• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan bahwa sektor kehutanan memiliki peran penting terhadap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan bahwa sektor kehutanan memiliki peran penting terhadap"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki kawasan berhutan sebesar 96.490,8 juta ha atau 51,53% dari total luas daratannya (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2014). Luas daratan setengahnya didominasi oleh hutan tersebut menunjukkan bahwa sektor kehutanan memiliki peran penting terhadap pembangunan nasional (Simon, 2010). Namun, pembangunan seringkali tidak sejalan dengan kelestarian hutan dan lingkungan, khususnya ketika paradigma sustained yield management digunakan dalam pengelolaan hutan pada abad ke-19 (Schlapfer & Elliot, 2000). Kualitas hutan dan lingkungan yang semakin menurun membuat suatu paradigma baru pengelolaan hutan diperlukan. Kondisi tersebut melatarbelakangi diselenggarakannya konferensi the Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, tahun 1992 (Schlaepfer & Elliot, 2000). Hasil dari konferensi ini adalah kesepakatan antar negara untuk menerapkan konsep sustainable forest management melalui berbagai kriteria dan indikator yang telah ditetapkan. Sejak itu, perkembangan paradigma pengelolaan hutan adalah menekankan pada aspek kelestarian hutan dan lingkungan.

Degradasi hutan yang terjadi serta banyaknya lahan kritis memberikan berbagai macam efek buruk, sehingga diperlukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan untuk menekan degradasi hutan dan memperbaiki lahan kritis tersebut (Brown, 1994). Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) bertujuan pulihnya

(2)

2

kondisi hutan dan lahan sehingga dapat berfungsi kembali secara normal dan lestari sebagai sistem penyangga kehidupan. Menurut Peraturan Pemerintah No 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, rehabilitasi hutan dan lahan bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan perananannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (Anonim, 2008).

Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan salah satu prioritas utama pengelolaan hutan Indonesia saat ini dan di masa mendatang. Kompleksitas kegiatan RHL di masa mendatang memerlukan kesiapan ilmu pengetahuan dan teknologi dan ketersediaan sumberdaya manusia yang memadai (baik dalam kualitas dan kuantitasnya).

Forda (Bogor, 03/04/2015), keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan masih banyak menghadapi kendala karena terbatasnya pengetahuan dan informasi mengenai kesesuaian tempat tumbuh bagi jenis-jenis yang dikembangkan. Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan strategi pemilihan jenis untuk rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) agar keberhasilan RHL dapat dicapai sesuai tipologi dan kondisi lapangan. Untuk itu diperlukan data dan informasi mengenai persyaratan tempat tumbuh dan teknik silvikultur setiap jenis andalan setempat.

Karakteristik kegiatan yang kompleks mengakibatkan proses RHL perlu dilakukan dengan cermat, sistematis, dan menyeluruh. Evaluasi RHL yang sudah pernah dilaksanakan sampai saat ini masih terfokus pada pertanggungjawaban kegiatan, hanya menggunakan ukuran persentase hidup tanaman, tinggi pohon, dan tingkat kesehatan tanaman hasil RHL, yang belum cukup untuk mengevaluasi

(3)

secara total tingkat keberhasilan RHL sebagai sebuah sistem. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan RHL sebagai sebuah sistem, maka diperlukan penelitian yang lebih mendalam dan menyeluruh dengan kriteria dan indikator yang lebih lengkap, mencakup seluruh sistem RHL.

Perum Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi mandat oleh negara untuk mengelola sebagian besar hutan negara di Pulau Jawa. Sebagai pengelola hutan di pulau jawa, Perhutani mempunyai tugas dan peran yang besar dalam ikut serta meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan rumah tangga, terutama masyarakat tinggal di sekitar hutan dalam berinteraksi secara langsung dengan hutan dan sumber daya alam yang ada di dalamnya.

