata yaitu maqa@s}id dan

al-shari@’ah. Pertama, kata maqa@s}id secara etimologi merupakan bentuk jamak

dari maqs}ad yang berarti tujuan.18 Lafadl maqs}ad merupakan lafal yang

keluar dari kata ادﺻ ـ دﺻ ﯾ ـ دﺻ.19 Di dalam kitab Lisa@n al-‘Arb disebutkan

bahwa Ibn Jani mengatakan pada hakikatnya kata qa s} da (

ﺪﺼﻗ

) di dalam

15Ibn ‘A@shu@r, Maqa@s}id al-Shari@’ah al-Isla@miyyah, (Ordo: Dar al-Nafaes, 2001), 90.

16Ahmad al-Raysu@ni@, “al-Bahth fi Maqas{id al-Syari@’ah ..” , 16.

17Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh al-Aqalliyat.., 199.

18Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, Edisi 2, (Surabaya:

Pustaka Progresif, 1997), 1123.

19Abdurrahman Ibrahim al-Kilani, Qawa@’id al-Maqa@s}id ‘inda al-Imam al-Sha@t}ibi@ (Damaskus: Dar

(37)

28

perkataan orang Arab bermakna niat dan kecenderungan.20 Adapun secara

istilah, para ulama’ us}u@liyyi@n dan ulama’ fiqh ketika menggunakan lafadl

maqa@s}id mereka tidak memberikan batasan. Karena maknanya akan

diketahui dengan kata yang ada di dekatnya. Seperti dalam kalimat al-‘umu@r

bi maqa@s}idiha@, maka yang dimaksud maqa@s}id disini adalah sesuatu yang

dituju mukallaf atau niatnya.21

Kedua, kata al-shari@’ah, berasal dari kata

عﺮ ﻳ

ـ

عﺮ

.

22 Di dalam

literatur-literatur bahasa, bermakna datang (warada). Shara’a al-wa@rid

berarti memasukkan air ke dalam mulutnya. Shara’a al-dawa@b fi al-ma@’

berarti ia masuk ke dalam air. Adapun secara bahasa, shari@’ah adalah tempat

mengalirnya air yakni metode atau sebuah jalan atas sesuatu. Makna secara

bahasa inilah yang dikehendaki oleh Al-Qur’an surat al-Ja@thiyah ayat 18.23

Sedangkan di dalam istilah, menurut al-Asymawi, di dalam Islam kata

shari@’ah awalnya digunakan “bahwa syariat Islam adalah jalan atau metode

Islam.”24 Akan tetapi dalam terminologi fiqh berarti hukum-hukum yang

20Ibn al-Manz}u@r al-Afri@qi@, Lisa@n al-‘Arb, Juz IV, (Arab Saudi: Waqaf Kerajaan Saudi, tt), 355.

21Abdurrahman Ibrahim al-Kilani, Qawa@’id al-Maqa@s}id ‘inda al-Imam al-Sha@t}ibi@, 45.

22Ibn al-Manz}u@r al-Afri@qi@, Lisa@n al-‘Arb, Juz X, 40.

23Muhammad Said al-Asymawi, Ushu@l asy-Syari@’ah, (Pen. Luthfi Thomafi), (Yogyakarta: LkiS,

1983), 20.                          

Artinya : “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” Maksudnya adalah kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu peraturan atau metode agama. Lihat : Muhammad Said al-Asymawi, Ushu@l asy-Syari@’ah.

(38)

29

disyariatkan oleh Allah untuk hamba-Nya, baik yang ditetapkan melalui

al-Qur’an ataupun sunnah Nabi.25

Secara terminologis, kata maqa@s}id al-shari@’ah berkembang dari

makna yang paling sederhana sampai pada makna yang holistik,

sebagaimana yang telah dijelaskan di bagian sejarah perkembangan maqa@s}id

al-syari@’ah di atas. Di dalam kajian ulama sebelum al-Syatibi, belum

ditemukan definisi maqa@s}id al-shari@’ah yang konkrit dan komprehensif.26

Mereka cenderung hanya memberikan definisi secara bahasa dengan

menyebutkan padanan-padanan maknanya.27 Seperti menyamakan maqa@s}id

al-shari@’ah dengan illat, tujuan atau niat, h}ikmah, dan kemaslahatan.

