• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISU-ISU KRITIS DALAM PENDIDIKAN OTONOMI PENDIDIKAN DOSEN PENGAMPU: Atikah Solihah NIM Yunita NIM KELAS C

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISU-ISU KRITIS DALAM PENDIDIKAN OTONOMI PENDIDIKAN DOSEN PENGAMPU: Atikah Solihah NIM Yunita NIM KELAS C"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

0

ISU-ISU KRITIS DALAM PENDIDIKAN

OTONOMI PENDIDIKAN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan.

DOSEN PENGAMPU:

Prof. Dr. Aceng Rahmat, M.Pd.

Atikah Solihah NIM 7317167488

Yunita NIM 7317167382

KELAS C

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA PROGRAM DOKTORAL (S3)

PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2016

(2)

1

PENDAHULUAN

Salah satu kebijakan pemerintah Indonesia yang pada awal kemuculannya menimbulkan diskusi hangat berbagai kalangan, termasuk kalangan dari dunia pendidikan adalah tentang otonomi daerah. Daerah-daerah yang merasa memiliki potensi dan sumber daya melimpah memiliki kepentingan untuk memanfaatkan potensi itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran daerah. Selama dikelola oleh pusat, pemerintah daerah merasa tidak puas karena porsi yang dianggap tidak sesuai. Sementara itu, pemerintah pusat akan kehilangan sebagian interaksi dan kewenangan langsung dengan berbagai sumber di daerah dengan adanya otonomi daerah.

Makalah ini akan membahas tentang otonomi pendidikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari konsep otonomi daerah. Bagaimana kewenangan antara pusat dan daerah dalam otonomi pendidikan, bagaimana tata kelola yang ideal untuk itu, serta apakah dengan otonomi daerah seutuhnya sistem pemerintahan di Indonesia menggunakan sistem desentralisasi? Beberpa pertanyaan tersebut akan menjadi topik bahasan dalam makalah ini.

(3)

2 BAB II PEMBAHASAN

Otonomi Daerah

Dalam KBBI disebutkan bahwa otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dng peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari makna tersebut tersirat bahwa di dalam otonomi terdapat beberapa unsur yang perlu diperhatikan dan diatur, yaitu hak, wewenang, dan kewajiban. Dalam hal ini hak daerah untuk mengatur diri sendiri, ruang lingkup kewenangan yang dimiliki, serta kewajibannya yang berhubungan dengan pemerintah pusat dan daerah lain.

Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti ‘sendiri’, dan nomos yang berarti ’hukum atau aturan’. Dalam konteks etimologi otonomi diartikan sebagai ‘perundangan sendiri’. Otonomi sebagai hak mengatur dan memerintahkan daerah sendiri, hak tersebut diperoleh dari pemerintah pusat. Otonomi pendidikan merupakan kekuasaan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur, mengelolah, mengorganisir urusan pendidikan yang secara tidak langsung di awasi oleh pemerintah pusat. Otonomi juga diartikan sebagai kemandirian suatu daerah untuk mengatur daerahnya secara mandiri. Pelaksanaan otonomi pendidikan ini berlangsung karena adanya kewenangan yang diberikan langsung dari pemerintah pusat untuk didirikannya otonomi daerah suatu daerah. Adapun hak yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah itu tidak langsung diberikan sepenuhnya. Pemerintah pusat disini bertugas mengawasi pelaksanaan otonomi pendidikan ini.

Terdapat ungkapan yang menarik tentang otonomi daerah,yaitu bringing the state

closer to the people. Hakikaktnya otonomi daerah bertujuan untuk mendekatkan

pemerintahan kepada masyarakat. Dalam hal ini bermakna bahwa dengan otonomi daerah, pemerintah meningkatkan pelayanan dan akuntabilitas kepada masyarakat, bukan meningkatkan kekuasaan daerah.

Otonomi daerah merupakan pola baru dalam pemerintahan Indonesia. Karakteristik sentralistik sebagai pola lama dan karakteristik desentralistik sebagai pola baru dapat dijabarkan sebagai berikut.