Kegiatan sistem strategi RHL sebagai salah satu komoditi kehutanan merupakan salah satu solusi yang realistis dalam menghadapi tantangan pengelolaan hutan saat ini. Luasan hutan tidak produktif yang terus bertambah mengharuskan adanya upaya rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) untuk memulihkan kondisi hutan sehingga tetap terjamin fungsinya. Dalam pelaksanaanya kegiatan ini harus mampu mengintegrasikan antara aspek biofisik dan aspek sosial. Kedua aspek tersebut merupakan kesatuan sistem yang harus dipertimbangkan agar kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan mampu mengakomodir kepentingan ekologi, kepentingan ekonomi, dan kepentingan sosial budaya. Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk dapat merumuskan tindakan pengelolaan yang tepat dalam mendukung pemulihan fungsi kawasan hutan di RPH Randukuning.

(4)

4

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi rehabilitasi dalam mendukung kegiatan pengelolaan hutan dengan menggunakan analisis pendekatan CASM. Analisis CASM merupakan suatu metode untuk perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan berbasis pendekatan sistem yang mampu mengintegrasikan antara aspek biofisik dan aspek sosial sehingga dapat menjadi bahan acuan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu diperlukan strategi rehabilitasi yang tepat untuk mengatasi berbagai jenis masalah dari segala aspek di hutan tanaman kayu putih RPH Randukuning BKPH Jatipohon, KPH Purwodadi.

1.2.Rumusan Masalah

Permasalahan pengelolaan hutan yang terjadi di RPH Randukuning merupakan suatu problema sistemik yang hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan sistem. Beberapa permasalahan akan dicoba untuk dijawab dalam penelitian ini meliputi :

1. Apa saja aspek-aspek yang mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi hutan tanaman kayu putih di RPH Randukuning BKPH Jatipohon, KPH Purwodadi ?

2. Bagaimana strategi kegiatan rehabilitasi yang tepat pada hutan tanaman kayu putih dengan menggunakan analisis pendekatan CASM di RPH Randukuning BKPH Jatipohon?

(5)

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi hutan tanaman kayu putih di RPH Randukuning BKPH Jatipohon KPH Purwodadi.

2. Merumuskan strategi rehabilitasi yang tepat untuk diterapkan pada hutan tanaman kayu putih di RPH Randukuning BKPH Jatipohon KPH Purwodadi dengan menggunakan pendekatan analisis CASM.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi terkait dengan pengelolaan hutan di RPH Randukuning KPH Purwodadi.

(6)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Hutan

Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan, yaitu berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut dapat dirasakan apabila hutan terjamin eksistensinya, sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumberdaya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Hutan menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, sedangkan Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuham yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan diluarnya. Hubungan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan hutan, marga satwa dan alam lingkungannya begitu erat sehingga hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

(7)

Definisi tersebut menekankan bahwa komponen pohon yang dominan terhadap komponen lainnya dari ekosistem itu, dan menginginkan adanya kondisi iklim dan ekologis yang berbeda dengan kondisi luarnya. Penekanan hutan sebagai suatu ekosistem mengandung maksud bahwa didalam hutan terjadi hubungan saling tergantung satu komponen dengan komponen lainnya yang terjalin sebagai suatu sistem. Sehingga salah satu dari komponen sistem tersebut itu rusak (tidak berfungsi) akan menyebabkan komponen yang lainnya terganggu, akibatnya sistem itu tidak dapat berjalan dengan normal. Hutan itu sendiri sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar, sehingga hutan rusak dan akan mengganggu sistem yang lebih besar.

2.2. Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Lahan kritis atau sering disebut juga lahan marginal merupakan lahan bermasalah yang dalam pemanfaatannya memerlukan teknologi khusus. Lahan kritis atau marginal menurut istilah adalah berhubungan dengan tepi (batas), tidak perlu menguntungkan, dan berada di pinggir (Yuwono, 2009).

Produktivitas lahan kritis sangat ditentukan oleh karakteristik fisik, iklim, tanah, hidrologi dan topografi. Kemiringan lereng yang tingggi akan mengakibatkan permasalahan semakin kompleks, karena curah hujan yang tinggi akan meningkatkan laju erosi (Paiman dan Armando, 2010 dalam Eka, 2013).

Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan kembali atau mempertahankan kondisi atau meningkatkan produktivitas lahan kawasan hutan dengan cara menanam pohon-pohon agar dapat berfungsi secara optimal sebagai

(8)

8

unsur produksi, pengatur tata air serta perlindungan alam lingkungan. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan melalui dua kegiatan yaitu; kegiatan pokok dan kegiatan penanaman tanah. Sedangkan kegiatan penunjang antara lain meliputi penyediaan mengenai data dam, waduk, danau atau sungai. Kegiatan pencegahan kerusakan lingkungan mencakup:

1. Sosialisasi kerusakan lingkungan 2. Pemberdayaan masyarakat 3. Penegakan hukum

Sedangkan kegiatan penanaman dan konservasi tanah mencakup: 1. Pembibitan

2. Pembuatan tanaman

3. Bangunan konservasi tanah (Dephutbun, 1998).

Luas lahan kritis yang semakin meningkat akan mengancam kehidupan di bumi. Reklamasi dan rehabilitasi lahan kritis sangat diperlukan untuk mengembalikan fungsi lahan tersebut secara optimal sesuai dengan fungsinya. Kondisi lahan kritis berbeda-beda sesuai dengan lokasinya, sehingga cara menanganinya juga berbeda. Oleh karena itu dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis memerlukan sumberdaya manusia yang ahli dalam bidangnya.

Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran sungai. Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Tujuan

(9)

penyelenggaraan RHL adalah terpulihnya sumberdaya hutan dan lahan yang rusak sehingga berfungsi optimal yang dapat memberikan manfaat kepada seluruh stakeholder, menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, dan mendukung kelangsungan industri kehutanan (Departemen Kehutanan, 2008). Sistem RHL merupakan sistem yang terbuka, yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan penggunaan hutan dan lahan. Dengan demikian pada prinsipnya RHL, diselenggarakan atas inisiatif bersama para pihak. Berbeda dengan penyelenggaraan RHL, selalu melalui inisiatif pemerintah dan menjadi 19 beban tanggungan pemerintah. Dengan kata lain, ke depannya RHL dilaksanakan oleh masyarakat dengan kekuatan utama dari masyarakat sendiri.

Penyelesaian persoalan yang bersifat sistemik harus dilakukan dengan pendekatan beragam disiplin ilmu, sistemik, dan konsisten. Tim Perumus Praktek Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan UGM (2009) menyebutkan bahwa persoalan rehabilitasi hutan dapat didekati dengan metode CASM. Tim perumus mengklasifikasikan konsideran rehabilitasi ke dalam empat aspek, yaitu aspek kemampuan lahan, ketersediaan lahan, kesesuaian lahan, dan tata kelola lahan. Dalam laporan penelitian Purnamasari (2010) disebutkan bahwa metode CASM adalah metode berbasis pendekatan sistem yang mengintegrasikan aspek biofisik dan sosial dalam perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan.

2.3. Karakteristik Minyak Kayu Putih

Melaleuca cajuputi dikenal dengan nama daerah Kayu putih merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai peranan cukup penting dalam industri

(10)

10

minyak atsiri. Jenis ini dapat tumbuh pada lahan marginal yang pada umumnya di sekitar daerah tersebut dihuni oleh masyrakat dengan kondisi sosial ekonomi yang lemah. Upaya pendayagunaan lahan marginal mempunyai arti yang penting dalam usaha memperbaiki lahan yang rusak sebagai akibat pembangunan atau kerusakan oleh alam. Pemilihan jenis-jenis tanaman untuk upaya rehabilitasi perlu mepertimbangkan beberapa aspek. Selain aspek kesesuaian jenis terhadap lahan (aspek ekologis), perlu juga mempertimbangkan aspek ekonomi, bagaimana jenis tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat disekitarnya.

