• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi. Disusun oleh: Niahanida Elmina SEKOLAH TINGGI ILMU KOMUNIKASI ALMAMATER WARTAWAN SURABAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Skripsi. Disusun oleh: Niahanida Elmina SEKOLAH TINGGI ILMU KOMUNIKASI ALMAMATER WARTAWAN SURABAYA"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Semiotika Iklan Kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017 Pasangan Basuki Tjahaja Purnama - Djarot Saiful Hidayat di Televisi versi

#PerjuanganBelumSelesai

Skripsi

Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya “Almamater Wartawan Surabaya” Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Ilmu Komunikasi

Disusun oleh: Niahanida Elmina

14.31.0080

SEKOLAH TINGGI ILMU KOMUNIKASI ALMAMATER WARTAWAN SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

vi

ABSTRAK

Bagi para aktor politik, citra sangatlah penting. Citra yang baik akan meningkatkan elektabilitas sehingga kesempatan untuk memenangkan kontestasi politik pun kian terbuka lebar. Iklan di televisi adalah salah satu metode kampanye yang dianggap efektif untuk merekonstruksi realitas yang ada menjadi sebuah realitas sosial baru. Pilgub DKI Jakarta 2017 menarik diteliti mengingat salah satu pasangan yang bertarung dalam status tersangka kasus penistaan agama. Dalam sebuah survei yang dirilis charta politica terhadap Pilgub DKI Jakarta 2017 faktor emosional seperti agama dinilai penting. Iklan kampanye pasangan Basuki Thjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat yang menjadi objek penelitian ini merupakan iklan berdurasi 30 detik dengan format Announcement. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pisau bedah semiotika –ilmu mengenai relasi tanda- milik Roland Barthes yang menggunakan sistem signifikasi dua tahap yaitu denotatif –makna sebenarnya yang berada di permukaan- dan konotatif –makna kiasan yang lahir dari pengalaman kultural atau personal-, dimana pada tahap kedua ini mitos bercokol. Dalam iklan pasangan Ahok-Djarot didapatkan mitos Ahok-Djarot adalah cermin pemimpin politik yang bersih, membawa perubahan bagi masyarakat yang apatis dengan dunia politik yang terkenal kotor.

(6)

vii ABSTRAC

For political actors, image is very important. A good image will increase electability so that the chance to win the election will increasingly wide open. Advertising on television is one of campaign that is considered effective to reconstruct the existing reality into a new social reality. Jakarta Gubernatorial election in 2017 is interesting to study considering that one of the candidate who fought in the in election is become suspect as a religious blasphemy case.While in a survey released by charta politica for the DKI Jakarta gubernatorial election in 2017, emotional factors such as religion are considered important. Ad campaign of Basuki Thjahaja Purnama and Djarot Saiful Hidayat who became the object of this research is a 30-second ad with announcement form. This is a qualitative research with Roland Barthes’s semiotics –study of sign- analysis which use two order signification system that is denotative - the true meaning we can found at the surface - and the connotative - meaningful metaphor born of cultural or personal experience - where at this stage the myth is entrenched. In the Ahok-Djarot campaign ad is found the myth that Ahok-Ahok-Djarot is a representation of clean political leaders, bringing change to an apathetic society who’s sick of dirty political world.

(7)

xi

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRAC ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 12 1.3.2 Manfaat Penelitian ... 12 1.3.2.1 Manfaat Teoritis ... 12 1.3.2.2 Manfaat Praktis ... 13 1.4 Kajian Pustaka ... 13 1.4.1 Penelitian Sebelumnya ... 13 1.4.2 Iklan ... 14 1.4.2.1 Iklan Kampanye ... 15 1.4.2.2 Iklan Televisi ... 17

