• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unnes Journal of Public Health

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Unnes Journal of Public Health"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

UJPH 4 (4) (2015)

Unnes Journal of Public Health

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU

PENCEGAHAN PENYAKIT LEPTOSPIROSIS (Studi Kasus di Kelurahan

Tandang Kecamatan Tembalang Kota Semarang)

Ayu Nur Illahi , Arulita Ika Fibriana

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel ________________ Sejarah Artikel: Diterima September 2015 Disetujui September 2015 Dipublikasikan Oktober 2015 ________________ Keywords: Leptospirosis; Prevention behavior; Leptospirosis disease ____________________ Abstrak ___________________________________________________________________ Leptospirosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang berbahaya yang disebabkan oleh bakteri leptospira. Pelaksanaan pencegahan penyakit leptospirosis masih mengalami hambatan. Penelitian ini adalah explanatory research dengan rancangan cross sectional. Sampel berjumlah 80 dengan responden ibu rumah tangga. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa variabel yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis adalah pengetahuan (p value=0,023), umur (p value=0,005), pendidikan (p value=0,000), pendapatan keluarga (p value=0,014), sumber informasi (p value=0,001), dan dukungan keluarga (p value=0,017). Variabel yang tidak berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis adalah sikap, pekerjaan, akses pelayanan kesehatan, dan pengalaman. Abstract

___________________________________________________________________ Leptospirosis is an emerging infectious diseases caused by Leptospira bacteria. Implementation for prevention behavior of Leptospirosis diseases is barrier. This research was an explanatory research with cross sectional design. Samples numbered 80 and the respondents were housewife. Data analysis was performed by univariate and bivariate. Based on the results of this study found that variables related with prevention behavior Leptospirosis diseases were knowledge (p value= 0.023), age (p value= 0.005), education (p value= 0.000), family income (p value= 0.014), information resources (p value= 0.001), and family support (p value= 0.017). Variables that were not related with prevention behavior Leptospirosis diseases were attitude, occupation, health service access, and experience.

© 2015 Universitas Negeri Semarang

Alamat korespondensi:

Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes

Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: ayunurillahiii@gmail.com

(2)

Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

PENDAHULUAN

Leptospirosis merupakan salah satu penyakit infeksi akut yang berbahaya yang disebabkan oleh bakteri patogen yaitu leptospira. Leptospira dapat menyerang semua jenis mamalia seperti tikus, anjing, kucing, landak, dan sapi. Dapat ditularkan dari hewan kepada manusia atau disebut dengan zoonosis. L. interrogans adalah spesies yang dapat menginfeksi manusia dan hewan. Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, baik di negara berkembang maupun di negara maju, di daerah pedesaan maupun di perkotaan (Widoyono, 2008).

Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat menyerang manusia maupun hewan yang paling tersebar luas di dunia. Sebagian besar negara-negara yang terletak di Asia Tenggara merupakan negara endemik leptospirosis (Tilahun et al, 2013). Kasus leptospirosis banyak dijumpai sesudah banjir atau pada musim penghujan. Musim penghujan juga menyebabkan adanya perubahan yang terjadi pada lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan yang menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah, yang menyebabkan mudahnya bakteri leptospira

untuk berkembang biak dan

mengkontaminasi lingkungan disekitarnya.

World Health Organization (WHO) memperkirakan tingkat insiden leptospirosis tahunan di daerah endemik yaitu dari 1 per 100.000 penduduk, meningkat menjadi 100 per 100.000 penduduk selama wabah di daerah iklim tropis, dibandingkan dengan daerah beriklim subtropis dari 0,1-1 per 100.000 penduduk. Insiden tertinggi di dunia terdapat di Karibia dengan tingkat kematian kasus setinggi 23,6% (Keenan et

al, 2010) .

Leptospirosis terjadi lebih banyak 1000 kali pada negara yang beriklim tropik

dibandingkan dengan negara subtropik yang memiliki risiko penyakit lebih berat. Indonesia termasuk dalam negara yang beriklim tropik dan merupakan salah satu

negara berkembang dengan jumlah

kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Di Indonesia leptospirosis ditemukan antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Risiko penularan leptospirosis umumnya menyerang para pekerja yang berhubungan dengan hewan liar dan hewan peliharaan seperti peternak, petani, petugas laboratorium hewan, pekerja perkebunan, dan bahkan tentara. Di samping itu tidak sedikit pula para penggemar olahraga renang yang terinfeksi leptospirosis (Widoyono, 2008).

International Leptospirosis Society

menyatakan bahwa Indonesia sebagai

Negara dengan angka kejadian

Leptospirosis yang cukup tinggi dan merupakan peringkat mortalitas ketiga di dunia (Djunaedi, 2007). Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian leptospirosis di Indonesia mencapai 2,5-16,45% (Anies et al, 2009). Dari tahun 2005 sampai tahun 2011 jumlah kasus leptospirosis di Indonesia terus mengalami peningkatan (Kementerian Kesehatan RI, 2012).

Pada tahun 2012 wilayah kota Semarang yang memiliki jumlah kasus tertinggi adalah Kecamatan Tembalang yaitu sebanyak 14 kasus dan 1 orang meninggal (CFR = 7,1%). Kecamatan Tembalang merupakan wilayah kota Semarang yang mengalami peningkatan jumlah kasus leptospirosis khususnya

(3)

Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu. Pada tahun 2011 di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu terdapat 7 kasus leptospirosis dan 3 orang meninggal (CFR = 42,86%) dan pada tahun 2012 jumlah kasus di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu mengalami peningkatan sebanyak 14 kasus dan 1 orang meninggal (CFR = 7,1%). Kasus Leptospirosis tertinggi di Kecamatan Tembalang terdapat di Kelurahan Tandang yaitu sebanyak 6 kasus dan tidak ada yang meninggal dengan jumlah IR 30,23 per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2011).

Dengan meningkatnya kasus

leptospirosis dari tahun ke tahun maka diperlukan suatu cara untuk menurunkan kejadian leptospirosis. Cara untuk menurunkan angka kesakitan penyakit ini yaitu dengan melakukan upaya-upaya pencegahan (Budisaputro, 2002). Kegiatan pencegahan tersebut dianggap murah, aman, mudah serta memiliki keberhasilan yang tinggi apabila dilakukan secara rutin dan serentak. Namun, dalam pelaksanaan pencegahan penyakit leptospirosis masih mengalami hambatan karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam melakukan pencegahan penyakit leptospirosis tersebut.

Dari hasil studi pendahuluan di Kelurahan Tandang yang telah dilakukan pada bulan Oktober 2013 dengan jumlah responden 50 orang yaitu RT 9/14 sebanyak 7 orang, RT 11/13 8 orang, RT 9/12 7 orang, RT 4/9 7 orang, RT 10/13 7 orang, RT 9/2 7 orang, dan RT 1/9 7 orang. Diketahui bahwa sebesar 57% responden memiliki pengetahuan tentang

leptospirosis yang masih kurang, 75%

memiliki sikap kurang mendukung

terhadap pencegahan leptospirosis, 56% memiliki pendapatan sedang, 46% memiliki hewan piaraan, dan 48% memiliki perilaku pencegahan leptospirosis yang buruk yaitu perilaku menyimpan makanan, perilaku mengobati dan menutup luka, dan perilaku memakai alas kaki.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian

explanatory research dengan metode observasional serta rancangan penelitian

Cross sectional. Jenis metode yang digunakan adalah metode survei. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan cluster sampling (area

sampling). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga yang berada

di Kelurahan Tandang Kecamatan

Tembalang Kota Semarang yaitu sebanyak 6.072 kepala keluarga. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 80 kepala keluarga dengan responden ibu rumah tangga.

