TRADISI LARANGAN MENIKAH PADA HARI
GEBLAK
ORANG TUA DI DESA DURUNG BEDUG
KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Oleh: M. Isomuddin
C51211140
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal al-Syakhsiyyah) Surabaya
TRADISI LARANGAN MENIKAH PADA HARI
GEBLAK
ORANG TUA DI DESA DURUNG BEDUG
KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-I) Dalam Bidang Hukum Islam
Oleh:
M. ISOMUDDIN NIM: C51211140
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal al-Syakhsiyyah)
ABSTRAK
Skripsi dengan judul “Tradisi Larangan Menikah pada Hari Geblak Orang Tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo dalam
Perspektif Hukum Islam” merupakan penelitian yang dilakukan di Desa Durung
Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: 1. Mengapa masyarakat Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo melarang pernikahan pada hari geblak orang tua?, 2. Bagaimana perspektif ‘Urf terhadap adanya tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo?
Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang menggunakan teknik wawancara sebagai metode pengumpulan data. Jenis wawancara yang diterapkan adalah wawancara tidak terstruktur yang hanya memuat pertanyaan-pertanyaan pokok permasalahan yang ditanyakan pada tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat yang melakukan tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua. Data yang terkumpul lalu dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan pola pikir deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, masih ditemukan adanya kepercayaan terhadap hari yang kurang baik untuk melakukan acara pernikahan yaitu yang disebut sebagai hari geblak orang tua. Tradisi ini diyakini oleh masyarakat Desa Durung Bedug secara turun temurun dan masih dipraktekkan hingga sekarang. Kedua, ketentuan-ketentuan tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua adalah tidak sesuai dengan ajaran Islam karena dalam nas} tidak ada ketentuan tersebut. Hukum Islam hanya menetapkan wanita-wanita yang haram dinikahi sesuai dengan yang tercantum dalam surat an-Nisa> ayat 23, sehingga tradisi ini dapat dikualifikasikan pada ‘Urf fa>sid.
Dari kesimpulan di atas disarankan kepada masyarakat Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo hendaknya lebih memahami lagi masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum perkawinan Islam agar tidak menganggap bahwa larangan menikah pada hari geblak orang tua adalah hal yang wajib, melainkan hanya sebagai anjuran saja.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
MOTTO ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 10
C. Rumusan Masalah ... 11
D. Kajian Pustaka ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 15
F. Kegunaan Penelitian ... 15
G. Definisi Operasional ... 16
H. Metode Penelitian ... 17
I. Sistematika Pembahasan ... 23
BAB II LARANGAN PERKAWINAN DALAM ISLAM DAN ‘URF 1. Larangan Perkawinan dalam Islam ... 25
1. Definisi Larangan Perkawinan ... 25
2. Larangan yang Berlaku untuk Selamanya ... 27
3. Larangan yang Berlaku untuk Sementara ... 33
2. ‘Urf ... 38
2. Macam-macam ‘Urf ... 39
3. Syarat-syarat ‘Urf ... 42
4. Kedudukan ‘Urf Sebagai Dalil Shara’ ... 43
BAB III GAMBARAN UMUM DESA DURUNG BEDUG DAN TRADISI LARANGAN MENIKAH PADA HARI GEBLAK ORANG TUA DI DESA DURUNG BEDUG A. Gambaran Umum Desa Durung Bedug ... 46
1. Letak Geografis Desa Durung Bedug ... 46
2. Keadaan Penduduk Desa Durung Bedug ... 47
a. Jumlah Penduduk ... 47
b. Keadaan Pendidikan ... 47
c. Keadaan Keagamaan ... 48
d. Keadaan Ekonomi ... 49
e. Keadaan Sosial Budaya ... 49
B. Deskripsi Larangan Menikah pada Hari Geblak Orang Tua ... 50
1. Pengertian ... 50
2. Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Tradisi Larangan Menikah pada Hari Geblak Orang Tua ... 55
3. Akibat Terjadinya Larangan Menikah pada Hari Geblak Orang Tua ... 57
BAB IV ANALISIS ‘URF TERHADAP TRADISI LARANGAN MENIKAH PADA HARI GEBLAK ORANG TUA DI DESA DURUNG BEDUG KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO A. Analisis Terhadap Latar Belakang Tradisi Larangan Menikah pada Hari Geblak Orang tua di Desa durung Bedug ... 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 72 B. Saran ... 72
DAFTAR TRANSLITERASI
Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa arab ditulis dengan huruf latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
A. Konsonan
ARAB LATIN
Kons Nama Kons Nama
ا
Alif Tidak dilambangkanBa B Be
Ta T Te
Sa Th Te dan Ha
ج
Jim J JeHa h{ Ha (dengan titik di bawah)
خ
Kha Kh Ka dan HaDal D De
Zal Dh De dan Ha
ر
Ra R ErZai Z Zet
س
Sin S Esش
Syin Sh Es dan Haص
Sad s} Es (dengan titih di bawah)ض
Dad d} De (dengan titik di bawah)Ta t} Te (dengan titik di bawah)
ظ
Za z} Zet (dengan titik di bawah)ع
Ain ‘ Koma terbalik (di atas)Gain Gh Ge dan Ha
ف
Fa F Efق
Qaf Q Kiك
Kaf K Kaل
Lam L Elم
Mim M EmNun N En
و
Wau W Weه
Ha H Haء
Hamzah ’ Apostrof
Sumber : Kate L.Turabian. A Manual of Writers of Term Papers, Disertations (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1987).
B. Vocal
1. Tunggal atau monoftong
Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia
Fath}ah A
Kasrah I
D}ammah U
Catatan : Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika hamzah berh}arakat sukun atau didahului oleh huruf yang berh}arakat sukun. Contoh: iqtid}a>’ (ء قا)
2. Vocal rangkap atau diftong
Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia Ket.
ْيـــ Fath}ah dan Ya’ ay a dan y
ْوــــ Fath}ah dan Wawu aw a dan w
Contoh : Bayna ( يب)
Mawd}u’ (عوضوم)
3. Vocal Panjang (mad)
Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia Ket.
ـــ
Fath}ah dan Alif a@ a dan garis di atasيـــ Kasrah dan Ya’ i@ i dan garis di atas
وـــ D}ammah dan Wawu u@ u dan garis di atas
Contoh : al-jama@’ah ( ع لا) takhyi@r ( يي ت) yadu@ru (رو ي)
C. Syaddah atau tasydi>d
Dilambangkan dengan tanda syaddah atau tasydid, transliterasinya dalam tulisan latin dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang bertanda syaddah itu, misalnya Muh}ammad, Zainuddin.
