• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Implementasi

2.1.1 Pengertian Implementasi

Pengertian implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pelaksanaan penerapan. Implementasi diartikan sebagai sebuah pelaksanaan atau penerapan suatu program ataupun kebijakan yang telah dirancang atau didesain dan djalankan secara keseluruhan. Secara singkat, implementasi dapat diartikan sebagai penerapan, pelaksanaan, perwujudan dalam tindak nyata. Van Master dan Van Horn dalam wahab (2002), merumuskan proses implementasi atau pelaksanaan sebagi berikut: “Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”. Pengertian implementasi dalam pengertian luas adalah pelaksanaan dan melakukan suatu program kebijaksanaan. Dijelaskan bahwa suatu proses interaksi diantara merancang dan menentukan sasaran yang diinginkan.

Implementasi merupakan tahap yang sangat menentukan dalam proses kebijakan karena tanpa implementasi yang efektif maka keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan merupakan aktivitas yang terlihat setelah adanya pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, kemudian telah tersusun dan dana telah siap untuk proses pelaksanaanya dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran atau tujuan kebijakan yang diinginkan.

(2)

Kesimpulanya, dengan demikian dapat dikatakan bahwa program merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Program akan menunjang implementasi, karena dalam program tersebut telah dimuat dalam berbagai aspek antara lain :

1. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

2. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan itu.

3. Adanya aturan-aturan yang harus di pegang dan prosedur yang harus di lalui. 4. Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan.

5. Adanya strategi dalam pelaksanaan.

2.2 Pelayanan

2.2.1 Pengertian Pelayanan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pelayanan adalah sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain. Selain itu, pengertian pelayanan menurut Kotler dalam Laksana (2008) pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun.

Sementara itu, menurut Lovelock, Petterson & Walker dalam Tjiptono (2005) mengemukakan perspektif pelayanan sebagai sebuah sistem, dimana setiap bisnis jasa dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri atas dua komponen utama : (1) operasi jasa; dan (2) penyimpanan jasa. Berdasarkan pengertian pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan merupakan suatu bentuk,sistem, prosedur atau metode tertentu diberikan kepada orang lain.

(3)

Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah sebagai berikut:

1. Pelayanan akses, mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah, nasehat dan partisipasi. Tujuanya membantu orang agar dapat mencapai atau menggunakan layanan yang tersedia.

2. Pelayanan terapi, mencakup pertolongan dan terapi, atau rehabilitasi, termasuk di dalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya, pelayanan yang diberikan oleh badan-badan yang menyediakan konseling, pelayanan kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial mendidik dan sekolah, perawatan bagi orang-orang jompo dan lanjut lansia.

3. Pelayanan sosialiasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi bagi pemuda dan masyarakat yang dipusatkan atau community centre (Nurdin, 1989).

2.2.2 Sistem Pelayanan Sosial

Sistem pelayanan sosial merupakan suatu usaha yang dilakukan kelompok atau seseorang atau birokrasi untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada klien dalam mencapai tujuan tertentu. Romanshyn, 1971 (dalam Fahrudin, 2012: 51), memberikan arti pelayanan sosial sebagai usaha-usaha untuk mengembalikan, mempertahankan, dan meningkattkan keberfungsian sosial individu-individu dan keluarga melalui (1) sumber-sumber sosial pendukung, dan (2) proses-proses yang meningkatkan kemampuan individu-individu dan keluarga-keluarga untuk mengatasi stress dan tuntutan-tuntutan kehidupan sosial yang normal.

(4)

Pelayanan sosial juga terdapat di dalam usaha kesejahteraan sosial, dimana pelayanan sosial juga termasuk dari salah satunya, perlu dibedakan dua macam pengertian pelayanan sosial, yaitu :

1. Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup fungsi pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, tenaga kerja dan sebagainya.

2. Pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program pertolonngan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial dan sebagainya (Muhidin, 1992: 41). Pelayanan sosial bukan hanya sebagai usaha memulihkan, memelihara, dan meningkatkan kemampuan berfungsi sosial individu dan keluarga, melainkan juga usaha untuk menjamin berfungsinya kolektifitas seperti kelompok-kelompok sosial, organisasi serta masyarakat.

2.2.3 Fungsi Sistem Pelayanan Sosial

Fungsi pelayanan sosial dapat dikategorikan dalam berbagai cara tergantung dari tujuan klasifikasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan fungsi pelayanan sosial sebagai berikut:

1. Peningkatan kondisi kehidupan masyarakat. 2. Pengembangan sumber-sumber manusiawi.

3. Orientasi masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial dan penyesuaian sosial.

4. Mobilisasi dan pencipta sumber-sumber masyarakat untuk tujuan pembangunan.

(5)

5. Penyediaan dan penyelengaraan struktur kelembagaan untuk tujuan agar pelayanan-pelayanan yang terorganisasi dapat berfungsi (Muhidin, 1992: 43) Sementara Ricart M. Titmus (dalam Muhidin, 1992: 43), mengemukakan fungsi pelayanan soial di tinjau dari perspektif masyarakat sebagai berikut :

1. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptkan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok dan masyarakat untu masa sekarang dan masa yang akan datang.

2. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai suatu investasi yang di perlukan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (suatu program tenaga kerja).

3. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptkan untuk melindungi masyarakat.

4. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai program kompensasi bagi orang-orang yang tidak mendapat pelayanan sosial (misalnya kompensasi kecelakaan industri dan lainya).