Pengumpulan data dilakukan dengan

cara dengan menyebarkan angket/

kuesioner, check list observasi lingkungan, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian mengenai perilaku pencegahan penyakit leptospirosis dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Hasil Penelitian

No. Variabel Kategori Perilaku Pencegahan

(4)

Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015) Buruk Baik n % n % n % 1. Pengetahuan Kurang 29 70,7 12 29,3 41 100 0,023 Cukup + baik 17 43,6 22 56,4 39 100 Total 46 57,5 34 42,5 80 100 2. Umur Dewasa 26 44,8 32 55,2 58 100 0,005 Lansia 18 81,8 4 18,2 22 100 Total 44 55 36 45 80 100 3. Pendidikan Rendah 37 83,3 7 16,7 42 100 0,000 Tinggi 16 42,1 22 57,9 38 100 Total 51 63,8 29 36,3 80 100 4. Sikap Tidak Mendukung 5 83,3 1 16,7 6 100

0,667 Mendukung 52 70,3 22 29,7 74 100

Total 57 71,3 23 28,8 80 100

5. Pekerjaan Tidak Bekerja 32 53,3 28 46,7 60 100

1,000 Bekerja 11 55 9 45 20 100 Total 43 53,8 37 46,3 80 100 6. Pendapatan Keluarga Rendah 39 76,5 12 23,5 51 100 0,014 Tinggi 14 48,3 15 51,7 29 100 Total 53 66,3 27 33,8 80 100 7. Sumber Informasi Tidak Ada 33 84,6 6 15,4 39 100 0,001 Ada 20 48,8 21 51,2 41 100 Total 53 66,3 27 33,8 80 100 8. Akses Pelayanan Kesehatan Kurang 18 69,2 8 30,8 26 100 0,797 Baik 39 72,2 15 27,8 54 100 Total 57 71,3 23 28,8 80 100 9. Pengalaman Tidak Ada 51 72,9 19 27,1 70 100

0,462 Ada 6 60 4 40 10 100 Total 57 71,3 23 28,8 80 100 10. Dukungan Keluarga Rendah 36 72 14 28 50 100 0,017 Tinggi 13 43,3 17 56,7 30 100 Total 49 61,3 31 38,8 80 100 Pengetahuan

Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,023 (p<0,05), yang berarti bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 41 responden yang memiliki pengetahuan kurang tentang penyakit leptospirosis, 29,3% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik, sedangkan 39 responden memiliki pengetahuan cukup dan baik tentang penyakit leptospirosis, 56,4%

responden memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Supraptono dkk (2011) bahwa pengetahuan memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian leptospirosis (p=0,00). Hal ini menunjukkan dimana pengetahuan memiliki peran penting untuk seseorang mengetahui penyakit dan cara pencegahannya. Apabila pengetahuan tentang penyakit leptospirosis kurang maka

(5)

Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

berpengaruh pada perilaku pencegahan penyakit leptospirosis.

Berdasarkan penelitian di lapangan, sebanyak 65% tidak mengetahui pengertian dari penyakit leptospirosis, 46,2% tidak

mengetahui penyebab penyakit

leptospirosis, 55,6% tidak mengetahui tanda dan gejala penyakit leptospirosis, 54,7% tidak mengetahui penularan penyakit leptospirosis, dan 94,4% tidak mengetahui pencegahan penyakit leptospirosis. Responden yang memiliki pengetahuan tentang leptospirosis cukup+baik (40%) memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis baik dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan tentang leptospirosis kurang. Hal ini dikarenakan responden yang memiliki pengetahuan tentang leptospirosis lebih memahami bagaimana cara mencegah penyakit leptospirosis.

Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Nurjanah (2013) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan leptospirosis.

Teori Notoatmodjo (2012) juga

mengatakan bahwa pengetahuan atau

kognitif berperan penting dalam

membentuk perilaku atau tindakan seseorang. Pengetahuan responden dapat diperoleh baik secara internal yaitu pengetahuan yang berasal dari dirinya sendiri berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari dan eksternal berdasarkan dari orang lain. Perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Umur

Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,005 (p<0,05), yang berarti bahwa ada hubungan antara umur dengan perilaku pencegahan penyakit

leptospirosis. Dari 58 responden yang berumur dewasa (26-45 tahun), 55,2% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik, sedangkan 22 responden yang berumur lansia (46-55 tahun), 18,2% responden memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik.

Berdasarkan penelitian di lapangan, sebagian besar responden memiliki kategori umur dewasa yaitu dari 26-45 tahun. Dimana umur dapat mempengaruhi

pengetahuan seseorang khususnya

pengetahuan tentang leptospirosis dan pencegahannya. Responden yang memiliki umur sekitar 26-45 tahun lebih banyak mengetahui tentang penyakit leptospirosis dibandingkan dengan responden yang memiliki kategori umur lansia yaitu dari 46-55 tahun.

Pendidikan

Berdasarkan hasil uji statistik Chi

square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05), yang berarti bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 42 responden yang memiliki pendidikan rendah, 16,7% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik, sedangkan 38 responden yang memiliki pendidikan tinggi, 57,9% responden memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik.

Berdasarkan penelitian di lapangan, tingkat pendidikan responden sebagian besar adalah memiliki pendidikan rendah yaitu tidak sekolah, SD dan SMP. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki responden, khususnya pengetahuan tentang penyakit leptospirosis serta cara pencegahannya. Pendidikan merupakan hal yang penting yang dapat mempengaruhi pola pikir

(6)

Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

seseorang termasuk tindakan seseorang dalam mengambil keputusan untuk

melakukan pencegahan penyakit

leptospirosis. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka mereka cenderung untuk

melakukan pencegahan penyakit

leptospirosis.

Menurut Notoatmodjo (2012)

kelompok masyarakat yang berpendidikan tinggi cenderung lebih mengetahui cara-cara mencegah suatu penyakit. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah seseorang menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.

Sikap

Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,667 (p>0,05), yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara sikap dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis.

Hasil penelitian di lapangan, ditemukan bahwa tidak ada perbedaan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis antara responden yang bersikap tidak mendukung dengan responden yang bersikap mendukung pencegahan penyakit leptospirosis. Responden dalam penelitian ini sebagian besar memiliki sikap yang mendukung terhadap pencegahan penyakit leptospirosis yaitu sebesar 92,5%. Sebagian besar responden menyatakan sikap mendukung terhadap pencegahan penyakit leptospirosis, namun dari hasil pengamatan atau observasi lingkungan, perilaku responden tidak sesuai dengan sikap yang

mendukung pencegahan penyakit

leptospirosis.

Perilaku pencegahan penyakit leptospirosis tidak hanya dipengaruhi oleh faktor sikap. Setiap individu memiliki cara berfikir, emosi, kecerdasan, motivasi dan persepsi yang berbeda. Sikap yang

mendukung tidak menjamin seseorang untuk berperilaku lebih baik. Menurut

Notoatmodjo (2012) mengungkapkan

bahwa perilaku tidak sama dengan sikap, sikap hanyalah sebagian dari perilaku. Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan, diperlukan faktor pendukung antara lain dukungan dari anggota keluarga untuk melakukan pencegahan penyakit leptospirosis.

Pekerjaan

Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=1,000 (p>0,05), yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 60 responden yang tidak bekerja yang memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis baik sebesar 46,7% dan dari 20 responden yang bekerja 45% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis baik. Responden terbanyak adalah yang tidak bekerja yaitu sebagai ibu rumah tangga (IRT) sebanyak 60 responden (75%), yang bekerja sebagai pedagang sebanyak 13 responden (16,3%), pembantu rumah tangga (PRT) sebanyak 4 responden (5%), pegawai negeri sipil (PNS/Guru SD) sebanyak 1 responden (1,3%) dan pegawai swasta sebanyak 2 responden (2,5%).

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Priyanto dkk (2009) yang mengemukakan bahwa ada hubungan pekerjaan dengan kejadian leptospirosis

dimana untuk mencegah penyakit

leptospirosis dapat dilakukan dengan cara menghindari faktor risiko penularannya. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan

bahwa yang melakukan perilaku

pencegahan penyakit leptospirosis dengan baik lebih banyak adalah responden yang tidak bekerja dibandingkan dengan responden yang bekerja. Responden yang

(7)

Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

tidak bekerja merupakan ibu rumah tangga yang sebagian besar waktunya berada di rumah. Dimana tugas atau pekerjaan ibu rumah tangga yaitu melakukan aktivitas rumah tangga seperti membersihkan lingkungan rumah.

Pendapatan Keluarga

Berdasarkan hasil uji statistik Chi

square diperoleh nilai p=0,014 (p<0,05), yang berarti bahwa ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 51 responden yang memiliki pendapatan keluarga yang rendah (<umk Kota Semarang), 23,5% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik, sedangkan 29 responden yang memiliki pendapatan keluarga yang tinggi (>umk Kota Semarang), 51,7% responden memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik.

