• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Bar-On mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Bar-On mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian kecerdasan emosional

Bar-On mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (dalam Goleman, 2000).

Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional lebih kepada kemampuan mental daripada kompetensi sosial dalam arti luas. Kecerdasan emosional didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengerti emosi, menggunakan dan memanfaatkan emosi untuk membantu pikiran, mengenal emosi dan maknanya, dan untuk mengarahkan emosi secara reflektif sehinga menuju pada perkembangan emosi dan intelektual (dalam Prawitasari, 1998).

Patton (1998) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mencapai suatu tujuan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Cooper & Sawaf (1998), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk mengindera, memahami dan secara efektif menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi (dalam Yudiani, 2005)

(2)

Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta mampu untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik serta untuk memimpin.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan atau mengelola emosi baik pada diri sendiri maupun ketika berhadapan dengan orang lain, dan menggunakannya secara efektif untuk memotivasi diri dan bertahan pada tekanan, serta mengendalikan diri untuk mencapai hubungan yang produktif.

2. Komponen-komponen kecerdasan emosional

Bar-On (dalam Goleman, 2000) menjabarkan kecerdasan emosional menjadi lima kemampuan pokok yaitu :

a. Kemampuan intrapersonal, meliputi : 1. Kesadaran diri emosional

Yaitu kemampuan untuk mengakui atau mengenal perasaan diri, memahami hal yang sedang dirasakan dan mengetahui penyebabnya

2. Asertivitas

(3)

a. kemampuan untuk mengungkapkan perasaan

b. kemampuan mengungkapkan keyakinan dan gagasan secara terbuka c. kemampuan mempertahankan kebenaran dengan cara yang tidak

destruktif 3. Harga diri

Yaitu kemampuan menghargai dan menerima diri sendiri sebagai sesuatu yang baik, atau kemampuan mensyukuri berbagai aspek positif dan kemampuan yang ada dan juga menerima aspek negatif dan keterbatasan yang ada pada diri dan tetap menyukai diri sendiri

4. Aktualisasi diri

Yaitu kemampuan menyadari kapasitas potensial yang dimiliki. Aktualisasi diri adalah suatu proses dinamis dengan tujuan mengembangkan kemampuan dan bakat secara maksimal

5. Kemandirian

Yaitu kemampuan mengatur atau mengarahkan diri dan mengendalikan diri dalam berfikir dan bertindak serta tidak tergantung pada orang lain secara emosional

b. Kemampuan interpersonal, meliputi : 1. Empati

Yaitu kemampuan menyadari, memahami, menghargai perasaan orang lain dan juga kemampuan untuk peka terhadap perasaan dan pikiran orang lain

(4)

2. Hubungan interpersonal

Yaitu kemampuan menjalin dan mempertahankan hubungan yang saling memuaskan yang dicirikan dengan keakraban serta memberi dan menerima kasih sayang

3. Tanggungjawab sosial

Yaitu kemampuan menunjukkan diri sendiri dengan bekerjasama, serta berpartisipasi dalam kelompok sosialnya. Komponen-komponen kecerdasan emosional ini meliputi bertindak secara bertanggungjawab, meskipun tidak mendapatkan keuntungan apapun secara pribadi

c. Penyesuaian diri, meliputi : 1. Pemecahan masalah

Yaitu kemampun mengenali masalah serta menghasilkan dan melaksanakan solusi yang secara potensial efektif. Kemampuan ini juga berkaitan dengan keinginan untuk melakukan yang terbaik dan tidak menghindari masalah tetapi dapat menghadapi masalah dengan baik

2. Uji realitas

Yaitu kemampuan menilai kesesuaian antara apa yang dialami atau dirasakan dan kenyataan yang ada secara objektif dan sebagaimana adanya bukan sebagaimana yang diinginkan atau diharapkan

3. Fleksibilitas

Yaitu kemampuan mengatur emosi, pikiran dan tingkah laku untuk mengubah situasi dan kondisi sikap fleksibilitas ini juga mencakup seluruh

(5)

kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak terduga dinamis

d. Penanganan stres, meliputi : 1. Ketahanan menanggung stres

Yaitu kemampuan menahan peristiwa yang tidak menyenangkan dan situasi stres dan dengan aktif serta sungguh-sungguh mengatasi stres tersebut. Ketahanan menanggung stres ini berkaitan dengan kemampuan untuk tetap tenang dan sabar

2. Pengendalian impuls

Yaitu kemampuan menahan dan menunda gerak hati, dorongan dan godaan untuk bertindak

e. Suasana hati, meliputi : 1. Kebahagiaan

Yaitu kemampuan untuk merasa puas dengan kehidupan, menikmati kebersamaan dengan orang lain dan bersenang-senang

2. Optimisme

Yaitu kemampuan untuk melihat sisi terang dalam hidup dan membangun sikap positif sekalipun dihadapkan dengan kesulitan. Optimisme mengasumsikan adanya harapan dalam menghadapi kesulitan

(6)

Goleman (2001) membagi kecerdasan emosi atas lima komponen, yang dapat menjadi pedoman untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

a. Kesadaran diri

Kesadaran diri adalah kemampuan dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kesadaran diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul pemahaman tentang diri sendiri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri dikuasai oleh perasaan, sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya dan akhirnya berakibat dalam pengambilan keputusan yang salah. Kesadaran diri terdiri atas tiga kecakapan yaitu kesadaran emosional, penilaian diri secara akurat, dan percaya diri.

b. Pengaturan diri

Pengaturan diri berarti pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan, agar dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang merugikan diri sendiri. Pengaturan diri terdiri atas lima kecakapan, yaitu pengendalian diri, dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovasi.

(7)

c. Motivasi

Dengan kemampuan memotivasi diri sendiri yang dimilikinya, seseorang akan cenderung memiliki pandangan positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.

d. Empati

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi diri sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia terampil membaca emosi orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

e. Keterampilan sosial

Keterampilan sosial merupakan seni dalam membina hubungan dengan orang lain yang mendukung keberhasilan dalam bergaul dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Keterampilan sosial yaitu mengendalikan emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi, berinteraksi dengan lancar, memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional terdiri dari lima komponen yaitu kemampuan intrapersonal, kemampuan interpersonal, penyesuaian diri, penanganan stres dan suasana hati.

(8)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional

Menurut Goleman (dalam Ifham, 2002) terdapat dua faktor yanng mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:

1. Faktor internal, merupakan faktor yang timbul dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang. Otak emosional dipengaruhi oleh amygdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prrefrontal dan hal-hal yang berada pada otak emosional.

2. Faktor eksternal, merupakan faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.

B. Perilaku Delinkuen

1. Pengertian perilaku delinkuen

Menurut Kartono, (2006) delinkuen mengacu pada suatu bentuk perilaku menyimpang yang merupakan hasil dari pergolakan mental serta emosi yang sangat labil. Menurut Santrock (1998) perilaku delinkuen merupakan masalah perilaku yang luas mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (acting out in school), status offenses (running away), sampai pada perbuatan kriminal (pencurian).

(9)

a. Index offenses, adalah perbuatan kriminal yang dilakukan oleh remaja ataupun orang dewasa, seperti pencurian, penyerangan, perkosaan dan pembunuhan.

b. Status offenses, perbuatan seperti lari dari rumah (running away), bolos, meminim minuman keras, pelacuran dan perbuatan yang tidak terkontrol yang merupakan masalah yang tidak terlalu serius. Perbuatan ini dilakukan oleh pelaku di bawah umur, yang dikategorikan sebagai remaja.

Bynum & Thompson (1996) membuat delinkuen dalam tiga kategori : 1. The Legal Definition

Secara legal definisi delinkuen adalah segala perilaku yang dapat menjadi kejahatan jika dilakukan oleh orang dewasa atau perilaku yang dianggap tidak sesuai oleh pengadilan anak dan anak tersebut dapat dianggap melakukan perilaku delikuan berdasarkan larangan yang diberlakukan dalam undang-undang status perilaku kriminal dari pemerintah pusat, negara dan pemerintah daerah. Untuk remaja, perlaku delinkuen didefinisikan sebagai perilaku yang melanggar peraturan yang diberlakukan bagi anak seusianya, seperti bolos sekolah, atau mengkonsumsi alkohol di mana perilaku tersebut ilegal

2. The Role Definition

Definisi perilaku delinkuen berdasarkan peran labih berfokus pada pelaku tindakan antisosial daripada perilaku antisosial. Definisi ini mengacu pada individu yang mempertahankan bentuk perilaku delinkuen dalam periode waktu yang cukup panjang, dan kehidupan serta identitasnya terbentuk dari perilaku menyimpang. Konsep sosiologis yang berhubungan dengan role definition dalam

(10)

mendeskripsikan perilaku delinkuen yaitu status sosial dan peran sosial. Status sosial merupakan pengaruh posisi seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dalam kelompok sosial atau masyarakat. Peran sosial merupakan perilaku yang memiliki status dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat.

3. The Societal Response Definition

Definisi social response menekankan pada konsekuensi sebagai akibat kelanjutan dari suatu tindakan seorang pelaku yang merupakan suatu bentuk menyimpang atau delinkuen, di mana audience mengamati dan memberi penilaian terhadap perilaku menjadi anggotanya atau ingin menjadi anggota.

Berdasarkan tiga kategori definisi tersebut, maka Bynum & Thompson (1996) mendefinisikan perilaku delinkuen dengan mengkombinasikan tiga definisi tersebut.

Perilaku delinkuen merupakan tindakan ilegal yang merefleksikan adanya peran delinkuen (role delinquent) dan berakibat pada anggapan masyarakat bahwa pelaku (offender) sebagai penyimpangan (deviant) yang serius.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku delinkuen adalah suatu bentuk perilaku yang menyimpang dan ilegal yang melanggar norma dan hukum yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa (remaja) dan merupakan perilaku yang dianggap tidak pantas, tidak dapat diterima oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan peran dan status sosial pada usia pelaku.

(11)

2. Wujud perilaku delinkuen

Menurut Bynum & Thompson (1996) yang termasuk dalam status offenses meliputi school truancy (bolos sekolah), alcoholic beverages (mengkonsumsi alkohol), running away (pergi dari rumah), ungovernability (ketidakpatuhan, menentang aturan dan perintah orangtua/figur otoritas), curfew violation (melanggar jam malam), crimes (bergaul dengan penjahat dan terlibat, melakukan tindakan kriminal seperti penyerangan dan mencuri).

National Center for Juvenile Justice (NCJJ) mengidentifikasikan beberapa status offenses yaitu runaway, truancy, perilaku tidak terkendali (ungovernable behavior), liquor law violation (minum minuman keras), melanggar jam malam (miscellaneos offenses and curfew violation) (dalam Steinhart, 1996).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuen

Santrock (1998), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuen pada remaja, yaitu:

a. Identitas negatif

Erikson yakin bahwa perilaku delinkuen muncul karena remaja gagal menemukan suatu identitas peran. Remaja yang mempunyai pengalaman masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peran sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan bagi mereka, mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan. Maka, Erikson berpendapat

(12)

kenakalan (delinkuensi) adalah suatu usaha untuk membangun suatu identitas, walaupun identitas tersebut adalah negatif.

b. Pengendalian diri rendah

Perilaku delinkuen yang dilakukan para remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan pengendalian diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa remaja gagal dalam mengembangkan pengendalian diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Para remaja tersebut mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka. Menurut Feldman & Weinberger (1994), pengendalian diri mempunyai peranan penting dalam perilaku delinkuen. Pengasuhan yang efektif pada masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya kemahiran dalam pengaturan diri (self regulatory) oleh anak. Terdapatnya kemampuan ini yang merupakan atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat perilaku delinkuen yang dilakukan remaja (Santrock, 1998).

(13)

c. Usia

Tingkah laku antisosial di usia dini (anak-anak) berhubungan dengan perilaku delinkuen yang lebih serius di masa remaja. Namun, tidak semua anak bertingkah laku seperti itu nantinya akan menjadi pelaku delinkuen d. Jenis kelamin (laki-laki)

Anak laki-laki lebih banyak melakukan perilaku antisosial daripada anak perempuan. Kartono (2006), mengungkapkan perbandingan perilaku delinkuen anak laki-laki dengan perempuan diperkirakan 50 : 1. Berdasarkan data statistik, jumlah anak laki-laki yang melakukan kejahatan dan perilaku delinkuen lebih banyak daripada perempuan, kecuali dalam hal lari dari rumah (Bynum & Thompson, 1996). Anak laki-laki pada umumnya melakukan perilaku delinkuen dengan jalan kekerasan, perkelahian, penyerangan, perusakan, pengacauan, perampasan dan agresivitas. Hal ini didukung oleh Kelly et al., (1997) yang menyatakan anak laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk munculnya perilaku merusak (dalam Gracia, et al., 2000). e. Harapan dan nilai yang rendah terhadap pendidikan

Remaja pelaku delinkuen seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan dan juga nilai-nilai yang rendah di sekolah

f. Pengaruh orangtua dan keluarga

Para pelaku delinkuen seringkali berasal dari keluarga di mana orangtua menerapkan pola disiplin secara tidak efektif, memberi sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anak-anak mereka sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antar anggota keluarga

(14)

g. Pengaruh teman sebaya

Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan.

h. Status sosial ekonomi

Penyerangan lebih sering dilakukan oleh laki-laki dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah.

i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal

Terdapat di mana individu tinggal dapat membentuk perilaku individu tersebut, masyarakat dan lingkungan yang membentuk untuk berperilaku baik atau buruk.

C. Remaja

1. Pengertian remaja

Masa remaja sering disebut adolesensi yang berasal dari bahasa Latin yaitu adolescere dan adultus yang berarti menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Monks,1999).

Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1999) secara psikologis masa remaja adalah masa individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, masa pada individu tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, tranformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini

(15)

yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini. Lazimnya masa remaja dianggap dimulai pada saat secara seksual menjadi matang dan berakhir sampai ia menjadi matang secara hukum.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan masa remaja merupakan masa dimana individu mulai berada dalam perkembangan menjadi dewasa, ditandai dengan kematangan secara seksual dan matang secara hukum.

2. Pembagian usia remaja

Menurut Monks (2001) batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Monks membagi batasan usia ini dalam tiga fase, yaitu :

1. Fase remaja awal : usia 12 tahun sampai 15 tahun

2. Fase remaja pertengahan : usia 15 tahun sampai 18 tahun 3. Fase remaja akhir : usia 18 tahun sampai 21 tahun

Batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia adalah antara 11-24 tahun dan belum menikah, dengan pertimbangan bahwa usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak. Sedangkan batasan usia 24 tahun merupakan batas maksimal untuk individu yang belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis, dan individu yang sudah menikah, dianggap dan diperlakukan sebagai individu dewasa penuh sehingga tidak lagi digolongkan sebagai remaja ( Sarwono, 2003 ). Berdasarkan pendapat–pendapat tersebut di atas, kiranya peneliti mengambil batasan rentang usia remaja untuk penelitian ini antara 12 – 15 tahun,

(16)

3. Perkembangan emosi remaja

Menurut Ali dan Asrori (2004) masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial, dan emosional. Umumnya, masa ini berlangsung pada masa individu duduk di bangku sekolah menengah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja sendiri maupun bagi keluarga atau lingkungannya. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi yang berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang dan khawatir kesepian.

Perkembangan emosi individu pada umumnya tampak jelas pada perubahan tingkah lakunya. Perkembangan emosi remaja juga demikian. Kualitas atau fluktuasi gejala yang tampak dalam tingkah laku itu sangat tergantung pada tingkat fluktuasi emosi yang ada pada individu tersebut. Sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja, yaitu :

a. Perubahan jasmani

Perubahan jasmani yanng ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh. Tidak setiap remaja dapat menerima perubahan kondisi tubuh yang seperti itu. Hormon-hormon tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga dapat menyebabkan rangsangan di dalam tubuh remaja dan sering sekali menimbulkan masalah dalam perkembangan emosinya.

(17)

b. Perubahan pola interaksi dengan orangtua

Pola asuh orangtua terhadap anak termasuk remaja sangat bervariasi. Perbedaan pola asuh orangtua dapat berpengaruh terhadap perkembangan emosi remaja.

c. Perubahan interaksi dengan teman sebaya

Remaja seringkali membangun interaksi sesama teman sebaya secara khas dengan cara berkumpul untuk melakukan aktivitas bersama dengan membentuk semacam geng. Pada masa ini para anggotanya biasanya membutuhkan teman-teman untuk melawan otoritaas atau melakukan perbuatan yang tidak baik atau bahkan kejahatan bersama.

d. Perubahan pandangan luar

Sikap dunia luar terhadap remaja sering tidak konsisten. Terkadanng mereka dianggap dewasa dan terkadang dianggap sebagai anak kecil sehingga menimbulkan kejengkelan pada diri remaja. Kejengkelan ini dapat berubah menjadi tingkah laku emosional. Selain itu, pihak luar yang tidak bertanggungjawab memanfaatkan kekosongan remaja dengan melibatkan remaja ke dalam kegiatan-kegiatan yang merusak diri seperti penggunaan obat terlarang, minum minuman keras, serata bertindak kriminal dan kekerasan. e. Perubahan interaksi dengan sekolah

Guru merupakan tokoh yang sangat penting dalam kehidupan remaja karena selain tokoh intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para peserta didiknya. Namun demikian, tidak jarang terjadi bahwa dengan figur sebagai tokoh tersebut, guru memberikan ancaman-ancaman tertentu kepada

(18)

peserta didiknya. Peristiwa semacam ini sering tidak disadari oleh para guru. Hal seperti ini akan memberikan stimulus negatif bagi perkembangan emosi remaja.

D. Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Perilaku Delinkuen pada Remaja Laki-laki

Masalah kenakalan remaja, saat ini sudah cukup banyak terjadi, baik di negara-negara maju maupun negara-negara sedang berkembang. Menurut Hadisuprapto (1997), kenakalan remaja (juvenile delinquency) merupakan perilaku remaja yang melanggar hukum yang apabila dilakukan oleh orang dewasa termasuk kategori kejahatan, dalam hal ini termasuk perilaku pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang khusus diperuntukkan bagi mereka.

Saat masyarakat dunia semakin maju dengan meningkatnya kesejahteraan, kejahatan anak-anak dan remaja juga ikut meningkat. Kejahatan remaja justru menjadi semakin berkembang dengan pesat, dan ada pertambahan yang sangat banyak dari kasus-kasus berhubungan dengan hal tersebut. Telah tercatat di Indonesia, pada tahun 1970-an kenakalan remaja sudah menjurus pada kejahatan seperti tindak kekerasan, penjambretan secara terang-terangan di siang hari, perbuatan seksual dalam perkosaan beramai-ramai sampai melakukan pembunuhan, dan perbuatan kriminal lainnya yang berkaitan dengan kecanduan bahan narkotik. Kenakalan dan kejahatan remaja itu tidak hanya melibatkan anak-anak remaja putus sekolah saja, akan tetapi juga berjangkit di kalangan anak-anak-anak-anak

(19)

remaja yang masih aktif belajar di sekolah-sekolah lanjutan, akademi, dan perguruan tinggi (Kartono, 2006).

Sekitar tahun 1980-an ke atas gejala kenakalan remaja semakin meluas, baik dalam frekuensi maupun dalam keseriusan kualitas kejahatannya. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya peredaran dan penggunaan ganja serta bahan-bahan psikotropika di tengah masyarakat yang juga memasuki kampus dan ruang sekolah, dan semakin meningkatnya jumlah remaja yang terbiasa meminum minuman keras, penjambretan dan keberandalan di jalan, tindakan kekerasan oleh kelompok remaja, penganiayaan berat, perkosaan, pembunuhan, pemerasan atau pengkompasan di sekolah-sekolah terhadap murid yang lemah, juga banyak terjadi pelanggaran terhadap norma-norma susila lewat praktek seks bebas, gadis yang melacurkan diri tanpa imbalan uang, serta perkelahian massal antar kelompok dan antar sekolah. Bentuk-bentuk kenakalan yang dilakukan remaja ini merupakan wujud dari perilaku delinkuen atau delinkuensi (Kartono, 2006).

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perilaku delinkuen remaja, salah satunya adalah jenis kelamin (Santrock, 1998). Anak laki-laki lebih banyak melakukan perilaku antisosial daripada anak perempuan. Kartono (2006), mengungkapkan perbandingan perilaku delinkuen anak laki-laki dengan perempuan diperkirakan 50:1. Anak laki-laki pada umumnya melakukan perilaku delinkuen dengan jalan kekerasan, perkelahian, penyerangan, perusakan, pengacauan, perampasan dan agresivitas. Hal ini didukung oleh Kelly et al., (1997) yang menyatakan anak laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk munculnya perilaku merusak (dalam Gracia, et al., 2000).

(20)

Perilaku delinkuen pada remaja dapat terjadi karena kegagalan untuk mengembangkan pengendalian diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Para remaja tersebut mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang tepat dalam perbuatan mereka. Menurut Feldman & Weinberger (1994), pengendalian diri (self control) mempunyai peranan penting dalam perilaku delinkuen. Pengasuhan yang efektif pada masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya kemahiran dalam pengaturan diri (self regulatory) oleh anak. Terdapatnya kemampuan ini yang merupakan atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat perilaku delinkuen yang dilakukan remaja (Santrock, 1998). Selain itu, perilaku delinkuen tersebut merupakan hasil dari pergolakan emosi yang sangat labil (Kartono, 2006).

Munculnya bentuk perilaku seperti yang telah disebutkan diatas menurut Goleman (2001) merupakan gambaran adanya emosi-emosi yang tidak terkendali, mencerminkan meningginya ketidakseimbangan emosi. Menurut Goleman (1995), emosi memainkan peranan penting dalam perilaku individu (Ali&Asrori, 2004). Bila emosi berhasil dikelola maka individu akan mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, individu yang

(21)

buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang merugikan diri sendiri (Goleman, 2001). Sehingga dapat dikatakan bahwa diperlukan adanya suatu kemampuan dalam manajemen emosi. Dalam hal ini, Bar-On menggunakan istilah pengendalian impuls yaitu kemampuan menahan dan menunda gerak hati, dorongan dan godaan untuk bertindak (dalam Goleman, 2000). Kemampuan ini merupakan hal yang berkaitan erat dengan emotional intelligence (selanjutnya dalam penelitian ini hanya digunakan istilah kecerdasan emosional). Dapat dikatakan bahwa dengan adanya kecerdasan emosional yang tinggi, individu lebih mudah mengendalikan diri dan dorongan-dorongan dalam diri individu tersebut dalam melakukan suatu tindakan.

E. Hipotesa

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional memberikan pengaruh terhadap perilaku delinkuen pada remaja laki-laki.

Referensi

Dokumen terkait

Pada pemeriksaan fisik Nampak adanya bengkak yang berat pada kaki kanan yang tertendangd. Selain itu juga ditemukan kaki kesemutan, paralisis, dan tidak adanya

9. Rara dalam berkomunikasi dengan tim divisi produksi mempertimbangkan kemampuan berbahasa asing, sehingga Rara berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Rara dalam

Persentase perlakuan tilirosida dibandingkan dengan kontrol doksorubisin (Gambar 1) menunjukkan bahwa tilirosida tidak mampu menyamai persentase kematian sel akibat apoptosis, karena

Kerugian menyewa adalah mesin tak dapat segera ada bilamana diperlukan men- dadak, operator tidak bertanggungjawab atas kualitas hasil pekerjaan, resiko membawa hama

Dari uraian-uraian tersebut, bisa dikatakan bahwa meskipun tidak terdapat kesepakatan di antara para ahli/peneliti, kata makian dapat dilihat dari tanda-tanda sebagai

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan aktivitas belajar peserta didik kelas V Sekolah Dasar Negeri 17 Rabak dalam pembelajaran ilmu pengetahuan

Berdasarkan analisis pengaruh nilai tukar mata uang (kurs) rupiah terhadap dollar di Provinsi Jawa Tengah, diketahui bahwa Nilai tukar mata uang selalu mengalami kenaikan

Dari hal-hal tersebut diatas terlihat bahwa semua syarat terpusat pada satu maksud yaitu penilaian illat yang diakui oleh syar’i. Syarat untuk menemukan illat atau Mas}lah}ah