(8)

xii

1.4.3 Analisis Tekstual ... 19

1.4.3.1 Analisis Tekstual Iklan Pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat #Perjuanganbelumselesai ... 25

1.4.4 Pendekatan Teknik Visualisasi (Komposisi dan Modalitas) ... 25

1.4.5 Semiotika ... 31

1.4.5.1 Semiotika Visual ... 35

1.4.5.2 Semiologi Roland Barthes ... 36

1.4.5.3 Tanda dan Proses Semiosis ... 40

1.4.5.4 Kode dalam Semiotik ... 41

1.5 Kerangka Berpikir ... 44

1.6 Metodologi Penelitian ... 45

1.6.1 Metode Penelitian ... 45

1.6.2 Jenis dan Sumber Data ... 46

1.6.3 Teknik Pengumpulan dan Pencatatan Data... 47

1.6.4 Waktu dan Tempat Penelitian ... 47

1.6.5 Teknis Analisis dan Interpretasi Data ... 48

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN ... 49

2.1 Pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat ... 49

2.1.1 Basuki Tjahaja Purnama ... 49

2.1.1.1 Data Riwayat Hidup Basuki Tjahaja Purnama ... 52

2.1.2 Djarot Saiful Hidayat ... 54

2.1.2.1 Data Riwayat Hidup Djarot Saiful Hidayat ... 56

(9)

xiii

2.1.3.1 Visi dan Misi Ahok-Djarot ... 59

2.1.3.2 Program Kerja Ahok-Djarot ... 61

2.2 Alur Cerita Iklan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat Versi #PerjuanganBelumSelesai... 62

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA... 65

3.1 Penyajian Data ... 65

3.1.1 Setting Iklan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat ... 66

3.1.1.1 Makna Denotatif pada Sesi Pembukaan (detik 00:00-00:04) ... 66

3.1.1.2 Makna Konotatif : Identitas Diri ... 67

3.1.1.3 Makna Denotatif Pada Sesi Isi (detik 00:04-00:24) ... 75

3.1.1.4 Makna Konotatif : Kerukunan Antar Umat Beragama ... 77

3.1.1.5 Makna Denotatif Pada Sesi Penutup (detik 00:25-00:27) ... 82

3.1.1.6 Makna Konotatif : Salam Perdamaian ... 84

3.1.1.7 Makna Denotatif Pada Sesi Penutup (detik 00:27-00:30) ... 88

3.1.1.8 Makna Konotatif : No. 2 pasangan yang bersih dan nasionalis ... 88

3.2 Analisis Makna Mitos dalam Iklan ... 91

3.3 Interpretasi Data ... 97 BAB IV SIMPULAN ... 99 4.1. Simpulan ... 99 4.2. Saran-saran ... 100 4.2.1. Saran Praktis ... 100 4.2.2 Saran Akademik ... 101

(10)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1. Logika Analisis Tekstual dan Produksi Tekstual (Thwaites,

2009:122) ... 25

Gambar I.2. Komposisi yang Digunakan pada Konvensi Penulisan dari Kiri ke Kanan ... 30

Gambar I.3. Skema Model Situasi Tutur Roman Jacobson (dalam Budiman, 2011:5) ... 34

Gambar I.4. Sistem Semiologi dan Mitologi (Barthes, 2004:161) ... 38

Gambar II.1. Foto Resmi Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ... 49

Gambar II.2. Foto Resmi Wakil Gubernur Jakarta Djarot Saiful Hidayat ... 54

GambarII.3. Scene Awal Iklan Kampanye Ahok-Djarot #PerjuanganBelumSelesai ... 64

Gambar II.4. Scene Akhir Iklan Ahok-Djarot #PerjuanganBelumSelesai ... 64

Gambar III.1. Scene Ahok menyapa warga Jakarta ... 66

Gambar III.2. Scene Djarot memperkenalkan diri ... 66

Gambar III.3. Scene Ahok mengucapkan Terimakasih ... 75

Gambar III.4. Scene Djarot meminta doa restu warga Jakarta ... 75

Gambar III.5. Scene Ahok dan Djarot Meminta Izin untuk Meneruskan Perjuangan ... 76

Gambar III.6. Scene Ahok Mengucapkan Terimakasih Kepada Warga Jakarta ... 82

Gambar III.7.Scene Djarot Mengucapkan Salam ... 83

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bagi para aktor politik, citra sangatlah penting. Citra yang baik akan meningkatkan elektabilitas sehingga kesempatan untuk memenangkan kontestasi politik pun kian terbuka lebar. Karenanya peran komunikasi menjadi penting, sebab tanpa adanya komunikasi maka tujuan para aktor politik akan sulit bahkan tidak mungkin tercapai. Kampanye Politik, adalah salah satu bentuk komunikasi politik yang dilakukan orang atau kelompok (organisasi) dalam waktu tertentu untuk memperoleh dan memperkuat dukungan politik dari rakyat atau pemilih (Arifin, 2003: 65).

Dipandang dari segi komunikasi, kampanye merupakan proses kegiatan komunikasi individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan bertujuan menciptakan efek atau dampak tertentu. Rogers dan Storey (1987) mendefinisikan kampanye sebagai rangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu (Venus, 2004:7). Jika dikaitkan dengan konteks politik khususnya pemilihan kepala daerah (pilkada), maka kampanye bertujuan mengomunikasikan visi dan misi serta program kerja calon kepala daerah, membangun citra, dan untuk mendapatkan dukungan khalayak yang hasil akhirnya memenangkan kontestasi politik. Berbagai bentuk kampanye dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan

(12)

2 dukungan dan memenangkan kontestasi politik, mulai dari kampanye terbuka melalui penyebaran bahan kampanye kepada khalayak, penyampaian visi misi melalui debat publik, dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Sepeti halnya dengan iklan komersial, tujuan iklan kampanye pilkada tak lain adalah mempersuasi dengan memotivasi pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut iklan kampanye pilkada tampil impresif dengan senantiasa mengedepankan informasi tentang siapa kandidat (menonjolkan nama dan wajah kandidat), apa yang telah kandidat lakukan (pengalaman dan track record kandidat, bagaimana posisinya terhadap isu-isu tertentu (issues position) dan kandidat mewakili siapa (group ties). Isi (content) iklan kampanye pilkada senantiasa berisi pesan-pesan singkat tentang isu-isu yang diangkat (policy position), kualitas kepemimpinan (character), kinerja (track record-nya) dan pengalamannya. Iklan kampanye pilkada, sebagaimana dengan iklan produk komersial yang tak hanya memainkan kata-kata (word), tetapi juga, gambar, suara dan musik. Masyarakat industri percaya bahwa iklan adalah cara yang paling tepat untuk memperkenalkan produk kepada masyarakat. Dalam hal ini pamor televisi sebagai media paling canggih di dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat menjadi minat khusus pengiklan untuk menggunakan televisi sebagai pilihan utama saluran iklan (Bungin, 2008:207).

Jika dibandingkan dengan media lain iklan televisi memiliki kategorisasi yang jauh berbeda karena sifat medianya yang juga berbeda. Kategori besar dari sebuah iklan televisi adalah berdasarkan sifat media ini, dimana iklan televisi

(13)

3 dibangun dari visualisasi objek dan kekuatan audio. Simbol-simbol yang divisualisasikan lebih menonjol dibandingkan dengan simbol-simbol verbal. Umumnya iklan televisi menggunakan cerita-cerita pendek menyerupai karya film pendek dan karena waktu tayangan yang pendek, maka iklan televisi berupaya keras meninggalkan kesan yang mendalam kepada pemirsa dalam waktu beberapa detik. Iklan televisi memiliki sifat dan kecenderungan yang mendekati logika pembohong, namun jarang dapat dibantah karena umumnya masuk akal (Bungin, 2008:115).

Akhmad Danial (2009) dalam buku Iklan Politik TV Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru menyebutkan bahwa salah satu karakter modernisasi kampanye adalah digunakannya televisi sebagai medium utama kampanye. Menurut Holtz-Bacha dan Kaid (2006), televisi digunakan oleh partai politik melalui dua cara. Pertama, lewat “cara-cara gratis” melalui peliputan regular media terhadap kegiatan partai atau kandidat politik yang mana konten beritanya tidak dapat dikontrol oleh aktor politik tersebut. Kedua, membayar ke media tersebut karena memasang “iklan politik” yang mana isinya dapat dikontrol sesuai kehendak aktor politik tersebut. Jadi, Politisi dan partai bisa mengontrol isi pesan politik yang disampaikan dalam iklan politik, namun tidak mempunyai kontrol terhadap bagaimana mengemas berita-berita politik di televisi. Setelah diperluas, Holtz dan Bacha (1995) mendefinisikan iklan politik sebagai: any programming format under the control of the party or candidate and for which time is given or purchased. Dengan perkembangan baru di bidang teknologi komunikasi, kemudian definisi iklan politik ini diperluas lagi yaitu any