Sedangkan Alfred J. Khan (dalam Muhidin, 1992: 43) menyatakan bahwa fungsi utama pelayanan sosial adalah :

1. Pelayanan sosial untuk sosialisasi pengembangan.

2. Pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan, dan rehabilitasi. 3. Pelayanan akses.

Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan dimaksudkan untuk mengadakan prubahan-perubahan dalam diri anak dan pemuda melalui program-program pemeliharaan, pendidikan (non formal), dan pengembangan. Tujuanya untuk menanamkan nilai-nilai masyarakat dalam usaha pengembangan kepribadian anak dan pemuda. Pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan, dan

(6)

rehabilitasi mempunyai tujuan untuk melaksanakan pertolongan pada seseorang, baik secara individual maupun di dalam kelompok atau keluarga dan masyarakat agar mampu mengatasi masalah-masalahnya.

Adanya berbagai kesenjangan dalam pelayanan sosial akses, maka pelayanan sosial mempunyai fungsi sebagai “akses” untuk menciptakan hubungan bimbingan yang sehat antara berbagai proogram, sehingga program-program tersebut dapat berfungsi dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang membtuhkanya.

2.3 Penyandang Disabilitas

2.3.1 Pengertian Penyandang disabilitas

Disabiliatas atau kecacatan adalah suatu kondisi diamana adanya kelainan fisik dan mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi seseorang untuk melakukan aktivitas secara selayaknya. Mengacu pada Undang-undang RI No. 23 Tahun 2002 pasal 1 tentang Perlindungan Anak, anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan mental sehingga menganngu pertumbuhan dan perkembangan secara wajar.

Difabel atau disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.

(7)

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:

1. penyandang cacat fisik 2. penyandang cacat mental

3. penyandang cacat fisik dan mental.

2.3.2 Ciri-ciri Penyandang Disabilitas

Adapun ciri-ciri penyandang disabilitas adalah :

a) Penyandang cacat fisik, yaitu individu yang mengalami kelainan kerusakan fungsi organ tubuh dan kehilangan organ sehingga mengakibatkan gangguan fungsi tubuh, misalnya gangguan penglihatan, pendengaran, dan gerak.

b) Penyandang cacat mental, yaitu individu yang mengalami kelainan mental dan tingkah laku akibat bawaan atau penyakit. Individu tersebut tidak bisa mempelajari dan melakukan perbuatan yang umum dilakukan orang lain (normal), sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

c) Penyandang cacat fisik dan mentl, yaitu individu yang mengalami kelainan fisik dan mental sekaligus cacat ganda seperti gangguan pada fungsi tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara serta mempunyai kelainan mental atau tingkah laku sehingga yang bersangkutan tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari selayaknya (https://id.wikipedia.org/wiki/Difabel diakses pada tanggal 8 desember 2015 pukul 16: 34).

(8)

2.3.3 Klasifikasi Penyandang Disabilitas

Menurut UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, berbagai faktor penyebab serta permasalahan kecacatan, maka jenis-jenis kecacatan dapat di kelompokkan sebagai berikut :

1. Penyandang Cacat Fisik 1. Tuna Netra

Berarti kurang penglihatan. Keluarbiasaan ini menuntut adanya pelayanan khusus sehingga potensi yang dimiliki oleh para tuna netra dapat berkembang secara optimal.

2. Tuna Rungu/ Wicara

Tuna Rungu, ialah individu yang mengalami kerusakan alat atau organ pendengaran yang menyebabkan kehilangan kemampuan menerima atau menangkap bunyi serta suara. sedangkan Tuna Wicara, ialah individu yang mengalami kerusakan atau kehilangan kemampuan berbahasa, mengucapkan kata-kata, ketepatan dan kecepatan berbicara, serta produksi suara.

3. Tuna Daksa

Secara harfiah berarti cacat fisik. Kelompok tuna daksa antara lain adalah individu yang menderita penyakit epilepsy (ayan), kelainan tulang belakang, gangguan pada tulang dan otot,serta yang mengalami amputasi.

b. Penyandang Cacat Mental 1. Tuna Laras

Dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan emosi. Gangguan yang muncul pada individu yang berupa gangguan perilaku seperti suka menyakiti diri sendiri, suka menyerang teman, dan lainnya.

(9)

2. Tuna Grahita

Sering dikenal dengan cacat mental yaitu kemampuan mental yang berada di bawah normal. Tolak ukurnya adalah tingkat kecerdasan atau IQ. Tuna grahita dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Tuna Grahita Ringan (Debil)

Tampang dan fisiknya normal, mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70. Mereka juga termasuk kelompok mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung, anak tunagrahita ringan biasanya bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD Umum.

b. Tuna Grahita Sedang (Embisil)

Tampang atau kondisi fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak tuna grahita yang mempunyai fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat kelas II SD Umum.

c. Tuna Grahita Berat (Idiot)

Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima pendidikan secara akademis. Anak tunagrahita berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30 kebawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan bantuan orang lain.

c. Penyandang Cacat Fisik dan Mental (Ganda)

Kelompok penyandang jenis ini adalah mereka yang menyandang lebih dari satu jenis keluarbiasaan, misalnya penyandang tuna netra dengan tuna rungu sekaligus, penyandang tuna daksa disertai dengan tuna grahita atau bahkan sekaligus.

