• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2020"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

SOSIODEMOGRAFIS DAN INFESTASI PARASIT

PADA KELOMPOK TERNAK SAPI DI KECAMATAN RENDANG,

KARANGASEM BALI

Damriyasa, I M., A. A. G. Arjana dan N.S Dharmawan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

(2)

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data sosisodemografis dan infestasi parasit pada beberapa kelompok ternak sapi di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem Bali. Data ini sangat dibutuhkanbdalam menyususn model pencegahan dan pengendalian penyakit parasiter yang efektif, murah dan ramah lingkungan berbasis partisipasi masyarakat melalui pembinaan kelompok ternak. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, penyakit parasiter masih merupakan kendala utama dalam meningkatkan produktivitas ternak khususnya sapi. Hasil penelitian memiliki dampak langsung pada peningkatan produktivitas ternak sehingga dapat meningkatkan pendapatan peternak.

Penelitian ini dilakukan di empat kelompok ternak sapi di Desa Pempatan, Kecamatan Rendang. Status sosial ekonomi serta tingkat kesejahteraan anggota empat kelompok ternak binaan yang masih rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan program untuk meningkatkan produktivitas ternak pada kelompok ternak binaan tersebut. Karena ternak sapi merupakan satu satunya peternakan yang sangat potensial untuk menunjang perekonomian masyarakat di wilayah tersebut karena didukung oleh ketersediaan pakan ternak yang terdapat di lereng Gunung Agung. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas ternak sapi adalah tingginya infeksi penyakit parasit pada ternak.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari pengambilan data melalui kuisioner serta pemeriksaan laboratorium ditemukan bahwa status sosial ekonomi anggota kelompok ternak binaan masih rendah sehingga tingkat kesejahteraannya juga rendah. Peternakan sapi merupakan satu satunya penunjang perekonomian kelompok ternak binaan di Kabupaten Karangasem. Sedangkan prevalensi penyakit parasit saluran pencernaan pada kelompok ternak binaan cukup tinggi.

(3)

LATAR BELAKANG

Pemenuhan kebutuhan protein hewani yang bersumber dari daging sapi di Indonesia masih merupakan masalah serius, sehingga Indonesia masih melakukan upaya impor daging sapi. Indonesia memiliki berbagai berbagai jenis sapi yang sangat potensial untuk dikembangkan. Salah satunya adalah sapi bali yang memiliki daya adaptasi yang cukup tinggi. Kebutuhan daging di Indonesia terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran protein hewani. Pada tahun 2012 kebutuhan daging diperkirakan mencapai 490.000 ton, dan yang bisa dipenuhi oleh produksi ternak di dalam negeri hanya berkisar 82%, sedangkan sisanya dari impor. Pada tahun 2014 diharapkan impor daging tidak lebih dari 10% dari kebutuhan daging nasional. Ini artinya 90% produksi daging harus dapat dipenuhi dari produksi ternak di dalam negeri. Untuk mencapai ini diperlukan peningkatan produktivitas ternak yang salah satunya adalah dengan melakukan pembinaan pada kelompok kelompok ternak.

Sapi Bali merupakan salah satu jenis ternak potong asli Indonesia yang sudah beradaptasi dengan lingkungan di daerah tropis. Hal ini tercermin dari tingginya tingkat reproduksi dan sifat yang tidak terlalu selektif terhadap pakan yang tersedia, sehingga sapi Bali sangat berpotensi untuk ditingkatkan produktivitasnya. Populasi sapi bali di Bali selama lima tahun terakhir sekitar 600 – 700 ribu ekor. Salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan populasi adalah ketersediaan bibit sapi bali yang berkualitas masih kurang. Kondisi ini sangat menghambat peningkatan produksi ternak dalam upaya memenuhi swasembada daging tahun 2014. Oleh karena itu perlu upaya-upaya yang lebih riil dalam meningkatkan populasi ternak yang salah satunya adalah menyediakan bibit ternak dengan kualitas yang baik..

(4)

Salah satu contoh penyakit cacingan pada sapi adalah Penyakit cacing hati (fascioliasis/distomatosis) yang merupakan penyakit yang berlangsung akut, subakut, atau kronik, disebabkan oleh trematoda genus Fasciola, Fascioloides, dan Dicrocoelium (Kaufmann,1997). Pada tahun 1991 pernah dilaporkan bahwa kerugian ekonomi akibat penyakit ini diperkirakan sekitar 500 milyar setiap tahun (Anonymous, 1990). Kerugian tersebut akibat kerusakan hati yang harus diafkir, pertumbuhan terhambat serta kerugian lainnya. Prevalensi fasciolosis pada sapi pernah dilaporkan mencapai 90% ( Suhardono et al., 1991)

Dwinata et al., (2009) melaporkan hasil pemeriksaan koproskopis pada sapi di Kelompok ternak Kerta Nandini Kabupaten Badung ditemukan 87% sapi yang dipelihara terinfeksi oleh cacing. Kondisi yang sama dapat diasumsikan terjadi juga pada kelompok ternak lainnya di Bali. Dari uraian diatas maka untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh penyakit parasit pada sapi, maka strategis yang tepat dan efisien serta ramah lingkungan sangat mendesak perlu dilakukan.