Definisi singkat dan operasional yang menghubungkan antara Allah,

sebagai pembuat syari’at, dan pembagian maqa@s}id al-shari@’ah dalam susunan

hirarki, diberikan oleh al-Syatibi yang oleh sejarah dikukuhkan sebagai

pendiri ilmu maqa@s}id al-shari@’ah.28 Di dalam kitabnya Muwa@faqa@t,

al-Sha@t}ibi menggunakan kata-kata yang berbeda yang berkaitan dengan

maqa@s}id al-shari@’ah. Kata-kata tersebut adalah maqa@s}id shari@’ah,

al-maqa@s}id al-shar’iyyah fi al-shari@’ah, dan maqa@s}id min shar’i al-h}ukm.

25‘Abd al-Kari@m Zayda@n yang dikutip oleh Ahmad Imam Mawardi di dalam Fiqh Minoritas Fiqh

al-Aqalliyat..,179.

26 Menurut Ahmad al-Raysuni dalam bukunya Imam al-Syatibi’s Theory of The Higher

Objectives and Intens of Islamic Law yang dikutip di dalam dikutip oleh Ahmad Imam Mawardi di dalam Fiqh Minoritas Fiqh al-Aqalliyat.., 180.

27Abdurrahman Ibrahim al-Kilani, Qawa@’id al-Maqa@s}id ‘inda al-Imam al-Sha@t}ibi@, 45.

28 Perlu diingat, al-Syatibi di dalam kitabnya tidak menyebutkan definisi maqa@s}id al-shari@’ah

secara tersurat, sebagaimana yang dilakukan para ulama’ sebelumnya yang melakukuan

pendekatan kebahasan. Terlebih istilah maqa@s}id al-shari@’ah telah menjadi istilah yang dipahami

secara jelas, dan memang kitab al-Muwa@faqa@t memang diperuntukkan bagi orang-orang yang

(39)

30

Meskipun menggunakan pilihan kata yang berbeda, akan tetapi ketiganya

mempunyai maksud yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh

Allah SWT.29

Al-Sha@tibi@ menyatakan, pembebanan syariat kembali kepada

penjagaan atas tujuan-tujuan (maqa@s}id) makhluk. Tujuan-tujuan tersebut

terbagi atas tiga kelompok yaitu d}aru@riyyah, h}a@jiyyah, dan tah}siniyyah.30

Lebih lanjut al-Sha@tibi@ mengatakan bahwa Allah, sebagai pembuat syariat,

dalam penentuan hukumnya mempunyai tujuan, yakni untuk kemaslahatan

hidup baik untuk kebutuhan saat ini maupun di masa depan, baik di dunia

maupun di akhirat.31

Ibn ‘A@shu@r sebagai tokoh yang mengangkat kembali kajian maqa@s}id

al-shari@’ah setelah enam abad dalam kejumudan, turut menyumbangkan

definisi dari maqa@s}id al-shari@’ah. Menurutnya, semua hukum syari’at

tentunya mengandung maqa@s}id al-shari@’ahyakni hikmah, kemaslahatan, dan

kemanfaatan,32 serta tujuan umum dari penerapan syariat adalah terjaganya

keteraturan umat dan kemaslahatan hidup mereka.33

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang maqa@s}id al-shari@’ah

tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqa@s}id

al-shari@’ah adalah tujuan-tujuan akhir yang harus terealisasi dengan

diberlakukannya syari’at.

29Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1996), 64.

30Al-Sha@tibi@, al-Muwa@faqa@t, Juz II, (Arab Saudi: Waqaf Kerajaan Saudi, tt), 7.

31Ibid., 9-11.

32Ibn ‘A@shu@r, Maqa@s}id al-Shari@’ah al-Isla@miyyah, 246.

