1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan investasi sumberdaya manusia untuk menciptakan negara yang maju dan modern.Dengan pendidikan dapat diciptakan generasi bangsa yang berwawasan luas dan mampu berkontribusi bagi kemajuan bangsa.Kemajuan suatu bangsa sudah tentu bergantung pada kualitas sumberdaya manusianya yang mana itu merupakan roda penggerak pembangunan.
Secara garis besar, kebijakan-kebijakan desentralisasi pendidikan yang antara lain termuat dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang menyebut kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pendidikan, mengingat bahwa sistem pendidikan nasional yang kuat bertolak dari pendidikan daerah yang lebih otonom. Menuju pendidikan di daerah yang lebih otonom, inilah yang sedang diupayakan melalui desentralisasi pendidikan. Tentu saja tidak semua daerah mempunyai kesiapan yang sama, karena mempunyai latar belakang dan kemampuan yang berbeda.
Menurut Suryadi ( 2004 ), desentralisasi sektor pendidikan dibedakan menjadi tiga hal. Pertama, desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan adalah delegasi kewenangan dalam pengelolaan dan pelayanan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan lagi dalam pelaksanaan pelayanan tetapi lebih berperan dalam menetapkan kebijakan nasional dan standar pelayanan pendidikan. Kedua, desentralisasi pada satuan pendidikan adalah melaksanakan sistem pendidikan yang lebih menekankan penyelenggaraan di luar mekanisme pemerintahan. Ketiga, otonomi pada tingkat individual, di luar mekanisme pemerintahan, dan satuan pendidikan yang bersifat institusional, serta keberhasilan dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan terletak pada tingkat individual, seperti pada guru, kepada sekolah, serta tenaga-tenaga teknis kependidikan.
Penetapan kebijakan Otonomi Daerah pada tahun 1999, yang di atur dalam UU No.22 yang kemudian diperbaruhi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang
2 pemerintah daerah telah membawa implikasi yang luas dalam sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan yang selama Orde Lama dan Orde Baru yang bersifat sentralisasi mengalami reformasi menjadi sistem pemerintahan yang bersifat desentralisasi. Desentralisasi kebijakan membuat pemerintah daerah mendapat peluang lebih besar untuk dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya atas dasar prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi manyarakat dan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, hal ini juga merupakan tantangan bagi daerah tersebut untuk dapat mandiri dalam pelaksanaan pembangunanan di daerahnya.Sebuah tantangan apakah daerah tersebut siap untuk diserahi tugas sebagai pusat pertumbuhan, penggerak pembangunan, pusat informasi serta pemerataan pembangunan.
Penetapan UU No. 33 tahun 2004 yang menyertai UU No. 32 tahun 2004 merupakan undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kedua Undang-Undang inilah menjadi landasan bagi pemerintah daerah untuk dapat menyelenggarakan ‘ rumahtangganya’ sendiri secara bertanggung jawab. Desentralisasi fiscal telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola keuangannya sendiri baik dari segi pendapatan maupun pengeluaran, peluang ini harus dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh aparat pemerintah daerah agar mandiri.Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor pelayananan dasar yang mengalami dekonsentrasi. Secara eksplisit dinyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan kota meliputi : pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, pertanian, perhubungan, perdagangan dan industri, penanaman modal, lingkungan hidup, penerangan, agama dan pertanahan ( UU N0.32 tahun 2004 ), UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, menyebutkan mengenai pembiayaan pendidikan di Indonesia yang tertuang pada pasal 49 ayat ( 1 ) “ dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara ( APBN ) dan anggaran pendapatan belanja daerah ( APBD )”. Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa sebagian besar kewenangan disektor pendidikan baik dasar maupun pendidikan tingkat menengah dan tinggi telah diserahkan ke tingkat daerah
3 yaitu pemerintah Kabupaten/ Kota ( Pemkab/ Pemkot ) artinya kemajuan pendidikan nasional di masa mendatang sangat bergantung dari perhatian pemerintah Kabupaten/ Kota terhadap sektor pendidikan di daerah masing-masing. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan di suatu daerah, selain besarnya dana yang dianggarkan untuk sektor pendidikan salah satu aspek yang sangat penting adalah SDM baik berupa tenaga pendidik, pengelola maupun pihak stakeholders/ swasta, serta para pimpinan sekolah, dan para ketua yayasan. Semua pihak ini harus menyamakan persepsi bahwa dana sebesar 20 % dari APBN dan APBD tersebut memang untuk pembiayaan peserta didik agar bisa maju dan berkembang.
Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang mendapatkan status otonomi khusus di Indonesia. Sejak diberlakukannya otonomi khusus, pemerintah Provinsi Aceh mulai memberikan perhatian bagi pengembangan pendidikan di Provinsi Aceh. Hal ini dapat diketahui dari berbagai program yang dilaksanakan seperti penambahan sekolah dan gedung sekolah ( jumlah sekolah menurut tingkatan sekolah di Provinsi Aceh dapat dilihat pada Tabel 1.1 ), bantuan bagi anak yatim, peningkatan kualitas tenaga pendidik dan pengiriman putra-putri Aceh untuk belajar di luar negeri.
Tabel 1.1 Jumlah Sekolah ( Negeri dan Swasta ) menurut Tingkat Sekolah di Provinsi Aceh Tahun Ajaran 2006/2007 sampai dengan T.A 2010/2011
Sekolah Tahun Ajaran
2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010 2010/2011 SDN 3140 3145 3674 3140 3191 SDS 119 133 120 136 132 SMPN 528 571 571 692 728 SMPS 105 103 103 135 157 SMUN 226 289 263 273 304 SMUS 107 220 111 93 96 SMKN 53 65 55 78 86 SMKS 54 32 55 34 45 Jumlah 4332 4558 4952 4581 4739
4 Pemerintah Provinsi Aceh dalam visi dan misi Pemerintah Aceh tahun 2005-2025 yaitu untuk menciptakan masyarakat Aceh yang lebih islami, maju, damai dan sejahtera sebagaimana tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maju yang dimaksud adalah kondisi masyarakat Aceh yang memiliki berbagai keunggulan di segala bidang dan berperadaban tinggi sehingga mampu bersaing di tingkat nasional dan internasional. Kondisi ini dicerminkan dengan meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, mantapnya ekonomi, kelembagaan, pranata-pranata dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan sosial dan politik .
Dinas Pendidikan Provinsi Aceh mempunyai Visi dan Misi untuk yaitu Mewujudkan dan Mengembangkan Pendidikan yang berkualitas dan sesuai dengan budaya dan nilai-nilai Aceh.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan laporan Lembaga Perlindungan Anak ( LPA ) Provinsi Aceh jumlah anak putus sekolah di Aceh pada tahun 2010 mencapai 161751 siswa. Angka putus sekolah yang sangat tinggi ini menunjukkan masih rendahnya kualitas pendidikan di Provinsi Aceh disamping itu dapat juga disebabkan oleh masih lemahnya mekanisme pemberian dan pemerataan bantuan terhadap masyarakat yang kurang mampu.Konflik bersenjata yang berkepanjangan, bencana alam gempa bumi dan tsunami di masa lalu juga berperan bagi tingginya angka putus sekolah karena waktu itu banyak sekolah yang rusak dan hancur, anak-anak berhenti bersekolah karena terpaksa mengungsi. Sebagian besar anak-anak itu tidak melanjutkan sekolah lagi setelah kondisi normal dan kembali dari pengungsian karena disebabkan oleh berbagai faktor seperti ketiadaan biaya dan malu karena faktor usia.
Publikasi data dari Badan Pusat Statistik Indonesia untuk nilai indeks kualitas sumberdaya manusia pada tahun 2010, Provinsi Aceh menempati ke 2 terbawah diantara provinsi-provinsi di Pulau Sumatera dan secara nasional indeks kualitas sumberdaya manusia Provinsi Aceh masih berada dibawah rata-rata. Dapat
5 disimpulkan jika peran serta pemerintah daerah Propinsi Aceh untuk memajukan kualitas sumberdaya manusia didaerah belumlah maksimal, diharapkan ada solusi-solusi tertentu dalam sektor pendidikan agar dapat meningkatkan sumberdaya manusia secara berkelanjutan.