Tingkat pendapatan keluarga menjadi

pertimbangan responden akan

memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan yang dikehendaki. Responden yang memilki pendapatan keluarga yang rendah atau dibawah UMK Kota Semarang yaitu <

Rp. 1.423.500,00 apabila mereka

mengalami gejala sakit mereka akan

mempertimbangkan nilai ekonomis

terhadap transportasi dan biaya obat. Berdasarkan penelitian di lapangan, beberapa responden mengungkapkan

apabila mengalami sakit hanya

membiarkannya dan hanya membeli obat-obatan yang dijual di warung. Mereka hanya akan memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan apabila obat warung tidak memberikan efek. Responden beranggapan untuk menghemat biaya pengobatan yaitu dengan membeli obat warung, hal tersebut dilakukan agar tidak

mengeluarkan banyak uang untuk

transportasi ke tempat pelayanan kesehatan dan biaya berobat.

Sumber Informasi

Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,001 (p<0,05), yang berarti bahwa ada hubungan antara sumber informasi dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 39 responden yang tidak ada sumber informasi tentang penyakit leptospirosis, 15,4% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik, sedangkan 41 responden yang ada sumber informasi tentang penyakit leptospirosis, 51,2% responden memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, responden mengetahui informasi tentang penyakit leptospirosis yaitu dari petugas kesehatan yang memberikan penyuluhan tentang leptospirosis atau lebih dikenal dimasyarakat sebagai penyakit

kencing tikus. Sebanyak 11,5%

mendapatkan informasi mengenai penyakit leptospirosis melalui petugas kesehatan, 10% melalui penyuluhan, melalui arisan atau perkumpulan PKK sebanyak 12,3%, dan melalui tetangga sebanyak 16,3%.

Responden yang mendapatkan

informasi tentang leptospirosis dari tetangga mereka akan lebih berhati-hati karena mereka sudah pernah melihat langsung dan mengetahui tentang penyakit leptospirosis. Dengan mengetahui penyakit leptospirosis maka perilaku pencegahan penyakit leptospirosis pun seharusnya akan semakin baik karena telah mengetahui akibat dari penyakit leptospirosis apabila tidak dicegah dan tidak mendapat penanganan yang tepat.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Quina et al (2014) yang

(8)

Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

leptospirosis akan berjalan dengan baik apabila informasi tentang penyakit dan pencegahan leptospirosis disampaikan oleh anggota keluarga dan teman dekat. Selain itu, penyampaian informasi melalui media massa juga dapat menjadi tambahan pengetahuan tentang leptospirosis serta pencegahannya.

Akses Pelayanan Kesehatan

Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,797(p>0,05), yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 26 responden dengan akses pelayanan kesehatan kurang yang memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis baik sebesar 30,8% dan dari 54 responden dengan akses pelayanan kesehatan yang baik 27,8% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis baik.

Berdasarkan penelitian di lapangan 66,3% mengatakan bahwa Puskesmas merupakan pelayanan kesehatan yang terdapat di daerah tempat tinggal mereka. Di daerah dekat tempat tinggal semua responden tidak terdapat rumah sakit, 71,3% pelayanan kesehatan yang terdapat di daerah tempat tinggal responden adalah puskesmas, 7,5% mengatakan klinik swasta adalah pelayanan kesehatan yang ditempuh dengan jarak yang cukup dekat dan tidak memerlukan waktu lama, dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki, 12,5% mengatakan kesulitan menuju ke tempat pelayanan kesehatan, dan 10% mengatakan pelayanan petugas kesehatan yang kurang baik.

Hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yaitu apabila responden tidak mengetahui tentang penyakit leptospirosis, responden dapat

bertanya atau berkonsultasi ke pelayanan kesehatan terdekat tentang penyakit leptospirosis, pencegahannya serta pengobatan apabila terkena penyakit leptospirosis. Akses pelayanan kesehatan yang baik dapat didukung oleh jarak yang dekat yaitu kurang lebih 3 km, waktu yang ditempuh menuju pelayanan kesehatan tidak lebih dari 15 menit dan tidak ada kesulitan dalam transportasi serta mendapatkan pelayanan yang baik.

Pengalaman

Berdasarkan hasil uji statistik Chi

square diperoleh nilai p=0,462 (p>0,05), yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara pengalaman dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 70 responden yang tidak memiliki atau tidak

ada pengalaman tentang penyakit

leptospirosis, 27,1% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik, sedangkan 10 responden yang memiliki atau ada pengalaman tentang penyakit leptospirosis, 40% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, responden yang tidak ada atau tidak memiliki pengalaman tentang penyakit leptospirosis kurang peduli dengan penyakit leptospirosis. Semua responden

tidak pernah menderita penyakit

leptospirosis, 17,5% responden memiliki anggota keluarga yang pernah menderita penyakit leptospirosis, dan 30% responden memiliki tetangga yang pernah menderita penyakit leptospirosis.

Menurut mereka penyakit

leptospirosis bukan penyakit yang berbahaya namun perlu untuk dicegah penyebarannya. Sedangkan pada responden yang memiliki atau pernah ada pengalaman tentang leptospirosis baik anggota keluarga

(9)

Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

maupun berdasarkan pengalaman tetangga

yang pernah menderita penyakit

leptospirosis, sehingga sebagian besar responden memiliki anggapan bahwa penyakit leptospirosis berbahaya dan dapat menyebabkan kematian apabila tidak ditangani secara tepat.

Dukungan Keluarga

Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,017 (p<0,05), yang berarti bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 50 responden yang memiliki dukungan keluarga rendah, 28% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik, sedangkan 30 responden yang memiliki dukungan keluarga tinggi, 56,7% responden memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, ditemukan bahwa responden yang memiliki dukungan keluarga tinggi cenderung lebih baik dalam melakukan pencegahan penyakit leptospirosis dibandingkan dengan responden yang memiliki dukungan keluarga rendah. Hal tersebut dikarenakan adanya dukungan keluarga akan mempengaruhi perilaku pencegahan penyakit leptospirosis pada responden.

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2012) menjelaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya yaitu faktor penguat yang

mendorong atau yang memperkuat

terjadinya perilaku dan memperkuat perilaku yang terkait dengan kepatuhan.

Dukungan keluarga terdiri dari 4 aspek yaitu dukungan emosional keluarga yang dapat mempengaruhi perasaan dan motivasi seseorang, dukungan penghargaan keluarga merupakan bentuk fungsi afektif

keluarga dalam meningkatkan status

psikososial, dukungan informasi

merupakan informasi mengenai penyakit yang diderita oleh salah satu keluarga untuk

meningkatkan pengetahuan dalam

melakukan pencegahan penyakit

leptospirosis dan dukungan instrumental merupakan dukungan yang diberikan oleh keluarga meliputi penyediaan fasilitas seperti tenaga, dana dan waktu luang untuk memberikan pengaruh yang berarti dalam

pembentukkan perilaku pencegahan

penyakit leptospirosis. SIMPULAN

Berdasarkan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis (studi kasus di Kelurahan Tandang Kecamatan Tembalan Kota Semarang), dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara pengetahuan (p value=0,023), umur (p

value=0,005), pendidikan (p value=0,000), pendapatan keluarga (p value=0,014), sumber informasi (p value=0,001), dan dukungan keluarga (p value=0,017) dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Tidak ada hubungan antara sikap (p

value=0,667), pekerjaan (p value=1,000), akses pelayanan kesehatan (p value=0,797), dan pengalaman (p value=0,462).

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami

tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II, Kelurahan Tandang Kecamatan Tembalang Kota Semarang, Keluarga, serta teman-teman yang telah memberi bantuan dan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini.

(10)

Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

DAFTAR PUSTAKA

Anies, Suharyo H, M. Sakundarno, dan Suhartono, 2009, Lingkungan dan Perilaku pada Kejadian

Leptospirosis, Volume 43, Nomor 6, halaman 306-311.

Budisaputro, B, 2002, Pengantar Pendidikan (Penyuluhan) Kesehatan Masyarakat, Semarang: Universitas Diponegoro.

Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2011, Profil

Kesehatan Kota Semarang, Semarang: Dinkes Kota Semarang.