2.3.4 Faktor Penyebab Disabilitas

(10)

A. Penyandang Cacat Fisik 1. Tuna Netra

a. Masa Prenatal :

1. Akibat penyakit campak Jerman. Jika menyerang ibu yang sedang hamil 1-3 bulan, besar kemungkinan bayinya lahir dalam keadaan tuna netra.

2. Akibat penyakit Syphilis, bayi yang ada dalam kandungan kemungkinan terlahir dengan keadaan tuna netra.

3. Akibat kecelakaan, keracunan obat2an/zat kimia, sinar laser, minuman keras yg mengakibatkan kerusakan janin khususnya pada bagian mata.

4. Infeksi virus Rubella, toxoplasmosis.

5. Malnutrisi berat pada tahap embrional minggu ke 3 sampai ke 8. b. Masa Natal :

1. Kerusakan mata atau syaraf mata pada saat proses kelahiran. Terjadi karena proses kelahiran yang sulit, sehingga bayi harus keluar dengan bantuan alat (vakum).

2. Ibu menderita penyakit Gonorrchoe, sehingga kuman gonococcus (GO) menular pada bayi saat kelahiran.

3. Retrolenta Fibroplasia yang disebabkan karena bayi lahir sebelum waktunya, sehingga diberikan konsentrasi oksigen yang tinggi dalam inkubator.

c. Masa Perkembangan : 1. Kekurangan vitamin A.

2. DM, menyebabkan kelainan retina. 3. Darah tinggi ; pandangan rangkap/kabur. 4. Stroke ; kerusakan syaraf mata.

5. Radang kantung air mata, radang kelenjar kelopak mata, hemangiona, retinoblastoma, efek obat/zat kimiawi.

(11)

2. Tuna Rungu a. Masa Prenatal :

1. Salah satu dari orang tua penderita merupakan pembawa sifat abnormal.

2. Ibu yang sedang mengandung mengalami sakit pada masa 3 bulan pertama kehamilan, yaitu pada masa pembentukan ruang telinga.

3. Keracunan obat-obatan. b. Masa Natal :

1. Kesulitan pada saat melahirkan, sehingga harus dibantu oleh beberapa alat. 2. Kelahiran prematur.

c. Masa Perkembangan :

1. Ketulian karena terjadinya infeksi, difteri, dan morbili.

2. Karena kecelakaan yang mengakibatkan rusaknya alat pendengaran bagian dalam. 3. Tuna Daksa

a. Masa Prenatal :

1. Anoxia prenatal, disebabkan pemisahan bayi dari placenta, penyakit anemia, kondisi jantung yang gawat, shock, percobaan abosrtus.

2. Gangguan metabolisme pada ibu. 3. Kromosom, gen yang tidak sempurna.

4. Pembelahan sel telur, sperma yang kualitasnya buruk. b. Masa Natal :

1. Kesulitan saat persalinan karena letak bayi sungsang, atau pinggul ibu terlalu kecil.

2. Pendarahan pada otak saat kelahiran. 3. Kelahiran prematur.

(12)

4. Gangguan pada placenta yang dapat mengurangi oksigen sehingga mengakibatkan terjadinya anorexia.

c. Masa Perkembangan :

1. Faktor penyakit ; meningitis, radang otak, diptheri, partusis. 2. Faktor kecelakaan.

3. Pertumbuhan tubuh/tulang yang tidak sempurna.

B. Penyandang Cacat Mental : 1. Tuna Laras

a. Masa Prenatal :

1. Disfungsi kelenjar endokrin dapat mempengaruhi gangguan tingkah laku.

2. Berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang.

b. Masa Natal : -

c. Masa Perkembangan :

1. Setiap memasuki perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis emosi.

2. Tuna Grahita a. Masa Prenatal :

1. Infeksi Rubella (cacar Jerman), Rubella telah menggantikan sifilis sebagai penyebab utama tunagrahita yang disebabkan oleh infeksi maternal.

2. Penyakit inklusi sitomegalik, anak-anak dengan tunagrahita dari penyakit ini seringkali memiliki klasifikasi serebral, mikrosefali, atau hidrosefalus.

3. Sifilis, sifilis pada wanita hamil dahulu merupakan penyebab utama berbagai perubahan neuropatologis pada keturunannya, termasuk tuna grahita.

(13)

4. Toxoplasmosis, dapat ditransmisikan dari ibu kepada janinnya.

5. Herpes simpleks, dapat ditransmisikan transplasental, walaupun cara yang paling sering adalah selama kelahiran.

6. Sindroma AIDS, banyak janin dari ibu dengan AIDS tidak pernah cukup bulan karena terjadi lahir mati dan abortus spontan.

7. Gejala putus zat pada bayi adalah iritabilitas, hipertonia, tremor, muntah, tangisan dengan nada tinggi, dan kelainan pola tidur.

b. Masa Natal :

1. Disebabkan oleh kejadian yang terjadi saat kelahiran adalah luka-luka pada saat kelahiran, sesak nafas (asphyxia), dan lahir prematur.

c. Masa Perkembangan :

1. Penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya; meningitis (peradangan pada selaput otak) dan problema nutrisi (kekurangan gizi, misalnya kekurangan protein yang diderita bayi dan awal masa kanak-kanak), cedera kepala yang disebabkan karena kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan kecacatan mental.

