• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODOLOGI PENELITIAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Acuan Kerja Penelitian

Acuan kerja penelitian meliputi dua unsur utama yakni hipotesa-hipotesa pengarah dan batasan analisis. Hipotesa pengarah dimaksudkan sebagai sebuah upaya untuk menuntun peneliti dalam berkerja di lapangan nantinya, dan mulai dari tahap awal kerja lapangan sampai tahap penulisan laporan (Thomas dalam Creswell, 1994:70; Sitorus, 1999:41). Rumusan yang dikemukakan bisa berubah sesuai dengan perkembangan dan kondisi studi di lapangan, sehingga bentuk akhir dari rumusan-rumusan tersebut baru dapat ditemukan pada tahap analisis data dan penulisan laporan. Sehingga penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menekankan dan verifikasi suatu teori atau hipotesa. Penelitian ini bersifat penelitian ekplanatif yang luwes dan terbuka untuk berkembang lebih lanjut, sehingga pada dasarnya batasan analisis yang diberikan hanyalah semacam kerangka kerja yang memberi fokus untuk kerja analisis selama di lapangan maupun sesudah di lapangan.

3.2. Sejumlah Hipotesa Pengarah

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka pemikiran di atas serta akumulasi pengetahuan lapangan peneliti, maka diajukan hipotesa utama; bahwa ketahanan (persistence) pasar nagari di Minangkabau, khususnya pasar kayu manis dalam ekonomi dunia diduga sangat erat kaitannya dengan relasi-relasi pertukaran yang dibangun oleh aktor ekonomi, jaringan kerja sosial dan pola perilaku aktor dalam melakukan tindakan ekonomi di pasar nagari. Untuk menuntun peneliti dalam bekerja di lapangan, sejumlah hipotesis pengarah dikemukakan sebagai berikut:

1.1.1. Pertanyaan tentang aktor yang ikut “bermain” di pasar nagari dan tentang regulasi pasar yang dimiliki atau dibentuk.

Berkenaan dengan dua hal yang ingin dilihat dalam pasar sebagai sebuah institusi ekonomi, dan sebagai sebuah organisasi sosial maka dirumuskanlah hipotesa-hipotesa pengarah sebagai berikut:

1). Mengenai aktor yang ikut “bermain” di pasar nagari: Petani, Pedagang perantara di tingkat nagari, kecamatan, dan kabupaten, adalah aktor yang ikut bermain di pasar nagari. Petani diduga berasal dari kelompok petani

(2)

yang berlahan kecil, yang memanfaatkan hasil penjualannya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka. Pedagang perantara di duga berasal dari kelompok elite sosial lokal sekaligus sebagai elite ekonomi yang memiliki akses ekonomi yang lebih besar dan memiliki diversifikasi mata pencaharian dan berdomisili di pasar nagari. Diduga mereka juga memiliki lahan kayu manis yang luas dan berasal dari keluarga elite lokal yang secara ekonomi telah mapan.

2). Mengenai regulasi pasar yang dimiliki atau bentuk regulasi pasar yang dimiliki atau yang dibentuk dipasar nagari, diduga merupakan hasil bentukan (konstruksi sosial) dari aktor yang terlibat di pasar nagari dan besar dugaan rekayasa tersebut dibentuk atas dominasi kelompok elite sosial dan ekonomi yang sekaligus berperan sebagai pedagang perantara yang bermodal besar dan memiliki akses pada kekuatan supra lokal (eksportir).

1.1.2. Pola-pola perilaku aktor ekonomi dalam melakukan tindakan ekonomi dan kaitannya dengan ekonomi moral yang dianut: Lingkungan sosial budaya aktor ekonomi (petani) diduga berpengaruh terhadap ekonomi moral si petani. Artinya tindakan ekonomi petani sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya di mana si petani menjadi bagian dari komunitas pendukung kebudayaan tersebut dan kemudian mempengaruhi bentuk hubungan dengan aktor lain (pedagang) yang terlibat di pasar nagari.

1.1.3. “Keterlekatan” pemasaran kayu manis di pasar nagari dan di dalam masyarakat secara keseluruhan, serta bentuk jaringan1 sosial personal yang dibentuk di dalamnya serta kaitannya dengan contractual arrangement antar aktor ekonomi yang dibentuk di pasar:

Berkenaan dengan dua aspek pokok yang dianggap berpengaruh dalam proses pemasaran kayu manis di pasar nagari, yaitu pemasaran kayu manis di pasar nagari

1

Dalam sosiologi, studi tentang jaringan sosial telah mendapat perhatian sejak 1960-an, yang dihubungkan dengan bagaimana individu terkait antara satu dengan lainnya dan bagaimana ikatan afiliasi melayani baik sebagai pelicin untuk memperoleh sesuatu yang dikerjakan maupun sebagai perekat yang memberikan tatanan dan makna pada kehidupan sosial (Powell dan Smith-Doerr, 1994 sebagaimana yang dikutip Damsar (1997; 43). Pada tingkatan struktur, jaringan sosial memperlihatkan bahwa pola atau struktur hubungan sosial meningkatkan dan /atau menghambat perilaku individu untuk terlibat dalam bermacam arena dari kehidupan sosial. Oleh karena itu tingkatan ini memberikan suatu dasar untuk memahami bagaimana perilaku individu dipengaruhi oleh struktur sosial (lebih jauh lihat Damsar, 1997; 41-56, bandingkan dengan Collins, 1988; 429-435).

(3)

“melekat” di dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung dan kaitannya dengan contractual arrangement antar aktor ekonomi yang dibentuk di pasar:

1). Tentang keterlekatan pemasaran kayu manis dalam jaringan kerja sosial personal yang sedang berlangsung di dalam masyarakat secara keseluruhan: Diduga pemasaran kayu manis di pasar nagari “melekat” (embeddedness) di dalam masyarakat secara keseluruhan dan dalam bentuk jaringan sosial personal antar aktor yang sedang berlangsung, yang di dalamnya terkandung unsur “radius kepercayaan” (trust), resiprositas, dan jaringan kerja (networking). Besar dugaan hal ini yang mempengaruhi contractual

arrangement yang terbentuk diantara para aktor di pasar nagari dalam

pemasaran kayu manis, dan yang setiap waktu selalu ditafsirkan dan dinilai (dinamis) oleh para aktor yang terlibat di dalam hubungan ekonomi tersebut. 2). Mengenai “penyusunan kontrak” yang terbentuk diantara aktor ekonomi: besar

dugaan “penyusunan kontrak” yang terbentuk diantara aktor ekonomi sangat dipengaruhi oleh “kode etik” dan jaringan sosial yang terbentuk dan disepakati oleh aktor yang terlibat, dan itu hanya dalam bentuk “kode etik yang tidak tertulis”

1.1.4. Mengenai proses pembentukan harga di pasar dan kaitannya dengan bentuk perjuangan dan “kompetisi” yang terjadi di pasar nagari diantara aktor ekonomi yang terlibat, besar dugaan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh “permainan aspek ruang” dan “permainan aspek waktu” serta “aspek non-moneter” (upaya mencari cacat barang) yang dilakukan aktor (pedagang), di samping dilema ekonomi moral yang dimiliki oleh si pedagang itu sendiri.

