• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM"

Copied!
199
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM (Studi Kasus Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program dan Komunitas Zero, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat)

Siti Halimatusadiah I34070083

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM (Studi Kasus Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program dan Komunitas Zero, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat)

Siti Halimatusadiah I34070083

SKRIPSI

Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(3)

ABSTRACT

SITI HALIMATUSADIAH. Effectiveness of Participatory Institutions in Upstream Area of Citarum River Basin (Case Study: Cikapundung Rehabilitation Program Community and Zero Community, Coblong Subdistrict, Bandung, West Java Province). (Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and RINA MARDIANA).

Upstream watershed is one of the sub-watersheds that serve to maintain the availability of water for the central and downstream region. So that, when damage occurs in that area, it will effect to the middle and lower area of the watershed. The purposes of this study were (1) to determine the stakeholders who involved in the rescue of Citarum watershed upstream, (2) to know the effectiveness of participatory institutions to change attitudes and behavior of society around the Citarum watershed upstream. This study was conducted using a quantitative approach supported by qualitative approach. Meanwhile, the results of this study showed (1) institutional participatory have successfully changed attitudes and behavior of society to not to dispose the household garbage and sewage into the river again (2) participatory institutional not yet managed to change the manner of private parties to not to dispose garbage and industrial waste into the river, and (3) participatory institutions in central are more effective to change society attitudes and behavior to be more concerned for the environment than the existing participatory institutions in the upstream. In generally, the participatory institutions have successfully established collaborative between public, private and government at the sub-watershed upstream.

Keywords: stakeholders, participatory institutional, rescue of upstream watershed, community participation.

(4)

RINGKASAN

SITI HALIMATUSADIAH. Efektivitas Kelembagaan Pastisipatoris di Hulu Daerah Aliran Sungai Citarum (Studi Kasus: Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program dan Komunitas Zero, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat). (di bawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN dan RINA MARDIANA).

Kerusakan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu fenomena yang dapat menyebabkan terganggunya kesatuan ekosistem DAS dimana peranan daerah hulu adalah sebagai daerah penyangga dan tata fungsi air. Bila terjadi kerusakan di daerah tersebut, maka akan mempengaruhi sub DAS yang lainnya, yaitu DAS bagian tengah dan hilir. Fenomena tersebut dapat menyebabkan bencana alam seperti banjir, longsor, erosi, dan sedimentasi di daerah hilir.

Kerusakan hulu DAS yang terjadi saat ini tidak terlepas dari tekanan ekonomi dan tekanan penduduk yang menyebabkan padatnya pemukiman dan perilaku yang merusak lingkungan, dimana kesadaran masyarakat yang masih rendah mengenai DAS. Di satu sisi, ketidakjelasan peraturan dan ketidaktegasan aturan menjadi penyebab utama kerusakan di bagian hulu DAS. Di sisi lain, kerusakan DAS tidak hanya tanggung jawab pemerintah daerah semata. Ketidakmampuan pemerintah dalam hal biaya, sumberdaya manusia, maupun hal teknis lainnya harus diimbangi dengan kesadaran masyarakat khususnya masyarakat di sepanjang hulu DAS untuk berperilaku menjaga lingkungannya. Ketidakberfungsian kelembagaan yang ada di masyarakat selama ini menjadi salah satu penyebab kegagalan program-program rehabilitasi yang dicanangkan oleh pemerintah setempat. Pada kenyataannya, kelembagaan yang ada di masyarakatlah yang memiliki peran besar untuk mensosialisasikan sekaligus menjadi perpanjangan tangan untuk mensukseskan program-program rehabilitasi yang dicanangkan oleh pemerintah setempat.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, tujuan dari penelitian ini terangkum dalam dua pertanyaan. Pertama, untuk mengetahui pemangku kepentingan yang terlibat dalam upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Kedua, untuk mengetahui efektivitas kelembagaan partisipatoris dalam mengubah sikap dan perilaku masyarakat di sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung).

Penelitian ini dilakukan di Hulu DAS Citarum yaitu di Sub DAS Cikapundung. Responden dipilih dengan menggunakan teknik random sampling dengan memilih 60 responden dari dua lokasi yang berbeda yaitu 30 responden warga RT 02/RW 01 Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Bandung, dimana kawasan tersebut merupakan kawasan hulu Sungai Cikapundung dan 30 responden dari RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong, Bandung, yaitu sudah termasuk kawasan tengah Sungai Cikapundung. Penelitian ini dilakukan dari bulan April hingga Juli 2011. Data primer diperoleh melalui penyebaran kuisioner kepada responden dan wawancara mendalam dilakukan kepada informan. Data sekunder diperoleh dari instansi/lembaga terkait lainnya. Kemudian data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan tabel frekuensi untuk data satu variabel dan tabel silang untuk data dua variabel.

(5)

Hasil penelitian menunjukan bahwa kelembagaan partisipatoris di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) terbentuk karena adanya kerjasama serta sinergisitas masyarakat Cikapundung untuk bersama-sama menanggulangi masalah yang terjadi di Sungai Cikapundung dengan membentuk komunitas-komunitas pegiat sungai. Kerusakan Sungai Cikapundung sendiri disebabkan karena perilaku masyarakat dan swasta yang tidak sadar serta tidak peduli dengan lingkungan, dimana masyarakat dan swasta memandang DAS sebagai komoditas yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah rumah tangga dan pembuangan limbah industri. Peran kelembagaan partisipatoris tersebut adalah mensosialisasikan sekaligus mengontrol terjaganya kebersihan dan kelestarian Sungai Cikapundung. Adanya berbagai kegiatan kelembagaan partisipatoris baik kegiatan di hulu maupun di tengah Sungai Cikapundung berdampak pada perubahan sikap dan perilaku masyarakat di bantaran Sungai Cikapundung untuk tidak lagi membuang sampah atau limbah rumah tangganya ke sungai.

Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa partisipasi warga di tengah Sungai Cikapundung (Kelurahan Lebak Siliwangi) lebih baik dibandingkan dengan di hulu Sungai Cikapundung (Kelurahan Dago) dalam kegiatan-kegiatan lingkungan yang berhubungan dengan Sungai Cikapundung. Sementara itu, kelembagaan partisipatoris hingga saat ini belum dapat mengubah perilaku swasta yang memanfaatkan Sungai Cikapundung sebagai suatu komoditas khususnya di wilayah Kabupaten Bandung Barat, hal ini terjadi karena pihak swasta di hulu Sungai Cikapundung tidak dapat lepas dari kegiatan ekonomi yang merusak sungai sebagai penunjang kehidupan warga di hulu Sungai Cikapundung khususnya daerah Kabupaten Bandung Barat. Saat ini, pengelolaan Hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) masih terkotak-kotak dan ditentukan oleh batas-batas administratif semata, sehingga yang terjadi adalah semangat untuk merevitaslisasi Sungai Cikapundung hanya terlihat setelah memasuki Kota Bandung sedangkan di wilayah Kabupaten sendiri kegiatan pengrusakan sungai masih terus berlangsung.

(6)

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa hasil penelitian yang disusun oleh : Nama Mahasiswa : Siti Halimatusadiah

NRP : I34070083

Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Judul : Efektivitas Kelembagaan Partisipatoris di Hulu Daerah Aliran Sungai Citarum (Studi Kasus Komunitas

Cikapundung Rehabilitation Program dan Komunitas

Zero, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr Rina Mardiana, SP, M.Si NIP. 19630914 199003 1 002 NIP. 19800105 200912 2 002

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM”: Studi Kasus Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program dan Komunitas Zero Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat” INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SEBENAR-BENARNYA SERTA DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN.

Bogor, November 2011

SITI HALIMATUSADIAH I34070083

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Siti Halimatusadiah atau biasa dipanggil Ima, lahir di Bandung, 16 Agustus 1989. Penulis merupakan anak ke lima dari enam bersaudara, pasangan Drs. Anwar Fuady, Med dan Siti Rohmah, S. Ag.

Pendidikan formal yang ditempuh oleh penulis yakni dimulai di SDN Cijerah VI pada tahun 1995-2001, SLTP Negeri 9 Bandung pada tahun 2001-2004, dan SMA YWKA Bandung pada tahun 2004-2007. Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) sebagai angkatan ketiga. Selain mengambil Mayor Sains KPM, selama menempuh pendidikan di IPB penulis pun mengambil Manajemen Fungsional di Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB sebagai Minor, dan Pengelolaan Hutan Rakyat di Fakultas Kehutanan (Fahutan) IPB sebagai Supporting Course.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam mengikuti beberapa organisasi dan kegiatan kemahasiswaan. Pada tahun 2008-2009 penulis diterima sebagai anggota Badan Pengawas Harian (BPH) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (BEM FEMA IPB) Kabinet HEROIC (Sekretaris II). Pada tahun tersebut juga penulis mengikuti organisasi Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA) IPB, (Divisi Syiar). Selanjutnya, pada tahun 2009-2010 penulis menjabat sebagai anggota BPH BEM FEMA IPB Kabinet Pejuang Ekologi (Sekretaris Umum).

Kepanitiaan yang pernah diikuti oleh penulis yakni, pada tahun 2009 penulis menjabat sebagai Sekretaris Umum Conference of Human Ecology

Student of Indonesia (COHESI), tahun 2010 penulis menjabat sebagai Divisi

Acara dalam kegiatan Indonesian Ecology Expo 2010. Kegiatan lainnya yang diikuti oleh penulis dari tahun 2008-2011 adalah penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-Dasar Komunikasi dan Komunikasi Massa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada Februari tahun 2010 penulis magang di Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) Bandung serta pada tahun 2011 penulis juga pernah menjadi Tour guide di Agri Fun IPB.

(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah mencurahkan segala rahmat dan kasih sayang-Nya berupa kelancaran dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efektivitas Kelembagaan

Partisipatoris dalam di Hulu Daerah Aliran Sungai Citarum: Studi Kasus Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program dan Komunitas Zero, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat”. Penulisan skripsi ini

bertujuan untuk memenuhi persyaratan kelulusan di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM 499), Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Daerah Aliran Sungai (DAS) akan menjadi perhatian berbagai pihak manakala telah mengalami kerusakan yang mengakibatkan kerugian secara materil maupun fisik. Hulu DAS memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di tengah maupun hilir DAS. Upaya penyelamatan DAS Citarum saat ini sangat tergantung kepada kelembagaan yang terdapat di masyarakat khususnya kelembagaan yang ada di hulu. Oleh karena itu, menjadi suatu kajian yang menarik untuk menelusuri kegiatan-kegiatan penyelematan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) yang dilakukan oleh berbagai pihak terkait.

Penelitian ini dilakukan tidak semata-mata hanya untuk memperoleh gelar sarjana, melainkan juga untuk memperoleh pengetahuan terkait dengan kegiatan penyelamatan hulu DAS khususnya yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

Bogor, November 2011

(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, pihak-pihak yang telah membantu penulis tersebut antara lain:

1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr selaku Dosen Pembimbing pertama yang senantiasa sabar dalam memberikan arahan, nasehat, bimbingan, dan masukan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

2. Rina Mardiana, SP, M.Si selaku Dosen Pembimbing kedua yang telah memberikan arahan, nasehat, bimbingan, dukungan, dan sarannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. 3. Ibunda (Siti Rohmah, S. Ag) dan Ayahanda (Drs. Anwar Fuady, Med)

tersayang yang selama ini selalu memberikan bimbingan, dukungan, doa serta curahan perhatiannya kepada sang penulis sehingga penulis termotivasi untuk menyelesaikan penelitian ini.

4. Seluruh Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.

5. Kakak-kakak tercinta Ahdian Fahmi, Hafny Noviani, Tria Mutiawaty, Nurul Ulfah, dan adik tersayang Muhammad Aulia Rahman, atas curahan perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis selama ini. 6. Sahabat-sahabat satu bimbingan dan satu perjuangan Anggi Akhirta Muray,

Ali Sulton, Diah Irma Ayuningtyas, Astri Lestari, Rani Yuliandani, Rizki Afianty, dan Utami Anastasia, atas bantuan dan kerjasamanya dalam menyelesaikan penelitian ini.

7. Staf tata usaha Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat khususnya Mba Maria, Mba Nissa dan Mba Dini serta seluruh Staf

(11)

Sekretariat KPM lainnya yang selalu memudahkan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

8. Ibu dan Bapak kos yang selama ini telah memfasilitasi, dan mendukung penulis sehingga penulis mendapatkan tempat tinggal yang begitu nyaman. 9. Sahabat-sahabat yang selama ini selalu memberikan inspirasi, menjadi

panutan dan senantiasa memberikan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, Mbak Dwi, Mbak Dian, Ayu Arthur, Cefti, Linda, Izzah, Dathi, Ami, Asih, Andra, Vita Desi, Diah Irma, Anggi, Vivi, Mari, Didi, Wina, Ira, Yuvita, Karina, Ayu Candra.

10. Sahabat-sahabat SKPM 44 yang telah memberikan semangat, dukungan, doa dan kenangan yang berharga bagi sang penulis dalam menempuh perjalanan menimba ilmu di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan masyarakat.

11. Sahabat-sahabat di Pondok Ginastri atas perhatian, dukungan, serta kebersamaan yang berharga selama ini.

12. Seluruh anggota komunitas DPKLTS, CRP, Zero, serta warga RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi dan warga RT 02/ RW 01 Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Bandung atas kesediaannya membantu penulis dalam menyelesaikan penelitiannya.

13. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang senantiasa memberikan dukungan, bantuan, semangat, doa serta telah mewarnai kehidupan sang penulis selama menimba ilmu di IPB.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan memberikan sumbangan yang nyata untuk perbaikan sistem pengelolaan DAS di Indonesia

Bogor, Desember 2011

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR MATRIKS... xvi

DAFTAR GAMBAR... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xx BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 3 1.3. Tujuan Penelitian... 5 1.4. Kegunaan Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 7

2.1. Tinjauan Pustaka... 7

2.1.1. Daerah Aliran Sungai... 7

2.1.1.1. Definisi Aliran Sungai... 7

2.1.1.2. Kesatuan dan Fungsi Daerah AliranSungai... 8

2.1.1.3. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai... 9

2.1.1.4. Kerusakan Ekosistem Daerah Aliran Sungai... 11

2.1.2. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu... 12

2.1.2.1. Konsep Pengelolaan Kolaboratif Daerah Aliran Sungai... 12

2.1.2.2. Efektivitas Kelembagaan Partisipatoris Daerah Aliran Sungai... 15

2.1.3. Pembangunan Daerah Aliran Sungai Berkelanjutan... 21

2.2. Kerangka Pemikiran... 23

2.3. Hipotesis Penelitian... 25

2.4. Definisi Operasional... 25

BAB III METODE PENELLITIAN... 30

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 30

3.2. Teknik dan Pengumpulan Data... 30

(13)

3.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data... 34

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 35

4.1. Gambaran Umum Sungai Cikapundung... 35

4.1.1. Sejarah Sungai Cikapundung... 35

4.2. Sejarah Pembentukan Kelembagaan Partisipatoris Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung... 37

4.3. Gambaran Umum Kelurahan Dago (Hulu Sungai Cikapundung)... 42

4.3.2. Kondisi Gografis dan Infrastruktur Kelurahan Dago... 42

4.3.2. Kependudukan Kelurahan Dago... 44

4.3.3. Kegiatan Lingkungan di Kelurahan Dago... 48

4.4. Gambaran Umum Kelurahan Lebak Siliwangi (Tengah Sungai Cikapundung)... 49

4.4.1. Kondisi Geografis dan Infrastruktur Kelurahan Lebak Siliwangi... 49

4.4.2. Kependudukan Kelurahan Lebak Siliwangi... 52

4.4.3. Kegiatan Lingkungan di Kelurahan Lebak Siliwangi... 55

4.5. Karakteristik Responden... 57

4.6. Kerusakan Hulu Daerah Aliran Sungai Citarum (Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung)... 61

4.6.1. Kepadatan Penduduk dan Limbah Domestik... 61

4.6.2. Aktivitas Swasta... 62

4.6.2.1. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)... 62

4.6.2.2. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)... 64

4.6.2.3. Peternakan Sapi... 64

4.7. Ikhtisar... 73

BAB V KETERLIBATAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM KEGIATAN PENYELAMATAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM (SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG)... 74

5.1. Upaya Penyelamatan Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung... 74

5.1.1. Aktivitas Kelembagaan Partisipatoris ... 74

(14)

5.1.1.1.1. Pelatihan Susur Sungai... 77

5.1.1.2. Aksi Tanam Pohon... 78

5.1.1.2.1. Pelestarian Satwa dan Tanaman... 79

5.1.1.3. Pengelolaan Sampah/Limbah... 80

5.1.1.3.1. Mengelola Sampah Organik dan Non Organik... 80

5.1.1.3.2. Mengelola Septic Tank Komunal... 5.1.1.3.3. Menggunakan Teknologi Tepat Guna... 81

5.1.1.4. Penyuluhan dan Penyadaran Warga... 82

5.1.1.4.1. Diskusi Sabtu-Minggu... 83 5.1.1.5. Kegiatan Insidental... 84 5.1.2. Aktivitas Pemerintah... 85 5.1.3. Aktivitas Swasta... 91 5.1.4. Aktivitas Akademisi... 92 5.1. Ikhtisar... 93

BAB VI EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DALAM PENYELAMATAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM (SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG)... 94

6.1. Pengetahuan Sikap dan Perilaku Warga... 94

6.1.1. Pengetahuan Warga Mengenai Sampah... 94

6.1.2. Pengetahuan Warga Mengenai Penghijauan... 99

6.1.3. Pengetahuan Warga Mengenai Gotong Royong... 103

6.2. Tingkat Keterlibatan Warga dalam Membuang dan Mengelola Sampah/Limbah Rumah Tangga... 106

6.3. Tingkat Keterlibatan Warga dalam Penghijauan ... 119

6.4. Tingkat Keterlibatan Warga dalam Kegiatan Gotong Royong... 127

6.5. Ikhtisar... 140

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN... 142

7.1. Kesimpulan... 142

7.2. Saran... 143

DAFTAR PUSTAKA... 145 80

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 DAS Kritis di Indonesia... 12

Tabel 4.1 Penggunaan Areal Tanah Kelurahan Dago... 43

Tabel 4.2 Jumlah RT, RW dan Jumlah Penduduk Kelurahan Dago, 2010... 45

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kelurahan Dago Berdasarkan Struktur Umur, 2010... 46

Tabel 4.4 Tingkat Pendidikan Kelurahan Dago, 2010... 47

Tabel 4.5 Penggunaan Areal Tanah di Kelurahan Lebak Siliwangi, 2010... 50

Tabel 4.6 Jumlah RT/RW di Kelurahan Lebak Siliwangi, 2010... 51

Tabel 4.7 Jumlah Penduduk Kelurahan Lebak Siliwangi Berdasarkan Struktur Umur, 2010... 53

Tabel 4.8 Jumlah Penduduk Kelurahan Lebak Siliwangi Berdasarkan Tingkat Pendidikan, 2010... 54

Tabel 4.9 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 58

Tabel 4.10 Responden Berdasarkan Umur, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 58

Tabel 4.11 Kualitas Air Sungai Cikapundung... 69

Tabel 4.12 Kualitas Air Sungai Cikapundung Kolot... 70

Tabel 4.13 Data Pengujian E.Coli Pada Sungai Cikapundung... 71

Tabel 6.1 Pengetahuan Warga Mengenai Jenis Sampah Rumah Tangga Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 94

Tabel 6.2 Pengetahuan Warga Mengenai Akibat Membuang Sampah Secara Sembarangan Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 95

(16)

Tabel 6.3 Pengetahuan Warga Mengenai Pemberian Sanksi atas Tindakan Membuang Sampah/Limbah ke Sungai Cikapundung, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 96 Tabel 6.4 Pemilahan Sampah Rumah Tangga oleh Warga Sebelum

Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 111 Tabel 6.5 Pemilahan Sampah Rumah Tangga oleh Warga Setelah

Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 112 Tabel 6.6 Daur Ulang Sampah Rumah Tangga oleh Warga Sebelum

Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 113 Tabel 6.7 Daur Ulang Sampah Rumah Tangga oleh Warga Setelah

Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 114 Tabel 6.8 Jenis Sanitasi yang Digunakan oleh Warga, Sub DAS

Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 115 Tabel 6.9 Kesediaan Warga Membuat Septic Tank Setelah Adanya

Sosialisasi, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 116

(17)

DAFTAR MATRIKS

Halaman Matriks 4.1 Kualitas Air Sungai Cikapundung ... 67

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran... 24 Gambar 3.1 Teknik Sampling dan Pengambilan Responden... 33 Gambar 4.1 Struktur Organisasi Komunitas CRP... 39 Gambar 4.2 Mata Pencaharian Penduduk Dago, Sub DAS

Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2010... 48 Gambar 4.3 Mata Pencaharian Penduduk Lebak Siliwangi, Sub DAS

Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2010... 55 Gambar 4.4 Tingkat Pendidikan Responden Kelurahan Dago dan

Kelurahan Lebak Siliwangi, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 59 Gambar 4.5 Responden Penelitian Berdasarkan Kategori Pekerjaan,

Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 60 Gambar 5.2 Filosofis Setetes Air untuk Gerakan di Sungai

Cikapundung... 76 Gambar 6.1 Kondisi Sungai Sebelum dan Setelah Adanya

Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 97 Gambar 6.2 Kebutuhan Warga Akan Penghijauan/Penanaman Pohon,

Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 99 Gambar 6.3 Kondisi Lahan Kritis Sebelum dan Setelah Adanya

Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 100 Gambar 6.4 Kondisi Daerah Resapan Air Sebelum dan Setelah Adanya

Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011...

102 Gambar 6.5 Perlunya Kegiatan Gotong Diadakan, Sub DAS

(19)

Gambar 6.6

Tujuan Diadakannya Kegiatan Gotong Royong, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... Gambar 6.7 Adanya Sosialiasi Kegiatan Gotong di Daerah Warga, Sub

DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 105 Gambar 6.8 Tempat Membuang Sampah/Limbah Sebelum dan Setelah

Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 107 Gambar 6.9 Keterlibatan Warga dalam Kegiatan Sosialisasi dan

Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga oleh Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 110 Gambar 6.10 Tanggapan dan Partisipasi Warga Terhadap Kegiatan

Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 118 Gambar 6.11 Keterlibatan Warga dalam Penghijauan oleh Kelembagaan

Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 120 Gambar 6.12 Pengaruh Kegiatan Kelembagaan Partisipatoris Terhadap

Kegiatan Penghijauan di Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Jawa Barat, 2011... 121 Gambar 6.13 Partisipasi Warga dalam Kegiatan Penghijauan, Sub DAS

Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 123 Gambar 6.14 Kegiatan Pemeliharaan Pepohonan/Tanaman Hijau di

Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 124 Gambar 6.15 Kegiatan Penanaman Pohon/Tanaman Hijau di Pekarangan

Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 125

(20)

Gambar 6.16 Kehadiran Warga dalam Kegiatan Penghijauan/Penanaman Pohon di Daerahnya, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... Gambar 6.17 Pengaruh Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS

Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 128 Gambar 6.18 Kegiatan Gotong Royong di Daerah Warga Sebelum

Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 129 Gambar 6.19 Partisipasi Warga dalam Kegiatan Gotong Royong, Sub

DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 130 Gambar 6.20 Alasan Warga Mengikuti Kegiatan Gotong Royong, Sub

DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 131 Gambar 6.21 Tanggapan Warga Terhadap Kegiatan Gotong Royong di

Daerahnya, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 133 Gambar 6.22 Partisipasi Warga dalam Kegiatan Bersih-Bersih Sungai,

Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 134 Gambar 6.23 Frekuensi Diadakannya Kegiatan Bersih-Bersih Sungai di

Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 136 Gambar 6.24 Partisipasi Warga dalam Rapat-Rapat Perbaikan dan

Pemeliharaan Lingkungan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 137 Gambar 6.25 Bentuk Sumbangan Warga dalam Kegiatan Perbaikan dan

Pemeliharaan Lingkungan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011... 139

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Daftar Kepala Keluarga RT 02/RW 01, Kelurahan

Dago... 149 Lampiran 2 Daftar Kepala Keluarga RT 03/RW 08, Kelurahan Lebak

Siliwangi... 150 Lampiran 3 Daftar Responden... 151 Lampiran 4 Pedoman Pengumpulan Data Berdasarkan Topik, Sub

Topik, Metode, dan Sumber Informasi ... 152 Lampiran 5 Kuesioner Penelitian... 153 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Panduan Pertanyaan... Peta Sungai Cikapundung... Peta Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Bandung... Peta Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong, Bandung... Wilayah Kerja Komunitas CRP dan Komunitas Zero, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat... Dokumentasi... 162 168 169 170 171 172

(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Barber (1997) menyatakan bahwaDaerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya serta berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografis dengan batas di laut sampai daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. DAS merupakan kesatuan ekosistem yang utuh dari hulu hingga hilir yang terdiri dari unsur utama tanah, vegetasi, air maupun udara, serta memiliki fungsi penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan.

DAS dapat dibagi ke dalam tiga komponen yaitu: bagian hulu, tengah dan hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur aliran. Ekosistem bagian tengah sebagai daerah distributor dan pengatur air, sedangkan ekosistem bagian hilir merupakan pengguna air. Hubungan antara ekosistem-ekosistem tersebut menjadikan DAS sebagai satu kesatuan hidrologis yang tidak dapat dipisahkan. Kesatuan pengelolaan DAS menjadi hal penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan manusia (Barber 1997).

Kerusakan DAS yang terjadi saat ini dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk, konflik kepentingan, kurangnya keterpaduan antar sektor, dan antara wilayah hulu-tengah-hilir. Degradasi DAS diperparah dengan pesatnya perkembangan ekonomi dimana banyaknya industri-industri menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya alam hingga berujung pada tingginya tekanan terhadap DAS dan berakhir pada kerusakan ekosistem DAS (Dephut 2006). Saat ini, di Indonesia terdapat 458 DAS yang dikelola oleh masing-masing pemerintah daerah beserta jajaran terkait. Dalam 20 tahun terakhir, jumlah DAS kritis di

(23)

Indonesia meningkat dari 22 menjadi 62 ekosistem DAS yang merupakan prioritas pertama; 232 DAS prioritas kedua; dan 178 DAS prioritas ketiga, terhadap penanganan akibat kerusakannya. Tingkat kerusakan DAS ini diindikasikan dengan fluktuasi debit sungai yang tajam antara musim penghujan dan kemarau, pendangkalan sungai, danau, dan waduk, serta terjadinya tanah longsor, banjir dan kekeringan. Deforestasi yang menyebabkan degradasi lahan di bagian hulu dan tengah DAS memicu terjadinya erosi yang berdampak pada sedimentasi di bagian hilir DAS. Prinsip interkonektivitas untuk daerah DAS sangatlah besar. Bila terjadi kerusakan di salah satu bagian DAS, maka akan mempengaruhi bagian DAS yang lain (Dephut 2008).

Perubahan situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi di Indonesia bersamaan dengan krisis multidimensi dalam beberapa tahun terakhir ini, telah mendorong terjadinya perubahan pada arah pengelolaan DAS. Semenjak diberlakukannya otonomi daerah, pengelolaan DAS menjadi terkotak-kotak, tidak terintegrasi dan sektoral. Hingga saat ini, belum ada satu lembaga/instansi pengelolaan DAS yang dapat mengintegrasikan seluruh pemangku kepentingan dari berbagai sektor yang ada. Tidak adanya pedoman yang sama yang digunakan oleh masing-masing sektor membuat pengelolaan terhadap DAS semakin terpecah-pecah dimana lembaga-lembaga pengelolaan DAS hanya bekerja pada wilayahnya masing-masing serta hanya berdasarkan batas wilayah administratif semata (Dephut 2008).

Pemerintah di berbagai daerah selama ini memandang DAS sebagai suatu komoditas yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan berlomba-lomba membuat kebijakan yang membuka peluang kepada pihak swasta untuk dapat mengelola sumberdaya alam dibandingkan dengan masyarakat setempat. Otonomi daerah yang seharusnya berfungsi mensejahterakan masyarakat lokal serta mendekatkan pemerintah dengan masyarakat justru sebaliknya. Program penghijauan, konservasi dan pemberdayaan yang selama ini dilakukan membuktikan bahwa sekian upaya dengan biaya yang besar tidak mampu mencegah bencana di DAS berupa banjir dan longsor serta belum dapat menyentuh dan menjawab kebutuhan masyarakat sekitar DAS, karena pada

(24)

perjalanannya, masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi program pengelolaan DAS tersebut.

Mekanisme bottom up yang selama ini menjadi inti dari otonomi daerah sepertinya masih sulit diterapkan oleh aparat pemerintah dimana pemerintah sulit untuk melepaskan dominasi kewenangan dan kekuasaanya untuk diberikan kepada masyarakat lokal sebagai pihak yang menentukan setiap kegiatan di daerahnya masing-masing. Koordinasi antar lembaga terkait dalam pengelolaan DAS menjadi elemen penting untuk terlaksananya pengelolaan DAS secara optimal. Pengelolaan DAS terpadu pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan yang bersifat partisipatif dari berbagai pemangku kepentingan yang berkepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam pada tingkat DAS. Pengelolaan partisipatif ini mempersyaratkan adanya rasa saling mempercayai, keterbukaan, rasa tanggung jawab, dan mempunyai rasa ketergantungan (interdependency). Peran pemangku kepentingan menjadi hal yang sangat strategis karena pengelolaan DAS sangat tergantung pada individu/kelompok/organisasi/kelembagaan yang mengelolanya. Pemangku kepentingan harus menyadari betapa pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam sebuah kelembagaan pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan hingga pemungutan manfaat.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, penulis bermaksud mengkaji kelembagaan partisipatoris yang berada di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Penulis juga melakukan telaah lebih dalam terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan serta penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung).

1.2 Perumusan Masalah

Menurut Dephut (2006) pengelolaan DAS sebagai bagian dari pembangunan wilayah dalam implementasinya melibatkan banyak pemangku kepentingan yang lintas wilayah, serta multi disiplin ilmu. Berbagai permasalahan terkait pengelolaan DAS, merupakan hal yang kompleks dan saling terkait, serta tidak mungkin diselesaikan hanya didasarkan pada satu kepentingan atau sudut pandang DAS saja. Kegiatan pengelolaan DAS tersebut mencakup aspek-aspek

(25)

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan di lapangan, pengendalian dan aspek pendukung yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, baik unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat. Masyarakat merupakan unsur pelaku utama dalam pengelolaan DAS, sedangkan pemerintah sebagai unsur pemegang otoritas kebijakan, fasilitator dan pengawas yang direpresentasikan oleh instansi-instansi sektoral pusat dan daerah yang terkait dengan pengelolaan DAS.

Kerusakan DAS yang selama ini terjadi adalah akibat dari para pemangku kepentingan yang berkuasa dalam mengelola DAS, hal ini harus segera ditangani dengan cepat dan sigap. Perubahan lingkungan ekosistem DAS yang semakin hari kian parah akan membawa dampak yang sangat berbahaya khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar DAS, dikarenakan berpotensi mengalami bencana seperti banjir, longsor dan kekeringan. Salah satu langkah awal untuk mengatasi kerusakan DAS yang semakin parah adalah dengan membentuk gerakan masyarakat untuk bersama-sama melestarikan dan menjaga ekosistem DAS. Untuk membentuk gerakan masyarakat tersebut dibutuhkan suatu wadah yang dapat menampung aspirasi dan koordinasi dalam mengelola DAS. Prinsipnya kelembagaan DAS dibentuk atas kesadaran dan kebutuhan masyarakat sekitar DAS untuk melaksanakan pengelolaan DAS yang lebih baik sebagai akibat dari permasalahan-permasalahan yang timbul seperti konflik kepentingan antar sektor dan antar pemerintah daerah yang menyebabkan degradasi DAS. Pembentukan kelembagaan DAS harus didasarkan pada komitmen bersama dalam pencapaian tujuan pengelolaan DAS. Dengan keanggotaan kelembagaan demikian, maka akan terbangun komunikasi dan jejaring kerja (networking) diantara pemangku kepentingan yang terkait dengan pengelolaan DAS. Masing-masing pihak dapat memperoleh manfaat, peran, tanggungjawab dan membangun komitmen untuk mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan melestarikan ekosistem DAS (Dephut 2003 b). Berdasarkan uraian yang dipaparkan sebelumnya, untuk terus memberi

manfaat bagi seluruh pihak khususnya masyarakat sub DAS tengah dan hilir maka dibutuhkan upaya penyelamatan pada hulu DAS. Upaya penyelamatan hulu DAS tersebut sangat bergantung pada sejauh mana kelembagaan yang terdapat di

(26)

daerah hulu tersebut berperan dalam menjaga pelestarian lingkungan, fungsi dan kualitas air bagi sub DAS tengah dan hilir. Terkait hal tersebut, penulis merumuskan masalah penelitian, sebagai berikut:

1. Sedalam dan seluas apakah pemangku kepentingan terlibat dalam upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung)?

2. Bagaimana efektivitas kelembagaan partisipatoris dalam mengubah sikap dan perilaku masyarakat di sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung)?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, disusunlah beberapa tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui pemangku kepentingan yang terlibat dalam upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung).

2. Mengetahui efektivitas kelembagaan partisipatoris dalam mengubah sikap dan perilaku masyarakat di sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung).

1.4 Kegunaan Penelitian

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai pengenalan lebih lanjut mengenai konsep kelembagaan di hulu DAS yang menjadi topik kajian sekaligus untuk mencari penguatan teori yang telah diperoleh di perkuliahan. Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu:

1.4.1 Bidang Akademis

Kegunaan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji permasalahan kelembagaan DAS serta untuk meningkatkan kemampuan peneliti dalam menerapkan berbagai konsep, teori dan pendekatan masalah DAS dengan menggunakan teori partisipatif. Penelitian ini merupakan salah satu perwujudan dari Tridharma Perguruan Tinggi yang diharapkan dapat meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan, khususnya bidang ekosistem DAS.

(27)

1.4.2 Masyarakat Umum

Penelitian ini diharapkan dapat berdampak positif bagi masyarakat setempat, menambah pengetahuan tentang kajian kelembagaan di DAS khususnya untuk upaya penyelamatan di hulu DAS.

1.4.3 Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau dijadikan bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan (pemerintah) yang berkaitan dengan pengelolaan DAS.

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Daerah Aliran Sungai

2.1.1.1 Definisi Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologi yang tersusun atas komponen-komponen biofosik dan sosial (human systems) yang dipandang sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain (Dharmawan

et al. 2005). Menurut Manan (1976) sebagaimana dikutip Dharmawan et al. (2005), DAS didefinisikasn sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh topografi pemisah aliran (topographic divide), yaitu punggung bukit atau gunung yang menangkap curah hujan, menyimpan dan kemudian mengalirkannya melalui saluran-saluran pengaliran ke suatu titik (outlet) yang umumnya berada di muara sungai biasa atau danau.

Menurut Kartodihardjo et al. (2004), definisi DAS dari sudut pandang institusi bukan menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di dalam DAS, batas yurisdiksi pihak-pihak yang berada dalam DAS maupun bentuk-bentuk aturan perwakilan yang diperlukan dalam pengambilan keputusan seputar cara-cara yang digunakan (teknologi), melainkan bagaimana para pihak mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk mewujudkan aturan main diantara mereka, termasuk kesepakatan dalam penggunaan teknologi itu sendiri, sehingga masing-masing pihak mempunyai kepastian hubungan yang sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Pendefinisian DAS dalam konsep daur hidrologi sangat diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui beberapa cara. Chay Asdak (2002) sebagaimana dikutip Dephut (2003c), menjelaskan konsep daur hidrologi DAS bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran. Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari: manusia, hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masing-masing komponen

(29)

tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri sendiri, namun berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal.

2.1.1.2 Kesatuan dan Fungsi Daerah Aliran Sungai

Fungsi hidrologis DAS sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima, geologi yang mendasari dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas DAS menurut Farida et al. (2005) untuk: (1) mengalirkan air; (2) menyangga kejadian puncak hujan; (3) melepas air secara bertahap; (4) memelihara kualitas air; dan (5) mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor). Aktivitas yang mempengaruhi komponen DAS di bagian hulu akan mempengaruhi kondisi DAS bagian tengah dan hilir. Batas DAS secara administratif hanya dapat tercakup dalam satu kabupaten hingga melintas batas provinsi dan negara. Suatu DAS yang sangat luas dapat terdiri dari beberapa sub DAS yang kemudian dapat dikelompokkan lagi menjadi DAS bagian hulu, DAS bagian tengah dan DAS bagian hilir (Dephut 2003 c). Fungsi dari setiap sub DAS tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, DAS bagian hulu dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah dengan lanskap pegunungan dengan variasi topografi, mempunyai curah hujan yang tinggi dan sebagai daerah konservasi untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen sistem aliran airnya.

Kedua, DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial

(30)

dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.

Ketiga, DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan yang relatif landai dengan curah hujan yang lebih rendah. Semakin ke hilir, mutu air, kontinuitas, kualitas dan debit akan semakin berkurang kualitasnya dibandingkan dengan DAS bagian hulu. Hal ini terjadi karena badan air di hulu tercemari oleh kegiatan-kegiatan manusia baik domestik maupun industri, sehingga badan air di bagian hilir mengalami kondisi dan kualitas yang kurang baik. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan.

2.1.1.3 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan manusia. Prinsip dasar dalam pengelolaan DAS yaitu “satu DAS, satu perencanaan, satu pengelolaan”. Dengan prinsip ini pengelolaan DAS dilakukan dengan pendekatan ekosistem dengan asas keterpaduan, kemanfaatan, kelestarian, dan keadilan (Sumampouw et al. t.t).

Pengelolaan DAS menurut Dephut (2008) adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan

(31)

kelestarian ekosistem DAS. Mengacu pada penelitian Citanduy, pengelolaan DAS dalam konteks yang lebih luas dipandang sebagai suatu sistem sumberdaya, satuan pengembangan sosial ekonomi dan satuan pengaturan tata ruang wilayah yang dijalankan berdasarkan prinsip konservasi sumberdaya (resources

sustainability) yang mengandung makna keterpaduan antara prinsip produktivitas

dan konservasi sumberdaya (sustainability = productivity + conservation of

resources) dalam mencapai tujuan-tujuan pengelolaan DAS (Dharmawan et al

2005). Tujuan-tujuan pengelolaan DAS tersebut menurut Dephut (2008) meliputi: 1. Lahan yang produktif dan berkelanjutan sesuai dengan daya dukungnya; 2. DAS yang mempunyai tutupan vegetasi tetap yang memadai dan aliran (debit)

air sungai stabil dan jernih tanpa ada pencemaran air;

3. Kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif para pihak termasuk masyarakat di dalam pengelolaan DAS semakin lebih baik;

4. Kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

Ruang lingkup kegiatan pengelolaan DAS sebagaimana dinyatakan oleh (Dephut 2008) meliputi :

1. Penatagunaan lahan (landuse planning) untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan;

2. Penerapan konservasi sumberdaya air untuk menekan daya rusak air dan untuk memproduksi air (water yield) melalui optimalisasi penggunaan lahan;

3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam dan luar kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi);

4. Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya buatan terutama yang terkait dengan konservasi tanah dan air;

5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS selama ini memperlihatkan bahwa lembaga-lembaga pengelolaan DAS hanya bekerja pada batas wilayah administratif masing-masing. Pedoman yang digunakan lembaga-lembaga terkait untuk mengelola DAS pun berbeda-beda. Umumnya pengelolaan DAS yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang ada hanya berupa rehabilitasi dan konservasi. Program-program tersebut hanya akan muncul jika telah terjadi deforestasi dan degradasi pada DAS.

(32)

2.1.1.4 Kerusakan Ekosistem Daerah Aliran Sungai

Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50 persen dari luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun, sedangkan lahan-lahan kritis dan sangat kritis masih tetap luas yaitu sekitar 30,2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), serta erosi dari daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun (Dephut 2008).

Menurut Kartodihardjo et al. (2004), rusaknya SDA disebabkan antara lain oleh: (1) berbagai kegiatan pembangunan yang lebih menitik-beratkan pada produksi komoditas (tangible product); (2) lemahnya institusi (dalam arti aturan main maupun organisasi) yang tujuannya mencegah rusaknya sumberdaya yang berupa stock (dan menghasilkan intangible product) seperti bentang alam,

watershed, danau, kawasan lindung dan pantai-laut-pulau kecil; (3) lemahnya

institusi yang tugasnya melakukan penyelesaian konflik dan penataan penguasaan, pemilikan serta pemanfaatan sumber-sumber agraria. Perkembangan pembangunan yang masih tertuju pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesempatan kerja akan senantiasa mengeksploitasi sumberdaya alam sebagai faktor produksi yang diperlukan. Orientasi ekonomi pada komoditas (barang) sumberdaya alam ini dalam kondisi lemahnya institusi publik yang mengaturnya akan mengabaikan fungsi sumberdaya alam sebagai daya dukung kehidupan (jasa).

Dalam 20 tahun terakhir, jumlah DAS kritis di Indonesia meningkat dari 22 menjadi 60 (Sumampouw et al. t.t). Buku Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) tahun 2007 mencatat ada 60 DAS kritis yang menduduki prioritas utama. Sebuah DAS disebut kritis dan masuk kategori prioritas utama bila seluruh parameter penilaian memperlihatkan hasil di bawah standar. Salah

(33)

satu parameternya adalah tutupan lahan di sekitar DAS. Singkatnya, setiap tahun jumlah DAS kritis terus bertambah.

Tabel 2.1 DAS Kritis di Indonesia

Daerah Aliran Sungai Kritis di Indonesia

Kategori Jumlah

Prioritas 1 60

Prioritas 2 222

Prioritas 3 176

Sumber: (Sumampouw et al t.t)

Kondisi kritis DAS ini ditandai dengan menurunnya kemampuan DAS untuk menyimpan air. Dampaknya adalah meningkatnya frekuensi banjir, erosi, sedimentasi dan longsor pada musim hujan serta kekeringan pada musim kemarau. Peningkatan jumlah DAS kritis ini menimbulkan kerugian materi dan jiwa. Saat ini, kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor yaitu antara wilayah hulu-tengah-hilir, terutama pada era otonomi daerah, dimana sumberdaya alam ditempatkan sebagai sumber PAD (Dephut 2006).

Tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan, sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS. Bentuk kerusakan ekologi ini didominasi oleh kerusakan hutan yang berdampak pada kerusakan DAS (Dephut 2008).

2.1.2 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu

2.1.2.1 Konsep Pengelolaan Kolaboratif Daerah Aliran Sungai

Menurut Gray (1989) sebagaimana dikutip Means et al. (2005), kolaborasi adalah suatu proses dimana dua pemangku kepentingan atau lebih yang berbeda

(34)

kepentingan dalam suatu persoalan yang sama menjajagi dan bekerjasama melalui perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama. Suporahardjo (2005) menyebutkan pendekatan kolaborasi sering disebut sebagai “jembatan” (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya. Sebagai jembatan penyeberangan yang berfungsi mengintegrasikan batas-batas yang dibatasi oleh geografi, kepentingan dan persepsi, Straus (2002) sebagaimana dikutip Suporahardjo (2005), menyatakan pendekatan kolaborasi juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadversarial

approach) untuk penyelesaian masalah dan konflik. Dalam prakteknya kolaborasi

banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dalam konflik multi pihak.

Chrislip dan Larson (1994) sebagaimana dikutip Suporahardjo (2005), menyatakan bahwa strategi kolaborasi berhasil dilaksanakan karena sembilan faktor berikut:

1. Waktunya tepat dan kebutuhan yang jelas;

2. Didukung oleh kelompok pemangku kepentingan yang kuat;

3. Keterlibatan yang luas (mengupayakan keterlibatan banyak peserta dari berbagai sektor);

4. Kredibilitas dan keterbukaan proses;

5. Komitmen dan keterlibatan level atas, pemimpin yang bervisi;

6. Mendukung atau menyetujui penetapan kewenangan atau kekuasaan (power); 7. Mengatasi ketidakpercayaan dan skeptisme;

8. Kepemimpinan yang kuat terhadap proses; 9. Keberhasilan sementara;

10. Bergerak ke kepedulian yang lebih luas.

Salah satu pendekatan kolaboratif yang dapat dilakukan dalam pengelolaan DAS adalah pengelolaan DAS secara terpadu. Pengelolaan DAS secara terpadu adalah rangkaian upaya yang memperlakukan DAS sebagai suatu kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir dengan pendekatan lintas sektor dan lintas wilayah administrasi pemerintahan secara partisipatif, koordinatif, integratif, sinkron dan sinergis guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS (Dephut 2009).

(35)

Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan. Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia (Dephut 2003c). Beberapa hal yang mengharuskan pengelolaan DAS diselenggarakan secara terpadu (Dephut 2006) adalah:

1. Terdapat keterkaitan antar berbagai kegiatan (multi sektor) dalam pengelolaan sumberdaya dan pembinaan aktivitasnya;

2. Melibatkan berbagai disiplin ilmu yang mendasari dan mencakup berbagai bidang kegiatan;

3. Batas DAS tidak selalu bertepatan dengan batas wilayah administrasi pemerintahan;dan

4. Interaksi daerah hulu sampai hilir yang berdampak negatif maupun positif sehingga memerlukan koordinasi antar pihak.

Prinsip-prinsip yang harus menjadi dasar acuan dalam pengelolaan DAS terpadu adalah sebagai berikut:

1. Pengelolaan DAS dilakukan dengan memperlakukan DAS sebagai satu kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir, satu perencanaan dan satu sistem pengelolaan;

2. Pengelolaan DAS terpadu melibatkan multipihak, koordinatif, menyeluruh dan berkelanjutan;

3. Pengelolaan DAS bersifat adaptif terhadap perubahan kondisi yang dinamis dan sesuai dengan karakteristik DAS;

4. Pengelolaan DAS dilaksanakan dengan pembagian tugas dan fungsi, beban biaya dan manfaat antar multipihak secara adil;

5. Pengelolaan DAS berdasarkan akuntabilitas para pemangku kepentingan. Secara garis besar ruang lingkup kegiatan pengelolaan DAS terpadu meliputi:

(36)

1. Penatagunaan lahan (landuse planning) untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan;

2. Penerapan konservasi sumberdaya air untuk menekan daya rusak air dan untuk memproduksi air (water yield) melalui optimalisasi penggunaan lahan;

3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam dan luar kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi);

4. Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya buatan terutama yang terkait dengan konservasi tanah dan air; dan

5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS. Pelaksanaan pengelolaan kolaboratif DAS, harus mengacu pada semboyan “Satu Kelola DAS, Satu Rasa, Satu Aksi dengan Sejuta Manfaat”. Satu Kelola DAS, Satu Rasa dan Satu Aksi dapat diartikan sebagai berikut (Sumampouw et al. t.t):

1. Satu Kelola DAS: suatu area pengelolaan daerah aliran sungai skala kecil yang ditentukan berdasarkan karakter bentang alam.

2. Satu Rasa: bahwa pemilihan pengelolaan suatu area satu kelola DAS skala kecil didasarkan pada munculnya isu bersama, kepentingan bersama, kedekatan budaya, dan tema bersama (contoh tema konservasi, hijau bersih sehat, perlindungan sumber air dan lain-lain).

3. Satu Aksi: suatu rencana aksi pengelolaan bersama dan terpadu yang merupakan hasil dari proses partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan terhadap pentingnya satu kelola DAS yang diwujudkan dalam bentuk aksi nyata.

4. Sejuta Manfaat: bahwa pengelolaan DAS membawa berbagai hasil serta dampak positif bagi kehidupan manusia secara utuh, terutama yang menyangkut hubungan manusia dengan alamnya.

2.1.2.2 Efektivitas Kelembagaan Partisipatoris Daerah Aliran Sungai

Pengertian kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat

(37)

berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama (Djogo et al. 2010). Menurut Ostrom (1986) sebagaimana dikutip Djogo et al. (2010), menerangkan bahwa kelembagaan adalah aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain.

Menurut Soekanto (1999) sebagaimana dikutip Manik et al. (2010), fungsi kelembagaan antara lain: (1) sebagai pedoman bagi masyarakat untuk bertingkah laku; (2) menjaga keutuhan masyarakat; dan (3) sebagai sistem pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Ekawati (2008) sebagaimana dikutip Manik et al. (2010), menyebutkan salah satu kegiatan untuk mendorong keterpaduan dalam pengelolaan DAS adalah pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS.

