( Studi Deskriptif Pasar Babat, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur )
SKRIPSI
Disusun oleh: MOCH. IRFAN FANANI
NIM: 070914107
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
SEMESTER GENAP TAHUN 2015/2016
Perlawanan Pedagang Pasar Tradisional Terhadap Revitalisasi Pasar ( Studi Deskriptif Pasar Babat, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan,
Jawa Timur )
SKRIPSI
Maksud: Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi S1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
Disusun oleh:
MOCH. IRFAN FANANINIM: 070914107
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
SEMESTER GENAP TAHUN 2015/2016
Penelitian ini berawal dari ketertarikan peneliti terhadap fenomena perlawanan pedagang pasar tradisional Babat dengan Pihak Pemkab Lamongan dan pihak pengelola pasar ( pihak investor ) yang gencar dilakukan oleh para pedagang pasar Babat atas pembangunan pasar tradisional Babat. Perlawanan yang berkepanjangan dan tak kunjung menemukan penyelesaian meski telah berlanjut di sidang PTUN Provinsi Jawa Timur yang menuntut pembangunan pasar Babat dan sistem bangunan serah guna pasar pada akhirnya memunculkan perlawanan para pedagang pasar tradisonal Babat dengan berjualan di luar area pasar Babat seperti jalan Pendidikan, Kartini dan Ahmad Dahlan dari fenomena tersebut peneliti untuk menganalisis perlawanan yang terjadi. apa yang melatar belakangi terjadinya perlawanan? Bagaimana bentuk-bentuk resistensi para pedagang pasar Babat dan faktor-faktor yang menyebabkan resistensi para pedagang pasar Babat sehingga memunculkan aksi penolakan dan protes pedagang pasar tradisional? tentunya dengan teori dan perspektif Sosiolog.
Peneltian ini menggunakan teori resistensi yang dipopulerkan oleh James Scott juga memperkenalkan konsep resistensi tertutup, semi terbuka dan terbuka dalam menganalisis terciptanya sebuah resistensi. Analisis yang dimaksud disini adalah analisis hubungan sebab akibat atau interaksi yang memungkinkan munculnya sebuah resistensi sosial. Dalam konsep resitensi secara tersirat menyatakan resitensi tertutup,semi terbuka dan terbuka, mereka yang menduduki kebijakan terhadap pembangunan pasar babat diharapkan mengakomodir kepentingan para pedagang. Metode penelitian yang digunakan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Setelah melalui tahapan penelitian, penelitian ini pada akhirnya menemukan beberapa temuan pokok. Ada beberapa hal yang pada akhirnya menjadikan kebijakan pembangunan pasar Babat mendapatkan resistensi dari para pedagang. Harga sewa bedhak pasca pasar Babat direvitalisasi menjadi faktor yang menyebabkan pedagang lama pasar Babat tidak mau menempati Pasar Baru Babat yang berjualan di luar area pasar karena harga kios di Pasar Baru Babat sangat mahal bagi para pedagang.
Kata kunci:Perlawanan, Pasar,Teori Resistensi James Scott
of traditional market traders Tripe with Lamongan regency Party and the manager of the market (investors) are intensively conducted by market traders on market development of traditional tripe Tripe. Resistance prolonged and never find a solution despite continued in the trial PTUN East Java province which demands the development of the market tripe and building systems are handed over to the market eventually led resistance traders traditional markets Tripe by selling outside the market area Tripe like the Education, Kartini and Ahmad Dahlan of researchers to analyze the phenomenon of resistance occurs. what is the background for the occurrence of resistance? How the forms of resistance Tripe market traders and the factors that cause resistance Tripe market traders that led to the rejection and protest action of traditional traders? of course with theory and perspective of a sociologist.
This study uses the theory of resistance that was popularized by James Scott also introduces the concept of resistance closed, semi-open and open in analyzing the creation of a resistance. The analysis is meant here is the analysis of causal relationships or interactions that enable the emergence of a social resistance. In resitensi concept implicitly stated resitensi closed, semi-open and open, they are occupying policy against tripe market development is expected to accommodate the interests of traders. The method used is used in this study is a qualitative method.
After going through the stages of research, this study has finally found some key findings. There are some things that ultimately turned the market development policy Tripe get resistance from traders. The rental price bedhak post market Tripe revitalized be factors that lead to the old market traders do not want to occupy Tripe Tripe New Markets who sell outside the market area because of the price stall in Pasar Baru Tripe very expensive for traders.
Keywords: Resistance, Markets, Theory of Resistance James Scott
Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala Rahmat, Hidayah dan Karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perlawanan Pedagang Pasar
Tradisional Terhadap Revitalisasi Pasar (Studi Deskriptif Pasar Babat, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur) dengan lancar. Skripsi ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk menyelesaikan pendidikan program studi S1 Sosiologi.
Penelitian ini dilatar belakangi oleh ketertarikan peneliti sebagai salah satu perlawanan pedagang pasar tradisional Kecamatan Babat yang memprotes dan menolak kebijakan pembangunan pasar tradisional dari Pihak Kabupaten dan pengelola pasar ( pihak investor ) untuk memberikan sedikit analisis terhadap fenomena tersebut menggunakan teori konflik dari Ralf Dahrendorf dan teori resistensi dari James Scott
Cukup banyak waktu yang tersita dan tidak sedikit hambatan dan problem yang peneliti hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat Rahmat, Hidayah dan Karunia yang diberikan oleh Allah SWT sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Penyusunan skripsi ini juga tidak akan berhasil tanpa partisipasi berbagai pihak. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Drs. Herwanto. MA selaku dosen pembimbing, yang telah berkenan membantu peneliti dalam memberikan masukan selama perancangan hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Terkadang yang telah beliau berikan meskipun terkadang saya salah menerjemahkannya tetapi tetap dengan sabar mendorong penulis agar cepat menyelesaikan skripsi ini.
skripsi ini, karena skripsi ini tidaklah terlepas dari segala kekurangan atau kesalahan.
Surabaya, 25 Juni 2016
Moch. Irfan Fanani
Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala kenikmatan, segala ujian dan cobaan serta segala kekuatan dan keyakinan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini meskipun dalam rentang waktu yang cukup lama. Ucapan terimakasih saja nampaknya tak akan cukup penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Meskipun demikian ucapan terimakasih ini adalah bentuk apresiasi tertinggi penulis kepada semua pihak yang telah mencurahkan waktu, tenaga, pemikiran dan semua yang telah diberikan demi terselesaikannya skripsi ini.
Terima kasih yang tak terhingga kepada keluargaku atas semangat dan dorongan yang diberikan agar tetap fokus dalam seluruh pekerjaan yang dijalankan. Bapakku Abdul Rosyad lelaki yang penyabar dan kerja keras yang setiap hari berkerja sebagai pegawai swasta Petrokimia di Babat-Lamongan, dari setiap tetes peluh yang mengucur dari tubuh rentanya mengalir limpahan rejeki agar saya tetap bisa meneruskan pendidikan dan Ibukku Hidayatul Hasanah, wanita terhebat yang setiap pagi sibuk menyiapkan makanan di pagi hari agar saya dapat terus merasakan nikmatnya sarapan pagi sebelum menuntut ilmu. Maaf beribu maaf skripsi ini tidak mampu saya selesaikan tepat pada waktunya seperti apa yang Bapak dan Ibu harapkan. Sembah sujud baktiku untuk Bapak dan Ibu yang telah memberikan kasih sayang dan segenap doa yang senantiasa dicurahkan tanpa rasa lelah. Kakak saya Rosyalinda kelak jadilah Ibu yang baik dan Moh. Khanif Fuaidi , maaf belum bisa menjadi contoh kakak yang baik, bersungguh-sungguhlah kalian dalam menuntut ilmu.