1.1.5. Di duga interrelasi antara pasar di tingkat lokal dengan pasar di tingkat supra lokal sangat mempengaruhi bentuk “perjuangan” dan “kompetisi” yang berlangsung di pasar, dan kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kekuatan dan kekuasaan aktor ekonomi supra lokal (eksportir). Besar dugaan kondisi ini membuat assymmetric information tetap terlanggengkan di antara para aktor, dan sekaligus memunculkan proses pembentukan harga yang tidak seimbang di antara para aktor yang terlibat (antara petani dan pedagang perantara serta dengan pedagang supra lokal).

(4)

3.3. Batasan Analisis

Pertama, masalah dan fokus penelitian ini adalah ketahanan (persistence) pasar nagari di Minangkabau yang dilihat sebagai sebuah gejala sosiologis yang berlangsung dalam konteks struktur sosial tertentu, yakni struktur sosial masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Struktur sosial yang dimaksudkan disini adalah mengacu kepada hubungan-hubungan sosial antara individu-individu, individidu-kelompok, kelompok dengan kelompok pada saat tertentu dan menunjuk pada perilaku (tindakan) yang diulang-ulang dengan bentuk dan cara yang sama. Jadi dia merupakan hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial tertentu dan antara peranan-peranan sosial tertentu. Menurut peneliti disini pasar dilihat sebagai sebuah institusi sosial yang di dalamnya sekaligus sebagai sebuah organisasi sosial.

Kedua; pasar disini dimaksudkan sebagai lingkup sosial (social sphere) yang memiliki dua dimensi yakni dimensi vertikal dan horizontal. Pasar dalam bentuk dimensi vertikal itu akan melihat aktor ekonomi yang bermain pada level mikro (pasar nagari) sampai pada level makro (eksportir). Tindakan ekonomi yang dilakukan di level makro akan mempengaruhi dinamika ekonomi di tingkat lokal (pasar nagari), begitu juga sebaliknya. Sedangkan pasar dalam dimensi horizontal akan melihat aktor ekonomi yang bermain pada level mikro; dalam artian bentuk perjuangan antar aktor ekonomi yang terjadi di tingkat mikro yang akan mempengaruhi proses pembentukan harga di pasar. Dengan demikian penjelasan mengenai pasar nagari di Minangkabau, tidak hanya cukup dijelaskan dengan analisis mikro (lokal) tetapi juga harus dilakukan pada analisis level meso dan makro, dengan bentuk keterkaitannya pada perekonomian di masing-masing level tersebut.

Ketiga; mengacu kepada dua pokok batasan di atas, maka pilihan teori sosiologi ekonomi dengan aliran new economic sosiology (NES) menjadi acuan kerja dalam penelitian ini. Teori ini merupakan aliran teori sosiologi ekonomi terbaru dari bidang kajian sosiologi ekonomi yang muncul sebagai bentuk keinginan untuk saling menyapa dan meneguhkan dengan sosiologi ekonomi Weber dan sebagai pelengkap dalam aliran kelembagaan ekonomi baru (new instituional economics) yang dimunculkan oleh North. Teori sosiologi ekonomi baru ini diharapkan akan memberikan rambau-rambu dalam upaya memperoleh pemahaman mengenai ketahanan pasar nagari di Minangkabau dalam ekonomi dunia.

(5)

3.4. Pilihan Paradigma2 Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian sosiologi dengan bidang kajian sosiologi ekonomi. Lazimnya sebuah penelitian, khususnya bidang kajian sosiologi ekonomi, penelitian ini memiliki ciri tertentu yang menjadi ciri khas dari penelitian sosiologi, yakni merupakan penelitian kualitatif, yang bersifat naturalistik atau alamiah, yang dilakukan pada suatu latar alamiah tertentu, dan memiliki kasus tertentu.

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan, maka untuk mendekati subjek penelitian dan menciptakan pemahaman yang disepakati bersama antara tineliti dengan peneliti maka studi ini menggunakan pendekatan multi metode guna mendekati persoalan yang diajukan. Pilihan metodologi penelitian—juga metode penelitian--sekaligus menentukan pilihan paradigma dalam penelitian ini.

Penelitian ini, secara paradigmatik, memposisikan diri pada paradigma non-positivistik, yang muncul sebagai kritik atas paradigma non-positivistik, yang menganggap bahwa realitas di luar sana sepenuhnya dikendalikan oleh hukum alam, sehingga tugas peneliti adalah menemukan dan merumuskan hukum-hukum alam yang bersifat objektif dan universal. Akan tetapi paradigma ini telah dianggap memiliki kelemahan, karena pada dasarnya indra manusia terbatas dan tidak mampu melihat dan memahami realitas keseluruhan secara utuh (Guba dan Lincoln, 2000; Lubis, 2004).

