• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI NARASUMBER WEBINAR STT GKST

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI NARASUMBER WEBINAR STT GKST"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI NARASUMBER WEBINAR STT GKST

12 OKTOBER 2020

1. Saya selaku dosen STFT Jakarta bidang Studi Pendidikan Kristiani diundang untuk memberi pemaparan dalam acara webinar yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Teologi (STT) Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) pada hari Senin, 12 Oktober 2020. Webinar ini diperuntukkan untuk civitas akademika STT GKST dan para pendeta dalam lingkup pelayanan GKST.

2. Tema pemaparan pada webinar ini adalah “Arah Pendidikan Kristiani di Era Revolusi Industri 4.0. Materi ini berbicara tentang desain Pendidikan Kristiani meresponi

sejumlah tantangan dan juga peluang yang dibawa oleh Revolusi Industri 4.0. Pemaparan materi ini terbagi atas dua bagian besar. Bagian pertama memaparkan tentang

perkembangan revolusi industri dari masa ke masa serta ciri khas setiap masa. Bagian kedua memetakan wajah Pendidikan Kristiani di era Revolusi Industri 4.0. Pada bagian kedua ini saya mencoba melihat kompleksitas persoalan yang dibawa oleh Revolusi Industri 4.0 dan bagaimana Gereja, dengan Pendidikan Kristianinya, bereaksi melalui daya kreasi, daya kritis, dan daya adaptasi sehingga PK tidak hanya sekadar dipahami sebagai upaya mentransmisi nilai-nilai kristiani dari generasi ke generasi dan

mengabaikan relevansinya dengan konteks kekinian umat. Revolusi Industri 4.0 membuat PK membaca kembali tradisi dan nilai-nilai yang selama ini diajarkan dari generasi ke generasi apakah masih relevan ataukah perlu dibaca kembali dari lensa konteks masa kini yang lebih kompleks.

3. Pada saat kegiatan ini berlangsung ada sekitar 45 orang yang mengikutinya via zoom. Pemaparan dan diskusi berlangsung sekitar 2 jam (15.00 – 17.00 WIB) yang difasilitasi oleh moderator dan berlangsung dengan baik.

4. Terlampir ToR kegiatan webinar ini dan materi tertulis yang saya paparkan.

Jakarta, 13 Februari 2021

(2)

YAYASAN PERGURUAN TINGGI KRISTEN GKST

STT GEREJA KRISTEN SULAWESI TENGAH TENTENA

Central Sulawesi Christian Church Theological Seminary

PANITIA PELAKSANA DIES NATALIS 2020

Tentena, 29 September 2020 Nomor : 07/I.1 /PAN.HUT/ STT /IX/ 2020

Lamp : -

Perihal : Permohonan sebagai Pembicara

Kepada yang terhormat,

Pdt. Justicia Vox Dei Hattu, Th.D di

Tempat

Salam Sejahtera.

Dalam rangka Perayaan Dies Natalis Pendidikan Guru dan Pendidikan Teologi ke 108 tahun dan Sekolah Tinggi Teologi GKST Tentena ke 29 pada tanggal 1 September 2020, dengan tema Berteologi Dalam Konteks Pandemi”, STT GKST Tentena mengadakan berbagai jenis kegiatan diantaranya adalah Webinar Berseri.

Untuk itu melalui surat ini kami memohon kepada Ibu kiranya berkenan untuk menjadi Pembicara pada kegiatan yang dimaksud, yang akan dilaksanakan pada :

Hari/Tanggal : Senin, 12 Oktober 2020 Pukul : 16.00 – 18.00 wita

Webinar 5 : Arah Pendidikan Agama Kristen Pada Masa Era Revolusi Industri 4.0 Demikian permohonan ini disampaikan atas kesediaan Ibu untuk menjadi pembicara disampaikan terima kasih, Tuhan memberkati.