D. Ta@’ Marbu@t}ah
Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua :
2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h. Contoh : shari>‘at al-Isla>m (ماساا ي ش) :
shari>‘ah isla>mi>yah ( يماسا ي ش)
E. Penulisan Huruf Kapital
MOTTO
َ تَ رَ ك
َ ت
ََ ف
َ يَ ك
َ مََ أ
َ مَ رَ ي
َ نَ
َ لَ ن
ََ ت
َ ض
َّلَ و
َ مَا
َ تَا
َ م
َّس
َ كَ
تَ م
ََ ب
َ ه
َ م
َ كَا
َ ت
َ با
َ
َ لا
ََ و
َ
َ سَّن
َ نَة
َ بَّيَ ه
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan ibadah yang mulia, al Quran menyebutnya
sebagai mi>th>aqan ghali>z}an atau perjanjian yang kuat. Karena itulah
perkawinan dilaksanakan dengan sempurna dan mengikuti peraturan yang
telah ditetapkan Allah SWT dan RasulNya agar tercapai rumah tangga yang
tenang, penuh cinta dan kasih sayang.1
Allah mensyariatkan perkawinan dan dijadikan dasar yang kuat bagi
kehidupan manusia karena adanya beberapa nilai yang tinggi dan beberapa
tujuan utama yang baik bagi manusia, makhluk yang dimuliakan Allah SWT.
Untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan menjauh dari ketimpangan dan
penyimpangan, Allah telah membekali syariat dan hukum-hukum Islam agar
dilaksanakan manusia dengan baik.2
Dalam hukum Islam, hubungan antar manusia untuk berkembang biak
diatur dalam sebuah ikatan perkawinan. Adanya ketentuan tentang
perkawinan ini dimaksudkan agar tujuan dari sebuah perkawinan untuk
membentuk keluarga yang sejahtera tercapai. Tujuan perkawinan dalam Islam
tidak hanya sekedar pada batas pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan
1 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat Khitbah,
Nikah dan Thalak, Penerjemah Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2011), 7.
2
nafsu seksual semata, akan tetapi memiliki tujuan-tujuan penting yang
berkaitan dengan sosial, psikologi dan agama. Diantara tujuan perkawinan
antara lain yaitu:
1. Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji.
Perkawinan merupakan cara alami yang tepat dan sesuai untuk
menyalurkan dan memuaskan naluri sex. Bagi manusia naluri tersebut
sangat kuat dan keras serta menuntut adanya penyaluran yang baik. Jika
tidak, dapat mengakibatkan kegoncangan dalam kehidupannya. Dengan
melaksanakan perkawinan juga dapat melindungi pandangan dari melihat
hal-hal yang terlarang serta perasaan akan lebih tenang terhadap perkara
yang dihalalkan Allah.3 Sebagaimana petunjuk ayat al-Qur’an surat
ar-Ru>m ayat 21.
Artinya:
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia ciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.4 (Q.S.ar-Ru>m ayat 21)
2. Sebagai perisai diri manusia
Nikah dapat menjaga dan menjauhkan diri dari
pelanggaran-pelanggaran yang diharamkan agama, semisal perzinahan. Karena nikah
3 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, juz 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 2008), 456.
4 Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan terjemahnya, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2006),
3
memperbolehkan masing-masing pasangan melakukan hajat biologisnya
secara halal. Pernikahan tidak membahayakan bagi umat, tidak
menimbulkan kerusakan, tidak menyebabkan tersebarnya kefasikan dan
tidak menjerumuskan para pemuda dalam kebebasan.5
3. Memelihara keturunan
Perkawinan merupakan cara terbaik untuk memproduksi anak,
memperbanyak keturunan, melestarikan kehidupan manusia serta
menjaga nasab yang sangat diperhatikan dalam Islam. Rasul saw.
bersabda:
Artinya:
Dari Anas bin Malik Rad}iyalla>hu ‘Anhu, ia berkata: Rasulullah saw memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang membujang. Beliau bersabda: Kawinilah wanita pecinta dan yang subur, agar aku dapat membanggakan jumlahmu yang banyak di hadapan para Nabi di hari kiamat nanti. (HR. Ahmad dan disahihkan Ibnu Hibban. Hadis ini mempunyai sh<ahid (penguat) menurut riwayat Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Hibban dari Hadis Ma’qil Ibnu Yasar.6
Banyaknya keturunan mempunyai banyak kemaslahatan baik yang
bersifat umum maupun khusus. Sehingga ada beberapa bangsa yang ingin
5 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat Khitbah,
Nikah dan Thalak..., 40.
6
Muhammad bin Ismail Al Amir Ash Shan’ani, Subulus Salam, Penerjemah Muhammad Isnan
4
memperbanyak jumlah penduduknya dan memotivasinya dengan
memberikan bantuan-bantuan biaya bagi yang anaknya banyak.7
4. Menyadari tanggung jawab berumah tangga dan merawat anak akan
membangkitkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat
bakat dan pembawaan seseorang. Karena dorongan tanggung jawab dan
beban kewajiban, maka ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan
yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan munculnya usaha untuk
mengeksplorasi kekayaan alam yang dikaruniai Allah untuk kepentingan
kehidupan manusia.8
Dari keterangan diatas jelas bahwa tujuan perkawinan dalam syariat
Islam sangat tinggi, karenanya Islam menganjurkan menikah dan melarang
untuk membujang. Bahkan Rasulullah s.a.w. mencela orang-orang yang
berjanji akan puasa setiap hari, akan bangun dan beribadat setiap malam dan
tidak kawin-kawin.9
Walaupun demikian, disamping adanya anjuran perkawinan tersebut,
hukum Islam juga mengatur mengenai larangan yang tidak boleh dilanggar
oleh setiap muslim yang akan melakukan perkawinan. Larangan tersebut
dikenal dengan istilah larangan perkawinan.
Larangan perkawinan yang dimaksud dalam bahasan ini adalah
orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan. Perempuan–perempuan mana
saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki, atau sebaliknya
7 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah..., 456. 8 Ibid., 457.
9 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat Khitbah,
5
laki mana saja yang tidak boleh mengawini seorang perempuan. Firman
Allah dalam surat an-Nisa>’ ayat 22-23, yaitu:
Artinya:
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah. Seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri; tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.10 (Q.S. an-Nisa>’ ayat 22-23)
Secara garis besar, dalam kedua ayat di atas tertulis bahwa larangan
kawin antara seorang pria dan seorang wanita dalam shara’ dibagi dua, yaitu
larangan yang bersifat permanen (berlaku untuk selamanya) dan larangan
yang bersifat sementara (dibatasi oleh waktu).11
10 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya..., 82.
6
Larangan perkawinan yang bersifat permanen atau yang berlaku
haram untuk selamanya dalam arti sampai kapan pun dan dalam keadaan apa
pun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan perkawinan. Larangan
dalam bentuk ini disebut mahram mu’abbad. Mahram mu’abbad terbagi
menjadi tiga kelompok yaitu:12
a. Disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan (nasab)
b. Disebabkan oleh adanya hubungan perkawinan (mus}a>harah).
c. Disebabkan oleh hubungan persususan (rad}a>‘ah).
Sedangkan larangan perkawinan yang berlaku untuk sementara waktu
adalah larangan itu berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu, suatu ketika
bila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah maka tidak lagi menjadi
haram, yang disebut mahram mu’aqqat. Mahram mu’aqqat terbagi menjadi
beberapa macam yaitu:13
a. Mengumpulkan dua orang perempuan yang masih bersaudara
b. Wanita yang sedang menjalani iddah
c. Wanita yang masih dalam perkawinan dengan orang lain
d. Wanita yang sudah ditalak tiga
e. Mengawini lebih dari empat orang wanita
f. Larangan karena sedang ihram
g. Larangan beda agama
h. Larangan karena perzinahan
12 Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat, Penerjemah Mohammad Kholison, (Surabaya: CV.