(4)

3

NO. POLA LAMA POLA BARU

1 Subordinasi  otonomi

2. Pengambilan keputusan terpusat  Pengambilan keputusan partisipatif 3. Ruang gerak kaku  Ruang gerak luwes

4. Pendelegasian  Pemberdayaan

5. Organisasi Hierarkis  Organisasi datar 6. Informasi bersifat pribadi  Informasi terbagi 7. Pendekatan birokratis  Pendekatan profesional

8. Sentralistik  Desentralistik

9. Diatur  Motivasi

10 Overegulasi  Deregulasu

11. Mengontrol  mempengaruhi

12. Mengarahkan  memfasilitasi

13. Menghindari risiko  Mengelola risiko 14. Uang digunakan semua  Uang digunakan efektif 15. Individu yang cerdas  Team work yang cerdas

Sumber: Renstra Kemendikbud Tahun 2015--2019

Dari pemerian tersebut dapat diketahui bahwa terdapat beberapa manfaat yang besar dengan menggunakan pola yang lama, terutama berkaitan dengan penanganan masalah. Dengan sistem otonomi daerah, pemecahan masalah dapat dilakukan secara efektif dan efesien karena penangannan hanya akan melibatkan pemangku kepentingan yang bertanggung jawab secara langsung sehingga birokasi yang dilalui pun sederhana dan waktu yang dibutuhkan untuk pemecahan masalah menjadi lebih singkat. Sebagai contoh adalah dalam penanganan sekolah yang sebagian gedungnya rusak karena bencana alam. Dalam kondisi tersebut, jika harus menunggu renovasi dari pemerintah pusat tentu membutuhkan waktu dan birokrasi yang lama. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah dapat dengan segera memberikan solusi dan berbagai alternatif untuk menangani masalah tersebut, termasuk dalam hal ini pelibatan masayarakat.

(5)

4 Otonomi Pendidikan

Kehadiran Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (dimulai Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999) tentang pemerintah daerah yang menyebutkan bahwa sejumlah kewenangan telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah telah memungkinkan daerah untuk melakukan kreasi, inovasi, dan improvisasi dalam upaya pembangunan daerahnya termasuk dalam bidang pendidikan. Pemberlakuan otonomi daerah tersebut membawa implikasi terhadap perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan, yang salah satunya adalah berkurangnya peran pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan

Sistem pendidikan nasional yang bersifat sentralis yang selama ini dipegang oleh pemerintah diakui kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Sistem pendidikan yang sentralis dinyatakan kurang bisa mengakomodasi keberagaman daerah, keberagaman sekolah, serta keberagaman peserta didik, bahkan cenderung mematikan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan. Padahal masyarakat dapat diberdayakan untuk bersama-sama mengembangkan mutu pendidikan.

Kebijakan pembangunan pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut: 1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti; (2). Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan; (3) Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional; (4) Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai; (5) Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen; (6) Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun

(6)

5

pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (7) Mengembangkan sumber daya manusia sedini mungkin secara terararh, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya;(8)Meningkatkan penguasaan pengembnagan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.

Otonomi bidang pendidikan yang diberikan kepada daerah memberikan kesempatan kepada daerah untuk unggul dalam bidang pendidikan melalui penyesuaian kebijakan yang searah dengan kemajuan bidang pendidikan yang diharapkan.