Tanaman kayu putih merupakan salah satu jenis yang cukup berpotensi untuk upaya rehabilitasi lahan, baik dari aspek ekologis maupun aspek ekonomis, Terdapat keuntungan ganda yang diperoleh pada pengembangan tanaman kayu putih di lahan kritis antara lain untuk menunjang usaha konservasi lahan dan pemanfaatan lahan marginal menjadi lahan produktif serta memberikan kesempatan kerja sehingga berimplikasi meningkatkan penghasilan kepada petani. Oleh karenanya penanaman kayu putih perlu dikembangkan karena pertimbangan-pertimbangan diatas. Tanaman kayu putih tumbuh baik pada ketinggian 5-450 m dpl. Pada sebaran alaminya, tanaman kayu putih mampu tumbuh sehingga mencapai ketinggian 45 m. Jenis tanaman ini tidak memerlukan syarat tumbuh yang spesifik sehingga memiliki tingkat tolernasi yang cukup untuk tumbuh dan berkembang pada kondisi lahan yang marginal (Lutony dan Rahmawati, 1994 dalam Suryanto, 2013).

(11)

Lukito (2011) menjelaskan tanaman kayu putih termasuk dalam komoditas hasil hutan non kayu (HHNK) karena tanaman ini memiliki kandungan minyak kayu putih yang berasal dari daun. Tanaman kayu putih mampu tumbuh di daratan rendah dan daerah rawa, tetapi jarang ditemukan di daerah pegunungan. Prastyono (2010) menyatakan kemampuan tanaman kayu putih untuk tumbuh di lahan marginal yang tidak produktif dapat dijadikan alternatif untuk kegiatan rehabilitasi lahan dan memiliki fungsi ganda sebagai komoditas produksi HHNK.

2.4. Pengololaan Tanaman Kayu Putih

Kegiatan pengelolaan tanaman kayu putih pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitasnya lahan dan kualitas lingkungan hidup serta memperluas lapangan pekerjaan. Hal ini dilandasi dengan sifat pertumbuhan tanaman kayu putih yang cepat dan mampu beradaptasi secara baik pada lahan kritis (Anjasari, 2009). Luas hutan tanman kayu putih di Indonesia sampai saat ini diprediksi mencapai 248.756 ha. Akan tetapi, aktivitas pengelolaan hutan tanaman kayu putih yang diterapkan saat ini masih belom optimal (Sunanto, 2003 dalam Astana, dkk., 2007). Semakin diperkutat dengan adanya suplai minyak kayu putih yang masih sangat defisit dan belum mampu mencukupi permintaan pasa dalam negeri. Permintaan saat ini kebutuhan minyak kayu putih dari dalam negeri sangatlah tinggi terutama dari industri farmasi yang mencapai 2.000 ton per tahun. Namun, suplai minyak kayu putih dari dalam negeri hanya mampu mencapai 500 ton per tahun. Oleh karena itu, potensi pengembangan sektor kehutanan melalui budidaya tanaman kayu putih masih sangat menjanjikan (Prastyono, 2010).

(12)

12

Masalah pengelolaan pada hutan tanaman minyak kayu putih saat ini meliputi kondisi tegakan yang kurang produktif, tekanan penduduk yang tinggi terhadap lahan, dan sektor pengelolaan produk yang masih dalam skala kecil-menengah. Tingginya tekanan penduduk terhadap lahan, mengakibatkan praktik penggarapan lahan berjalan secara tidak terstruktur dengan dominasi tanaman semusim dan mengakibatkan tanaman kehutanan. Dampak dari pola penggarapan lahan tersebut mengurangi jumlah pohon kayu putih sehingga jumlah tegakan jauh dari normal. Disamping itu juga sektor pengelohan produk yang masih dalam skala kecil-menengah mengakibatkan kapasitas produksi yang terbatas belum mampu memenuhi permintaan pasar. permasalahan dari kegiatan pengelolaan tanaman kayu putih adalah ketidakpastian daur optimum dari tegakan. Banyak tegakan kayu putih tidak produktif masih dipertahankan hingga berumur puluhan tahun. Hal ini tentu dapat menurunkan produktivitas daun hasil pemangkasan. (Prastyono, 2010).