Strategi dengan obat cacing (deworming) telah banyak dilakukan dan hasilnya cukup memuaskan terutama pada ternak yang digembalakan (Williams et al, 1986). Misalnya dengan pemberian salah satu obat cacing seperti Moxidectin yang merupakan generasi kedua dari komponen endectocide yang sangat potensial membunuh endo dan ektoparasit pada sapi (Hubert et al., 1995; Morin et al., 1996; Chick et al., 1993). Pengendalian dengan obat-obatan kimiawi telah berhasil dilakukan dalam beberapa dekade, namun belakangan ini diketahui dapat menyebabkan evolusi parasit tertentu. Situasi ini menyebabkan fokus perhatian pengendalian tidak terlalu optimistis dengan penggunaan obat-obatan kimia. Banyak dilaporkan adanya resistensi parasit tertentu (Nematoda and Arthropoda) terhadap obat obatan kimia akibat penggunaan yang kurang tepat. Penggunaan obat-obatan kimia secara masif dan kurang tepat juga dapat

(5)

menyebabkan kerusakan lingkungan karena membunuh ornasime yang bukan menjadi target (non-target organisms). Penggunaan obat antiparasit kimiawi yang kurang tepat juga dapat menyebabkan penurunan kualitas pupuk kandang serta mempengaruhi ekosistem mikroorganisme pada kotoran sapi. Hal ini juga mempengaruhi ekosistem serangga yang siklus hidupnya memerlukan kotoran sapi (Barth, 1993; Halley et al., 1989; Herd, 1995; Lumaret et al., 1993; McKellar 1992; Wall and Strong 1987; Wrdhaugh et al., 1998; Wardhaugh et al., 2001).

Infeksi cacing pada saluran pencernaan sapi merupakan salah satu penyakit infeksius yang bersifat subklinis (tanpa menunjukkan gejala klinis yang menciri) dan menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi, seperti yang pernah dilaporkan di Belanda secara ekonomi pernah dianalisis oleh Gross et al., (1999) bahwa kerugian ekonomi yang hanya disebabkan oleh infeksi cacing nematoda mencapai 90 juta Euro per tahun. Kerugian ini akibat penurunan berat badan atau terhambatnya pertumbuhan serta faktor pencetus terjangkitnya penyakit infeksius lainnya yang disebabkan oleh virus maupun bakteri.

Peternakan sapi di lokasi kelompok ternak sapi binaan di Kabupaten Karangasem merupakan salah satu ternak yang sangat potensial ditingkatkan produktivitasnya, karena didukung dengan ketersediaan pakan sapi yang berlimpah dan berkelanjutan dengan memanfaatkan lereng gunung sebagai tempat tanam rumput gajah. Dengan meningkatkan produktivitas tentunya akan dapatmeningkatkan penghasilan dan pendapatan peternak. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data sosisodemografis dan infestasi parasit padabeberapa kelompok ternak sapi di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem Bali.

(6)

METODE PENELITIAN Penentuan Kelompok Ternak Sapi

Sasaran adalah kelompok ternak sapi di beberapa kecamatan di kabupaten Karangasem Bali. Sebelum dilakukan penentuan kelompok ternak sapi dilakukan penentuan lokasi. Kelompok ternak sapi binaan akan dipilih 4 kelompok ternak dengan persyaratan kelompok sebagai berikut: a). kelompok peternak aktif yang terdaftar di Dinas Peternakan Kabupaten/Kota , b). jumlah anggota minimum 40 orang, c) tidak bermasalah baik dengan perbankan maupun sumber permodalan lainnya, dan d) bersedia menjadi kelompok ternak binaan.

Untuk menentukan kelompok ternak sapi, dari 542 kelompok ternak sapi yang tersebar di 7 Kecamatan di Kabupaten Karangasem dikunjungi secara acak ke masing-masing kecamatan dengan jumlah kelompok ternak sapi di masing-masing-masing-masing kecamatan sebanyak 2 sampai 3 kelompok ternak. Kunjungan ke masing-masing kelompok ternak bersama dengan petugas Bidang Produksi Ternak dari Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. Dalam kunjungan tersebut dilakukan wawancara dengan ketua kelompok ternak untuk mengetahui profil kelompok ternak serta potensi untuk dilakukan program pembinaan dalam meningkatkan produktivitas yang didukung oleh potensi pakan ternak yang bisa menunjang kelangsungan kelompok ternak tersebut.