Untuk Pak Herwanto, dosen pembimbing penulisan skripsi ini. Pengarahan, petunjuk, kritik dan saran yang telah beliau berikan meskipun terkadang saya salah menerjemahkannya tetapi tetap dengan sabar mendorong penulis agar cepat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih bapak
Untuk dosen pengajar dan staf di Departemen Sosiologi Fisip Universitas Airlangga, Pak Doddy, Pak Sudarso, Pak Herwanto, Pak Bagong, Pak Septi, Pak Novri, Ibu Tuti Budi Rahayu, Ibu Sutinah serta dosen sosiologi lain atas semua pelajaran yang telah diberikan selama kuliah. Terimakasih telah menjadi bapak dan ibu kedua penulis selama mengenyam
Untuk kawan, sahabat, dulur Sosiologi 2009 yang telah berjuang bersama, tertawa bersama seperti Moh Ali Ashar, M Yusuf Setyo Utomo, Aprizal Wahyu Dermawan dan Yunas Kristianto melukiskan kisah terindah semasa kuliah, meskipun cita-cita untuk lulus bersama tak pernah terwujud. Semoga persaudaraan di antara kita tetap terjaga silaturahmi
Untuk rekan-rekan. yang ada di kecamatan Babat-Lamongan khususnya teman-teman dan saudara-saudara Alumni MTsn Model Babat Angkatan 2006,SMAN 1 BABAT-LAMONGAN dan Komunitas Basket Aladin Babat, untuk selalu menjadi teman dan saudara yang selalu menyemangati saya dalam menyelesaikan skripsi.
Dan khususnya para pedagang tradisional Babat yang tergabung dari kelompok APPSI ( Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia ) Babat, PPTBB ( Persatuan Pedagang Tradisional Babat Bersatu) dan LPPK (Lembaga Persatuan Pemburu Korupsi ) yang berkantor di jalan Pendidikan 31 A Babat-Lamongan terima kasih sebanyak-banyaknya atas kesempatan yang beliau berikan dalam menyelesaikan skripsi saya dan salam hormat saya Moch Irfan Fanani.
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERNYATAAN ... ii
HALAMAN JUDUL TENTANG MAKSUD PENULISAN SKRIPSI ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ...v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
UCAPAN TERIMA KASIH ... ix
DAFTAR ISI...x
BAB I : PENDAHULUAN ...1
I.1. Latar Belakang Masalah ...1
I.2. Fokus Penelitian ...14
I.3. Tujuan Penelitian ...15
I.4. Manfaat Penelitian ...15
I.4.1 Manfaat Akademik ...15
I.4.2 Manfaat Praktis ...16
I.5. Kerangka Teoritik ...16
I.5.1 Teori Konflik ...16
I.5.2 Teori Resistensi ...21
I.6. Metodologi dan Prosedur Penelitian ...29
I.6.1. Tipe Penelitian ...29
I.6.2. Batasan Konsep Penilitian ...30
BAB II : GAMBARAN UMUM ...36
II.1 Gambaran Umum Kabupaten Lamongan ...36
II.2.Sejarah Lamongan ...36
II.3 Kondisi Geografis Dan Demografis ...40
II.4 Sejarah Pasar Babat ...42
BAB III :Profil Informan ...53
III.1. Bentuk-bentuk Resistensi Pedagang Pasar Babat ...64
III.1.1 Demonstrasi Menolak Pembangunan Pasar Babat ...64
III.1.2 Berjualan Di Luar Area Pasar Babat ...66
III.1.3. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Resistensi ...72
III.1.4.1 Berkurangnya Hak Para Pedagang Atas Bedak ...72
III.1.5.2 Tempat Relokasi Yang Sepi...76
III.1.6.3 Harga Sewa Bedak Yang Tinggi ...79
IV.2 Pembahasan ... ...85
IV.2.1 Resistensi Tertutup ...86
IV.2.2 Resistensi Semi Terbuka...87
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN...89
V.1. Kesimpulan ...89 V.2. Saran ...93 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I Pendahuluan I.1 Latar belakang masalah
Sebagai tiang penyangga ekonomi masyarakat, pasar tradisional sering menjadi korban akibat perspektif kelembagaan pemerintah terhadap sektor ini. Mungkin perspektif ini menelurkan kebijakan yang cenderung kurang bersahabat dengan para pedagang sebagai salah satu civil society yang berdiri sendiri dan
mandiri.1 Fenomena penggusuran pasar tradisional, adalah bukti ketidakberdayaan
sektor informal berhadapan dengan kebijakan yang ditelurkan oleh kelembagaan pemerintah.
Hal tersebut di atas, menggambarkan betapa pembangunan kurang bersimpati kepada masyarakat. Sudah banyak pasar tradisional yang berganti menjadi gedung mewah, apartemen, hingga pasar modern. Dampak paling nyata dari penggusuran pasar, adalah resistensi atau perlawanan dari para pedagang. Bentrokan fisik antara pedagang dengan petugas penertiban dan pengembang pasar kadang tak terhindarkan. Meskipun, pada setiap kasus penggusuran berbeda bentuk resistensi atau perlawanannya.
Keberadaan pasar tradisional Babat merupakan salah satu dari berbagai sumber peningkatan perekonomian daerah Lamongan, khususnya terhadap perekonomian masyarakat kecamatan Babat. Dimana mayoritas masyarakat Babat menggantungkan hidup sebagai pedagang tradisional. Selain itu , kondisi pasar
tradisional Babat ini dinilai menimbulkan banyak permasalahan dari aspek transportasi dan keindahan kota. Seperti pada umumya pasar tradisional merupakan pasar yang memiliki tempat berdagang yang bau, pengap, becek dan jorok bisa dibayangkan ketika musim hujan tiba pasti akan becek dan juga pasar tradisional hampir selalu menampilkan kios atau ruko yang menjurus ke koridor pasar, akibatnya space untuk berjalan menjadi sempit, kadang muncul istilah “gang Senggol” untuk jenis pasar seperti ini.
Membangun pasar tidaklah mudah. Revitalisasi pasar memakan biaya yang tinggi. Selain itu di beberapa tempat pembangunan pasar sering dianggap memarginalisasi pedagang lama karena pedagang ditarik retribusi yang lebih besar. Akibatnya bukan peningkatan kesejahteraan yang didapat, bahkan beberapa pedagang lama tersingkir karena tidak sanggup membayar retribusi.
Dari kondisi yang demikian maka pemerintah kabupaten Lamongan membuat kebijakan untuk melakukan penataan pasar tradisional Babat. Dengan cara yakni: merevitalisai pasar tradisional dan untuk pasar lama atau pasar tradisional sendiri dibangun menjadi pasar yang berkonsep modern. Pembangunan pasar Agrobis telah lebih dulu selesai selesai pada akhir 2009 sedangkan pasar tradisional Babat dimulai pada 4 Oktober 2011 meskipun sempat terjadi penolakan pedagang. Pemerintah daerah dengan menggandeng pihak investor PT Bayu Perkasa milik Susilo Handoko investor dari Solo.
Sesuai SK Bupati nomor 188/252188/252/Kep/413.013/2008 tentang penetapan lokasi perdagangan pada pasar umum di Kecamatan Babat, Pasar Babat modern nantinya hanya akan diperuntukkan bagi pedagang kering seperti pakaian, kelontong, perhiasan, mebel, alat rumah tangga dan elektronik. Pasar Agrobis diperuntukkan bagi pedagang bahan basah seperti palawija, sayur mayur, buah-buahan, ikan dan sembako serta daging .
Mengamati pola konsumsi masyarakat yang berada di sekitar kelurahan Babat nantinya bisa jadi program relokasi dan pembangunan pasar modern akan berimbas pada pedagang, karena pasar tradisional merupakan tempat perbelanjaan yang masih mendapatkan ruang tersendiri di hati masyarakat sekitar Babat. Selain itu, pasar tradisional Babat nampaknya masih mempunyai pangsa pasar yang nampak cukup besar artinya masih banyak anggota masyarakat yang bersikap ekonomis untuk mendapatkan barang dengan harga murah dan memperoleh kepuasan maksimum. Konsumen terbesar di sini yakni ibu rumah tangga dan remaja putri. Meskipun suasana kurang menyenangkan akibat ruang toko menyempit, penerangan kurang baik, kebersihan kurang terjaga dan sesuai dengan kondisi yang ada menurut pedagang setelah dibangunnya pasar tradisional menjadi pasar modern harga kios
pasar melebihi kewajaran.2
2
Bentuk penolakan pedagang tradisonal Babat terkait masalah di atas diwujudkan dengan adanya aksi demostrasi yang dilakukan pedagang tradisional. Selain itu, tetap berdagang di pasar Babat meskipun berada di luar area pasar yakni: di jalan Kartini. jalan Pramuka, jalan rumah sakit Muhammadiah Babat. dan pedagang juga melakukan upaya gugatan yang dilakukan oleh pedagang pasar tradisonal babat Bersatu ( PPTBB ) dengan mendatangi PTUN Surabaya di Jalan Letjen Sutoyo, Waru, Sidoarjo, Jawa Timur dengan isi gugatan sebagai berikut: pertama gugatan terhadap pemerintah kabupaten Lamongan juga lantaran tidak memiliki Hak Pengelolaan Lingkungan ( HPL ),Kedua. Gugatan harga stand pasar, yang tinggi mulai stand fisik, los maupun lainnya, mengakibatkan banyak pedagang yang merasa keberatan tidak mampu membeli hampir semua pedagang pasar yang semula menempati pasar tradisional itu, tak mampu untuk membeli stand. Hanya orang luar atau yang berduit, bisa menikmati stand pasar Babat, Selanjutnya, alasan bagi pedagang yang masih menetap dan berjualan di pasar agrobis maupun pasar modern disebabkan mereka merupakan pedagang besar dan ada yang usaha turun-menurun. Maka dari itu, mau tidak mau harus kembali berjualan ke area pasar yang telah ditetapkan pemerintah bila tidak ingin mengalami kerugian dan kemacetan dalam usaha.
Upaya pemerintah dalam meredam adanya aksi kontra yang dilakukan pedagang terhadap upaya relokasi dan pembangunan pasar modern adalah dengan cara, melakukan upaya sosialisasi kepada pedagang pasar Babat terkait manfaat yang
akan diperoleh dari adanya relokasi dan pembangunan pasar baru atau modern Babat. Proses sosialisasi tersebut diawali dari adanya pemberitahuan kepada pedagang tradisional terkait perencanaan, penempatan, harga subsidi pembangunan pasar modern dan relokasi berserta manfaat dari adanya pembangunan pasar bagi pedagang tradisional secara keseluruahan. Selain itu, pemerintah kabupaten Lamongan melakukan upaya mediasi yang melibatkan APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia), tokoh masyarakat, perwakilan pedagang tradisional Babat, pemerintah kabupaten lamongan dan pihak investor demi terwujudnya keadaan yang kondusif sehingga menghasilkan keputusan bahwa upaya relokasi dan pembangunan pasar modern tidak ada masalah meskipun demikian yang terjadi di lapangan masih ada pedagang tradisional yang kontra terhadap relokasi dan pembangunan pasar modern.
Adanya upaya relokasi dan pembangunan pasar modern menimbulkan adanya pro dan kontra dan pada dasarnya suatu kebijakan ataupun pembangunan dalam masyarakat tidak lepas adanya pro dan kontra juga pembangunan tersebut melahirkan suatu kondisi perubahan sosial ekonomi bagi pedagang tradisional baik itu mengarah pada perubahan positif maupun negatif
Kehidupan pedagang tradisional yang tidak kembali menempati area pasar Babat pedagang tersebut sebagian besar merupakan pedagang kaki lima juga tergolong sebagai pedagang tradisional Babat yang menolak relokasi dan ditempatkan di pasar modern. Dimana pada umumnya pedagang kaki lima merupakan pedagang yang mayoritas menggunakan modal usaha sendiri yang terbatas. Pedagang-pedagang
tersebut dalam kondisi sosial ekonomi mengalami hambatan dikarenakan tempat dagang yang berada di luar area pasar tradisional tidak memadai banyaknya kendaraan berlalu lalang dengan modal usaha 500 ribu dengan rata rata jumlah pendapatan 700 ribu perbulan sangat tidak mungkin mendapatkan tempat yang startegis seperti di pasar modern maupun di pasar tradisional. Maka dari itu, pedagang yang menolak relokasi menjadi kurang dalam memenuhi kebutuhan dikarenakan pendapatan tidak mencukupi untuk biaya konsumsi harian, kebutuhan menambah modal usaha, kebutuhan biaya produksi, kebutuhan biaya pendidikan, kebutuhan biaya kesehatan biaya hutang menurunnya pendapatan yang sangat drastis dan mereka kekurangan untuk menghidupi atau memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya.
Hal itu dibuktikan dari temuan hasil data yang terkait dengan jumlah pendapatan perbulan pedagang yang menolak relokasi dari pendapatan yang paling kecil sampai pendapatan yang biasa katakana paling besar yakni berkisar antara 700.000.,00/ Bulan sampai 1.500,000,00/ bulan, pendapatan tersebut merupakan pendapatan kotor. Sedangkan pengeluaran tiap bulan yang harus dipenuhi pedagang dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1.1
Pengeluaran Perbulan Pedagang Tadisional Yang Menolak Direlokasi
No Pengeluaran Jumlah
1 Biaya Modal/Bulanan 200.000,00-300.000,00/bulan
2 Biaya kebutuhan harian 500.000,00-600,000,00/bulan
3 Biaya kebutuhan pendidikan anak 300.000,00-340.000,00/bulan
4 Biaya kesehatan 200.000,00-tak terhingga
5 Biaya angsuran dana pinjaman 50.000,00-100.000,00/bulan
6 Kebutuhan lain-lain -
Jumlah Pengeluaran Perbulan 1,250.000,00
Sumber : Kehiduapan Sosial Ekonomi Pedagang Di Pasar Tradisional Pasca Relokasi Dan Pembanguna Pasca Modern. Oleh Muhammad Zunaidi.
Dari rincian antara pengeluaran dan pendapatan pedagang tersebut menemukan adanya keterbatasan pendapatan yang diperoleh pedagang tradisional yang bertempat di luar area pasar dalam memenuhi kebutuhan. rutinitasnya dari pendapatan paling minim 700.000,00 dan pengeluaran terendah sekitar 1.250,000,00 perbulan.
Sehingga dapat di mengerti, sangat nampak jelas adanya ketidak seimbangan antara pengeluaran dan pedapatan. Dan upaya yang dilakukan pedagang untuk mendongkrak perekonomian mereka dengan cara:
a. Mereka tetap berjualan di luar area pasar seperti pasar modern maupun di pasar agrobis seperti di jalan Kartini, jalan Pramuka maupun jalan rumah sakit Muhammadiah dengan menambah fariasi dagangannya. b. Pedagang yang memiliki rumah di sekitar pasar di manfaatkan untuk
berdagang oleh pedagang tersebut. c. Menambah modal melalui bank pasar.
Hal demikian sangat berbeda dengan kondisi sosial ekonomi atau kesejahteraan pedagang yang menempati area pasar baik pasar modern Babat maupun pasar agrobis Babat sebagaimana yang di jelaskan berikut:
Kondisi sosial ekonomi atau kesejahteraan pedagang yang ada di pasar modern Babat mulai ada peningkat ke arah kesejahteraan pedagang yang lebih baik dikarenakan pasar modern masih tergolong baru dari setelah diresmikannya pasar tradisional oleh bupati Lamongan pada tanggal 13/juli/2012 sehingga perlu banyak adaptasi dari pedagang untuk terus meningkatkan kesejahteraanya.Sedangkan dalam pemenuhan konsumsi harian, seperti kebutuhan menambah modal usaha, kebutuhan biaya produksi, kebutuhan biaya pendidikan, kebutuhan biaya kesehatan pedagang relatif stabil meski kebutuhan hidup yang terus meningkat dan jika dibandingkan
dengan kondisi sosial ekonomi atau kesejahteraan pedagang masih di bawah dari agrobis.
Bila dibuat rata-rata pendapatan pedagang pasar modern dari jumlah terendah hingga jumlah tertinggi yakni: 4.500.000,00/bulan hingga 9.000.000,00/bulan. Sedangkan pengeluaran tiap bulan yang harus dipenuhi oleh pedagang dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1.2
Pengeluaran Perbulan Pedagang pasar modern
No Pengeluaran Jumlah
1. Biaya modal/ bulan 1.500.000,00.5000.000,00/bulan
2. Biaya kebutuhan harian 700.000,00-1000.000/bulan
3. Biaya kebutuhan pendidikan anak 3.000,00-500.000,00/ bulan
4. Biaya kesehatan 400.000,00-tak terbatas
5. Kebutuhan lain-lain
6. Listrik 300.000/bulan
Jumlah Pengeluaran Perbulan 2.200.000,00/Bulan
Sumber : Kehiduapan Sosial Ekonomi Pedagang Di Pasar Tradisional Pasca Relokasi Dan Pembanguna Pasca Modern. Oleh Muhammad Zunaidi.
Sangat jelas jika dibandingkan kedudukan sosial ekonomi atau kesejahteraan pedagang yang ada di pasar modern Babat dengan pedagang tradisional bertempat di luar area pasar yang telah ditentukan pemerintah.Kondisi sosial ekonomi tersebut
meskipun masih banyak penyesuaian-penyesuaian dari pasar tradisional ke pesar yang lebih tertata. Dari segi interaksi, pedagang tradisional banyak mengalami perubahan hususnya interaksi antar pedagang dengan pedagang tradisional dimana perubuhan yang terjadi yakni: sebelum adanya relokasi dan pembangunan pasar modern pedagang tradisional bersatu di pasar tradisional Babat. Akan tetapi, setelah adanya relokasi dan pembangunan pasar modern hubungan pedagang tradisional terbagi-bagi ada yang menempati pasar agrobis, pasar modern, maupun ada yang di luar area pasardan juga pedagang tradisional setelah adanya relokasi dan pembangunan pasar modern banyak melakukanpenyesuaian-penyesuaian terhadap pedagang baru.
Selanjutnya dari segi interaksi pedagang dengan pelanggan sebagian kecil pedagang pasar modern dalam bertransaksi masih menggunakan model transaksi lama yakni: adanya proses tawar menawar antara pedagang dengan pembeli dan selebihnya menggunakan model harga pas. Selain itu, terkait status pedagang tradisional yang dulu bersatu dalam pasar tradisional Babat kini pedagang tradisional terpecah-pecah ada yang menempati pasar agrobis sebagai pedagang grosir, pasar modern dan sebagian ada juga pedagang tradisional yang berdagang di luar area pasar Babat. Sehingga, hal tersebut berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi atau
kesejahteraan pedagang tradisional. 3
Resistensi pedagang pasar, menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti. Hal tersebut terbukti dari beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh para akademisi, antara lain:
1. Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192, Disusun oleh Muhammad Zunaidi mendeskripsikan Kehiduapan Sosial Ekonomi Pedagang Di Pasar Tradisional Pasca Relokasi Dan Pembanguna Pasca Modern.
2. Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat, Skripsi yang disusun oleh M. Tri Panca W dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mendeskripsikan bentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya resistensi pedagang pasar Sumber Arta terhadap penggusuran pasar untuk dijadikan apartemen. Skripsi ini menggunakan teori resistensi dari James
Scott sebagai pisau analisisnya.4
3. Resistensi dan Akomodasi: Suatu Kajian Tentang Hubungan-hubungan Kekuasaan pada Pedagang Kaki Lima, Preman dan Aparat di Depok, disertasi yang disusun oleh Eko Siswono untuk memperoleh gelar doktor di bidang Antropologi ini, menggunakan teori strukturisasi dari Gidden untuk menjelaskan bekerjanya kekuasaan akibat hubungan antara struktur dan
4
agensi. Resistensi terjadi karena PERDA yang menurut PKL tidak sesuai
dengan realitas yang mereka hadapi.5
Kembali lagi pada fenomena pasar tradisional. Pasar, merupakan bagian dari perekonomian. Di dalam pasar terdapat berbagai sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial dan infrastruktur. Usaha menjual barang, jasa dan tenaga kerja untuk orang-orang dengan imbalan uang. Barang dan jasa yang dijual menggunakan alat pembayaran yang sah seperti uang.
Pasar, bervariasi dalam ukuran, jangkauan, skala geografis, lokasi jenis dan berbagai komunitas manusia, serta jenis barang dan jasa yang diperdagangkan. Pasar tradisional, adalah salah satu lembaga perekonomian terbuka. Yang berarti, di dalam pasar tradisional tidak ada persyaratan dan keahlian khusus. Jadi, setiap orang dapat masuk mengambil peran dalam kehidupan pasar tradisional, dengan berdagang dan
memberikan jasa layanan umum pada masyarakat.6 Hal tersebut, menjadikan pasar
tradisional memiliki potensi tersendiri yang begitu besar bagi perputaran uang di dalamnya. Sejalan dengan itu mulailah beberapa orang mengambil peran sebagai kepala keamanan, pengatur kebersihan.
Menurut survey yang dilakukan AC. Nielses jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 1,7 juta atau sekitar 73 persen dari keseluruhan pasar yang ada. Namun, laju pertumbuhan dari pasar modern (minimarket) jauh lebih tinggi dari pasar
5 Eko Siswono “ Resitensi Dan Akomodasi : Suatu Kajian Tentang Hubungan-Hubungan Kekuasaan
Pada Pedagang Kaki Lima (PKL) Preman Dan Aparat Depok,” ( Desertasi S3 Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Departemen Antropologi Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 2009), hal, 13.
6
tradisional. Pasar-pasar tradisional dan pasar modern rata-rata mempunyai spesefikasi barang dagangan yang hampir sama sehingga berpeluang mengakibatkan terjadi persaingan diantara dua pasar tersebut. Jika dibiarkan persaingan bebas antara kedua
pasar tersebut dapat menggeser keberadaan pasar tradisional.7
Pasar modern (minimarket), sedang menjamur di kota-kota besar yang lambat laun menenggelamkan pasar tradisional. Menyikapi ini, pemerintah harus segera bertindak. Dan ada dua tindakan, yang bisa dilakukan agar pasar tradisional tetap bisa mempertahankan eksistensinya. Kebijakan tersebut adalah kebijakan pembatasan minimarket dan revitalisasi pasar tradisional.
Dua kebijakan ini sangat berkaitan, karena pembatasan minimarket tanpa adanya revitalisasi pasar adalah sama saja dengan menyelesaikan masalah, namun tidak sampai ke akarnya. Kebijakan pembatasan minimarket berfungsi sebagai regulator untuk menekan laju pertumbuhan pasar modern, sedangkan kebijakan revitalisasi pasar tradisional bertujuan untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional terhadap pasar modern.
Kebijakan revitalisasi pasar tradisional, bisa dilakukan dengan merelokasi pasar tradisional. Yaitu, dengan memindahkan pedagang ke pasar yang baru, atau meremajakan pasar tradisional tersebut menjadi pasar modern dengan infrastruktur yang baru. Relokasi ini juga harus disertai dengan kebijakan-kebijakan yang memberi kemudahan dan kenyamanan baik bagi pedagang juga masyarakat ramai. Sebenarnya
7
pembangunan pasar modern yang ada di negara kita ini termasuk terlambat dengan negara-negara tetangga yang pendapatan masyarakatnya lebih kecil dimana dari dulu pasar tradisional mereka sama dengan pasar modern di Indonesia sekarang.
Seperti di Thailand pasar tradisional mereka sejak awalnya tidak kalah saing dengan pasar-pasar modern seperti supermarket. Baik dalam hal struktur bangunan, kebersihan,keamanan dan juga service, pastinya tidak ditemukan pasar yang becek,berbau, pungutan liar,dan ketidakamanan.
1.1 Fokus Penelitian
Berdasarkan pemaparan tentang realitas yang terjadi pada proses revitalisasi pasar tradisional kecamatan Babat kabupaten Lamongan di atas. Maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang resistensi pedagang pasar Babat. Pertanyaan penelitian yang dijawab difokuskan pada dua hal yaitu:
1. Bagaimana bentuk resistensi yang dilakukan oleh para pedagang pasar Babat terhadap revitalisasi pasar menjadi pasar modern?
2. Faktor Apa sajakah yang melatar belakangi terjadinya resistensi para pedagang pasar Babat?
I.2 Tujuan Penelitian
Suatu penelitian tentunya dilakukan berdasarkan tujuan dan signifikansi tertentu. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
1. Mengetahui bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan oleh para pedagang pasar Babat terhadap revitalisasi pasar tradisional Babat menjadi pasar Modern Babat
2. Mengetahui latar belakang masalah yang menyebabkan terjadinya resistensi para pedagang pasar Babat terhadap pembangunan pasar Tardisional babat menjadi pasar Modern Babat.
I.4 Manfaat Penelitian I.4.1 Manfaat Akademik:
Setelah dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan khasanah ilmu pengetahuan khususnya Sosiologi. Selain itu, diharapkan juga hasil penelitin ini, dapat menjadi dorongan dan rangsangan bagi para peneliti lain untuk ikut melanjutkan dan mengembangkan hasil penelitian ini.
I.4.2 Manfaat Praktis:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan suatu pengetahuan bagi Pemerintah Kabupaten Lamongan Dan Pedagang Pasar Babat Terhadap Resistensi Pasar Tradisional Atas Revitaliasi Pasar Tradisional
2. Penelitian ini bisa dijadikan suatu rujukan dalam rangka memberikan pemahaman kepada masyarakat luas akan realitas yang terkonstruksikan dikalangan Pedagang Pasar Babat Terhadap Resistensi Pasar Tradisional Atas Revitaliasi Pasar Tradisional
1.5 Kerangka Teori Pendahuluan
Untuk menganalisis pertanyaan dan fokus penelitian, maka digunakanlah beberapa teori sebagai pisau analisis. Teori yang digunakan adalah teori konflik dari Ralf Dahrendorf, dan teori resistensi dari James Scott. Teori konflik Dahrendorf sengaja dipilih, untuk menganalisis relasi antara pedagang pasar dengan pihak pengelola pasar. Sedangkan teori resistensi James Scott, berguna untuk menjelaskan bentuk-bentuk resistensi dan faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya resistensi.
1.5.1 Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun 1959. Teori ini sangat berbeda dari teon Marx
(apakah kapitalisme atau sosialisme). Jika Marx bersandar pada pemilikan alat produksl, maka Dahrendorf bersandar pada kontrol atas alat produksi.
Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi seeara imperatif melalui otoritas/kekuasaan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) lengan teon (konflik) antar kelas sosial.
Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai lari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oIeh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya.
Ralp Dahrendorf membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan, daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja,
daripada modal dan buruh.8
Dahrendorf menolak utopia teori fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial seeara berlebihan. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. baginya, pelembagaan melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dimana, istilah-istilah dari kriteria tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi yang dapat di”bedhak”an. Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.
Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan "authority", dimana, beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan
8
Me Quaeri dalam Teori Konflik Sosial Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga. Dipersiapkan Oleh : Dr. Ir. Herien Pupitawai,M,Sc,M,Sc. Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen Fakultas Ekologi
yang lain lain.9 Sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf, dipelihara ) oleh proses peneiptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-maeam tipe kelompok terkordinasi yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang membuat kelompok-kelompok saling bersaing.
Resolusi dalam konflik antara kelompok-kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan, atau wewenang, kemudian menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam sistem sosial. Selanjutnya sekelompok peran baru memegang kunci kekuasaaan dan wewenang dan yang lainnya dalam posisi di bawahnya yang diatur. Redistribusi kekuasaan dan wewenang merupakan pelembagaan dari kelompok peranan baru yang mengatur (ruling roles) versus peranan yang diatur (ruled roles), dimana dalam kondisi khusus kontes perebutan wewenang akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan yang ada, dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. Sehingga kenyataan sosial merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial.
Konflik sosial dalam teori ini berasal dari upaya merebut dan mempertahankan wewenang dan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. hanya dalam bentuk wewenang dan kekuasaan yang bagaimanakah konflik tersebut dapat digambarkan.
9
(Turner, 1991: 144) Dalam Teori Konflik Sosial Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga. Dipersiapkan Oleh : Dr. Ir. Herien Pupitawai,M,Sc,M,Sc. Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen
Asumsi
Pendekatan teoritis Dahendrof adalah teori pemaksaan yang berasumsi bahwa dimana pun bisa terjadi perubahan sosial, konflik sosial, pemaksaan dan kontribusi tiap-tiap elemen itu terhadap perubahan dan disintegrasi masyarakat. Asumsi itu merupakan dasar paradigma konflik masyarakat.
Dengan menerima model realitas sosial ini, Dahendrof berasumsi bahwa kelompok dalam masyarakat perlu dikoordinasikan (seperti hubungan antar anggota masyarakat) dan dibentuk oleh dua agregat posisi dominasi dan kepatuhan.
Unsur kunci dalam analisis Dahrendorf otoritas, secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi, mereka yang menduduki memiliki otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Artinya, mereka berkuasa karena ada harapan dari orang yang berada di sekitar mereka, bukan karena cirri psikologis mereka sendiri. Otoritas ditentukan di dalam masyarakat sangsi dapat dijatuhkan pada pihak yang
menentang.10
Lebih jelasnya Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu atas dua tipe yakni;
a. Kelompok otoritas, kelompok yang memegang otoritas. kelompok ini merupakan kelompok, kumpulan dari pemegang kekuasaan dengan kepentingan bersama yang terbentuk karena munculnya kelompok
10
kepentingan. Dapat dibilang kelompok semu ini merupakan kelompok superordinat.
b. Kelompok subordinat atau kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan ini lahir karena adanya suatu perlawanan dari kelompok pemegang otoriter, dan kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang luas. Dari kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber konflik yang ada di masyarakat.aspek terakhir dari Dahrendorf mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik memimpin ke arah perubahan dan pembangunan disebabkan karena, dalam setiap asosiasi orang yang berada di posisi dominan berusaha mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada di posisi subordinat berupaya mengadakan perubahan. Dahrendrof juga berpendapat bahwa apabila kelompok konflik itu muncul kelompok tersebut akan melakukan perubahan secara struktual dan bila konflik itu hebat perubahan
yang terjadi secara radikal yang akan identik dengan penggunaan kekerasan.11
1.5.2 Resistensi Pengertian
Tema mengenai resistensi atau perlawanan menjadi sesuatu yang menarik bagi para ilmuwan sosial. Di akhir tahun 1980-an, resistensi menjadi trend dalam menelah kasus-kasus yang mudah diamati serta bersifat empiris. Bagi para peneliti
11
sosial, resistensi dianggap berciri kultural, sebab ia muncul melalui ekspresi serta tindakan keseharian masyarakat. Analisa resistensi sendiri terhadap suatu fenomena banyak melihat hal-hal yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan, umpatan serta puji-pujian dan perilaku lainnya sehingga
resistensi menjadi gayung bersambut dalam keilmuan sosial.12
Sebagian orang berpendapat isu mengenai resistensi sendiri mencuat sejak tahun 1960-an dimana saat itu mulai banyak otokritik terhadap ilmu-ilmu sosial yang dianggap menganut paradigma positivitik yang kerap mereduksi makna manusia menjadi sekumpulan angka-angka dan kehilangan semangat untuk perubahan. Situasi sejarah saat 1960an adalah ketika tengah berjayanya rezim totaliter seperti Hitler di Jerman, Mussoulini di Italia serta berbagai rezim lainnya di Afrika. Kondisi seperti ini seperti menjadi ancaman bagi kelangsungan memproduksi metode ilmu sosial sebab harus memproduksi suatu pengetahuan yang menguntungkan satu rezim. Pada saat inilah muncul ilmu sosial kritis yang tidak hanya mengkritik pada tataran
ideologi namun juga menkritik konfigurasi sistem sosial yang represif.13
Dalam khazanah antropologi, benih-benih kritik internal atau refleksi yang dapat dilihat sebagai upaya resistensi telah muncul terhadap arus besar keilmuan antropologi saat itu. Kritis tersebut mencuat ketika Talal Asad mengeluarkan buku berjudul Antrhropology As Colonial Enceunter. Ia melihat bahwa realitas kebanyakan antropolog masih terharu-haru oleh imajinasi para penjelajah Eropa yang terobsesi
12
Yusron Darmawan, “Resistensi Dalam Kajian Antropologi” artikel diakses pada 27 April 2011 dari
menemukan masyarakat primitif untuk dianilisa dan ditekuk dalam satu kategori.14 Imaji tentang penaklukan, kekuasaan, serta menemukan masyarakat primitif danu eksotik telah membimbing antropolog pada bentuk etnografi. Poin yang dipetik dari Talal Asad adalah mereka para antropolog (ilmuwan sosial) masih terbelunggu dalam dikotomi masyarakat primitif dan modern sehingga seakan-akan terdapat ego bahwa primitif itu adalah barbar dan tak berperadaban.
Berbeda dengan penelitian ilmuwan sosial sebelumnya yang masih cenderung untuk menemukan primitifnya suatu sistem sosial disebuah masyarakat atau kelompok. Lila Abu-Lughod mencoba menggambarkan dalam penilitiannya mengenai resitensi perempuan di sebuah komunitas Bedouin, Gurun Mesir Barat. Penilitian yang bertujuan mendeskripsikan bagaimana kaum yang sering disisihkan (perempuan) melakukan perlawanan terhadap struktur yang ada. Lila mencoba mengangkat bagaimana strategi dan bentuk perlawanan perempuan didalam sebuah struktur budaya yang mengekang hak-hak kaum perempuan.
Dari beberapa fakta yang didapatkannya mengenai bentuk perlawanan perempuan terhadap kuasa laki-laki dalam struktur sosial, ia mengungkapkan bahwa sesungguhnya untuk mempelajari hal tersebut diperlukan interpretasi dalam memotret fenomena sehingga akan membawa kita pada berbagai bentuk relasi di dalam sebuah struktur komunitas yang saling bertalian. Lila juga menganjurkan resistensi sebagai sebuah strategi untuk menganalisa kuasa ( resistance as a diagnostic of power ). Hal
14
tersebut ia dapat setelah terinspirasi dari tulisan Foucault, sesungguhnya dimana ada
kekuasaan disitu terdapat resistensi (where there is power there is resistance).15
Dikalangan ilmuwan sosial, resistensi terkadang dimaksudkan dalam paradigma konflik, padahal keduanya memiliki bentuk yang berbeda. Lazimnya resistensi menjadi titik tengah dari dinamika teori konflik Marxian dan teori konflik Non-Marxian. Jika konflik masih berkuat pada frame teoritis dalam melihat realitas, maka resistansi menekankan pada aspek empiris serta melakukan sensitizing atau
dialog secara kreatif terhadap realitas sosial.16 Inilah yang kemudian menjadi titik
tengah atau jalan keluar dari kecendurungan teori konflik yang lebih melihat persoalan dari atas sehingga sarat dengan adanya. Berdasarkan hal tersebut maka resistensi lebih menekankan pada aspek manusia yang kemudian hal ini selaras dengan lahirnya studi etnografi baru ( new ethography) yang telah mengalami
pergeseran memandang manusia yaitu dari obyek ke subyek.17
Antropolog Cliffort Geertz. Sendiri mengatakan bahwa antropolog tampaknya harus berada ditengah-tengah karena posisinya yang tidak melulu pemikiran teori, melainkan lapangan empiris yang langsung bersumber dari warga masyarakat yang
nyata.18 Hal ini terlihat bagaimana ia melakukan metode etnografi dalam melakukan
studi atas islam mojokuto, Geerzt melakukan partisipasi lapangan dalam kehidupan
15 Lila Abu-Lughod, “The Romance Of Resistance : Tracing Transformation Of Power Through Bedouin
Women.”
16
Yusran Darmawan, “ Resistensi Dalam Kajian Antropologi.”
17
masyarakat di Jawa, ikut merasa, sehingga dapat menggambarkan bagaimana sistem sosial hadir dalam keseharian masyarakat.
Sejarah resistensi memang bermula pada khazanah antropologi karena memang gagasan tersebut berada pada posisi di tengah-tengah antara pemikiran Marxisme dalam antropologi dan pemikiran antropologi simbolik yang lebih berorientasi pada kebudayaan atau yang memiliki sensitivita budaya. Dalam keilmuan sosiologi sepertinya bermula ketika terjadi kritik internal oleh mazhab Frankfurt Jerman, sosiologi dikritik karena saintisme-nya, karena menjadikan metode ilmiah sebagai tujuan itu sendiri,selain itu sosiologi juga dituduh melanggengkan status quo sehingga keilmuan ini tidak mampu menyumbangkan hal-hal bemakna bagi
perubahan politik yang dapat melahirkan “masyarakat yang adil dan manusiawi”.19
Resistensi bermaksud melakukan rekonsiliasi dari dua kutub pemikiran antropologi. Jika jalan tengah itu diterima, maka isu materi yang ada kajian Marx bisa tercemin dalam kajian antropolog yang menganalisis berbagai peristiwa lokalitas.
1. Bentuk Resistensi
James Scott dalam studinya Weapons Of The Weak: Everyday Form Of
Peasant Resistance tentang resistansi petani Malaysia.20 Menurutnya selama ini telah
banyak bermunculan literatur mengenai bentuk-bentuk resistansi yang dipakai oleh petani. Terlebih pada bentuk perlawanan diantara kelompok sosial dalam civil
19
George Ritzer Dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern ( Yogyakarta: Kreasi wacana,2009), h 303.
20
society. Berbeda dengan sebelumnya, Scott mencoba mengobservasi serta mendeskripsikan tentang merasakan serta tingkah laku masyarakat miskin di perkampungan Malaysia yang menjadi sebuah kerangka sosial kehidupan mereka dalam melakukan kegiatan perlawanan. Scott membuat tiga level perbedaan atas resistensi :
a. Ketika tingkat ekonomi makro dan proses perpolitikan diberikan kepada petani namun hal tersebut jauh dari kerangka sosial yang diharapkan oleh para petani.
b. Intervensi pemerintah yang kurang melakukan observasi terhadap kehidupan masyarakat sekitar.
c. Dan yang terakhir, terdiri dari peristiwa lokal dan kondisi perasaan
serta pengalaman dari masing-masing individu.21
Scott mendokumentasikan kehidupan sehari-hari warga dan sejarah mereka dan menunjukkan bagaimana mereka melakukan perlawanan dari campur tangan negara dan agen perusahaan ekonomi. Bentuk-bentuk perlawanan mereka yaitu
teknik rendah diri (low-profile techniques), sebagian bersembunyi dan
menghindar,mengidentifikasikan diri dengan menyeret kaki mereka (foot dragging evasions) dan pasif, dari pada penolakan terbuka atau perlawanan terbuka ( open
rejection or struggle ).22 Meski menurut Scott bentuk-bentuk perlawanan tersebut
21
John Martinussen, Society. State and Market: A guide to competing theories of development, h. 316. 22
kurang efektif, tetapi karena ada satu alasan bagi mereka melakukannya yaitu mereka tidak ingin tergabung kedalam pola produksi kapitalis dan terjebak pada relasi kelas.
Resistensi dalam studi James Scott yaitu fokus pada bentuk-bentuk perlawanan yang sebenarnya ada dan terjadi disekitar kita dalam kehidupan sehari-hari, ia menggambarkan dengan jelas bagaimana bentuk perlawanan kaum minoritas lemah. Mereka yang tidak punya kekuatan dalam melakukan penolakan terbuka ternyata mempunyai cara lain dalam menghindari intervensi dari negara dalam perusahaan.
Menurut Scott terdapat beberapa berbentuk resistensi yaitu:
a. Resistensi tertutup ( simbolis atau ideologis) yaitu
gosip,fitnah,penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat serta penarikan kembali rasa hormat kepada pihak penguasa.
b. Resistensi semi-terbuka (proses sosial atau demostrasi)
c. Resistensi terbuka, merupakan bentuk resistensi yang
terorganisasi,sistematis, dan berprinsip. Manifestasi yang digunakan dalam resistensi adalah cara-cara kekerasan (violent) seperti
pemborantakan.23
Pada akhirnya pendekatan terhadap penelitian level lokal dan bentuk-bentuknya mungkin dapat bernilai dalam memahami dinamika pembangunan.
23
Perlawanan sehari-hari dan bentuknya merupakan gejala yang terjadi disekitar kita, yang kadang sering terlupa bahwa perlawanan atau penolakan akan sesuatu hal tidak harus terbuka, karena memang secara tidak sadar kita melakukan perlawanan secara diam-diam.
1.6. Metodologi Penilitian 1.6.1. Tipe Penelitian
Penelitian ini termasuk tipe penelitian deskriptif, sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini pendekatan kualitatif yang mana pendekatan ini di dalam usaha penelitian, proses, turun ke lapangan, analisis data dan kesimpulan data sampai sampai dengan penulisannya mempergunakan aspek-aspek kecenderungan, non perhitungan numerik, situasional deskriptif, interview mendalam.
Berdasarkan Williams(1988) pendekatan kualitatif terikat dari ikatan konteks dan waktu (idiographic statements), penelitian kulitatif lebih menerjunkan diri dalam riak gelombang gejolak obyek penelitian dan terbenam di dalamnya. Ini agar dia menjadi mengerti, memahami, dan menghayati (verstehen) pada obyek penelitiannya (Tosolve the problem by penetrating the problem). Pendekatan kualitatif selalu on cylus process, kontinyu dan banyak arah, suatu interaksi yang dipetakan dan masing-masing berupa sebab dan akibat sebagai kutub-kutubnya. Proses sebab akibat adalah suatu kelanjutan dari proses sistem model atau paradigma tertentu, melihat segala sesuatu tidak pernah bebas nilai, termasuk si peniliti sendiri yang subyektif.
Sedangkan menurut Masri Singarimbun (1989:45) penelitian diskriptif dimaksudkan untuk dapat memahami dengan cermat fenomena sosial tertentu melihat realitas ganda (majemuk), hasil kontruksi dalam pengertian holistik. Ada subtitusi situasi dan mutual dan tumpang tindih. Penitian ini dimaksudkan untuk memahami dengan cermat terhadap fenomena sosial tentang resistensi pedagang pasar tradisional
terhadap revitalisasi dengan mengambil informan di pasar Babat Kabupaten Lamongan.
1.6.2.Batasan Konsep Penelitian
Pedagang pasar tradisional adalah aktor yang menjajakan dagangan sehari-hari yang menggatungkan pasar sebagai mata pencasehari-harian dalam kelangsungan hidupnya dan memiliki sedikitnya barang dagangan yang menetap secara permanen ataupun semi permanen yang wajib membayar karcis retribusi sebagai akibat menggunakan lahan atau kegiatan jual beli disekitar areal pasar.
Pasar tradisional adalah sebuah pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup, suatu gaya umum dari kegiatan ekonomi yang mencapai segala aspek dalam masyarakat.
Resistensi adalah mekanisme yang dilakukan para pedagang untuk menentang keberadaan pasar yang baru. Meski sudah berdiri, tidak semua “bedhak” pasar baru terisi, hal itu karena pedagang berdagang di luar pasar.
1.6.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kecamatan Babat kabupaten Lamongan yang semula lokasi pasar tradisional tersebut di tengah-tengah kecamatan Babat yang direlokasikan di pinggiran kecamatan Babat yang berada pada jalur arah Surabaya.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dalam penelitian resistensi pedagang pasar tradisional terhadap revitalisasi ini berasal dari dua jenis data, yaitu : data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan menggunakan cara :
Pertama, melakukan wawancara dengan menggunakan seperangkat interview guide untuk mendapatkan gambaran umum tentang pedagang pasar tradisional dipasar Babat Lamongan. Interview guide sebagian besar merupakan pertanyaan yang terbuka sehingga peneliti bebas menggeplore sampai yang terdalam permasalahan yang ditanyakan untuk memperoleh jawaban yang benar-benar merepresentasikan permasalahan penelitian. Interview guide digunakan dalam memahami pola-pola dalam asumsi- asumsi atau preposisi yang berkait dengan karakteristik sosial pedagang pasar tradisional dipasar Babat-Lamongan.
Wawancara secara mendalam dilakukan pada pedagang yang dipilih secara sengaja, yaitu pada strata bidang pekerjaannya sehingga diharapkan mampu mewakili secara lebih luas tentang gambaran kondisi realitas yang nampak maupun tersembunyi dari karakteristik pedagang pasar Babat Lamongan sementara data
sekunder diperoleh dari pihak laporan penelitian, jurnal, artikel, biro pusat statistic (BPS)
1.6.5. Teknik Pemilihan Informan
Teknik pemilihan informan merupakan cara menentukan sampel, yang dalam penelitian kualitatif disebut informan. Dalam penelitian tentang resistensi pedagang pasar tradisional terhadap revitalisasi pasar ini, sumber data primer (informan) diambil dengan menggunakan dua metode. Yaitu, purposive sampling dan snowball
sampling.
Purposive sampling, dilakukan dengan maksud tidak harus mewakili seluruh
populasi. Tetapi, informan yang menjadi sumber data primer, memiliki pengetahuan yang cukup serta mampu menjelaskan keadaan sebenarnya tentang obyek
penelitian.24 Adapun yang ditentukan menjadi sampel (subyek/informan) pada awal
penelitian ini, adalah para pedagang pasar tradisional Babat yang menolak atau melakukan tindakan resistensi terhadap pembangunan atau revitalisasi pasar.
Snowball sampling, adalah teknik pengambilan sampel sumber data yang pada
awalnya jumlahnya sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang lengkap,
maka harus mencari orang lain yang dapat digunakan sebagai sumber data.25 Dengan
demikian dalam penelitian ini menggunakan snowball sampling yang didahului dengan purposive sampling yang ditentukan selaras dengan tujuan studi.
24
Dalam penelitihan ini peneliti mengambil 7 ( Tujuh ) orang informan yang dimana 7 ( Tujuh ) orang tersebut sudah cukup memberikan informasi untuk menjawab permasalahan yang diteliti dalam permasalahan perlawanan pedagang pasar Babat terhadap revitalisasi pasar. Ke 7 ( tujuh ) informan yang diambil adalah pedagang yang sudah turun temurun berdagang di pasar tersebut yang dimana ke 7 ( tujuh ) informan sebagai anggota paguyuban PPTBB ( Persatuan Pedagang Tradisional Babat Bersatu ) dan LPPK ( Lembaga Persatuan Pemburu Korupsi ) dalam permasalahan pasar Babat.
1.6.6. Teknik Analisis Data
Dalam melakukan analisis dalam penelitian ini, ada dua tahap yang dilakukan, yaitu :
Mentraskrip hasil wawancara sesuai interview guide yang mana tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkan pertanyaan yang ada menjadi lebih luas dan lebar guna memperoleh data-data yang lebih akurat dan mampu mengungkap makna dibalik realitas yang diperolehkan. Dari gambaran umum tersebut kemudian dilakukan pemilihan atau klasifikasi, dan diperoleh klasifikasi seperti tindakan apa tindakan resistensi yang dilakukan oleh para pedagang pasar.
Secara rinci beberapa tahap yang dikerjakan dalam analisis kualitatif ini adalah:
Pertama, melakukan open coding, yaitu mengidentifikasi kategori-kategori
dari suatu fenomena, kemudian diberi sebutan atau label. Identifikasi juga dilakukan terhadap atribut misalnya frekuensi, ruang lingkup bahasan, intensitas kajian, lama kegiatan dan dimensi dari masing-masing atribut seperti sering tidaknya, atau luas sempitnya ruang lingkup bahasan.
Kedua, axial coding. Dalam tahap ini, akan dilakukan pengkatagorian
fenomena yang berhasil diungkap dengan menghubung-hubungkan satu sama lain dari fakta-fakta lapangan yang berhasil dikumpulkan.
Ketiga, selective coding, yaitu suatu proses untuk menyeleksi
kategori-kategori guna menemukan kategori-kategori mana yang inti atau sentral, yang secara sistemik
dapat dipakai secara konsepsional untuk merangkai atau mengintegrasikan kategori-kategori lain ke dalam suatu jaringan kisah atau cerita.seluruh data kualitatif yang berhasil di kumpulkan dan kategori ditulis dalam bentuk essay.
Penelitian ini juga mempertimbangkan suatu kriteria tentang persoalan validitasnya. Untuk mencapai maksud tersebut maka digunakan teknik trianggulasi, yaitu, memanfatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data tersebut. Dalam penelitian ini digunakan model trianggulasi Denzin, (1991:178) yang memanfaatkan sumber, metode penyelidikan dan teori.
Trianggulasi penyidikan dengan diskusi-diskusi orang-orang yang ada di luar struktur keluarga. Di samping itu ditelaah penelititian sebelumnya pernah dilakukan di lokasi yang sama dengan masalah yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk mengecek derajat kepercayaan bebeerapa sumber data dari pengamatan lain.
Trianggulasi teori dilakukan dengan mencari tema pembanding setelah menguraikan pola, hubungan dan penjelasan yang muncul dari analisis. Setelah kegiatan trianggulasi ini dilakukan dan diharapkan interpretasi data akan mampu menjawab permasalahan yang ada dan akhirnya kesimpulan yang diperoleh pun akan sesuai dengan tujuan penelitian yang mengarah ke bentuk dan faktor yang melatar belakangi terjadinya resistensi.