Salam dan Doa

PANITIA HUT STT GKST Tentena, Ketua Pengarah Dr. Pdt. Yuberlian Padele. NIDN: 2311026101 Cc. file

Surat Keputusan Menteri Hukum & Hak Asasi Manusia RI Nomor : C-485.HT.03.01 Th.2005

Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bimas Kristen Kementerian Agama RI : Nomor. DJ.III/Kep/HK.00.5/217/2014

Alamat : Jl.Torulemba No 21 Tentena 94663 Poso Sulawesi Tengah Email : sttgkst@gmail.com

(3)
(4)

1 Webinar Sekolah Tinggi Teologi GKST

Senin, 12 Oktober 2020

Arah Pendidikan Kristiani di Era Revolusi Industri 4.0

1

(Oleh: Justitia Vox Dei Hattu)

Revolusi Industri 4.0 (selanjutnya disingkat RI 4.0) yang berkembang pesat dalam konteks Indonesia beberapa tahun belakangan ini dipacu kecepatannya ketika virus Covid-19 mewabah di seluruh dunia termasuk Indonesia. Kehadiran keduanya “menghantam” keras semua level dan dimensi kehidupan, termasuk Pendidikan Kristiani2 (selanjutnya

disingkat PK) dengan segala kompleksitas tantangan dan juga peluang yang dibawa sertanya. Pendidikan Kristiani sebagai salah satu ranah terdampak, mau tidak mau harus memberi responsnya, bahkan menjadikan RI 4.0 sebagai konteks yang darinya PK bersuara sekaligus mendefinisikan ulang dirinya.

Sebagai respons terhadap situasi ini, tulisan ini akan menggali kembali pemikiran Mary Elizabeth Moore tentang education for continuity and change untuk memperlihatkan bahwa Pendidikan Kristiani selalu hadir dari dan berakar pada konteks tertentu, dan dalam kehadirannya tersebut PK selalu berada dalam ketegangan antara apa yang harus dipertahankan dan apa yang harus diubah. Pemikiran Klaus Schwab akan disandingkan dengan pemikiran Moore untuk memperlihatkan pemetaan dampak RI 4.0 terhadap semua elemen kehidupan, termasuk pendidikan, dan bagaimana kita meresponsnya dengan mengembangkan empat kecerdasan diri, yakni: kecerdasan kontekstual (pikiran), kecerdasan emosional (hati), kecerdasan kehendak (jiwa), dan kecerdasan fisik (tubuh). Dengan bertumpu pada dua pemikiran ini, saya beragumen bahwa RI 4.0 telah menjadi pintu masuk bagi PK untuk menunjukkan daya tahan, daya adaptasi, daya ubah dan relevansinya terhadap konteks.

1 Tulisan ini dikembangkan dari makalah yang pernah dipresentasikan dalam Kuliah Umum Kala dan

Kalam STFT Jakarta pada hari Senin 15 Juni 2020 yang lalu. Makalah tersebut sudah direvisi dan dikirimkan ke salah satu jurnal nasional terakreditasi.

2 Pendidikan Kristiani adalah sebuah terminologi yang diperkenalkan sejak awal tahun 2000-an untuk

menggantikan “Pendidikan Agama Kristen (PAK)” yang dinilai telah terdistorsi maknanya menjadi hanya pelajaran agama di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Padahal Pendidikan Kristiani (dalam bahasa Inggris:

Christian Education) juga mencakup semua bentuk pelayanan/pembinaan/pendidikan yang dilakukan oleh

Gereja untuk memperlengkapi warga jemaat sehingga memiliki pengenalan yang benar tentang kekristenan dan menghidupinya dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa sekolah teologi yang sudah menggunakan terminologi ini adalah STFT Jakarta dan Fakultas Teologi UKDW, sementara masih banyak sekolah lain yang tetap menggunakan PAK dengan berbagai pertimbangan. Dalam tulisan ini, ketika saya menyebutkan PK saya memahami bahwa artinya sama dengan PAK. PK yang saya maksudkan di sini tidak hanya terorientasi pada sebuah mata pelajaran, melainkan sebagai aktivitas Gereja dalam mendidik, membina, memberdayakan warga jemaatnya.

(5)

2

Tulisan ini terbagi atas dua bagian besar. Bagian pertama menjelaskan secara singkat perkembangan Revolusi Industri pertama sampai dengan keempat dan berbagai perubahan yang dibawa serta oleh setiap tahapan. Bagian kedua memetakan sejumlah pergeseran dalam ranah PK sebelum dan saat RI 4.0 serta implikasinya bagi arah (baru) PK di era ini.