(14)

4

controlled message communicated through any channel designed to promote the political interest of individuals, parties, grups, governments, or other organizations. Definisi ini tidak saja menitikberatkan pada aspek kontrol dan promosional dari iklan politik saja, tetapi juga membuka peluang memasukan perbedaan iklan politik dari sisi format dan saluran penyampaian pesan politik (Danial, 2009:93-94). Danial juga mengutip analisis Joslyn yang terangkum dalam buku Lynda Lee Kaid, “Political Advertising in United States” , dalam

Lynda Lee Kaid & Christina Holtz-Bacha (eds.), the Sage Handbook Of Political Advertising (2006:41) mengatakan salah satu jenis iklan politik adalah iklan politik yang menjual citra yaitu iklan-iklan politik yang lebih “menjual” karakteristik personal atau kualitas yang ada pada sang kandidat seperti latar belakang, pengalaman, langkah atau prestasi yang dibuat sebelum pencalonan, karakter, dan sebagainya.

Mayoritas besar manusia puas dengan kesan luar, seolah kesan itu adalah realitas.”

~ Nicollo Machiavelli Citra yang dibentuk oleh iklan seringkali menggiring khalayak untuk percaya pada objek yang diiklankan. Padahal dalam kenyataan seringkali apa yang digambarkan oleh iklan bertentangan dengan realitas sosial yang ada. Sehubungan dengan iklan televisi, Fiske dan Hartley mengatakan, dunia televisi adalah jelas-jelas berbeda dengan dunia sosial manusia, terutama yang berhubungan dengan banyak cara, manusia mungkin menjelaskan hubungan ini dengan mengatakan televisi tidak mewakili aktualitas nyata masyarakat manusia,

(15)

5 karena televisi mencerminkan simbolisasi nilai-nilai struktural dan hubungan-hubungan dibalik permukaannya (Bungin, 2004:84-85). Kebanyakan dari kita tidak akan terkejut jika pada kenyataannya produk yang kita beli/pilih tidak sesuai dengan apa yang digambarkan di dalam iklan. Karena kita secara tidak sadar „menyadari‟ bahwa apa yang ada di dalam iklan hanyalah simbolisasi yang terstruktur untuk menggambarkan keunggulan suatu produk. Dikutip dari buku

Advertising: The Magic System oleh Raymond William, iklan bagaikan dunia magis yang dapat mengubah komoditas ke dalam kegemerlapan yang memikat dan mempesona. Sebuah sistem yang keluar dari imajinasi dan muncul ke dalam dunia nyata melalui media (Bungin, 2008:107). Iklan televisi dibuat untuk mengkomunikasikan produk kepada masyarakat luas. Namun, agar komunikasi itu efektif untuk mempengaruhi pemirsa terhadap produk yang ditampilkan, maka pencipta iklan mencoba menggunakan simbol yang diterjemahkan sendiri sebagai sesuatu yang berkesan baik. Sebaliknya komunikasi yang bermuatan simbol-simbol itu ditangkap dan dimaknai sendiri pula oleh pemirsa sebagai konsekuensi logis dalam interaksi simbolis. Sehingga tahap berikutnya akan terjadi proses pemaknaan dari berbagai pihak sebagai subjek dalam interaksi simbolis (Bungin, 2008:71-72).

Dalam pandangan Ratna Noviani (2002), mengatakan, ”Ada hubungan yang erat antara citra-citra dalam iklan dan realitas sosial”. Meskipun iklan penuh dengan permainan citra atau tanda, namun tidak berarti citra atau tanda tersebut kehilangan makna atau referensi realitas dan bersifat self-refererential. Citra-citra dalam iklan tersebut tetap memiliki kaitan dengan konteks sosial

(16)

6 historis dimana citra-citra itu diciptakan. Dalam hal ini, iklan menginteraksikan antara citra dengan realitas. Dengan demikian, realitas yang ditampilkan oleh iklan adalah produk dari dialektika antara citra dan realitas. Meskipun dalam kenyataan iklan sering tidak jujur dan memanipulasi realitas obyektif dengan permainan citra-citraan Iklan telah menjelma mirip seperti nenek sihir, dimana ia datang mendadak dan bergegas menyebar mantra. Masyarakat pun terpesona (dan kebanyakan) terperdaya olehnya tanpa bisa memberontak (Wibowo, 2003:iv).