Pengalokasian APBD untuk sektor pendidikan sepenuhnya berada ditangan pemerintah daerah.Namun, masih banyak pemerintah daerah yang mengalakosikan anggaran untuk pendidikan tidak sesuai dengan ketetapan pemerintah pusat.Kuncoro dalam buku Ekonomi Pembangunan II, secara tersirat mengemukakan bahwa pembiayaan yang dialokasikan untuk sektor pendidikan haruslah sesuai dengan kemampuan daerah, pemerintah tidak dapat memaksakan alokasi yang tinggi untuk sektor pendidikan dan mengabaikan pembangunan di sektor lainnnya. Selain masih kurangnya dana APBD yang dialokasikan, masalah dalam pembiayaan pendidikan lainnya yaitu tidak tepatnya sasaran pengalokasian anggaran pendidikan. Dana yang seharusnya diperuntukan untuk mengurangi beban penduduk miskin, tidak gunakan sebagaimana mestinya dan bahkan rawan akan penyalahgunaan. Mengacu pada permasalahan yang ada pada penelitian ini maka dapat dirumuskan permasalah penelitian, yaitu sebagai berikut:
1. Rendahnnya alokasi APBD untuk pembiayaan pendidikan menjadi masalah utama pembangunan pendidikan di Provinsi Aceh.
2. Mekanisme pemberian dan pemerataan bantuan kepada masyarakat miskin masih lemah.
6 1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang berjudul “Kajian Pemanfaatan APBD untuk sektor pendidikan Di Propinsi Aceh” ini adalah:
1. Mengetahui dinamika pembiayaan dana APBD untuk sektor pendidikan Propinsi Aceh pada kurun waktu tahun 2007-2011. 2. Mengetahui alokasi pembiayaan dana APBD di Dinas Pendidikan
Provinsi Aceh.
3. Mengetahui hubungan antara jumlah sekolah dan jumlah murid serta jumlah penduduk miskin dengan besaran bantuan operasional sekolah ke tingkat sekolah.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Sebagai bahan masukan, sumbangan pemikirian bagi pemerintah Indonesia dan pemerintah Aceh pada khususnya dalam upayanya untuk mengelola kegiatan pendidikan agar menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
2. Salah satu pertimbangan dalam menentukan kebijakan pengelolaan keuangan daerah terutama untuk sektor pendidikan.
1.5 Tinjauan Pustaka A. Ilmu Geografi
Geografi merupakan studi yang mengkaji mengenai persamaan dan perbedaan fenomena-fenomena geosfera yang meliputi atmosfer, lithosfer, hidrosfer, biosfer dan antrofosfer. Bintarto ( 1983 ) menyatakan bahwa ilmu geografi sebagai ilmu murni ataupun ilmu terapan mempunyai kaitan yang erat dengan adanya tindakan pembangunan dan perkembangan suatu wilayah. Keberadaan ilmu geografi mampu
7 mengidentifikasi berbagai masalah yang berhubungan dengan fenomena yang terjadi di permukaan bumi.
Menurut Hagget ( 1972 ) dalam studi geografi Terpadu ( intergrated
geography ) terdapat tiga pendekatan, yaitu: ( 1 ) pendekatan spatial ( spatial approach ), ( 2 ) pendekatan ekologi ( ecological approach ), dan ( 3 ) pendekatan
kompleks wilayah ( regional complex approach ). Secara rinci Yunus ( 2005 ) menjelaskan ketiga pendekatan tersebut sebagai berikut:
Ad. 1. Pendekatan Spasial
Pendekatan spasial adalah suatu metode yang mempelajari fenomena geosfera dengan menggunakan ruang sebagai media untuk analisis.Dimensi keruangan yang dimunculkan lebih menonjolkan sebaran, pola, struktur, organisasi, proses, tendensi, asosiasi, interaksi elemen-elemen geosfera dalam suatu hamparan bidang permukaan bumi, sehingga penekanan analisis adalah perbandingan kekhasan variasi lokalisasi ruang.
Ad. 2. Pendekatan ekologi
Pendekatan ekologi memberikan penekanan pada elaborasi secara intens tentang keterkaitan elemen-elemen lingkungan dengan makhluk hidup atau aspek-aspek kehidupannya. Oleh karena itu manusia menjadi focus of analysis yang menekankan manusia sebagai makhluk berbudaya ( human oriented discipline ) dan berbagai aspek kehidupannya seperti tingkah laku, persepsi dan kegiatannya.
Pendekatan ekologi memiliki beberapa tema yang dikembangkan yaitu ( 1 ) keterkaitan antara manusia ( behaviour, perception ) dengan elemen lingkungan, ( 2 ) keterkaitan antara kegiatan manusia dengan elemen lingkungan, ( 3 ) keterkaitan antara physic-artifisial features dengan elemen-elemen lingkungan, dan ( 4 )
8 keterkaitan antara physic-natural features dengan elemen-elemen lingkungan.
Ad. 3. Pendekatan kompleks wilayah
Pendekatan kompleks wilayah dikembangkan sebagai bentuk penggabungan dari pendekatan spasial dan pendekatan ekologi.Pendekatan ini didasarkan pada pemahaman yang mendalam mengenai keberadaan suatu wilayah sebagai suatu sistem, di mana di dalamnya terdapat banyak sekai subsistem dan didalamnya terdapat banyak sekali elemen-elemen wilayah yang saling terkait.
Penelitian mengenai alokasi APBD untuk sektor pendidikan ini, menggunakan pendekatan spasial. Adapun tujuannya yaitu untuk mengetahui kecenderungan ( trend ) dan fenomena pembiayaan pendidikan di Provinsi Aceh dalam kurun waktu lima tahun. Selain itu penulis juga bermaksud untuk mengetahui alokasi APBD untuk sektor pendidikan di tingkat Kabupaten/ Kota berkaitan dengan faktor-faktor regional yang ada di masing-masing kabupaten/ kota tersebut.
B. APBD
Anggaran pendapatan belanja daerah ( APBD ) menurut definisi dalam Wikipedia merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang di bahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRDdan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD oleh pemerintah daerah digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan aktivitas pengeluaran dana masyarakat dalam melakukan pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Komponen APBD tersusun dalam suatu struktur APBD. Struktur APBD diklasifikasikan menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi yang bertanggung jawab melaksanakan urusan pemerintahan sesuai dengan peraturan
9 perundang-undangan. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan ( Irwan Taufiq Ritonga, 2009 ).
C. Komponen Penyusun APBD
Pendapatan pemerintah daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerahmaupun bendahara penerimaan, yang menambah ekuitas dana merupakan hak pemerintah daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah daerah. Pendapatan pemerintah daerah dirinci menurut urusan pemerintah daerah, organisasi, kelompok, jenis, objek dan rincian objek pendapatan. Sumber pendanaan APBD berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.( Irwan Taufiq Ritonga, 2009 ).
1. Pendapatan Asli daerah
Pendapatan asli daerah adalah semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan asli daerah terdiri dari: a. Pajak Daerah yaitu penerimaan pemerintah daerah yang berasal
dari pungutan pajak daerah. Jenis pendapatan daerah dirinci menurut objek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan restribusi daerah. Pajak daerah terdiri dari pajak daerah pemerintah provinsi dan pajak daerah pemerintah kabupaten/kota..
b. Restribusi daerahyaitu penerimaan pemerintah daerah yang berasal dari restribusi daerah. Jenis restribusi daerah dirinci menurut objek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak dan retribusi daerah.
c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yaitu penerimaan daerah yang berasal dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
10 2. Dana Perimbangan
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan anggaran pendapatan pendapatan dan belanja negara (APBN ) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Kelompok dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas:
a. Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari penerimaan anggaran pendapatan dan belanja negara yang dialokasikan kepada daerah sebagai bagian bagi hasil pajak dan bukan pajak.
b. Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari penerimaan anggaran pendapatan dan belanja negara yang dialokasikan kepada daerah dalam bentuk block grant yang pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah.
c. Dana alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari penerimaan anggaran pendapatan dan belanja negara yang dialokasikan kepada daerah yang pemanfaatannya untuk suatu tujuan tertentu/ khusus.