(40)

31

C. Klasifikasi Maqa@s}id al-Shari@’ah

Imam al-Sha@t}ibi@ dalam memandang maqa@s}id al-shari@’ah membaginya

ke dalam dua kelompok yakni maqa@s}id yang kembali kepada maksud Tuhan

(qas}d al-sha@ri’) dan maqa@s}id yang kembali pada maksud hamba (qas}d

al-mukallaf).34

Terjadi pertentangan beberapa ulama’ ilmu Kalam tentang ada atau

tidaknya alasan dari hukum-hukum Allah. Menurut al-Ra@zi@, bahwa hukum

Allah tanpa adanya illah yang mendasarinya. Sedangkan Mu’tazilah

berpendapat bahwa hukum-hukum Allah itu mempunyai alasan/tujuan yakni

untuk menjaga kemaslahatan hamba. Pendapat ini banyak dianut oleh ulama

muta’akhkhiri@n.35 Al-Sha@tibi nampaknya berada pada posisi kelompok yang

mengatakan bahwa terdapat alasan atas hukum-hukum Allah. Hal ini

terbukti dalam al-Muwa@faqa@t menyebutkan bahwa tujuan syariat adalah

untuk kemaslahatan hamba, yakni di dapat dari beberapa ayat al-Qur’an.36

Maqa@s}id al-shari@’ah yang kembali kepada maksud Tuhan

mengandung empat aspek. Pertama, syariat diletakkan untuk menggapai

tujuan awal pensyariatan (qas}d al-sha@ri’ fi@ wad}’ al-shari@’ah ibtida’). Kedua,

syariat diletakkan untuk dipahami oleh hamba (qas}d sha@ri’ fi@ wad}’

al-shari@’ah li al-ifha@m). Ketiga, syariat diletakkan sebagai suatu hukum taklif

yang harus dilakukan (qas}d al-sha@ri’ li al-takli@f bi muqtad}a@ha@). Keempat,

maksud Tuhan agar hamba-hambanya melaksanakan ketentuan-ketentuan

34Al-Sha@tibi@, al-Muwa@faqa@t, Juz II, 3. maqa@s}id yang kembali pada maksud hamba tidak dibahas.

35Al-Sha@tibi@, al-Muwa@faqa@t, Juz II, 4.

(41)

32

hukum yang telah ditetapkan (qas}d al-sha@ri’ fi@ dukhu@l al-mukallaf tah}ta

h}ukmiha@).37Adapun penjelasannya tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, syariat diletakkan untuk menggapai tujuan awal

pensyariatan (qas}d al-sha@ri’ fi@ wad}’ al-shari@’ah ibtida’). Al-Sha@t}ibi dalam

kitabnya al-Muwa@faqa@t menyebutkan bahwa Allah menurunkan syariat

adalah hanya untuk mendapatkan kemaslahatan hamba dan

menghindarkannya dari kemadaratan (kerusakan).38 Dengan kata lain, Allah

memberikan ketentuan-ketentuan untuk manusia hanyalah untuk

kemaslahatan manusia itu sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam rangka pembagian maqa@s}id al-shari@’ah, aspek pertama ini

menjadi fokus analisis, sebab unsur pertama inilah yang berkaitan dengan

hakikat (tujuan awal) pemberlakuan syariat Tuhan, yakni untuk mewujudkan

kemaslahatan manusia.39 Kemaslahatan manusia ini dapat terwujud apabila

lima unsur pokok dapat terwujudkan dan terpelihara. Adapun kelima unsur

pokok tersebut adalah agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.40 Dalam

usaha mewujudkan kelima unsur pokok tersebut, al-Sha@t}ibi@ membagi

maqa@s}id (tujuan syari’at) kedalam tiga tingkatan, yaitu maqa@s}id

al-d}aru@riyya@t, maqa@s}id al-h}a@jiyya@t danmaqa@s}id al-tah}siniyya@t.41

Maqa@s}id al-D}aru@riyya@t maksudnya adalah suatu prinsip yang harus

dilaksanakan demi berlangsungnya kebahagiaan baik di dunia maupun di

37Ibid., 3-4.

38Ibid., 4.

39Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, 71.