2.5. Konsep Strategi

Strategi merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Beberapa batasan mengenai strategi disebutkan oleh Rangkuti (2008), sebagai berikut:

Argyis (1985), Mintsberg (1979), Steiner dan Miner (1997): Strategi merupakan respon secara terus menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi. Hamel dan Prahalad (1995) : Strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus dan dilakukan

(13)

berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan masa depan. Dengan demikian perencanaan strategi hampir selalu dimulai dari “apa yang dapat terjadi”, bukan dimulai dari “ apa yang terjadi”. Terjadi kecepatan inovasi pasar baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti. Perusahaan perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis yang dilakukan.

Dengan demikian, strategi rehabilitasi merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan rehabilitasi. Strategi rehabilitasi harus bisa digunakan untuk memulihkan, memperthankan, dan meningkatkan fungsi hutan sehingga daya dukung, produktivitas, dan pernannya dalam menudkung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Rangkuti juga menambahkan bahwa pada prinsipnya strategi dapat dikelompokkan berdasarkan tiga tipe strategi, yaitu strategi manajemenm, investasi, dan strategi bisnis. Strategi manajemen meliputi strategi yang dapat dilakukan oleh manajemen dengan orientasi pengembangan startegi makro. Strategi investasi merupakan kegiatan yang berorientasi pada investasi, sedangkan startegi bisnis sering disebut juga sebagai strategi bisnis secara fungsional karena strategi ini berorientasi pada fungsi manajemen.

Strategi rehabilitasi tergolong dalam tipe strategi manajemen karena mencakupi strategi dalam planning, managing, serta controling. Seperti yang dikatakan Rangkuti (2008), strategi merupakan meliputi strategi yang dapat dilakukan oleh manajemen dengan orientasi pengembangan strategi secara makro misalnya : strategi pengembangan produk, strategi penerapan harga, strategi

(14)

14

akuisisi, strategi pengembangan pasar, strategi mengenai keuangan, dan sebagainya.

2.6. Pendekatan CASM

Berdasarkan berbagai pemahaman terhadap konsep RHL dan pemaham terhadap pendekatan sistem dan prinsip-prinsip dasar perencanaan, maka metodologi RHL yang dapat menjawab tujuan implemantasi prinsip-prinsip RHL adalah pendekatan sistem. CASM (Capability, Avaibility, Suitability, Manageability) adalah salah satu pendekatan untuk perencanaan RHL berbasis pendekatan sistem yang mengintegrasikan aspek biofisik dan soisal dalam RHL. Pendekatan ini secara sistemik memadukan analisis kemampuan Lahan, analisis Avaibility, analisis Suitability, dan analisis Manageability (Soeprijadi dkk, 2012).

Hubungan sistemik ke-empat analisis ini dipresentasikan oleh gambar 2.1 berikut:

(15)

Gambar 2.1. Hubungan Sistemik Analisis CASM

2.6.1. Analisis Capability (Kemampuan Lahan)

Analisis capability merupakan proses identifikasi dan penilaian produktifitas tingkat produktivitas lahan. Dalam proses ini informasi yang masuk adalah kondisi fisik lahan. Identifikasi Kemampuan Lahan, dimaksudkan untuk mengetahui kondisi fisik lahan dalam satuan kawasan disekitarnya. Informasi yang diperlukan meliputi jenis tanah, kelerengan, informasi penggunaan lahan. Kelengkapan data dan informasi biofisik dapat diperoleh dari pengamatan lapangan maupun data sekunder yang tersedia. K Kemampuan Lahan digunakan untuk menilai baik atau buruknya suatu misalnya untuk kemampuan tanahnya. Didalam Kemampuan Lahan juga dibutuhkan data misalnya data curah hujan,

Indentifikasi A Kepastian Kawasan

Identifikasi C Klaster Produktivitas lahan

Identifikasi S Pilihan jenis (kriteria: biofisik)

Identifikasi M Sosekbud Masyarakat

Identifikasi Permasalahan

Strategi Kelola lahan Strategi Kelola tanaman Strategi kelola

(16)

16

solum dan lereng (Soeprijadi dkk, 2012).

Proses identifikasi Kemampuan Lahan memberikan keluaran berupa cluster kesesuaian lahan yang berupa LMU atau Land Mapping Unit. Pada tataran teknis LMU merupakan peta hasil overlay dari peta penggunaan lahan, peta jenis tanah dan peta kelerengan. LMU ini menunjukkan jenis karaktersistik lahan seperti jenis tanah, tekstur tanah, kelerengan, drainase, kedalaman tanah, kepekaan erosi, tingkat bahaya erosi, permeabilitas tanah dan tingkat kekritisan. (Soeprijadi dkk, 2012).

Informasi tersebut dijadikan dasar dalam menentukan karateristik kelola konservasi tanah dan air serta karateritik model teknik rehabilitasi hutan dan lahan di LMU tersebut.

2.6.2. Analisis Availability

Analisis availability bertujuan untuk menilai dan mengidentifikasi ketersediaan lahan sasaran RHL.Inti dari analisis ini adalah penilaian keberadaan dan potensi lahan kritis yang disesuaikan dengan ketersediaan teknologi RHL serta kesiapan partisipasi parapihak. Pada tataran teknis Informasi yang informasi yang diperlukan antara lain partisipasi pemilik lahan untuk RHL dan bentuk penggunaan lahan yang berasal dari pemilik lahan, data kepemilikan dan luas lahan yang definitif (bebas dari konflik). Hasil dari proses identifikasi availability berupa lokasi dan batas definitif kawasan untuk RHL pada berbagai tingkat ketersediaan. Lokasi sasaran RHL definitif merupakan informasi dalam bentuk peta dan kejelasan lokasi (batas dan luas).

(17)

ketersedian lahan untuk direhabilitasi atau ada tidak. Selain ini misalnya juga ketersedian dari tenaga kerja (dibutuhkan data kependudukan) yang akan melakukan rehabilitasi tersebut ada atau tidak. (Soeprijadi dkk, 2012).

2.6.3. Analisis Suitability

Analisis ini terdiri dari identifikasi alternatif berbagai pola tanam dan tingkat kesesuaiannya di berbagai LMU dengan mempertimbangkan input dan teknologi silvikultur dan konservasi tanah dan air (KTA). Secara teknis, informasi yang diperlukan adalah informasi yang diperlukan untuk matching pola tanaman untuk berbagai kondisi LMU yang ada. Keluaran dari analisis ini adalah sebaran berbagai alternatif pola tanaman tiap LMU tingkat kesesuaiannya. (Soeprijadi dkk, 2012).

2.6.4. Analisis Manageability

Analisis ini pada dasarnya dilakukan untuk:

1. Menentukan klaster kawasan berdasarkan tingkat manageabilitas berdasarkan kondisi sosial, budaya, dan kelembagaan masyarakat dalam kawasan efektif.

2. Mengoverlay klaster kawasan ini dan klaster kesesuaian pola tanam dan memfilter berbagai berbagai kemungkinan alternative pengubahan pola tanam berdasarkan tingkat manageabilitas.

3. Mengidentifikasi berbagai kemungkinan rekayasa social ekonomi, rekayasa kelembagaan dan rekayasa budaya dalam konteks keberhasilan RHL (Soeprijadi dkk, 2012).

(18)

18

dengan RHL. Pemahaman terhadap konsep RHL dan pemahaman terhadap pendekatan sistem dan prinsip–prinsip dasar perencanaan, maka metodologi RHL yang dapat menjawab tujuan implementasi prinsip–prinsip RHL adalah pendekatan sistem. Dalam praktikum ini, metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan CASM (Capability, Availability, Suitability, Manageability). Pendekatan ini secara sistemik memadukan analisis Kemampuan Lahan, analisis Availability, analisis Suitability, dan analisis Manageability. Identifikasi Kemampuan Lahan, dimaksudkan untuk mengetahui kondisi fisik lahan dalam satuan kawasan disekitarnya. Informasi yang diperlukan meliputi jenis tanah, kelerengan, informasi penggunaan lahan.Analisis availability bertujuan untuk menilai dan mengidentifikasi ketersediaan lahan.Analisis suitability terdiri dari identifikasi alternatif berbagai pola tanam dan tingkat kesesuaiannya di berbagai LMU dengan mempertimbangkan input dan teknologi silvikultur dan konservasi tanah dan air (KTA). Sedangkan analisis Manageabilitymeliputi pengamatan sosial budaya dan kelembagaan masyarakatnya. Pendekatan Kemampuan Lahan dan manageability digunakan untuk menetukan titik sampel biofisik. Sehingga dapat diketahui titik plot sampel untuk pengambilan data lapangan. Sedangkan analisis availability dan suitability digunakan sebagai acuan pengambilan data sosial dan ekonomi, yang selanjutnya dapat dihasilkan peta kebutuhan lahan dan ketersediaan lahannya.

