• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di beberapa daerah Gunung Kidul angkatan kerja yang bekerja sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di beberapa daerah Gunung Kidul angkatan kerja yang bekerja sebagai"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Di beberapa daerah Gunung Kidul angkatan kerja yang bekerja sebagai petani merasa masih kurang untuk mencukupi kebutuhan yang semakin beraneka ragam. Himpitan ekonomi yang dirasakan para angkatan kerja di desa menjadi motivasi utama untuk melakukan migrasi ke kota. Migrasi ke kota menjadi salah satu solusi yang tepat bagi mereka. Dengan tekad dan niat untuk merubah nasib lebih baik, maka tanpa bekal ilmu dan ketrampilan yang tinggi berpindahlah mereka ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Selain itu melakukan mobilitas merupakan suatu upaya dalam mempertahankan kelangsungan hidup mereka saat mengalami musim paceklik. Mobilitas penduduk tidak hanya sekedar mobilitas melintasi batas – batas wilayah geografis saja, tetapi mobiliatas desa kota juga melintasi budaya yang dulu nya tradisional dan bertani berubah menjadi modern dan industri. Persoalam ekonomi yang membelit masyarakat Gunung Kidul telah menyebabkan masyarakat Gunung Kidul melakukan mobilitas ke Imogiri. Untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga di saat musim paceklik tiba.

Mencari pekerjaan di kota tidaklah mudah, orang – orang harus bekerja keras untuk mendapatkan peluang pekerjaan. Sebagian angkatan kerja yang memiliki ketrampilan dan pendidikan tinggi terserap di sektor

(2)

formal, sedangkan angkatan kerja yang tidak memiliki keahlian khusus cukup banyak terserap di sektor informal. Disinilah peran sektor informal menampung angkatan kerja yang tidak dapat terserap di sektor formal. Salah satu pekerjaan yang tidak termasuk sektor formal dan dimasuki oleh para imigran dari Gunung Kidul adalah sektor informal Bakwan Kawi. Pedagang Bakwan Kawi merupakan pekerjaan sektor informal yang ada di sektor industri makanan. Para Imigran Gunung Kidul banyak yang terserap sebagai pedagang bakwan kawi karena rata – rata mereka berasal dari masyarakat miskin yang tidak berpendidikan dan ketrampilan yang tinggi.

Pedagang bakwan kawi berjualan menggunakan gerobak dorong berwarna hijau. Namun seiring berkembangnya teknologi, kini ada penjual bakwan kawi yang menggunakan sepeda motor. Dengan menggunakan sepeda motor waktu yang ditempuh lebih efisien dan lokasi penjualan bisa lebih jauh. Pedagang bakwan kawi sering dijumpai di kota atau di desa, seperti di sekolah SD, SMP, dan SMA. Tidak hanya di sekolah – sekolah saja namun, bakwan kawi kini mulai ditemui disekitaran kampus – kampus yang ada di Yogyakarta.

Di desa Kerten, Imogiri, Bantul terdapat sebuah rumah yang ditempati oleh para Imigran. Mereka adalah kelompok Pedagang Bakwan Kawi yang berasal dari Gunung Kidul. Pedagang Bakwan Kawi migrasi ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Bekerja sebagai petani di desa dianggap masih kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari. Selain penghasilanya yang sedikit, kondisi alam yang kering membuat

(3)

penghasilan dari pertanian tidak menentu. Hal inilah yang mendorong mereka untuk mengambil keputusan bermigrasi ke kota. Merantau ke kota dianggap sebagai solusi yang tepat ditengah himpitan ekonomi yang semakin bertambah banyak.

Usaha Bakwan Kawi di Kerten, Imogiri dijalankan oleh sepasang suami istri. Awalnya suami bekerja sebagai penjual Bakwan Kawi. Karena sudah lama ikut dengan juragan bakwan kawi, kemudian dengan modal sendiri membuka usaha Bakwan Kawi di Kertan Imogiri, Bantul. Ada 8 tenaga penjual bakwan kawi yang berasal dari Gunung Kidul. Mereka adalah para Imigran Gunugn Kidul. Mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu dan tidak berpendidikan tinggi. Sempitnya lapangan pekerjaan di desa, dan rasa senasib serta tekat yang sama maka berpindahlah ke kota dan bekerja sebagai penjual Bakwan Kawi.

Kelompok Imigran yang bekerja sebagai pedagang Bakwan Kawi di desa Kerten, Imogiri tergabung dalam sebuah ikatan oraganisasi kelompok yaitu IKBAR ikatan Keluarga Besar Anak Rantau. IKBAR merupakan sebuah kelompok yang beranggotakan orang – orang perantau yang mempunyai usaha di Yogyakarta. Seperti bakso, rujak eskrim dan bakwan kawi. Ikatan ini bertujuan untuk meningkatkan persaudaraan diantara anak – anak rantau dari Gunung Kidul. Ikatan ini terbentuk dari tekad dan nasib yang sama yaitu bersama – sama mencari uang untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari – sehari.

(4)

Pedagang Bakwan Kawi di Kerten, Imogiri, Bantul, Yogyakarta telah menunjukan suatu fenomena sosial yang menarik, karena terdapat pola hubungan, interaksi sosial dan ekonomi yang terjalin diantara pedagang Bakwan Kawi. Bekerja sebagai pedagang Bakwan Kawi masih dipandang diskriminasi oleh masyarakat. Karena rata - rata mereka yang terlibat sebagai pedagang adalah orang – orang miskin atau masyarakat dari kelas bawah. Tidak hanya itu saja pedagang Bakwan Kawi juga tidak berpendidikan tinggi, mereka hanya lulusan SMP bahkan hanya lulusan SD. Namun meskipun pendidikan hanya terbatas, tetapi usaha Bakwan Kawi telah membuka peluang pekerjaan untuk angkatan kerja Gunung Kidul.