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
Lain-lain pendapatan daerah yang sah merupakan penerimaan lain-lain yang bukan berasal dari klasifikasi Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Rubenstein ( 2003 ) mengungkapkan bahwa kualitas pendidikan di suatu daerah dapat di ukur berdasarkan 2 faktor yaitu:
1. Banyaknya jumlah sekolah, dengan asumsi bahwa walaupun sekolah tersebut miskin tetapi selama murid masih tertarik untuk bersekolah maka hal tersebut mengindikasikan bahwa minat murid untuk belajar sesuatu. 2. Literacy rate, atau jumlah penduduk yang dapat baca tulis dari total
seluruh jumlah penduduk yang ada. Di negara-negara maju Literacy rate mencapai hingga 95 %.
11 Ketersediaan fasilitas pelayanan baik fisik maupun non fisik sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan di suatu daerah, dalam bidang fisik seperti ketersediaan sarana standart dalam pembangunan gedung pendidikan maupun sarana laboratorium, juga bidang non fisik seperti besar adanya bantuan biaya pendidikan.
Lutfi Muta’ali( 2000 ) menjelaskan tentang metode pengklasifikasian ketersediaan fasilitas pelayanan, yaitu sebagai berikut:
1. Ketersediaan pelayanan ( Avaibility Service ) yaitu dengan
mengukur ada atau tidaknya fasilitas pelayanan. Apabila fasilitas pelayanan tersedia diberi nilai 1 ( satu ) dan jika fasilitas pelayanan tidak tersedia maka diberi nilai 0 ( nol ).
2. Tingkat ketersediaan ( Size of Avaibility ) yaitu dengan mengukur
jumlah unit suatu fasilitas pelayanan yang tersedia. Metode yang sering digunakan adalah dengan Skalogram. Dengan Skalogram dapat dikelompokkan kecamatan-kecamatan ( membuat hirarki ) berdasarkan total bobot fasilitas pelayanan yang dimiliki masing-masing kecamatan.
3. Fungsi pelayanan atau daya layan ( Fungsi of availability ), dengan
cara membandingkan antara ketersediaan fasilitas pelayanan dan variabel pembangunan misalnya besarnya pengguna actual, penggunaan potensial, pendudukan keseluruhan dan dengan pembanding standar. Pengguna potensial adalah jumlah penduduk di Kabupaten/ Kota yang termasuk dalam kelompok usia sekolah pada tingkat sekolah tertentu. Pengguna actual merupakan jumlah yang termasuk aktif dalam pemanfaatan fasilitas pendidikan. Evaluasi daya layan fasilitas pendidikan pada penelitian ini akan menggunakan perbandingan ketersediaan fasilitas dengan pengguna actual. Standar efisiensi penggunaan ruang kelas berdasarkan tingkatan sekolah dapat di lihat pada tabel berikut.
12 Tabel 1.2 Standar Efisiensi Penggunaan Ruang Kelas Menurut Tingkatannya
No Tingkatan Sekolah Daya tamping ruang kelas
1 Sekolah Dasar ( SD ) 30-40 murid
2 Sekolah Menengah Pertama ( SMP )
30-40 murid
3 Sekolah Menengah Atas ( SMA ) 30-40 murid Sumber :Undang-undang N0 129a tahun 2004
Otonomi daerah menurut undang-undang no 32 tahun 2004 adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 14 disebutkan salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota adalah penyelenggaraan pendidikan. Pemberian kewenangan ini dapat diartikan bahwa kemajuan pendidikan nasional di masa mendatang sangat bergantung dari perhatian pemerintah Kabupaten/ Kota terhadap sektor pendidikan di daerah masing-masing.
Di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah mulai sadar tentang pendidikan sebagai investasi jangka panjang, oleh karena itu pemerintah daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan alokasi APBD untuk sektor ini. UU No 23 tahun 2003 telah mencoba memberikan besaran ideal yang diperlukan untuk alokasi pembangunan pendidikan yaitu 20 % dari total APBD diluar dana untuk pembayaran gaji guru dan biaya perjalalan dinas. Kecukupan dana pembangunan pendidikan juga dipengaruhi oleh banyak faktor, selain pendapatan perkapita faktor-faktor regional seperti perlengkapan sarana dan prasarana hingga jumlah penduduk.
Semakin besarnya pengalokasian dana APBD untuk sektor pendidikan juga di arahkan untuk mensukseskan program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah. Untuk mensukseskan program tersebut pemerintah mengalokasikan dana bantuan operarional sekolah ( BOS ) yang
13 dikelola oleh pemerintah Provinsi dan di salurkan langsung ke sekolah-sekolah
1.6 Penelitian Sebelumnya NO Judul
Penelitian dan Nama Peneliti
Tujuan Metode Data Hasil
1 Alokasi pembiayaan sektor pendidikan dari APBD Kota Malang 2003 – 2007 ( Achmad Maulana M J 2009 ) Mengetahui alokasi APBD dalam kurun waktu 2003-2007 Mengatahui Pemanfaatan APBD untuk pembiayaan sektor pendidikan di Kota Malang Mengetahui pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap APBD Analisis Data sekunder dengan analisis LQ, Shift share, Uji beda dan korelasi APBD Peningkatan APBD menyebabkan peningkatan Pembiayaan pada sektor pendidikan. Kebijakan berpengaruh terhadap perkembangan alokasi pendidikan 2 Alokasi APBD untuk pembiayaan sektor pendidikan di Kota Yogyakarta Mengetahui alokasi APBD untuk pembiayaan sektor pendidikan Kota Yogyakarta pada kurun waktu tahun 2002-2006 Mengetahui pemanfaatan APBD untuk pembiayaan sektor pendidikan di Dinas Analisis deskriptif Analisis data sekunder dengan uji korelasi APBD Pembiayaan pendidikan yang semakin meningkat Semakin rendahnya kesejahteraan masyarakat di kecamatan menunjukkan disitribusi Pembiayaan BBOSN yang lebih besar
14 Pendidikan Kota Yogyakarta Mengetahui distribusi bantuan biaya operasional pendidikan ke tingkat sekolah ( SD, SMP dan SMS sederajat yang berasal dari APBD menurut kecamatan di Kota Yogyakarta 3 Dinamikan pembiayaan sektor pendidikan antar propinsi di Indonesia ( M. Yusuf Perdana, 2008 ) Mengetahui dinamika pembiayaan sektor pendidikan antar provinsi di Indonesia tahun 1994-2000 Mengetahui sebaran keruangan pembiayaan Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya pembiayaan pendidikan di Indonesia Analisis data sekunder dengan analisis uji beda dan korelasi APBD Dinamika mengalami peningkatan dari tahun 1994-2000, faktor yang memiliki kaitan erat dengan pembiayaan sektor pendidikan adalah potensi dan permasalahan pendidikan
15 1.7 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana alokasi pembiayaan APBD Provinsi Aceh untuk sektor pendidikan pada kurun waktu tahun 2007-2011?
2. Bagaimana pemanfaatan pembiayaan APBD untuk sektor pendidikan di dinas pendidikan Provinsi Aceh?
3. Bagaimana hubungan antara jumlah sekolah, jumlah murid serta jumlah penduduk miskin dengan besaran dana bantuan operasional sekolah ( BOS ) yang diterima oleh masing-masing kabupaten/ kota ?