Selain itu, selanjutnya dilakukan pengambilan data biofisik, sosial, dan ekonomi. Baik berupa data primer maupun sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan, pengukuran dan wawancara langsung di lapangan.

(19)

Sedangkan data sekunder diperoleh dari keterangan narasumber.

2.7. Logical Framework Analisis

Salah satu metode pengambilan keputusan yang memenuhi prinsip-prinsip optimasi dan dapat diterapkan dalam perencanaan RHL adalah logical Framework Analisis (LFA). Des Gasper (1999) menjelaskan LFA adalah suatu metode yang berfungsi untuk menyediakan serangkaian alat pengambilan keputusan dalam kegiatan manajemen yang meliputi perencanaan, perancngan, implemantasi, dan evaluasi suatu program. Penggunaan LFA dalam teknik pengambilan keputusan melibatkan 3 tahapan utama yaitu analisis situasi, analisis strategi, dan identifikasi kegiatan.

2.7.1. Analisis Situasi

Des Gasper (1999) menyatakan tujuan dari analisis situasi adalah untuk menemukan kondisi sebenarnya terkait dengan amsalah yang dihadapi. Analisis ini memfokuskan pada permasalahan dan usaha – usaha untuk memahami sistem yang menentukan kondisi atau keberadaan masalah. Tahapan ini merupakan tahapan kritis yang terdiri 3 fase sebagai berikut :

a. Analisis Stakeholder (para pihak)

Keberhasilan suatu program dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satu diantaranya adalah keberadaan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki peran terhadap pelaksanaan program. Analisis stakeholder dilakukan untuk memetakan dan menganilisis setiap stakeholder yang terkait dengan keberhasilan program. Stakeholder yang dimaksud mencakup kelompok, organisasi dan institusi,

(20)

20

lembaha implemantasi, individu, atau program lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan program (Des Gasper, 1999).

Berdasarkan intensitas pengaruhnya terhadap suatu program, Soeprijadi, dkk. (2012) membagi stakeholder menjadi 3 kelompok yaitu :

1. Stakeholder utama, yaitu para pihak yang berpengaruh langsung terhadap keberhasilan program.

2. Stakeholder sekunder, yaitu pihak-pihak yang berpengaruh tidak langsung terhadap keberhasilan program

3. Stakeholder tersier, yaitu berbagai pihak yang terjadi tidak terkait program tetapi menerima dampak dari pelaksanaan program.

Untuk mempermudah dalam analisis stakeholder dapat digunakan matriks bantuan sebagai berikut:

Tabel 2.1. Matriks Stakeholder Urutan Stakeholder Pegalaman, Keahlian dan Sumberdaya Kepentingan dan Keinginan Hambatan dan isu Kontrubusi dalam program Stakeholder Utama Stakeholder Sekunder Stakeholder Tertier b. Analisis Masalah

Soeprijadi, dkk, (2012) menjelaskan analisis dalam LFA bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan utama visualisasi diagram pohon masalah dengan

(21)

konsep sebab-akibat (Gambar 2.1). Tahapan dari analisis ini adalah sebagai berikut:

1. Menyusun List permasalahan yang akan menjadi dasar dalam penyusunan program

2. Merumuskan permasalahan dalm bentuk diagram pohon masalah yang dimulai dengan menentukan permasalahan utama.

3. Merumuskan penyebab dari permasalahan utama 4. Merumuskan akibat adanya permasalahan utama. c. Analisis Tujuan

Analisis tujuan adalah proses mengenali, memilah, dan menjelaskan secara rinci tujuan dari seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program. Analisis ini dilakukan dengan mentransformasikan pohon maslah menjadi pohon tujuan tertentu yang mungkin tidak relevan dan berada di luar lingkup permasalahan yang sedang dihadapi (Soeprijadi dkk, 2012).