Berdasarkan alasan tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai apa alasan angkatan kerja Gunung Kidul melakukan mobilitas sirkuler, dan mengapa angkatan kerja Gunung Kidul memilih bekerja di sektor inforamal Bakwan Kawi, serta bagaimana interaksi dan relasi sosial yang dijalin migran dengan daerah asal dan di daerah tujuan di Kerten, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Hal inilah yang menarik untuk diteliti dan dikaji lebih mendalam.

(5)

B. Rumusan Masalah

1. Alasan angkatan kerja melakukan mobilitas non Permanen (Sirkuler) dan memilih bekerja sebagai pedagang Bakwan Kawi di Kerten? 2. Bagaimana Interaksi dan Relasi Sosial migran Sirkuler antara mereka,

dengan masyarakat daerah asal dan di daerah tujuan?

C. Tujuan

1. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui alasan angkatan kerja melakukan mobilitas non Permanen (Sirkuler) dan memilih bekera sebagai Pedagangl Bakwan Kawi di Kerten.

2. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana Interaksi dan Relasi sosial migran sirkuler antara mereka, dengan masyarakat daerah asal dan di daerah tujuan.

D. Manfaat Penlitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi banyak pihak. Bagi ilmu pengetahuan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah di bidang ilmu sosial, khususnya tentang mobilitas penduduk dan sektor informal di perkotaan. Alasan angkatan kerja di Gunung Kidul untuk bermigrasi ke Bantul serta mengapa para Imigran memilih bekerja di sektor informal Pedagang Bakwan Kawi dalam penelitian ini diharapkan memberikan

(6)

tambahan pengetahuan dan pengalaman. Salah satunya menjadikan masyarakat lebih optimis, krativ, adaptif, dinamik dan mandiri dalam dunia pekerjaan. Bagi peneliti, riset ini sangat inspiratif dan bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan secara lebih mendalam, khususnya mengenai mobilitas penduduk dan ekonomi sektor informal.

E. Tinjauan Pustaka

Secara garis besar penelitian yang saya lakukan ini membahas mengenai Mobilitas Penduduk Gunung Kidul ke kota Imogiri yang bekerja di sektor informal Pedagang Bakwan Kawi. Mobilitas ke kota dilakukan sebagai salah satu alternatif bagi para angkatan kerja untuk tetap mempertahankan hidupnya dan memenuhi kebutuhan sehari - hari. Selain penelitian yang hendak saya lakukan ada dua penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan mobilitas penduduk dari desa ke kota dan sektor informal.

Penelitian yang pertama yaitu tesis yang dilakukan oleh Adnan Haris Musa dengan judul penelitian Mobilitas Penduduk Non Permanen (Studi Kasus Desa Bangun Rejo, Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur). Dalam hasil tesisnya dituliskan tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui jumlah mobilitas sirkuler dan mobilitas ulang alik serta faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi penduduk untuk melakukan mobilitas. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian

(7)

kuantitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan kuisioner dan analisis data menggunakan tabel silang. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa mobilitas penduduk yang banyak dilakukan oleh penduduk di desa Rejo adalah mobilitas ulang alik, dengan faktor utama yang mendorong untuk melakukan mobilitas adalah ingin mendapatkan penghasilan yang lebih besar atau karena motif ekonomi. Rata – rata mereka bekerja di sektor informal seperti berdagang dan lain – lain. Terdapat perbedaan yang berarti antara jenis pekerjaan dan jenis mobilitas penduduk yang diterima oleh para Imigran di daerah tujuan. Sebaliknya tingkat pendidikan tidak menunjukan perbedaan yang berarti dengan pendapatan Migran.

Penelitian yang kedua disertasi yang dilakukan oleh I Ketut Sudibia (2004) dengan judul penelitian Kebutuhan Pekerja Migran Non Permanen di Sektor Pertanian pada Masa Panen dan Industri Genteng di Daerah Pedesaan Kabupaten Tabanan, Bali. Jenis penelitian ini adalah Kuantitatif dan kualitatif. Dalam hasil diesertasinya faktor ekonomi merupakan faktor yang utama mengapa para Imigran melakukan Mobilitas ke kota. Kemudian kebutuhan sebagai buruh genteng dan buruh derep relatif lebih stabil. Berdasarkan hasil kedua penelitian tersebut ada beberapa kesamaan dengan penelitian yang saya lakukan yaitu tentang tema dan fokus mengenai mobilitas penduduk non permanen dan pekerjaan di sektor informal serta interaksi dan relasi para migran. Hanya saja perbedaan terdapat pada lokasi penelitian dan jenis penelitian yang hendak di lakukan. Penelitian yang saya lakukan berfokus pada alasan mengapa para

(8)

Imigran Gunung Kidul memilih melakukan mobilitas ke Kota Bantul dan bekerja sebagai Pedagang Bakwan Kawi serta Interaksi dan relasi sosial yang dijalin migran dengan daerah asal dan di daerah tujuan. Kemudian yang membedakan dengan kedua penelitian adalah penelitian ini lebih mendalam tidak hanya mengenai faktor – faktor saja tetapi lebih pada alasan sosiologis yang lebih mendalam mengapa melakukan mobilitas sirkuler. Selain itu penelitian terdahulu belum banyak membicarakan alasan mereka melakukan migrasi. Meskipun sudah ada faktor – faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan mobilitas, namun alasan – alasan tersebut masih kurang sosiologis. Dalam penelitian ini juga lebih melihat pada relasi sesama migran, migran dengan keluarga yang tinggalkan dan relasi migran dengan masyarakat di daerah tujuan.

F. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Kerangka Teori :

1. Teori Mobilitas Sosial dan Sektor Informal

Migrasi dalam penelitian ini adalah migrasi non permanaen (sirkuler) yang bersifst Horizontal. Pedagang Bakwan Kawi masih sering melakukan kontak dengan pulang ke daerah asal mereka dalam kurun waktu tertentu. Selain tidak adanya niat untuk menetap di daerah tujuan juga merupakan cirri dari migrasi non permanen. Masih adanya

(9)

ikatan yang erat dengan daerah asal serta harus melakukan hubungan dengan derah tujuan telah menimbulkan relasi – relasi sosial baik di daerah asal maupun didaerah tujuan.