Djunaedi, D, 2007, Kapita Selekta Penyakit Infeksi, Malang: UMM Press.

Keenan J, G. Ervin, M. Aung, G. McGwin Jr, dan P. Jolly, 2010, Risk Factors for Clinical Leptospirosis

from Western Jamaica, Am, J, Trop, Med, Hyg,83(3), 2010, pp, 633–636.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012,

Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2012, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Notoatmodjo, S, 2012, Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan

Seni, Jakarta: Rineka Cipta.

Nurjanah, S, 2013, Hubungan Antara Pengetahuan

Masyarakat Tentang Pencegahan Leptospirosis Dan Perilaku Petugas Kesehatan Puskesmas Kedungmundu Dengan Praktik Pencegahan Leptospirosis Di Kelurahan Tandang Kota Semarang Tahun 2013, Semarang: Universitas Dian Nuswantoro Semarang.

Priyanto, A, S. Hadisaputro, L.Santoso, H. Gasem, dan Sakundarno Adi, 2009, Faktor-Faktor

Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kabupaten Demak), Semarang: Universitas Diponegoro.

Quina, Charmaine R, Joseph U, Almazan, dan JB. Tagarino, 2014, Knowledge, Attitudes, and

Practices of Leptospirosis in Catbalogan City, Samar, Philippines, American Journal of Public

Health Research, Vol.2, No.3, 2014, 91-98. Supraptono, B, B. Sumiarto, dan Dibyo

Pramono,2011, Interaksi 13 Faktor Risiko

Leptospirosis, Berita Kedokteran Masyarakat, Volume 27, No 2, Juni 2011, hlm 55-65.

Tilahun, Z, Reta dan K. Simenew, 2013, Global

Epidemiological Overview of Leptospirosis, International Journal of Microbiological Research 4 (1): 09-15.

Widoyono, 2008, Penyakit Tropis: Epidemiologi,

Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya,

(11)

UJPH 4 (4) (2015)

Unnes Journal of Public Health

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

EVALUASI INPUT SISTEM SURVEILANS PENEMUAN PENDERITA

PNEUMONIA BALITA DI PUSKESMAS

Safaatul Choiriyah , Dina Nur Anggraini N

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel ________________ Sejarah Artikel: Diterima Januari 2015 Disetujui Januari 2015 Dipublikasikan Oktober 2015 ________________ Keywords: Input; Surveillance; Pneumonia ____________________ Abstrak ___________________________________________________________________ Cakupan penemuan penderita pneumonia balita merupakan indikator utama pengendalian ISPA di Indonesia. Pada tahun 2011 hingga 2013 cakupan penemuan penderita pneumonia balitadi Kota Salatiga tidak bisa mencapai target yang telah ditentukan. Menurut Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2012 Kota Salatiga mengalami penurunan cakupan sebesar 73,55%. Data cakupan penemuan penderita pneumonia balita diperoleh melalui kegiatan surveilans. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil evaluasi input sistem surveilans penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas. Jenis penelitian ini yaitu kualitatif dengan rancangan studi evaluasi. Infoman utama penelitian berjumlah 6 orang terdiri dari kepala puskesmas dan petugas pemegang program P2 ISPA puskesmas, yang ditentukan dengan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan yaitu pedoman wawancara terstruktur, lembar observasi dan dokumentasi. Simpulan dari penelitian ini yaitu jumah tenaga P2 ISPA yang tersedia di Puskesmas belum sesuai dengan pedoman yang ada, ketersediaan sarana-prasarana (material-machine) sudah sesuai dengan pedoman yang ada, ketersediaan input method dalam pelaksanaan surveilans penemuan penderita pneumonia balita sudah sesuai dengan pedoman dan aturan yang ada, sumber dana puskesmas sudah sesuai dengan pedoman, hanya saja tidak ada alokasi dana untuk program P2 ISPA, ketersediaan market (sasaran informasi) sudah sesuai dengan pedoman hanya saja belum maksimal.

Abstract

___________________________________________________________________ Pneumonia sufferers detection coverage is the main indicator of ARI control in Indonesia. By 2011 until 2013 pneumonia sufferer detection coverage in Salatiga city could not reach the target that was specified. According to the health profile of Central Java Province, in 2012 Salatiga has decreased scope of 73,55%. Data coverage of the detection of pneumonia sufferers obtained through surveillance activities. This research aim to know the results of the evaluation input system surveillance of pneumonia sufferer detection at PHC’s. This type of research was qualitative with evaluation study design. There were 6 peoples as the main informan that composed of Heads of PHC’s and the officer who hold programs P2 ISPA at PHC’s, which determined by purposive sampling technique. The instruments used the guidelines structured interviews, observation and documentation sheets. Summary of this research were the number of availability P2 ISPA expert at the PHC’s has not been inaccordance with the existing guidelines, availability of material-machine were appropriate with the existing guidelines, availability of input method in the implementation of surveillance of pneumonia sufferer detection were appropriate with the existing rules and guidelines, health funds was appropriate with the guidelines, but there is no allocation of funds for program P2 ISPA, availability of market was appropriate with the guidelines but hasn't been fullest.

© 2015 Universitas Negeri Semarang

Alamat korespondensi:

Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes

Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: syafa.choiriyah@gmail.com

(12)

Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

PENDAHULUAN

Pneumonia adalah infeksi akut yang menyerang jaringan paru-paru (alveoli) yang ditandai dengan adanya gejala batuk, dan atau kesukaran bernafas. Sampai saat ini pneumonia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat baik di negara maju maupun di negara berkembang karena pneumonia masih menjadi penyebab utama tingginya angka kematian pada bayi dan balita di dunia (Ditjen P2PL, 2011). Untuk itu diperlukan adanya pengendalian terhadap pneumonia. Pengendalian pneumonia balita merupakan fokus utama kegiatan pengendalian penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Indonesia, dimanaindikator utamanya yaitu cakupan penemuan penderita pneumonia balita (Ditjen P2PL, 2011). Cakupan penemuan penderita pneumonia balita merupakan persentase jumlah pneumonia balita baik pneumonia maupun pneumonia berat terhadap jumlah target penemuan pneumonia balita yang ditetapkan (Ditjen P2PL, 2011; Kemenkes, 2013).

Untuk menunjang keberhasilan program pengendalian pneumonia balita diperlukan adanya data epidemiologi penyakit pneumonia yang dapat diperoleh melalui kegiatan surveilans epidemiologi pneumonia (Dinkes Prov.Jateng, 2006). Surveilans pneumonia berperan untuk menyediakan data yang valid bagi manajemen kesehatan untuk menentukan tindakan yang tepat dalam penanggulangan dan pengendalian pneumonia balita (Dinkes Prov. Jateng, 2006) dan juga berperan untuk membantu meningkatkan manajemen kasus serta monitoring program P2 ISPA (Ditjen P2PL, 2003).

Pada tahun 2006, Indonesia merupakan negara dengan kejadian pneumonia tertinggi ke-6 di seluruh dunia

dan pada tahun 2008 menempati urutan ke-8 (IVAC, 2011). Menurut hasil Riskesdas 2007, prevalensi pneumonia balita di Indonesia tahun 2007 sebesar 2,13% (Depkes RI, 2008) dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 4,5% (Kemenkes, 2013). Sedangkan CFR (Case Fatality Rate) pneumonia balita di Indonesia pada tahun 2011 hingga 2012 mengalami penurunan 0,02% (Kemenkes, 2013). Angka cakupan penemuan penderita pneumonia balita secara nasional belum pernah mencapai target (Kemenkes, 2013). Dari tahun 2007 hingga tahun 2012 angka cakupan penemuan pneumonia balita hanya berkisar antara 23% - 27,71%. Selain itu, pada tahun 2012 tidak satupun provinsi di Indonesia dapat mencapai target penemuan penderita pneumoniabalita(Kemenkes, 2013). Pada tahun 2011, cakupan penemuan penderita pneumonia balita Provinsi Jawa Tengah menempati urutan ke-2 terendah di Pulau Jawa dengan persentase sebesar 5,72% dan CFR sebesar 0,10% dan pada tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 23,50% dengan CFR sebesar 0,02% (Kemenkes, 2013).