Terdapat tiga model sistem otonomi pendidikan,1 yaitu (1) model desentralisasi asimetris, (2) model desentralisasi parsial, dan (3) model desentralisasi provinsi. Yang disebut dengan desentralisasi asimetris (asymmetric autonomy) adalahmodel desentralisasi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Artinya, tiap-tiap daerah dalam menerjemahkan dan menjabarkan urusan dan kewenangan yang diberikan oleh pusat maupun provinsi akan berbeda-beda sesuai dengan karakteristik daerah tersebut (bisa berlatar sosial budaya, kemampuan daerah, dll.). Dalam hal ini pemberian otonomi pada suatu provinsi bisa berbeda provinsi lainnya, otonomi pada satu kabupaten/kota bisa berbesa dengan kabupaten/kota lainnya. Yang disebut dengan desentralisasi parsial (partial autonomy) adalah model desentralisasi yang di dalamnya terdapat pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang menganut asas perimbangan dan pembagian urusan dan kewenangan antara pusat, provinsi, maupun daerah. Model ini seperti model desentralisasi asimetris, tetapi pada tataran kab/kota (daerah) diperlakukan sama tanpa adanya perbedaan. Model yang terakhir adalah desentralisasi desentralisasi tingkat provinsi (province autonomy). Sistem inimerupakan model desentralisasi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang berpusat pada provinsi. Artinya, urusan dan kewenangan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan diberikan pada pihak provinsi. Daerah kabupaten/kota yang berada di bawah koordinasinya harus patuh dan mengikuti pihak provinsi.

1

(7)

6

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan dalam pasal 31 ayat 4 bahwa anggaran pendidikan minimal sebesar 20% dari APBN dan APBD. Hal itu ditegaskan kembali oleh pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 46, yaitu

1. Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

2. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikansebagaimana diatur di dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

3. Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikansebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dari perundangan yang berlaku tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah telah memberikan prioritas yang cukup besar terhadap pendidikan dengan memberikan ambang batas penganggaran bidang pendidikan. Jadi, dari segi aturan dan kebijakan telah terpenuhi. Dalam implementasi kebijakan tersebut, masih perlu dikaji lebih lanjut. Pengkajian ditinjau dari penerapan ambang batas yang ditetapkan dalam APBD dan bentuk realisasi dari anggaran yang sudah ditetapkan apakah sudah dengan kajian skala prioritas dan analisis kebutuhan, atau anggaran yang ada dialokasikan untuk hal yang tidak berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan.

Otonomi dalam bidang pendidikan, mencakupi beberapa hal berikut ini: 1) pengelolaan proses belajar mengajar; 2).perencanaan dan evaluasi, 3) pengelolaan kurikulum; 4)pengelolaan ketenagaan, 5) pengelolaan fasilitas (peralatan dan perlengkapan), 6) pengelolaan keuangan, 7) pelayanan pada peserta didik, 8) hubungan sekolah dan masyarakat, dan 9) pengelolaan iklim sekolah.

Di dalam kaitannya dengan perencanaan dan evaluasi program, sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Sekolah juga diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi internal yang berkaitan dengan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Kepala sekolah sebagai top manajemen harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal. Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, pimpinan sekolah harus memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orang

(8)

7

tua dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan program peningkatan mutu pendidikan secara bersama-sama.

Dalam hal pengelolaaan kurikulum, sekolah dapat mengembangkan kurikulum yang diberlakukan secara nasional. Akan tetapi, sekolah tidak boleh mengurangi isi dan substansi dari kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Sekolah juga diiizinkan untuk mengembangkan kurikulum berupa muatan lokal sebagai ciri khas daerah. Muatan lokal biasanya berkaitan dengan bahasa daerah dan pengembangan potensi daerah.

Dalam pengelolaan proses belajar, sekolah diberi kebebasan untuk memilih strategi, metode dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Dengan demikian, kebutuhan guru pun dapat diidentifikasi secara mandiri oleh sekolah. Pembelajaran merupakan tugas utama di sekolah yang di dalamnya terjadi proses pembelajaran, proses pelatihan, proses pembimbingan, dan proses penilaian. Guru harus terpanggil secara profesional untuk menjalankan tugas tersebut secara integral. Dengan otonomi pendidikan guru telah diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan bidang pembelajaran tersebut secara optimal sehingga potensi-potensi peserta didik bisa berkembang sebagaimana yang diharapkan. Hak otonomi pendidikan dalam pembelajaran, pembimbingan, pelatihan dan sistem penilaian yang telah diberikan kepada sekolah dengan mengaplikasikan model MBS tersebut, sayangnya sampai sekarang masih belum bisa berjalan secara optimal. Para guru masih banyak yang apatis, apriori, statis dalam menanggapi pembaruan atau perubahan pendidikan. Mereka masih banyak yang terbelenggu pada sistem pemebelajaran yang konvensional yang lebih menekankan pada pemberian informasi, pemberian pengetahuan, dan sifatnya hanya pada hal-hal ingatan, serta mengabaikan pada aspek afektif dan konatif. Sumber daya manusia yang terkait dengan sekolah sangat beragam, untuk itu dibutuhkan pengelolaan ketenagaan. Pengelolaan ketenagaan meliputi kegiatan analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sangsi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah. Akan tetapi, secara khusus untuk guru pegawai negeri sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya. Dalam penyelenggaraan pendidikan, dibutuhkan pengelolaan peralatan dan perlengkapan. Pengelolaan fasilitas seharusnya dilakukan oleh sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan hingga pengembangannya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas baik kecukupan,

(9)

8

kesesuaian dan kemutakhirannya terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.

Bagian yang harus dikelola secara otonomi adalah pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian atau penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan sehingga sumber keuangan tidak semata-mata bergantung pada pemerintah. Akan tetapi, tentu harus ada pengawasan yang melekat sehingga pengelolaan anggaran tidak disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Sekolah wajib memberi layanan kepada siswa. Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensinya.

Dalam hubungannya dengan masyarakat, sekolah harus meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesntralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensinya. Sebagaimana hubungan dengan masyarakat, dalam menciptakan iklim sekolah yang kondusif bagi pengembangan akademik, sekolah juga harus berperan secara mandiri. Iklim sekolah yang kondusif akademik merupakan prasayarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah dan yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensinya.

Kondisi sumber daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia. Untuk itu pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki pemerintah daerah dan kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat dan pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat Berbagai bidang yang harus diatasi secara mandiri oleh pemerintah daerah dalam era otonomi daerah awalnya memang memunculkan berbagai permasalahan. Penanganan

(10)

9

berbagai bidang tersebut sangat bervariasi. Dalam era otonomi daerah terlihat daerah yang maju dalam tata kelola pemerintahannya dan daerah mana yang tertinggal sekalipun sumber daya alamnya besar. Untuk memberikan ketepatan pelaksanaan pendidikan yang dilandasi oleh kepentingan pengembangan keberagaman potensi sumber daya manusia dan alam setiap daerah, dapat ditempuh pelimpahan wewenang dalam prinsip desentralisasi.

Pada dasarnya kebijakan desentralisasi pendidikan berdampak positif dalam hal: 1) peningkatan mutu: dengan kewenangan yang dimiliki, sekolah lebih leluasa mengelola dan memberdayakan potensi yang dimiliki; 2) efisiensi keuangan dengan memanfaatkan sumber lokal dan mengurangi biaya operasional, 3) efisiensi administrasi karena memotong rantai birokrasi yang panjang dan bertingkat-tingkat; dan 4) perluasan dan pemerataan pendidikan di pelosok daerah.

Kendala Otonomi Pendidikan

Penyelenggaraan desentralisasi di bidang pendidikan memunculkan banyak persoalan karena pelaksanaan desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan lainnya yang pada dasarnya hanya terkonsentrasi pada tingkat kabupaten dan kota. Desentralisasi pendidikan tidak hanya terhenti pada tingkat kabupaten dan kota, tetapi justru lebih jauh yaitu sampai pada tingkat sekolah. Adanya otonomi dalam pengelolaan pendidikan merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja sumber daya manusia di sekolah, menawarkan partisipasi langsung pihak-pihak terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Jika kesempatan ini tidak digunakan dengan sebaik-baiknya, akan muncul berbagai masalah yang pada akhirnya memang harus diselesaikan dengan saling berkolaborasi antarsekolah. Secara umum dalam bidang pendidikan, beberapa masalah yang muncul dalam autonomi pendidikan dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1. Perbedaan tingkat komitmen daerah dalam pengembangan pendidikan; 2. Lemahnya profesionalisme daerah dalam mengelola pendidik dan tenaga

kependidikan;