Maka dalam penelitian ini, analisis permasalahan yang saya gunakan ialah Teori Mobilitas Penduduk dan Sektor Informal. Untuk mengetahui berbagai bentuk alasan mengapa Imigran Gunung Kidul memilih kota Bantul sebagai daerah tujuan serta memilih sektor infornal Bakwan Kawi sebagai pekerjaan di kota, maka peneliti menggunakan teori Mobilitas penduduk dan Sektor Informal. Mobilitas Penduduk merupakan fenomena sosial yang di definisikan sebagai perpindahan penduduk antar wilayah, dalam satu negara (mobilitas penduduk intern) maupun berbeda negara (mobilitas Internasional). Menurut Mantra (Dikutip dalam Desak Putu Parmiti 1990, 14) mobilitas penduduk horizontal atau geografis meliputi semua gerak (movement) penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode tertentu. Batas wilayah tertentu tersebut pada umumnya dipergunakan sebagai batas administrasi seperti Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan dan Pedukuhan.

Lebih lanjut dijelaskan Mantra (dikutip dalam Adnan Haris Musa, 1990, 8) Mobilitas penduduk di bagi menjadi dua yaitu:

(10)

a. Mobilitas Permanen atau Migrasi

Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan maksud untuk menetap di daerah tujuan. b. Mobilitas Non Permanen atau Migrasi sirkuler

Migrasi Sirkuler adalah gerakan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan tidak ada niat untuk menetap di daerah tujuan.

Dalam tesis yang sama melalui konsep Tempat dan Waktu Protohero membagi Mobilitas menjadi dua yaitu :

a. Menurut Waktu

Mobilitas dibagi menjadi mobilitas sirkulasi dan migrasi. Sirkulasi meliputi mobilitas harian, musiman, jangka panjang sedangkan migrasi adalah perpindahan untuk menetap.

b. Menurut Tempat

Mobilitas desa – desa, desa - kota dan Mobilitas Kota – kota. Zelinsky (dikutip dalam Adnan Haris Musa, 1990, 9) menjelaskan mobilitas sirkuler dan ulang alik dicakup dalam apa yang disebut “circulation”. Ulang – alik merupakan gerakan berulang hampir setiap hari antara tempat tinggal dan tempat tujuan selama jangka waktu tertentu. Ciri pokok dari mobilitas sirkuler adalah tidak terjadi perpindahan tempat secara permanen bagi orang – orang yang terlibat dalam mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk selama ini lebih banyak melihat dari sisi ekonomi artinya faktor – faktor yang

(11)

mendorong penduduk melakukan mobilitas adalah karena faktor ekonomi atau motif ekonomi dan perbaikkan kehidupan. Selain faktor ekonomi mobilitas penduduk dari desa ke kota disebabkan karena kondisi desa yang menjadi faktor pendorong seperti tanah pertanian yang tidak subur lagi, kekeringan disetiap tahunnya dan lapangan pekerjaan yang terbatas.

Arus mobilitas dari desa ke kota dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini terlihat dari presentase jumlah penduduk kota baik menetap atau tidak yang semakin meningkat. Berdasarkan penelitian di era tahun 1984 faktor utama yang mendorong seseorang untuk melakukan mobilitas sirkuler adalah faktor ekonomi. Terbatasnya lapangan pekerjaan non pertanian serta pengahasilan yang tidak memadai merupakan faktor pendorong seseorang melakukan mobilitas penduduk. Selain itu terbatasnya pekerjaan di sektor formal juga menyebabkan seseorang melakukan mobilitas ke kota. Alasan seseorang melakukan mobilitas sirkuler diatas diperkuat oleh penelitian dari Sakur (1988) yang menjelaskan bahwa alasan utama seseorang melakukan mobilitas adalah sulitnya mencari lapangan pekerjaan nonpertanian di desa, dan rendahnya penghasilan di sektor pertanian. Tidak hanya motif ekonomi saja faktor lingkungan seperti tekanan terhadap lahan yang semakin meningkat sejak awal Orde baru telah mendorong penduduk pedesaan untuk melakukan mobilitas ke perkotaan. Mantra (1999) menyatakan bahwa mobilitas penduduk

(12)

terjadi apabila perbedaan nilai kefaedahan antara dua wilayah. Adanya perbedaan ini dari segi ekonomi dan kesempatan kerja yang menyebabkan adanya mobilitas penduduk dari desa ke kota.

Keputusan seseorang melakukan mobilitas juga dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor pendorong dan faktor penarik Menurut Todaro dan Jerry Stilkind dalam Chris Manning dan Tadjuddin (1985: 19), diakui bahwa faktor pendorong dan penarik yang paling dominan adalah motif ekonomi, yaitu kemandekan ekonomi di desa menyebabkan pertumbuhan penduduk tetap mencapai tingkat yang sangat tinggi. Pertambahan penduduk yang tinggi disertai pendapatan yang rendah telah memaksa makin banyak penduduk desa mencari jalan lain untuk meningkatkan taraf hidupnya. Kebijakan yang melindungi sektor industri di kota telah menciptakan pendapatan yang tinggi dan kesempatan kerja yang lebih besar di kota. Kebijakan pemerintah lainnya seperti memberikan subsidi bahan pangan dan mengatur upah dan gaji di sektor modern telah meningkatkan pendapatan kota. Hal ini mengakibatkan suatu perpindahan besar – besaran meskipun tingkat pertumbuhan pengangguran dan setengah pengangguran di kota tinggi. Tidak hanya itu (Mantra: 1999 : 5) menjelaskan bahwa mobilitas penduduk dipengaruhi oleh teori kebutuhan dan stress. Ketika kebutuhan hidup penduduk semakin meningkat dan tidak dapat terpenuhi, hal ini mengakibatkan penduduk mengalami stress. Apabila tingkat stress ini masih wajar dan dalam

(13)

toleransi maka tidak ada dorongan untuk melakukan mobilitas. Namun apabila tingkat stress melebihi dari toleransi maka akan mempengaruhi penduduk untuk melakukan mobilitas ke kota.