Imtiyaz, 2013), 51.
7
Berbeda dengan paparan larangan kawin dalam Islam di atas, dalam
masyarakat masih terdapat budaya atau kepercayaan terhadap larangan
menikah pada hari geblak orang tua, yaitu larangan yang ditujukan kepada
para calon pengantin yang akan melangsungkan upacara pernikahan yang
waktu harinya bertepatan dengan hari kematian orang tuanya. Terhadap
kepercayaan tersebut apabila dilanggar, yaitu dengan tetap melangsungkan
pernikahan pada hari geblak orang tua, diyakini oleh masyarakat sekitar
bahwa orang ataupun keluarga yang melangsungkan pernikahan tersebut
akan terkena sengkolo (petaka).
Dalam pandangan masyarakat Desa Durung Bedug, hari geblak orang
tua adalah hari apes atau hari yang kurang baik bagi seseorang untuk
melakukan pernikahan, maka pasangan yang melaksanakannya akan terjadi
petaka, yaitu kehidupan perkawinannya akan banyak cobaan baik adanya
perpecahan dalam rumah tangga mereka yang tiada henti dan akan berakhir
pada perceraian dan sebagainya, yang menimbulkan dampak yang kurang
baik pada keturunan keturunan mereka kelak.14
Keyakinan masyarakat Desa Durung Bedug yang melarang
menikahkan anggota keluarganya ketika hari geblak orang tuanya didasarkan
kepada adanya mitos dan kepercayaan yang apabila dilanggar akan
menimbulkan dampak buruk bagi pelakunya. Sehingga apabila ada
masyarakat yang melanggar, dalam arti tetap ingin melangsungkan
8
pernikahan pada hari terlarang tersebut, maka terdapat sanksi sosial berupa
teguran atau bahkan cemoohan dari masyarakat.15
Kajian-kajian keIslaman yang berhubungan dengan adat biasanya
selalu dihubungkan dengan‘Urf. Kata ‘Urf secara etimologi berarti sesuatu
yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Kata ‘Urf sering
disamakan dengan kata adat, kata adat berasal dari bahasa Arab. Akar
katanya: ‘a>da, ya‘u>du yang mengandung arti perulangan. Oleh karena itu
sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Kata ‘Urf
pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan
dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama
dikenal dan diakui oleh orang banyak.16
Sedangkan secara terminologi, ‘Urf diartikan sebagai sesuatu yang
menjadi kebiasaan mayoritas satu masyarakat karena sudah dikenal dan
menyatu dengan kehidupan mereka, baik berupa perkataan maupun
perbuatan.17‘Urf terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1. ‘Urf s}ah}ih}, yaitu kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nas} (ayat atau hadis), tidak menghilangkan
kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa bahaya kepada mereka.
Misalnya dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah
kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai maskawin.18
15 Imam Sulthoni, Wawancara, Sidoarjo, 20 Mei 2015.
9
‘Urf s}>ah}ih} harus dipelihara oleh seorang mujtahid di dalam menciptakan
hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam memutuskan perkara.
Karena apa yang telah dibiasakan dan dijalankan oleh orang banyak
adalah menjadi kebutuhan dan menjadi maslahat yang diperlukannya.
Atas dasar itulah para ulama membuat kaidah “adat kebiasaan itu bisa
menjadi hukum”.
2. ‘Urf fa>sid, yaitu adat kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat,
meskipun merata pelaksanaannya, namun berlawanan dengan ketentuan
syariat karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau
membatalkan yang wajib. Misalnya berjudi untuk merayakan suatu
peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman keras, membunuh anak
perempuan yang baru lahir dan sebagainya.19 ‘Urf fa>sid tidak harus
diperhatikan, karena memeliharanya berarti menantang atau
membatalkan hukum shara’.
Pemaparan dalil-dalil di atas menjadi pemicu munculnya pertanyaan
yang mendasar, yaitu apakah larangan menikah pada hari geblak orang tua
yang berkembang dan dipraktekan di Desa Durung Bedug tersebut termasuk
ke dalam ‘Urf s}>ah}ih} atau termasuk ke dalam ‘Urf fa>sid, apakah larangan ini
telah memenuhi syarat untuk dapat dijadikan dalil dalam penetapan hukum,
sehingga dengan demikian diharapkan akan terlihat bagaimana kedudukan
larangan menikah pada hari geblak orang tua dilihat dalam Hukum Islam.
10
Fenomena yang ada di tengah masyarakat tersebut, penyusun tertarik
untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam tentang kepercayaan masyarakat
Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo mengenai adanya
larangan menikah pada hari geblak orang tua. Untuk itu penulis mengambil
judul Tradisi Larangan Menikah pada Hari Geblak Orang Tua Di Desa
Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo dalam Perspektif
Hukum Islam.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat
ditulis identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Deskripsi tradisi larangan nikah pada hari geblak orang tua di Desa
Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
2. Faktor yang melatar belakangi adanya tradisi larangan nikah pada hari
geblak orang tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten
Sidoarjo.
3. Keberlakuan tradisi tradisi larangan nikah pada hari geblak orang tua di
Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
4. Analisis ‘Urf terhadap tradisi larangan nikah pada hari geblak tersebut.
Melihat luasnya pembahasan tentang tradisi larangan nikah dalam
identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalah dalam
11
1. Faktor yang melatar belakangi terjadinya tradisi larangan menikah pada
hari geblak orang tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi
Kabupaten Sidoarjo.
2. Analisis ‘Urf terhadap tradisi larangan menikah pada hari geblak orang
tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
masalah pokok dalam penelitian ini, yaitu:
1. Mengapa masyarakat Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten
Sidoarjo melarang pernikahan pada hari geblak orang tua?
2. Bagaimana tradisi larangan nikah pada hari geblak orang tua di Desa
Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo dalam perspektif
‘Urf?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka bertujuan untuk menarik perbedaan mendasar antara
penelitian yang dilakukan, dengan kajian atau penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya. Setelah melakukan penelusuran, ada beberapa buku
maupun skripsi yang membahas tentang larangan perkawinan, diantaranya
12
1. Buku dengan judul Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan
Upacara Adatnya karya Hilman Hadi Kusuma yang memberikan
gambaran terhadap hukum perkawinan adat termasuk tentang larangan
perkawinan menurut hukum adat. Buku ini menjelaskan larangan
perkawinan menurut hukum adat ada dua, yaitu larangan karena
hubungan kekerabatan dan karena perbedaan kedudukan.20
2. Skripsi yang disusun oleh Ita Rahmania Hidayati yang berjudul Analisis
Hukum Islam terhadap Larangan Menikah Lusan Besan di Desa
Bondrang Kecamatan Sawoo Kabupaten Ponorogo. Skripsi ini membahas
tentang adat larangan menikah pada masyarakat Desa Bondrang
Kecamatan Sawoo Kabupaten Ponorogo, yang melarang adanya
pernikahan apabila seseorang menikahkan anaknya untuk ketiga kali dan
calon besan untuk pertama kali dan sebaliknya.21
3. Skripsi yang disusun oleh Nur Angraini dengan judul Larangan
Perkawinan Nglangkahi di Desa Karang Duren Kecamatan Pakisaji
Kabupaten Malang. Skripsi ini membahas adat perkawinan pada
masyarakat Karang Duren Kabupaten Malang, apabila seorang adik
menikah dengan melangkahi kakaknya, dalam hal ini terdapat larangan.
