1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi dan pasar bebas sekarang ini persaingan di segala bidang telah memasuki semua sektor usaha dan bisnis yang ada di seluruh dunia termasuk Indonesia. Indonesia bukan merupakan negara yang paling mudah untuk mendirikan perusahaan baru atau untuk berperan aktif dibidang bisnis. Keadaan tersebut tercermin dalam laporan peringkat indeks Doing Business 2014 yang diterbitkan oleh Bank Dunia yang menyatakan bahwa Indonesia pada september 2014 berada diposisi 120. Dengan keadaan seperti ini, para pengusaha dan para pengamat bisnis sangat dituntut berpikir keras untuk menyikapi dampak-dampak negatif yang timbul agar mampu mengatasi berbagai masalah yang terjadi dan dapat keluar sebagai pemenang dari persaingan yang makin kompleks dan kompetitif. Jika diperhatikan secara mendalam, ternyata inti dari persaingan terletak pada bagaimana perusahaan dapat menciptakan produk yang lebih murah, lebih baik, lebih cepat, dan sesuai dengan kebutuhan serta keinginan konsumen. Kemajuan dan perkembangan zaman mengubah cara berpikir konsumen dalam memilih sebuah produk yang diinginkan.
Kualitas merupakan salah faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu produk menembus pasarnya, disamping faktor utama yang lain seperti harga dan pelayanan. Pada masa seperti sekarang ini, sudah pasti konsumen banyak yang menginginkan suatu produk dengan kualitas tinggi. Produk yang berkualitas akan memiliki daya saing yang besar dan tingkat kemungkinan untuk diterima oleh masyarakat yang tinggi. Selain itu, kualitas menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan suatu perusahaan karena kualitas sebuah produk sangat berpengaruh pada citra perusahaan, keuntungan yang diperoleh perusahaan, produktivitas
perusahaan, dan liabilitas perusahaan (Eddy Herjanto, 2008). Kualitas tidak semata-mata menjadi tanggung jawab bagian produksi saja namun menjadi perhatian semua pihak dalam perusahaan.
Pengendalian kualitas tidak lagi hanya dilakukan dibagian produksi saja tetapi juga dilakukan disemua kegiatan operasi perusahaan. Sejak penentuan pemasok bahan baku, pengendalian selama proses produksi, sampai ke proses pengiriman barang, dan pelayanan pasca penjualan. Suatu sistem produksi bisa dikatakan baik jika dapat melaksanakan aktivitas produksi yang bisa memenuhi permintaan konsumen dengan ongkos minimum. Aktivitas produksi yang dimaksudkan disini adalah kegiatan kegiatan yang melibatkan penggunaan bahan baku yang terbatas baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang mempengaruhi kelangsungan perusahaan.
Dalam situasi perdagangan terbuka seperti saat ini, setiap perusahaan harus dapat menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu minimal yang ditetapkan, yang biasanya yang menggunakan standar nasional sebagai acuannya. Produk yang tidak dapat memenuhi persyaratan kualitas minimal akan sulit bersaing dengan perusahaan sejenis di dalam negeri. Selain persyaratan teknis, kualitas suatu produk juga harus mampu mencakup berbagai faktor lain yang diinginkan konsumen untuk dapat dipenuhi, seperti kesesuaian produk dengan kebutuhan dan penggunaan, pemuasan terhadap keinginan pemakai, kesesuaian produk dengan ketentuan hukum yang berlaku, ketepatan waktu pengiriman, dan biaya yang wajar.
Six sigma merupakan cara pendekatan kualitas terhadap Total Quality Management (TQM). Pada umumnya sistem pengendalian kualitas seperti TQM dan lain-lain hanya menekankan pada upaya peningkatan terus-menerus berdasarkan kesadaran mandiri dari manajemen. Sistem tersebut tidak memberikan solusi yang tepat mengenai langkah-langkah yang seharusnya dilakukan untuk menghasilkan peningkatan kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan = 0 (zero defect).
Six sigma merupakan metode dikembangkan oleh Motorola yang bertujuan untuk mengurangi variabilitas dalam karakteristik utama kualitas produk pada tingkat yang sangat rendah. Karena keberhasilannya dalam manajemen mutu melalui pengembangan konsep six sigma, membuat Motorola mendapat
penghargaan Malcolm Bridge pada tahun 1988 yang kemudian konsep ini diadopsi oleh berbagai perusahaan besar lainnya di dunia.