Secara sosiologi, mobilitas sosial penduduk dimaknai sebagai suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola – pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat – sifat hubungan antara individu dengan kelompoknya. Ada dua jenis gerak sosial yaitu gerak sosial vertikal dan gerak sosial horizontal. Gerak sosial vertikal yaitu perpindahan individu atau objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya, yang tidak sederajat. Ada dua gerak soial vertikal yaitu naik ( social - climbing ) dan turun (social – sinking). Sedangkan gerak sosial horizontal adalah peralihan individu dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Berdasarkan kosep ini maka kasus tentang mobilitas penjual bakwan kawi ini dapat digolongkan ke dalam mobilitas Horizontal dimana mereka tidak mengalami perubahan derajad. Mereka tinggal dan hidup berkelompok dengan profesi yang sama atau sederajat (Soerjono Soekanto, 2012 : 219). Teori ini digunakan peneliti dalam menganalisis feomena pergantian pekerjaan yang dialami oleh para migran.

Suatu gejala yang sering diamati di kota – kota besar di Indonesia adalah pengelompokan kaum migran dari daerah terntentu dalam satu macam pekerjaan. Dalam buku Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor

(14)

Informal di Kota, Mahmuddin (dikutip dalam Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi 1995, hal 324) memuji kenyataan bahwa di Jakarta seseorang dapat menentukan tempat asal seseorang berdasarkan pekerjaannya dan mengatakan bahwa kelompok – kelompok seperti sopir bus dan kondektur berasal dari Sumatra Utara, pedagang kaki lima berasal dari Sumatra Barat dan kelompok – kelompok dari berbagai daerah di Jawa. Beberapa kelompok yang berasal dari stereotype terkenal seperti pekerja galangan kapal dari Banten dan tukang becak dari pantai utara Jawa dapat dilihat dari pekerjaan kaum migran dari desa – desa survey.

Dapat disimpulkan pendapat Hugo bahwa seseorang yang tinggal di daerah pedesaan dapat melakukan mobilitas permanen atau non permanen ke kota dan hidup berkelompok sesuai dengan etnis atau golongan dan pekerjaan yang sama. Fenomena kelompok migran yang tinggal mengelompok pada suatu daerah menunjukan adanya migrasi berantai. Adanya ikatan keluarga atau daerah, membuat mereka hidup bersama – sama serta bekerja bersama. Ikatan keluarga tidak hanya mendorong seseorang untuk melakukan perpindahan, tetapi juga mendorong pendatang terserap ke kota melalui sub – komuniti yang berasal dari daerah yang sama. Pengelompokkan terjadi karena memang daerahnya merupakan daerah dengan spesialisasi pekerjaan tertentu atau memang keluarga memiliki ciri khas ketrampilan pekerjaan tersendiri.

(15)

Partisipasi kaum migran sirkuler banyak terserap di sektor informal, berbeda dengan partisipasi di sektor formal yang lebih diminati oleh para migran tetap. Pilihan kaum migran sirkuler ke sektor informal karena dipengaruhi oleh dua pertimbangan yang pertama, masuk ke sektor informal jauh lebih mudah dari pada sektor formal karena daya serap sektor informal lebih besar. Kedua berkaitan dengan perbedaan pendapatan yang diterima oleh kaum migran di sektor formal atau informal (Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi 1995, hal: 324). Lebih lanjut dalam buku yang sama, (dikutip Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi 1995, hal: 334) menyebutkan migrasi sirkuler lebih menguntungkan dari pada migrasi tetap. Keuntungan maksimum dari migrasi sirkuler antara lain dengan berpindah sendirian ke kota tanpa mengajak istri, anak dan sanak keluarga lainnya maka, secara efektif dapat mengurangi biaya hidup yang dikeluarkan untuk mencukupi kebutuhan di kota. Dalam hasil penelitiannya menunjukan bahwa para pendatang rata – rata dapat menabung, sekurang – kurangnya sepertiga dari pendapatan mereka. Tentunya beberapa migran pada umumnya hidup sangat prihatin agar dapat memaksimalkan pengiriman uang ke desanya. Kedua migrasi sirkuler tetap memberikan pilihan seluas – luasnya kepada pendatang untuk tetap tinggal di desa, sehingga resiko tidak mampu memperoleh penghasilan subsisten dapat dikurangi melalui penjagaan agar tetap terbuka kesempatan memperoleh pendapatan di kota dan di desa.

(16)

Hal ini sesuai dengan fenomena yang terjadi di Imogiri yaitu angkatan kerja Gunung Kidul yang tinggal bersama dalam satu atap serta memiliki pekerjaan yang sama sebagai pedagang bakwan kawi. Apakah fenomena pedagang bakwan kawi ini merupakan migrasi berantai karena berasal dari daerah atau memiliki ikatan keluarga yang sama seperti yang diungkapkan Hugo, atau hanya terdapat relasi kerja saja diantara para pedagang, hal inilah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Ditambah lagi Bagaimana interaksi sosial para migran dengan daerah asal dan di daerah tujuan.

Menurut perspektif makro Tienda (Tadjuddin Noer Effendi, 6) mobilitas pekerja di negara – negara berkembang merupakan salah satu usaha untuk mempertahankan kelangsungan dan kesejahteraan rumah tangga petani. Dalam tulisan yang sama, Forbes Cara ini digunakan untuk proses adaptasi terhadap perubahan kelembagaan dan struktur ekonomi sebagai akibat ekspansi produksi dan sistem ekonomi pasar yang tidak seimbang. Ketidakmerataan ini menciptakan dua ketimpangan. Pertama menciptakan ketimpangan sosial karena ekspansi itu hanya menguntungkan kelompok masyarakat golongan menengah saja, kedua menciptakan ketimpangan keruangan karena ekspansi itu hanya menguntungkan kawasan kota saja. Ketidakseimbangan proses ekspansi dan integrasi mendorong angkatan kerja berpindah untuk memanfaatkan alternatif kesempatan kerja yang tersedia. Apabila pekerjaan di desa sudah sedikit maka angkatan kerja

(17)

mungkin akan memasuki pekerja upahan atau usaha kecil sektor informal di daerah – daerah yang memungkinkan yaitu di kota.

