• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Judul. Perancangan Sekolah Luar Biasa Tunarungu Dengan Pendekatan Deafspace Guidelines

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Judul. Perancangan Sekolah Luar Biasa Tunarungu Dengan Pendekatan Deafspace Guidelines"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang 1.1.1. Judul

Perancangan Sekolah Luar Biasa Tunarungu Dengan Pendekatan Deafspace Guidelines

1.1.2. Definisi dan Pemahaman Judul

Untuk memperjelas judul pembahasan Tugas Akhir ini, maka perlu diketahui definisi tiap kata yang menyusun judul. Penjabarannya adalah sebagai berikut:

 Perancangan : proses, cara, perbuatan merancang (KBBI, 2008)

 Sekolah Luar Biasa: salah satu jenis sekolah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK)1  Tunarungu: atau tuli atau gangguan dengardalamkedokteranadalah kondisi fisik

yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan seseorang untuk mendengarkansuara.(KBBI, 2008)

 Deafspace Guidelines merupakan pedoman desain lingkungan binaan untuk tunarungu2

Dari definisi diatas, maka dapat diambil pemahaman sebagai berikut: Perancangan Sekolah Luar Biasa Tunarungu Dengan Pendekatan Deafspace Guidelines merupakan proses perancangan sebuah sekolah untuk penderita tunarungu yang didasarkan pada pedoman tata ruang dan lingkungan binaan yang terdapat pada deafspace guidelines.

1

http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=, 8 Maret 2010 2

http://www.hbhmarchitecture.com/index.php?/ongoing/deaf-space-design-guide/, diakses pada 28 Desember

(2)

1.1.3. Latar Belakang Permasalahan

Pendidikan merupakan aspek penting untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia. Salah satu aspek penting yang diperlukan untuk menunjang mutu pendidikan adalah adanya sarana dan prasarana yang memadai, tenaga pendidik yang berkualitas dan keterlibatan peserta didik. Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai hingga saat ini dinilai belum cukup. Terlebih sarana pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, pemilihan judul “Perancangan Sekolah Luar Biasa Tunarungu dengan Pendekatan Deafspace Guidelines” ini mempertimbangkan beberapa aspek berikut ini, antara lain:

1. Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Sebagai Aset Pendukung Adanya Pendidikan Khusus

Yogyakarta sebagai ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak predikat, salah satunya adalah sebagai kota pelajar dan pusat pendidikan. Hampir 20% penduduk usia produktif di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah pelajar dan mahasiswa. Di seluruh wilayah DIY sendiri terdapat 137 perguruan tinggi yang tersebar di berbagai wilayah.Oleh karena itu sudah selayaknya Yogyakarta memiliki fasilitas penunjang terkait dengan pendidikan, tidak hanya bagi pendidikan umum namun juga pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus.

Hal ini juga selaras dengan visi pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta3 yaitu “Terwujudnya pembangunan regional sebagai wahana menuju pada kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2020 sebagai pusat pendidikan, budaya dan daerah tujuan wisata terkemuka, dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir batin didukung oleh nilai-nilai kejuangan dan pemerintah yang bersih dalam pemerintahan yang baik dengan mengembangkan ketahanan Sosial Budaya dan sumberdaya berkelanjutan.”

3

Prof. Dr. Haryadi dalam “Pemantapan DIY Sebagai Pusat Budaya Terkemuka di Masa Depan Perspektif

Pendidikan”, http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/SEMINAR%20BUDAYA%20BAPEDA.doc, diakses pada

(3)

2. Keterbatasan Pemerintah dalam Menyelenggarakan Sekolah Inklusi

Pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dipisahkan dalam Sekolah Luar Biasa menimbulkan potensi hubungan sosial bagi siswa SLB. Ada indikasi bahwa siswa tersebut akan mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan dunia luar dan masyarakat umum. Pada kondisi ideal, seharusnya semua sekolah dasar maupun sekolah lanjutan dapat menjadi sekolah inklusi yang menerima siswa dengan kebutuhan khusus.Merujuk pada UU no 84 tahun 1997 yang menerangkan bahwa “Pada setiap pekerjaan dan perusahaan harus menyediakan tempat minimum 10% bagi karyawan penyandang cacat tubuh”. Apabila diterapkan dalam institusi pendidikan, maka setiap sekolah formal setidaknya menyediakan 10% dari kuota total siswa untuk siswa dengan kebutuhan khusus. Dalam Permendiknas No 70 tahun 2009 ditegaskan kembali tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa.