BAB II II.1 Gambaran Umum Kabupaten Lamongan
Kabupaten Lamongan adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibu kotanya adalah Lamongan. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Gresik di timur, Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang di selatan, serta Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban di barat. Pusat pemerintahan Kabupaten Lamongan terletak 50 km sebelah barat Kota Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Lamongan merupakan salah satu wilayah yang masuk dalam kawasan metropolitan Surabaya, yaitu Gerbang kertosusila.
Kabupaten Lamongan terdiri atas 27 kecamatan yang terdiri atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Lamongan.
II.2 Sejarah
Nama Lamongan berasal dari nama seorang tokoh pada masa silam. Pada zaman dulu, ada seorang pemuda bernama Hadi, karena mendapatkan pangkat rangga, maka ia disebut Ranggahadi. Ranggahadi kemudian bernama Mbah Lamong, yaitu sebutan yang diberikan oleh rakyat daerah ini. Karena Ranggahadi pandai Ngemong Rakyat, pandai membina daerah dan mahir menyebarkan ajaran agama Islam serta dicintai oleh seluruh rakyatnya, dari asal kata Mbah Lamong inilah kawasan ini lalu disebut Lamongan.
Adapun yang menobatkan Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan yang pertama, tidak lain adalah Kanjeng Sunan Giri IV yang bergelar Sunan Prapen. Wisuda tersebut bertepatan dengan hari pasamuan agung yang diselenggarakan di Puri Kasunanan Giri di Gresik, yang dihadiri oleh para pembesar yang sudah masuk agama Islam dan para Sentana Agung Kasunanan Giri. Pelaksanaan Pasamuan Agung tersebut bertepatan dengan peringatan Hari Besar Islam yaitu Idhul Adha tanggal 10 Dzulhijjah.
Berbeda dengan daerah-daerah Kabupaten lain khususnya di Jawa Timur yang kebanyakan mengambil sumber dari sesuatu prasasti, atau dari suatu Candi dan dari peninggalan sejarah yang lain, tetapi hari lahir lamongan mengambil sumber dari buku wasiat. Silsilah Kanjeng Sunan Giri yang ditulis tangan dalam huruf Jawa Kuno/Lama yang disimpan oleh Juru Kunci Makam Giri di Gresik. Almarhum Bapak Muhammad Baddawi di dalam buku tersebut ditulis, bahwa diwisudanya Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan dilakukan dalam pasamuan agung di Tahun 976 H. Yang ditulis dalam buku wasiat tersebut memang hanya tahunnya saja, sedangkan tanggal, hari dan bulannya tidak dituliskan.
Oleh karena itu, maka Panitia Khusus Penggali Hari Jadi Lamongan mencari pembuktian sebagai dasar yang kuat guna mencari dan menetapkan tanggal, hari dan bulannya. Setelah Panitia menelusuri buku sejarah, terutama yang bersangkutan dengan Kasunanan Giri, serta Sejarah para wali dan adat istiadat di waktu itu, akhirnya Panitia menemukan bukti, bahwa adat atau tradisi kuno yang berlaku pada
zaman Kasunanan Giri dan Kerajaan Islam di Jawa waktu itu, selalu melaksanakan pasamuan agung yang utama dengan memanggil menghadap para Adipati, Tumenggung serta para pembesar lainnya yang sudah memeluk agama Islam. Pasamuan Agung tersebut dilaksanakan bersamaan dengan Hari Peringatan Islam tanggal 10 Dzulhijjah yang disebut Garebeg Besar atau Idhul Adha.
Berdasarkan adat yang berlaku pada saat itu, maka Panitia menetapkan wisuda Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan yang pertama dilakukan dalam pasamuan agung Garebeg Besar pada tanggal 10 Dzulhijjah Tahun 976 Hijriyah. Selanjutnya Panitia menelusuri jalannya tarikh hijriyah dipadukan dengan jalannya tarikh masehi, dengan berpedoman tanggal 1 Muharam Tahun 1 Hijriyah jatuh pada tanggal 16 Juni 622 Masehi, akhirnya Panitia Menemukan bahwa tanggal 10 Dzulhijjah 976 H., itu jatuh pada Hari Kamis Pahing tanggal 26 Mei 1569 M.
Dengan demikian jelas bahwa perkembangan daerah Lamongan sampai akhirnya menjadi wilayah Kabupaten Lamongan, sepenuhnya berlangsung pada zaman keislaman dengan Kasultanan Pajang sebagai pusat pemerintahan. Tetapi yang bertindak meningkatkan Kranggan Lamongan menjadi Kabupaten Lamongan serta yang mengangkat/mewisuda Surajaya menjadi Adipati Lamongan yang pertama bukanlah Sultan Pajang, melainkan Kanjeng Sunan Giri IV. Hal itu disebabkan Kanjeng Sunan Giri prihatin terhadap Kasultanan Pajang yang selalu resah dan situasi pemerintahan yang kurang mantap. Disamping itu Kanjeng Sunan Giri juga merasa
prihatin dengan adanya ancaman dan ulah para pedagang asing dari Eropa yaitu orang Portugis yang ingin menguasai Nusantara khususnya Pulau Jawa.
Tumenggung Surajaya adalah Hadi yang berasal dari dusun Cancing yang sekarang termasuk wilayah Desa Sendangrejo Kecamatan Ngimbang Kabupaten Lamongan. Sejak masih muda Hadi sudah nyuwito di Kasunanan Giri dan menjadi seorang santri yang dikasihi oleh Kanjeng Sunan Giri karena sifatnya yang baik, pemuda yang trampil, cakap dan cepat menguasai ajaran agama Islam serta seluk beluk pemerintahan. Disebabkan pertimbangan itu akhirnya Sunan Giri menunjuk Hadi untuk melaksanakan perintah menyebarkan Agama Islam dan sekaligus mengatur pemerintahan dan kehidupan Rakyat di Kawasan yang terletak di sebelah barat Kasunanan Giri yang bernama Kenduruan. Untuk melaksanakan tugas berat tersebut Sunan Giri memberikan Pangkat Rangga kepada Hadi.
Ringkasnya sejarah, Rangga Hadi dengan segenap pengikutnya dengan naik perahu melalui Kali Lamong, akhirnya dapat menemukan tempat yang bernama Kenduruan itu. Adapu kawasan yang disebut Kenduruan tersebut sampai sekarang masih ada dan tetap bernama Kenduruan, berstatus Kampung di Kelurahan Sidokumpul wilayah Kecamatan Lamongan.
Di daerah baru tersebut ternyata semua usaha dan rencana Rangga Hadi dapat berjalan dengan mudah dan lancar, terutama di dalam usaha menyebarkan agama Islam, mengatur pemerintahan dan kehidupan masyarakat. Pesantren untuk menyebar Agama Islam peninggalan Rangga Hadi sampai sekarang masih ada.
II.3 Kondisi geografis dan demografis
Secara geografis Kabupaten Lamongan terletak pada 6o51' - 7o23' Lintang
Selatan dan 112o33' - 112o34 Bujur Timur. Kabupaten Lamongan memiliki luas
wilayah kurang lebih 1.812,8 km2 atau ±3.78% dari luas wilayah Provinsi Jawa
Timur. Dengan panjang garis pantai sepanjang 47 km, maka wilayah perairan laut
Kabupaten Lamongan adalah seluas 902,4 km2, apabila dihitung 12 mil dari
permukaan laut.
Daratan Kabupaten Lamongan dibelah oleh Sungai Bengawan Solo, dan secara garis besar daratannya di”bedhak”an menjadi 3 karakteristik yaitu:
1. Bagian Tengah Selatan merupakan daratan rendah yang relatif agak subur yang membentang dari Kecamatan Kedungpring, Babat, Sukodadi, Pucuk, Sekaran, Lamongan, Deket, Tikung, Sugio, Maduran, Sarirejo dan Kembangbahu.
2. Bagian Selatan dan Utara merupakan pegunungan kapur berbatu-batu dengankesuburan sedang. Kawasan ini terdiri dari Kecamatan Mantup, Sambeng,Ngimbang, Bluluk, Sukorame, Modo, Brondong, Paciran, dan Solokuro.
3. Bagian Tengah Utara merupakan daerah Bonorowo yang merupakan daerah rawan banjir.Kawasan ini meliputi kecamatan Sekaran, Laren, Karanggeneng, Kalitengah, Turi, Karangbinagun, Glagah.