C. Penyandang Cacat Fisik dan Mental (Ganda) : 1. Tuna Ganda

a. Masa Prenatal :

1. Ketidaknormalan kromosom komplikasi-komplikasi pada anak dalam kandungan ketidakcocokan Rh infeksi pada ibu yang kekurangan gizi pada saat sedang mengadung, serta terlalu banyak menkonsumsi obat dan alkohol.

b. Masa Natal :

1. Kelahiran prematur dan kekurangan oksigen 2. Terdapat luka pada otak saat kelahiran.

(14)

c. Masa Perkembangan :

1. Kepala mengalami kecelakaan kendaraan ,jatuh ,dan mendapat pukulan atau siksaan.

2. Anak tidak dirawat dangan baik, keracunan makanan atau penyakit tertentu yang sama, sehingga dapat berpengaruh tehadap otak (meningitis atau encephalities). (http://erlinaheria.blogspot.co.id/2012/10/penyandang-disabilitas.html diakses pada tanggal 9 desember 2015 pukul 20: 07)

2.4 Penyandang Disabilitas Tuna Rungu Wicara

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tuna rungu berarti tuli atau tidak dapat mendengar. Sementara itu, kata deaf menuru kamus bahasa inggris berarti kekurangan atau kehilangan sebagian atau seluruh pendengaran atau tidak mampu mendengarkan, sedangkan deafness berarti ketunarunguan yaitu cacat indera pendengaran bawaan atau kehilangan pendengaran. Muhfti Salim (dalam Depsos RI, 2008) mengatakan bahwa tuna rungu adalah remaja yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengarannya, sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya.

Karakteristik tuna rungu wicara pasti berbeda dengan anak/remaja normal pada umumnya. Bentuk mimik remaja tuna rungu wicara berbeda dikarenakan mereka tidak pernah mendengar atau mempergunakan panca inderanya yaitu mulut dan telinga. Oleh sebab itu mereka tidak terlalu paham dengan apa yang dimaksud dan dikatakan oleh orang lain.

Menurut Sastrawinata dkk (1997) anak tuna rungu wicara memiliki ciri yang cukup khas dibanding anak normal lainnya. Ciri khas tersebut diantarnya:

(15)

a. Ciri khas anak tuna rungu dalam segi fisik disebutkan, antara lain:

1. Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk. Hal ini disebabkan terutama terjadi jika di bagian telinga dalam terdapat kerusakan pada alat keseimbangan.

2. Gerakan mata cepat dan agak beringas. Hal ini menunjukkan bahwa ia mengkap keadaan di sekitarnya.

3. Gerkan kaki dan tangannya sangat lincah, hal ini tampak dalam mengadakan komunikasi dengan gerak isyarat dengan orang di sekitarnya.

4. Pernafasan pendek dan agak terganggu. b. Ciri khas dalam segi intelegensi

Intelegensi merupakan faktor penting dalam belajar meskipun faktor lain tidak bisa diabaikan begitu saja seperti faktor kesehatan, lingkungan. Intelegensi merupakan motor dari perkembangan mental seseorang.

c. Ciri-ciri khas segi emosi

Kekurangan akan bahasa lisan dan tulisan sering menyebabkan anak tuna rungu dalam menafsirkan secara negatif atau salah, hal ini sering mengakibatkan tekanan emosinya. Tekanan emosi dapat menghambat perkembangan pribadinya, sehingga menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif, dan memiliki emosi yang bergejolak.

d. Ciri-ciri khas segi sosial

Perlakuan yang kurang wajar dari anggota keluarga dan lingkungan dapat menampilkan beberapa aspek negatif yaitu:

1. Perasaan rendah diri dan merasa diasingkan oleh keluarga dan masyarakat,

(16)

2. Perasaan cemburu dan merasa tidak adil, 3. Kurang dapat bergaul dan bersikap agresif. e. Ciri khas dalam segi bahasa

Pada umumnya anak tuna rungu wicara dalam segi bahasa memiliki ciri-ciri: 1. Miskin dalam kosakata,

2. Sulit mengartikan ungkapan bahasa 3. Sulit mengartikan kata-kata abstrak 4. Kurang menguasai irama bahasa

Panti Sosial Tuna Rungu Wicara adalah panti rehabilitasi sosial khusus penyandang cacat tuna rungu wicara yang mempunyai tugas memberikan pelayanan rehabilitasi sosial yang meliputi pembinaan fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan dan resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi orang denga kecacatan rungu wicara agar mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyrakat. Pada dasarnya program rehabilitasi sosial rungu wicara pada panti sosial tuna rungu wicara (PSBRW) adalah terbina dan terentasnya orang dengan kecacatan rungu wicara agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam tatanan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Proses pelayanan panti sosial meliputi beberapa tahap antara lain tahap pendekatan awal, asessment, perencanaan program pelayanan, pelaksanaan pelayanan dan rujukan, pemulangan dan penyaluan serta pembinaan lanjut. Dimana pada tahap akhir pelayanan adalah pembinaan lanjut yang merupakan rangkaian dari proses rehabilitasi sosial atau pemulihan, yang ditujukan agar eks klien dapat beradaptasi dan juga berperan serta di dalam lingkupan keluarga, kelompok, lingkungan kerja dan masyarakat.