3. Perbedaan interpretasi antara kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah;

4. Insinkronisasi pengelolaan komponen pendidikan yang berada di bawah

Kementrian Agama dengan komponen pendidikan di bawah pemerintah daerah dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan; dan

(11)

10

Selama pelaksanaan otonomi daerah, pembinaan dan koordinasi yang seharusnya menjadi wadah dalam pencapaian hasil dan mutu pendidkan dengan bersama semakin sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan adanya gengsi antarpejabat. Biasanya bupati/walikota enggan selalu berkonsultasi dengan gubernur karena merasa bukan bawahan dan tidak memiliki hubungan hierarkis. Ketika rapat dinas dan koordinasi yang dilakukan oleh dinas provinsi yang semestinya harus diikuti utusan dari kabupaten/kota, tidak dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut berimplikasi kepada bawahannya. termasuk dinas pendidikan. Sering kali Kepala Dinas Pendidikan dan Provinsi kesulitan melakukan rapatt koordinasi dengan kepala dinas pendidikan kabupaten/kota karena pada waktu bersamaan bupati/walikota juga melakukan melakukan rapat dinas dengan mereka. Dinas pendidikan kota lebih mementingkan rapat dinas dengan atasannya dalam hal ini bupati/walikota

Berkaitan dengan penerapan kurikulum, kurikulum kelembagaan pendidikan yang baik adalah kurikulum kelembagaan pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat. Kelembagaan pendidikan tersebut bersandarkan pada komunitas masyarakat. Namun demikian, pada zaman reformasi dan keterbukaan seperti sekarang, permasalahan yang timbul adalah bagaimana mengubah pola pikir yang dikembangkan secara sentralistik dan memasung kreatifitas masyarakat, menjadi pola pikir kemitraan. Dampak langsung dari sekian lama sistem sentralistik yang dijalankan adalah terpolanya cara berfikir masyarakat kebanyakan, baik birokrasi, para pendidik, maupun masyarakat umumnya. Mereka terbiasa berpikir dan bekerja dengan adanya juklak, juknis serta aturan sehingga sulit lahirnya kreativitas, improvisasi, inovasi.

Kendala lain dalam otonomi pendidikan adalah penyebaran sumber daya manusia yang tidak merata. Daerah yang memiliki sumber daya manusia baik dapat meningkatkan mutu pendidikannya dengan baik dalam era otonomi bidang pendidikan. Akan tetapi, daerah yang sumber daya manusianya kurang atau dibawah rata-rata, daerah tersebut akan mengalami kesulitan dalam mengejar ketertinggalannya.

Meskipun desentralisasi sudah ada dalam peraturan dan regulasi otonomi daerah, dalam kelembagaan dan sikap akademik guru, kepala sekolah dan jajaran dinas pendidikan sebagai atasannya belum seirama. Pemerintah daerah belum menunjukkan penampilan dan cara kerja yang jelas dan yang mereka lakukan masih pada pemanfaatan dana, bukan pada aktivitas akademik. Dengan demikian permasalahan pokok yang menyebabkan pelaksanaan desentralisasi pendidikan belum berjalan menurut Hasbullah diantaranya yaitu: 1) belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota; 2) pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap

(12)

11

untuk dilaksanakan secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai; 3) dana pendidikan dan APBD belum memadai; 4) kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan; 5) otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama; dan 6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.

Perbandingan Otonomi Pendidikan di Beberapa Negara

Tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa Negara Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di sector pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan sekolah. Implisit ke dalam strategi desentralisasi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan sumber daya (school resources, dana pendidikan yang berasal dari pemerintah dan masyarakat).

Di negara-negara demokrasi, kesadaran untuk mengawasi dan membatasai membatasi intervensi pemerintah pada sector pendidikan itu ditandai dengan dipilihnya asas desentralisasi dalam pengambilan kebijakan (pengaturan) sector pendidikan. Amerika Serikat adalah salah satu negara pelopor demokrasi.Sudah sejak lama kebijakan pendidikan di Amerika Serikat menjadi tanggung jawab Pemerintah Negara Bagian (State) dan Pemerintah Daerah (Distrik). Sebelumnya, Pemerintah Pusat memang mengintervensi kebijakan pendidikan, sebagaimana yang terjadi sejak tahun 1872 saat pemerintah pusat AS mengintervensi kebijakan pendidikan dengan cara memberikan tanah negara kepada negara bagian untuk pembangunan fakultas-fakultas pertanian dan teknik; membantu sekolah-sekolah dengan program makan siang, menyediakan pendidikan bagi orang- orang Indian; menyediakan dana pendidikan bagi para veteran perang yang telah kembali ke kampus untuk kembalimenempuh pendidikan

(13)

12

lanjutan; menyediakan pinjaman bagi mahasiswa; menyediakan anggaran untuk keperluan penelitian, pertukaran mahasiswa asing dan bantuan berbagai kebutuhan mahasiswa lainnya serta memberikan bantuan tidak langsung (karena menurut ketentuan undang-undang Amerika Serikat melarang pemerintah untuk memberikan bantuan langsung.2 Sebagian besar kewenangan dan tanggung jawab pendidikan sudah diserahkan kepada negara bagian dan pemerintah daerah. Departemen Pendidikan Federal hanya menjalankan monitoring dan pengawasan saja. Selanjutnya, untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan hal-hal yang lebih teknis seperti kurikulum sekolah, penentuan persyaratan sertifikasi, guru-guru, dan pembiayaan sekolahdibentuk sebuah bagian pendidikan yang disebut dengan Comissioner atau superintendent. Bagian tersebut dipimpin oleh seorang yang ditunjuk oleh Board of Education atau oleh Gubernur.

Untuk beberapa Negara Bagian, pimpinan Bagian Pendidikan ini dipilih oleh masyarakat. Sementara itu, pada level operasional, pelaksanaan manajemen pendidikan dijalankan oleh unit-unit yang lebih rendah, bahkan banyak secara langsung dilaksanakan oleh masing-masing sekolah yang bersangkutan. Para pimpinan atau Kepala Sekolah pada prinsipnya memiliki kebebasan dan otonomi yang luas untuk menjalankan manajemen operasional pendidikan.

Berikut ini ditampilkan perbandingan kebijakan pendidikan di Amerika dan di Indonesia.

TABEL PERBANDINGAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI AMERIKA DAN INDONESIA

PILIHAN AMERIKA SERIKAT INDONESIA

1. Scope

Negara tidak memonopoli

penyelenggaraan sekolah. Sama Sekolah Swasta justru lebih

banyak drpd sekolah negeri. Sama Anggaran pemerintah pusat

lebih banyak diberikan ke sekolah2 negeri.

Sama

- Dukungan dari anggaran negara bagian bervariasi. Bahkan ada negara bagian yang sama sekali tidak memberi dukungan anggaran ke sekolah2 swasta

Dukungan dari anggaran Pemprov/Pemkab/Pemkot untuk wilayah masing2. Ada program khusus: Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sumber anggarannya sebagian dari pusat, prov, kab/kot.

2

(14)

13 2. Instruments

Desentralisasi. Memberi kewenangan dan otonomi yg luas kpd pemerintah Distrik, dg dukungan pemerintah Negara Bagian.

Desentralisasi. Memberi kewenangan dan otonomi yg luas kpd pemkab/pemkot, dengan dukungan pemprov. Konsekuensinya banyak variasi

keputusan yg berbeda. Sama Agar variasi itu positif dan

tetap konstruktif, pemerintah pusat membentuk badan2 yang mengkoordinasikan sektor pendidikan.

Sama

Di tingkat nasional ada Dept Pendidikan Federal, di tingkat regional dan lokal ada Board of Education (semacam Dinas Pendidikan).

Di tingkat nasional ada

DEPDIKNAS, di tingkat regional dan lokal ada Dinas Pendidikan Prov, dan Dinas Pendidikan Kab/Kota.

3. Distribution

Negara/pemerintah pusat menaruh perhatian kepada

tingginya apresiasi masyarakat memasukkan anak2nya ke Sekolah Dasar dan Menengah.

Sama

Menciptakan semakin berkualitasnya mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi.

Sama (ada seleksi dalam recruitment mahasiswa) Perguruan Tinggi diharapkan

bisa melahirkan tenaga-tenaga yang berkualitas dan mampu bersaing secara universal.

Sama

Kebijakan pendidikan multy misi: Politik, social, ekonomi, budaya, dan kemartabatan bangsa (daya saing bangsa).

Sama

4. Reistraints and Innovation

Dengan mendesentralisasikan kebijakan pendidikan, banyak permasalahan yang dapat dipecahkan lebih cepat dan lebih detail dg hasil yang sesuai dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah.

Sama

Keterlibatan public diberi akses sangat besar dalam turut serta mendisain, memonitor dan mengevaluasi hasil-hasil implementasi kebijakan pendidikan

Sama. Bahkan dengan kebijakan desentralisasi pendidikan, akses public dan keterlibatan public cukup diberi peluang lebar, yaitu dengan diadakannya

kelembagaan semacam Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

Salah satu negara yang menerapkan dengan bagik otonomi pendidikan adalah Finlandia. Di Finlandia kemandirian dalam mengikuti proses belajar mengajar itu tidak hanya dinikmati oleh guru-gurunya yang begitu dihormati, tetapi juga ditularkan kepada

(15)

14

para pelajar melalui berbagai kesempatan penting. Salah satunya adalah setiap pelajar diberi otonomi khusus untuk menentukan jadwal ujiannya untuk mata pelajaran yang menurutnya sudah dia kuasai.

Sistem inilah yang dipertahankan oleh Finlandia hingga akhirnya berhasil mengantarkan negara ini berada pada posisi puncak sebagai negara yang paling berhasil mengelola pendidikan nasionalnya. Hal yang mengagumkan adalah dalam evaluasi belajar, angka ketidak lulusan secara nasional tidak pernah melebihi 2 persen pertahunnya. Finlandia juga tidak mengenal istilah ujian semester, apalagi ujian nasional layaknya di Indonesia. Evaluasi belajar secara nasional dilakukan tanpa ada intervensi dari pemerintah. Setiap sekolah, bahkan guru sekalipun memiliki kuasa penuh untuk menyusun kurikulumnya sendiri.

Dalam hal aktivitas guru, akan terlihat perbedaan antara guru di Finlandia dengan guru-guru di Indonesia. Guru-guru di Finlandia disibukkan untuk mengejar terget-target tertentu karena di negeri ini guru selalu menyesuaikan bahan ajarnya dengan kebutuhan setiap pelajar. Jadi, di Finlandia siapa pun presidennya dan menteri pendidikannya tidak akan berpengaruh signifikan terhadap masa depan pendidikan. Fungsi pemerintah dalam memajukan sektor pendidikan adalah dukungan finansial dan legalitas. Mengenai bagaimana cara untuk merealisasikan kebijakan pemerintah, diserahkan kepada guru. Guru dipandang sebagai sosok yang paling mengerti akana wajah pendidikan Finlandia dibawa dimasa yang akan datang. Sistem ini telah berdampak positif kepada pola cara mengajar guru yang tidak terlalu diganggu dengan kondisi politik nasional negaranya. Keseriusan negara Finlandia menyokong keberhasilan pendidikan nasionalnya dibuktikan dengan diterapkannya kebijakan gratis sekolah 12 tahun.

Untuk dapat melaksanakan otonomi seutuhnya sebagaimana Finlandia, Indonesia masih membutuhkan berbagai prasyarat, di antaranya kualitas guru, integritas guru, dan dukungan sistem, sarana, dan prasarana. Kebebasan yang berlebihan tanpa diiringi dengan integritas akan menyebabkan kehilangan kontrol terhadap mutu. Alih-alih meningkatkan pendidikan, yang ada justru pendidikan menjadi berantakan dan tidak bersistem.

Berikut ini ditampilkan data dari OECD tentang pengambilan keputusan dalam bidang pendidikan khususnya di sekolah menengah. Di Indonesia tampak menempati peringkat ke-9 dalam hal kewenangan yang diberikan kepada sekolah. Sementara itu, kewenangan yang paling rendah dilakukan oleh negara Yunani.

(16)

15

Pada akhirnya fakta yang berkaitan dengan otonomi pendidikan menunjukkan bahwa ketika sistem otonomi pendidikan diiringi dengan kualitas sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan yang andal, mutu pendidikan dapat secara menyeluruh ditingkatkan. Akan tetapi, tanpa sumber daya manusia yang memadai, masih dibutuhkan intervensi dari pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, bahkan pada level sekolah.

(17)

16 BAB III PENUTUP

Dari pembahasan dalam bab sebelumnya dapat diketahui bahwa otonomi pendidikan sebagai bagian dari otonomi daerah merupakan suatu kemajuan dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Otonomi pendidikan di Indonesia menyentuh tataran sekolah, tidak hanya sampai pada pemerintah daerah saja. Pimpinan sekolah memiliki kewenangan dalam beberapa hal untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya. Kewenangan yang cukup luas itu harus diiringi dengan integritas dan visi yang luas dari para pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan di daerah. Apabila tidak diiringi dengan itu, otonomi pendidikan tidak berdampak pada peningkatan mutu pendidikan, tetapi hanya sekadar pembagian kewenangan dengan mutu yang berjalan di tempat.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Anwar. Memahami Paradigma Pendidikan Nasional dalam Undang-undang

SISDIKNAS. http://www.asahi-net.or.jp/~mm5r-atmd/html/FTP/paradigma.pdf

Hasbullah. Otonomi Pendidikan (Kebijakan otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap

Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006) hal. 1

http: // genibe.com/index.php/en/84-articles/56 diunduh tanggal 18 Januari 2016 pukul 13.00.

Nur, Agustiar Syah.Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara. Bandung : Lubuk Agung, 2001.

Eurydice. Levels of Autonomy and Responsibilities of Teachers in Europe. Europe:EurydiceEuropean Unit, 2008.

Zulkifli. http://m-zulkifli.blogspot.co.id/2013/06/makalah-perbandingan-pendidikan-di_30.html

Gambar

TABEL PERBANDINGAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN   DI AMERIKA DAN INDONESIA

Referensi

Dokumen terkait

Pada bagian ini akan dibahas sifat-sifat persamaan Korteweg-de Vries dengan memahami efek yang ditimbulkan oleh suku dispersif dan nonliniernya.. Hal ini bertujuan untuk

ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF DARI KEHAMILAN, PERSALINAN, BAYI BARU LAHIR (BBL), NIFAS DAN PERENCANAAN KELUARGA BERENCANA (KB) PADA NY. Dalam penyusunan Karya Tulis

Mussalontien ja sataman välisellä osuudella liikennemäärä on nykyisin noin 5 500 - 7 500 ajoneuvoa vuorokaudessa ja liikenteen on ennustettu kasvavan vuoteen 2030 mennessä

Komunikasi bisnis adalah pertukaran gagasan, pendapat, informasi, instruksi yang memiliki tujuan tertentu yang disajikan secara personal atau impersonal melalui symbol-simbol

Demikian halnya pengangkatan Anabil Faizin dan Nurul Hidayah Sardini sebagai anggota PPS Desa Ranupani setelah mendapat rekomendasi Kepala Sekolah SDN Ranupani

a) Menyiapkan prosedur perakitan dan pemasangan PHB Penerangan fasa tunggal dan atau fasa tiga sesuai dengan persyaratan yang berlaku. b) Menyiapkan Alat kerja,

Penggunaan solar pada umumnya adalah untuk bahan bakar pada semua jenis mesin diesel dengan putaran tinggi (diatas 1000 rpm), yang juga dapat digunakan sebagai bahan

4.3 Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 89 Tahun 2011 tentang Persyaratan dan Penataan Minimarket di Kota Bandar Lampung. Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 89