Hart (1973) mendefinisikan sektor informal sebagai berikut : merupakan usaha mandiri, tidak teroganisir, modal relatif kecil dan penghasilan pekerja umumnya rendah. sektor informal dianggap sebagai sektor yang mampu menyerap kelebihan angkatan kerja yang tidak tertampung pada sektor industri atau mereka yang terlempar dari sektor pertanian dan tidak terserap di sektor informal kota, karena rendahnya pendidikan dan kreativitas yang tidak tinggi. Fleksibel, tidak berbadan hukum dan tidak terorganisir mendorong Imigran untuk masuk di sektor informal Hart (1973).

Secara sederhana sektor informal merupakan suatu sub sektor ekonomi perkotaan yang terdiri atas unit – unit ekonomi atau usaha yang bergerak dalam produksi dan jasa. Usaha sektor informal dicirikan dengan tempat usaha tidak tetap, tidak resmi dan tidak berbadan hukum. Dilihat dari segi usahanya sektor informal umumnya kurang terorganisir sehingga kebanyakan dari mereka adalah bekerja sendiri. Berbeda dengan sektor formal yang rata – rata pekerjanya memiliki pendidikan dan kreativitas yang tinggi. Disinilah peran sektor informal yaitu dapat menampung angkatan kerja yang tidak mampu terserap dalam sektor formal di kota. Sethurman (Tadjuddin Noer

(18)

Effendi: 9) sektor informal mempunyai peran yang cukup penting dalam menampung angkatan kerja yang baru memasuki pasar kerja, baik yang berasal dari kota maupun pendatang dari desa ke kota.

Ciri –ciri sektor informal menurut Hidayat (Tadjuddin Noer Effendi : 1995, 91):

1. Kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal.

2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha.

3. Pola kegiatan usaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja.

4. Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini.

5. Unit usaha mudah keluar masuk dari sub sektor ke lain sub sektor.

6. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional.

7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil.

8. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil kerja.

(19)

9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakan, buruh berasal dari keluarga.

10. Sumber dana modal usaha pada umumnya dari tabungan sendiri atau lembaga keuangan yang tidak resmi.

11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang – kadang juga yang berpenghasilan menengah.

Jaringan dan ikatan sosial yang dimiliki para Imigran pekerja sektor informal memungkinkan pendatang baru dari desa dengan segera memperoleh pekerjaan begitu tiba di kota. Ikatan sosial diantara para pekerja di sektor informal merupakan cara yang cukup baik untuk menjamin dalam mencari pekerjaan di kota sehingga ada pekerja sektor informal yang berasal dari desa yang sama. Pernyataan ini diperkuat dengan hasil penelitian dari Jellinek (Tadjuddin Noer Effendi, 9) yang meneliti pedagang es krim di Jakarta yang berasal dari satu desa di Jawa Tengah. Pedagang eskrim tinggal dalam satu atap dan hidup berkelompok membentuk satu kesatuan. Imigran tersebut tetap melakukan hubungan satu kesatuan dengan daerah asal, dan mereka juga masih terlibat dalam kegiatan yang ada di daerah asal mereka. Mereka bisa meninggalkan desa tanpa harus menetap dikota. Hubungan kerja sama yang terjalin diantara migran dengan juragan bersifat simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan. Kekuatan

(20)

hubungan mereka didasarkan pada hubungan kekerabatan yang kemudian mereka rubah menjadi hubungan patronase.

Dalam jurnal Jaringan Sosial Migran Sirkuler: Analisis tentang Bentuk dan Fungsi, Hugo (dikutip dalam Tri Joko S. Haryono) menjelaskan bahwa ada dua pertimbangan yang mempengaruhi kaum migran sirkuler terlibat dalam kegiatan di sektor informal. Pertama bekerja di sektor informal lebih sesuai dengan sifat migran. Tidak seperti sektor formal yang menghendaki orang bekerja enam hari dalam seminggu, dengan jam kerja secara teratur. Kedua, kaum migran jauh lebih mudah memasuki sektor informal dari pada sektor formal. Hugo mengatakan bahwa seperti sektor pertanian Jawa, sektor informal kota umumnya dapat involute dan sangat fleksibel menyerap tenaga kerja dari golongan dan kelas manapun.

Pekerja migran sirkuler banyak terlibat di sektor informal dalam komoditi berskala kecil seperti Usaha Makanan Jadi. Salah satunya Hart (Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi, 1985: 322) bahwa sektor informal kebanyakan mengusahakan distribusi bahan pangan internal dapat diterapkan di kota – kota di Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung. Sektor informal terpecah – pecah dan bersifat pada karya. Kebanyakan bahan pangan ini dibeli oleh konsumen dalam bentuk sudah jadi atau siap di makan dan dijual di pinggir jalan atau menetap pada warung - warung di pinggir jalan. Dua kelompok belum terwakili oleh kaum migran pertama, para pedagang yang terlibat

(21)

dalam apa yang disebut “usaha tersier” dengan masukan modal yang cukup besar. Contohnya adalah orang yang memiliki bus, truck dan becak. Pengusaha ini adalah orang – orang yang berasal dari kota. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang kurang terwakili adalah mereka yang berpendapatan sangat rendah, seperti pencari makanan di tong – tong sampah, penjual makanan, sopir dan tukang becak. Pekerjaan seperti ini memang cocok untuk para migran sirkuler. Karena pekerjaan seperti itu bisa memilih kebebasan hari dan jam kerja, sehingga mereka dapat pulang ke daerah asal mereka setiap saat. Para usaha sendiri di sektor informal mempunyai cukup banyak kebebasan memilih hari dan jam kerja, maka tak heran jika pekerjaan informal merupakan pekerjaan para migran sirkuler di kota.