Secara acak dikunjungi 18 kelompok ternak yang tersebar di 7 kecamatan di Kabupaten Karangasem. Kunjungan ke masing masing kelompok ternak diawali pada bulan April 2015. Berdasarkan hasil kunjungan dan dilakukan diskusi dengan bidang

(7)

produksi Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem, maka diputuskan 4 kelompok ternak dilakukan di dua kelompok ternak sapi yaitu; 1). Kelompok Ternak Sapi Wana Merta, 2). Kelompok Ternak Sapi Dukuh Sari, 3). Kelompok Ternak Sapi Arta Wiguna dan 4). Kelompok Ternak Sapi Margi Lestari

Keempat kelompok ternak sapi tersebut berada di Banjar Keladian, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang. Kelompok ternak tersebut berlokasi di lereng selatan Gunung Agung yang didukung oleh ketersedian pakan (rumput gajah) yang sangan memedai.

Survei Penyakit Parasit

Kegiatan ini diawali dengan pertemuan di masing-masing kelompok ternak sapi untuk mendapatkan data karakteristik manajemen peternakan pada kelompok ternak dan anggota kelompok. Selanjutnya dilakukan kunjungan ke masing-masing anggota untuk pengambilan sampel darah dan tinja. Sampel darah dan tinja kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium di Laboratorium Center for Studies on Animal Diseases (CSAD) FKH Unud.

Dalam penelitian tahun pertama dilakukan survei penyakit parasiter pada sapi yang ada pada kelompok ternak binaan. Survei penyakit parasiter dilakukan secara langsung dengan pemeriksaan koproskopis terhadap parasit yang menginfeksi saluran pencernaan.

Pemeriksaan koproskopis dilakukan dengan pemeriksaan keberadaan stadium tertentu dari parasit yang berada dalam saluran pencernaan melalui pemeriksaan feses. Feses sapi diambil secara langsung pada rektum kemudian ditampung dalam kontainer feses yang tanpa pengawet dan dengan pengawet Sodium Acid Formaldehyde (SAF). Sampel feses tanpa pengawet disimpan di lemari es sebelum dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium secara keseluruhan yang dilakukan seperti tabel berikut:

(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelompok Ternak Sapi

Kabupaten Karangasem merupakan salah satu kabupaten di Bali yang sangat potensial dikembangkan ternak sapi. Di wilayah Kabupaten Karangasem terdapat 592 kelompok ternak yang sebagian besar merupakan Kelompok ternak sapi, selain itu terdapat kelompok ternak babi, kelompok ternak itik dan kelompok ternak ayam. Dari 592 kelompok ternak tersebut 524 (88,51%) merupakan kelompok ternak sapi yang tersebar di 7 Kecamatan (Gambar1).

Gambar 1. Sebaran Kelompok Ternak Sapi di 7 Kecamatan di Kabupaten Karangasem

Kelompok ternak sapi Wana Merta terdiri dari 20 anggota dengan populasi sapi 183 ekor, kelompok ternak sapi Dukuh Sari terdiri dari 20 anggota dengan populasi sapi sebanyak 167 ekor, Kelompok ternak Arta Wiguna terdiri dari 20 anggota dengan populasi

18 92 108 64 98 103 41

(9)

sapi sebesar 166 ekor, dan Kelompok ternak Margi Lestari terdiri dari 17 anggota dengan populasi sebesar 128 ekor yang terdiri dari sapi induk, penggemukan dan pedet. Sapi di keempat kelompok ternak sapi tersebut dilakukan pemeriksaan kondisi tubuh masing-masing sapi serta pendataan data sapi dan data peternak yang merupakan faktor risiko penyakit parasiter. Data kondisi ternak dan faktor risiko diperoleh dengan menggunakan kwisioner.

Rata-rata kepemilikan ternak pada masing masing anggota kelompok ternak adalah sebanyak 8 ekor per anggota, yang secara rinci rata rata kepemilikan sapi disajikan pada gambar 2 berikut:

Gambar 2. Rata-rata kepemilikan ternak pada masing-masing kelompok ternak binaan

Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa keempat kelompok ternak binaan ini mempunyai potensi pengembangan karena didukung oleh keberadaan pakan yang memadai. Di samping itu kelompok ternak binaan memanfaatkan lereng gunung sebagai

10.75

5.76 6.35 6.5

(10)

lahan rumput gajah. Pemanfaatan ini selain untuk peternakan juga bermanfaat dalam mencegah terjadinya erosi.