Wahyu Wibowo pun dalam bukunya yang berjudul, “Sihir Iklan”, tetap dengan pendiriannya, iklan ibarat lagu “Benci Tapi Rindu” iklan yang dibenci dan sekaligus dirindui, iklan tampil tidak saja menjadi media informasi, tapi juga sebagai media hiburan yang sangat diminati dan digemari. Contoh saat masa kampanye pilkada, kehadiran sang tokoh dalam iklan kampanye begitu menarik untuk dinantikan, apalagi kalau Sang Tokoh ditampilkan dalam konstruksi citra yang tepat, sesuai dengan selera rakyat, meski tidak cukup menggambarkan realitas sesungguhnya (back stage) dan bahkan khalayak kadang merasa tidak butuh lagi informasi lain yang tidak sama untuk didialogkan.

Citra sendiri adalah gambaran manusia mengenai sesuatu, atau jika mengacu pada Lippman, citra adalah persepsi akan sesuatu yang ada di benak seseorang dan citra tersebut tidak selamanya sesuai dengan realitas sesungguhnya (Rakhmat, 2001:223). Jika dikaitkan dengan iklan kampanye pilkada maka di sinilah yang menjadi kelebihan sekaligus menjadi kekurangan daripada iklan kampanye pilkada dalam hal pencitraan. Iklan pasti melalui proses editing,

(17)

7 namun akan bahaya jika teknik editing ini digunakan secara berlebihan maka yang terjadi adalah deception atau pembohongan publik. Pakar politik Arbi Sanit misalnya menilai langkah sejumlah tokoh politik yang mengiklankan dirinya di media massa saat ini untuk menghadapi pemilu 2009 merupakan bentuk kecurangan kepada masyarakat. Sebab menurutnya lewat iklan itu masyarakat tak dapat menilai kapasitas seseorang. Sebuah iklan nampak paling sederhana sekalipun, sesungguhnya mengandung makna yang berlapis (Prabasmoro, 2003 : 57). Iklan tidak bebas nilai, sebaliknya dipenuhi berbagai kepentingan dan ideologi yang memberikan keuntungan dan kekuasaan pada pihak-pihak tertentu. Dengan potensi ini, iklan dapat hadir sebagai sebuah persoalan. Citra yang ditampilkan sebuah iklan bisa tidak melulu sesuai dengan realitas yang ada, dengan harga yang relatif mahal dan durasi iklan di televisi yang singkat maka iklan yang ditampilkan haruslah efektif dan mampu mempersuasi target sasaran. Jika melihat dari tujuan, maka tujuan utama dari iklan kampanye pilkada sama dengan iklan politik yaitu informatif-persuasif, iklan kampanye pilkada menginformasikan kepada pemilih bahwa dengan memilih kandidat atau partai tertentu maka kualitas hidup mereka bisa berubah. Selain itu juga dapat menciptakan persaingan antar peserta Pemilu.

Kesenjangan antara apa yang digambarkan dalam iklan dengan realitas inilah yang dapat dijembatani melalui studi semiotik. Dalam pandangan Umberto Eco, semiotik mempunyai dua fungsi ganda, seperti dua sisi mata pedang, yaitu kemampuannya untuk membuktikan “kedustaan” dan “kebenaran” sekaligus. Selain itu, semiotik pun dapat digunakan untuk membuat “dusta” dan membuat

(18)

8 sesuatu yang “benar”(Rusmana, 2014:311). Sebagaimana disebut Eco dalam bukunya Teori Semiotika, “semiotika secara prinsipiil adalah disiplin ilmu yang mengkaji tentang segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong”. Yang mana jika sesuatu tidak dapat dipakai untukmengekspresikan keberbohongan, maka ia juga tidak dapat dipakai untuk mengekspresikan kebenaran (Eco, 2009:7). Misalnya saja iklan rokok, sudah menjadi rahasia umum bahwa rokok jelas menyebabkan problem kesehatan bahkan penyebab kematian namun yang digambarkan dalam iklan-iklan rokok jelas bertentangan. Sehingga dapat disimpulkan apa yang ditawarkan iklan ini adalah informasi yang salah dan merupakan distortion mirror of reality.