Hubungan migran tidak hanya pada juragan, namun hubungan migran dengan daerah asal juga tetap terjalin. Lebih lanjut Mantra (Ida Bagoes Mantra,1999:9) mengungkapkan bahwa kunjungan pelaku migrasi sirkuler ke daerah asal dapat bersifat periodik dan insidental. Kunjungan bersifat periodik misalnya pada hari raya Idul Fitri atau pada hari nyadran. Pada peristiwa tersebut ada semacam kewajiban moral bagi para migran untuk berkunjung ke kampung halaman. Kunjungan bersifat insidental, dilakukan pada saat – saat tertentu, misalnya ada kerabat atau tetangga di daerah asal meninggal atau melaksanakan adat kerja. Sedangkan menurut Mabogunje (Ida Bagoes Mantra, 1999 : 9) hubungan migran dengan desa dapat dilihat dari

(22)

materi informasi yang mengalir dari kota atau daerah tujuan ke desa asal. Jenis informasi itu bersifat positif dan negatif. Informasi positif biasanya datang dari para migran yang berhasil. Hal ini berakibat:

a. Stimulus untuk pindah semakin kuat di kalangan migran potensial di desa.

b. Pranata sosial yang mengontrol mengalirnya warga desa ke luar semakin longgar.

c. Arah pergerakan penduduk tertuju ke kota – kota atau daerah tertentu

d. Perubahan pola investasi dan pemilikan tanah di desa karena tanah mulai dilihat sebagai komoditi pasar.

Sedangkan menurut Conel, (dikutip dalam Ida Bagoes Mantra, 1999, hal : 9) menyebutkan hubungan migran dengan desa atau daerah asal di negara berkembang di kenal sangat erat. Dan menjadi salah satu ciri fenomena migrasi di negara – negara sedang berkembang. Hubungan tersebut antara lain diwujudkan dengan pengiriman uang, barang – barang, bahkan ide – ide pembangunan ke daerah asal, secara langsung atau tidak langsung. Intensitas ini ditentukan oleh jarak, fasilitas transportasi, lama merantau, status perkawinan atau jarak hubungan perkawinan.

Menurut Ravenstein, Thomas dan Stouffer (Ida Bagoes Mantra, 1999, 12) Setelah para pelaku mobilitas sampai di daerah tujuan

(23)

(terutama di kota), beberapa perilaku mereka (terutama sikap mereka terhadap masyarakat kota) dapat dipostulasikan sebagai berikut:

1. Pada mulanya para

pelaku mobilitas memilih daerah tempat teman atau sanak saudara bertempat tinggal di daerah tersebut.

2. Pada masa penyesuaian diri di kota, para migran terdahulu membantu mereka dalam menyediakan tempat menginap, membantu mencarikan pekerjaan dan membantu bila kekurangan uang, dan lain – lain.

3. Kepuasan terhadap kehidupan di masyarakat baru tergantung pada hubungan sosial para pelaku mobilitas dengan masyarakat tersebut. 4. Kepuasan terhadap kehidupan di kota tergantung pada kemampuan perseorangan untuk mendapatkan pekerjaan dan adanya kesempatan bagi anak – anak untuk berkembang.

5. Setelah menyesuaikan diri dengan kehidupan Kota, para pelaku mobilitas pindah tempat tinggal dan pemilihan daerah tempat tinggal dipengaruhi oleh daerah tempat kerja.

6. Keinginan untuk kembali ke daerah asal adalah fungsi dari kepuasan mereka dengan kehidupan kota. Mereka tidak enggan bertempat tinggal pada tempat dengan kondisi yang serba kurang asal dapat memperoleh ekonomi yang tinggi.

7. Kehidupan masyarakat di kota adalah sedemikian rupa. Hal ini menyebabkan para migran cepat belajar untuk mengatasi kesulitan – kesulitan yang dihadapi.

8. Perilaku migran adalah orang kota dan orang desa

Migran sirkuler yang mondok di daerah tujuan tetap mengadakan kontak dengan masyarakat daerah asal. Baik melalui kunjungan – kunjungan rutin maupun melalui kunjungan pada peristiwa – peristiwa penting, seperti kelahiran, kematian, dan perkawinan. Di samping itu

(24)

kontak antara para migran dengan orang di daerah asal dilakukan pula pada hari – hari besar atau pada waktu migran terdahulu dikunjungi di kota. Mereka (yang sudah berdomisili di kota) umumnya membantu para migran berikutnya yang berasal dari daerah yang sama dalam menyediakan pondokan, mencarikan pekerjaan dan bahkan sering memberikan bantuan keuangan (Mantra, 1999 : 29). Hubungan dengan daerah asal ini merupakan sebuah hubungan resiprositas. Artinya resiprositas menunjuk pada gerakan diantara kelompok – kelompok dimana mereka masih terikat pada nilai dan norma di daerah asal mereka. Hubungan ini terjadi apabila hubungan timbal balik diantara individu dengan individu, atau antar kelompok sering dilakukan. Misalnya dalam masyarakat desa terdapat istilah sambatan, yang artinya bergotong royong bersama – sama membangun rumah ataupun fasilitas – fasilitas desa seperti masjid dan jalan raya. Tanpa harus diberi kabar oleh kerabatnya para kerabat harus datang, begitu juga sebaliknya. Selain sambatan, hubungan resiprositas juga ada dalam peristiwa panen padi. Biasanya masyarakat di daerah asal memberi tahu kepada kerabat yang ada di kota. Kemudian kerabat yang ada di kota pulang dan meninggalkan aktivitasnya.

Interaksi sosial adalah suatu hubungan timbal balik antar individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Relasi sosial merupakan sebuah hubungan yang terjalin baik antar manusia, maupun antar kelompok untuk mencapai tujuan.

(25)

Hubungan tersebut biasanya ditandai dengan adanya interaksi antar manusia yang terjadi antar kelompok dengan kelompok. Relasi sosial merupakan hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain dan saling mempengaruhi. Gillin dan Gillin (Soekanto, 1990 : 77) mengidentifikasi proses sosial menjadi dua macam yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu :

a. Proses asosiatif (processes of association) yang terbagi menjadi tiga bentuk khusus, yaitu akomodasi, asimilasi dan akulturasi.

b. Proses disosiatif (processes of dissociation) mencakup persaingan dan persaingan yang meliputi kontravensi dan pertentangan atau pertikaian (conflict)

Dapat disimpulkan bahwa relasi sosial terbentuk akibat dari adanya interaksi sosial yang terjalin antar warga masyarakat. Interaksi sosial sendiri bisa terjadi apabila terdapat kontak sosial serta komunikasi yang dilakukan antar individu atau antar kelompok. Dalam hal ini interaksi dan relasi sosial yang dijadikan bahan dan kajian adalah fenomena interaksi dan relasi migran yang bekerja sebagai penjual bakwan kawi. Kehidupan mereka menyatu dengan masyarakat dusun Kerten dan memungkinkan menjalin sebuah hubungan sosial yang terjalin diantara mereka. Hubungan migran tidak hanya di daerah tujuan saja namun juga dengan daerah asal mereka. Teori ini

(26)

digunakan untuk menganalisis relasi sesame migran, migran dengan daerah asal dan relasi migran dengan di daerah tujuan.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Untuk menjelaskan permasalahan mengenai Mobilitas penduduk Gunung Kidul di Sektor Informal Pedagang Bakwan Kawi peneliti memilih lokasi di Kerten, Imogiri, Bantul. Satuan Analisis yang diteliti dilapangan adalah pedagang bakwan kawi di Kerten, Imogiri, Bantul. Penelitian yang digunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Penelitian dilakukan dengan cara pengamatan, wawancara dan penelaahan dokumen. Penelitian kualitatif dipilih karena beberapa pertimbangan, diantaranya metode kualitatif lebih mudah dilakukan dilapangan. Metode ini juga lebih peka dan dapat menyesuaikan diri di lapangan.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kerten, Kecamatan Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Alasan memilih lokasi ini karena di desa Kertan terdapat para pedagang Bakwan Kawi yang mereka tinggal dalam satu atap dan berasal dari satu daerah yang sama. Mereka adalah para Imigran Gunung Kidul. Daerah ini adalah daerah yang dekat dengan tempat tinggal warga dan keramaian.

(27)

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga metode pengumpulan data untuk menjelaskan fenomena yang terjadi, yakni metode observasi, metode wawancara dan metode pengumpulan data sekunder. Alasan menggunakan metode – metode ini adalah untuk mengungkapkan berbagai fakta yang ada di lapangan yang tentunya akan berpengaruh terhadap validitas data yang diperoleh. Penjabaran ketiga metode pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut :

 Observasi

Observasi yang dilakukan adalah melihat dan mengamati dari dekat rutinitas para penjual Bakwan Kawi di Desa Kerten Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Observasi dilakukan saat mulai pembuatan Bakwan Kawi, hingga proses penjualan Bakwan kawi yang dilakukan oleh Pedagang Bakwan Kawi di Kerten, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Kendala – kendala yang dirasakan pada saat melakukan observasi adalah sulitnya menentukan waktu untuk melakukan pengamatan karena harus menyesuaikan waktu para migran. Melihat kemungkinan bahwa objek yang diteliti memiliki rasa tidak percaya serta tidak memungkinkannya bentuk komunikasi lain, dimana penulis berada di luar dari bagian suatu komunitas yang ada, teknik pengamatan ini dapat membantu penulis guna memahami hal - hal yang tidak diungkapkan sebelumnya.

(28)

 Wawancara

Melalui metode in-depth interview ini peneliti mendapatkan informasi melalui tanya jawab secara langsung dengan informan menggunakan interview guide. Isi wawancara yang sudah dilakukan adalah mengenai alasan mengapa angkatan kerja Gunung Kidul memilih melakukan mobilitas ke Bantul, serta mengapa para migran Gunung Kidul lebih memilih bekerja sebagai Pedagang Bakwan Kawi. Wawancara dilakukan secara langsung dengan informan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Dalam pelaksanaannya peneliti terlebih dahulu melakukan kesepakatan untuk melakukan wawancara. Wawancara terjadi di kontrakan penjual bakwan kawi dan di lokasi dimana para migran ngetem. Kendala – kendala yang dirasakan saat melakukan wawancara adalah kesulitan dalam menentukan waktu wawancara dan bagaimana menyampaikan interview guide kepada informan agar bisa dimengerti dan paham akan maksud dari pertanyaan tersebut. Selain itu peneliti dianggap sebagai orang luar oleh para migran, sehingga peneliti merasa sulit untuk membaur dengan para migran.  Dokumentasi

Sumber data digunakan untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh penjual Bakwan Kawi di Kerten, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Sumber dokumentasi diantaranya adalah daftar penjual Bakwan Kawi dan

(29)

nama - nama pekerja pembuat Bakwan Kawi, daftar buku setoran pendapatan. Peneliti juga akan mengambil data lapangan sebagai pendukung penelitian dan menambah data sekunder yang ada.  Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder adalah proses untuk melakukan pembandingan data antara observasi dan wawancara dengan data yang diperoleh dari sumber – sumber terpercaya, seperti buku, artikel dan jurnal ilmiah. Pengumpulan data ini merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari BPS tahun 2012 menegenai Kecamatan Saptosari dan data tentang monografi penduduk kelurahan Imogiri Bantul tahun 2015.

4. Informan

Dalam penelitian ini untuk melakukan pemilihan informan, peneliti menggunakan teknik pemilihan informan yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Rencana awal Peneliti mengambil 8 informan yang bekerja sebagai pedagang Bakwan Kawi Keliling di Imogiri. Namun karena 2 orang pekerja sedang pulang ke daerah asalnya maka peneliti hanya mendapatkan 6 informan yaitu suami istri atau pemilik usaha, dan 4 pekerja. Selain para pedagang peneliti juga memilih juragan Bakwan Kawi di Imogiri, sebagai informan untuk melengkapi data di lapangan. Kemudian untuk

(30)

menambah data peneliti juga melakukan wawancara dengan perangkat desa di Kerten, Imogiri, Bantul dan wawancara dengan warga disekitar rumah Imigran Gunung Kidul.

Informan sebagai narasumber dalam penelitian ini adalah, pemilik atau juragan bakwan kawi,dan penjual bakwan kawi atau pekerja di dusun Kertan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Juragan Bakwan Kawi bernama bapak Supadi dan Ibu Katiyem. Peneliti menganggap kedua infroman ini adalah informan yang paling mengerti dan paham tentang kondsi dan perkembangan usaha Bakwan Kawi. informan tersebut diambil untuk melihat perbandingan dan hubungan yang terjalin serta alasan apa mereka melakukan migrasi sirkuler. Hal ini dilakukan karena untuk memberikan variasi data. Selain itu peneliti juga memfokuskan pada 4 migran yang ada di dusun Kerten. Keempet informan tersebut adalah bapak Mariadi, bapak Yunanto, Bapak Kasno dan bapak Sukardi. Alasan memilih informan tersebut karena status mereka yang sudah menikah sehingga mereka berkewajiban member nafkah untuk keluarga inti.

Kemudian peneliti juga mengambil informan dengan masyarakat yang tinggal disekitar tempat tinggal penjual bakwan kawi. Peneliti mengambil masyarakat sekitar sebagai informan bertujuan untuk memberikan tambahan informasi agar data yang diperoleh semakin bervariasi. Dari data informan ditemukan bahwa

(31)

usia para migran bervariasi yang mana memberikan pengaruh terhadap hasil penelitian. Salah satunya adalah usia mempengaruhi jumlah pendapatan sehari – hari. Berikut daftar nama informan

Tabel 1.1. Data Informan

NAMA UMUR ALAMAT STATUS

Pak Supadi 44 Saptosari,

Gunung Kidul

Menikah/ Juragan

Pak Maridi 48 Saptosari,

Gunung Kidul

Menikah/ Buruh

Pak Yunanto 37 Saptosari,

Gunung Kidul

Menikah/ Buruh

Pak Sukardi 49 Saptosari,

Gunung Kidul

Menikah/Buruh

Pak Makno 48 Saptosari,

Gunung Kidul

(32)

5. Analisis Data

Analisa data yang digunakan adalah analisi data kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan -bahan lainnya, sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Aktivitas dalam analisis data yaitu pengumpulan data, reduksi data (reduction), penyajian data (display data) dan penarikan kesimpulan.

 Pengumpulan Data

Pada tahap ini peneliti mencari data di lapangan. Data dikumpulkan sesuai dengan sumber, metode dan instrumen pengumpulan data. Data penelitian diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dokumentasi dan data sekunder.Untuk melengkapi informasi data yang diperoleh, peneliti juga menghimpun, memeriksa dan mencatat dokumen - dokumen yang menjadi sumber data penelitian.

 Reduksi Data

Ibu Kartiyem 35 Saptosari,

Gunung Kidul

Menikah/Istri Juragan

(33)

Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, maka dari itu peneliti kemudian mereduksi catatan lapangan dan hasil – hasil data lainnya. Caranya dengan peneliti merangkum, mengambil data yang pokok dan penting, kemudian peneliti membuat kategorisasi. Maka peneliti memfokuskan pada data-data mengenai pedagang Bakwan Kawi. Kemudian peneliti juga memisahkan data yang tidak diperlukan. (Sugiyono,2012:247-294)  Penyajian Data

Penyajian (display) data diartikan proses pengumpulan informasi dan data yang disusun berdasarkan kategori atau pengelompokan yang diperlukan atau data yang sudah direduksi. Data yang telah disajikan tersebut kemudian dianalisis serta diinterpretasikan untuk memperoleh kesimpulan berupa tujuan penelitian. (Sugiyono, 2012:249-252)

 Penarikan Kesimpulan

Analisis data merupakan tahap terakhir dari teknik analisis data. Data yang sudah di analisis dengan menggunakan teori Mobilitas Penduduk, Sektor Informal dan teori interaksi dan relasi sosial mengenai alasan apa saja yang membuat angkatan kerja Gunung Kidul melakukan mobilitas ke Imogiri, serta mengapa memilih bekerja di sektor informal pedagang Bakwan Kawi. Kemudian peneliti menarik sebuah kesimpulan.(Sugiyono,2012:252-253)

Gambar

Tabel 1.1. Data Informan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan keahlian yang terbatas, implementasi kegiatan rehabilitasi ditemukan masalah yaitu rumah yang direhabilitasi tidak sesuai dengan kriteria fisik dan non fisik

Penilaian diberikan dengan bertanya kepada mahasiswa dengan metode acak berkaitan dengan materi perkuliahan yang telah disampaikan untuk mengetahui sejauh mana

Tujuan peninjauan terhadap kecukupan dan keefektifan suatu sistem pengendalian internal adalah untuk menentukan apakah sistem yang telah ditetapkan dapat memberikan

Kalimat dalam wacana di atas kini tak tertarik mengejar popularitas ini menunjukkan bahwa perempuan setelah berkeluarga terutama yang mempunyai anak biasanya

Pertimbangan para redaktur dan pimpinan adalah bahwa perempuan memiliki keterbatasan dalam hal fisik artinya secara kodrati tidak mampu melaksanakan tugas dengan

Berdasarkan hasil dari penelitian, tahap-tahap pelaksanaan pendaftaran tanah sistematis lengkap dari penetapan lokasi,pembentukan panitia ajudikasi,

Pengumpulan limbah Medis Padat dari setiap ruangan di Puskesmas induk dilakukan setiap hari untuk limbah infeksius non benda tajam dan toksik farmasi. Pengumpulan

Gerakan Literasi Sekolah merupakan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala