• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Karakter Melalui Aksara Seni Budaya Lokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Membangun Karakter Melalui Aksara Seni Budaya Lokal"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Membangun Karakter Melalui

Aksara Seni Budaya Lokal

JAMILIN SIRAIT*)

Abstraksi

Dorongan untuk mengarahkan pendidikan pada upaya pembentukan karakter tentu tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terjadi di negeri ini. Degradasi moral yang terlihat dari meningkatnya tindak kekerasan, kriminalitas, korupsi, kecabulan, dan tindakan lainnya dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat nyata dan meresahkan. Melalui Pendidikan karakter diharapkan masyarakat kita memiliki karakter unggul.

Ada dua hal yang diharapkan dapat membawa kita kepada pembangunan karakter dan peradaban, yaitu seni budaya lokal dan perdamaian. Kedua bidang ini bisa diterjemahkan dengan “budaya lokal” dan “agama”. Dalam konteks keberagamaan, ada empat perbedaan pendekatan, yaitu literal, simbolis, statis, dan dinamis. Konflik antar agama sering terjadi disebabkan oleh keempat faktor ini. Seharusnya relevan dengan asumsi dasar pluralitas, adanya saling ketergantungan hubungan di antara hal-hal yang berbeda menjadi keutamaan. Konsekuensi logisnya, pluralitas mengacu pada adanya kebersamaan yang utuh dan bersifat mengikat. Pluralitas bukan untuk pluralitas itu sendiri, tetapi meniscayakan kita – umat beragama – untuk meluaskan cakrawala berpikir dan bertindak melampaui domain dan batas-batas primordialistik menuju pemahaman yang integral-komprehensif dalam beragama.

Kata kunci: Pendidikan karakter, budaya lokal, agama, pluralitas

Pendahuluan

Mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia merupakan program penting dari para Bapak Bangsa (founding fathers) Republik Indonesia. Barangkali, misi itu diilhami oleh kenyataan serta kesadaran mereka pada waktu itu bahwa negeri kita bisa dikuasai oleh penjajah selama beberapa abad dan sebagian terbesar dari masyarakat kita tidak tahu membaca dan menulis, sebab tidak pernah duduk di bangku sekolah. Tingkat pendidikan

(2)

dan intelektualitas dari masyarakat kita jauh tertinggal dari penjajah sehingga masyarakat kita sangat mudah dipecah-belah. Pendidikan merupakan wahana yang sangat strategis untuk mencapai kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang maju diukur dari rata-rata tingkat pendidikan dari seluruh masyarakat.

Aset utama dan paling penting dari suatu bangsa adalah Sumber Daya Manusianya. Sekalipun memiliki sumber-sumber alam yang melimpah ruah, memiliki kesatuan nasional yang kuat, memiliki sistem politik yang baik, tanpa sumber daya manusia yang bermutu dan baik, kita akan menghadapi masalah besar dan terus-menerus dijajah oleh bangsa lain (bukan dalam arti fisik). Sebaliknya, masyarakat yang cerdas, selain mengetahui apa yang harus dilakukan ke depan juga menghargai sejarah dan perjuangan bangsanya. Dalam pepatah budaya Batak juga disebutkan: “hotang di parapara, ijuk di parlabian; na bisuk nampuna hata,na oto tu pargadisan”. Artinya, orang yang pintar akan memiliki kekuatan dan orang bodoh akan terjual.

Kita menghargai apa yang dibuat para pendahulu kita. Melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, nampaknya para tokoh muda pada masa itu telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya permasalah-permasalahan akibat adanya berbagai macam suku, budaya, dan bahasa yang kita miliki, sehingga mereka mencetuskan: “Bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Pernyataan dalam Sumpah Pemuda itu dirumuskan dalam bahasa yang tegas dan singkat dan mengandung nilai-nilai yang penuh kearifan sebab dengan jelas sumpah tersebut mengakui keanekaan suku, bahasa dan agama. Semua keragaman itu, termasuk keragaman agama, dijalin menuju satu gerak langkah bersama, menciptakan negara kesatuan dengan tetap menghormati perbedaan. Sumpah Pemuda itu kemudian diperjelas dan dipertegas lagi dengan lahirnya Pancasila yang kemudian ditetapkan sebagai dasar ideologi negara dan UUD 1945. Dengan demikian, jelas bahwa prinsip kesatuan sebagaimana ditetapkan dalam Pancasila dan UUD 1945 sudah final, dan tidak perlu lagi dipersoalkan.

Upaya-upaya untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain ternyata gagal. Berulangkali ada upaya untuk melunturkan perannya, tetapi tidak berhasil. Ini berarti bahwa Pancasila cocok dengan kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Sila-sila dari PancaSila-sila itu mengapresiasi perbedaan-perbedaan, mulai dari perbedaan agama hingga perbedaan budaya, sehingga Pancasila benar-benar menjadi rallying-point dari semuanya. Oleh sebab itu, tugas dari setiap generasi bangsa adalah mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan mempertahankan NKRI.

(3)

Pembahasan

Belakangan ini, pendidikan dan pembangunan karakter sering menjadi tema percakapan di kalangan praktisi pendidikan. Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2010 mengangkat tema “Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”. Dorongan untuk mengarahkan pendidikan pada upaya pembentukan karakter tentu tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terjadi di negeri ini. Degradasi moral yang terlihat dari meningkatnya tindak kekerasan, kriminalitas, korupsi, kecabulan, dan tindakan lainnya dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat nyata dan meresahkan. Melalui pendidikan karakter diharapkan masyarakat kita memiliki karakter unggul. Bangsa yang memiliki karakter unggul dinampakkan dari etika dan moralnya, budi pekerti yang baik, semangat, tekad dan energi yang kuat, pikiran positif dan sikap optimis, serta kuatnya kasih dan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan yang tinggi.

Pendidikan karakter yang menghasilkan etos bangsa menjadi sebuah titik terang dalam proses pembangunan peradaban dan integritas bangsa. Karakter manusia yang dibentuk dari etos bangsa akan memupuk kekuatan integritas setiap individu dalam masyarakat. Melalui etos bangsa, manusia diharapkan dapat memahami makna kemanusiaan dan misinya di dalam masyarakat. Menurut Jansen Sinamo (dikenal dengan guru etos), etos merupakan kunci dan fondasi keberhasilan suatu masyarakat atau bangsa. Etos menjadi syarat utama bagi semua upaya peningkatan kualitas tenaga kerja atau SDM, baik secara individu maupun kelompok.

Menurut pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966) yang pemikirannya banyak dikutip oleh para pedagog di seluruh dunia (termasuk Indonesia), ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasar hirarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai ideologi. Koherensi merupakan dasar yang membangun sikap mempercayai satu sama lain. Ketiga, otonomi dimana seseorang menginternalisasikan aturan yang dipelajari dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang untuk mempertahankan apa yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Berkaitan dengan tema di atas, ada dua hal yang diharapkan dapat membawa kita kepada pembangunan karakter dan peradaban, yaitu seni budaya lokal dan perdamaian. Saya

menterjemahkan kedua bidang ini dengan “budaya lokal” dan “agama”. Keduanya bisa saling bertalian tetapi tidak semuanya dapat disinkronkan. Budaya lebih terbatas pada suatu daerah tertentu, sementara agama bersifat universal. Seni merupakan bagian dari budaya. Budaya lokal, seiring dengan keragaman suku dan bahasa, merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Barangkali

(4)

lebih tepat jika kita mengatakan bahwa budaya Indonesia adalah budaya-budaya lokal yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Pada satu sisi, budaya lokal merupakan warisan dari suku bangsa Indonesia di suatu daerah tertentu, tetapi menjadi milik seluruh bangsa sehingga menjadi kekayaan bangsa kita.

Setiap budaya lokal memiliki muatan dan kekhasannya masing-masing serta perlu digali dan diperkenalkan lebih luas supaya dapat dipahami oleh orang-orang lain. Misalnya, dalam budaya Batak, “struktur dalihan natolu” (“tungku nan tiga”) merupakan landasan kemasyarakatan untuk saling menerima dan saling menghargai. Ini perlu dijelaskan secara terus-menerus kepada generasi berikut. Oleh sebab itu, aksara seni budaya lokal perlu dikembangkan sehingga kita dapat memahami nilai-nilai positif dari budaya lokal sekaligus mengkritisi hal-hal yang dianggap tidak lagi relevan untuk dipertahankan. Hal ini menjadi semakin penting ketika kita berhadapan dengan berbagai budaya (barangkali lebih tepat gaya hidup) yang datang dari luar sebagai salah satu kenyataan di era global.

Agar pembangunan karakter dan peradaban tercapai, kita memerlukan sistem dan cara

berkomunikasi melalui ungkapan kata dan kalimat yang baik menurut tata kaidah struktur dan makna kesopanan. Seringkali ujaran kata memberikan makna dan dampak buruk terhadap perkembangan dan penyebarluasan seni dan budaya bangsa, misalnya etika berbicara yang rancu, kurangnya keramahtamahan, dan pola komunikasi yang kasar. Untuk membangun karakter bangsa, perlu diperketat tata cara mengkomunikasikan seni dan budaya melalui brosur, iklan, pamphlet, buku, katalog yang memenuhi kepuasan pengguna dengan memberikan informasi yang seluas-luasnya dan sedetail mungkin sehingga dipahami masyarakat. Aksara merupakan sarana dan alat mengkomunikasikan perdamaian melalui slogan dan motto yang pro life, pro kebenaran, dan pro keadilan. Aksara sebagai alat komunikasi pemersatu bahasa dan penggagas ide serta pengungkapan karakter bangsa, terlihat dari untaian kalimat dan huruf yang kita pakai sehari-hari. Pemerintah, bersama-sama dengan budayawan dan rohaniawan, bertugas untuk tetap memberikan teladan dan arahan yang tepat dan baik bagi warga.

Kita berada pada era global di mana proses saling mempengaruhi antar budaya sedang terjadi. Jangan dulu mengklaim bahwa budaya kita paling bagus dan mampu bertahan terhadap berbagai arus budaya lain. Mencaci maki budaya lain dan kemudian membentuk suatu upaya menyerang budaya tersebut juga bukan merupakan tindakan yang bijaksana.

Ketidaksetujuan kita kepada berbagai perilaku yang datang dari luar dengan membangun kebencian dan melakukan kekerasan kepada mereka bukan perbuatan yang terpuji. Kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah dengan baik, sebab kekerasan akan menghasilkan respon kekerasan. Melawan kekerasan dengan kekerasan juga menjadi masalah, karena akan melahirkan perang

(5)

yang lebih dahsyat. Tentu kita tidak ingin membela semua perilaku yang salah dari luar, tetapi kita mencoba mencermati diri sendiri dan kemudian melakukan koreksi dan refleksi diri tentang budaya kita sendiri.

Akhir-akhir ini kita sering melihat di media elektronik (televisi dan internet) dan membaca di surat kabar berita tentang perilaku masyarakat yang kurang menggembirakan, antara lain korupsi, penggundulan hutan, bencana alam, gempa bumi, perubahan cuaca, pemanasan global, demontrasi anarkis, pemerkosaan anak kecil, sodomi, pembunuhan, perampokan, perkelahian antar kampung atau lorong, dan sebagainya. Di sisi lain, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat beragama. Keberagamaan itu terlihat dari ramainya pengunjung ke upacara-upacara dan kegiatan keagamaan.

Kita tentu mengapresiasi kemajuan dalam berbagai segi kehidupan yang dapat dinikmati masyarakat. Kemajuan alat transportasi yang sudah menjangkau beberapa pedesaan, misalnya, sangat berguna bagi masyarakat sehingga mereka dapat membawa hasil-hasil pertanian dan peternakan ke kota. Kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi, yakni telepon genggam memungkinkan kita berbicara dengan orang yang tinggal ribuan kilometer dari kita. Kita dapat berkomunikasi dengan saudara atau keluarga di mana pun mereka tinggal. Penduduk yang berada di pedesaan pun sudah dapat menonton televisi dan mengikuti perkembangan yang terjadi di berbagai daerah di bumi ini.

Perubahan dan perkembangan yang disebut di atas benar-benar telah mempengaruhi kehidupan, perilaku dan moral manusia secara positif dan negatif. Sepanjang dampaknya positif, tentu kita syukuri. Tetapi tidak bisa dipungkiri dampak negatifnya sangat besar. Nampaknya, sebagian dari masyarakat kita semakin kehilangan kendali. Mereka sangat mudah diprovokasi, emosional, dan ringan tangan melakukan tindakan kekerasan. Budaya tenggang rasa nampaknya sudah hilang dan yang terjadi adalah kemarahan dan kurangnya pengendalian diri. Apa yang masyarakat lihat di televisi sering membentuk perilaku dan moral mereka.

Ironisnya, perilaku kekerasan merambat ke komunitas agama. Rumah ibadah dirusak atau dibakar dan konflik horizontal antar komunitas berbeda agama terjadi berkepanjangan. Melihat dan memperhatikan semuanya ini, kita patut bertanya: ada apa dengan negeri kita ini? Mampukah kita mempertahankan kesatuan nasional dalam bentuknya sekarang ini tanpa harus mengekang kebebasan setiap insan dan komunitas masyarakat? Masih mampukah para pemimpin kita membuat negeri ini menjadi negara yang aman, damai, sejahtera, dan adil? Masih mampukah para pemimpin agama memberikan arahan kepada umat untuk melakukan hal-hal yang benar, jujur, simpatik, serta damai dan menentang setiap bentuk kekerasan di dalam masyarakat? Atau jangan-jangan mereka yang bekerja memimpin umat untuk tidak memiliki komitmen dan kepekaan

(6)

terhadap permasalahan masyarakat, kurang memahami konteks masyarakat plural, dan melihat pluralitas itu sebagai kekayaan bangsa yang dapat dipergunakan untuk kepentingan bersama. Studi dan percakapan tentang perdamaian dan pluralitas sebenarnya telah berulangkali dilakukan. Banyak artikel dan buku yang membahas persoalan ini. Tetapi selalu ada keinginan untuk terus mempercakapkannya dan masalahnya tidak pernah selesai disimpulkan. Menjadi pertanyaan, mengapa pluralitas itu masih menjadi tema pembicaraan secara terus-menerus? Apakah pluralitas itu dapat menjadi ancaman bagi kesatuan dan persatuan nasional ke depan ini? Bukankah pluralitas itu sebenarnya harus disyukuri karena di dalamnya terkandung berbagai potensi yang dapat dimanfaatkan bagi kemajuan bangsa? Mengapa masih ada kelompok tertentu yang menghendaki hegemonitas dan mengingkari pluralitas itu? Mungkinkah pluralitas itu diingkari apalagi ditiadakan? Apa peran yang dapat dilakukan oleh gereja mengatasi konflik sosial dan memantapkan pemahaman tentang pluralitas masyarakat bangsa kita?

Dalam suatu rubrik di Harian Kompas pernah dituliskan bahwa ada beberapa hal yang

melatarbelakangi mengapa wacana pluralitas itu perlu dibicarakan secara terus menerus. Hal-hal itu antara lain: a) Perlunya sosialisasi bahwa pada dasarnya semua agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan damai dalam kehidupan umat manusia; b) Wacana agama yang pluralis, toleran, dan inklusif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama itu sendiri; c) Ada kesenjangan antara cita-cita ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan beragama di tengah-tengah masyarakat; d) Semakin menguatnya kecenderungan eksklusivisme dan intoleransi di sebagian umat beragama yang memicu terjadinya konflik dan permusuhan berlabel agama; f) Perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antar umat beragama. Nur Ahmad (ed), Pluralitas Agama. Kerukunan

Dalam Keagamaan, Jakarta: Penerbit Kompas, 2001, hal. ix

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural. Ada berbagai suku bangsa dan agama yang menghuni pulau-pulau di Nusantara yang terbentang dari Aceh hingga Papua. Seiring dengan keragaman suku, maka bahasa daerah pun beragam. Selain itu, pluralitas dalam profesi atau pekerjaan pun merupakan kenyataan sesuai dengan kesempatan dan tingkat pendidikan manusia. Ada petani, peternak, nelayan, pedagang, parenggerengge (pedagang kecil), pegawai negeri, birokrat, pengusaha, buruh dan sebagainya.

Pada dasarnya, keragaman suku, budaya, dan agama di Nusantara bukan fenomena baru, tetapi telah terjadi dari dulu. Jauh sebelum kemerdekaan, masyarakat sudah majemuk. Jika ahli sejarah

(7)

berbicara tentang migrasi kelompok manusia yang masuk ke Nusantara yang disebut sebagai proto-Melayu dan deutro-Melayu, maka di dalamnya implisit keragaman. Merujuk kepada pendapat para ahli agama tentang sistem kepercayaan dalam bentuk animisme, politeisme, dan sebagainya, kemungkinan sistem kepercayaan suku-suku bangsa yang datang ke negeri ini pun berbeda. Ini dapat ditelusuri melalui upacara dan ritus kepercayaan yang berbeda di antara berbagai suku, misalnya Jawa, Minang, Melayu, Batak, Dayak dan sebagainya.

Sekalipun mungkin sistem kepercayaan suatu suku tertentu dapat merupakan gabungan dari beberapa kepercayaan kuno itu, tetapi hal itu juga turut menjelaskan bahwa sejak awal sudah terjadi keragaman. Konteks alam bisa saja turut mempengaruhi terbentuknya sistem kepercayaan yang baru sehingga terjadi perkembangan, tetapi perkembangan itu sendiri pun dapat dikategorikan sebagai bagian dari proses pluralitas. Sejak dahulu kala dunia ini tidak pernah (mungkin: tidak akan pernah) dihuni oleh satu suku budaya, agama atau sistem kepercayaan mana pun. Ada banyak sekali suku, budaya, agama dan kepercayaan. Barangkali ada proses saling mempengaruhi di antara budaya, agama dan kepercayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, sia-sialah segala usaha untuk menggiring suatu masyarakat menjadi satu sistem kepercayaan yang dapat diterima semua orang. Itu merupakan suatu kemustahilan.

Lebih menarik lagi jika kita meneliti semua agama (baca: setiap agama) yang ada di bumi ini. Pada awal kelahirannya biasanya penerimaan dan penghayatan kepada ajaran suatu agama lebih sederhana dan homogen. Tetapi dalam proses perkembangan berikutnya, jauh setelah era pendiri agama itu, bisa saja terjadi perubahan. Muncullah berbagai kelompok di dalam suatu agama. Ada beragam latar belakang mengapa kelompok yang berbeda itu muncul, antara lain kepentingan-kepentingan tertentu terutama perebutan menjadi pemimpin agama, perbedaan penafsiran terhadap teks-teks kitab suci, atau kemungkinan karena pengaruh dari luar agama itu sendiri.

Manusia sebagai mahluk terbatas tidak akan pernah mampu menterjemahkan dan mengerti bahasa dan wahyu Allah. Manusia terlalu terbatas untuk itu. Itu berarti, penganut agama manapun tidak akan pernah mampu melahirkan “satu sistem yang tunggal” (satu pendekatan) kepada Kitab Suci. Akan senantiasa muncul berbagai pendekatan dan penafsiran kepada sumber-sumber utama agama, baik kepada Kitab Suci maupun tradisi-tradisi yang berkembang. Itu berarti, ketika kita berbicara tentang pluralitas agama, maka pluralitas itu tidak hanya dilihat dari agama-agama yang berbeda, tetapi juga di dalam tubuh internal suatu agama. Agama manakah di dunia ini yang dari sejak kelahirannya sampai sekarang tidak memiliki kelompok yang berbeda? Bahkan di dalam sejarah tercatat umat dari satu agama tertentu saling berbantah-bantahan atau mungkin juga bermusuhan satu sama lain. Memang sangat disayangkan jika ada kelompok tertentu yang menyebarkan agama baru yang sesat hanya karena kepentingan-kepentingan tertentu.

(8)

Kita tentu tidak menyetujui segala bentuk penerapan ajaran agama dalam bentuk kaku serta ekstrim dan kehadiran kelompok-kelompok bid’ah yang mengganggu kenyamanan beragama masyarakat. Dalam konteks keberagamaan, ada empat perbedaan menurut Hasan Askari, yaitu literal, simbolis, statis, dan dinamis. Biasanya, konflik antar agama sering disebabkan oleh keempat faktor ini. Seharusnya, relevan dengan asumsi dasar pluralitas, tumbuh saling ketergantungan antara unsure-unsur yang berbeda menjadi keutamaan. Sebagai konsekuensi logisnya, pluralitas mengacu pada adanya kebersamaan yang utuh dan kalau bisa bersifat mengikat. Pluralitas bukan untuk pluralitas itu sendiri, tetapi meniscayakan kita – umat beragama – untuk meluaskan cakrawala berpikir dan bertindak melampaui domain dan batas-batas primordialistik menuju pemahaman yang integral-komprehensif dalam beragama.

Pluralitas agama diharapkan pula mampu menghasilkan pemahaman bersama akan adanya titik simpul dan benang merah persamaan “visi besar” agama sebagai “doktrin” keselamatan bagi pemeluknya di tengah jurang perbedaan yang ada. Pergumulan tentang pluralitas berhadapan dengan pemikiran hegemonitas sudah lama terjadi. Masalah yang sering menjadi dasar perdebatan adalah penghargaan kepada agama dan kepercayaan (iman) lain di luar komunitas sendiri. Setiap penganut agama (suatu komunitas) yakin akan kebenaran agamanya atau kelompoknya sendiri tanpa harus mencaci maki apalagi mengkafirkan penganut kepercayaan lainnya. Ini merupakan suatu kenyataan dan keharusan.

Mempercayai kebenaran agamanya sendiri tidak lantas berarti bahwa agama-agama lainnya tidak memiliki kebenaran. Menurut Moses Mendelssohn, sulit memahami jika Allah hanya mewahyukan kebenaran kepada sebagian umat manusia dan membiarkan yang lain tidak memperoleh wahyu dan oleh sebab itu tidak memiliki jalan untuk mendapat keselamatan. Tidak satu pun agama dapat menjadi alat satu-satunya yang digunakan Allah untuk mewahyukan kebenaran. Dibaca dalam buku Harold Coward, Pluralisme, hal. 17. Kita harus mengakui adanya keunikan agama masing-masing. Bagi Yahudi, hukum Musa harus ditaati, dan seterusnya. Bagi Islam, al-Quran dan Hadis harus diimani. Bagi Kristen, perbuatan Allah yang disaksikan dalam Alkitab dan Penyataan-Nya dalam Yesus Kristus harus dipercayai. Oleh sebab itu, peran agama-agama dalam dunia yang pluralis adalah menjadi terang, menjadi sebuah komunitas, yang memberikan kesaksian dan mempercayakan hasil dari kesaksian tersebut kepada Allah. Dibaca dalam buku Harold Coward, Pluralism, hal. 39

Jika kita pelajari dalam sejarah perkembangan agama-agama, tantangan dari ajaran agama yang berbeda termasuk perbedaan pendekatan terhadap pokok-pokok tertentu dari suatu agama, memunculkan para teolog kreatif yang berusaha merumuskan teologinya berdasarkan Kitab Suci. Bisa saja muncul kelompok pemikir yang lebih mengarah kepada sikap eksklusif untuk

(9)

mempertahankan dan membela ajaran agamanya. Tetapi pada umumnya, para pemikir inklusif jauh lebih berhasil dan membuahkan karya-karya spektakuler. Artinya, pluralitas sebenarnya menciptakan kesadaran akan keberagaman dan mendorong untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran yang lebih terbuka untuk menemukan titik temu kemanusiaan untuk semua penganut agama yang ada.

Secara singkat, makna dari kenyataan pluralitas itu bagi kita adalah: (a) Pluralitas merupakan perbuatan, kehendak, atau kemauan Tuhan. Manusia tidak pernah merencanakan pluralitas itu. Allah sendiri bukan tidak mampu membuat masyarakat manusia menjadi seragam, tetapi kenyataannya Dia tidak melakukannya. Berusaha untuk meniadakan pluralitas berarti mengingkari perbuatan Tuhan yang telah menghendakinya terjadi. Menerima perbedaan tidak berarti

mengkhianati kehendak Tuhan; (b) Oleh karena pluralitas merupakan kehendak Tuhan, maka manusia perlu menyadari keterbatasannya. Dengan kata lain, perbedaan seharusnya membuat orang semakin teguh dan tekun berkeyakinan karena hanya dengan perbedaan itu umat beragama dapat melihat kekayaan dari agama dan budaya lain, mengkritisi diri sendiri, dan mendorong dia memperdalam keyakinan agamanya sendiri. Karena itu, pluralitas mengharuskan adanya dialog antara semua umat beragama pun juga dalam intern umat yang seagama untuk perdamaian, kebaikan dan masa depan semua umat manusia; (c) Pluralitas agama menyiratkan bahwa setiap agama memiliki pokok-pokok ajarannya masing-masing yang harus diikuti dan dipatuhi umatnya sendiri. Pluralitas tidak menghendaki sinkretisme dan relativisme dalam agama.

Selanjutnya, memutlakkan kebenaran agama sendiri seraya mengkafirkan agama lain menjadi pertanda kesederhanaan (mungkin lebih tepat kedangkalan) pemahaman terhadap ajaran agama-agama yang ada. Di samping perbedaan, setiap ajaran agama-agama pasti mengandung unsur-unsur ajaran yang sama. Pada dasarnya tidak satu pun agama yang mengajarkan permusuhan, tidak satu agama pun yang menghendaki umatnya hidup dalam kemelaratan, tetapi senantiasa menganjurkan umatnya agar “membawa damai” dan berjuang agar hidup “sejahtera”. Hanya saja, ajaran agama sering juga dipakai sebagai legitimasi untuk menebar permusuhan akibat permasalahan sosiologis dan faktor-faktor politis; (d) Menerima pluralitas berarti menerima dan mengakui keberadaan setiap orang (manusia) di dalam masyarakat. Di hadapan Tuhan, manusia merupakan “makluk ciptaan”, bukan malaikat. Setiap orang mempunyai hak yang sama di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan UU yang berlaku. Tidak ada superioritas dan inferioritas di antara kelompok-kelompok masyarakat. Setiap komunitas memiliki hak yang sama di dalam kehidupan sosial dan politik.

(10)

Kesimpulan

Dorongan untuk mengarahkan pendidikan pada upaya pembentukan karakter tentu tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terjadi di negeri ini. Degradasi moral yang terlihat dari meningkatnya tindak kekerasan, kriminalitas, korupsi, kecabulan, dan tindakan lainnya dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat nyata dan meresahkan. Dengan pendidikan karakter diharapkan masyarakat kita memiliki karakter unggul.

Ada dua kendaraan yang diharapkan dapat membawa kita kepada pembangunan karakter dan peradaban, yaitu seni budaya lokal dan perdamaian. Kedua bidang ini bisa diterjemahkan dengan “budaya lokal” dan “agama”. Dalam konteks keberagamaan, ada empat perbedaan pendekatan, yaitu literal, simbolis, statis, dan dinamis. Biasanya konflik antar agama sering terjadi disebabkan oleh keempat faktor ini. Seharusnya relevan dengan asumsi dasar pluralitas, adanya saling ketergantungan hubungan di antara hal-hal yang berbeda menjadi keutamaan. Sebagai konsekuensi logisnya, pluralitas mengacu pada adanya kebersamaan yang utuh dan kalau bisa bersifat mengikat. Pluralitas bukan untuk pluralitas itu sendiri, tetapi meniscayakan kita – umat beragama – untuk meluaskan cakrawala berpikir dan bertindak kita melampaui domain dan batas-batas primordialistik menuju pemahaman yang integral komprehensif dalam beragama.

*) Kepala Departemen Koinonia Huria Kristen Batak Protestan

Daftar Pustaka

Ahmad, Nur. 2001. Pluralitas Agama. Kerukunan Dalam Keagamaan. Jakarta: Kompas. Coward, Harold. 1985. Pluralism. N.Y. : Orbis Books.

Referensi

Dokumen terkait

Sutabri (2012:46) mengatakan sistem informasi adalah suatu sistem di dalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian yang

Setelah melakukan simulasi pada ETAP 12.6 pada Penyulang Ceko, dari hasil simulasi tersebut dapat dilakukan penurunan rugi daya yang minimum dengan melakukan simulasi

Berdasarkan hasil penelitian dapat disim- pulkan, bahwa kandungan Pb dalam daun tana- man peneduh di jalan protokol Kota Semarang berkisar antara 0,01–0,05 ppm/g berat basah daun

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penambahan cangkang telur dan abu sekam padi dengan variasi suhu sinter terhadap densitas dan kekerasan pada keramik..

pada umumnya nilai pupuk yang dikandung pupuk organik terutama unsur makro nitrogen (N), Fospor (P), dan kalium (K) rendah, tetapi pupuk organik juga mengandung

Menimbang, bahwa terhadap permohonan bandingnya atas putusan akhir tersebut, Kuasa Pembanding IV telah mengajukan memori banding yang diterima di Kepaniteraan

Ini menunjukkan bahwa kawasan pesisir Kota Tegal merupakan kawasan yang cukup rawan dan rentan terhadap bahaya, seperti bahaya alam yang diakibatkan oleh

Jika dalam suatu transaksi penjual tidak dapat mengestimasi berapakah jumlah penjualan yang mungkin akan terjadi dan penjual juga tidak bisa mengestimasi berapakah biaya yang