40 Al-Sha@tibi@, al-Muwa@faqa@t, Juz II, 8. Di dalam komentarnya, Abdullah Darraz mengatakan

bahwa beberapa ulama’ menempatkan urutannya sebagai berikut, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

(42)

33

akhirat. Seandainya prinsip ini tidak ditegakkan, maka kemaslahatan di

dunia dan akhirat tidak dapat diperoleh yang pada akhirnya akan

mendapatkan kerusakan.42

Diantara contoh maqa@s}id al-d}aru@riyya@t adalah di dalam hal

mu‘a@malah, yakni yang kembali kepada kemaslahatan manusia dan lainnya

seperti pemindahan kepemilikan dengan ganti rugi atau tidak dengan ganti

rugi atas budak, kemanfaatan, ataupun farji. Dalam hal mu‘a@malah merujuk

pada penjagaan atas keturunan dan harta benda.43

Maqa@s}id al-H}a@jiyya@t maksudnya adalah suatu prinsip yang berfungsi

untuk meringankan beban dan kesulitan kehidupan. Seandainya prinsip ini

tidak dapat terpenuhi, maka pada umumnya hamba akan jatuh pada kesulitan

dan kesukaran, namun kesulitan dan kesukaran tersebut tidak sampai pada

merusak kemaslahatan umum.44

Sedangkan Maqa@s}id al-Tah}siniyya@t adalah suatu prinsip yang akan

mengantarkan manusia pada tata krama dan menjauhkan manusia dari

kejelekan. Prinsip ketiga ini tidak sama dengan dua prinsip yang di atas dan

prinsip ini terkumpul dalam kemulyaan budi pekerti.45

Secara singkatnya, hubungan antara ketiga tingkatan dari maqa@s}id

tersebut adalah sebagai berikut. Maqa@s}id al-D}aru@riyya@t dimaksudkan untuk

menjaga lima unsur pokok dalam kehidupan manusia. Maqa@s}id al-H}a@jiyya@t

42Ibid.

43Ibid., 8.

44Ibid., 9.

45Ah}mad al-Raysu@ni@, Naz}ariyyah al-Maqa@s}id ‘inda al-Ima@m al-Sha@t}ibi@, (Virginia: IIIT, 1995),

(43)

34

dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan

kelima unsur pokok tersebut lebih baik. Sedangkan Maqa@s}id al-Tah}siniyya@t

dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk

penyempurnaan penjagaan lima unsur tersebut. Sebagai contoh, dalam

pemeliharaan unsur agama, aspek d}aru@riyya@t antara lain adalah

melaksanakan sholat. Sholat merupakan aspek d}aru@riyya@t, keharusan

menghadap qiblat adalah aspek h}a@jiyya@t sedangkan aspek tah}siniyya@t-nya

adalah menutup aurat.46

Di dalam penjagaan lima unsur pokok tersebut, di dalam tingkatan

aspek d}aru@riyya@t, dapat melalui dua cara yaitu, pertama melaksanakan

hal-hal yang dapat menciptakan dan menjaga terjaganya lima unsur pokok

tersebut, atau disebut juga dari sisi ada (min ja@nib al-wuju@d). Kedua,

menjauhi hal-hal yang dapat menyebabkan hilangnya kemaslahatan, atau

dari sisi tidak ada (min ja@nib al-‘adam). Sebagaimana pemeliharaan terhadap

agama, misalnya, dapat direalisasikan dari sisi ada dengan melaksanakan

sholat dan membayar zakat. Sedangkan dari sisi tidak ada, dapat

direalisasikan melalui jihad melawan orang kafir.47

Penjagaan terhadap lima unsur pokok tersebut merupakan asas dan

dasar dari semua kemaslahatan yang ada. Aspek h}a@jiyya@t sejatinya

merupakan penyempurna dari aspek d}aru@riyya@t. Sebagaimana juga aspek

tah}siniyya@t adalah pelengkap dari aspek h}a@jiyya@t. Dari susunan ini, muncul

46Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, 72.

47Al-Sha@tibi@, al-Muwa@faqa@t, Juz II, 7. Di dalam syarahnya disebutkan bahwa menurut Abu

(44)

35

suatu kaidah yang sangat penting terkait prioritas ketika terjadi

pertentangan antara maslahat satu dengan maslahat yang lain (al-awlawiyya@t

wa al-tarji@h} baina al-mas}a@lih} ‘inda ta’a@rud}iha@) yaitu “Setiap penyempurna

mempunyai syarat, namun tidak dapat terealisasi kecuali melalui hukum

yang tidak sah.” Misalnya dalam kasus jual beli. Di dalam jual beli

disyaratkan tidak ada unsur penipuan. Namun dalam beberapa praktek jual

beli, menghilangkan unsur penipuan sama sekali, terkadang amat sulit. Maka

kita dihadapkan pada dua opsi : menghilangkan praktek jual beli tersebut

yang sebagai hukum asal, atau meminimalisir penipuan semampu kita. Maka

berdasarkan kaidah di atas, opsi yang dipilih adalah meminimalisir

terjadinya unsur penipuan.48

Dari kaidah tersebut, muncullah lima kaidah penting selanjutnya

yaitu :

a. al-d}aru@riy as}l lima@ siwa@hu min al-h}a@jiy wa al-takmi@li@y (maslahah d}aru@riy

menjadi asal dari kedua maslahah lainnya).

b. ikhtila@l al-d}aru@riy yalzam al-ikhtila@l al-ba@qiyyi@n bi it}la@q (cacatnya d}aru@riy

meniscayakan cacatnya yang lainnya).

c. la@ yalzam min ikhtila@l al-ba@qi@n ikhtila@l al-d}aru@riy (cacatnya dua yang lain,

tidak meniscayakan cacatnya d}aru@riy).

d. qad yalzam min ikhtila@l tah}siniy bi it}la@q aw h}a@ji@ bi it}la@q ikhtila@l

al-d}aru@riy bi wajh ma (terkadang cacatnya tah}siniy secara mutlak atau h}a@ji@

secara mutlak, dapat mengakibatkan cacatnya d}aru@riy dalam satu sisi).

(45)

36

e. yanbaghi@ al-muh}a@faz}ah ‘ala@ al-h}a@jiy wa al-tah}siniy li al-d}aru@riy

(dianjurkan memelihara h}a@jiy dan tah}siniy atas dasar pertimbangan

d}aru@riy).49

Kedua, syariat diletakkan untuk dipahami oleh hamba (qas}d al-sha@ri’

fi@ wad}’ al-shari@’ah li al-ifha@m). Aspek kedua ini, menurut al-Sha@t}ibi@

berhubungan dengan kedua pernyataannya50, yaitu :

a. Syariat Islam ini diturunkan dengan menggunakan Bahasa Arab.51

Syariat Islam diturunkan dengan menggunakan perantaraan bahasa Arab,

maka penguasaan bahasa Arab beserta disiplin keilmuan lain yang

berhubungan dengan pemahaman pada teks, sangat penting guna

memahami nash-nash syar’at.52 Meskipun yang menjadi inti dan tujuan

utama adalah pemahaman terhadap makna, namun lafadl merupakan

perantara untuk memahami terhadap makna yang dimaksud.53 Disinilah

letak pemahaman terhadap lafadl nash syariat yang menggunakan bahasa

Arab. Maka tidak mungkin memahami nash yang berbahasa Arab

menggunakan bahasa selain Arab.

b. Syariat Islam itu Ummiyyah.54

Maksudnya disini adalah dalam memahami dan mengerti perintah serta

larangannya tidak diperlukan ilmu matematika dan ilmu sains lainnya.55

Dan syariat Islam sangat mudah dipahami oleh semua orang, karena dasar

49Ibid., 148.

50Ibid., 149.

51Q.S. Yu@su@f [12] : 2, Q.S al-Shu’ara@’ [26] : 195, dan Q.S. al-Nah}l [16] : 103.

52Al-Sha@tibi@, al-Muwa@faqa@t, Juz II, 50.

53Ibid., 66.

54Ibid., 53.

(46)

37

pemahamannya adalah maslahat, penjagaan terhadap maslahat merupakan

tujuan dari al-Sha@ri’.56

Ketiga, syariat diletakkan sebagai suatu hukum taklif yang harus

dilakukan (qas}d al-sha@ri’ li al-takli@f bi muqtad}a@ha@). Aspek ketiga ini oleh

Ahmad al-Raysuni mencakup dua hal yaitu57:

a. Al-Takli@f yang di luar kemampuan manusia (al-takli@f bi ma@ la@ yut}a@q@)

Pembahasan ini menegaskan bahwa suatu takli@f haruslah berada dalam

kemampuan manusia, sehingga ketika di luar kemampuan manusia, maka

takli@f tidak sah meskipun menurut akal hal itu dibolehkan. Apabila

terdapat redaksi yang mengisyaratkan perbuatan tersebut di luar

kemampuan manusia, maka harus dilihat konteks, unsur lain atau redaksi

sebelumnya. Contohnya adalah dalam firman Allah yang artinya, “Dan

janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” Ayat ini bukan

berarti Allah melarang manusia untuk meninggal dunia, karena mencegah

kematian bukanlah dalam kemampuan manusia. Yang dimaksud adalah

larangan untuk memisahkan antara kehidupan dengan keislaman, karena

datangnya kematian tidak seorang pun yang mengetahuinya.58

b. Taklif yang di dalamnya terdapat kesulitan (al-takli@f bi ma@ fi@hi

mashaqqah)

Menurut al-Sha@t}ibi, dengan adanya takli@f, sha@ri’ tidak bermaksud

menimbulkan kesulitan bagi mukallaf (pelaku), akan tetapi hal itu

56Ah}mad al-Raysu@ni@, Naz}ariyyah al-Maqa@s}id ‘inda al-Ima@m al-Sha@t}ibi@, 149.

57Ibid., 150.

(47)

38

membawa kemanfaatan tersendiri bagi pelaku. Hal ini seperti perintah

potong tangan untuk pencuri, tidaklah dimaksudkan untuk merusak

anggota tubuh. Akan tetapi lebih kepada menjaga harta benda orang

lain.59

Apabila di dalam taklif terdapat mashaqqah maka sesungguhnya hal itu

bukanlah termasuk mashaqqah, tetapi kuflah (sesuatu yang tidak dapat

dipisahkan dari perbuatan manusia dalam kaca mata adat) seperti

kesulitan bagi orang mencari nafkah, maka hal ini bukan termasuk

mashaqqah tetapi sebuah kelaziman. Demikian juga dalam syariat.

Al-Sha@ri’ (Allah) tidak meletakkan kesulitan, tetapi memberikan

kemaslahatan yang kembali pada manusia dengan mashaqqah yang dapat

dilaksanakan oleh anggota tubuh. Mashaqqah ini disebut mashaqqah

mu’taddah. Yang dianggap sebagai mashaqqah adalah apa yang

disebutnya dengan mashaqqah ghaira mu’taddah atau ghaira ‘a@diyyah

yaitu mashaqqahyang tidak lazim dan akan menimbulkan kesusahan serta

kesulitan apabila dikerjakan. Misalnya berpuasa bagi orang sakit. Untuk

mengatasi mashaqqah ini, Islam memberikan alternatif yakni rukhs}ah

atau keringanan.60

Keempat, maksud Tuhan agar hamba-hambanya melaksanakan

ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan (qas}d al-sha@ri’ fi@ dukhu@l

al-mukallaf tah}ta h}ukmiha@). Menurut al-Sha@t}ibi, maksud atau tujuan dari

pemberlakuan dari syariat ialah agar manusia keluar dari ajakan dan

59Ibid., 91.

(48)

39

keinginan hawa nafsu sehingga menjadi hamba yang ikhtiya@ran dan bukan

menjadi hamba yang id}tira@ran. Maka perbuatan yang menuruti hawa nafsu

sangat dicela.61

D. Cara Memahami Maqa@s}id al-Syari@’ah

Sebelum menyebutkan tentang cara memahami maqa@s}id al-shari@’ah,

terlebih dulu dijelaskan tentang corak pemahaman ulama’ terhadap maqa@s}id

al-shari@’ah. Al-Sha@t}ibi@ dalam kitab al-Muwafa@qa@tmenyebutkan tiga golongan

ulama’ dalam memahami maqa@s}id al-shari@’ahyaitu

1. Ulama’ yang berpendapat bahwa maqa@s}id al-shari@’ah adalah suatu hal

yang abstrak, tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan dalam

bentuk z}a@hir lafal yang jelas. Petunjuk itu tidak memerlukan penelitian

yang pada gilirannya bertentangan dengan kehendak bahasa. Kelompok

ini disebut sebagai ulama Z{a@hiriyyah.

2. Ulama’ yang tidak menempuh pendekatan z}a@hir lafal dalam mengetahui

maqa@s}id al-shari@’ah. Kelompok kedua ini dibagi menjadi dua kelompok:

a. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa maqa@s}id al-shari@’ahbukan

dalam bentuk z}a@hir dan bukan pula yang dipahami dari z}a@hir lafal.

Maqa@s}id al-shari@’ah merupakan hal lain yang ada dibalik tujuan z}a@hir

lafal yang terdapat dalam semua aspek syariat, sehingga tak seorang

pun dapat berpegang dengan z}a@hir lafal yang memungkinkan ia

(49)

40

memperoleh pengertian maqa@s}id al-shari@’ah. Kelompok ini disebut

ulama Ba@t}iniyyah.

b. Kelompok yang berpendapat bahwa maqa@s}id al-shari@’ah harus

dikaitkan dengan pengertian-pengertian lafal. Artinya z}a@hir lafal tidak

harus mengandung tunjukan mutlak. Apabila terdapat pertentangan

z}a@hir lafal dengan nalar, maka yang diutamakan adalah pengertian

nalar, baik atas dasar keharusan menjaga kemaslahatan atau tidak.

Kelompok ini disebut ulama al-Muta’ammiqi@n fi al-Qiya@s.

3. Ulama’ yang menggabungkan dua pendekatan (z}a@hir lafal dan

pertimbangan makna) dalam satu bentuk yang tidak merusak pengertian

z}a@hir lafal dan tidak pula merusak kandungan makna/’illah agar syariah

tetap berjalan secara harmoni. Kelompok ini disebut ulama al-ra@sikhi@n.62

Adapun al-Sha@t}ibi oleh Asafri Jaya Bakri dimasukkan termasuk kelompok

ulama’ ketiga.63

Maqa@s}id al-Shari@’ah, dalam pandangan ulama’ maqa@sidiyyu@n,

khususnya al-Sha@t}ibi, menempati posisi yang sangat penting, bahkan

dikatakan seseorang dapat mencapai derajat mujtahid apabila orang tersebut

telah memahami maqa@s}id al-shari@’ah secara sempurna.64 Dalam memahami

maqa@s}id al-shari@’ah, yang menempati posisi ugensitas tinggi dalam ijtihad,

al-Sha@t}ibi memberikan empat cara65, yaitu :

62Al-Sha@tibi@, al-Muwa@faqa@t, Juz II, 297-298.

63Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, 91.

64Ibid., IV, 76.

(50)

41

1. Melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan.

Fokus cara ini adalah melakukan penelaahan terhadap lafadl perintah

dan larangan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Hadith secara jelas

sebelum dikaitkan dengan permasalahan yang lain. Artinya, menghendaki

kembali pada perintah dan larangan secara hakiki. Dalam konteks ini,

suatu perintah harus dipahami menghendaki terwujudnya sesuatu yang

diperintah. Terealisasinya isi perintah ini yang merupakan tujuan yang

dikehendaki oleh al-Sha@ri’. Demikian pula halnya dengan larangan.

Larangan harus dipahami sesuatu yang dilarang itu harus ditinggalkan.

Karena keharusan meninggalkan sesuatu yang dilarang, merupakan yang

diinginkan oleh Tuhan.66



..

“Maka bersegeralah kamu kepada mengi

Referensi

Dokumen terkait

Bimbingan kelompok dengan teknik games adalah layanan yang diberikan secara kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok, dan games sebagai media untuk meningkatkan

1) Jawaban untuk pertanyaan nomor satu ini berhubungan dengan dasar- dasar mikroekonomi yang diketahui memiliki fokus pembelajarn pada perilaku individu termasuk

da’i, materi dakwah, strategi dakwah, metode dakwah dan media dakwah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif daskriptif, dengan mengambil latar Di Kelurahan Kota

Subbidang Teknologi Terapan Gizi dan Makanan mempunyai tugas melakukan penelitian, pengembangan dan penapisan teknologi kesehatan, serta penyiapan bahan perumusan

(3) Dalam hal kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa tanah dan/atau bangunan yang berasal dari penyertaan modal Daerah pada perusahaan

◦ Hasil akhir berupa aturan produksi pengganti ditambah dengan aturan produksi semula yang tidak rekursif

Replete with lessons and insights, the OPP model is replicable in the context of disaster preparedness from infrastructure strengthening to appropriate town planning (using

Sibuk Sendiri Ketika sedang Berinteraksi dengan Teman Berdasarkan data yang diperoleh dari pertanyaan yang kami ajukan mengenai apakah responden sibuk sendiri ketika