Partisipasi masyarakat secara umum merupakan suatu proses yang melibatkan masyarakat. Canter (1989) sebagaimana dikutip Arimbi (1993), mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok atau sebagai proses dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab, secara sederhana hal ini didefinisikannya sebagai feed forward information (komunikasi dari Pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan

feed back information (komunikasi dari masyarakat ke Pemerintah atas

kebijakan). Menurut Arimbi (1993), partisipasi masyarakat merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu (a means to an end), tujuan yang dimaksudkan adalah terkait dengan keputusan atau tindakan yang lebih baik yang menentukan kesejahteraan manusia. Keterlibatan secara aktif dari masyarakat atau sering disebut partisipasi sangat menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS termasuk rehabilitasi hutan dan lahan.

Nasdian (2004) memaknai partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif yang diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme)

(38)

dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Sementara itu, Cohen dan Uphoff (1977) sebagaimana dikutip Intania (2003) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu:

1. Tahap pengambilan keputusan (perencanaan) yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat;

2. Tahap pelaksanaan dengan wujud nyata partisipasi berupa: 1. Partisipasi dalam bentuk sumbangan pikiran;

2. Partisipasi dalam bentuk sumbangan materi; dan

3. Partisipasi dalam bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek;

3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek yang dirasakan berarti proyek tersebut berhasil menangani sasaran; dan

4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan bagi pelaksanaan proyek selanjutnya.

Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan berarti adanya tindakan nyata yang dilakukan masyarakat dalam berbagai upaya pengendalian dampak lingkungan. Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi: setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian dipertegas dalam penjelasan bahwa hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik tahap perencanaan maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dilakukan melalui beberapa cara, yakni: (1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat

(39)

dan kemitraan; (2) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; (3) menumbuhkan rasa tanggap masyarakat untuk melakukan pengawasansosial; (4) memberikan saran dan pendapat, dan; (5) menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.

Partisipasi masyarakat merupakan faktor terpenting dalam pembangunan, sehingga hampir semua negara mengakui adanya kebutuhan akan partisipasi dalam semua proses pembangunan. Hal ini terlihat dengan munculnya konsep pembangunan dari bawah yang melibatkan peran serta masyarakat (bottom up) untuk mengimbangi modus konsep pembangunan dari atas (top down) (Zulkarnain dan Dodo1989). Kesadaran dalam berpartisipasi ini sangat penting artinya, terutama bila dikaitkan dengan perawatan atau pengelolaan hasil pembangunan. Betapa pentingnya partisipasi dari seluruh masyarakat, hal ini dikarenakan: (1) partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya programpembangunan serta proyek-proyek akan gagal; (2) masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; (3) merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Sentosa (1990) sebagaimana dikutip Atmanto (1995), mengemukakan beberapa unsur penting dari partisipasi sebagai berikut:

1. Komunitas yang menumbuhkan pengertian yang efektif;

2. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian;

3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan; 4. Spontanitas, yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh;

5. Menumbuhkan kesadaran; dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain; dan

(40)

Anggota kelembagaan partisipatoris DAS sendiri dapat terdiri dari perwakilan tiga kelompok utama dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu kelompok pemerintah atau pemerintah daerah, kelompok dunia usaha dan kelompok masyarakat. Kelompok pemerintah terkait dengan perencanaan pembangunan, pengelolaan hutan dan lahan pertanian, pertambangan, perikanan, sumberdaya air dan lingkungan hidup. Dunia usaha (swasta) bisa berupa badan usaha milik pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta yang berkepentingan dengan pengelolaan DAS. Perwakilan masyarakat bisa berupa pakar dari Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian, LSM yang berkepentingan terhadap pengelolaan DAS serta individu-individu/tokoh yang memberikan perhatian terhadap pengelolaan (pemanfaatan/pelestarian) ekosistem DAS.

Melalui kelembagaan DAS maka akan terbangun komunikasi dan jejaring kerja (networking) diantara para pihak yang terkait dengan pengelolaan DAS. Masing-masing pihak bisa memperoleh manfaat, peran, tanggung jawab dan membangun komitmen untuk mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan DAS (Dephut 2003a). Kriteria untuk efektivitas kelembagaan sendiri adalah seberapa baik suatu organisasi berjalan dibandingkan dengan seperangkat standarnya sendiri. Kelembagaan DAS dapat dikatakan efektif bila output yang direncanakan, efek yang diharapkan, dan dampak yang dimaksudkan dapat tercapai.

Mengacu pada penelitian DAS Citanduy ukuran tingkat keberlanjutan kelembagaan dapat dinilai berdasarkan variabel-variabel: (1) peran serta anggota; (2) pelayanan terhadap anggota; (3) manfaat lembaga bagi anggota; (4) good

governance; dan (5) kompleksitas. Tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas

lokal juga dianalisis melalui faktor-faktor sebagai faktor penentu yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal. Adapun determinan faktor sebagai variabel-variabel independen dalam studi DAS Citanduy, meliputi: (1) kepemimpinan; (2) pendidikan anggota; (3) aturan tertulis; (4) aturan tidak tertulis; (5) ukuran kelembagaan; (6) intervensi pemerintah yang berdampak positif; (7) intervensi pemerintah yang berdampak negatif; (8) ketersediaan prasarana dan sarana umum; (9) jejaring kerjasama antar kelembagaan; (10) usia

Gambar

Gambar 4.2   Mata  Pencaharian  Penduduk  Dago,    Sub  DAS  Cikapundung,  Bandung, Jawa Barat, 2010
Tabel  4.7  Jumlah  Penduduk  Kelurahan  Lebak  Siliwangi  Berdasarkan  Struktur  Umur, 2010  No  Umur  (Tahun)  Jumlah Penduduk  Persentase %  Laki-Laki  Perempuan  Jumlah
Gambar 4.3   Mata  Pencaharian  Penduduk  Lebak  Siliwangi,  Sub  DAS  Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2010
Tabel  4.9  Responden  Berdasarkan  Jenis  Kelamin,  Sub  DAS  Cikapundung,  Bandung, Jawa Barat, 2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

IPA kelas V SD Negeri Tlogoharum 02 Wedarijaksa Pati. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA kelas V SD. Negeri Tlogoharum 02 Wedarijaksa Pati.

Hasil analisa tegangan menunjukkan kegagalan tube terjadi sebesar 178,15 Mpa; nilai ini lebih besar dari tegangan maksimum yang diizinkan dari material tube sebesar 155 MPa..

Penerapan metode penskalaan dalam perancangan termodinamik motor baru mensyaratkan penentuan parameter-parameter yang mempengaruhi unjuk kerja motor yang sedang dirancang,

Asuransi Sinarmas Jakarta Pusat Divisi Credit Control berhubungan positif, dapat dilihat dari besarnya nilai r sebesar 0,60 atau terletak pada 0,60 s/d 0,799 yang

iklan. Kalaupun tidak dilakukannya, dia memilih keluar arena menonton atau bermain bersama adiknya dengan sesekali memperhatikan tayangan televisi kalau-kalau acara yang

Aterosklerosis yang terjadi dengan onset usia yang sangat muda pada pasien SLE kemudian dikenal sebagai accelerated atherosclerosis atau premature atherosclerosis (Skaggs,

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan

5 Perhitungan Metode Distribusi Normal Stasiun Prakan Kondang.... 6 Hasil Metode Distribusi Normal Stasiun Parakan