Tahu merupakan makanan khas yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia terutama masyarakat di Pulau Jawa. Tahu tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah dan menengah saja, akan tetapi juga kelas atas. Namun, sejak mencuatnya kasus tentang tahu yang berformalin membuat para pengusaha tahu tertantang untuk membuktikan bahwa produk tahunya alami tanpa bahan pengawet dan sesuai dengan harapan konsumen. Berdasarkan artikel yang dibuat oleh Ana Suryana (2014), mengatakan bahwa industri tahu tempe merupakan sumber pendapatan bagi 285.000 pekerja dan mampu menghasilkan kurang lebih Rp 700.000.000 per tahun.
Menurut Ketua Umum Gakoptindo Ayip Syarifudin saat ini terdapat 177 KOPTI (Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia) yang tersebar di 18 provinsi dengan jumlah pengrajin tahu tempe sebanyak 115.000 usaha dan jumlah tenaga kerja 1.000.000 orang. Untuk kebutuhan kedelai, jumlah kebutuhan bahan baku pengrajin tahu tempe sebanyak 132.000 ton / bulan.
CV. Bonasari adalah salah satu perusahaan yang memproduksi tahu sumedang yang berlokasi di Jalan Rajawali RT 002 RW 001 Panunggangan Utara, Kebon Nanas, Tangerang 15143. CV ini sudah berdiri sejak tahun 2007 yang didirikan oleh Bapak Yaya Suhara. Produk dari CV. Bonasari adalah tahu sumedang yang 100% tanpa bahan pengawet. CV. Bonasari menjual produknya kepada pedagang-pedangan gorengan yang tersebar di daerah Tangerang seperti di Kebon Nanas, Ciledug, Alam Sutera, Sewan, Cimone, Kedaung, dll. CV. Bonasari memproduksi ± 950 kg kedelai per hari dengan menghasilkan 621 ancak1 per hari dan limbah cair sebanyak 855 kg/hari (sumber : CV. Bonasari).
Dalam menjalankan proses produksi, perusahaan mengalami kendala dalam mengolah produk tahu secara efektif dan efisien sehingga limbah yang dihasilkan lumayan banyak yang mengakibatkan besarnya biaya proses tidak efisien. Biaya proses tidak efisien bisa timbul karena kehilangan kapasitas produksi yang disebabkan oleh kegagalan proses, kerugian karena operasi yang berlebihan. Selain itu, masalah yang paling sering dialami oleh perusahaan CV. Bonasari adalah kesulitan dalam memperoleh kedelai yang memiliki kualitas tinggi. Hal itu disebabkan karena sumber kedelai yang didapat oleh CV. Bonasari berasal dari hasil import. Berdasarkan data yang diperoleh peneliti pada September 2014
terdapat 68.75% (44 orang dari 64 orang) dari konsumen tahu CV. Bonasari yang menyatakan bahwa tahu yang dihasilkan oleh CV. Bonasari kurang berkualitas dari segi ketebalan tahu yang dibawah standar atau dengan kata lain tahu yang dihasilkan tipis (sumber : CV. Bonasari). Selain itu, berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan kepala produksi di CV. Bonasari, beliau mengatakan bahwa terdapat masalah lain pada proses produksi pembuatan tahu yaitu tahu yang dihasilkan pada proses pencetakan memiliki tekstur yang tidak sempurna (hancur).
Untuk memecahkan masalah yang terjadi pada proses produksi di CV. Bonasari, maka perlu dilakukan penelitian mengenai cara meminimalkan tingkat kecacatan pada produk tahu dengan metode six sigma sehingga kecacatan pada produk yang dihasilkan dari proses produksi dapat diminimalisisr dalam rangka memperoleh profit yang maksimal. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian dengan judul ”Analisis Usulan Pengendalian Tingkat Kecacatan Pada Proses Produksi Tahu di CV. Bonasari Dengan Metode Six Sigma”.
1.2 Rumusan Masalah
Identifikasi masalah yang dibahas dalam penelitian ini antara lain:
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya produk cacat sehingga menyebabkan menurunnya kualitas pada tahu di CV. Bonasari?
2. Bagaimana implementasi pengendalian kualitas pada proses produksi tahu di CV. Bonasari dengan metode six sigma?
3. Rekomendasi apa yang dapat diberikan untuk mengurangi tingkat kecacatan yang sedang dialami oleh CV. Bonasari?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kecatatan yang terjadi pada tahu di CV. Bonasari.