Revolusi Industri dari Masa ke Masa: Sebuah

Overview

Revolusi Industri 4.0 yang sedang kita hidupi saat ini adalah sebuah perjalanan panjang sejak tahun 1760-an ketika Revolusi Industri Pertama dicetuskan. Revolusi Industri 1.0 dimulai pada tahun 1760 s.d. kira-kira tahun 1840-an. Tanda utama pada era ini adalah pergeseran signifikan pola hidup masyarakat dari masyarakat pertanian ke masyakarat urban (Schwab 2017, 6; Savitri 2019, 8-9). Beberapa temuan utama pada era ini adalah Spinning Jenny (mesin pemintal benang), Power Loom (alat tenunan mekanis), Cotton Gin (mesin pemisah biji kapas dari serat kapas), besi modern, dan mesin uap (Savitri 2019, 10-18).

Revolusi Industri 2.0 berlangsung antara tahun 1850–1914. Ciri utama revolusi ini adalah revolusi teknologi yang ditandai dengan produksi massal, penemuan listrik dan berkembangnya sistem perakitan (Schwab 2017, 7). Beberapa penemuan pada era ini adalah: penggunaan baja menggantikan besi dalam sektor bangunan, penemuan telepon oleh Alexander Graham Bell, penemuan bola lampu oleh Thomas Alfa Edison dan Joseph Swan, penemuan piringan hitam, mesin pembakaran internal, mobil oleh Henry Ford, dan pesawat terbang (Savitri 2019, 29).

Revolusi Industri 3.0. Revolusi Industri 3.0 dimulai pada sekitar tahun 1960. Revolusi ini disebut juga sebagai revolusi komputer atau revolusi digital karena “dorongan pengembangan semikonduktir, komputer bingkai utama (1960-an), komputer pribadi (1970-an dan 1980-an) dan internet (1990-an)” (Schwab 2017, 7).

Revolusi Industri 4.0. Istilah Revolusi Industri 4.0 (Industry Revolution 4.0/4 IR) berasal dari seorang ekonom Jerman bernama Klaus Schwab, yang juga adalah pendiri World Economic Forum (EWF). Revolusi industri ini ditandai dengan peralihan dari manufaktur tradisional menuju virtual, yang mencakup: digital twinning, interaksi antara manusia dan mesin, ancaman dan keamanan siber, analisis data praktis, dan penggunaan perangkat lunak (Savitri 2019, 62). Terobosan teknologi yang dihasilkan pada era ini adalah robotika, kecerdasan buatan (artificial intelligence), nanoteknologi, komputasi kuantum, bioteknologi, Internet of Things (IoT), cetak 3D, dan kendaraan otonom (autonomous vehicles) (Schwab 2017, 7; Savitri 2019, 63). Pada era RI 4.0 ini kita akan melihat semakin meluasnya penggunaan robot untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia, mulai dari urusan

(6)

3

pekerjaan, keluarga, bisnis, urusan seks (misal: robot seks), termasuk juga bisnis online di Indonesia yang menjamur dengan spesifikasi untuk jual-beli, promosi transportasi, dan sebagainya (lih. Kasali 2018, xix-xxi). Yang menjadi pembeda utama antara Revolusi Industri 3.0 dan Revolusi Industri 4.0 adalah teknologi yang dihasilkan lebih canggih serta terintegrasi secara maksimal dengan berbagai sistem yang lain (Schwab 2017, 7).

Dalam konteks Indonesia, kita menyaksikan bagaimana respons masyarakat terhadap RI 4.0. Di satu pihak, banyak yang mensyukuri kemajuan ini, namun di sisi lain, masih ada yang berharap untuk tetap pada situasi yang ada. Cara orang Indonesia (tetapi juga warga dunia) bereaksi terhadap RI 4.0 ini sudah diprediksikan juga oleh Klaus Schwab. Dalam bukunya berjudul The Fourth Industrial Revolution, Schwab menegaskan bahwa setidaknya

ada dua faktor yang membatasi percepatan RI 4.0 secara efektif dan kohesif, yakni: (1) minimnya pemahaman tentang hal ini yang berdampak pada tidak memadainya

penyebaran inovasi maupun penanganan dampak yang ditimbulkan olehnya; dan (2) ketiadaan sebuah bahasa bersama yang secara konsisten dan positif menjelaskan