Sosio-demografi Kelompok Ternak Binaan

Indikator sosio-demografis kelompok ternak binaan pada program ini berdasarkan penghasilan per bulan, kondisi rumah, kepemilikan barang seperti alat transportasi, tingkat pendidikan kepala rumah tangga maupun anak.

Dari data rata rata penghasilan per bulan yang diperoleh menunjukkan bahwa rata rata penghasilan per bulan dari anggota kelompok tani ternak adalah Rp. 1.032.467. Rata-rata penghasilan masing-masing kelompok tani ternak disajikan pada gambar 3.

Gambar 3. Rata-rata penghasilan perbulan pada kelompok tani ternak

Dari data penghasilan per bulan menunjukkan bahwa kondisi ekonomi peternak masih relatif rendah, oleh karena itu perlu dilakukan pembinaan agar terjadi peningkatan pendapatan peternak melalui peningkatan produktivitas ternak sapi yang dipelihara. Rendahnya pendapatan peternak sangat terkait dengan tingkat pendidikan dari peternak tersebut. Tingkat pendidikan peternak sebagian besar masih rendah yaitu Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, seperti tersaji pada gambar 4.

845000

582352.94

1185000

1450000

(11)

Gambar 4. Tingkat pendidikan anggota kelompok tani ternak

Dari data tersebut menunjukkan bahwa hanya 6,5% anggota kelompok tani ternak memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan tidak ada anggota kelompok tani ternak yang memiliki tingkat pendidikan perguruan tinggi. Perbedaan tingkat pendidikan untuk masing-masing kelompok tani ternak secara statistik berbeda signifikan, seperti tersaji pada gambar 5.

0 70 30 0 Tidak Sekolah SD SMP SMA 0 10 20 30 40 50 60 70 80

ARTA WIGUNA MARGI LESTARI WANA MERTA DUKUH SARI Tidak Sekolah SD

(12)

Tingkat pendidikan anak dari anggota kelompok ternak binaan 50,6% Dekolah Dasar, 24,7% Sekolah Menengah Pertama, 22,1% Sekolah Menengah Atas dan masih ada 2,6% tidak sekolah. Perbedaan tingkat pendidikan anak pada masing-masing kelompok ternak binaan tersaji pada gambar 6.

Gambar 6. Perbedaan tingkat pendidikan anak masing-masing kelompok ternak.

Hampir seluruh (98,7%) anggota kelompok ternak merupakan petani, dan hanya satu anggota kelompok ternak memiliki kerja sampingan sebagai wiraswasta. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan para anggota kelompok ternak di wilayah ini tergantung pada sektor pertanian yaitu sektor peternakan. Ternak sapi merupakan satu satunya penopang perekonomian di wilayah ini. Hal ini ditunjukkan dari 77 anggota kelompok ternak, 75 (97,4%) menyatakan bahwa ternak sapi yang dipelihara sanat mendukung kebutuhan keluarga seperti biaya sekolah anak, upacara adat serta kepentingan lainnya.

Kondisi rumah kelompok ternak binaan diukur berdasarkan lantai rumah. Lantai rumah diklasifikasikan menjadi tiga yaitu lantai tanah, lantai semen dan lantai keramik. Derajat kualitas lantai tersebut dapat dipakai indikator derajat ekonomi anggota kelompok

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Tidak Sekolah SD SMP SMA

(13)

ternak. Sebagian besar (70,1%) anggota kelompok ternak binaan memiliki rumah dengan lantai semen, sedangkan yang memiliki lantai keramik sebanyak 20,8%, dan masih ada sebanyak 9,1% anggota kelompok ternak binaan tinggal di rumah dengan lantai tanah. Perbedaan jenis lantai rumah pada masing-masing kelompok ternak binaan disajikan pada gambar 7.

Gambar 7. Perbedaan lantai rumah pada masing-masing kelompok ternak.

Kepemilikan alat transportasi dapat juga digunakan sebagai salah satu indikator status ekonomi masyarakat. Alat transportasi yang dimiliki oleh kelompok ternak binaan sebagian besar (84,4%) adalah sepeda motor, 2,6% anggota kelompok ternak memiliki sarana transportasi mobil, dan 13% anggota kelompok ternak binaan memiliki sepeda motor dan mobil.