2.7.2. Analisis Strategi

Analisis strategi merupakan mekanisme sistematik untuk mencari dan menentukan solusi permasalahan. Proses ini melibatkan seleksi strategi yang diasumsikan efektif dan efisiensi untuk mencapai hasil yang diinginkan, Proses pemilihan strategi ini harus mempertimbangkan berbagai aspek yang didasarkan pada formulasi analisis tujuan. Hal ini dikarenakan tidak semua kelompok tujaun dalam diagram pohon tujuan dapat dipilih sebagai elemen strategi karena berbagai faktor (Soeprijadi, dkk., 2012).

(22)

22

2.7.3. Matriks LFA

Hasil dari analisis startegi digunakan untuk penyusunan matriks LFA. Penyusunan matriks LFA ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis kgiatan yang dapat diterapkan untuk mendukung pelaksanaan program sehingga implementasi pelaksanaan program akan lebih terarah (Des Gasper, 1999). Visualisasi matriks LFA pada Tabel sebagai berikut:

Tabel 2.2. Matrik LFA

Sumber: Petunjuk Praktek Manajemen Hutan Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Hirarki Logis Indikator (Objectively Verifiable Indicators)

Alat verifikasi Indikator (Means of Verification)

Asumsi dan Resiko Important

Assumption) Goal/Tujuan Indikator yang

menunjukkan ukuran pencapaian tujuan Berbagai sumber dari informasi, metode yang digunakan Asumsi yang digunakan denga melihat faktor eksternal, Keterkaitan Goal/Purpose

Purpose/maksud Status yang diinginkan pada saat berakhirnya proyek/ program Berbagai sumber dari informasi, metode yang di gunakan Keterkaitan Output/Purpose

Outpit/keluaran Magnitud keluaran Berbagai sumber dari informasi, metode yang Digunakan Keterkaitan Input/Output Kegiatan/Input Tipe/tingkatkan sumberdaya

Data proyek, sumber informasi lain

Asumsi awal yang terkait kausalitas program

Gambar

Gambar 2.1. Hubungan Sistemik Analisis CASM
Tabel 2.1.  Matriks Stakeholder  Urutan  Stakeholder  Pegalaman,  Keahlian  dan  Sumberdaya  Kepentingan  dan Keinginan   Hambatan dan isu  Kontrubusi dalam program  Stakeholder  Utama  Stakeholder  Sekunder  Stakeholder  Tertier  b
Tabel 2.2. Matrik LFA

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan Teknokratis (strategis dan berbasis kinerja) yaitu perencanaan dilakukan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah, yang merupakan suatu

a) Hukum Internasional yaitu Konvensi Warsawa 1929, namun di penelitian ini penulis fokus pada hukum nasional saja. b) Hukum nasional yang meliputi Kitab Undang-Undang

Untuk mengetahui aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Deep Dialogue dan Critical Thinking dengan pendekatan

Pada akhir perancangan ini, penulis menyimpulkan bahwa perancangan ini berjudul Perencanaan Hotel Resort Wisata Pantai Bara Dengan Pendekatan Arsitektur Modern di

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah metode pendekatan yuridis empiris, yaitu pendekatan penelitian yang menggunakan aspek hukum

Penelitian ini membahas mengenai pelaksaan bank garansi dalam menjamin suatu kerjasama pengolahan kayu yang nilai jaminannya lebih kecil daripada nilai barang

Penelitian yang dilakukan oleh Altman (1998) yang mengkaji pemanfaatan analisis rasio keuangan sebagai alat untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan menyimpulkan

Pertambakan pola wanamina merupakan suatu alternatif usaha melalui pendekatan bioteknis untuk mengakomodir kegiatan konservasi kawasan hutan mangrove dengan kegiatan