Namun kondisi yang ada saat ini, pengadaan sekolah inklusi belum merata karena keterbatasan pemerintah maupun yayasan pendidikan swasta dalam pengadaan sekolah inklusi. Proses pengadaan sekolah inklusi yang merata masih panjang dan terbatas dari segi dana dan kemampuan Sumber Daya Manusia, akibatnya masih banyak anak berkebutuhan khusus yang tidak bisa mendapatkan pendidikan formal. Oleh karena itu, peran Sekolah Luar Biasa masih sangat penting dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak difabel.

3. Difabel dan Kebutuhan Pendidikan

Ada beberapa istilah yang mengacu kepada penyandang cacat, pemerintah sendiri dalam data statistik menyebut penyandang cacat dengan sebutan penyandang disabilitas.Sekitar tahun 1998, beberapa aktivis gerakan penyandang cacat memperkenalkan istilah baru untuk mengganti sebutan penyandang cacat. Istilah baru tersebut adalah “difable” yang merupakan singkatan dari kata berbahasa Inggris “different ability people” yang artinya adalah “orang yang berbeda kemampuan”.4

4

Bahrul Fuad, dalam “Kecacatan Dalam Belenggu Terminology”, http://cakfu.info/2006/09/kecacatan-dalam-belenggu-terminology/, diakses pada 2 November 2013

(4)

Terkait dengan bidang pendidikan, terdapat beberapa regulasi pemerintah yang mengacu kepada pendidikan bagi anak difabel, diantaranya: a. UUD 45 (amandemen) Pasal 31 ayat (1) dan ayat 2 tentang hak pendidikan

bagi warga negara

b. UU No. 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional

Pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4) tentang kesamaan hak pendidikan tanpa memandang kondisi fisik, emosional, mental, kecerdasan maupun kondisi geografis

c. Pasal 32 ayat (1) dan (2), tentang pendidikan khusus dan layanan khusus d. UU No. 23 th 2002 tentang perlindungan anak

Pasal 51, tentang kesamaan kesempatan dan aksesibilitas pendidikan bagi anak cacat fisik dan/atau mental

Pasal 52, tentang kesamaan kesempatan dan aksesibilitas pendidikan bagi anak yang memiliki keunggulan

Pasal 53, tanggungjawab pemerintah dalam membiayai pendidikan pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar dan anak yang berada di daerah terpencil.

Oleh karena itu, ketersediaan sekolah untuk difabel, dalam hal ini sekolah luar biasa maupun sekolah inklusi sangat penting. Mengingat jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang menurut data WHO berjumlah sekitar 10% dari jumlah penduduk Indonesia, ini berarti penyandang disabilitas di Indonesia berjumlah 23 juta jiwa.5 Selain itu, Prof. dr. Sunartini, SpA (K), PhD dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta mengungkapkan bahwa diperkirakan antara 3-7 % atau sekitar 5,5-10,5 juta anak usia di bawah 18 tahun menyandang ketunaan atau masuk kategori anak berkebutuhan khusus.Jumlah anak difabel pada usia tersebut juga yang menunjukkan anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan pendidikan.

Menurut data Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di Indonesia ada sekitar 1600 sekolah luar biasa dari berbagai tingkatan dan kategori yang

5

Jonna Damanik, dalam “Ayo Peduli Sekolah Luar Biasa”, http://majalahdiffa.com/index.php/kasus/pindai/209-ayo-peduli-slb-sekolah-luar-biasa, diakses pada 31 Januari 2013

(5)

tersebar di Indonesia, namun ironisnya hampir 70% dari jumlah SLB tersebut dikelola secara mandiri oleh masyarakat sementara 30% lagi adalah SLB negeri. Jumlah ini masih sangat jauh rasio perbandingannya agar dapat menampung anak difabel di dunia pendidikan formal.Masih dibutuhkan ratusan SLB lagi.Jumlah 5,5-10,5 juta anak difabel jelas tak tertampung di 1600 an SLB. Kalau kita membagi berarti 1 SLB harus menampung 4.400 siswa difabel.Selain itu, SLB yang ada juga masih sangat harus didukung oleh seluruh komponen masyarakat agar bisa meningkatkan kualitas dan mengembangkan diri.