tantangan dan peluang dari RI 4.0 (Schwab 2017, 8-9). Pernyataan Schwab ini setidaknya menegaskan kepada kita bahwa RI 4.0 dengan segala tantangan dan peluang yang dibawa serta olehnya harus disikapi juga dalam dunia pendidikan masa kini jika pendidikan ingin tetap relevan dengan realitas tanpa kehilangan identitasnya. Itu sebabnya, saya setuju dengan pernyataan Schwab yang menegaskan bahwa, “tanggung jawab kitalah untuk menjamin bahwa kita membangun seperangkat nilai bersama untuk mengarahkan pilihan-pilihan kebijakan serta untuk menetapkan perubahan-perubahan mana yang akan membuat revolusi industri keempat ini menjadi peluang bagi semua pihak” (Schwab 2017, 13). Hal senada juga disampaikan oleh Eileen M. Daily, bahwa baik kita merespons perubahan-perubahan ini ataupun tidak, perubahan-perubahan ini secara otomatis memberi dampak pada diri, komunitas, gaya belajar (mengajar), dan berbagai aspek lain (Daily 2013, 126).

Wajah Pendidikan Kristiani di Era Revolusi Industri 4.0

Sebagaimana sudah diuraikan secara singkat di atas bahwa RI 4.0 membawa berbagai dampak bagi kehidupan masyarakat, institusi atau organisasi, termasuk dunia pendidikan dan gereja. Oleh karena itu, pada bagian ini saya ingin memetakan wajah PK di era RI 4.0 dan implikasinya bagi arah (baru) PK. Ketika membahas hal ini, saya mendasarkannya pada beberapa isu pedagogis PK, antara lain konsep dan tujuan PK, figur pendidik dan naradidik, dan model pembelajaran yang kesemuanya saya teropong dengan lensa RI 4.0.

(7)

4

Memetakan Ulang Pendidikan Kristiani dengan Lensa Revolusi Industri 4.0

Revolusi Industri 4.0 dengan sejumlah kompleksitas tantangan dan peluang yang dibawa serta olehnya menantang Gereja untuk bereaksi dengan menunjukkan daya kreasi, daya kritis, dan daya adaptasinya. Hal ini perlu dilakukan supaya PK tidak hanya sekadar dipahami sebagai upaya mentransmisi nilai-nilai kristiani dari generasi ke generasi dan mengabaikan relevansinya dengan konteks kekinian umat. Hal ini perlu juga dilakukan supaya orang tidak hanya menolak atau menerima berbagai perubahan tanpa bersikap kritis terhadapnya.

Mary Elizabeth Mullino Moore mengatakan bahwa PK pada dirinya akan selalu berada pada dua sisi: continuity dan change. Dari sisi continuity (keberlanjutan), kita akan bertanya apa saja yang perlu untuk tetap dipertahankan sehingga komunitas dan juga desain pendidikannya tidak kehilangan jati diri dan prinsip-prinsip yang selama ini dipegang tidak tergerus begitu saja, namun dari sisi change (perubahan) kita juga diperhadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang apa saja yang harus diubah sehingga pendidikan menjadi sesuatu yang relevan terhadap konteksnya. Bagi Moore, keberlanjutan di sini berfokus pada upaya komunitas untuk mewariskan (traditioning) kepercayaan, praktik beragama, nilai-nilai yang dipegang, serta cerita pengalaman anggota komunitas (Moore 1983, 22). Sedangkan perubahan berfokus pada tindakan membuat sesuatu yang berbeda atau menjadi berbeda. Ini termasuk mengubah (atau: membaca ulang) pola-pola yang normatif, kepercayaan, praktik, nilai-nilai dan cerita-cerita anggota komunitas maupun anggota di luar komunitas. Bagi Moore, tidak bisa hanya memilih salah satu di antaranya keduanya karena keduanya memperlihatkan dua sisi/dimensi dari PK itu sendiri, yang akan selalu menunjukkan ketegangan dan tarik-menarik di antaranya. Bagi moore, PK adalah proses traditioning (mewariskan sesuatu). Proses traditioning ini dicirikan oleh dua aktivitas utama, yaitu: hermeneutik (interpretasi) dan transformasi (Moore 1983, 20). Bagi Moore, “aktivitas hermeneutik membuka ruang bagi kita untuk melihat tradisi-tradisi masa lalu, pengalaman masa kini, serta ekspektasi dan harapan untuk masa depan; hermeneutik juga menyediakan jembatan untuk menghubungkan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang dari kehidupan kita sebagai seorang Kristen” (Moore 1983, 20-21). Sedangkan transformasi adalah perubahan pada diri seseorang, komunitas, dan budaya yang melekat pada mereka (Moore 1983, 21). Dua aktivitas ini tidak bisa dipisahkan, karena keduanya kait-mengait. Proses mewariskan ini harus dipahami sebagai sesuatu yang aktif dan tidak pernah berakhir. Ketika mengatakan kita setia pada tradisi, tidak berarti bahwa kita hanya berorientasi pada masa lalu dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak akan pernah berubah,

(8)

5

tetapi Moore juga mengajak kita untuk melanjutkan proses mewariskan ini ke masa depan. Sebab, PK pada dirinya sendiri akan menjadi miskin jika ia hanya berfokus pada keberlanjutan atau perubahan. Di titik ini, saya kira PK berada pada persimpangan untuk dengan segera mempertimbangkan nilai-nilai kearifan masa lalu dan merespons tantangan masa depan dengan segera; pada titik ini pula, PK berupaya untuk membenahi diri, mempertanyakan kembali nilai-nilai, tradisi-tradisi masa lalu yang tetap relevan, sambil dengan legowo membarui diri untuk menjawab tantangan konteks. Jika kita memetakan PK dalam konteks RI 4.0 dari perspektif Moore, maka ada sejumlah tradisi dan nilai yang perlu untuk diinterpretasi sambil mengajukan sejumlah catatan bagi pelaksanaan PK.

Figur Pendidik dan Naradidik dalam Perspektif Revolusi Industri 4.0

Hermawan Kartajaya dalam bukunya berjudul Citizen 4.0: Menjejakkan Prinsip-prinsip Pemasaran Humanis di Era Digital menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga perubahan besar

di dunia ini dengan adanya perkembangan pesat pada teknologi informasi, yaitu: “(1) vertikal menjadi horizontal, (2) eksklusif menjadi inklusif, dan (3) dari individual

menjadi sosial” (Kartajaya 2019, 32-34; lihat juga, Kotler, Kartajaya dan Setiawan 2019, 3-14). Meskipun konteks percakapan Kartajaya tentang tiga tren perubahan ini lebih banyak berbasis pada bidang pemasaran (ekonomi), namun saya melihat ada kemiripan antara apa yang terjadi pada dunia pemasaran dengan dunia pendidikan, secara khusus dalam relasi antara pendidik dan naradidik. Untuk itu saya mencoba melihat keterhubungannya dengan dunia pendidikan, terkhusus PK.

Perubahan pertama, dari vertikal menjadi horizontal, memperlihatkan bahwa model relasi antara pemasar dan konsumen yang dulunya bersifat top-down (vertikal) berganti menjadi horizontal. Pada masa lampau pemasar adalah pihak yang lebih banyak mengetahui tentang produk yang akan dipasarkan dan dengan pengetahuan tersebut dia (mereka) berupaya semaksimal mungkin untuk meyakinkan konsumen (Kartajaya 2019, 33; Kotler, Kartajaya dan Setiawan 2019, 10). Pengetahuan bersumber dari satu orang dan diperuntukkan untuk banyak orang. Pola seperti ini kita temukan juga dalam dunia pendidikan. Jika dulu, pendidik adalah orang yang diklaim sebagai yang paling tahu tentang berbagai hal, kini dengan perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat, terlihat jelas bahwa pendidik hanyalah satu dari sekian banyak orang yang mengetahui hal tertentu. Bahkan dalam kondisi-kondisi tertentu, naradidik lebih banyak tahu ketimbang pendidik. Hal ini disebabkan oleh proses digitalisasi yang mengubah data menjadi informasi menjadikan

(9)

6

mesin pencari informasi sebagai sumber pembelajaran bisa diakses oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja (lihat juga Kadarmanto 2018, 162). Bahkan Kotler, Kartajaya dan Setiawan menegaskan bahwa di era RI 4.0, dalam membuat sebuah keputusan orang akan lebih percaya kepada faktor-f, yaitu: “friends (teman), families (keluarga), fans Facebook, follower (pengikut) Twitter daripada para pakar” (Kotler, Kartajaya dan Setiawan 2019, 11). Selain itu, media sosial juga menjadi media tanpa batas karena akses untuk berjumpa dengan orang lain, termasuk dengan orang-orang yang tidak kita kenal sebelumnya, terbuka lebar. Di era RI 4.0 ini kita bisa dengan mudah berjumpa dengan pembicara-pembicara hebat dan mendengarkan narasi-narasi kehidupan dari berbagai tempat di Indonesia bahkan dari berbagai belahan dunia. Ini berarti, figur pendidik yang diharapkan di era RI 4.0 adalah seseorang yang mampu membangun pola-pola relasi yang dialogis, bukan lagi yang monolog apalagi bersikap seperti diktator.

Perubahan kedua, dari eksklusif menjadi inklusif, memperlihatkan posisi pemasar yang dulunya berada di ruang-ruang yang eksklusif dan berjarak dengan konsumen karena pengetahuan yang mereka miliki, kini ruang-ruang tersebut lebih inklusif karena kemudahan akses informasi oleh konsumen (lih. Kartajaya 2019, 33-34). Dalam dunia pendidikan, hal serupa juga terjadi. Dulu, siapa yang disebut sebagai pendidik hanya terbatas pada kelompok orang tertentu saja dan mereka dinilai sebagai orang-orang yang memiliki kepakaran pada bidangnya. Di era RI 4.0 (terkhusus dalam masa pandemi Covid-19) kita melihat bahwa para pendeta, orang-orang berpendidikan teologi, atau orang-orang yang selama ini dianggap qualified untuk mengajar bukan lagi pendidik tunggal, sebab muncul pendidik-pendidik baru yang nota bene datang dari berbagai kalangan yang berbeda, termasuk dari disiplin ilmu yang berbeda. Tidak ada lagi narasi tunggal dari para pemegang otoritas (pendidik), karena muncul narasi-narasi baru yang berbeda namun saling melengkapi. Dalam pengamatannya terhadap peran media digital, Schwab menemukan bahwa media seperti Facebook dan Instagram membuka peluang dan kesempatan bagi orang-orang untuk bersuara dan berpartisipasi di ruang publik (Schwab 2017, 95). Ini berarti, desain PK yang diharapkan di era RI 4.0 adalah desain pendidikan yang terbuka pada berbagai kemungkinan pengajar dan tidak bertumpu hanya pada orang-orang tertentu saja.

Perubahan ketiga, dari individual menjadi sosial, memperlihatkan bagaimana pemasar mampu menanggalkan keeksklusifan yang melekat pada dirinya dan berinteraksi secara proaktif dengan konsumen. Bahkan, menurut Kartajaya “konsumen menginginkan pemasar sebagai sahabat mereka, yang tidak hanya berinteraksi ketika ada transaksi saja, tetapi juga

(10)

7

pada kesempatan yang lain” (Kartajaya 2019, 34). Dalam dunia pendidikan, hal serupa juga terjadi. Pendidik yang baik di era RI 4.0 ada figur yang mampu bersahabat dengan naradidiknya. Wibawa dan kehormatan seorang pendidik tidak lagi diukur dari kemampuannya menjaga jarak dan bersikap “galak” tetapi yang tidak berjarak dan bersikap ramah bagaikan seorang sahabat terhadap para naradidiknya. Penguasaan dan pengenalan tiap generasi (dan teori generasi) menjadi hal yang tidak kalah pentingnya sehingga para pendidik (maupun naradidik) mengetahui dengan benar bagaimana harus berelasi satu terhadap yang lain.

Selain tiga perubahan di atas, profil pendidik dan naradidik yang diharapkan dalam desain PK di era RI 4.0 adalah figur-figur yang memiliki atau mau mengembangkan sejumlah kecerdasan dalam dirinya. Klaus Schwab dalam bukunya berjudul The Fourth Industrial Revolution mengusulkan empat jenis kecerdasan yang perlu ditumbuh-kembangkan dalam diri individu maupun kelompok di era RI 4.0, yaitu: “(1) kecerdasan kontekstual – pikiran; (2) kecerdasan emosional - hati; (3) kecerdasan kehendak – jiwa; dan (4) kecerdasan fisik – tubuh” (Schwab 2017, 106-111). Kecerdasan kontekstual (intelektual) menunjuk kepada upaya kita untuk memahami pengetahuan secara komprehensif dan mengaplikasikan secara tepat. Itu sebabnya, menurut Schwab, siapa yang berpikiran sempit dan selalu melihat masa depan dalam bingkai kepastian akan segera memfosil (Schwab 2017, 107). Schwab menggunakan analogi “rubah dan landak” untuk menjelaskan tipe kecerdasan ini. Baginya, di era disruptif ini lebih baik kita menjadi rubah daripada landak, sebab “berada dalam satu lingkungan yang semakin kompleks dan disruptif membutuhkan kelincahan intelektual dan sosial seperti rubah daripada memiliki memiliki fokus yang tetap dan sempit seperti landak” (Schwab 2017, 108). Kecerdasan emosional (hati) menunjuk pada kemampuan untuk menyatukan pikiran dan perasaan secara berimbang. Kecerdasan emosional merujuk pada kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan kemampuan sosial lainnya yang menghasilkan orang-orang yang memiliki daya tahan dan daya yang yang tinggi di masa-masa sulit (Schwab 2017, 108). Dengan mengutip pemikiran David Caruso, Schwab menjelaskan bahwa, “kecerdasan emosional tidak boleh dilihat sebagai kebalikan dari kecerdasan rasional/intelektual, atau kemenangan hati atas kepala, melainkan titik temu yang unik di antara keduanya” (Schwab 2017, 108). Kecerdasan kehendak – jiwa menunjuk kepada kemampuan untuk mencari makna dan tujuan secara terus-menerus. Terakhir, kecerdasan fisik (tubuh) menunjuk kepada kemampuan untuk menata dan menjaga kesehatan dan kesejahteraan diri sehingga tetap bugar dan tenang dalam menghadapi kompleksitas dunia dan disrupsi-disrupsi yang terjadi (Schwab 2017, 110). Bagi Schwab,

(11)

8

kesehatan tubuh menjadi penting karena ini memengaruhi cara seseorang berpikir, menentukan keputusan, dan kualitas relasi dengan orang lain.

Melengkapi empat kecerdasan yang diusulkan oleh Schwab di atas, menurut saya kecerdasan bermedia juga perlu dimiliki oleh pendidik dan naradidik di era RI 4.0. Kecerdasan bermedia menolong semua orang cerdas mengakses/mengunggah informasi/berita, cerdas menyeleksi, dan cerdas dalam mengembangkan informasi tersebut. Schwab menegaskan bahwa, “Dinamika media sosial yang memiliki fitur membagikan tautan dapat mendistorsi pengambilan keputusan dan menempatkan masyarakat dalam bahaya... Apa yang kita baca, bagikan dan lihat dalam konteks media sosial membentuk keputusan (teologis), politis, dan sosial kita” (Schwab 2017, 95). Kecerdasan bermedia ini juga penting karena dalam era RI 4.0 akan muncul dua kelompok: mereka yang melakukan perubahan versus mereka yang bertahan melawan; atau mereka yang tahu karena mereka tumbuh dan besar dalam dunia digital dan mereka yang sungguh-sungguh tidak tahu; atau, mereka yang mempunyai akses dan mereka yang tidak mempunyai akses (lih. Schwab 2017, 98).

Model Pembelajaran Pendidikan Kristiani di Era Revolusi Industri 4.0

Uraian tentang figur pendidik dan naradidik di atas, sedikit-banyaknya memberikan dasar bagi pengembangan model pembelajaran PK di era RI 4.0. Pengembangan model pembelajaran ini setidaknya berdasar pada tiga prinsip penting, yaitu: (1) model pembelajaran harus memanusiakan orang lain karena salah satu dampak yang tidak bisa dihindari dari RI 4.0 adalah tergerusnya nilai seorang manusia dan digantikan dengan kecanggihan teknologi; (2) model pembelajaran yang dikembangkan harus membuat kita pendidik dan naradidik atau para naradidik terkoneksi dan bukan terpolarisasi pada segmen-segmen tertentu yang mengarah pada perpecahan; dan (3) model pembelajaran harus mengedepankan aspek belarasa terhadap sesama, termasuk mereka yang terpinggirkan (atau dipinggirkan) karena kemajuan teknologi ini.

Dengan berbasis pada tiga prinsip di atas, maka model pembelajaran yang ditawarkan bukan lagi yang monolog, top-down dan didominasi oleh orang-orang tertentu. RI 4.0 menantang kita untuk lebih kreatif, inovatif, dan kolaboratif. Keterbatasan perjumpaan di dunia riil tidak membuat kita menjadi tidak kreatif. Kreativitas perlu diberi ruang dalam pengembangan model-model pembelajaran kita sehingga kita tidak terkesan sekadar memindahkan ruang kelas/ruang gereja/ruang kategorial/ruang pertemuan ke ruang virtual. Kreativitas juga perlu dikembangkan di luar jaringan. Revolusi model pembelajaran

(12)

9

juga harus tampak dalam spirit yang menghidupi PK, bahwa pendidikan sejatinya bukan lagi soal kompetisi (bersaing satu dengan yang lain dan mencari siapa yang lebih baik) melainkan kolaborasi (ada sesuatu dari yang lain yang bisa saya pelajari; apa yang dia miliki melengkapi atau menginspirasi saya melakukan sesuatu).

Akhirnya, semoga uraian ini sedikit mencerahkan dan menginspirasi kita untuk tetapi menjadi humanis di era RI 4.0.-

(13)

10

Daftar Acuan

Daily, Eileen M. 2013. The promise of mobile technology for public religious education. Religious Education 108 no. 2 (April): 112-128.

Kotler, Philip, Hermawan Kartajaya, dan Iwan Setiawan. 2019. Marketing 4.0: Bergerak dari tradisional ke digital. Jakarta: Gramedia.

Kadarmanto, Mulyo. 2018. Mandat profetik pendidikan Kristen di era revolusi industri 4.0. Stulos 16, no. 2 (Juli): 159-178.

Kartajaya, Hermawan. 2019. Citizen 4.0: Menjejakkan prinsip-prinisip pemasaran humanis di era digital. Jakarta: Gramedia.

Kasali, Rhenald. 2018. Disruption. Jakarta: Gramedia.

Moore, Mary Elizabeth. 1983. Education for continuity and change: A new model for Christian religious education. Nashville: Abingdon Press.

Savitri, Astrid. 2018. Revolusi industri 4.0: Mengubah tantangan menjadi peluang di era disrupsi 4.0. Yogyakarta: Genesis.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan konsep, tema, teknik, bentuk dan proses visualisasi lukisan dengan judul “Prosesi Tradisi Upacara Grebeg Ngenep Sebagai

Pada variabel capital adequacy ratio pada thitung sebesar 0.969 dengan ttabel sebesar 1.65639 dengan demikian menunjukkan H0 diterima dan Ha ditolak atau dengan asumsi

Pada Gambar 4, terlihat juga bahwa puncak Raman untuk SiC-TO bergeser menuju bilangan gelombang yang lebih pendek ketika temperatur deposisi dinaikkan dari 750

juga mencakup seleksi atas tenaga konsultan baik konsultan perorangan (individual consultant) maupun perusahaan konsultan (firm consultant) sesuai dengan prosedur

Sumber stres yang berasal dari pekerjaan pun dapat beraneka ragam seperti beban tugas yang terlalu berat, iklim kerja yang menimbulkan rasa tidak aman, kurangnya informasi dari

Hasil analisis menunjukkan bahwa perkuatan longsoran berupa bored pile dengan diameter 1,5 m yang diletakkan pada bagian atas, tengah dan bawah lereng

Payung hukum bagi kegiatan Pinjaman online di Indonesia sekarang ialah Pasal 1 angaka (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.77 / POJK.01/ 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam

Dari hasil uji multikolinearitas, dapat diketahui bahwa besarnya nilai (VIF) pada seluruh variabel bebas yang dijadikan model penelitian lebih kecil dari 10, dan sesuai