2. Mendeskripsikan dan menganalisis hasil pengimplementasian metode six sigma terhadap tingkat kecacatan pada proses produksi tahu di CV. Bonasari. 3. Memberikan rekomendasi yang tepat untuk mengurangi tingkat kecacatan
yang sedang dialami oleh CV. Bonasari.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Perusahaan
Untuk mengetahui hal apa saja yang dapat dilakukan oleh perusahaan dalam rangka mengurangi tingkat kecacatan pada tahu di CV. Bonasari dengan metode six sigma sehingga perusahaan dapat meminimalisir biaya operasi dan dapat terus bersaing di bidangnya.
2. Bagi Peneliti
Sebagai praktek pembelajaran ilmiah untuk memperdalam wawasan mengenai metode six sigma.
3. Bagi Pembaca
Memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai cara memaksimalkan kualitas produk pada sebuah perusahaan dengan mengurangi tingkat kecacatan pada produk yang dihasilkan dengan menerapkan metode six sigma.
1.5 State Of The Art
Berikut adalah daftar jurnal terkait yang digunakan peneliti sebagai referensi untuk membuat penelitian ini:
Tabel 1. 1
State of The Art
No. Jurnal Penulis Metode yang Digunakan Isi Jurnal 1 IIE Annual Conference. Proceedings (2010). Optimization of Operational Techniques Using Six Sigma Principles Craig G. Drowning, April M. Bryan
Metode yang digunakan dalam penelitian empiris tersebut, yaitu:
• Lean Manufacturing
• Six Sigma
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan penulis di Rose-Hulman Ventures dan a medium-sized multinational manufacturing
organization, dapat disimpulkan bahwa:
• Teknik perbaikan kualitas seperti six sigma, lean thinking, dan manajemen perubahan akan menjadi alat transformasi yang digunakan oleh organisasi yang sukses. Namun, perusahaan harus beradaptasi dengan paradigma baru yang berfokus pada penghapusan limbah dan mempromosikan keunggulan
2 The International Journal of Quality and Reliability Management (2010) Six Sigma Quality : a structured review and implication for future research Mohamed Gamal Aboelmaged
Metode yang digunakan dalam penelitian empiris tersebut, yaitu:
• Six Sigma
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan
penulis, dapat
disimpulkan bahwa:
• Six sigma merupakan pendekatan kualitas yang lebih terstruktur dibandingkan TQM. 3 IIE Annual Conferences. Proceedings (2011). A Relationship between Six Sigma and Malcolm Baldrige Quality Award Mahour M. Parast, Erick C. Jones
Metode yang digunakan dalam penelitian empiris tersebut, yaitu:
• Six Sigma
• The Baldrige Model
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan
penulis, dapat
disimpulkan bahwa:
• Six sigma adalah metodologi praktis untuk mengurangi biaya, meningkatkan kualitas dan perbaikan terus menerus, dan menghasilkan penghematan bottom-line. • Dengan mengintegrasikan metodologi six sigma ke dalam model Baldrige tidak hanya membantu
perusahaan untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dari segi kinerja dan kepuasan pelanggan, tetapi juga membantu perusahaan untuk mengejar kualitas dan tingkat kinerja yang ditetapkan oleh Model Baldrige. 4 Makara, Teknologi, Vol. 3, No. 2 (2009) Penerapan Pendekatan Metode Six Sigma Dalam Penjagaan Kualitas Pada Proyek Kontruksi Yusuf Latief, Retyaning Puji Utami
Metode yang digunakan dalam penelitian empiris tersebut, yaitu:
• Six Sigma
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan penulis di proyek kontruksi, dapat disimpulkan bahwa:
• Metode six sigma adalah metode yang digunakan untuk mencapai kualitas yang tinggi, namun harus memperhatikan sifat proyek yang berbeda dengan industri manufaktur. Karena ada beberapa disiplin ilmu yang tidak membutuhkan metode six sigma.
• Pengimplementasian metode six sigma
memungkinkan untuk diterapkan pada proyek kontruksi karena proyek kontruksi menuntut untuk selalu melakukan perbaikan terus menerus demi tercapainya sasaran mutu yang merupakan requirement dari pihak owner. 5 Penerapan Metode Six Sigma Dengan Konsep DMAIC Sebagai Alat Pengendali Kualitas (2010) Widhy Wahyani, Abdul Chobir, Denny Dwi Rahmanto
Metode yang digunakan dalam penelitian empiris tersebut, yaitu:
• Six Sigma
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan penulis di Perusahaan Rokok ”X”, dapat disimpulkan bahwa: • Dalam rangka melalukan pengendalian kualitas dapat dilakukan dengan cara menghitung tingkat RPN (Risk Potential Number) pada proses produksi sebuah produk.