Menurut Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,dalam tiga tahun terakhir Provinsi Jawa Tengah tidak bisa mencapai target penemuan penderita pneumonia balita. Pada tahun 2010 persentase cakupan penemuan dan penanganan penderita pneumonia balita sebesar 40,63%, pada tahun 2011 sebesar 25,5%, dan pada tahun 2012 sebesar 24,74%. Pada tahun 2012, sebagian besar Kabupaten/Kota (91,42% ) yang ada di Provinsi Jawa Tengah tidak bisa mencapai target cakupan penemuan penderita pneumonia balita yang telah ditetapkan. Salah satunya adalah Kota Salatiga (Dinkes Prov. Jateng, 2013).

(13)

Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Menurut Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2011 persentase cakupan penemuan penderita pneumonia balita di Kota Salatiga sebesar 126,61% (Dinkes Prov. Jateng, 2012) dan pada tahun 2012 cakupan penemuan penderita pneumonia mengalami penurunan sebesar 73,55% menjadi 53,06% (Dinkes Prov. Jateng, 2013). Data yang disampaikan tersebut berbeda dengan data yang ada di DKK Salatiga. Menurut profil kesehatan Kota Salatiga dan data laporan bulanan program P2 ISPA Kota Salatiga Tahun 2013, Pada tahun 2011 persentase cakupan penemuan penderita pneumonia balita sebesar 41,8%, tahun 2012 sebesar 38,19%, dan pada tahun 2013 (per bulan Januari 2014) sebesar 33,84% (Dinkes Kota Salatiga, 2013).

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pane (1998) di Kotamadya Bogor juga ditemukan beberapa masalah yang berkaitan dengan kegiatan surveilans pneumonia, yaitu pencatatan, pengolahan, dan interprestasi data dan penyebaran informasi yang belum maksimal, sumber daya tenaga, logistik, biaya dan kebijakan secara relatif kurang mendukung terhadap pelaksanaan program P2 ISPA khususnya untuk kategori pneumonia. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Jirapat K et al. (2004) di Provinsi Sa Kaeo, Thailand,

ditemukan masalah bahwa jumlah

morbiditas dan mortalitas pneumonia terus meningkat, terdapat perbedaan hasil pelaporan antara data surveilans pneumonia dengan data pada sertifikat kematian, dan masih terdapat petugas yang tidak tahu kriteria diagnosis pneumonia.

Dalam pelaksanaan kegiatan

surveilans pneumonia, selain berperan sebagai unit pelayanan kesehatan terdepan yang dekat dengan masyarakat dan sebagai unit pelaksana teknis dari Dinas Kesehatan

Kota/Kabupaten, Puskesmas juga berperan sebagai penyedia data atau sumber data

utama penemuan kasus penderita

pneumonia balita bagi Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten. Agar kegiatan surveilans dapat berjalan sesuai dengan harapan maka diperlukan adanya manajemen sistem surveilans yang baik, yang terdiri dari input, proses, dan output. Untuk mengetahui keberhasilan dan juga hambatan yang dialami oleh suatu sistem surveilans, dibutuhkan adanya kegiatan evaluasi. Evaluasi dalam sistem surveilans bertujuan untuk meningkatkan sumber daya yang ada di bidang kesehatan masyarakat secara maksimal melalui pengembangan suatu sistem surveilans yang efektif dan efisien (Ditjen P2PL, 2003). Evaluasi diukur berdasarkan indikator input, proses, dan

output.

Penelitian ini difokuskan pada input sistem surveilans yang meliputi man,

material-machine, method, money, dan market) dalam kegiatan penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas, karena komponen input merupakan sumber daya utama yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap proses maupun capaian dari sistem surveilans sehingga lebih diprioritaskan untuk dievaluasi (Notoatmodjo, 2011). Dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana evaluasi input sistem surveilans penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Salatiga? METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi evaluasi (Moleong, 2010; Ghony dan Fauzan, 2012). Rancangan studi evaluasi dilakukan untuk melihat dan menilai pelaksanaan maupun capaian dari kegiatan atau program yang

(14)

Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

sedang atau yang sudah dilakukan untuk meningkatkan dan memperbaiki kegiatan atau program tersebut (Notoatmodjo, 2010; CDC, 2011). Informan utama penelitian terdiri dari kepala puskesmas dan petugas pemegang program P2 ISPA puskesmas yang berasal dari 2 puskesmas. Penentuan puskesmas yang menjadi tempat penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik

purposive sampling (Sugiyono, 2008), dengan mempertimbangkan kriteria berikut: kelengkapan laporan bulanan ISPA yang dikumpulkan ≤ 100% di Tahun 2013, ketepatan waktu pengumpulan laporan bulanan ISPA ≥ 80% di tahun 2013, dapat mencapai target penemuan penderita pneumonia balita dan yang belum dapat mencapai target penemuan penderita pneumonia balita tahun 2013.

Teknik pengambilan data dilakukan dengan wawancara terstruktur, studi dokumentasi dan observasi dengan menggunakan instrumen berupa panduan

wawancara terstruktur, lembar

dokumentasi, dan lembar observasi. Dalam penelitian ini evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan kenyataan yang ada di lapangan atau membandingkan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi (puskesmas) dengan pedoman yang ada. HASIL DAN DISKUSI

Dalam manajemen pelayanan, input berfokus pada kegiatan-kegiatan yang dipersiapkan oleh organisasi untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat yang didalamnya termasuk komitmen dan

stakeholder, prosedur serta kebijakan, sarana dan prasarana fasilitas dimana pelayanan diberikan. Secara umum, input dalam manajemen terdiri dari man yaitu sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi,

money yaitu pendanaan untuk

keberlangsungan kegiatan, material-machine yang berfungsi untuk mengubah masukan menjadi keluaran, method yaitu peraturan atau prosedur kerja yang berguna untuk memperlancar jalannya pekerjaan, dan

market yaitu tempat untuk memasarkan atau menyebarluaskan produk atau hasil kerja suatu organisasi (Satrianegara, 2009). Untuk mengetahui hambatan atau kendala yang dialami oleh input suatu sistem dapat dilakukan dengan cara melakukan evaluasi terhadap input tersebut. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara membandingkan kenyataan yang ada di lapangan dengan pedoman yang ada.

Evaluasi Input Man (Sumber Daya Manusia Pendukung Pelaksanaan Surveilans Penemuan Penderita Pneumonia Balita)

Sumber daya manusia merupakan unsur atau modal yang paling penting dalam suatu organisasi karena SDM berperan dalam menentukan arah dan tujuan organisasi, kemajuan organisasi dan menentukan keberhasilan organisasi serta berperan pelaksana kegiatan manajemen (Fathoni, 2006; Satrianegara, 2009).Kondisi tenaga puskesmas dapat berpengaruh pada mutu pelayan puskesmas. Kondisi tenaga yang dimiliki oleh puskesmas dapat dilihat dari jumlah tenaga kerja, latar belakang pendidikan, pelatihan yang pernah diikuti, ketrampilan dan keahlian khusus yang dimiliki, masa kerja, beban kerja, dan riwayat jabatan. Pada penelitian ini evaluasi

terhadap input SDM pendukung

pelaksanaan kegiatan penemuan penderita pneumonia balita difokuskan pada jumlah tenaga P2 ISPA yang dimiliki oleh puskesmas dan ketersediaan tenaga terlatih P2 ISPA di Puskesmas. Hal ini dikarenakan

kedua hal tersebut merupakan

(15)

Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

pelayanan program P2 ISPA kepada masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jumlah tenaga P2 ISPA di puskesmas tidak sesuai dengan pedoman yang ada. Jumlah tenaga yang tersedia sebanyak 1 orang tenaga paramedis, sedangkan menurut pedoman tenaga P2 ISPA di puskesmas seharusnya terdiri dari 1 orang tenaga medis dan 2 orang tenaga paramedis. Ketidaksesuaian ini dikarenakan jumlah tenaga puskesmas yang terbatas dan banyaknya program atau upaya kesehatan yang harus dilaksanakan oleh puskesmas sehingga tidak bisa memenuhi standar tersebut. Agar kegiatan penemuan penderita pneumonia balita di puskesmas tetap berjalan maka dalam pelaksanaan harian penemuan penderita pneumonia balita petugas pemegang program P2 ISPA dibantu oleh semua petugas kesehatan yang ada di puskesmas.