Dengan demikian dalam pandangan non-positivistik, karena terdapatnya keterbatasan indera manusia untuk memahami realitas sepenuhnya, akibatnya setiap peneliti melihat dan memahaminya secara berbeda sesuai dengan sudut pandangnya yang subyektif (Guba dan Lincoln, 2000). Sehinggga, sebagai penelitian yang memposisikan diri pada paradigma non-positivistik, tujuan penelitiannya tidak diarahkan pada penemuan hukum-hukum atau teori yang berlaku secara universal dan dapat digeneralisir, tetapi diarahkan pada pengembangan teori

2

Paradigma disini dimaksudkan adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok kajian yang semestinya harus dipelajari sebagai displin ilmu (Ritzer, 1981). Keragaman paradigmatik dapat terjadi disebabkan adanya perbedaan pandangan philosopis, konsekwensi logis dari perbedaan teori dan sifat metodologis yang digunakan untuk mencapai kebenaran. Dapat juga dikatakan bahwa paradigma adalah seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun tindakan seseorang baik dalam keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah (Guba, 1990 dalam Salim, 2001). Bahwa seperangkat keyakinan dasar atau pandangan dunia (worldview) tentang sifat dunia, tempat individu di dalamnya dan bentuk hubungan terhadap dunia tersebut beserta bagian-bagiannya, mencakup unsur-unsur ontologi, epistimologi, dan metodologi tersendiri yang satu dan lainnya saling terkait (Guba dan Lincoln, 1994, dan Sitorus, 1999:45).

(6)

yang mampu memberikan pemahaman yang mendalam tentang subjek kajiannya, sekaligus menemukan berbagai variasi yang terjadi di dalamnya (Guba, 1990 dalam Lubis, 2004).

Pilihan paradigma membimbing peneliti untuk melihat realitas yang diteliti serta bagaimana prosedur penelitian dilakukan (Lubis, 2004). Guba dan Lincoln (2000, 163-186), mengemukakan empat paradigma utama yang bersaing dalam ilmu pengetahuan dengan berbagai asumsi-asumsi yang mendasarinya, yaitu positivisme, post-positivisme, teori kritis (critical theory), dan paradigma konstruktivisme (constructivism). Guna mengarahkan penelitian ini, paradigma konstruktivis telah digunakan.

Pilihan atas paradigma konstruktivis dilatarbelakangi oleh pertimbangan ontologi dan epistemologi yang dianut paradigma ini. Secara ontologi, paradigma konstruktivis (adalah) bersifat relativis, artinya realitas yang dipahami bersifat plural (multiple realitas). Realitas tidak dapat dinyatakan secara jelas dan pasti (intangible), konstruksi mental, didasarkan atas pengalaman yang bersifat sosial-budaya, lokal dan spesifik, sehingga konstruksi ilmu pengetahuan tidak bersifat obyektif-universal. Ilmuwan akan selalu memahami realitas dari ontologi yang relatif (perspektif, paradigma, kerangka teori) tertentu, sehingga ilmuwan tidak melihat realitas secara utuh atau tidak secara lengkap (Lubis, 2004). Sedangkan secara epistemologi, paradigma konstruktivis bersifat transaksional dan subyektivis. Dimana antara peneliti dengan subyek penelitian saling terkait dan interaktif. Dari segi metodologi, paradigma konstruktivis, muncul dengan metodologi hermeneutik dan dialektis (partisipatif), yang menggunakan metode interpretatif fenomenologi, interpretatif hermeneutik, dan yang lainnya, yang oleh Swant (dalam Lubis, 2004) dimasukkan sebagai metode konstruktivis.

Dengan menggunakan paradigma konstruktivis, kiranya dapat memotret realitas sosial dan aktifitas ekonomi yang terjadi di pasar, karena realitas yang dimaksud--menggunakan terminologinya Hardiman (2003)--tidak hanya realitas objektif—yaitu realitas yang berada di luar diri orang yang kita teliti, tetapi juga realitas subyektif, yaitu realitas yang berada di dalam diri orang yang kita teliti yang menyangkut kehendak dan kesadarannya. Antara kedua realitas ini memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.

(7)

Lebih jauh Hardiman (2003) menjelaskan bahwa realitas yang kita temukan dalam bentuk objektif, berupa data kemudian kita terus mencari penjelasannya, kaitan sebab akibatnya, sehingga ada harapan peneliti menembus gejala dan menemukan realitas subjektif. Namun untuk sampai kesana peneliti harus; Pertama, berjumpa dengan pribadi orang tersebut, bertanya dan mendapatkan jawaban. Kedua, dengan sungguh-sungguh mau memahami (verstehen)3 realitas itu. Jika kedua langkah tersebut dilakukan, barulah kita dinamakan ‘mempersoalkan realitas’ atau ‘mempersoalkan kewajaran’.

Dengan demikian, menurut Hardiman (2003), untuk melihat realitas, kita harus meneropongnya dari ‘luar’ dan dari ‘dalamnya’ (kita perlu mengambil bagian di dalam realitas tersebut). Artinya disini kita ikut berbagiharapan, perasaan, perjuangan, cita-cita, kekecewaan, dan seterusnya. Inilah yang dinamakan memahami ‘dari dalam’ (menyelami realitas bathin).

Meneropong (pemahaman) ‘dari luar’, ini hanya sebuah refleksi tahap awal. Kita akan mendapatkan perbandingan, mencari kaitan/sebab-akibat, menelusuri sejarahnya, dan sebagainya. Dengan demikian kita menemukan struktur-struktur yang membuat individu atau masyarakat seperti itu. Disini didapat sebuah analisis empiris tentang realitas. Barulah kemudian dilakukan upaya meneropong (pemahaman) ‘dari dalam’. Disinilah kita menemukan komplek-komplek perasaan, keinginan, pikiran-pikiran yang berkaitan dengan persoalan yang kita sorot. Peneliti menemukan bahwa suatu masalah itu bukan hanya soal material yang objektif, melainkan juga menembus penghayatan bathin dan kesadaran individu yang bersangkutan. Ini dinamakan refleksi tahap ke dua.

Dari upaya melakukan penyelaman terhadap realitas bathin yang paling dalam, disamping menelusuri realitas lahiriah seluas-luasnya, tentunya ditemukan :

3

Bagi Weber, verstehen (interpretative understanding) adalah sebuah upaya atau pendekatan untuk memahami makna perilaku sosial (social behavior), jadi tidak hanya sekedar mencari hubungan sebab akibat semata dari sebuah realitas sosial (Turner, 1998;352), yang dalam terminologinya Geertz--sebagai seorang Weberian—disebut dengan “thick description” (lukisan mendalam) (Geertz, 1992; 3-39).

(8)

1. Struktur-Struktur umum yang paling luas dan niscaya akan berdiri di luar orang yang bersangkutan (tineliti) dan berkaitan dengan dirinya. Kita menemukan sejarahnya, susunan kelasnya, tuntutan kebudayaannya, dan sebagainya.