Dari data sosio-demografis anggota kelompok ternak binaan pada program ini menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi yang masih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat pendidikan yang sebagian besar sekolah dasar dengan penghasilan yang rendah. Ditinjau dari potensi pengembangan peternakan sapi bali di wilayah kelompok ternak

0 20 40 60 80 100 120 ARTA WIGUNA MARGI LESTARI WANA MERTA DUKUH SARI KERAMIK SEMEN TANAH

(14)

binaan maka peternakan sapi akan mampu meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah tersebut.

Terkait dengan pengembangan ternak sapi pada kelompok ternak binaan tersebut telah mendapat perhatian dari berbagai instansi baik pemerintah maupun suasta. Dari empat kelompok ternak binaan tersebut dua kelompok ternak sudah pernah mendapat bantuan. Bantuan tersebut diberikan dalam bentuk bibit ternak maupun bantuan lainnya. Pada program ini akan dilakukan program pembinaan dan pendampingan dalam meningkatkan produktivitas melalui pemberantasan penyakit parasit.

Karakteristik Peternakan Sapi Kelompok Ternak Sapi

Berdasarkan data yang diperoleh dari karakteristik peternakan sapi kelompok ternak binaan menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan tradisional. Selain memelihara sapi juga memelihara aneka ternak lainnya. Lebih dari setelah (59,7%) anggota kelompok ternak binaan selain memelihara sapi juga memelihara ternak lainnya.

Peternakan sapi di kelompok ternak binaan ini sangat didukung oleh ketersediaan pakan berupa rumput gajah yang ditanam dan tumbuh subur di lereng gunung agung. Sebagian besar (76%) anggota kelompok ternak binaan menyatakan bahwa ketersediaan pakan di wilayahnya sangat mencukupi (Gambar 8).

(15)

Selain rumput gajah sebagai pakan utama, peternak juga menggunakan pakan tambahan berupa konsentrat maupun pakan tambahan lainnya. Namun tidak semua anggota kelompok ternak menyatakan bahwa mereka menggunakan pakan tambahan. Sebagian (50,6%) menyatakan menggunakan pakan tambahan dan sisanya 49,4% menyatakan bahwa mereka tidak menggunakan pakan tambahan. Keragaman penggunaan pakan tambahan tersaji pada gambar 9.

Gambar 9. Keragaman penggunaan pakan tambahan pada kelompok ternak binaan

Sapi yang dipelihara oleh kelompok ternak binaan 36,4% diperoleh di pasar hewan, 39% menyatakan bahwa dari ternak sendiri dan 24,7% menyatakan bahwa sapi yang dipelihara dari peternakan sendiri dan pasar.

Survei Penyakit Parasiter

Data yang terkait dengan penyakit parasiter pada sapi diperoleh melalui kuisioner, terutama pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit parasiter. Penyakit parasiter yang umum diketahui masyarakat adalah kecacingan. Hanya 27,3% anggota kelompok ternak binaan mengetahui bahwa kecacingan juga terjadi pada ternak. Tetapi apakah ternak sapi juga terinfeksi oelh cacing, 100% menyatakan tidak tahu tentang kecacingan dan

YA 0 20 40 60 80 100 YA TIDAK

(16)

diberikan pemahaman terutama bahaya penyakit parasiter pada sapi. Selain masalah penyakit parasiter, penyakit lainnya juga merupakan maslah pada ternak di kelompok ternak binaan tersebut. Hampir semua (98,7%) anggota kelompok ternak binaan yang mengalami masalah kesehatan ternaknya melapor pada petugas peternakan.

Penyakit pada ternak tidak hanya berdampak pada kesehatan ternak, juga beberapa penyakit pada ternak dapat menular ke manusia yaitu bersifat zoonosis. Salah satu penyakit zoonosis yang dapat ditularkan melalui daging sapi adalah penyakit cacing pita pada manusia. Dalam siklus hidup dan penularan ke manusia sangat didukung oleh faktor sanitasi. Data yang dieproleh pada penelitian ini 98,7% anggota kelompok ternak binaan tidak memiliki jamban. Kondisi seperti ini sangat potensial terjadinya penyebaran penyakit zoonosis tersebut.

Infeksi Parasit Gastrointestinal

Hasil pemeriksaan laboratorium secara koproskopis, 78,9 % sapi yang dipelihara pada kelompok ternak binaan terinfeksi oleh cacing pada saluran pencernaanya. Dari hasil pemeriksaan mikroskopis ditemukan adanya telur cacing Fasciola spp, Paramphistomum spp, Trichuris spp dan Toxocara vitulorum. Di samping itu ditemukan juga ookista Eimeria spp., dengan prevalensi berturut turut 42%, 36%, 24%, 40% dan 77%. Keragaman prevalensi pada masing-masing kelompok ternak binaan tersaji pada gambar 10.

(17)

Gambar 10. Prevalensi parasit gastrointestinal pada sapi di masing-masing kelompok

ternak binaan

Dari data di atas menunjukkan bahwa prevalensi parasit saluran pencernaan pada sapi di masing-masing kelompok ternak binaan cukup tinggi. Parasit tersebut sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas ternak

Berdasarkan temuan infeksi parasit pada penelitian tahun pertama, yang didukung dari data-data yang diperoleh melalui kuissioner diantaranya rendahnya pemahaman terhadap kerugian infeksi parasite pada ternak serta data sosio-demografis yang ditandai dengan rendahnya pendidikan peternak, tingkat kesejahteraan yang rendah. Tahun kedua dilakukan program pembinaan dan pendampingan s terutama dalam pemberantasan penyakit parasite pada sapi.

Data sosio-demografis menunjukkan bahwa kondisi ekonomi peternak masih relatif rendah, oleh karena itu perlu dilakukan pembinaan agar terjadi peningkatan pendapatan peternak melalui peningkatan produktivitas ternak sapi yang dipelihara. Hampir seluruh

0 20 40 60 80 100 FASCIOLA PARAMPHISTOMUM TRICHURIS TOXOCARA EIMERIA DUKUH SARI WANA MERTA MARGI LESTARI ARTA WIGUNA

(18)

anggota kelompok ternak adalah petani. Sehingga kehidupan para anggota kelompok ternak di wilayah ini tergantung pada sektor pertanian yaitu sektor peternakan. Ternak sapi merupakan satu satunya penopang perekonomian di wilayah ini. Hal ini ditunjukkan dari pernyataan peternak bahwa ternak sapi yang dipelihara sangat mendukung kebutuhan keluarga seperti biaya sekolah anak, upacara adat serta kepentingan lainnya.

Tingkat pendidikan yang sebagian besar sekolah dasar dengan penghasilan yang rendah. Ditinjau dari potensi pengembangan peternakan sapi bali di wilayah kelompok ternak binaan maka peternakan sapi akan mampu meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah tersebut.

Data karakteristik peternakan sapi kelompok ternak binaan menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan ternak secara tradisional. Selain memelihara sapi juga memelihara aneka ternak lainnya. Peternakan sapi di kelompok ternak binaan ini sangat didukung oleh ketersediaan pakan berupa rumput gajah yang ditanam dan tumbuh subur di lereng gunung Agung. Selain rumput gajah sebagai pakan utama, peternak juga menggunakan pakan tambahan berupa konsentrat maupun pakan tambahan lainnya.

Prevalensi infeksi cacing gastrointestinal pada ternak sapi kelompok binaan masih cukup tinggi. Parasit tersebut sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas ternak. Uji serologis dengan menggunakan metoda ELISA, 8% sapi terdeteksi adanya antibodi (IgG) terhadap Neospora caninum. Infeksi Neospora pada sapi menyebabkan kerugian ekonomi, karena mengalami gangguan reproduksi termasuk keguguran. Sapi yang terinfeksi neospora mengalami penurunan efisiensi reproduksi, produksi susu berkurang, berat badan menurun, (Baszler, 2003 ).

Dari hasil yang disajikan diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurangi dampak ekonomi akibat penyakit parasit pada sapi terutama pada peternakan tradisional sangat mendesak dilakukan program pengendalian penyakit tersebut. Dalam program

(19)

pengendalian penyakit tersebut juga harus menjadi perhatian dampak negatif seperti resistensi dan kerusakan ekosistem mikroorganisme yang ditimbulkan akibat penggunaan obat obatan kimia yang kurang tepat. Oleh karena strategi pengendalian yang tepat untuk wilayah Indonesia adalah pengendalian yang selektif, aman dan efisien berbasis pemeriksaan laboratorium melalui pembinaan kelompok ternak.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 1990. Data ekonomi akibat penyakit. Direktorat jenderal Peternakan, Jakarta. Barr, B. C., J. P. Dubey, D. S. Lindsay, J. P. Reynolds, and S. J. Wells. 1998.Neosporosis:

its prevalence and economic impact. Comp. Cont. Edu. Pract.Vet. 20:1–16. Barth D., 1993: Importance of the methodology in the interpretation of factors affecting

degradation of dung, Vet. Parasitol. 48. 99-108.

Bisset SA, Morris CA, McEwan JC, Vlassoff A: 2001. Breeding sheep in New Zealand that are less reliant on anthelmintics to maintain health and productivity. N Z Vet J, 49:236-246.

Chick B, McDonald D, Cobb R, Kieran PJ, Wood I. 1993. The efficacy of injectable and pour-on formulations of moxidectin against lice on cattle. Aust Vet J. Jun;70(6):212–213.

Damriyasa IM., N.S. Dharmawan, Ibk Ardana, A.A.S Kenderan, 2004. Pemberantasan Ekto Dan Endoparasit Pada Babi Untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak Rakyat Di Desa Bebandem Karangasem. Udayana Mengabdi 3 (1) P. 7-8

Damriyasa, IM., Schares G. And C. Bauer (2010) Seroprevalence of Antibodies to Neospora Caninum In Bos Javanicus (Bali Cattle) From Indonesia. Trop. Anim. Health Prod. 42: 95-98

Dharmawan, N.S., A.A.S. Kenderan, I.B.K. Ardana, I G. Mahardika, N. Sulabda And I M. Damriyasa. (2009). Studies On The Hematology Status Of Bali Cattle In Bali. Proc. International Conference On Biotechnology, Bali, September, 15-16, 2009. Dharmawan, N.S., I M. Damriyasa, I N. Kapti, P. Sutisna, M. Okamoto And A. Ito.

(2009). Experimental Infection Of Taenia Saginata Eggs In Bali Cattle: Distribution And Density Of Cysticercus Bovis. Jurnal Veteriner 10 No. 4;178-183

Dwinata I M, I B M Oka dan I M. Damriyasa. 2009; Pemberantasan Penyakit Parasiter Berbasis Pemeriksaan Koproskopis Pada Kelompok Ternak Sapi Kerta Nandini Desa Petang. Laporan Pengabdian Penerapan Iptek

Gross SJ, Ryan WG, Ploeger HW (1999): Anthelmintic treatment of dairy cows and its effect on milk production. Vet Rec, 144:581-587.

Halley B.A., Nessel R.J., Lu A.Y.H., 1989: Environmental aspects of ivermectin usage in livestock: general considerations, in: CampbellW.C. (Ed.), Ivermectin and Abamectin, Springer Verlag, New York, , pp. 162-172

Herd R. 1995: Endectocidal drugs: ecological risks and counter-measures, Int. J. Parasitol. 25 875-885.

(21)

Hubert J, Kerboeuf D, Cardinaud B, Blond F. 1995. Persistent efficacy of moxidectin against Dictyocaulus viviparus and Ostertagia ostertagi in cattle. Vet Rec. Mar 4;136(9):223–224.

Kendran A. A. S., I M Damriyasa, N S Dharmawan, I B K Ardana, L D Anggreni (2012). Profil Kimia Klinik Darah Sapi Bali. Veteriner Vol. 13 No. 4; 410-415

Ketzis JK, Vercruysse J, Stromberg BE, Larsen M, Athanasiadou S, Houdijk JG: 2006. Evaluation of efficacy expectations for novel and non-chemical helminth control strategies in ruminants. Vet Parasitol, 139:321-35.

Le Jambre L.F., RoyalW.M.,MartinP.J.: 1979. The inheritance of thiabendazole resistance in Haemonchus contortus, Parasitology 78. 107-119.

Lumaret J.-P., Galante E., Lumbreras C., Mena C.,BertrandM., Bernal J.L.,Cooper J.-F., Kadiri N., Crowe D., 1993: Field effects of antiparasitic drug ivermectin residues on dung beetles, J. Appl. Ecol. 30 428-436.

McCracken D.I., 1993: The potential for avermectins to affect wildlife, Vet. Parasitol. 48 273-280.

Morin D, Valdez R, Lichtensteiger C, Paul A, DiPietro J, Guerino F. 1996. Efficacy of moxidectin 0.5% pour-on against naturally acquired nematode infections in cattle. Vet Parasitol. Oct 15;65(1-2):75–81.

Reichel, M. P. 2000. Neospora caninum infections in Australia and New Zealand. Aust. Vet. J. 78:258–261.

Sangster N.C., Redwin J.M., Bjørn H.: 1998. Inheritance of levamisole and benzimidazole resistance in an isolate of Haemonchus contortus, Int.J. Parasitol. 28 503-510. Stear MJ, Doligalska M, Donskow-Schmelter K: 2007. Alternatives to anthelmintics for

the control of nematodes in livestock. Parasitology, 134:139-151.

Suhardono, S. Widjajanti, P. Stevenson and I.H. Carmichael. 1991. Control of Fasciola gigantica with triclabendazole in Indonesia cattle. Trop. Anim. Health and Production, 23: 217 – 220.

Wall R., Strong L., 1987: Environmental consequences of treating cattle with antiparasitic drug ivermectin, Nature 327. 418-421.

Wardhaugh K.G., Longstaff B.C., Lacey M.J., 1998: Effects of residues of deltamethrin in cattle faeces on the development and survival of three species of dung-breeding insects, Aust. Vet. J. 76. 273-280.

Wardhaugh K.G., Longstaff B.C.,MortonR., 2001: A comparison of the evelopment and survival of the dung beetle, Onthophagus taurus (Schreb.) when fed on the faeces of cattle treated with pour-on formulations of prinomectin or moxidectin,Vet. Parasitol. 99. 155-168.

(22)

Williams JC, Corwin RM, Craig TM, Wescott RB. 1986.Control strategies for nematodiasis in cattle. Vet Clin North Am Food Anim Pract. Jul;2(2):247–260. Anziani, O. S., Zimmermann, G., Guglielmone, A. A., Vazquez,R. and Suarez, V. 2001.

Avermectin resistance in Cooperia pectinatain cattle in Argentina. Vet. Rec.149: 58–59.

Bailey, W. S. 1949. Studies on calves experimentally infected with Cooperia punctata(v. Linstow, 1907) Ransom, 1907. Am. J. Vet. Res.10: 119–129.

Coles, G. C., Stafford, K. A. and MacKay, P. H. S. 1998. Ivermectin-resistant Cooperia species from calves on a farm in Somerset. Vet. Rec.142: 255–256.

Demeler, J., Küttler, U. and von Samson-Himmelstjerna, G. 2010. Adaptation and evaluation of three different in vitrotests for the detection of resistance to anthelmintics in gastro intesti-nal nematodes of cattle. Vet. Parasitol.170: 61–70. Demeler, J., Kleinschmidt, N., Küttler, U., Koopmann, R. and von Samson-Himmelstjerna,

G. 2012. Evaluation of the egg hatch assay and the larval migration inhibition assay to detect anthelmintic resistance in cattle parasitic nematodes on farms. Parasitol. Int.61: 614-618.

Demeler, J., Van Zeveren, A. M. J., Kleinschmidt, N., Ver-cruysse, J., Höglund, J., Koopmann, R., Cabaret, J., Claerebout, E., Areskog, M. and von Samson-Himmelstjerna,G. 2009. Monitoring the efficacy of ivermectin and albendazole against gastro intestinal nematodes of cattle in Northern Europe. Vet. Parasitol.160: 109–115.

Demeler, J., Küttler, U., El-Abdellati, A., Stafford, K., Rydzik, A., Varady, M., Kenyon, F., Coles, G., Höglund, J., Jackson, F., Vercruysse, J. and von Samson-Himmelstjerna, G. 2010. Stan-dardization of the larval migration inhibition test for the detec-tion of resistanceto ivermectin in gastro intestinal nematodes of ruminants. Vet. Parasitol.174: 58–64.

Gambar

Gambar 1. Sebaran Kelompok Ternak Sapi di 7 Kecamatan   di Kabupaten Karangasem
Gambar 2. Rata-rata kepemilikan ternak pada masing-masing kelompok ternak binaan
Gambar 3. Rata-rata penghasilan perbulan pada kelompok tani ternak
Gambar 4. Tingkat pendidikan anggota kelompok tani ternak
+6

Referensi

Dokumen terkait

Akhir kata, penulis berharap bahwa laporan Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bisa memperkaya ilmu pengetahuan, terutama untuk rekan-rekan mahasiswa

menafsirkan grafik gerak kecepatan tetap untuk mendapatkan kecepatan/ kelajuan, posisi awal, dan jarak/perpind ahan suatu benda melalui kegiatan diskusi kelompok

Disimpulkan bahwa secara in vitro ekstrak daun wudani berkhasiat sebagai anthelmintik yang memiliki efek ovisidal sehingga dapat dikembangkan penggunaanya untuk pengendalian

Dilatar belakangi oleh hal-hal yang telah disampaikan di atas, untuk mengkaji ulang sekaligus mengembangkan penelitian yang telah dilakukan oleh Alfa Anindita,

Hal ini diharapkan dapat berdampak pada penerimaan produk cookies fungsional berbasis tepung ikan gabus dengan fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn, yang memiliki nilai

Kebiasaan membolos yang sering dilakukan oleh siswa tentu akan berdampak negatif pada dirinya, misalnya dihukum, diskorsing, tidak dapat mengikuti ujian, bahkan bisa dikeluarkan

Teknik analisis data yang digunakkan adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan tiga tahap yaitu 1) mengoreksi hasil tes,

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN BERBASIS ALAT PERAGA MAKET KUDA-KUDA SISTEM BONGKAR PASANG PADA MATA KULIAH KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG III.. Skripsi, Surakarta: