• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI LARANGAN MENIKAH PADA HARI GEBLAK ORANG TUA DI DESA DURUNG BEDUG KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TRADISI LARANGAN MENIKAH PADA HARI GEBLAK ORANG TUA DI DESA DURUNG BEDUG KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM."

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI LARANGAN MENIKAH PADA HARI

GEBLAK

ORANG TUA DI DESA DURUNG BEDUG

KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Oleh: M. Isomuddin

C51211140

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal al-Syakhsiyyah) Surabaya

(2)

TRADISI LARANGAN MENIKAH PADA HARI

GEBLAK

ORANG TUA DI DESA DURUNG BEDUG

KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-I) Dalam Bidang Hukum Islam

Oleh:

M. ISOMUDDIN NIM: C51211140

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal al-Syakhsiyyah)

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi dengan judul “Tradisi Larangan Menikah pada Hari Geblak Orang Tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo dalam

Perspektif Hukum Islam” merupakan penelitian yang dilakukan di Desa Durung

Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: 1. Mengapa masyarakat Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo melarang pernikahan pada hari geblak orang tua?, 2. Bagaimana perspektif ‘Urf terhadap adanya tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo?

Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang menggunakan teknik wawancara sebagai metode pengumpulan data. Jenis wawancara yang diterapkan adalah wawancara tidak terstruktur yang hanya memuat pertanyaan-pertanyaan pokok permasalahan yang ditanyakan pada tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat yang melakukan tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua. Data yang terkumpul lalu dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan pola pikir deduktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, masih ditemukan adanya kepercayaan terhadap hari yang kurang baik untuk melakukan acara pernikahan yaitu yang disebut sebagai hari geblak orang tua. Tradisi ini diyakini oleh masyarakat Desa Durung Bedug secara turun temurun dan masih dipraktekkan hingga sekarang. Kedua, ketentuan-ketentuan tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua adalah tidak sesuai dengan ajaran Islam karena dalam nas} tidak ada ketentuan tersebut. Hukum Islam hanya menetapkan wanita-wanita yang haram dinikahi sesuai dengan yang tercantum dalam surat an-Nisa> ayat 23, sehingga tradisi ini dapat dikualifikasikan pada ‘Urf fa>sid.

Dari kesimpulan di atas disarankan kepada masyarakat Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo hendaknya lebih memahami lagi masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum perkawinan Islam agar tidak menganggap bahwa larangan menikah pada hari geblak orang tua adalah hal yang wajib, melainkan hanya sebagai anjuran saja.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

MOTTO ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 10

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Kajian Pustaka ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 15

F. Kegunaan Penelitian ... 15

G. Definisi Operasional ... 16

H. Metode Penelitian ... 17

I. Sistematika Pembahasan ... 23

BAB II LARANGAN PERKAWINAN DALAM ISLAM DAN ‘URF 1. Larangan Perkawinan dalam Islam ... 25

1. Definisi Larangan Perkawinan ... 25

2. Larangan yang Berlaku untuk Selamanya ... 27

3. Larangan yang Berlaku untuk Sementara ... 33

2. ‘Urf ... 38

(8)

2. Macam-macam ‘Urf ... 39

3. Syarat-syarat ‘Urf ... 42

4. Kedudukan ‘Urf Sebagai Dalil Shara’ ... 43

BAB III GAMBARAN UMUM DESA DURUNG BEDUG DAN TRADISI LARANGAN MENIKAH PADA HARI GEBLAK ORANG TUA DI DESA DURUNG BEDUG A. Gambaran Umum Desa Durung Bedug ... 46

1. Letak Geografis Desa Durung Bedug ... 46

2. Keadaan Penduduk Desa Durung Bedug ... 47

a. Jumlah Penduduk ... 47

b. Keadaan Pendidikan ... 47

c. Keadaan Keagamaan ... 48

d. Keadaan Ekonomi ... 49

e. Keadaan Sosial Budaya ... 49

B. Deskripsi Larangan Menikah pada Hari Geblak Orang Tua ... 50

1. Pengertian ... 50

2. Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Tradisi Larangan Menikah pada Hari Geblak Orang Tua ... 55

3. Akibat Terjadinya Larangan Menikah pada Hari Geblak Orang Tua ... 57

BAB IV ANALISIS ‘URF TERHADAP TRADISI LARANGAN MENIKAH PADA HARI GEBLAK ORANG TUA DI DESA DURUNG BEDUG KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO A. Analisis Terhadap Latar Belakang Tradisi Larangan Menikah pada Hari Geblak Orang tua di Desa durung Bedug ... 60

(9)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 72 B. Saran ... 72

(10)

DAFTAR TRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa arab ditulis dengan huruf latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:

A. Konsonan

ARAB LATIN

Kons Nama Kons Nama

ا

Alif Tidak dilambangkan

Ba B Be

Ta T Te

Sa Th Te dan Ha

ج

Jim J Je

Ha h{ Ha (dengan titik di bawah)

خ

Kha Kh Ka dan Ha

Dal D De

Zal Dh De dan Ha

ر

Ra R Er

Zai Z Zet

س

Sin S Es

ش

Syin Sh Es dan Ha

ص

Sad s} Es (dengan titih di bawah)

ض

Dad d} De (dengan titik di bawah)

Ta t} Te (dengan titik di bawah)

ظ

Za z} Zet (dengan titik di bawah)

ع

Ain ‘ Koma terbalik (di atas)

Gain Gh Ge dan Ha

ف

Fa F Ef

ق

Qaf Q Ki

ك

Kaf K Ka

ل

Lam L El

م

Mim M Em

Nun N En

و

Wau W We

ه

Ha H Ha

ء

Hamzah ’ Apostrof
(11)

Sumber : Kate L.Turabian. A Manual of Writers of Term Papers, Disertations (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1987).

B. Vocal

1. Tunggal atau monoftong

Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia

Fath}ah A

Kasrah I

D}ammah U

Catatan : Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika hamzah berh}arakat sukun atau didahului oleh huruf yang berh}arakat sukun. Contoh: iqtid}a>’ (ء قا)

2. Vocal rangkap atau diftong

Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia Ket.

ْيـــ Fath}ah dan Ya’ ay a dan y

ْوــــ Fath}ah dan Wawu aw a dan w

Contoh : Bayna ( يب)

Mawd}u’ (عوضوم)

3. Vocal Panjang (mad)

Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia Ket.

ـــ

Fath}ah dan Alif a@ a dan garis di atas

يـــ Kasrah dan Ya’ i@ i dan garis di atas

وـــ D}ammah dan Wawu u@ u dan garis di atas

Contoh : al-jama@’ah ( ع لا) takhyi@r ( يي ت) yadu@ru (رو ي)

C. Syaddah atau tasydi>d

Dilambangkan dengan tanda syaddah atau tasydid, transliterasinya dalam tulisan latin dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang bertanda syaddah itu, misalnya Muh}ammad, Zainuddin.

D. Ta@’ Marbu@t}ah

Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua :

(12)

2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h. Contoh : shari>‘at al-Isla>m (ماساا ي ش) :

shari>‘ah isla>mi>yah ( يماسا ي ش)

E. Penulisan Huruf Kapital

(13)

MOTTO

َ تَ رَ ك

َ ت

ََ ف

َ يَ ك

َ مََ أ

َ مَ رَ ي

َ نَ

َ لَ ن

ََ ت

َ ض

َّلَ و

َ مَا

َ تَا

َ م

َّس

َ كَ

تَ م

ََ ب

َ ه

َ م

َ كَا

َ ت

َ با

َ

َ لا

ََ و

َ

َ سَّن

َ نَة

َ بَّيَ ه

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan ibadah yang mulia, al Quran menyebutnya

sebagai mi>th>aqan ghali>z}an atau perjanjian yang kuat. Karena itulah

perkawinan dilaksanakan dengan sempurna dan mengikuti peraturan yang

telah ditetapkan Allah SWT dan RasulNya agar tercapai rumah tangga yang

tenang, penuh cinta dan kasih sayang.1

Allah mensyariatkan perkawinan dan dijadikan dasar yang kuat bagi

kehidupan manusia karena adanya beberapa nilai yang tinggi dan beberapa

tujuan utama yang baik bagi manusia, makhluk yang dimuliakan Allah SWT.

Untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan menjauh dari ketimpangan dan

penyimpangan, Allah telah membekali syariat dan hukum-hukum Islam agar

dilaksanakan manusia dengan baik.2

Dalam hukum Islam, hubungan antar manusia untuk berkembang biak

diatur dalam sebuah ikatan perkawinan. Adanya ketentuan tentang

perkawinan ini dimaksudkan agar tujuan dari sebuah perkawinan untuk

membentuk keluarga yang sejahtera tercapai. Tujuan perkawinan dalam Islam

tidak hanya sekedar pada batas pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan

1 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat Khitbah,

Nikah dan Thalak, Penerjemah Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2011), 7.

(15)

2

nafsu seksual semata, akan tetapi memiliki tujuan-tujuan penting yang

berkaitan dengan sosial, psikologi dan agama. Diantara tujuan perkawinan

antara lain yaitu:

1. Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji.

Perkawinan merupakan cara alami yang tepat dan sesuai untuk

menyalurkan dan memuaskan naluri sex. Bagi manusia naluri tersebut

sangat kuat dan keras serta menuntut adanya penyaluran yang baik. Jika

tidak, dapat mengakibatkan kegoncangan dalam kehidupannya. Dengan

melaksanakan perkawinan juga dapat melindungi pandangan dari melihat

hal-hal yang terlarang serta perasaan akan lebih tenang terhadap perkara

yang dihalalkan Allah.3 Sebagaimana petunjuk ayat al-Qur’an surat

ar-Ru>m ayat 21.

Artinya:

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia ciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.4 (Q.S.ar-Ru>m ayat 21)

2. Sebagai perisai diri manusia

Nikah dapat menjaga dan menjauhkan diri dari

pelanggaran-pelanggaran yang diharamkan agama, semisal perzinahan. Karena nikah

3 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, juz 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 2008), 456.

4 Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan terjemahnya, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2006),

(16)

3

memperbolehkan masing-masing pasangan melakukan hajat biologisnya

secara halal. Pernikahan tidak membahayakan bagi umat, tidak

menimbulkan kerusakan, tidak menyebabkan tersebarnya kefasikan dan

tidak menjerumuskan para pemuda dalam kebebasan.5

3. Memelihara keturunan

Perkawinan merupakan cara terbaik untuk memproduksi anak,

memperbanyak keturunan, melestarikan kehidupan manusia serta

menjaga nasab yang sangat diperhatikan dalam Islam. Rasul saw.

bersabda:

Artinya:

Dari Anas bin Malik Rad}iyalla>hu ‘Anhu, ia berkata: Rasulullah saw memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang membujang. Beliau bersabda: Kawinilah wanita pecinta dan yang subur, agar aku dapat membanggakan jumlahmu yang banyak di hadapan para Nabi di hari kiamat nanti. (HR. Ahmad dan disahihkan Ibnu Hibban. Hadis ini mempunyai sh<ahid (penguat) menurut riwayat Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Hibban dari Hadis Ma’qil Ibnu Yasar.6

Banyaknya keturunan mempunyai banyak kemaslahatan baik yang

bersifat umum maupun khusus. Sehingga ada beberapa bangsa yang ingin

5 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat Khitbah,

Nikah dan Thalak..., 40.

6

Muhammad bin Ismail Al Amir Ash Shan’ani, Subulus Salam, Penerjemah Muhammad Isnan

(17)

4

memperbanyak jumlah penduduknya dan memotivasinya dengan

memberikan bantuan-bantuan biaya bagi yang anaknya banyak.7

4. Menyadari tanggung jawab berumah tangga dan merawat anak akan

membangkitkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat

bakat dan pembawaan seseorang. Karena dorongan tanggung jawab dan

beban kewajiban, maka ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan

yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan munculnya usaha untuk

mengeksplorasi kekayaan alam yang dikaruniai Allah untuk kepentingan

kehidupan manusia.8

Dari keterangan diatas jelas bahwa tujuan perkawinan dalam syariat

Islam sangat tinggi, karenanya Islam menganjurkan menikah dan melarang

untuk membujang. Bahkan Rasulullah s.a.w. mencela orang-orang yang

berjanji akan puasa setiap hari, akan bangun dan beribadat setiap malam dan

tidak kawin-kawin.9

Walaupun demikian, disamping adanya anjuran perkawinan tersebut,

hukum Islam juga mengatur mengenai larangan yang tidak boleh dilanggar

oleh setiap muslim yang akan melakukan perkawinan. Larangan tersebut

dikenal dengan istilah larangan perkawinan.

Larangan perkawinan yang dimaksud dalam bahasan ini adalah

orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan. Perempuan–perempuan mana

saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki, atau sebaliknya

7 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah..., 456. 8 Ibid., 457.

9 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat Khitbah,

(18)

5

laki mana saja yang tidak boleh mengawini seorang perempuan. Firman

Allah dalam surat an-Nisa>’ ayat 22-23, yaitu:

Artinya:

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah. Seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri; tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.10 (Q.S. an-Nisa>’ ayat 22-23)

Secara garis besar, dalam kedua ayat di atas tertulis bahwa larangan

kawin antara seorang pria dan seorang wanita dalam shara’ dibagi dua, yaitu

larangan yang bersifat permanen (berlaku untuk selamanya) dan larangan

yang bersifat sementara (dibatasi oleh waktu).11

10 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya..., 82.

(19)

6

Larangan perkawinan yang bersifat permanen atau yang berlaku

haram untuk selamanya dalam arti sampai kapan pun dan dalam keadaan apa

pun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan perkawinan. Larangan

dalam bentuk ini disebut mahram mu’abbad. Mahram mu’abbad terbagi

menjadi tiga kelompok yaitu:12

a. Disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan (nasab)

b. Disebabkan oleh adanya hubungan perkawinan (mus}a>harah).

c. Disebabkan oleh hubungan persususan (rad}a>‘ah).

Sedangkan larangan perkawinan yang berlaku untuk sementara waktu

adalah larangan itu berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu, suatu ketika

bila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah maka tidak lagi menjadi

haram, yang disebut mahram mu’aqqat. Mahram mu’aqqat terbagi menjadi

beberapa macam yaitu:13

a. Mengumpulkan dua orang perempuan yang masih bersaudara

b. Wanita yang sedang menjalani iddah

c. Wanita yang masih dalam perkawinan dengan orang lain

d. Wanita yang sudah ditalak tiga

e. Mengawini lebih dari empat orang wanita

f. Larangan karena sedang ihram

g. Larangan beda agama

h. Larangan karena perzinahan

12 Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat, Penerjemah Mohammad Kholison, (Surabaya: CV.

Imtiyaz, 2013), 51.

(20)

7

Berbeda dengan paparan larangan kawin dalam Islam di atas, dalam

masyarakat masih terdapat budaya atau kepercayaan terhadap larangan

menikah pada hari geblak orang tua, yaitu larangan yang ditujukan kepada

para calon pengantin yang akan melangsungkan upacara pernikahan yang

waktu harinya bertepatan dengan hari kematian orang tuanya. Terhadap

kepercayaan tersebut apabila dilanggar, yaitu dengan tetap melangsungkan

pernikahan pada hari geblak orang tua, diyakini oleh masyarakat sekitar

bahwa orang ataupun keluarga yang melangsungkan pernikahan tersebut

akan terkena sengkolo (petaka).

Dalam pandangan masyarakat Desa Durung Bedug, hari geblak orang

tua adalah hari apes atau hari yang kurang baik bagi seseorang untuk

melakukan pernikahan, maka pasangan yang melaksanakannya akan terjadi

petaka, yaitu kehidupan perkawinannya akan banyak cobaan baik adanya

perpecahan dalam rumah tangga mereka yang tiada henti dan akan berakhir

pada perceraian dan sebagainya, yang menimbulkan dampak yang kurang

baik pada keturunan keturunan mereka kelak.14

Keyakinan masyarakat Desa Durung Bedug yang melarang

menikahkan anggota keluarganya ketika hari geblak orang tuanya didasarkan

kepada adanya mitos dan kepercayaan yang apabila dilanggar akan

menimbulkan dampak buruk bagi pelakunya. Sehingga apabila ada

masyarakat yang melanggar, dalam arti tetap ingin melangsungkan

(21)

8

pernikahan pada hari terlarang tersebut, maka terdapat sanksi sosial berupa

teguran atau bahkan cemoohan dari masyarakat.15

Kajian-kajian keIslaman yang berhubungan dengan adat biasanya

selalu dihubungkan dengan‘Urf. Kata ‘Urf secara etimologi berarti sesuatu

yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Kata ‘Urf sering

disamakan dengan kata adat, kata adat berasal dari bahasa Arab. Akar

katanya: ‘a>da, ya‘u>du yang mengandung arti perulangan. Oleh karena itu

sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Kata ‘Urf

pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan

dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama

dikenal dan diakui oleh orang banyak.16

Sedangkan secara terminologi, ‘Urf diartikan sebagai sesuatu yang

menjadi kebiasaan mayoritas satu masyarakat karena sudah dikenal dan

menyatu dengan kehidupan mereka, baik berupa perkataan maupun

perbuatan.17‘Urf terbagi menjadi dua macam, yaitu:

1. ‘Urf s}ah}ih}, yaitu kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat yang tidak

bertentangan dengan nas} (ayat atau hadis), tidak menghilangkan

kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa bahaya kepada mereka.

Misalnya dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah

kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai maskawin.18

15 Imam Sulthoni, Wawancara, Sidoarjo, 20 Mei 2015.

(22)

9

‘Urf s}>ah}ih} harus dipelihara oleh seorang mujtahid di dalam menciptakan

hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam memutuskan perkara.

Karena apa yang telah dibiasakan dan dijalankan oleh orang banyak

adalah menjadi kebutuhan dan menjadi maslahat yang diperlukannya.

Atas dasar itulah para ulama membuat kaidah “adat kebiasaan itu bisa

menjadi hukum”.

2. ‘Urf fa>sid, yaitu adat kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat,

meskipun merata pelaksanaannya, namun berlawanan dengan ketentuan

syariat karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau

membatalkan yang wajib. Misalnya berjudi untuk merayakan suatu

peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman keras, membunuh anak

perempuan yang baru lahir dan sebagainya.19 ‘Urf fa>sid tidak harus

diperhatikan, karena memeliharanya berarti menantang atau

membatalkan hukum shara’.

Pemaparan dalil-dalil di atas menjadi pemicu munculnya pertanyaan

yang mendasar, yaitu apakah larangan menikah pada hari geblak orang tua

yang berkembang dan dipraktekan di Desa Durung Bedug tersebut termasuk

ke dalam ‘Urf s}>ah}ih} atau termasuk ke dalam ‘Urf fa>sid, apakah larangan ini

telah memenuhi syarat untuk dapat dijadikan dalil dalam penetapan hukum,

sehingga dengan demikian diharapkan akan terlihat bagaimana kedudukan

larangan menikah pada hari geblak orang tua dilihat dalam Hukum Islam.

(23)

10

Fenomena yang ada di tengah masyarakat tersebut, penyusun tertarik

untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam tentang kepercayaan masyarakat

Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo mengenai adanya

larangan menikah pada hari geblak orang tua. Untuk itu penulis mengambil

judul Tradisi Larangan Menikah pada Hari Geblak Orang Tua Di Desa

Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo dalam Perspektif

Hukum Islam.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat

ditulis identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Deskripsi tradisi larangan nikah pada hari geblak orang tua di Desa

Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

2. Faktor yang melatar belakangi adanya tradisi larangan nikah pada hari

geblak orang tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten

Sidoarjo.

3. Keberlakuan tradisi tradisi larangan nikah pada hari geblak orang tua di

Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

4. Analisis ‘Urf terhadap tradisi larangan nikah pada hari geblak tersebut.

Melihat luasnya pembahasan tentang tradisi larangan nikah dalam

identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalah dalam

(24)

11

1. Faktor yang melatar belakangi terjadinya tradisi larangan menikah pada

hari geblak orang tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi

Kabupaten Sidoarjo.

2. Analisis ‘Urf terhadap tradisi larangan menikah pada hari geblak orang

tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

masalah pokok dalam penelitian ini, yaitu:

1. Mengapa masyarakat Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten

Sidoarjo melarang pernikahan pada hari geblak orang tua?

2. Bagaimana tradisi larangan nikah pada hari geblak orang tua di Desa

Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo dalam perspektif

‘Urf?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka bertujuan untuk menarik perbedaan mendasar antara

penelitian yang dilakukan, dengan kajian atau penelitian yang pernah

dilakukan sebelumnya. Setelah melakukan penelusuran, ada beberapa buku

maupun skripsi yang membahas tentang larangan perkawinan, diantaranya

(25)

12

1. Buku dengan judul Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan

Upacara Adatnya karya Hilman Hadi Kusuma yang memberikan

gambaran terhadap hukum perkawinan adat termasuk tentang larangan

perkawinan menurut hukum adat. Buku ini menjelaskan larangan

perkawinan menurut hukum adat ada dua, yaitu larangan karena

hubungan kekerabatan dan karena perbedaan kedudukan.20

2. Skripsi yang disusun oleh Ita Rahmania Hidayati yang berjudul Analisis

Hukum Islam terhadap Larangan Menikah Lusan Besan di Desa

Bondrang Kecamatan Sawoo Kabupaten Ponorogo. Skripsi ini membahas

tentang adat larangan menikah pada masyarakat Desa Bondrang

Kecamatan Sawoo Kabupaten Ponorogo, yang melarang adanya

pernikahan apabila seseorang menikahkan anaknya untuk ketiga kali dan

calon besan untuk pertama kali dan sebaliknya.21

3. Skripsi yang disusun oleh Nur Angraini dengan judul Larangan

Perkawinan Nglangkahi di Desa Karang Duren Kecamatan Pakisaji

Kabupaten Malang. Skripsi ini membahas adat perkawinan pada

masyarakat Karang Duren Kabupaten Malang, apabila seorang adik

menikah dengan melangkahi kakaknya, dalam hal ini terdapat larangan.

Akan tetapi, apabila perkawinan tersebut tetap dilakukan maka sang adik

selain memberi sesuatu dalam bentuk barang atau uang, sang adik juga

20 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya,

(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), 70.

21Ita Rahmania Hidayati, “Analisis Hukum Islam Terhadap Larangan Menikah Lusan Besan di

Desa Bondrang Kecamatan Sawoo Kabupaten Ponorogo” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel,

(26)

13

harus melakukan beberapa tahapan upacara adat (upacara langkahan)

sebagai syarat untuk melangkahi kakaknya yang bertujuan sebagai bentuk

rasa hormat dan permohonan maaf kepada yang lebih tua dan sebagai

langkahan untuk kakaknya.22

4. Skripsi yang disusun oleh Farida Armiranti yang berjudul Tinjauan

Hukum Islam terhadap Tradisi Larangan Nikah di Desa Taluk Selong

Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan.

Skripsi ini membahas tentang adanya larangan untuk menikah dengan

laki-laki atau perempuan yang mengikuti mazhab selain mazhab Syafi’i.23

5. Skripsi yang disusun oleh Fandy putra yang berjudul Tinjauan hukum

Islam Terhadap larangan pernikahan antara Desa Kedensari dengan Desa

Ketapang Kecamatan Tanggunglangin Kabupaten Sidoarjo. Skripsi ini

membahas larangan perkawinan antara masyarakat Desa Kedensari

dengan masyarakat Desa Ketapang. Hal ini dikarenakan kedua Desa

tersebut mempunyai dayang yang sama atau masih saudara.24

6. Skripsi yang disusun oleh Dwi Agustin Miftahul Jannah yang berjudul

Pandangan Ulama’ Desa Sukomalo Kecamatan Kedungpring Kabupaten

Lamongan Terhadap Larangan Pernikahan Antar Dusun Ngulon Ngalor.

Skripsi ini membahas larangan perkawinan penduduk yang tinggal di

22Nur Anggraini, “Larangan Perkawinan Nglangkahi di Desa Karang Duren Kecamatan Pakisaji

Kabupaten Malang” (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2010).

23Farida Armiranti, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Larangan Nikah di Desa Teluk

Selong Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar Kalimantan” (Skripsi--IAIN Sunan

Ampel, Surabaya, 2011).

24

Fandy putra, ”Tinjauan hukum Islam Terhadap larangan pernikahan antara Desa Kedensari

dengan Desa Ketapang Kecamatan Tanggunglangin Kabupaten Sidoarjo” (Skripsi--IAIN Sunan

(27)

14

antara dusun Barat dan Utara untuk wilayah desa itu. Apabila ada yang

melanggar dari aturan tersebut maka mereka berkeyakinan akan ada pihak

yang dikalahkan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan dalam segi

rezeki ataupun kematian.25

7. Skripsi yang disusun oleh Ahmad Khoirul Huda yang berjudul Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Larangan Nikah Karena Mentelu di Desa

Sumberejo Kecamatan Lamongan Kabupaten Lamongan Jawa Timur.

Skripsi ini membahas larangan perkawinan yang dilakukan oleh seorang

laki-laki dan perempuan jika antara keduanya terdapat hubungan mentelu

yaitu hubungan kekerabatan antara seseorang dengan yang lainnya karena

status dari buyut mereka adalah saudara kandung.26

Secara umum, pembahasan dalam skripsi yang telah disebutkan di

atas menyangkut masalah larangan perkawinan yang terjadi dalam masyarakat

tertentu. Dalam penelitian ini, penulis juga akan membahas masalah adat

larangan perkawinan, namun penelitian ini memiliki beberapa perbedaan

dengan penelitian sebelumnya, antara lain:

1. Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Durung Bedug Kecaamatan Candi

Kabupaten Sidoarjo. Daerah ini merupakan daerah yang masih memegang

kuat tradisi larangan perkawinan pada hari geblak orang tua.

25

Dwi Agustin Miftahul Jannah, “Pandangan Ulama’ Desa Sukomalo Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan Terhadap Larangan Pernikahan Antar Dusun Ngulon Ngalor” (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014).

26

(28)

15

2. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis tradisi larangan menikah pada

hari geblak orang tua di masyarakat Desa Durung Bedug dengan aturan

dalam hukum Islam yang dispesifikkan dengan menggunakan metode ‘Urf.

3. Belum ada kajian ‘Urf yang membahas tentang tradisi larangan menikah

pada hari geblak orang tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi

Kabupaten Sidoarjo.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

1. Mengetahui latar belakang adanya tradisi larangan nikah pada hari geblak

orang tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

2. Menganalisis tradisi larangan nikah pada hari geblak orang tua di Desa

Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo dalam perspektif

‘Urf.

F. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat,

sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal di bawah ini:

1. Aspek Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana menambah wawasan

pengetahuan tentang tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua

di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

(29)

16

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan dijadikan

sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat Desa Durung Bedug

Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo dalam pelaksanaan perkawinan

terutama mengenai adanya tradisi larangan menikah pada hari geblak

orang tua.

G. Definisi Operasional

Agar terhindar dari kesalah pahaman dalam menginterpretasikan arti

dan maksud dalam judul ini, maka perlu adanya definisi operasional. Definisi

operasional adalah deretan pengertian yang dipaparkan secara gamblang

untuk memudahkan pemahaman dalam skripsi ini, yaitu:

1. Tradisi

Tradisi adalah kebiasaan turun temurun yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Durung Bedug mengenai larangan nikah. Masyarakat

Desa Durung Bedug meyakini hari geblak orang tua sebagai hari apes atau

hari yang kurang baik bagi anak-anaknya untuk melakukan pernikahan.27

2. Larangan menikah pada hari geblak

Larangan nikah adalah suatu larangan bagi masyarakat Desa

Durung Bedug untuk menikah pada hari geblak. Hari geblak sendiri dalam

adat Jawa berarti hari meninggalnya seseorang. Keyakinan para sesepuh

Desa Durung Bedug tentang hari geblak orang tua adalah hari

(30)

17

meninggalnya orang tua dalam hitungan weton atau hari Jawa, yaitu

Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi.28

3. Hukum Islam

Hukum Islam adalah peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan

yang berkenan dengan kehidupan berdasarkan Al-quran dan As-sunnah

atau disebut juga dengan hukum syara’.29 Hukum Islam dalam penelitian

ini adalah hukum Islam yang dispesifikkan dengan menggunakan metode

‘Urf sebagai dalil dalam menetapkan hukumnya.

Berdasarkan definisi operasional yang telah dipaparkan di atas,

maka penelitian dengan judul Tradisi Larangan Menikah pada Hari Geblak

Orang Tua Di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo

dalam Perspektif Hukum Islam ini terbatas pada pembahasan mengenai

latar belakang adanya tradisi larangan nikah di Desa Durung Bedug, yang

kemudian akan dianalisis dengan menggunakan metode ‘Urf.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field

Research). Oleh karena itu, data yang dikumpulkan merupakan data yang

diperoleh dari lapangan sebagai subyek penelitian. Agar penulisan skripsi ini

dapat tersusun dengan benar, maka penulis memandang perlu untuk

mengemukakan metode penulisan skripsi yaitu sebagai berikut:

28 Ibid.

(31)

18

1. Data yang Dihimpun

Data adalah bentuk jamak dari kata datum (Inggris). Data

merupakan keterangan-keterangan dari hasil pencatatan peneliti baik yang

berupa fakta maupun angka yang dapat dijadikan sebagai bahan untuk

menyusun informasi.30

Agar dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa dipertanggung

jawabkan dan relevan dengan permasalahan yang diangkat, maka penulis

membutuhkan data sebagai berikut:

a. Data tentang tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua di

Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

2. Sumber Data

Dilihat dari sumber pengambilannya, data terdiri atas data primer

dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau

dikumpulkan langsung di lapangan oleh peneliti. Sedangkan data sekunder

adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti dari

sumber-sumber yang telah ada baik dari perpustakaan atau dari laporan-laporan

peneliti terdahulu.31

Berdasarkan data yang akan dihimpun di atas, maka yang menjadi

sumber data dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber Data Primer

(32)

19

Sumber data primer di sini adalah sumber data yang diperoleh

secara langsung dari subyek penelitian. Dalam penelitian ini sumber

data primer adalah:

1) Pelaku pernikahan geblak orang tua di Desa Durung Bedug

Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

2) Tokoh adat dan tokoh agama di Desa Desa Durung Bedug

Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung

memberikan data kepada peneliti, seperti literatur-literatur mengenai

perkawinan, hukum perkawinan adat dan ‘Urf. Antara lain:

1) Fiqh Munakahat karya Abdul Rahman Ghazali

2) Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sa>biq

3) Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan karya Amir Syarifuddin

4) Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara

Adatnya karya H. Hilman Kusuma

5) Hukum Adat di Indonesia karya Soerjono Soekanto

6) ‘Ilmu Ushu>l al-Fiqh karya ‘Abdul Wahha>b Khalla>f

7) Ushul Fiqh 2 karya Amir Syarifuddin

8) Ushul Fiqh I karya Nasrun Haroen

(33)

20

Teknik pengumpulan data merupakan proses yang sangat

menentukan baik tidaknya sebuah penelitian. Maka kegiatan

pengumpulan data harus dirancang dengan baik dan sistematis, agar data

yang dikumpulkan sesuai dengan permasalahan penelitian. Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Observasi

Yaitu proses di mana peneliti atau pengamat melihat langsung

obyek penelitian.32 Sebagaiman yang diuraikan dalam bukunya,

Amiruddin memberikan penjelasan bahwa pengamatan dalam

penelitian harus dilakukan dengan memenuhi persyaratan persyaratan

tertentu (validitas dan reabilitas), sehingga hasil pengamatan sesuai

dengan kenyataan yang menjadi sasaran pengamatan. Metode

observasi ini bertujuan untuk menjawab masalah penelitian yang

dapat dilakukan dengan pengamatan secara sistematis terhadap objek

yang diteliti.33

Observasi ini juga dilakukan untuk mengumpullkan data yang

lebih mendekatkan peneliti pada lokasi penelitian, sekaligus

memberikan deskripsi secara lebih lengkap terkait dengan tradisi

larangan menikah pada hari geblak orang tua di Desa Durung Bedug

dan peneliti melakukan pengamatan terhadap tokoh-tokoh

masyarakat, dan orang-orang yang melakukan pernikahan pada hari

32

Consuelo G Sevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: UI Perss, 1993), 198.

33

(34)

21

geblak orang tua, yang selanjutnya akan dijadikan sampel untuk

diwawancarai.

a. Wawancara

Menurut Mardalis wawancara adalah teknik pengumpulan data

yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan

melalui percakapan dengan orang yang dapat memberikan keterangan

pada si peneliti.34 Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu

Pewawancara (Interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan

terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas

pertanyaan itu. Apabila wawancara bertujuan untuk mendapat

keterangan atau untuk keperluan informasi maka individu yang

menjadi sasaran wawancara adalah informan. Pada wawancara ini

yang penting adalah memilih orang-orang yang tepat dan memiliki

pengetahuan tentang hal-hal yang ingin kita ketahui. 35

Di daerah pedesaan umumnya yang menjadi informan adalah

pamong desa atau mereka yang mempunyai kedudukan formal.

Wawancara dilakukan dengan cara bersilaturahmi ke rumah tokoh

adat, tokoh agama dan masyarakat yang meyakini adanya tradisi

larangan menikah pada hari geblak orang tua di Desa Durung Bedug

Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

34 Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarata: PT Bumi Aksara, 1995),

64.

(35)

22

Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini

adalah wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang

memuat garis besar yang akan dijelaskan. Pertanyaaan yang diajukan

pewawancara bersifat fleksibel tetapi tidak menyimpang dari tujuan

wawancara yang telah ditetapkan.36

Dalam penelitian ini penulis mengadakan wawancara langsung

terhadap 5 tokoh masyarakat atau sesepuh Desa Durung Bedug yang

terdiri dari Imam Sulthoni (tokoh agama), Sunainiah (tokoh adat),

Rudi Wahyu (pemuda), Masrukhin (tokoh masyarakat), dan

Muhammad Aris, yang semuanya itu adalah orang-orang yang

memiliki pengetahuan tentang tradisi larangan menikah pada hari

geblak orang tua di Desa Durung Bedug.

4. Teknik Analisis Data

Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap dari lapangan,

tahap selanjutnya adalah analisis data. Tujuan dilakukannya analisis data

adalah untuk memberi arti dan makna yang jelas pada data, sehingga dapat

digunakan untuk memecahkan masalah dan menjawab persoalan-persoalan

yang ada dalam penelitian.37

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah

teknik deskriptif dengan menggunakan pola pikir deduktif yaitu pola pikir

yang berangkat dari hal-hal yang bersifat umum yakni aturan hukum

Islam yang menjelaskan tentang masalah perkawinan dan larangan kawin,

(36)

23

lalu aturan tersebut dispesifikasikan dengan ketentuan ‘Urf yang berfungsi

untuk menganalisis hal-hal yang bersifat khusus yang terjadi di lapangan

yaitu tentang tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua di Desa

Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

I. Sistematika Pembahasan

Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang masing-masing bab

terdiri dari beberapa subbab sebagai berikut:

Bab pertama tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode

penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua tentang landasan teori, bab ini membahas tentang

pernikahan yang dilarang dalam hukum Islam serta kajian tentang ‘Urf.

Bab ketiga memuat data yang berkenaan dengan hasil penelitian

terhadap tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua di Desa Durung

Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo. Dalam subbab ini dibahas

sekilas tentang Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo

serta deskripsi tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua dan latar

belakang adanya tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua

(37)

24

Bab keempat merupakan kajian analisis. Bab ini berisi tentang analisis

‘Urf terhadap tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua di Desa

Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

Bab kelima penutup, bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan sesuai

(38)

BAB II

LARANGAN PERKAWINAN DALAM ISLAM DAN ‘URF

A. Larangan Perkawinan dalam Islam

1. Definisi Larangan Perkawinan

Perkawinan baru bisa dinyatakan sah apabila telah memenuhi

seluruh rukun dan syarat yang ditentukan, disamping juga harus terlepas

dari segala hal yang dapat menghalangi. Halangan perkawinan itu disebut

juga dengan larangan perkawinan.1

Larangan perkawinan dalam bahasan ini adalah orang- orang yang

tidak boleh melakukan perkawinan. Yaitu perempuan-perempuan mana

saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang lelaki atau sebaliknya

laki-laki mana saja yang tidak boleh mengawini seorang perempuan. Semua

itu dinamakan mawa>ni’ al-nika>h} (perkara-perkara yang menghalangi

keabsahan nikah). Allah SWT berfirman di dalam surah an-Nisa>’ ayat

22-23:

1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

(39)

Artinya:

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah. Seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri; tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa

lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.2

Secara garis besar, dalam kedua ayat di atas tertulis bahwa

larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita dalam sh}ara‘

dibagi dua, yaitu larangan yang berlaku untuk selamanya dan larangan

yang berlaku untuk sementara.3 Larangan perkawinan yang berlaku haram

untuk selamanya mengandung arti sampai kapan pun dan dalam keadaan

apa pun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan perkawinan.

Larangan dalam bentuk ini disebut mahram mu’abbad. Sedangkan

2 Departemen Agama RI, al Quran dan Terjemahnya, 82.

(40)

larangan perkawinan yang berlaku haram untuk sementara waktu

mengandung arti larangan itu berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu

saja, suatu ketika bila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah ia

tidak lagi menjadi haram. Larangan dalam bentuk ini disebut mahram

mu’aqqat.4

2. Larangan yang Berlaku untuk Selamanya

Larangan perkawinan yang berlaku untuk selamanya atau disebut

mahram mu’abbad, terbagi menjadi tiga kelompok yaitu pertama:

disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan, kedua: karena adanya

hubungan perkawinan dan ketiga: karena adanya hubungan persusuan:5

Pertama: disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan atau

nasab. Yang termasuk dalam kategori ini ada tujuh macam wanita, yaitu:6

a. Ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, dan seterusnya dalam garis lurus keatas.

b. Anak perempuan, anak perempuannya anak laki-laki, anak

perempuannya anak perempuan, dan seterusnya dalam garis lurus ke

bawah.

c. Saudara perempuan, baik saudara perempuan sekandung, seayah, atau

seibu.

d. Saudara perempuan ayah, baik hubungannya kepada ayah secara

kandung, seayah atau seibu. Termasuk juga saudara perempuan kakek,

4 Ibid.

5 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz II, (Beirut: Dar El Fikr, 2006), 487

6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

(41)

baik kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya menurut garis lurus

ke atas.

e. Saudara perempuan ibu, baik hubungannya kepada ibu secara

kandung, seayah atau seibu. Termasuk juga saudara perempuan nenek

kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke atas.

f. Anak perempuan saudara laki-laki, baik sekandung, seayah atau seibu.

Cucu perempuan saudara laki laki, baik sekandung, seayah atau seibu,

dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.

g. Anak perempuan saudara perempuan. Baik sekandung, seayah atau

seibu. Cucu perempuan saudara perempuan. Baik sekandung, seayah

atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.

Hikmah dari larangan perkawinan yang disebabkan adanya

hubungan nasab adalah untuk menghormati kerabat. Merupakan hal yang

mustahil secara fitrah, orang yang merasakan syahwat terhadap ibunya

atau ia hendak berpikir untuk bersenang-senang dengannya, karena cinta

kasih yang terjalin di antara keduanya.

Apa yang dijelaskan mengenai keharaman menikahi ibu, dikatakan

pula dalam ketetapan keharaman menikahi perempuan-perempuan

berdasarkan keturunan yang lainnya.7 Antara seorang laki-laki dengan

kerabat dekatnya mempunyai perasaan yang kuat yang mencerminkan

suatu penghormatan. Maka akan lebih utama kalau dia mencurahkan

perasaan cintanya itu kepada perempuan lain melalui perkawinan

7 Ali Yusuf as-Subki, Niz<am Al-Usrah Fi< Al-Islami<, (Penerjemah: Nur Khozin, Fiqh Keluarga

(42)

sehingga terjadi hubungan yang baru dan rasa cinta kasih sayang yang

terjadi antara kedua manusia itu menjadi sangat luas.8

Sebaliknya seorang perempuan tidak boleh kawin untuk

selama-lamanya karena hubungan kekerabatan dengan laki-laki tersebut di bawah

ini:9

a. Ayah, ayahnya ayah dan ayahnya ibu dan seterusnya ke atas.

b. Anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki atau anak laki-laki

dari anak perempuan, dan seterusnya menurut garis ke bawah.

c. Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki sekandung, seayah, atau

seibu.

d. Saudara laki-laki ayah, baik hubungannya kepada ayah secara

kandung, seayah atau seibu. Termasuk juga saudara laki-laki kakek,

baik kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke

atas.

e. Saudara laki-laki ibu, baik hubungannya kepada ibu secara kandung,

seayah atau seibu. Termasuk juga saudara laki-laki nenek kandung,

seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke atas.

f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki, baik sekandung, seayah atau

seibu. Cucu laki-laki dari saudara laki-laki, baik sekandung, seayah

atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.

8 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Penerjemah: Mu’ammal Hamidy, Surabaya:

PT Bina Ilmu, 2003) 246.

9 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

(43)

g. Anak laki-laki dari saudara perempuan, baik sekandung, seayah atau

seibu. Cucu laki-laki dari saudara perempuan, baik sekandung, seayah

atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.

Kedua: larangan perkawinan karena adanya hubungan perkawinan

yang disebut dengan hubungan mus{a>harah. Perempuan-perempuan yang

tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya karena

hubungan mus}a>harah ada empat, yaitu:10

a. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah (ibu tiri)

Haram hukumnya menikahi perempuan yang telah dikawini

oleh ayah dan perempuan yang telah dikawini oleh kakek hingga ke

atas. Berdasarkan firman Allah SWT:

Artinya:

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (Qs. al-Nisa>’: 22)

Pada masa jahiliyyah diperbolehkan mengawini perempuan

yang telah dikawini oleh ayah, kemudian Islam mengharamkan

mengawini perempuan yang telah dikawini oleh ayah. Keharaman

mengawini perempuan yang telah dikawini oleh ayah adalah sebab

(44)

adanya akad, meskipun wanita tersebut belum pernah dijimak oleh

ayah.11

b. Perempuan yang telah dikawini oleh anak laki-laki (menantu)

Haram hukumnya mengawini istri anak (menantu), istri

anaknya anak laki-laki, istri anaknya anak perempuan dan seterusnya

hingga ke bawah. Keharaman mengawini perempuan yang telah

dikawini oleh anak adalah sebab adanya akad, meskipun perempuan

tersebut belum dijimak oleh anak.12

c. Ibu istri (mertua)

Keharaman mengawini ibu istri adalah sebab adanya akad, baik

istrinya itu sudah disetubuhi atau belum.

d. Anak perempuan dari istri (anak tiri)

Haram hukumnya mengawini anak perempuan istri dengan

syarat istri (ibu anak tiri tersebut) telah digauli.

Bila seorang laki-laki tidak boleh mengawini karena hubungan

mus{a>harah sebagaimana disebutkan di atas, sebaliknya seorang perempuan

tidak boleh kawin dengan laki-laki untuk selamanya disebabkan hubungan

mus}a>harah sebagai berikut13 :

a. Laki-laki yang telah mengawini ibunya atau neneknya

b. Laki-laki yang telah mengawini anak atau cucu perempuannya

11 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat Khitbah,

Nikah dan Thalak, Penerjemah Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2011), 59.

12 Yang dimaksud keharaman mengawini istri anak disini adalah istri dari anak kandung atau

cucu kandung hingga ke bawah, bukan anak adopsi. Oleh karena itu halal hukumnya bagi seorang ayah menikahi bekas wanita yang telah dikawini oleh anak adopsi.

13Abd. Al Qadi>r Manhsu>r, Fiqh Al-Mar’ah Al-Muslimah Min Al-Kita>b Wa Al-Sunnah,

(45)

c. Ayah dari suami atau kakeknya

d. Anak laki-laki dari suaminya atau cucunya

Larangan ini bertujuan untuk menjaga keberadaan keluarga dari

pertentangan, untuk hal-hal yang penting, semisal dengan putusnya

kekerabatan, buruknya pengertian, tersebarnya kecemburuan antara ibu

dengan anak perempuannya atau ayah dengan anak laki-lakinya, dan

sebagainya yang terkadang mengakibatkan pertentangan antara anggota

satu keluarga. Hikmah lain atas larangan pernikahan dengan

kerabat-kerabat dekat, yakni menyebabkan kelemahan fisik anak-anaknya.14

Ketiga: karena hubungan persusuan.15

a. Ibu susuan. Yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita yang

pernah menyusui seorang anak. Ibu susuan dipandang sebagai ibu bagi

anak yang disusui itu sehingga haram melakukan perkawinan.

b. Anak susuan. Termasuk dalam anak susuan itu ialah anak yang

dipersusukan istri, anak yang disusukan anak perempuan, anak yang

dipersusukan istri anak laki-laki, dan seterusnya dalam garis lurus ke

bawah.

c. Saudara sepersusuan. Termasuk dalam saudara sesusuan itu ialah

seseorang yang dilahirkan ibu susuan, yang disusukan ibu susuan, yang

dilahirkan istri ayah susuan, anak yang disusukan istri ayah susuan,

yang disusukan ibu, yang disusukan istri ayah susuan.

14 Ali Yusuf as-Subki, Niz<am Al-Usrah Fi< Al-Islami<... 124.

15Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: Raja

(46)

d. Paman susuan. Yang termasuk paman susuan itu ialah saudara dari

ayah susuan, saudara dari ayahnya ayah susuan.

e. Bibi susuan. Termasuk dari arti bibi susuan itu ialah saudara dari ibu

susuan, saudara dari ibu dari ibu susuan.

f. Anak saudara laki-laki atau perempuan sesusuan. Termasuk dalam arti

anak saudara ini adalah anak dari saudara sesusuan, cucu dari saudara

sesusuan, dan seterusnya ke bawah. Orang-orang yang disusukan oleh

saudara sesusuan, yang disusukan oleh anak saudara sesusuan, yang

disusukan oleh saudara perempuan, yang disusukan oleh istri saudara

laki-laki, dan seterusnya garis lurus ke bawah dalam hubungan nasab

dan susuan.

Hikmah dari larangan perkawinan karena susuan adalah sebab

makan (menyusu) memiliki pengaruh besar dalam pembentukan diri

seseorang, bukan hanya secara fisik, namun juga menyangkut jiwa dan

akhlak. Dengan adanya hubungan kekerabatan karena persusuan

menjadikan tubuh mereka (tulang, daging, dan darahnya) dibentuk dari

satu jenis makanan. Karena itu terlihat ada keserupaan dalam karakter

akhlak mereka.16

3. Larangan yang Berlaku untuk Sementara

Larangan perkawinan yang berlaku untuk sementara atau disebut

mahram mu’aqqat adalah larangan perkawinan dengan seorang wanita

(47)

dalam waktu tertentu saja, karena adanya sebab yang mengharamkan.

Apabila sebab itu hilang maka perkawinan boleh dilaksanakan. Yang

termasuk mahram mu’aqqat adalah sebagai berikut:17

a. Mengumpulkan dua orang perempuan yang masih bersaudara, baik

saudara sekandung, saudara seayah atau saudara seibu maupun saudara

sepersusuan. Kecuali secara bergantian, misalnya: kawin dengan

kakaknya kemudian dicerai, dan ganti mengambil adiknya, atau salah

satu meninggal kemudian mengambil yang satunya lagi sebagai istri.

Ulama fikih menyatakan bahwa mengawini dua orang wanita yang

berhubungan kekerabatan bisa membuat pecahnya hubungan

kekerabatan sehingga menimbulkan permusuhan yang terus menerus

antara kerabat itu.18

b. Wanita yang ada dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain.

Bahkan perempuan yang sedang dalam perkawinan itu dilarang untuk

dilamar, baik dalam ucapan terus terang maupun secara sindiran

meskipun dengan janji akan dikawini setelah diceraikan habis masa

iddahnya. Keharaman itu berlaku selama suaminya masih hidup atau

belum dicerai oleh suaminya dan selesai pula menjalani idahnya ia

boleh dikawini oleh siapa saja.

c. Wanita yang telah ditalak tiga kali tidak halal kawin lagi dengan bekas

suaminya, kecuali telah kawin dengan laki-laki lain dan telah dicerai

17Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty,

1982) 35-37.

18 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

(48)

serta telah habis masa idahnya. Hal ini dinyatakan dalam firman Allah

dalam surat al-Baqarah ayat 230:

.

Artinya:

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.”19

d. Wanita yang sedang menjalani iddah, baik iddah karena kematian

maupun karena talak. Perempuan yang dalam masa idah tidak

diperbolehkan bagi laki-laki selain suaminya untuk meminang atau

menikahinya, sampai habis masa iddahnya.20 Sebagaimana firman

Allah dalam surat al-Baqarah ayat 235 yang berbunyi:

...

Artinya:

Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam

hati...”.21

19Departemen Agama RI, al Quran, 56.

20 M. Azhari Hatim, Pernikahan Islami, Dasar Hukum Hidup Berumah Tangga, (Surabaya:

Risalah Gusti, 1996) 11.

(49)

e. Kawin dengan pezina, ini berlaku baik bagi laki-laki yang baik dengan

wanita pelacur, ataupun antara wanita-wanita yang baik dengan

laki-laki pezina haram hukumnya, kecuali setelah masing-masing

bertaubat.22 Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nu>r ayat 3 yang

berbunyi:

Artinya:

Penzina laki-laki tidak boleh menikah dengan kecuali dengan penzina perempuan, atau dengan perempuan musyrik, dan penzina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan penzina laki atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang

mukmin”.23

f. Perkawinan beda agama. Yang dimaksud dengan beda agama di sini

ialah perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim dan

sebaliknya laki-laki muslim dengan perempuan non muslim.

Keharaman laki-laki muslim kawin dengan perempuan musyrik atau

perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik dinyatakan Allah dalam

surat al-Baqarah ayat 221:

22 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan…, 130.

(50)

Artinya:

Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan-perempuan hamba yang beriman lebih baik dari perempuan musyrik merdeka, walau ia menakjubkanmu. Janganlah kamu mengawinkan anak perempuanmu kepada laki-laki musyrik sebelum ia beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada laki-laki yang musyrik walaupun ia

menarik hatimu”.24

g. Larangan Karena Ihram

Perempuan yang sedang ihram, baik ihram haji atau ihram

umrah, tidak boleh dikawini oleh laki-laki baik laki-laki tersebut

sedang ihram atau tidak. Larangan ini tidak berlaku lagi sesudah lepas

masa ihramnya.25

h. Mengawini lebih dari empat orang wanita.

Seorang laki-laki dalam perkawinan poligami hanya boleh

mengawini empat orang wanita, kecuali salah seorang dari istri yang

empat itu telah diceraikan dan habis masa iddahnya. Dengan begitu

haram hukumnya mengawini perempuan kelima dalam masa tertentu,

yaitu selama seorang dari istri yang empat itu belum diceraikan.26

24 Departemen Agama RI, al Quran, 35.

25 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat…, 113.

26 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

(51)

B. ‘Urf

1. Definisi ‘Urf

Secara etimologi 'urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu yang berarti

kenal. Dari kata ini muncul kata ma’ru>f yang berarti sesuatu yang dikenal.

Pengertian “dikenal” ini lebih dekat pada pengertian diakui dan dianggap

baik oleh orang lain.27

Secara terminologi “Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal

oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik

berupa perkataan maupun perbuatan.28

Kata 'urf sering disamakan dengan kata adat (adat kebiasaan).

Namun bila diperhatikan dari akar katanya, ada perebedaan diantara

kedua kata tersebut. kata adat berasal dari bahasa Arab, akar katanya:

‘a>da, ya‘u>du yang mengandung arti perulangan. Oleh karena itu sesuatu

yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Sedangkan kata ‘urf

pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan

dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama

dikenal dan diakui oleh orang banyak.

Dalam beberapa referensi dijelaskan bahwa adat atau 'urf

mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan. Menurut ‘Abdul Wahha>b

Khalla>f, 'urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan

dikerjakan oleh mereka, baik itu yang berupa perkataan, perbuatan

ataupun sesuatu yang lazimnya untuk ditinggalkan. Hal ini dinamakan

(52)

pula dengan al-‘adah. Sehingga dalam bahasa ahli sh}ara' dijelaskan bahwa

antara 'urf dan adat tidak terdapat perbedaan.29

Berdasarkan uraian di atas bisa dipahami bahwa 'urf dan adat

memiliki makna yang sama yang dapat berupa ucapan/perkataan. Dengan

demikian ‘urf dapat dipahami sebagai sesuatu yang sudah dikenal oleh

manusia yang menjadi kebiasaan atau tradisi baik ucapan, perbuatan atau

pantangan-pantangan.

2. Macam-macam ‘Urf

Dalam pembagiannya, ‘urf dapat ditinjau dari tiga hal, yaitu

pertama dapat ditinjau dari segi obyeknya, kedua dari segi ruang lingkup

penggunaannya dan ketiga dapat di tinjau dari segi keabsahannya.30

a. Ditinjau dari obyeknya.

Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1) ‘Urf Qouli

Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata

atau ucapan. Misalnya kata waladun, secara etimologi berarti anak,

yang digunakan untuk laki-laki atau perempuan.31 Namun dalam

kebiasaaan sehari-hari orang Arab, kata walad itu digunakan hanya

untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan. Sehingga

dalam memahami kata walad kadang digunakan ‘urf qouli tersebut.

29 Ibid

30 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2014), 413.

31 Salah satu contoh penggunaan kata walad dalam al-Quran terdapat dalam surat al-Nisa>’ (4):

(53)

2) ‘Urf Fi’li

Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam bentuk perbuatan.

Miasalnya jual beli barang-barang diwarung antara penjual dan

pembeli, cukup hanya dengan menunjukkkan barang serta serah

terima barang dengan uang tanpa ucapan transaksi (akad) apapun.

Menurut kebiasaan, hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual

beli.

b. Ditinjau dari Segi Ruang Lingkup Penggunaannya.

Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1) ‘Urf ‘A<m

Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi

sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas.32

Misalnya menganggukkan kepala tanda menyetujui dan

menggelengkan kepala tanda menolak. Hal ini berlaku umum di

masyarakat. Jika ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka

dianggap aneh atau ganjil.

2) ’Urf Kha>s}

Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada

suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja.33 Misalnya

adat masyarakat Minangkabau menarik garis keturunan melalui

32Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2…, 415.

(54)

perempuan (matrilineal) dan adat masyarakat Batak menarik garis

keturunan melalui laki-laki (patrilineal).

c. Ditinjau dari Segi Keabsahannya

Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1) ’Urf S{ah{i<h{

Yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia

yang tidak berlawanan dengan dalil syara’, di samping tidak

menghalalkan yang haram dan tidak menggugurkan kewajiban.34

Misalnya kebiasaan jual beli dengan cara pemesanan, yaitu pihak

pemesan memberi uang muka terlebih dahulu atas barang yang

dipesannya. Demikian juga dalam mahar perkawinan apakah di

bayar kontan atau hutang, serta terjalin pengertian tentang istri

yang tidak diperkenankan menyerahkan dirinya kepada suami,

melainkan jika mahar telah dibayar.

Seorang mujtahid harus memperhatikan ‘urf sahih dalam

membentuk suatu produk hukum. Karena adat dan kebiasaan

adalah bagian dari kebutuhan dan sesuai dengan kemaslahatan.35

Karenanya terdapat kaidah yang menyatakan bahwa:

Artinya:

adat kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai pertimbangan hukum.

34 Abdul Wahhab Khalla@f, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Bandung: Risalah, 1985), 132.

35Abdul Ghofur Anshori, Zulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di

(55)

2) ’Urf Fa>sid

Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi

bertentangan dengan shara’, menghalalkan yang haram, atau

membatalkan kewajiban.36 Misalnya kebiasaan berciuman antara

laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam acara tertentu.

Para Ulama sepakat, bahwasanya ‘urf fa<sid tidak dapat

dijadikan landasan hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi

hukum.37 Oleh karena itu, untuk mengingatkan masyarakat dan

pengalaman hukum Islam, sebaiknya dilakukan dengan cara yang

ma’ruf pada masyarakat, untuk mengubah adat kebiasaan yang

bertentangan dengan ajaran Islam tersebut, dan menggantinya

dengan adat kebiasaan yang sesuai dengan ajaran Islam.

3. Syarat-syarat ‘Urf

‘Urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil untuk

menetapkan hukum shara’ apabila telah memenuhi sejumlah persyaratan

berikut. Syarat tersebut adalah:38

a. 'Urf yang dilaksanakan itu harus masuk pada 'urf yang s}ah}i>h} dalam

arti tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah. Apabila

bertentangan dengan ketentuan nas} atau bertentangan dengan

36Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2…, 416

37 Abdul Ghofur Anshori, Zulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di

Indonesia..., 187.

(56)

prinsip shara’, maka tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan

hukum dan ter

Referensi

Dokumen terkait

(2) Pemahaman ibu hamil di Desa Kenongo Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo mengenai stimulasi kecerdasan spiritual cukup baik, mereka telah menggunakan berbagai

Maka peneliti bertujuan untuk mendiskripsikan secara jelas terkait masalah pelaksanaan gadai sawah di Desa Dadapayam Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang, untuk

Sebagai umat mayoritas, umat Islam Indonesia pada umumnya, dan masyarakat desa Karangjati Sampang pada khususnya, maka penulis mempelajari dan memahami tentang pelaksanaan

Maka peneliti bertujuan untuk mendiskripsikan secara jelas terkait masalah pelaksanaan gadai sawah di Desa Dadapayam Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang, untuk

Lokasi dalam penelitian ini mengambil fokus pada upacara tradisi Meron dalam masyarakat desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati sebagai media dari

Penelitian ini merupakan hasil penelitian lapangan (field research) di Desa Panjunan Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo. Metode pengumpulan data yang digunakan penelitian

Dalam hal ini perlunya pemaparan secara detail mengenai kasus yang akan diangkat sebagai berikut, Sesuai yang terjadi di Desa Keboguyang Kecamatan Jabon Kabupaten Sidoarjo ini,

Penelitian ini dilakukan di Desa Banjar Dewa, Kecamatan Banjar Agung, Kabupaten Tulang Bawang Mayoritas masyarakat Desa Banjar Dewa adalah beragama Islam tetapi tidak