2. Menemukan struktur-struktur subyektif paling dalam yang berkaitan dengan kesadaran orang yang kita teliti (tineliti). Kita memperoleh persepsi-persepsi cara berfikir, sikap-sikap, disposisi, cita-cita dan seterusnya. Secara luas tidak hanya tineliti yang dapat kita pahami tetapi secara luas masyarakatnya juga dapat dipahami.

Namun disadari bahwa mempersoalkan realitas bukanlah sebuah persoalan yang gampang dan gamblang. Ada kaitannya dengan realitas yang sangat khusus ke bahagian yang paling total atau holistik dan ke kesadaran yang paling subyektif sampai ke idiologi yang paling objektif (Hardiman, 2003). Juga ditegaskan, yang harus dipahami realitas tidak selalu mirip dengan potret sebelumnya karena ia bersifat dinamis, bergerak, mengalir (dalam proses ‘menjadi’). Sehingga jadilah realitas itu menurut penafsiran yang diyakini, karena yang berkuasa menafsirkan realitas sebagai realitas adalah ilmu-ilmu pengetahuan4.

3.5. Metode Penelitian

Berkaitan dengan pilihan paradigma diatas, maka penelitian ini mengarah pada pendekatan kualitatif (qualitative approach), dengan informasi yang bersifat subyektif dan historis. Untuk maksud yang demikian, penelitian ini menggunakan strategi studi kasus5, dengan pertimbangan bahwa penelitian ini memberikan peluang yang sangat kecil bagi peneliti untuk mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti, disamping penelitian yang dilakukan adalah menyangkut peristiwa atau gejala kontemporer dalam kehidupan yang rill (Yin, 1996).

4

Untuk lebih jelasnya persoalan “menemukan realitas”, “melihat realitas”, atau “mempersoalkan realitas” dalam melakukan penelitian lihat Hardiman (2003), Melampaui Positivisme dan Modernitas; Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modrnitas. Kanisius, Yokyakarta.

5

Pilihan atas strategi studi kasus adalah dikarenakan peneliti ingin memahami situasi-situasi yang unik dan kemudian mengidentifikasinya dengan menggali informasi sebanyak mungkin. Kasus yang dipelajari bervariasi seperti, individu, kelembagaan, kelompok sosial, periode waktu, atau komunitas, yang kemudian dijelaskan secara mendalam dan “holistik” (lihat Yin, 1996, Creswell, 1995, Patton, 1990).

(9)

Selanjutnya, penentuan atas paradigma yang digunakan jelas telah mengarahkan peneliti untuk menggunakan sejumlah metode yang tentunya masih berada dalam satu ranah. Penelitian bersifat multi metode, diantaranya yaitu :

1). Metode sejarah sosiologis (sociological history) dan metode Sosiologi sejarah (historical sociology)6 yang dimaksudkan untuk melihat antara lain; 1) melihat keberadaan pasar nagari dan pemasaran kayu manis dari masa pra kolonial sampai pada masa pemerintahan kolonial Belanda—sebelum diterapkannya “The Coffee Cultivation System” 1847—hingga sekarang. 2). Untuk melihat pasar nagari sebagai bagian dari kelembagaan ekonomi masyarakat nagari yang “melekat” dalam jaringan kerja sosial personal yang sedang berlangsung diantara para aktor, dan dalam sosial-kultural masyarakat secara keseluruhan.

2). Metode Fenomenologi. Metode fenomenologi yang dimaksud adalah fenomenologi Husserl, bukan metode fenomenologi Kant dan Hegel yang membatasi fenomena hanya pada pada gejala-gejala empiris. Kant hanya mengacu pada pada apa yang tampak, sesuatu yang tampak itu dapat dipahami dan dimengerti, sedangkan segala sesuatu yang berada di luar jangkauan pengamatan langsung dianggap berada di luar kajian (wilayah) ilmu pengetahuan. Jadi fenomenologi pada Kant adalah bentuk epistemologi yang meyakini kemungkinan untuk mengetahui fenomena saja dan bukan noumena. Kesadaran dianggap tertutup dan terisolir dari realitas, tidak terkait dengan faktor sosial-historis. Bagi Husserl, sebaliknya, fenomenologi adalah bentuk epistemologi atau metoda yang berupaya untuk mendapatkan pengertian yang benar yaitu yang menangkap realitas seperti apa adanya. Kita menangkap realitas dalam pengertian kita. Dalam pengertian itulah kita bertemu dan bersatu dengan realitas. Dalam pertemuan itulah realitas menampakkan diri dan

6

Mengingat Ketahanan Pasar Nagari dari waktu ke waktu adalah sebuah gejala sosial yang tidak hanya mencakup aspek historis (prosessual) tetapi juga merupakan aspek struktural (sosiologis) maka diharapkan dengan menggunakan kedua metode ini dapat diungkap perubahan atau perspektif sosiologis (unsur-unsur sosial) seperti, struktur sosial, sistem politik, jaringan interaksi, struktur organisasi, pola perilaku dan sebagainya. Dengan demikian yang pertama menunjuk kepada sejarah yang disusun dengan pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua menunjuk kepada studi sosiologi mengenai suatu kejadian atau gejala dimasa lampau. Untuk lebih jelasnya lihat Kartodirdjo, Sartono, (1992, hal. 156-160) Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Cf. Sitorus, (1999, hal. 46-47).

(10)

sekaligus juga menyembunyikan diri. Untuk itu ada upaya untuk menyingkap selubung realitas yang didasarkan atas keyakinan bahwa kita dapat melihat kenyataan yang sesungguhnya dalam fenomena7. Pengetahuan semakin lama menjadi semakin sempurna jika mampu mengungkap sisi tersembunyi dari realitas itu, karena manusia menyelidiki terus. Karena itu dapat dimengerti ketika Popper mengemukakan sifat “teori tentative”, artinya kebenaran teori diterima sementara, yaitu sebelum teori itu dibuktikan salah oleh orang lain. Dengan demikian, tidak ada objektivitas tanpa subjek, dan tidak ada pula objek yang tampak tanpa suatu sudut pandang (perspektif) (Lubis, 2004).

3). Metode interpretative hermeneutik. Ini dimaksudkan dalam rangka mencoba menafsirkan fakta, teks-teks8 yang ada, untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi dibalik realitas-realitas yang ada. Ini berangkat dari asumsi bahwa pemasaran adalah suatu realitas yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti politik, sosial-kultural, sehingga dibutuhkan berbagai metoda dalam mendekati fenomena yang ada. Tidak mungkin untuk menggunakan paradigma positivis disini, yang melihat pemasaran sebagai sesuatu yang linier, yang pasti.

Dalam pandangan sosiologis, banyak faktor yang mempengaruhi pemasaran suatu barang/produk. Inilah sebabnya kenapa peneliti mempertimbangkan untuk menggunakan metode-metode dimaksud9. Dengan menggunakan metoda

7

Bandingkan dengan Turner (1998; 352-354), yang melihat bahwa ditangan Husserl (1859-1938), metode fenomenologi telah menjadi sebuah “orgy of subjectivism” dan lebih menonjolkan persoalan realitas kesadaran dan kaitannya dengan kesadaran mental. Turner (1998), juga melihat bahwa dalam proyeknya, Husserl, lebih menekankan bahwa seseorang tidak dapat secara langsung mempunyai kontak dengan realitas, dan kontak tersebut selalu secara tidak langsung dan dimediasi melalui proses pemikiran manusia (human mind). Karenanya proses kesadaran dianggap penting dan menjadi pusat pengetahuan sehingga dalam sebuah penyelidikan harus mencoba memahami bagaimana proses tersebut beroperasi dan mempengaruhi manusia (individu) (Turner, 1998).

8

Dalam metode interpretative hermeneutik, yang dimaksud dengan teks dan inter teks adalah bukan teks dalam artian buku atau sumber-sumber tertulis saja tetapi adalah juga upaya untuk menafsir/”membaca” suatu peristiwa atau realitas yang ada apakah itu realitas bathin berupa;hasil pemikiran, gagasan-gagasan, ide, dan “konteks-konteks tertentu” atau realitas yang nampak yang kemudian kita coba anyam atau tenun menjadi sebuah tulisan (intertektualitas) (lihat Lubis, 2003). Dengan demikian menafsirkan fakta dan teks-teks yang ada diartikan sebagai hari-hari yang diterjemahkan atau ditafsirkan bukan karya atau teksnya saja, tetapi juga konteks saat teks itu dibuat. 9

Dengan demikian kajian ilmiah tentang masalah sosiologi ekonomi atau tindakan ekonomi (economic action) dari individu dalam lingkup kolektif sangat terbantu dengan munculnya pemikiran post-positivis dan post-modernis, yang kemudian dapat dijadikan sebagai dasar berpijak bagi kajian ini. Epistimologi sosiologi ekonomi adalah paradigma holistik yang mencoba untuk menyatukan antara teori dengan praksis emansipatoris. Titik tolak teori yang memadukan antara ilmu pengetahuan (teori) dengan keinginan, kepentingan (perasaan) serta tindakan. Ini tentu saja didasarkan atas teori kritis dan

(11)

interpretative hermeneutik dapat secara kritis menyingkap kesalahan dan kebohongan teks, bahkan kemungkinan terdapatnya distorsi pada teks, komunikasi dan tindakan (Lubis, 2004; Guba dan Lincoln, 2000; Salim, 2001:38-47). Dengan demikian, penggunaan metode ini dimaksudkan untuk memahami tanda-tanda, makna, penampilan/tampilan sesuatu atau simbol-simbol yang muncul dalam suatu peristiwa. Di sini peneliti membuat suatu penafsiran yang muncul dalam suatu peristiwa yang sedang diamati atau yang sedang dialami (Lubis, 2003, 2004; Poespoprodjo, 1987). Seperti penafsiran terhadap tanda-tanda atau simbol-simbol yang muncul dalam transaksi atau proses pertukaran di pasar dan dalam proses pemasaran. Seperti apakah ada tanda dalam ikatan/pengepakan kayu manis yang dibuat, tanda yang dibentuk untuk menentukan kadar air kayu manis, tanda atau isyarat yang disepakati antar pedagang di pasar atau simbol-simbol yang muncul dalam proses pelelangan kayu manis di Pasar Lelang Lokal Kayu manis.

Dengan menggunakan multi-metoda, persoalan yang diungkapkan dan dijelaskan dapat dicapai secara maksimal, sekalipun penjelasan/pemaparan yang dimaksud, diakui tidak mampu mewakili realitas yang sesungguhnya secara keseluruhan. Memang, dalam penelitian kita hanya meneliti realitas tertentu saja (ontology relatif) dari paradigma atau kerangka konseptual tertentu, sehingga sebagai seorang ilmuwan (peneliti) adalah tidak memungkinkan bagi kita untuk mengambil posisi “God’s Eye Point of View” dalam mengobservasi realitas atau fenomena yang ada (Putnam, 1983 dalam Lubis, 2003).

3.6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejalan dengan pilihan metode yang dikemukakan sebelumnya yakni: sejarah sosiologis yang melihat ketahanan (persistence) pasar adalah sebuah gejala yang mengandung dimensi-dimensi struktural (sosiologis) dan dimensi prosesual (history),

postmodernis, dan jelas bukan atas paradigma modern yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan bersifat bebas nilai, kepentingan, kuasa dan praksis. Bila modernitas menekankan kesatuan dan universalitas ilmu pengetahuan (grand-narrative) maka teorisi postmodern lebih menerima narasi-narasi (plural) ilmiah yang dapat saja datang dari berbagai etnis, budaya, kelas, warna kulit, sehingga pengakuan terhadap perbedaan dan keanekaragaman itu melahirkan “keanekaragaman suara” atau wacana/narasi ilmiah (Lebih detailnya lihat Lubis, 2004, dalam “Metode Hermeneutika dan Penerapannya Pada Ilmu Sosial, Budaya dan Humaniora; Paradigma Baru Dan Persoalan Metodologi Ilmu Sosial-Humaniora Dan Budaya Pada Era Postmodern, 2004. Metode Fenomenologi, 2004.

(12)

agar kedua dimensi ini dapat diungkapkan pilihan strategi studi kasus harus dipadukan dengan sosiologi sejarah dan sejarah sosiologi yang dapat diungkapkan melalui pembacaan dokumen-dokumen historis, dan penuturan lisan dari tokoh masyarakat, kepala kaum (penghulu), niniak mamak, dan anggota KAN. Dengan demikian upaya untuk melihat bagaimana pasar nagari mampu bertahan dari waktu ke waktu sebagai sebuah dinamika sosial dalam masyarakat tentunya akan dapat ”ditangkap”.

Untuk metode fenomenologi, yang berusaha mengungkapkan fenomena mengenai bagaimana aktor bermain di pasar yang kemudian akan ikut menentukan ketahanan pasar di sepanjang waktu, maka tehnik pengumpulan data yang dipilih adalah dengan melakukan pengamatan berperan serta (participant-observation) dalam artian untuk melihat persoalan realitas kesadaran dengan cara melakukan kontak langsung dengan realitas sosial. Dengan demikian akan bisa dipahami bagaimana suatu proses sosial beroperasi dan mempengaruhi manusia (individu) (Turner, 1998).

Dengan demikian teknik pengamatan berperan serta

(participant-observation) dilakukan untuk mendapatkan data primer (Patton, 1990; Bogdan dan

Taylor, 1992, Morgan, 1988; Denzin dan Lincoln, 1994; Salim, 2001, Marvasti, 2004; Babbie, 2004), maksudnya peneliti turut terlibat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang diteliti, mendengar dan melihat secara cermat apa-apa yang dikatakan dan dilakukan oleh subjek penelitian. Di samping itu pengumpulan data primer juga dilakukan dengan metoda wawancara. Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan informasi dari para pengelola pasar, aktor ekonomi yang ada (pedagang dan petani kayu manis) di pasar nagari dan para pemuka adat, atau informan10 yang dianggap bisa menjelaskan hal-hal yang ingin digali/diketahui dari daerah penelitian. Untuk penentuan informan ini dilakukan dengan teknik bola salju

10

Sebutan informan ditujukan pada seseorang yang memberikan informasi mengenai hal-hal diluar dirinya sendiri. Menggunakan terminologinya Koentjaraningrat (1994), disini informan akan dibedakan pada dua bahagian yaitu: informan pangkal dan informan kunci. Yang pertama dimaksudkan adalah individu yang pertama kali ditemui dan dianggap mampu memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai informan-informan lain yang seharusnya ditemui dan dianggap ahli tentang hal-hal yang ingin diketahui peneliti. Yang terakhir ini dinamakan informan kunci (lihat Koentjaraningrat, 1994).

(13)

(snowball sampling)11 (Babbie, 2004; 184) sehingga dengan teknik ini diperoleh jumlah informan sebanyak 160 orang yang terdiri dari: 84 orang petani kayu manis, 48 orang pedagang pengumpul kayu manis, 22 orang dari pemimpin nagari dan 6 orang dari unsur pemerintah. Dari 84 orang petani kayu manis mereka dapat dikategorikan lagi menjadi: 43 orang petani panen tidak menentu, 18 orang petani panen satu kali setahun, dan sebanyak 23 orang petani dengan waktu panen dua kali setahun/lebih. Untuk 48 orang pedagang pengumpul pasar nagari mereka dapat dikelompokan menjadi 27 orang pedagang yang bermodal kuat, dan 21 orang pedagang tanpa modal (cingkariak) (10 orang pedagang sumber modalnya dari pedagang besar kabupaten, dan 11 orang pedagang sumber modalnya dari ”inang-inang”. Terakhir sebanyak 7 orang adalah pedagang besar kabupaten/supra lokal.

Teknik wawancara dilakukan secara tidak berstruktur dalam artian wawancara lepas dengan subyek penelitian dengan menyiapkan terlebih dahulu pokok-pokok pertanyaan, karena yang dicari adalah keterangan dan penjelasan lebih dalam dari para aktor yang terlibat dalam tindakan sosial ekonomi di pasar nagari (petani dan pedagang kayu manis serta pengelola pasar) yang menyangkut; pertukaran (pembentukan harga), jaringan kerja, (relasi sosial, dan interaksi sosial)12, regulasi pasar, ekonomi moral, serta “perjuangan” dan “kompetisi” aktor yang terjadi di pasar. Wawancara mendalam (individual depth interview), juga dilakukan dalam penelitian ini. Ini dimaksudkan untuk menjaring kompleksnya persoalan yang dilihat dan kemampuan pengetahuan yang dapat diketahui/digali dari tineliti, serta bila tineliti (orang yang diteliti) tersebar dalam wilayah geografi yang luas serta diduga adanya tekanan dari kelompok kecil (peer pressure) (Debus

11

Snowball sampling adalah suatu metoda sampling yang nonprobability yang sering digunakan dalam penelitian lapangan di mana masing-masing orang yang di interview, memberikan informasi tentang siapa-siapa yang memungkinkan untuk di interview berikutnya (lihat Babbie, 2004; 184). 12

Mencoba memahami konsep yang di perkenalkan Weber, Veeger (1993) menjelaskan bahwa antara relasi sosial dan interaksi sosial adalah dua konsep yang memiliki arti sama tapi tidak serupa. Dua konsep ini adalah konsep dasar yang abstrak dan bersifat mendasar, yang berusaha untuk menjangkau realitas sosial. Tidak bisa dikatakan bahwa setiap kontak dengan orang lain akan menghasilkan relasi sosial. Relasi sosial hanya bisa dicapai bila dua orang individu atau lebih sebelumnya melakukan tindakan saling “mengamati”, “menafsirkan” (menginterprtasikan) dan mencoba memahami gerak-gerik masing-masing, kemudian barulah kedua belah pihak menentukan tindakan atau tingkah lakunya, sehingga menimbulkan hubungan yang timbal balik. Jadi masing-masing pihak mempunyai maksud dan cara tertentu sebelum bertindak. Sedangkan interaksi sosial menyangkut sejumlah pelaku yang saling mempengaruhi, sehingga relasi antara mereka menjadi kentara dalam suatu kelakuan kongkrit (lihat Veeger, 1993; 174-175).

(14)

dan Novelli, 1996). Dengan metoda ini diharapkan upaya melakukan penyelaman (penjelajahan) terhadap realitas bathin (refleksi tahap ke-2) terhadap tineliti dapat dilakukan (Hardiman, 2003).

Faktanya, selama periode pengumpulan data di lapangan (Januari 2006 s/d Februari 2007), peneliti mengalami sejumlah kendala, terutama sulitnya mendapatkan data sekunder yang menyangkut besaran produksi petani kayu manis, nilai produksi, jenis/kualitas yang dibutuhkan pasar dunia serta bagaimana peran

state atau pemerintahan daerah setempat terhadap tataniaga kayu manis. Dapat

dikatakan bahwa tidak selamanya faktor kedekatan emosional, kultural (seperti bahasa, sesuku, sekampung) antara tineliti dengan peneliti memberikan kemudahan dalam mendapatkan/mengungkapkan realitas yang sesungguhnya. Untuk kasus ini, semakin dekat ikatan emosional, kultural peneliti dengan tineliti semakin sulit mendapatkan data. Peneliti semakin dicurigai dan tineliti semakin tertutup pada peneliti dan sangat berhati-hati dalam memberikan informasi dan bersikap, sehingga sulit untuk diketahui realitas bathin si tineliti. Ternyata sikap curiga, kehati-hatian atau tidak mau (sangat tertutup) memberikan informasi tineliti-- terutama masalah kualitas cassivera yang diharapkan pedagang supra lokal, harga untuk tiap kualitas kayu manis pada minggu tersebut, besaran permintaan pasar supra lokal yang harus dipenuhi, serta volume pengiriman ke pedagang supra lokal atau eksportir setiap minggunya-- disebabkan karena tineliti tidak mau rahasia dagangnya di tiru orang lain atau diketahui oleh peneliti sebagai seorang putera daerah (sekampung), bahkan dianggap jika peneliti diberi tahu maka ada kekhawatiran kepercayaan masyarakat atau petani akan berkurang padanya.

Untuk mengatasi kondisi dan ketersendatan data ini, peneliti mencoba untuk menggunakan orang luar (outsider) untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, terutama data dari para pedagang perantara. Ternyata, strategi ini berhasil dan data seperti volume pembelian per minggu, volume penjualan ke supra nagari (Padang) per pedagang dan harga penjualan dengan mudah dapat digali. Keberhasilan menggunakan orang luar (outsider) dalam mendapatkan data dari pedagang cenderung disebabkan oleh pedagang merasa tidak akan membahayakan rahasia perdagangannya. Artinya pedagang mau memberikan data secara rinci bahkan memperlihatkan buku atau catatan pembeliannya dan pengirimannya per minggu. Mereka menganggap orang luar setelah penelitian akan pergi dan tidak akan

(15)

bertemu dengan mereka lagi. Jadi mereka tidak perlu menganggap orang luar sebagai saingan atau pihak yang harus ditakuti. Sebaliknya, mereka tertutup terhadap peneliti sebagai bagian dari masyarakat setempat dikarenakan mereka merasa takut rahasia perdagangan mereka akan disebarluaskan kepada petani kayu manis lainnya. Berarti anggapan melakukan penelitian di daerah sendiri, tidak selamanya memberikan kemudahan dalam berkomunikasi atau menggali informasi dan mendapatkan data, malah untuk data-data tertentu yang dibutuhkan mereka sangat tertutup terhadap peneliti yang dianggap “orang dalam”.

3.7. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini digunakan metode analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan umum tentang hubungan antar berbagai kategori data, untuk membangun teori substantif yang berasal dari data yang tersedia (Marshall dan Rossman, 1989). Hal ini sejalan dengan Patton (1990, cf. Marvasti, 2004), yang menjelaskan, dalam penelitian kualitatif, analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisirnya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.

Dengan demikian pekerjaan menganalisis data dalam hal ini adalah berupa mengatur, mengurut, mengelompokkan, memberi kode dan mengkategorikannya, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam menganalisis data. Pengkategorian dan pengkodean disesuaikan dengan rumusan pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam meng interpretasikan data, menyeleksinya dan kemudian menjelaskannya dalam bentuk sebuah deskripsi analitis.

Untuk menjawab tujuan pertanyaan dalam penelitian ini, data yang dikumpul dikelompokkan menjadi data aktifitas produksi petani, data aktivitas pedagang kayu manis, data aktifitas aktor di pasar nagari, data besaran produksi petani produsen, nilai produksi untuk tiap jenis kualitas kayu manis yang dihasilkan.

(16)

Selanjutnya, guna melihat sejauh mana hasil penelitian ini dapat diyakini sebagai sebuah kebenaran,13 dan dapat dipercaya sekalipun derajat kebenaran dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditetapkan secara pasti (masalah validitas internal), peneliti berusaha untuk meraihnya setinggi mungkin. Adapun usaha yang dilakukan adalah dengan menguji keabsahan data dengan cara: 1) melakukan teknik triangulasi metoda; 2). triangulasi sumber; 3) triangulasi teori. Atau dengan melakukan langkah-langkah yakni: 1). pengamatan berulang; 2). Triangulasi; 3). Masukan tineliti (member-check) (Moleong, 1995 dan Lincoln dan Guba, 1985 dalam Sitorus, 1999; 52).

Peneliti melakukan teknik triangulasi metoda dengan cara melakukan pengecekkan derajad kepercayaan hasil temuan dengan beberapa sumber data dengan metoda yang sama. Dalam analisis ini dibandingkan hasil wawancara dengan petani, pedagang dan dengan aktor lainnya, juga dengan instansi terkait menyangkut persoalan yang sama.

Selanjutnya, peneliti juga melakukan teknik triangulasi sumber, yakni dengan membandingkan data hasil wawancara yang individu dengan hasil wawancara kelompok, dengan data hasil pengamatan berperan serta yang dilakukan di kebun kayu manis, pasar-pasar nagari, pasar lelang lokal kayu manis dan di gudang-gudang pedagang kayu manis, yang ada di desa, nagari ataupun di tingkat kecamatan.

Disamping itu, peneliti juga melakukan teknik triangulasi teori, yakni dengan cara membandingkan hasil analisis sendiri dengan tema dan penjelasan dan penelitian lain dan kemudian membandingkan hasil penelitian dengan fikiran logis. Berikut membuat abstraksi dan interpretasi yang kemudian diberi penjelasan kualitatif. Terakhir, sebelum kesimpulan final dari hasil temuan dimunculkan sebagai kesimpulan akhir, dilakukan verifikasi dengan subyek penelitian, sehingga diperoleh kesesuaian pemahaman atau makna (intersubyektifitas) antara peneliti dan tineliti.

13

Perdebatan yang tidak terselesaikan dalam ilmu pengetahuan sekitar masalah benar dan salah, objektif universal versus kebenaran relatif dalam ilmu pengetahuan sering disebabkan karena keterbatasan pemahaman permasalahan epistemologi. Dalam pandangan pascapositivisme, kebenaran teori tidak pernah sempurna,karena ilmuwan selalu menghadapi realitas berdasarkan paradigma (Kuhn), berdasarkan perspektif (Nietzsche) atau kerangka konseptual tertentu (Putnam). Penemuan kepastian (kebenaran mutlak) tentang semua bentuk pengetahuan tidak mungkin karena manusia adalah makhluk yang kontingen dan fallible. Namun bukan berarti bahwa semua ilmu pengetahuan kita salah dan tidak berguna untuk lebih jelasnya lihat Lubis, 2003, 2004).

(17)

3.8. Pemilihan Daerah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Salimpaung, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, dan Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Ketiga kecamatan ini dipilih secara sengaja (purposive sampling) dengan alasan: daerah tersebut adalah daerah sentra produksi kayu manis di kabupaten Tanah Datar dan Agam, Sumatera Barat. Hampir 80 persen tataniaga atau perdagangan kayu manis adalah dilakukan melalui daerah ini, terutama melalui pasar-pasar nagari dan pasar lelang lokal yang ada di kabupaten ini. Bahkan dikatakan bahwa, 60 persen dari produksi total kayu manis Indonesia berasal dari Sumatera Barat, dan 95 persen dari produksi kayu manis tersebut diperdagangkan melalui Sumatera Barat (Disnas Perkebunan Tanah Datar, 2000).

Pada sisi lain, pada umumnya penduduk di daerah penelitian memiliki kebun kayu manis sebagai tanaman perkebunan utama. Bahkan tanaman ini telah menyatu dengan nilai-nilai budaya masyarakat, terutama menyangkut dengan adat istiadat perkawinan, artinya setiap memulai ikatan perkawinan, seorang calon mempelai pria punya kewajiban untuk menanam sebanyak seribu batang pohon kayu manis di kebun istrinya. Hal ini semacam tanda ikatan perjanjian/ikatan perkawinan, yang disebut “adat Tambilang Besi”. Jadi dalam hal ini tanaman kayu manis merupakan tanaman yang selalu dibudidayakan oleh masyarakat disana--disamping faktor struktur tanah dan cuaca yang sangat mendukung untuk itu.

Fenomena yang muncul adalah di dalam mengembangkan dan melaksanakan pertaniannya, disaat hasil produksi kayu manisnya dibawa ke pasar-pasar nagari bahkan ke pasar-pasar lelang lokal sekalipun, mereka merasa berada di posisi tawar yang sangat lemah. Harga yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh pedagang tingkat desa atau pedagang tingkat nagari sangat rendah. Inilah yang perlu untuk ditelusuri. “Bagaimana” dan “kenapa” pasar (kayu manis) nagari bisa bertahan dalam kondisi yang demikian. Bagaimana pembentukan harga atau pertukaran yang terjadi dipasar? Bagaimana jaringan sosial yang terbentuk di pasar? Kenapa hal yang demikian bisa terjadi? Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas kiranya akan dapat diketahui bagaimana pasar nagari dapat bertahan dalam kondisi yang demikian.

(18)

3.9. Unit Analisis

Bagaimana unit analisis dalam sebuah penelitian ditentukan, itu sangat tergantung pada persoalan yang dilihat/diteliti. Untuk penelitian mengenai pasar nagari ini, unit analsis yang dipilih adalah kelompok dan individu (individu sebagai anggota kelompok/grup), yang dalam terminologinya Weber dikatakan “methodological individualism” (Weber, 1964; Ritzer, 1992 dan Damsar, 1997; Nugroho, 2001). Terdapat sejumlah petimbangan mengapa individu dijadikan sebagai unit analisa dalam penelitian ini. Pertama, sebagai konsekwensi atas pilihan paradigma yang telah diletakkan dalam penelitian ini, yang melihat realitas sosial atau gejala sosial itu ada pada individu atau internalized dalam individu, sehingga satuan analisisnya adalah tingkah laku individu dan kolektivitas hanya sebagai hasil teratur dari perbuatan-perbuatan individu (Veerger, 1993). Dalam terminologi sosiologi dikenal dengan group behaviour (behavioral pattern)

Kedua, realitas sosial yang dikonstruksikan oleh individu yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dan saling berbagi makna, dan keberadaan realitas sosial tersebut tidak dapat dipisahkan dari individu. Individu-individu merupakan realitas kongkrit dan obyektif dan masyarakat hanya merupakan nama yang merujuk pada asosiasi diantara mereka. Jadi tindakan individu merupakan sumber informasi utama dalam rangka memahami fenomena sosial (Nugroho, 2001). Ketiga, para aktor—seperti petani dan pedagang—yang ditemukan dipasar adalah merupakan individu-individu yang berada dalam suatu jaringan sosial personal tertentu, regulasi tertentu, “kode etik” tertentu dan dalam bentuk pertukaran tertentu. Artinya dalam penelitian ini, individu dilihat sebagai anggota kelompok (group) sehingga penelitian ini dapat mengungkap dan mengkonstruksi ”group behaviour” (behavioral pattern).

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pemasaran jangka panjang bagi restoran Fujiya adalah untuk memperkuat citra dari restoran Fujiya ini sendiri di mata masyarakat dan juga menjadi restoran

Dari pelatihan dan memberikan kesempatan yang sama akan memberikan penanbahan jumlah sumber daya manusia (SDM) dengan kualitas yang sama sebagai operator proses

Panduan Praktis Menemukan Ayat dan Hadis, al-Qur‟an al-Karim yang dikaji dengan asal kata dan derivasinya yang bermakna kewirausahaan dalam 3 bentuk kata

Berdasarkan hasil uji coba dan analisis pada perangkat lunak yang menggunakan proses segmentasi berbasis citra, proses filterisasi menggunakan operasi morphologi

Hal tersebut menunjukkan bahwa praktik kerja industri memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan penguasaan hardskill siswa kelas XI Program Keahlian Teknik

Darah dari donor atau sampel dapat dipisahkan menjadi komponen yang berbeda: Darah dari donor atau sampel dapat dipisahkan menjadi komponen yang berbeda:

Berdasarkan hasil penelitian hanya empat elemen yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian dari Sembilan elemen dalam Saxena (1990), yaitu elemen kendala utama, elemen

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan multimedia interaktif untuk pembelajaran Tipografi dalam mata kuliah Disain Komunikasi Visual dan untuk menemukan