4. Kategori SLB Berdasarkan Jenis Ketunaan

Kategori difabel dibedakan berdasarkan jenis ketunaannya seperti yang dijelaskan dalam UU Sisdiknas No 20/2003 Pasal 32 ayat 1 yaitu:

a. Tunanetra

b. Tunarungu-tunawicara

c. Tunagrahita: Ringan (IQ = 50-70), Sedang (IQ = 25-50), antara lain Down Syndrome

d. Tunadaksa Ringan dan Tunadaksa sedang e. Tunalaras (Dysruptive), HIV-Aids dan narkoba f. Autis, dan Sindrom Asperger

g. Tunaganda

h. Kesulitan belajar/lambat belajar (antara lain : hiperaktif, ADD/ADHD), Dysgraphia/tulis, Dyslexia/baca, Dysphasia/bicara, Dyscalculia/hitung, Hyspraxia/motorik

i. Gifted : potensi kecerdasan istimewa (IQ > 130), Talented: potensi bakat istimewa (multiple intelligences: language, logico-mathematic, visuo-spatial, bodily-kinesthetic, musical, interpersonal, natural, intrapersonal, spiritual); dan indigo.

Adapun bentuk satuan pendidikan/lembaga sesuai dengan kekhususannya di Indonesia dikenal SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat

(6)

ganda. Dewasa ini sekolah luar biasa memberikan pelayanan untuk satu kategori difabel saja atau beberapa kategori difabel.Sehingga dikenal adanya SLB khusus yang menangani satu jenis ketunaan dan SLB campuran yang menyediakan pelayanan untuk beberapa kategori ketunaan. Meskipun demikian, menurut salah satu pengajar di SLB B Karya Bakti Don Bosco Wonosobo, akan lebih efektif apabila anak difabel mendapatkan pengajaran sesuai dengan ketunaan yang dimiliki. Selain karena tenaga pendidik dan sarana pembelajaran kurang mendukung di SLB campuran, penanganan khusus dan lebih intensif akan mendapatkan hasil belajar yang optimal.

Setiap anak memang memiliki karakter yang berbeda dengan anak lainnya, terlebih anak berkebutuhan khusus yang jelas berbeda dengan anak biasa dan membutuhkan penanganan khusus dalam hal pendidikan.Anak difabel dengan ketunaan yang bersifat fisik dan ketunaan yang bersifat mental jelas memiliki karakter yang jauh berbeda.Bahkan dalam lingkup ketunaan fisik pun, anak tunanetra, tunarungu dan tunadaksa memiliki karakter yang tidak bisa disamakan. Selain itu, dengan adanya pendidikan khusus, potensi siswa akan lebih terlihat untuk kemudian dikembangkan secara optimal. Pendidikan khusus juga bertujuan untuk menyiapkan anak difabel agar nantinya dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial yang lebih luas.

5. Karakteristik dan Statistik Difabel Kategori Tunarungu

Difabel kategori tunarungu merupakan salah satu kategori difabel yang memerlukan penanganan khusus. Secara umum, tunarungu mengalami gangguan pada indera pendengarannya, namun secara kecerdasan intelektual, sama dengan anak-anak biasa yang mampu mendengar. Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam hal komunikasi verbal, sehingga terhambat dalam perolehan informasinya.Indera penglihatan menjadi indera utama yang dipakai untuk memperoleh informasi, dibantu juga dengan kemampuan merasakan getaran.Anak tunarungu juga mengalami kesulitan berbicara.Tidak ada kerusakan pada organ pita suaranya, namun ketidakmampuan berbicara ini disebabkan karena pengaruh gangguan pendengarannya. Anak tunarungu tidak pernah mendengar orang lain berbicara, juga tidak mampu mendengar suara yang dikeluarkan sendiri. Metode penggunaan bahasa isyarat merupakan salah satu alternatif untuk berkomunikasi. Namun metode tersebut dipandang tidak

(7)

efisien apabila diterapkan ada lingkup interaksi sosial yang lebih luas yaitu dengan anak lain yang mampu mendengar. Anak tunarungu mampu memiliki kemampuan intelektual yang sama dengan anak normal lainnya. Tentunya perlu didukung dengan sekolah khusus yang memiliki sarana dan tenaga pengajar yang mewadahi kebutuhan anak tunarungu.

Di Indonesia, anak tunarungu menduduki angka yang cukup tinggi dibandingkan dengan anak difabel lain. Seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Difabel di Indonesia Berdasarkan Kategori

NO JENIS KEBUTUHAN KHUSUS USIA 6-11 TAHUN USIA 12-15 TAHUN SUB TOTAL 1 Tunanetra (A) 2315 761 3076 2 Tunarungu (B) 13277 3748 17025 3 Tunagrahita Ringan (C) 24306 5854 30160 4 Tunagrahita Sedang (C1) 11581 2554 14135 5 Tunadaksa Ringan (D) 1848 408 2256 6 Tunadaksa Sedang (D1) 732 129 861

7 Tuna Laras (E) 645 247 892

8 Autis (F) 2920 207 3127

9 Tuna Ganda (G) 642 139 781

TOTAL 58266 14047 72313

Sumber: Pemaparan Direktur PPK-LK,Pendidikan Dasar, 2012

Jumlah tersebut belum termasuk penderita tunarungu dengan usia dibawah 6 tahun dan usia diantara 15-18 tahun yang masih perlu mendapatkan pendidikan formal. Sementara jumlah sekolah khusus tunarungu di Indonesia berjumlah 97 sekolah dan belum semuanya memenuhi standar sekolah khusus tunarungu.

(8)

Di Provinsi DIY sendiri, jumlah difabel berdasarkan ketunaan dapat dilihat dari data berikut:

Tabel 1.2 Tabel Jumlah Difabel di DIY

NO KABUPATEN/ KOTA KATEGORI DIFABEL JUMLAH A B C D G 1 Kulonprogo 735 554 1341 1565 316 4511 2 Bantul 994 668 1628 2371 446 6108 3 Gunungkidul 1335 1126 1997 3043 536 8037 4 Sleman 927 789 2195 2247 484 6642 5 Yogyakarta 316 183 479 782 167 1927 Jumlah 4307 3320 7640 10008 1949 27225

Sumber: Data Dinas Sosial Kanwil D.I.Y, 2010

Jumlah penyandang tunarungu pada tahun 2010 adalah 3320 penderita untuk segala usia. Jumlah tersebut menempati peringkat ketiga dibandingkan penderita difabel kategori yang lain.

Data lain yang didapat dari Sumber Data Hasil Pemutakhiran Data PMKS Dan PSKS Tahun 2012 yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial DIY, disebutkan bahwa pada tahun 2012 jumlah Anak Dengan Kedisabilitasan (ADK) meningkat dengan jumlah total ADK yaitu 3910 anak. ADK adalah seseorang yang berusia 18 tahun ke bawah yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan fungsi-fungsi jasmani, rohani, maupun sosialnya secara layak, yang terdiri dari anak dengan disabilitas fisik, anak dengan disabilitas mental dan anak dengan disabilitas fisik dan mental.

Kriteria ADK itu sendiri adalah sebagai berikut:

1. Anak dengan disabilitas fisik: tubuh, netra, rungu wicara

2. Anak dengan disabilitas mental: mental retardasi dan eks psikotik 3. Anak dengan disabilitas fisik dan mental/disabilitas ganda

(9)

Persebaran jumlah anak difabel di Provinsi DIY adalah sebagai berikut:

Tabel 1.3Tabel Jumlah Anak Difabel di DIY

NO KABUPATEN/KOTA JUMLAH % 1 Kulonprogo 687 17,57 2 Bantul 940 24,04 3 Gunungkidul 1026 26,24 4 Sleman 926 23,66 5 Yogyakarta 332 8,49 Jumlah 3910 100

Sumber: Data Dinas Sosial Kanwil D.I.Y, 2012

Sedangkan jumlah SLB di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri terdapat 76 SLB dengan persebaran di tiap Kabupaten/ Kota yaitu seperti pada tabel berikut:

Tabel 1.4 Daftar Perbandingan Jumlah Kecamatan dan Jumlah SLB di DIY

NO KABUPATEN JUMLAH KECAMATAN JUMLAH SLB 1 Kulonprogo 12 7 2 Bantul 17 16 3 Gunungkidul 18 9 4 Sleman 17 28 5 Yogyakarta 14 9 Total 78 69

Sumber: Data Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga D.I.Y, 2013

Jumlah tersebut belum memenuhi rasio sekolah luar biasa yang ditetapkan pemerintah yaitu satu SLB setiap kecamatan.Selain itu dari data SLB tersebut diatas, SLB yang termasuk ke dalam kategori B untuk tunarungu hanya terdapat dua sekolah yaitu SLB Dharma Wiyata I Tempel dan SLB Karnnamanohara yang keduanya berlokasi di Kabupaten Sleman.

Belum lagi permasalahan penanganan anak difabel yang membutuhkan intervensi dini secara tepat. Pada anak tunarungu, intervensi dini dilakukan untuk memberikan terapi kepada anak tunarungu agar dapat berbicara dan memahami komunikasi dengan orang lain dengan melihat gerak bibirnya. Intervensi dini tersebut dapat diperoleh di SLB tunarungu yang menyediakan layanan bagi anak usia pra TK hingga usia TK. Sekolah yang memiliki

(10)

pelayanan demikian masih sangat terbatas, di Provinsi DIY hanya SLB Karnnamanohara yang menerima anak tunarungu dengan usia mulai pra TK.

Dengan rasio dan data-data yang ada, dapat disimpulkan bahwa masih dibutuhkan sarana pendidikan yang memadahi untuk anak dengan kedisabilitasan, khususnya sekolah khusus tunarungu yang menangani siswa difabel dengan spesifik sesuai dengan jenis ketunaan yang dimiliki. Selain mewadahi kebutuhan SLB tunarungu di Provinsi DIY, dapat juga menjadi alternatif sekolah khusus pilihan bagi siswa yang berasal dari daerah lain di Indonesia.

1.2. Permasalahan 1.2.1. Umum

Bagaimana merencanakan dan merancang bangunan Sekolah Luar Biasa Tunarungu sebagai sarana belajar bagi anak tunarungu yang mampu mewadahi fungsi utama serta memberikan kenyamanan dan mendukung proses pembelajaran.

1.2.2. Khusus

Bagaimana merencanakan dan merancang bangunan Sekolah Luar Biasa Tunarungu yang memenuhi standar kebutuhan dan memiliki desain lingkungan binaan mengacu pada karakter dan kebutuhan siswa tunarungu.

1.3. Tujuan 1.3.1. Umum

Rumusan konsep perencanaan dan perancangan bangunan Sekolah Luar Biasa Tunarungu sebagai sarana belajar bagi anak tunarungu yang mampu mewadahi fungsi utama serta memberikan kenyamanan dan mendukung proses pembelajaran.

1.3.2. Khusus

Rumusan konsep perencanaan dan perancangan bangunan Sekolah Luar Biasa Tunarungu yang memenuhi standar kebutuhan dan memiliki desain lingkungan binaan yang secara spesifik mengacu pada karakter dan kebutuhan siswa tunarungu.

(11)

1.4. Sasaran 1.4.1. Umum

1. Gambaran kegiatan belajar mengajar di Sekolah Luar Biasa Tunarungu 2. Karakter dan program ruang yang sesuai untuk siswa tunarungu

3. Mengidentifikasi aspek fisik bangunan yang dapat mengakomodasi dan memperlancar proses kegiatan belajar bagi siswa tunarungu

1.4.2. Khusus

Konsep pengintegrasian ruang dan desain yang tepat untuk proses pembelajaran siswa tunarungu

1.5. Lingkup Pembahasan

1.5.1. Pembahasan Non Arsitektural

1. Mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa tunarungu

2. Mengidentifikasi karakter siswa tunarungu dalam proses pembelajaran 1.5.2. Pembahasan Arsitektural

1. Mengidentifikasi proses kegiatan pembelajaran siswa tunarungu untuk memperoleh program ruang

2. Mengidentifikasi karakter siswa tunarungu dan kaitannya dengan aspek fisik bangunan yang dapat mendukung proses pembelajaran

3. Mengidentifikasi desain lingkungan binaan yang mampu mempermudah pengguna tunarungu dalam melakukan aktivitasnya

1.6. Metodologi Penulisan 1.6.1. Pengumpulan Data

1. Studi literatur

Metode ini digunakan untuk memperoleh data, fakta, peraturan, dan standar yang berkaitan dengan perancangan dan perencanaan Sekolah Luar Biasa Tunarungu.Sumber perolehan data berasal dari buku, artikel, internet, dan sebagainya dan digunakan untuk mengindetifikasi, menganalisa dan merumuskan konsep yang tepat untuk perancangan Sekolah Luar Biasa Tunarungu. Adapun rincian studi literatur adalah sebagai berikut:

(12)

a. Pengumpulan data dari instansi pemerintah yang terkait dengan Sekolah Luar Biasa Tunarungu

b. Studi literatur tentang Sekolah Luar Biasa

c. Studi literatur tentang tunarungu dan ruang khusus bagi tunarungu 2. Survey Lapangan

Metode ini dilakukan untuk mendapat data-data yang akurat dengan mengamati langsung kondisi di lapangan.Survey yang dilakukan adalah pengamatan bangunan dan hubungannya dengan kegiatan belajar di SLB Tunarungu.

3. Wawancara

Wawancara langsung (interview) dengan beberapa responden terkait untuk memperkuat konsep perancangan.

1.6.2. Pengolahan dan Analisis Data

1. Analisa data yang bersifat kuantitatif meliputi data tentang standar ukuran, program ruang, besaran ruang,

2. Analisa data yang bersifat kualitatif meliputi data tentang kualitas ruang yang sesuai untuk pengguna dan fungsi yang spesifik dan mengacu pada pendekatan dengan deafspace guidelines.

1.6.3. Sintesis/ Perumusan Konsep

Menarik kesimpulan dari hasil olahan data menjadi rumusan perancangan SLB Tunarungu yang dapat mengakomodasi kegiatan pembelajaran secara optimal.

1.7. Sistematika Penulisan Bab I. Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang, masalah, tujuan dan sasaran, lingkup pembahasan, sistematika penulisan, metode pembahasan, keaslian tulisan dan kerangka berpikir.

Bab II. Tinjauan Teori

Berisi tentang tinjauan teori dan fakta terkait dengan perancangan Sekolah Luar Biasa bagi tunarungu

(13)

Berisi tentang analisa bangunan dengan tipologi dan pendekatan serupa untuk dijadikan referensi dalam konsep perancangan Sekolah Luar Biasa bagi siswa tunarungu.serta analisa lokasi yang sesuai untuk perancangan tersebut.

Bab IV. Pendekatan Konsep Perancangan

Berisi tentang rumusan konsep dasar perancangan Sekolah Luar Biasa bagi siswa tunarungu

- Pendekatan konsep tata ruang bangunan - Pendekatan konsep fisik bangunan - Pendekatan konsep sistem bangunan Bab V. Konsep Perancangan

Berisi tentang perwujudan perumusan pendekatan konsep perancangan ke dalam konsep perancangan bangunan Sekolah Luar Biasa bagi tunarungu

- Konsep tata ruang bangunan - Konsep fisik bangunan - Konsep sistem bangunan - Konsep karakteristik ruang

1.8. Keaslian Penulisan

Untuk menghindari adanya kesamaan penulisan, keaslian penulisan ini dapat dibandingkan dengan judul dan permasalahan yang ditekankan dari tulisan-tulisan sebagai berikut:

1. Redesain Sekolah Luar Biasa Kota Jambi dengan Penekanan Lingkup Ruang Sebagai Sarana Terapi, Dindi Eneng Chandraning Sasmito, UGM: 2012

2. Sekolah Luar Biasa Bagi Anak Dengan Ketunaan Fisik dengan Pendekatan Konsep Integrasi Ruang Dalam dan Ruang Luar Sebagai Media Belajar Yang Atraktif Bagi Anak, Astriana Hardanti, UGM: 2012

3.

Sekolah Terapi Anak Autis Di Yogyakarta dengan Pendekatan Prinsip Feng Shui, Elisabeth Cita Sabella, UGM: 2012

4. Sekolah Luar Biasa Dan Sekolah Terapi Autis di Bekasi :dengan Penekanan Pada Healing Environment, Aviana Hanivatun Nisa, UGM: 2011

(14)

Dengan demikian tema yang dibahas tentang Perancangan Sekolah Luar Biasa Tunarungu dengan Pendekatan Deafspace Guidelines merupakan gagasan asli penulis karena memiliki objek pembahasan yang berbeda dengan tulisan-tulisan di atas.

(15)

1.9. Kerangka Pemikiran

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

LATAR BELAKANG

- Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Sebagai Aset Pendukung Adanya Pendidikan Khusus

- Keterbatasan Pemerintah dalam Menyelenggarakan Sekolah Inklusi

- Difabel dan Kebutuhan Pendidikan

- Kategori SLB Berdasarkan Jenis Ketunaan

- Karakteristik dan Statistik Difabel Kategori Tunarungu

PERMASALAHAN

Bagaimana merencanakan dan merancang bangunan Sekolah Luar Biasa tunarungu yang memenuhi standar dan memiliki ruang dan fasilitas yang dapat

mengakomodasi perilaku khusus siswa tunarungu dalam proses pembelajaran agar dapat berlangsung optimal.

TINJAUAN TEORI

Pembahasan Sekolah Luar Biasa Pembahasan deafspace guidelines

ANALISA STUDI KASUS DAN TINJAUAN LOKASI Berisi tentang analisa bangunan dengan tipologi dan pendekatan serupa untuk dijadikan referensi dalam konsep perancangan Sekolah Luar Biasa bagi siswa tunarungu.serta

analisa lokasi yang sesuai untuk perancangan tersebut.

Pendekatan Konsep Perancangan Sekolah Luar Biasa Tunarungu dengan Pendekatan Deafspace Guidelines

Konsep Perancangan Sekolah Luar Biasa Tunarungu dengan Pendekatan Deafspace Guidelines

Gambar

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Difabel di Indonesia Berdasarkan Kategori
Tabel 1.4 Daftar Perbandingan Jumlah Kecamatan dan Jumlah SLB di DIY

Referensi

Dokumen terkait

didiagnosis bahwa anak subjek menjadi berkebutuhan khusus, subjek merasa. sedih dan terpukul, subjek menyesali kejadian saat anak subjek jatuh

Tidak hanya itu guru juga harus memiliki rasa peduli dan kasih sayang kepada anak yang berkebutuhan khusus agar guru dapat mengajarkan dan membina anak tersebut

Memberikan informasi serta pemahaman mengenai anak berkebutuhan khusus tunarungu dalam belajar membaca al-Qur`an sehingga guru bisa berusaha untuk berkontribusi

Untuk memberikan sebuah cara belajar terhadap anak-anak berkebutuhan khusus sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh R.D Agustia dan I.N Arifin[4].Berdasarkan

Dikarenakan keterbatasan yang dimilikinya, maka anak berkebutuhan khusus dalam memelajari, memahami dan mendalami ajaran Islam, khususnya Pendidikan Agama Islam berbeda

Alasan penulis mengangkat topik ini, yaitu karena Pulas Katumbiri adalah bisnis sosial yang memberdayakan anak-anak yang berkebutuhan khusus yang ada di Sekolah Luar

Seiring berkembangnya teknologi yang semakin pesat, amat disayangkan lembaga bimbingan belajar yang mampu menghasilkan anak-anak berkebutuhan khusus dengan berbagai

Studi literatur adalah bentuk pengumpulan data yang berasal dari referensi buku, majalah, internet dan media lain yaitu buku mengenai anak-anak berkebutuhan khusus dan