Sedangkan untuk ketersediaan tenaga puskesmas terlatih manajemen program dan teknis P2 ISPA sudah sesuai dengan pedoman, meskipun jenis pelatihan yang telah didapat belum sesuai dengan yang di pedoman. Karena menurut pedoman pengendalian ISPA pelatihan yang seharusnya diterima oleh tenaga kesehatan di puskesmas berupa pelatihan tatalaksana ISPA, pelatihan manajemen program pengendalian ISPA dan pelatihan autopsi verbal kematian pneumonia balita, namun pada kenyataannya petugas yang sudah dilatih hanya mendapatkan pelatihan tatalaksana ISPA dan manajemen ISPA. Petugas yang telah mendapatkan pelatihan tersebut adalah petugas pemegang program P2 ISPA yang menjabat sebelumnya dan petugas pemegang program P2 ISPA yang saat ini menjabat belum pernah mengikuti pelatihan namun sudah mengikuti workshop

autopsi verbal kematian balita akibat pneumonia.

Dalam kegiatan pengendalian ISPA, pelatihan bagi petugas kesehatan merupakan bagian terpenting dari program P2 ISPA dalam meningkatkan kemampuan SDM khususnya dalam penatalaksanaan kasus dan manajemen program (Ditjen P2PL, 2011). Menurut penelitian Handayani dkk (2009), pelatihan akan meningkatkan kinerja mereka secara individu dalam memberikan pelayanan kesehatan di puskesmas dan menurut penelitian Nurhayati (2011) ada hubungan antara pelatihan yang diikuti petugas dengan implementasi program di puskesmas. Dengan demikian dapat diketahui bahwa keberhasilan suatu program kesehatan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh petugasnya.

Meskipun sudah tersedia tenaga puskesmas yang terlatih manajemen program dan teknis P2 ISPA namun jumlahnya masih kurang. Karena petugas pemegang program P2 ISPA puskesmas hanya berjumlah 1 orang tiap puskesmas. Kondisi ketersediaan tenaga terlatih yang ada di puskesmas tersebut sejalan dengan hasil penelitian evaluasi pelaksanaan MTBS pneumonia di puskesmas Kabupaten Lumajang tahun 2013 yang dilakukan oleh Diah P. dan Lucia Y.H. (2013). Dari penelitian tersebut diketahui bahwa jumlah petugas kesehatan yang sudah dilatih MTBS oleh Dinas Kesehatan jumlahnya masih kurang untuk memberikan pelayanan pemeriksaan balita sakit sehingga pelaksanaan MTBS belum berjalan secara maksimal.

Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota masalah dalam meningkatkan kualitaspetugas pemegang program P2 ISPA dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh petugas di

(16)

Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

lapangan yaitu dengan melakukan kegiatan pertemuan rutin/lokakarya/refreshing antarpetugas pemegang program P2 ISPA. Hal yang sama bisa juga dilakukan di tingkat puskesmas antarpetugas puskesmas. Dengan demikian hambatan serta masalah yang dihadapi selama pelaksanaan kegiatan penemuan penderita dapat dipecahkan dengan baik sehingga tidak mempengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan.

Evaluasi Input Material-Machine (Sarana Dan Prasarana Pendukung Pelaksanaan Surveilans Penemuan Penderita Pneumonia Balita)

Bersadarkan hasil penelitian ketersediaan sarana-prasarana pendukung pelaksanaan kegiatan penemuan penderita pneumonia balita, yang terdiri dari ketersediaan ATK, ketersediaan buku

pedoman surveilans pneumonia,

ketersediaan media KIE pneumonia balita, ketersediaan surveilans kits, ketersediaan formulir pengumpulan data P2 ISPA, dan ketersediaan alat bantu klasifikasi (ARI sound

timer), sudah sesuai dengan pedoman yang ada. Meskipun ketersediaannya sudah sesuai namun masih terdapat beberapa masalah, yaitu buku pedoman yang digunakan oleh petugas pemegang program P2 ISPA puskesmas berupa buku pedoman tatalaksana pneumonia, buku pedoman pengendalian ISPA dan buku pedoman MTBS. Sedangkan menurut tataran idealnya, buku pedoman yang digunakan oleh petugas kesehatan untuk melaksanakan surveilans pneumonia terdiri dari buku pedoman pengendalian penyakit ISPA, buku pedoman tatalaksana pneumonia balita, dan buku pedoman surveilans. Formulir yang tersedia dan yang digunakan oleh petugas pemegang program P2 ISPA untuk mengumpulkan data yaitu form mtbs dan form laporan bulanan P2 ISPA sedangkan menurut buku pedoman yang ada

form pelaksanaan kegiatan penemuan penderita pneumonia balita terdiri dari form stempel ISPA, form care seeking, PWS pneumonia, dan form laporan bulanan P2 ISPA. Masa pakai ARI sound timer di tingkat puskesmas tidak sesuai dengan pedoman yang ada. Karena menurut pedoman, masa pakai maksimal alat tersebut adalah 2 tahun atau 10.000 kali pemakaian sedangkan berdasarkan hasil penelitian ARI sound timer yang digunakan akan diganti apabila alat telah digunakan selama 3 tahun atau sudah mengalami kerusakan.

Evaluasi Input Method (Metode Pelaksanaan Surveilans Penemuan Penderita Pneumonia Balita)

Method merupakan aturan, kebijakan dan atau prosedur kerja yang mengatur jalannya pelaksanaan kegiatan agar dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam pelaksanaan surveilans penemuan penderita pneumonia balita terdiri dari target penemuan penderita pneumonia balita, petunjuk teknis P2 ISPA dan pengelolaan data program P2 ISPA. Berdasarkan hasil penelitian method dalam pelaksanaan surveilans penemuan penderita pneumonia balita yang terdiri dari ketersediaan target penemuan penderita pneumonia balita, ketersediaan petunjuk teknis, dan pengelolaan data program P2 ISPA telah sesuai dengan pedoman yang ada. Target adalah tolok ukur dalam bentuk angka nominal atau persentase yang harus dicapai pada akhir tahun (Depkes, 2006). Target penemuan penderita pneumonia balita adalah jumlah penderita pneumonia balita yang harus dicapai di suatu wilayah dalam 1 tahun sesuai dengan kebijakan yang berlaku setiap tahun secara nasional (Ditjen P2PL, 2011). Ketersediaan target penemuan penerita pneumonia balita di puskesmas juga merupakan indikator yang menunjukkan

(17)

Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

bahwa puskemas telah siap untuk melaksanakan kegiatan penemuan penderita pneumonia balita.

Petunjuk teknis adalah pengaturan tentang hal-hal yang berkaitan dengan teknis kegiatan, tidak menyangkut wewenang dan prosedur pelaksanaan. Petunjuk teknis yang digunakan oleh petugas pemegang program P2 ISPA puskesmas dalam menemukan penderita pneumonia balita yaitu bagan MTBS, sesuai anjuran dan kesepakatan bersama antara petugas pemegang program P2 ISPA Puskesmas dengan petugas pemegng program P2 ISPA DKK. Ketersediaan petunjuk teknis P2 ISPA di puskesmas menjadi hal yang penting dalam menjalankan program P2 ISPA terutama untuk penemuan penderita pneumonia balita karena membantu memudahkan petugas untuk mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan surveilans penemuan penderita pneumonia balita dengan baik dan benar.

Evaluasi Input Money (Dana Pendukung Pelaksanaan Surveilans Penemuan Penderita Pneumonia Balita)

Komponen pendanaan (money)

merupakan salah satu unsur yang juga penting untuk menunjang keberlangsungan pelaksanaan program atau kegiatan. Ketersediaan dana dapat berpengaruh terhadap mutu pelayanan kesehatan yang

diberikan oleh suatu layanan

kesehatan(Azwar, 2008). Berdasarkan hasil penelitian, sumber dana puskesmas untuk menjalankan program-programnya telah sesuai dengan pedoman yang ada, namun alokasi dana untuk program P2 ISPA tidak sesuai dengan pedoman. Tidak adanya alokasi dana untuk pelaksanaan program P2 ISPA khususnya pneumonia dikarenakan kegiatan penemuan penderita pneumonia masih bersifat pasif atau tidak ada kegiatan

pelacakan di lapangan. Tidak tersedianya dana yang dialokasikan khusus untuk program P2 ISPA/Pneumonia di tempat penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian dari Pane (1998) yang menyatakan bahwa biaya dan kebijakan secara relatif dirasakan kurang mendukung terhadap pelaksanaan program P2 ISPA khususnya untuk kategori pneumonia di Kotamadya Bogor, dan pada penelitian Diah P. dan Lucia Y.H. (2013) juga dinyatakan bahwa anggaran khusus pneumonia tidak tersedia untuk pelaksanaan program MTBS Pneumonia.

Tidak tersedianya alokasi dana khusus bukan berarti pelaksanaan program tidak bisa berjalan. Menurut penelitian Nurhayati (2011) meskipun ada kegiatan/program di Puskesmas yang tidak memiliki alokasi dana, pelaksanaan kegiatan tersebut masih tetap berjalan walaupun hasilnya kurang maksimal. Agar pelaksanaan program P2 ISPA di puskesmas tempat penelitian tetap berjalan, kepala puskesmas beserta pengelola keuangan telah memiliki strategi khusus untuk mengatasi masalah tersebut yaitu apabila ada kegiatan yang berkaitan dengan program P2 ISPA (pneumonia) yang membutuhkan adanya pendanaan maka kegiatan tersebut akan diikutsertakan dalam kegiatan dari program lain yang memiliki alokasi dana.

Evaluasi Input Market (Sasaran Informasi Hasil Pelaksanaan Surveilans Penemuan Penderita Pneumonia Balita)

Market atau sasaran informasi adalah tempat dimana organisasi memasarkan dan menyebarluaskan produknya (informasi) (Handoko, 2001). Tujuan dari adanya market tersebut yaitu untuk menciptakan adanya kemitraan dan jejaring kerja. Menurut buku pedoman surveilans, yang terlibat dalam sistem surveilans pneumonia balita adalah program dan sektor terkait

(18)

Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

yang erat hubungannya dengan kesakitan dan kematian balita, seperti: imusisasi, kesling (HS), gizi, KIA, Promkes, penyakit-penyakit lain misal TB paru, diare, malaria, HIV/AIDS; Pemda setempat dengan dinas terkait (Dinas Kesehatan); dan LSM, PKK, Kader Kesehatan, Perguruan Tinggi, dll (Dinkes Prov. Jateng, 2006).

Kemitraan dan jejaring merupakan faktor yang penting untuk menunjang keberhasilan program. Kemitraan jejaring kerja dalam program P2 ISPA di arahkan

untuk meningkatkan peran serta

masyarakat, lintas program, lintas sektor terkait dan pengambil kebijakan termasuk penyandang dana. Peningkatan jejaring kerjadiperlukan untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian penyakit ISPA antar berbagai jenjang mulai dari perencanaan hingga evaluasi program.Selain itu peningkatan jejaring kerja juga dapat membantu petugas pemegang program P2 ISPA untuk menentukan intervensi dan tindak lanjut yang tepat sesuai dengan kondisi di lapangan dan faktor risikonya (Ditjen P2PL, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sasaran informasi hasil pelaksanaan surveilans penemuan penderita pneumonia balita di puskesmas terdiri dari kepala puskesmas, petugas HS puskesmas, pemegang program TB puskesmas, dan

Dinas Kesehatan Kota Salatiga.

Ketersediaan market hasil pelaksanaan kegiatan surveilans penemuan penderita pnemonia balita telah sesuai dengan pedoman yang ada. Kemitraan dan jejaring kerja yang dibangun oleh petugas pemegang program P2 ISPA dapat dikatakan belum maksimal, karena hanya melibatkan Dinas Kesehatan Kota, kepala puskesmas, HS puskesmas, dan pemegang program TB puskesmas. Sehingga intervensi dan tindak

lanjut pengendalian penyakit ISPA di puskesmas masih tertuju pada penderitanya saja, seperti melakukan kunjungan rumah ke penderita pneumonia balita yang membutuhkan kunjungan rumah, dalam hal ini penderita pneumonia berat dan penderita yang tidak melakukan kunjungan ulang, dan pemeriksaan ulang penderita pneumonia yang ada kecurigaan TB.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jumah tenaga P2 ISPA yang tersedia di Puskesmas belum sesuai dengan pedoman yang ada, ketersediaan sarana-prasarana (material-machine) untuk pelaksanaan survelans penemuan penderita pneumonia balita sudah sesuai dengan pedoman yang ada meskipun masih ada

beberapa yang belum maksimal,

ketersediaan input method yang berupa ketersediaan target penemuan penderita

pneumonia balita di Puskesmas,

ketersediaan petunjuk teknis P2 ISPA di Puskesmas dan pengelolaan data program P2 ISPA sudah sesuai dengan pedoman dan aturan yang ada, sumber dana puskesmas (sumber dana untuk pelaksanaan program di puskesmas) sudah sesuai dengan pedoman, hanya saja tidak ada alokasi dana untuk program P2 ISPA, dan ketersediaan market (sasaran informasi) hasil pelaksanaan surveilans penemuan penderita pneumonia balita sudah sesuai dengan pedoman hanya saja belum maksimal.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Salatiga, Kepala Puskesmas Mangunsari, Kepala Puskesmas Cebongan, Petugas

(19)

Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Kesehatan Kota Salatiga dan petugas pemegang program P2ISPA Puskesmas serta informan lain yang ikut terlibat dalam penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, A., 2008, Pengantar Administrasi Kesehatan, Binarupa Aksara, Jakarta.

CDC, 2011, Introduction to Program Evaluation for Public

Health Program: A Self-Study Guide, CDC, Atlanta.

Depkes RI, 2006, Pedoman Penilaian Kinerja Puskesmas, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

---, 2008, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Departemen Kesehatan RI,Jakarta.

Dinkes Kota Salatiga, 2013, Profil Kesehatan Kota

Salatiga 2012, Dinas Kesehatan Kota Salatiga,Salatiga.

---, 2013, Laporan Bulanan P2 ISPA

Tahun 2013, Dinas Kesehatan Kota Salatiga,Salatiga.

Diah P. dan Lucia Y. H., 2013, Evaluasi Pelaksanaan

MTBS Pneumonia Di Puskesmas Di Kabupaten Lumajang Tahun 2013, Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 1, No. 2, September 2013, hlm. 291-301

Dinkes Prov. Jateng, 2006, Buku Pedoman Surveilans

Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang.

---, 2012, Profil Kesehatan Provinsi Jawa

Tengah 2011, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,Semarang.

---, 2013, Profil Kesehatan Provinsi Jawa

Tengah 2012, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang.

Ditjen P2PL, 2003, Surveilans Epidemiologi Penyakit

(PEP) Edisi 1, Depkes RI,Jakarta.

---, 2011, Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran

Pernafasan Akut, Kementerian Kesehatan RI,Jakarta.

Ghony, M.D. dan Fauzan A, 2012, Metodologi

Penelitian Kualitatif, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta.

Fathoni, Abdurrahmat, 2006, Organisasi dan

Manajemen Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta.

Handayani, Lestari, dkk, 2009, Peran Tenaga Kesehatan

Sebagai Pelaksana Pelayanan Kesehatan Puskesmas, Laporan Penelitian, Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan, Surabaya. Handoko, T. Hani, 2001, Manajemen Personalia dan

Sumberdaya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta. IVAC, 2011, Pneumonia Progress Report 2011, IVAC,

Baltimore.

Jirapat K., etal., Pneumonia Surveillance

In Thailand: Current Practice and Future Needs, Volume 35, No.3, September 2004, hlm. 711-716

Kemenkes RI, 2013, Profil Kesehatan

Indonesia 2012, Kementerian Kesehatan RI,Jakarta.

Moleong, LJ, 2010, Metodologi

Penelitian Kualiatif Edisi Revisi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Nurhayati, Agita Maris, 2011, Faktor

yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Di Puskesmas Di Kota Semarang Tahun 2010, Skripsi, Universitas Negeri Semarang.

Notoatmodjo, S., 2010, Metodologi

Penelitian kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta ---,2011, Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni, Rineka Cipta, Jakarta.

(20)

Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

Pane, Masdalina, 1998,Evaluasi

Penemuan Dan Pengobatan Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Pnemonia Pada Balita Melalui Surveilans Epidemiologi Ispa Di Kotamadya Bogor Tahun 1994-1997,Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.

Satrianegara, M. Fais, 2009, Buku Ajar

Ogranisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatanserta Kebidanan, Salemba Medika, Jakarta.

Sugiyono, 2008, Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabet, Bandung.

(21)

UJPH 4 (4) (2015)

Unnes Journal of Public Health

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN

HIPERTENSI USIA PRODUKTIF (25-54 TAHUN)

Riska Agustina , Bambang Budi Raharjo

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel ________________ Sejarah Artikel: Diterima Januari 2015 Disetujui Januari 2015 Dipublikasikan Oktober 2015 ________________ Keywords:

Hypertension; productive age (25-54 years); psychological stress

____________________

Abstrak

___________________________________________________________________ Hipertensi di Puskesmas Kedungmundu meningkat dari tahun ke tahun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu tahun 2013. Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan case control. Sampel berjumlah 30 orang pada masing-masing kelompok kasus dan kontrol yang diambil dengan teknik accidental sampling. Analisis data menggunakan uji chi square dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan hipertensi usia produktif (25-54 tahun) adalah faktor genetik (p value=0,019, OR=4,125), obesitas (p value=0038, OR=3,5), kebiasaan merokok (p value=0,017, OR=6,0), konsumsi garam (p value=0,004, OR=5,675), penggunaan minyak jelantah (p value=0,009, OR=4,929) dan stress psikis (p value=0,002, OR=6,417). Variabel yang tidak berhubungan adalah aktifitas fisik (p value=0,065), konsumsi alkohol (p value=0,148), jenis pekerjaan (p value=0,333), pendapatan keluarga (p value=0,531) lama kerja (p value=0,588). Saran bagi penderita hipertensi usia produktif (25-54 tahun) di Kedungmundu supaya lebih meningkatkan status kesehatan dengan lebih teratur memeriksakan kesehatannya, khususnya tekanan darah. Bagi Puskesmas untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hipertensi. Bagi peneliti lain untuk menambah faktor risiko lain yang berhubungan dengan hipertensi usia produktif.

Abstract

___________________________________________________________________ Hypertension at Kedungmundu Puskesmas was ascending from year to year. The purpose of this study is to find risk factors which related to the Hypertension productive age (25-54 years) at working area health centers Kedungmundu Year 2013. This is a research of analytical survey with casecontrol approach. Sample of 30 people in each case group and controlgroup who were taken using accidental sampling technique. Data analysis using chi square test with degrees of significance (α) = 0,05. The study results show that the risk factor which related to the Hypertension productive age (25-54 years) genetic factor (p value=0,019, OR=4,125), obesity (p value=0,038, OR=3,5), smooking habit (p value=0,017, OR=6,0), salt consumption (p value=0,004, OR=5,675), use jelantah oil (p value=0,009, OR=4,929) and psychological stress (p value=0,002, OR=6,417). The risk factor which are not related are physical activities (p value=0,065), alcohol consumption (p value=0,148), type of work (p value=0,333), family’s income (p value=0,531) and duration of employment (p value=0,588). The advice to patient hypertension productive age (25-54 tahun) at Kedungmundu to improve their health status by having themselves checked on more regular basis, particularly for their blood pressure. For the public health center to improve knowledge of the hypertension to the public. For the other researcher could find out another risk factors relate to the hypertension.

© 2015 Universitas Negeri Semarang

Alamat korespondensi:

Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes

Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: riska_firapy@yahoo.co.id

(22)

Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)

PENDAHULUAN

Perubahan pola hidup dan pola makan akibat adanya perbaikan tingkat

penghidupan membawa konsekuensi

terhadap berkembangnya penyakit

degeneratif, diantaranya penyakit hipertensi. Hipertensi atau penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥140 mmHg (tekanan sistolik) dan atau ≥90 mmHg (tekanan diastolik) (Depkes RI, 2006: 12).

Menurut Riskesdas Jateng 2007, prevalensi hipertensi pada usia >15 tahun mencapai 31,7%, tetapi hanya 23,9% saja yang mengetahui dirinya menderita hipertensi dan diterapi. Kematian akibat stroke mencapai 15,4%. Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Jawa Tengah tahun 2012, Kota Semarang rangking pertama untuk kejadian hipertensi usia produktif sebanyak 510 pasien merupakan hipertensi usia produktif (Dinkes Kota Semarang, 2013).

Berdasarkan penelitian Aris S (2007) yang terbukti sebagai faktor risiko hipertensi adalah umur, riwayat keluarga, konsumsi asin, konsumsi lemak jenuh, penggunaan jelantah, tidak biasa olahraga, obesitas dan penggunaan pil KB selama 12 tahun berturut-turut, sedangkan penelitian H Nasri MD terdapat hubungan antara tingkat stres, lama kerja, kualitas tidur, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol dan konsumsi kafein, sedangkan penelitian Nia K (2006) yang merupakan faktor risiko hipertensi adalah keturunan, obesitas, tipe kepribadian, riwayat merokok, riwayat minum alkohol, aktifitas olahraga, asupan garam, dan stress, sedangkan penelitian Nurma H (2010) yang merupakan faktor risiko hipertensi usia muda adalahfaktor keturunan, obesitas,

konsumsi garam dan stres dan hasil penelitian Sulistyowati (2009) yang merupakan faktor risiko hipertensi adalah umur, tingkat pendidikan, konsumsi garam, obesitas, aktifitas fisik, stres dan keturunan.

Dari permasalahan tersebut, peneliti ingin mengetahui hubungan antara faktor genetik, obesitas, aktifitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, konsumsi garam, penggunaan minyak jelantah, stress psikis, tingkat pendidikan dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) di wilayah kerja puskesmas Kedungmundu pada tahun 2013.

METODE

Jenis penelitian ini adalah observasional yang bersifat analitik dengan desain penelitian Case Control (Feinstein, 1977 dalam Bhisma M, 2003: 111).

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita hipertensi usia produktif di Puskesmas Kedungmundupada tahun 2013 berjumlah 510 penderita. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik accidental sampling. Sampel kasus berjumlah 30 orang dan sampel kontrol berjumlah 30 orang.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara terstruktur yang telah diuji validitas dan reliabilitas sebelum penelitian dilakukan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Adapun hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel1 :

Gambar

Tabel 2.Hubungan antara Kejadian Hipertensi Usia Produktif (25-54 tahun) dengan  Obesitas Berdasarkan Aktifitas Fisik
Tabel 3.Hubungan antara Kejadian Hipertensi Usia Produktif (25-54 tahun) dengan  kebiasaan merokokBerdasarkan stres psikis
Tabel 1.1 Komposisi Pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten         Rembang Menurut Pendidikan Formal Tahun 2010
Tabel 2 Distribusi Responden menurut Umur dan Lama Kerja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dewan komisaris independen termasuk di dalam tata kelola internal, sehingga dewan independensi merupakan sub bagian dari kondisi internal perusahaan, memiliki tugas dan peran

Berdasarkan hasil analisa data tiap indikator dapat di tarik kesimpulan dengan keseluruhan data yang diperoleh menunjukan motivasi belajar intrinsik siswa dalam

Berdasarkan permasalahan yang penulis kemukakan, maka ruang lingkup penulisan Skripsi hanya dibatasi pada pembahasan mengenai peranan penyidik Polri dan Balai Besar POM

Menurut Astuti et al ., (1993), sumbangan NH3 pada ternak ruminansia sangat penting mengingat bahwa prekusor protein mikroba adalah amonia dan senyawa sumber karbon, makin

174 00040069 Rahadian Rahmat Ainul Yaqin 7 SMP Insan Cendekia Al

Cara pertama merupakan format yang dianjurkan tetapi mungkin cara kedua akan sering digunakan karena lebih ringkas. Parser PHP bekerja membaca file HTML sampai ditemukan penanda

 Post-traumatic stress disorder: terjadi pada individu- individu yang mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis.  Kemudian mengalami kembali kejadian melalui mimpi buruk,

Sampai saat ini Kabupaten Kebumen, dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, hanya mengeluarkan brosur, booklet, kalender serta buku panduan sebagai media