Ada dua macam standar panti sosial, yaitu standar umum dan standar khusus. Standar umum adalah ketentuan yang memuat kondisidan kinerja tertentu yang perlu

(17)

dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial jenis apapun. Mencakup aspek kelembagaan, sumber-sumber daya manusia, sarana dan prasarana, pembiayaan, pelayanan sosial dasar, dan monitoring-evaluasi. Sedangkan standar khusus adalah ketentuan yang memuat hal-hal tertentu yang perlu dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lainnya yang sejenis sesuai dengan karakteristik panti sosial. Adapun yang menjadi standar umum panti sosial adalah:

A. Kelembagaan, meliputi:

1. Legalitas Organisasi, mencakup bukti legalitas dari instansi yang berwenang dalam rangka memperoleh perlindungan dan pembinaan profesionalnya.

2. Visi dan Misi, memiliki landasan yang berpijak pada visi dan misi tersebut.

3. Organisasi dan Tata Kerja, memiliki struktur organisasi dan tata kerja dalam rangka penyelenggaraan kegiatan.

B. Sumber Daya Manusia

1. Aspek penyelenggaraan panti, yang terdiri dari 3 unsur yaitu:

a. Unsur Pimpinan, yaitu kepala panti dan keapal-kepala unit yang ada dibawahnya.

b. Unsur Opersional, meliputi pekerja sosial, instruktur, pembimbing rohani, dan pejabat fungsional lainnya.

c. Unsur Penunjang, meliputi pembina asrama, pengasuh, juru masak, petugas kebersihan, satpam dan sopir.

2. Pengembangan personil panti. C. Sarana dan Prasarana, mencakup:

(18)

1. Pelayanan Teknis, mencakup peralatan asesmen, bimbingan sosial, keterampilan fisik dan mental.

2. Perkantoran, memiliki ruang kantor, ruang tamu, kamar mandi, peralatan kantor seperti alat komunikasi, alat transportasi dan tempat penyimpanan dokumen.

3. Umum, memiliki ruang makan, ruang tidur, mandi dan cuci, belajar, kesehatan dan peralatannya serta ruang perlengkapan

D. Pembiayaan memiliki anggaran yang berasal dari sumber tetap maupun tidak tetap

E. Pelayanan Sosial Dasar memiliki pelayanan sosial dasar untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari penerima manfaat, meliputi makan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan dan kesehatan

F. Monitoring dan Evaluasi, meliputi

1. Money Process, yakni penilaian terhadap proses pelayanan yan diberikan kepada penerima manfaat.

2. Hasil, yakni monitoring dan evaluasi terhadap penerima manfaat, untuk melihat tingkat pencapaian dan keberhasilan penerima manfaat setelah memperoleh proses pelayanan.

Adapun Standar Khusus Panti Sosial, berupa kegiatan pelayanan yang terdiri dari tahapan sebagai berikut:

a. Tahap Pendekatan Awal, mencakup: 1. Sosialisasi program

2. Penjaringan/penjangkauan calon penerima manfaat 3. Seleksi calon penerima manfaat

(19)

5. Konferensi kasus

b. Tahap Pengungkapan dan Pemahaman Masalah (asessment), mencakup: 1. Analisa kondisi penerima manfaat, keluarga dan lingkungan

2. Karakteristik masalah, sebab dan implikasi masalah 3. Kapasitas mengatasi masalah dan sumber daya 4. Konferensi kasus

c. Tahap Perencanaan Pelayanan, meliputi: 1. Penetapan tujuan pelayanan

2. Penetapan jenis pelayanan yang dibutuhkan penerima manfaat 3. Sumber daya yang akan digunakan

d. Tahap Pelaksanaan Pelayanan, terdiri dari: 1. Bimbingan individu

2. Bimbingan kelompok 3. Bimbingan sosial

4. Penyiapan lingkungan sosial 5. Bimbingan mental psikososial 6. Bimbingan pelatihan keterampilan 7. Bimbingan fisik kesehatan

2.5 Sistem Pelayanan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Tuna Rungu Wicara

2.5.1 Sistem Pelayanan Terapi Wicara bagi Penyandang Disabilitas Tuna Rungu Wicara

Gangguan pendengaran yang terjadi pada anak perlu untuk dilakukan deteksi seawal mungkin mengingat peranan pendengaran dalam proses perkembangan bicara sangatlah penting. Fungsi pendengaran dan juga perkembangan bicara sudah

(20)

termasuk ke dalam program evaluasi perkembangan anak secara umum yang biasa dilakukan mulai dari tingkatan Posyandu oleh profesi di bidang kesehatan. Pada anak berkebutuhan khusus tuna rungu, gangguan pendengaran dapat dikurangi dengan memanfaatkan sisa pendengaran dan menggunakan alat bantu dengar meskipun hasilnya tidak sempurna. Selain itu, anak tuna rungu juga perlu mendapatkan terapi wicara untuk memperbaiki gangguan berbahasa sehingga anak tuna rungu bisa menjadi produktif dan dapat memperbaiki kualitas hidupnya.

Terapi wicara diberikan kepada mereka anak tuna rungu atau mereka yang mengalami gangguan komunikasi termasuk dalam gangguan berbicara, berbahasa serta gangguan menelan. Terapi wicara juga dapat bermanfaat untuk membangun kembali kognisi serta produktifitas anak tuna rungu.

Adapun beberapa metode sistem pelayanan terapi wicara untuk anak berkebutuhan khusus dengan gangguan pendengaran diantaranya adalah sebagai berikut.

a. Metode lips reading atau membaca ujaran

Metode ini penekanannya terdapat pada kemampuan anak yang diharuskan bisa menangkap suara atau bunyi bahkan ungkapan dari seseorang melalui penglihatannya. Dengan kata lain, anak tuna rungu harus bisa membaca gerakan bibir dari lawan bicaranya.

b. Metode oral

Cara atau metode oral ini adalah untuk melatih anak tuna rungu agar bisa berkomunikasi secara lisan dengan lingkungan atau orang-orang yang bisa mendengar. Caranya yaitu dengan melibatkan anak tuna rungu untuk berbicara secara lisan dihadapan orang atau masyarakat dalam setiap kesempatan.

(21)

Terapi wicara dengan metode manual ini adalah cara melatih atau mengajar anak tuna rungu untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat yaitu dengan ejaan jari.

d. Metode AVT (Auditori Visual Therapy)

Metode auditori visual therapy ini adalah perpaduan antara penerapan suara, bahasa bibir dan mimik muka. Tujuannya adalah dengan suara yang kita diharapkan bisa mengoptimalkan sisa pendengaran anak, dan dengan membaca mimik muka serta bahasa bibir diharapkan anak dapat dengan mudah memahami atau lebih mengerti setiap kata yang diucapkan secara visual.

Namun, dalam terapi wicara ini juga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :

1. Alat artikulasi anak untuk mengetahui apakah terdapat kecacatan atau tidak. 2. Pembentukan vocal dan konsonan

3. Mengetahui tingkat kekurangan pendengaran anak. Ringan, sedang, berat atau bahkan sangat berat.

4. Tingkat kelainan anak.

Jika anak mengalami beberapa kelainan yang telah disebutkan diatas maka mereka perlu mendapatkan perhatian khusus, karena hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap penanganan awal atau konsep awal seperti apa yang akan diberikan kepada anak tuna rungu.

Sekarang ini tentunya sudah banyak berbagai macam modifikasi terapi untuk anak berkebutuhan khusus yang lebih modern dan juga lebih detail, namun pada dasarnya semua metode terapi tersebut tergantung dari cara penanganan yang dilakukan terhadap anak. Hendaknya anak tuna rungu dilatih untuk berbicara sedini mungkin dengan orang normal agar mereka merasa terbiasa dan organ artikulasi mereka dapat

(22)

terlatih sejak dini. (https://tunarungu.wordpress.com/ di akses pada tanggal 11 desember 2015 pukul 22: 20 Wib).

2.5.2 Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Tuna Rungu Wicara

Jika dilihat lebih jauh pemberdayaan hampir sama dengan pendidikan yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang lemah atau tidak beruntung. Pemberdayaan dapat diartikan suatu proses atau serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah atau penyandang disabilitas tuna rungu wicara dalam masyarakat sehingga mereka dapat:

1. Memenuhi kebutuhan dasarnya agar dapat memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat, dan tidak hanya itu saja melainkan juga bebas dari kesakitan.

2. Menyangkut sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatanya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan.

3. Dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi mereka (Mujahiddin, 2012: 144). Agar ketiga hal tersebut dapat terlaksana maka pendidikan yang bermodelkan pemberdayaan perlu diperhatikan kepada penyandang disabilitas tuna rungu wicara. Contoh dalam kasus penderita penyandang disabilitas tuna rungu wicara ditemukan suatu fakta tentang keinginan atau kesukaan penyandang disabilitas tuna rungu wicara dalam bidang menjahit/sablon, saloon, pertukangan kayu, berarti ada konten kreatif mereka yang perlu dikembangkan dan diberdayakan. Kreatifitas-kreatifitas inilah yang kemudian harus diberdayakan sehingga penyandang disabilitas tuna rungu wicara mampu mandiri dan memenuhi kehidupan kelak.

(23)

2.6 Kemandirian

Menurut kamus besar Bahasa indonesia, mandiri adalah “berdiri sendiri”. Kemandirian berasal dari kata dasar diri, maka pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari perkembangan diri itu sendiri. Kemandirian jga dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak bergantung kepada otoritas dan tidak membutuhkan arahan secara penuh.

Kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan sesorang untuk bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk kebutuhannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain, maupun berfikir dan bertindak kreatif, dan penuh inisiatif, mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa percaya diri dan memperoleh kepuasan dari usahanya (Masrun, 1986: 8).

Berdasarkan pemaparan di atas, kemandirian penyandang disabilitas tuna rungu wicara yang dimaksud dalam penilitian ini adalah kemampuan penyandang disabilitas tuna rungu wicara untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya setelah penyandang disabilatas tuna rungu wicara mengeksplorasi sekelilingnya. Hal ini mendorong penyandang disabilitas tuna rungu wicara untuk tidak tergantng kepada orang tua secara emosi dan mengalihkannya pada teman sebaya, mampu membuat keputusan, bertanggung jawab dan tidak mudah putus aja juga tidak mudah dipengaruhin orang lain.

2.6.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi kemandirian

Sebagaimana aspek-aspek psikologis lainya, kemandirian juga bukan lah murni sebuah bawaan semata yang melekat pada individu sejak ia dilahirkan

(24)

kedunia, perkembangan juga di pengaruhi oleh berbagai stimulasi yang datang dari lingkunganya.

Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian, yaitu sebagai berikut.

a. Gen atau keturunan orang tua

Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun ada juga pendapat yang mengatakan sesungguhnya bukan sifat kemandirian orang tuanya itu yang menurun pada kepada anaknya, melainkan sifat orang tuanya muncul bersamaan dengan cara orang tua mendidiknnya.

b. Pola asuh orang tua

orang tua yang terlalu banyak melarang dan mngeluarkan kata “jangan” kepada anak tanpa disertai penjelasan yang rasional akan menghambat perkembangan anak. Sebaliknya orang tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan mendorong kelancaran perkembangan motorik sang anak. Demikian juga, dengan orang tuanya yang membanding-bandingkan anak yang satu dengan yang lainya juga akan berpenagruh kurang baik terhadap perkembangan kemandirian anak.

c. Sistem pendidikan anak di sekolah

proses pendidikan disekolah yang tidak mengembangkan demokrasi pendidikan dan cendrung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian remaja, demikian juga, proses pendidikan yang banyak menekankan pentingnya pemberian sanksi atau hukuman juga dapat menghambat perkembangan kemandirian. Sebaliknya, proses pendidikan yang lebih menekankan

(25)

pentingnya penghargaan terhadap potensi anak, pemberian reward, dan penciptaan kompetisi yang positif akan memperlancar perkembangan kemandirian.

d. Sistem kehidupan masyarakat

Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hierarki struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang mengahrgai manifestasi potensi remaja dalam kagiatan produktif dapat mengahmabat kelancaran perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang aman, mengahraga ekspetasi potensi remaja dalam bentuk kegiatan dan tidak berlaku hierarkis dan merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian remaja (Ali & Asrori, 2007: 118).

2.6.2 Kemandirian Penyandang Disabilitas Tuna Rungu Wicara

Mengembangkan tingkat kemandirian dalam diri seorang penyandang disabilitas seharusnya dilatih sejak dini baik yang dilakukan orang tua atau keluarga, lingkungan maupun guru di panti khusus penyandang disabilitas tuna rungu wicara. Ketergantungan penyandang disabilitas kepada guru selama proses belajar mengajar ataupun seorang pekerja sosial juga seorang trapis dengan penyandang disailitas tuna rungu wicara sebagai klienya sangatlah dominan maka panti penyandang dsiabilitas tuna rungu wicara berkewajiban mengembangkan kemandirian dan kemampuan khusunya dalam merawat diri, ketrampilan diri yang dimiliki oleh penyandang disabilitas tuna rungu wicara melalui pemberian layanan pendidikan maupun kesehatan.

(26)

2.7 Kerangka Pemikiran

Keterbatasan yang dimiliki karena ketunarunguan menyebabkan kesulitan berkomunkasi. Keberadaan penyandang disabiltas tuna rungu wicara di dalam masyarakat menjadi kelompok yang direndahkan sehingga menyebabkan masalah yang kompleks bagi perkembangan penyandang disabiltas tuna rungu wicara. Di samping keterbatasan yang mereka miliki mereka juga dianugrahi kelebihan-kelebihan yang luar biasa dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Tergantung bagaimana mereka mendapatkan bimbingan dan arahan dari orang-orang sekitarnya serta stimulus yang positif yang di dapat dari orang-orang sekitarnya. Bimbingan dan arahan dapat mempengaruhi terhadap kelebihan yang ia miliki.

Masalah yang dialami oleh penyandang disabilitas tuna rungu wicara di dalam masyarakat disebabkan kurangnya perhatian dari orang-orang di sekitarnya sehingga kebutuhan fisiknya jarang dipenuhi, kesehatanya sering diabaikan. Akibatnya mereka mengalami kesenjangan dalam pertumbuhan dan perkembanganya. Kemudian masalah yang dialami penyandang disabilitas tuna rungu yaitu masalah kemandirian di dalam masyarakat cendrung krisis. Hal ini disebabkan oleh tekanan sosial, stigma sosial yang dihadapi oleh penyandang disabilitas tuna rungu wicara akibat keterbatasan yang dimiliki, sehingga dalam lingkungan sosial penyandang disabilitas tuna rungu beranggapan bahwa dirinya terabaikan dan tidak ada yang membantu ataupun mendukung untuk mencapai kemandirian dalam hidupnya.

Berdasarkan masalah yang dialami penyandang disabilitas tuna rungu wicara tersebut maka UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar berdiri atas kepedulian masalah tuna rungu wicara dan lansia. Sistem pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diberikan oleh UPTD Pelayanan Sosial

(27)

Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar bentuk perwujudan dari tanggung jawab dan kewajiban pemerintah. Pelayanan sosial yang diberikan kepada penyandang disabilitas tuna rungu wicara dutujukan untuk meningkatkan perkembangan dan pertumbuhannya sehingga meningkkatkan keberfungsian sosial dan kemandirian penyandang disabilitas tuna rungu wicara, untuk membantu keluarga dan penyandang disabilitas tuna rungu wicara dengan kecacatan tuna rungu wicara sehingga terpeliharanya taraf kesejahteraan remaja dan keluarga.

Tujuan berdirinya UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar ialah untuk membantu pemulihan kondisi fisik, psikis, mental dan sosial serta pemberian ketrampilan praktis kepada penyandang cacat rungu wicara sehingga mereka mau dan mampu melaksanakan fungsi sosialnya di lingkungan masyarakat.

Selain itu, UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar bertujuan untuk meningkatkan kemandirian penyandanng disabilitas tuna rungu wicara baik berupa cara berkomunikasi ataupun mampu untuk membantu dirinya dalam kehidupan sehari-hari.

Adanya sistem pelayanan yang menunjang untuk mencapai kemandirian penyandang disabilitas tuna rungu wicara, diharapkan dapat membantu perkembangan penyandang disabilitas tuna rungu wicara. Sistem pelayanan yang diterapkan dalam program kerja unntuk meningkatkan kemandirian, kesejahteraan serta pemberdayaan penyandang disabilitas tuna rungu wicara.

(28)

Gambar 2.1

BAGAN ALIR PIKIRAN

Sistem Pelayanan Meliputi : 1. Metode terapi wicara

a. Metode lips reading atau membaca ujaran b. Metode oral

c. Metode manual

d. Metode AVT ( Auditori Visual Therapy 2. Pemberdayaan Tuna Rungu Wicara

a. Memenuhi kebutuhan dasarnya b. Dapat meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang dan jasa

c. Dapat berpatisiapsi dalam proses pembangunan dan keputusan yang dapat mempengaruhi mereka

Sistem Pelayanan Meliputi :

1. Metode terapi wicara

a. Metode lips reading atau membaca ujaran √ Baik

b. Metode oral √ Baik c. Metode manual √ Baik d. Metode AVT ( Auditori Visual Therapy) √ Baik

2. Pemberdayaan Tuna Rungu Wicara

a. Memenuhi kebutuhan dasarnya √ Baik

b. Dapat meningkatkan pendapatan √ Baik dan memperoleh barang dan jasa

c. Dapat berpatisiapsi dalam proses pembangunan √ Baik dan keputusan yang dapat mempengaruhi mereka

Implementasi

Ada Tidak ada Kondisi KEMENTRIAN SOSIAL RI

UNIT PELAKSANAAN TEKNIS DAERAH (UPTD) PELAYANAN SOSIAL TUNA RUNGU WICARA DAN LANSIA PEMATANGSIANTAR

(29)

2.8 Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan dikaji. Setidaknya ada dua sifat konsep dalam ilmu-ilmu sosial. Konsep itu sangat luas cakupanya. Akibatnya, kajian akan konsep itu dapat di lakukan secara multi dimensi atau dapat dikaji dari berbagai aspek (Siagian, 2011: 136).

Jika dikaitkan dengan realitas sosial, maka konsep-konsep yang ada dalam ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu:

1. Konsep-konsep yang ada secara eksplisit menunjukkan hubungannya dengan realitas sosial yang diwakili dan dideskripsikan.

2. Konsep yang menunjukkan hubunganya secara implisit dengan realitas sosial. Dengan demikian sifat hubungan itu kabur dan abstrak. Bahkan tidak mudah mengetahui hubungan konsep-konsep tersebut dengan fenomena sosial yang diwakili dan dideskripsikan.

Agar menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan objek penelitian, maka seorang peniliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep-konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep-konsep dalam suatu penelitian disebut dengan definisi konsep. Secara sederhana defenisi disini diartikan sebagai batasan arti.

Hal ini menunjukkan bahwa peniliti ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti, maka peneliti membatasi konsep yanng digunakan sebagai berikut:

a. Implementasi adalah sebagai penerapan, pelaksaan, perwujudan dalam tindak nyata suatu program ataupun kebijkan.

(30)

b. Sistem pelayanan adalah suatu kesatuan yang dibutuhkan dalam terselenggaranya suatu pelayanan untuk mencapai tujuan.

c. Penyandang disabilitas tuna rungu wicara adalah seseorang yang mempunyai kelainan pada alat pendengaran dan bicara sehingga tidak dapat melakukan fungsinya secara wajar.

d. Kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk kebutuhanya sendiri tanpa bantuan dari orang lain.

e. UPT Tuna Rungu Wicara dan Lansia adalah lembaga yang memberikan pelayanan sosial kepada penyandang disabilitas tuna rungu wicara berupa bimbingan fisik, sosial, psikososial dan pendidikan ketrampilan bagi penyandang disabilitas tuna rungu wicara.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahapan ini kegiatan yang akan dilakukan diantaranya adalah pembuatan use case, analisis PIECES (Performance, Information, Economics, Control, Efficiency,

Awak kapal level III (elite crew) adalah level dimana seorang anggota Maritime Challenge yang memiliki kualifikasi anggota level II dan telah terpilih melalui seleksi ketat

Dalam banyak kasus, sebuah perusahaan e-commerce bisa bertahan tidak hanya mengandalkan kekuatan produk saja, tapi dengan adanya tim manajemen yang handal, pengiriman yang tepat

Dari permasalahan inilah penulis mencoba mengamati pengaruh padat penebaran benih abalon tropis dalam bak beton, kaitannya dengan pertumbuhan dan kelangsungan

pemilihan features yang akan dipilih. Di dalam tetingkap ini terdapat beberapa features yang akan di senaraikan. Untuk penggunaan EIS RTD Lipis icon Web Extensions

Hasil yang diperoleh dari sistem ini adalah tracking panel surya single axis yang dapat tegak lurus dengan arah matahari dan mendapatkan nilai tegangan, arus dan

Penelitian ini akan melihat efektifitas produksi cumi- cumi dan ikan teri dengan menggunakan lampu celup dalam air dan lampu di atas permukaan air laut pada alat tangkap bagan

Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia, Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan, Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Sistem Pengendalian Internal Terhadap Kualitas