Akan tetapi, apabila perkawinan tersebut tetap dilakukan maka sang adik
selain memberi sesuatu dalam bentuk barang atau uang, sang adik juga
20 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), 70.
21Ita Rahmania Hidayati, “Analisis Hukum Islam Terhadap Larangan Menikah Lusan Besan di
Desa Bondrang Kecamatan Sawoo Kabupaten Ponorogo” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel,
13
harus melakukan beberapa tahapan upacara adat (upacara langkahan)
sebagai syarat untuk melangkahi kakaknya yang bertujuan sebagai bentuk
rasa hormat dan permohonan maaf kepada yang lebih tua dan sebagai
langkahan untuk kakaknya.22
4. Skripsi yang disusun oleh Farida Armiranti yang berjudul Tinjauan
Hukum Islam terhadap Tradisi Larangan Nikah di Desa Taluk Selong
Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan.
Skripsi ini membahas tentang adanya larangan untuk menikah dengan
laki-laki atau perempuan yang mengikuti mazhab selain mazhab Syafi’i.23
5. Skripsi yang disusun oleh Fandy putra yang berjudul Tinjauan hukum
Islam Terhadap larangan pernikahan antara Desa Kedensari dengan Desa
Ketapang Kecamatan Tanggunglangin Kabupaten Sidoarjo. Skripsi ini
membahas larangan perkawinan antara masyarakat Desa Kedensari
dengan masyarakat Desa Ketapang. Hal ini dikarenakan kedua Desa
tersebut mempunyai dayang yang sama atau masih saudara.24
6. Skripsi yang disusun oleh Dwi Agustin Miftahul Jannah yang berjudul
Pandangan Ulama’ Desa Sukomalo Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan Terhadap Larangan Pernikahan Antar Dusun Ngulon Ngalor.
Skripsi ini membahas larangan perkawinan penduduk yang tinggal di
22Nur Anggraini, “Larangan Perkawinan Nglangkahi di Desa Karang Duren Kecamatan Pakisaji
Kabupaten Malang” (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2010).
23Farida Armiranti, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Larangan Nikah di Desa Teluk
Selong Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar Kalimantan” (Skripsi--IAIN Sunan
Ampel, Surabaya, 2011).
24
Fandy putra, ”Tinjauan hukum Islam Terhadap larangan pernikahan antara Desa Kedensari
dengan Desa Ketapang Kecamatan Tanggunglangin Kabupaten Sidoarjo” (Skripsi--IAIN Sunan
14
antara dusun Barat dan Utara untuk wilayah desa itu. Apabila ada yang
melanggar dari aturan tersebut maka mereka berkeyakinan akan ada pihak
yang dikalahkan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan dalam segi
rezeki ataupun kematian.25
7. Skripsi yang disusun oleh Ahmad Khoirul Huda yang berjudul Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Larangan Nikah Karena Mentelu di Desa
Sumberejo Kecamatan Lamongan Kabupaten Lamongan Jawa Timur.
Skripsi ini membahas larangan perkawinan yang dilakukan oleh seorang
laki-laki dan perempuan jika antara keduanya terdapat hubungan mentelu
yaitu hubungan kekerabatan antara seseorang dengan yang lainnya karena
status dari buyut mereka adalah saudara kandung.26
Secara umum, pembahasan dalam skripsi yang telah disebutkan di
atas menyangkut masalah larangan perkawinan yang terjadi dalam masyarakat
tertentu. Dalam penelitian ini, penulis juga akan membahas masalah adat
larangan perkawinan, namun penelitian ini memiliki beberapa perbedaan
dengan penelitian sebelumnya, antara lain:
1. Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Durung Bedug Kecaamatan Candi
Kabupaten Sidoarjo. Daerah ini merupakan daerah yang masih memegang
kuat tradisi larangan perkawinan pada hari geblak orang tua.
25
Dwi Agustin Miftahul Jannah, “Pandangan Ulama’ Desa Sukomalo Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan Terhadap Larangan Pernikahan Antar Dusun Ngulon Ngalor” (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014).
26
15
2. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis tradisi larangan menikah pada
hari geblak orang tua di masyarakat Desa Durung Bedug dengan aturan
dalam hukum Islam yang dispesifikkan dengan menggunakan metode ‘Urf.
3. Belum ada kajian ‘Urf yang membahas tentang tradisi larangan menikah
pada hari geblak orang tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi
Kabupaten Sidoarjo.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
1. Mengetahui latar belakang adanya tradisi larangan nikah pada hari geblak
orang tua di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
2. Menganalisis tradisi larangan nikah pada hari geblak orang tua di Desa
Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo dalam perspektif
‘Urf.
F. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat,
sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal di bawah ini:
1. Aspek Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana menambah wawasan
pengetahuan tentang tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua
di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
16
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan dijadikan
sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat Desa Durung Bedug
Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo dalam pelaksanaan perkawinan
terutama mengenai adanya tradisi larangan menikah pada hari geblak
orang tua.
G. Definisi Operasional
Agar terhindar dari kesalah pahaman dalam menginterpretasikan arti
dan maksud dalam judul ini, maka perlu adanya definisi operasional. Definisi
operasional adalah deretan pengertian yang dipaparkan secara gamblang
untuk memudahkan pemahaman dalam skripsi ini, yaitu:
1. Tradisi
Tradisi adalah kebiasaan turun temurun yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Durung Bedug mengenai larangan nikah. Masyarakat
Desa Durung Bedug meyakini hari geblak orang tua sebagai hari apes atau
hari yang kurang baik bagi anak-anaknya untuk melakukan pernikahan.27
2. Larangan menikah pada hari geblak
Larangan nikah adalah suatu larangan bagi masyarakat Desa
Durung Bedug untuk menikah pada hari geblak. Hari geblak sendiri dalam
adat Jawa berarti hari meninggalnya seseorang. Keyakinan para sesepuh
Desa Durung Bedug tentang hari geblak orang tua adalah hari
17
meninggalnya orang tua dalam hitungan weton atau hari Jawa, yaitu
Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi.28
3. Hukum Islam
Hukum Islam adalah peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan
yang berkenan dengan kehidupan berdasarkan Al-quran dan As-sunnah
atau disebut juga dengan hukum syara’.29 Hukum Islam dalam penelitian
ini adalah hukum Islam yang dispesifikkan dengan menggunakan metode
‘Urf sebagai dalil dalam menetapkan hukumnya.
Berdasarkan definisi operasional yang telah dipaparkan di atas,
maka penelitian dengan judul Tradisi Larangan Menikah pada Hari Geblak
Orang Tua Di Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo
dalam Perspektif Hukum Islam ini terbatas pada pembahasan mengenai
latar belakang adanya tradisi larangan nikah di Desa Durung Bedug, yang
kemudian akan dianalisis dengan menggunakan metode ‘Urf.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field
Research). Oleh karena itu, data yang dikumpulkan merupakan data yang
diperoleh dari lapangan sebagai subyek penelitian. Agar penulisan skripsi ini
dapat tersusun dengan benar, maka penulis memandang perlu untuk
mengemukakan metode penulisan skripsi yaitu sebagai berikut:
28 Ibid.
18
1. Data yang Dihimpun
Data adalah bentuk jamak dari kata datum (Inggris). Data
merupakan keterangan-keterangan dari hasil pencatatan peneliti baik yang
berupa fakta maupun angka yang dapat dijadikan sebagai bahan untuk
menyusun informasi.30
Agar dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa dipertanggung
jawabkan dan relevan dengan permasalahan yang diangkat, maka penulis
membutuhkan data sebagai berikut:
a. Data tentang tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua di
Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
2. Sumber Data
Dilihat dari sumber pengambilannya, data terdiri atas data primer
dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan langsung di lapangan oleh peneliti. Sedangkan data sekunder
adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti dari
sumber-sumber yang telah ada baik dari perpustakaan atau dari laporan-laporan
peneliti terdahulu.31
Berdasarkan data yang akan dihimpun di atas, maka yang menjadi
sumber data dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber Data Primer
19
Sumber data primer di sini adalah sumber data yang diperoleh
secara langsung dari subyek penelitian. Dalam penelitian ini sumber
data primer adalah:
1) Pelaku pernikahan geblak orang tua di Desa Durung Bedug
Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
2) Tokoh adat dan tokoh agama di Desa Desa Durung Bedug
Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung
memberikan data kepada peneliti, seperti literatur-literatur mengenai
perkawinan, hukum perkawinan adat dan ‘Urf. Antara lain:
1) Fiqh Munakahat karya Abdul Rahman Ghazali
2) Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sa>biq
3) Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan karya Amir Syarifuddin
4) Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara
Adatnya karya H. Hilman Kusuma
5) Hukum Adat di Indonesia karya Soerjono Soekanto
6) ‘Ilmu Ushu>l al-Fiqh karya ‘Abdul Wahha>b Khalla>f
7) Ushul Fiqh 2 karya Amir Syarifuddin
8) Ushul Fiqh I karya Nasrun Haroen
20
Teknik pengumpulan data merupakan proses yang sangat
menentukan baik tidaknya sebuah penelitian. Maka kegiatan
pengumpulan data harus dirancang dengan baik dan sistematis, agar data
yang dikumpulkan sesuai dengan permasalahan penelitian. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Observasi
Yaitu proses di mana peneliti atau pengamat melihat langsung
obyek penelitian.32 Sebagaiman yang diuraikan dalam bukunya,
Amiruddin memberikan penjelasan bahwa pengamatan dalam
penelitian harus dilakukan dengan memenuhi persyaratan persyaratan
tertentu (validitas dan reabilitas), sehingga hasil pengamatan sesuai
dengan kenyataan yang menjadi sasaran pengamatan. Metode
observasi ini bertujuan untuk menjawab masalah penelitian yang
dapat dilakukan dengan pengamatan secara sistematis terhadap objek
yang diteliti.33
Observasi ini juga dilakukan untuk mengumpullkan data yang
lebih mendekatkan peneliti pada lokasi penelitian, sekaligus
memberikan deskripsi secara lebih lengkap terkait dengan tradisi
larangan menikah pada hari geblak orang tua di Desa Durung Bedug
dan peneliti melakukan pengamatan terhadap tokoh-tokoh
masyarakat, dan orang-orang yang melakukan pernikahan pada hari
32
Consuelo G Sevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: UI Perss, 1993), 198.
33
21
geblak orang tua, yang selanjutnya akan dijadikan sampel untuk
diwawancarai.
a. Wawancara
Menurut Mardalis wawancara adalah teknik pengumpulan data
yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan
melalui percakapan dengan orang yang dapat memberikan keterangan
pada si peneliti.34 Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu
Pewawancara (Interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu. Apabila wawancara bertujuan untuk mendapat
keterangan atau untuk keperluan informasi maka individu yang
menjadi sasaran wawancara adalah informan. Pada wawancara ini
yang penting adalah memilih orang-orang yang tepat dan memiliki
pengetahuan tentang hal-hal yang ingin kita ketahui. 35
Di daerah pedesaan umumnya yang menjadi informan adalah
pamong desa atau mereka yang mempunyai kedudukan formal.
Wawancara dilakukan dengan cara bersilaturahmi ke rumah tokoh
adat, tokoh agama dan masyarakat yang meyakini adanya tradisi
larangan menikah pada hari geblak orang tua di Desa Durung Bedug
Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
34 Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarata: PT Bumi Aksara, 1995),
64.
22
Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang
memuat garis besar yang akan dijelaskan. Pertanyaaan yang diajukan
pewawancara bersifat fleksibel tetapi tidak menyimpang dari tujuan
wawancara yang telah ditetapkan.36
Dalam penelitian ini penulis mengadakan wawancara langsung
terhadap 5 tokoh masyarakat atau sesepuh Desa Durung Bedug yang
terdiri dari Imam Sulthoni (tokoh agama), Sunainiah (tokoh adat),
Rudi Wahyu (pemuda), Masrukhin (tokoh masyarakat), dan
Muhammad Aris, yang semuanya itu adalah orang-orang yang
memiliki pengetahuan tentang tradisi larangan menikah pada hari
geblak orang tua di Desa Durung Bedug.
4. Teknik Analisis Data
Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap dari lapangan,
tahap selanjutnya adalah analisis data. Tujuan dilakukannya analisis data
adalah untuk memberi arti dan makna yang jelas pada data, sehingga dapat
digunakan untuk memecahkan masalah dan menjawab persoalan-persoalan
yang ada dalam penelitian.37
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah
teknik deskriptif dengan menggunakan pola pikir deduktif yaitu pola pikir
yang berangkat dari hal-hal yang bersifat umum yakni aturan hukum
Islam yang menjelaskan tentang masalah perkawinan dan larangan kawin,
23
lalu aturan tersebut dispesifikasikan dengan ketentuan ‘Urf yang berfungsi
untuk menganalisis hal-hal yang bersifat khusus yang terjadi di lapangan
yaitu tentang tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua di Desa
Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
I. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang masing-masing bab
terdiri dari beberapa subbab sebagai berikut:
Bab pertama tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua tentang landasan teori, bab ini membahas tentang
pernikahan yang dilarang dalam hukum Islam serta kajian tentang ‘Urf.
Bab ketiga memuat data yang berkenaan dengan hasil penelitian
terhadap tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua di Desa Durung
Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo. Dalam subbab ini dibahas
sekilas tentang Desa Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo
serta deskripsi tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua dan latar
belakang adanya tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua
24
Bab keempat merupakan kajian analisis. Bab ini berisi tentang analisis
‘Urf terhadap tradisi larangan menikah pada hari geblak orang tua di Desa
Durung Bedug Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
Bab kelima penutup, bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan sesuai
BAB II
LARANGAN PERKAWINAN DALAM ISLAM DAN ‘URF
A. Larangan Perkawinan dalam Islam
1. Definisi Larangan Perkawinan
Perkawinan baru bisa dinyatakan sah apabila telah memenuhi
seluruh rukun dan syarat yang ditentukan, disamping juga harus terlepas
dari segala hal yang dapat menghalangi. Halangan perkawinan itu disebut
juga dengan larangan perkawinan.1
Larangan perkawinan dalam bahasan ini adalah orang- orang yang
tidak boleh melakukan perkawinan. Yaitu perempuan-perempuan mana
saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang lelaki atau sebaliknya
laki-laki mana saja yang tidak boleh mengawini seorang perempuan. Semua
itu dinamakan mawa>ni’ al-nika>h} (perkara-perkara yang menghalangi
keabsahan nikah). Allah SWT berfirman di dalam surah an-Nisa>’ ayat
22-23:
1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Artinya:
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah. Seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri; tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.2
Secara garis besar, dalam kedua ayat di atas tertulis bahwa
larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita dalam sh}ara‘
dibagi dua, yaitu larangan yang berlaku untuk selamanya dan larangan
yang berlaku untuk sementara.3 Larangan perkawinan yang berlaku haram
untuk selamanya mengandung arti sampai kapan pun dan dalam keadaan
apa pun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan perkawinan.
Larangan dalam bentuk ini disebut mahram mu’abbad. Sedangkan
2 Departemen Agama RI, al Quran dan Terjemahnya, 82.
larangan perkawinan yang berlaku haram untuk sementara waktu
mengandung arti larangan itu berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu
saja, suatu ketika bila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah ia
tidak lagi menjadi haram. Larangan dalam bentuk ini disebut mahram
mu’aqqat.4
2. Larangan yang Berlaku untuk Selamanya
Larangan perkawinan yang berlaku untuk selamanya atau disebut
mahram mu’abbad, terbagi menjadi tiga kelompok yaitu pertama:
disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan, kedua: karena adanya
hubungan perkawinan dan ketiga: karena adanya hubungan persusuan:5
Pertama: disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan atau
nasab. Yang termasuk dalam kategori ini ada tujuh macam wanita, yaitu:6
a. Ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, dan seterusnya dalam garis lurus keatas.
b. Anak perempuan, anak perempuannya anak laki-laki, anak
perempuannya anak perempuan, dan seterusnya dalam garis lurus ke
bawah.
c. Saudara perempuan, baik saudara perempuan sekandung, seayah, atau
seibu.
d. Saudara perempuan ayah, baik hubungannya kepada ayah secara
kandung, seayah atau seibu. Termasuk juga saudara perempuan kakek,
4 Ibid.
5 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz II, (Beirut: Dar El Fikr, 2006), 487
6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
baik kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya menurut garis lurus
ke atas.
e. Saudara perempuan ibu, baik hubungannya kepada ibu secara
kandung, seayah atau seibu. Termasuk juga saudara perempuan nenek
kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke atas.
f. Anak perempuan saudara laki-laki, baik sekandung, seayah atau seibu.
Cucu perempuan saudara laki laki, baik sekandung, seayah atau seibu,
dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.
g. Anak perempuan saudara perempuan. Baik sekandung, seayah atau
seibu. Cucu perempuan saudara perempuan. Baik sekandung, seayah
atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.
Hikmah dari larangan perkawinan yang disebabkan adanya
hubungan nasab adalah untuk menghormati kerabat. Merupakan hal yang
mustahil secara fitrah, orang yang merasakan syahwat terhadap ibunya
atau ia hendak berpikir untuk bersenang-senang dengannya, karena cinta
kasih yang terjalin di antara keduanya.
Apa yang dijelaskan mengenai keharaman menikahi ibu, dikatakan
pula dalam ketetapan keharaman menikahi perempuan-perempuan
berdasarkan keturunan yang lainnya.7 Antara seorang laki-laki dengan
kerabat dekatnya mempunyai perasaan yang kuat yang mencerminkan
suatu penghormatan. Maka akan lebih utama kalau dia mencurahkan
perasaan cintanya itu kepada perempuan lain melalui perkawinan
7 Ali Yusuf as-Subki, Niz<am Al-Usrah Fi< Al-Islami<, (Penerjemah: Nur Khozin, Fiqh Keluarga
sehingga terjadi hubungan yang baru dan rasa cinta kasih sayang yang
terjadi antara kedua manusia itu menjadi sangat luas.8
Sebaliknya seorang perempuan tidak boleh kawin untuk
selama-lamanya karena hubungan kekerabatan dengan laki-laki tersebut di bawah
ini:9
a. Ayah, ayahnya ayah dan ayahnya ibu dan seterusnya ke atas.
b. Anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki atau anak laki-laki
dari anak perempuan, dan seterusnya menurut garis ke bawah.
c. Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki sekandung, seayah, atau
seibu.
d. Saudara laki-laki ayah, baik hubungannya kepada ayah secara
kandung, seayah atau seibu. Termasuk juga saudara laki-laki kakek,
baik kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke
atas.
e. Saudara laki-laki ibu, baik hubungannya kepada ibu secara kandung,
seayah atau seibu. Termasuk juga saudara laki-laki nenek kandung,
seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke atas.
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki, baik sekandung, seayah atau
seibu. Cucu laki-laki dari saudara laki-laki, baik sekandung, seayah
atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.
8 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Penerjemah: Mu’ammal Hamidy, Surabaya:
PT Bina Ilmu, 2003) 246.
9 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
g. Anak laki-laki dari saudara perempuan, baik sekandung, seayah atau
seibu. Cucu laki-laki dari saudara perempuan, baik sekandung, seayah
atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.
Kedua: larangan perkawinan karena adanya hubungan perkawinan
yang disebut dengan hubungan mus{a>harah. Perempuan-perempuan yang
tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya karena
hubungan mus}a>harah ada empat, yaitu:10
a. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah (ibu tiri)
Haram hukumnya menikahi perempuan yang telah dikawini
oleh ayah dan perempuan yang telah dikawini oleh kakek hingga ke
atas. Berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (Qs. al-Nisa>’: 22)
Pada masa jahiliyyah diperbolehkan mengawini perempuan
yang telah dikawini oleh ayah, kemudian Islam mengharamkan
mengawini perempuan yang telah dikawini oleh ayah. Keharaman
mengawini perempuan yang telah dikawini oleh ayah adalah sebab
adanya akad, meskipun wanita tersebut belum pernah dijimak oleh
ayah.11
b. Perempuan yang telah dikawini oleh anak laki-laki (menantu)
Haram hukumnya mengawini istri anak (menantu), istri
anaknya anak laki-laki, istri anaknya anak perempuan dan seterusnya
hingga ke bawah. Keharaman mengawini perempuan yang telah
dikawini oleh anak adalah sebab adanya akad, meskipun perempuan
tersebut belum dijimak oleh anak.12
c. Ibu istri (mertua)
Keharaman mengawini ibu istri adalah sebab adanya akad, baik
istrinya itu sudah disetubuhi atau belum.
d. Anak perempuan dari istri (anak tiri)
Haram hukumnya mengawini anak perempuan istri dengan
syarat istri (ibu anak tiri tersebut) telah digauli.
Bila seorang laki-laki tidak boleh mengawini karena hubungan
mus{a>harah sebagaimana disebutkan di atas, sebaliknya seorang perempuan
tidak boleh kawin dengan laki-laki untuk selamanya disebabkan hubungan
mus}a>harah sebagai berikut13 :
a. Laki-laki yang telah mengawini ibunya atau neneknya
b. Laki-laki yang telah mengawini anak atau cucu perempuannya
11 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat Khitbah,
Nikah dan Thalak, Penerjemah Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2011), 59.
12 Yang dimaksud keharaman mengawini istri anak disini adalah istri dari anak kandung atau
cucu kandung hingga ke bawah, bukan anak adopsi. Oleh karena itu halal hukumnya bagi seorang ayah menikahi bekas wanita yang telah dikawini oleh anak adopsi.
13Abd. Al Qadi>r Manhsu>r, Fiqh Al-Mar’ah Al-Muslimah Min Al-Kita>b Wa Al-Sunnah,
c. Ayah dari suami atau kakeknya
d. Anak laki-laki dari suaminya atau cucunya
Larangan ini bertujuan untuk menjaga keberadaan keluarga dari
pertentangan, untuk hal-hal yang penting, semisal dengan putusnya
kekerabatan, buruknya pengertian, tersebarnya kecemburuan antara ibu
dengan anak perempuannya atau ayah dengan anak laki-lakinya, dan
sebagainya yang terkadang mengakibatkan pertentangan antara anggota
satu keluarga. Hikmah lain atas larangan pernikahan dengan
kerabat-kerabat dekat, yakni menyebabkan kelemahan fisik anak-anaknya.14
Ketiga: karena hubungan persusuan.15
a. Ibu susuan. Yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita yang
pernah menyusui seorang anak. Ibu susuan dipandang sebagai ibu bagi
anak yang disusui itu sehingga haram melakukan perkawinan.
b. Anak susuan. Termasuk dalam anak susuan itu ialah anak yang
dipersusukan istri, anak yang disusukan anak perempuan, anak yang
dipersusukan istri anak laki-laki, dan seterusnya dalam garis lurus ke
bawah.
c. Saudara sepersusuan. Termasuk dalam saudara sesusuan itu ialah
seseorang yang dilahirkan ibu susuan, yang disusukan ibu susuan, yang
dilahirkan istri ayah susuan, anak yang disusukan istri ayah susuan,
yang disusukan ibu, yang disusukan istri ayah susuan.
14 Ali Yusuf as-Subki, Niz<am Al-Usrah Fi< Al-Islami<... 124.
15Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: Raja
d. Paman susuan. Yang termasuk paman susuan itu ialah saudara dari
ayah susuan, saudara dari ayahnya ayah susuan.
e. Bibi susuan. Termasuk dari arti bibi susuan itu ialah saudara dari ibu
susuan, saudara dari ibu dari ibu susuan.
f. Anak saudara laki-laki atau perempuan sesusuan. Termasuk dalam arti
anak saudara ini adalah anak dari saudara sesusuan, cucu dari saudara
sesusuan, dan seterusnya ke bawah. Orang-orang yang disusukan oleh
saudara sesusuan, yang disusukan oleh anak saudara sesusuan, yang
disusukan oleh saudara perempuan, yang disusukan oleh istri saudara
laki-laki, dan seterusnya garis lurus ke bawah dalam hubungan nasab
dan susuan.
Hikmah dari larangan perkawinan karena susuan adalah sebab
makan (menyusu) memiliki pengaruh besar dalam pembentukan diri
seseorang, bukan hanya secara fisik, namun juga menyangkut jiwa dan
akhlak. Dengan adanya hubungan kekerabatan karena persusuan
menjadikan tubuh mereka (tulang, daging, dan darahnya) dibentuk dari
satu jenis makanan. Karena itu terlihat ada keserupaan dalam karakter
akhlak mereka.16
3. Larangan yang Berlaku untuk Sementara
Larangan perkawinan yang berlaku untuk sementara atau disebut
mahram mu’aqqat adalah larangan perkawinan dengan seorang wanita
dalam waktu tertentu saja, karena adanya sebab yang mengharamkan.
Apabila sebab itu hilang maka perkawinan boleh dilaksanakan. Yang
termasuk mahram mu’aqqat adalah sebagai berikut:17
a. Mengumpulkan dua orang perempuan yang masih bersaudara, baik
saudara sekandung, saudara seayah atau saudara seibu maupun saudara
sepersusuan. Kecuali secara bergantian, misalnya: kawin dengan
kakaknya kemudian dicerai, dan ganti mengambil adiknya, atau salah
satu meninggal kemudian mengambil yang satunya lagi sebagai istri.
Ulama fikih menyatakan bahwa mengawini dua orang wanita yang
berhubungan kekerabatan bisa membuat pecahnya hubungan
kekerabatan sehingga menimbulkan permusuhan yang terus menerus
antara kerabat itu.18
b. Wanita yang ada dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain.
Bahkan perempuan yang sedang dalam perkawinan itu dilarang untuk
dilamar, baik dalam ucapan terus terang maupun secara sindiran
meskipun dengan janji akan dikawini setelah diceraikan habis masa
iddahnya. Keharaman itu berlaku selama suaminya masih hidup atau
belum dicerai oleh suaminya dan selesai pula menjalani idahnya ia
boleh dikawini oleh siapa saja.
c. Wanita yang telah ditalak tiga kali tidak halal kawin lagi dengan bekas
suaminya, kecuali telah kawin dengan laki-laki lain dan telah dicerai
17Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty,
1982) 35-37.
18 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
serta telah habis masa idahnya. Hal ini dinyatakan dalam firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 230:
.
Artinya:
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.”19
d. Wanita yang sedang menjalani iddah, baik iddah karena kematian
maupun karena talak. Perempuan yang dalam masa idah tidak
diperbolehkan bagi laki-laki selain suaminya untuk meminang atau
menikahinya, sampai habis masa iddahnya.20 Sebagaimana firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 235 yang berbunyi:
...
Artinya:
Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam
hati...”.21
19Departemen Agama RI, al Quran, 56.
20 M. Azhari Hatim, Pernikahan Islami, Dasar Hukum Hidup Berumah Tangga, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996) 11.
e. Kawin dengan pezina, ini berlaku baik bagi laki-laki yang baik dengan
wanita pelacur, ataupun antara wanita-wanita yang baik dengan
laki-laki pezina haram hukumnya, kecuali setelah masing-masing
bertaubat.22 Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nu>r ayat 3 yang
berbunyi:
Artinya:
Penzina laki-laki tidak boleh menikah dengan kecuali dengan penzina perempuan, atau dengan perempuan musyrik, dan penzina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan penzina laki atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang
mukmin”.23
f. Perkawinan beda agama. Yang dimaksud dengan beda agama di sini
ialah perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim dan
sebaliknya laki-laki muslim dengan perempuan non muslim.
Keharaman laki-laki muslim kawin dengan perempuan musyrik atau
perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik dinyatakan Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 221:
22 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan…, 130.
Artinya:
Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan-perempuan hamba yang beriman lebih baik dari perempuan musyrik merdeka, walau ia menakjubkanmu. Janganlah kamu mengawinkan anak perempuanmu kepada laki-laki musyrik sebelum ia beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada laki-laki yang musyrik walaupun ia
menarik hatimu”.24
g. Larangan Karena Ihram
Perempuan yang sedang ihram, baik ihram haji atau ihram
umrah, tidak boleh dikawini oleh laki-laki baik laki-laki tersebut
sedang ihram atau tidak. Larangan ini tidak berlaku lagi sesudah lepas
masa ihramnya.25
h. Mengawini lebih dari empat orang wanita.
Seorang laki-laki dalam perkawinan poligami hanya boleh
mengawini empat orang wanita, kecuali salah seorang dari istri yang
empat itu telah diceraikan dan habis masa iddahnya. Dengan begitu
haram hukumnya mengawini perempuan kelima dalam masa tertentu,
yaitu selama seorang dari istri yang empat itu belum diceraikan.26
24 Departemen Agama RI, al Quran, 35.
25 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat…, 113.
26 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
B. ‘Urf
1. Definisi ‘Urf
Secara etimologi 'urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu yang berarti
kenal. Dari kata ini muncul kata ma’ru>f yang berarti sesuatu yang dikenal.
Pengertian “dikenal” ini lebih dekat pada pengertian diakui dan dianggap
baik oleh orang lain.27
Secara terminologi “Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal
oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik
berupa perkataan maupun perbuatan.28
Kata 'urf sering disamakan dengan kata adat (adat kebiasaan).
Namun bila diperhatikan dari akar katanya, ada perebedaan diantara
kedua kata tersebut. kata adat berasal dari bahasa Arab, akar katanya:
‘a>da, ya‘u>du yang mengandung arti perulangan. Oleh karena itu sesuatu
yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Sedangkan kata ‘urf
pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan
dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama
dikenal dan diakui oleh orang banyak.
Dalam beberapa referensi dijelaskan bahwa adat atau 'urf
mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan. Menurut ‘Abdul Wahha>b
Khalla>f, 'urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan
dikerjakan oleh mereka, baik itu yang berupa perkataan, perbuatan
ataupun sesuatu yang lazimnya untuk ditinggalkan. Hal ini dinamakan
pula dengan al-‘adah. Sehingga dalam bahasa ahli sh}ara' dijelaskan bahwa
antara 'urf dan adat tidak terdapat perbedaan.29
Berdasarkan uraian di atas bisa dipahami bahwa 'urf dan adat
memiliki makna yang sama yang dapat berupa ucapan/perkataan. Dengan
demikian ‘urf dapat dipahami sebagai sesuatu yang sudah dikenal oleh
manusia yang menjadi kebiasaan atau tradisi baik ucapan, perbuatan atau
pantangan-pantangan.
2. Macam-macam ‘Urf
Dalam pembagiannya, ‘urf dapat ditinjau dari tiga hal, yaitu
pertama dapat ditinjau dari segi obyeknya, kedua dari segi ruang lingkup
penggunaannya dan ketiga dapat di tinjau dari segi keabsahannya.30
a. Ditinjau dari obyeknya.
Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) ‘Urf Qouli
Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata
atau ucapan. Misalnya kata waladun, secara etimologi berarti anak,
yang digunakan untuk laki-laki atau perempuan.31 Namun dalam
kebiasaaan sehari-hari orang Arab, kata walad itu digunakan hanya
untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan. Sehingga
dalam memahami kata walad kadang digunakan ‘urf qouli tersebut.
29 Ibid
30 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2014), 413.
31 Salah satu contoh penggunaan kata walad dalam al-Quran terdapat dalam surat al-Nisa>’ (4):
2) ‘Urf Fi’li
Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam bentuk perbuatan.
Miasalnya jual beli barang-barang diwarung antara penjual dan
pembeli, cukup hanya dengan menunjukkkan barang serta serah
terima barang dengan uang tanpa ucapan transaksi (akad) apapun.
Menurut kebiasaan, hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual
beli.
b. Ditinjau dari Segi Ruang Lingkup Penggunaannya.
Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) ‘Urf ‘A<m
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi
sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas.32
Misalnya menganggukkan kepala tanda menyetujui dan
menggelengkan kepala tanda menolak. Hal ini berlaku umum di
masyarakat. Jika ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka
dianggap aneh atau ganjil.
2) ’Urf Kha>s}
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada
suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja.33 Misalnya
adat masyarakat Minangkabau menarik garis keturunan melalui
32Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2…, 415.
perempuan (matrilineal) dan adat masyarakat Batak menarik garis
keturunan melalui laki-laki (patrilineal).
c. Ditinjau dari Segi Keabsahannya
Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) ’Urf S{ah{i<h{
Yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia
yang tidak berlawanan dengan dalil syara’, di samping tidak
menghalalkan yang haram dan tidak menggugurkan kewajiban.34
Misalnya kebiasaan jual beli dengan cara pemesanan, yaitu pihak
pemesan memberi uang muka terlebih dahulu atas barang yang
dipesannya. Demikian juga dalam mahar perkawinan apakah di
bayar kontan atau hutang, serta terjalin pengertian tentang istri
yang tidak diperkenankan menyerahkan dirinya kepada suami,
melainkan jika mahar telah dibayar.
Seorang mujtahid harus memperhatikan ‘urf sahih dalam
membentuk suatu produk hukum. Karena adat dan kebiasaan
adalah bagian dari kebutuhan dan sesuai dengan kemaslahatan.35
Karenanya terdapat kaidah yang menyatakan bahwa:
Artinya:
adat kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai pertimbangan hukum.
34 Abdul Wahhab Khalla@f, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Bandung: Risalah, 1985), 132.
35Abdul Ghofur Anshori, Zulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di
2) ’Urf Fa>sid
Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi
bertentangan dengan shara’, menghalalkan yang haram, atau
membatalkan kewajiban.36 Misalnya kebiasaan berciuman antara
laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam acara tertentu.
Para Ulama sepakat, bahwasanya ‘urf fa<sid tidak dapat
dijadikan landasan hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi
hukum.37 Oleh karena itu, untuk mengingatkan masyarakat dan
pengalaman hukum Islam, sebaiknya dilakukan dengan cara yang
ma’ruf pada masyarakat, untuk mengubah adat kebiasaan yang
bertentangan dengan ajaran Islam tersebut, dan menggantinya
dengan adat kebiasaan yang sesuai dengan ajaran Islam.
3. Syarat-syarat ‘Urf
‘Urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil untuk
menetapkan hukum shara’ apabila telah memenuhi sejumlah persyaratan
berikut. Syarat tersebut adalah:38
a. 'Urf yang dilaksanakan itu harus masuk pada 'urf yang s}ah}i>h} dalam
arti tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah. Apabila
bertentangan dengan ketentuan nas} atau bertentangan dengan
36Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2…, 416
37 Abdul Ghofur Anshori, Zulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di
Indonesia..., 187.
prinsip shara’, maka tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan
hukum dan ter