Distorsi seperti yang dijelaskan tadi juga terjadi dalam iklan kampanye pilkada. Distorsi-distorsi tersebut bahkan menimbulkan kontroversi di masyarakat. Sebagai contoh adalah Iklan politik partai Demokrat yang menampilkan model iklan yang sekaligus petinggi partai Demokrat dimana iklan tersebut secara tersurat menggambarkan partai demokrat menentang dan akan terus melawan korupsi tanpa pandang bulu. Sekarang, keberadaan iklan politik tersebut seakan menjadi bumerang bagi partai Demokrat. Karena iklan yang mengusung tema antikorupsi justru pengurusnya terjebak dalam kubangan perilaku korupsi. Realitas sosial yang bertentangan dengan pesan yang diusung dalam iklan politik partai Demokrat ini kemudian berakibat pada penilaian masyarakat yang menganggap iklan „selalu‟ tidak jujur (Sumbo: 2015). Pesan verbal dan pesan visual yang dimunculkan dalam visualisasi iklan dicitrakan kurang peka terhadap kondisi sosial budaya masyarakat yang melingkupinya.

(19)

9 Namun bisa juga sebaliknya dimana apa yang dicitrakan oleh iklan bisa jadi mendekati realitas sosialnya.

Beberapa waktu lalu pilkada DKI Jakarta mendapat sorotan publik. Hiruk pikuk pesta demokrasi pemilihan gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 ini dikatakan yang paling mendominasi pemberitaan dibanding daerah lain di Indonesia yang juga melaksanakan pilkada serentak. Pemberitaannya mendominasi di berbagai media massa offline maupun online. Menurut Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang mengatakan, banyak faktor yang menjadi alasan mengapa pemberitaan pilkada DKI Jakarta di media online lebih mendominasi dibandingkan 100 daerah lain. Pertama, Jakarta merupakan pusat negara. Kemudian jabatan kepala daerah DKI Jakarta menjadi proyeksi untuk menuju kursi kepresidenan (Fachri, 2016). Tak hanya media lokal saja namun media internasional pun menyoroti pilkada DKI Ini, dalam laporannya The Guardian menuliskan bahwa memenangkan Pemilu Gubernur dilihat sebagai batu loncatan tak resmi untuk menjadi presiden. Presiden saat ini, Joko Widodo „pindah‟ dari posisis Gubernur Jakarta ke kantor presiden pada 2014 (Khairisa: 2017).

Dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 ini terdapat tiga pasangan calon yang bertarung, pasangan calon dengan nomor urut 1; Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, pasangan calon nomor urut 2; petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan pasangan calon nomor urut 3; Anies Rasyid Baswedan–Sandiaga Shalahuddin Uno. Ketiga-nya berlomba membangun

(20)

10 citra agar calon pemilih yakin untuk menjadikan mereka orang nomor satu di DKI Jakarta.

Iklan pasangan Basuki Thjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang tayang di televisi dipilih karena pasangan tersebut terbilang fenomenal. Sebagai petahana, sepak terjang Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat memimpin Jakarta sudah dirasakan efeknya bagi warga Jakarta. Beberapa kebijakannya dikenal kontroversial. Jika kurang hati-hati, maka setiap kebijakannya yang kontroversi akan sangat mudah disusupi kepentingan politis untuk menjatuhkannya. Seperti yang terjadi setelahinsiden Al-Maidah 51 yang menerpa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, hasil survey LSI (Tempo: edisi menohok ahok 21-27 November 2017: 34-35) menunjukan elektabilitas pasangan ini anjlok 6,8% dan semakin terjun bebas 14 persen jika ternyata ahok ditetapkan sebagai tersangka.

Kuskridho Ambardi, Direktur Eksekutif LSI dalam artikel yang diterbitkan portal berita BBC pada bulan Desember 2016 menyatakan bahwa sebenanya Dalam hal kinerja, Ahok unggul karena merupakan petahana. Karena di negara-negara manapun, petahana punya keuntungan. Namun kenyataannya, walau pada pemilihan putaran pertama setelah ditetapkan sebagai tersangka pasangan ini berada di urutan pertama dengan perolehan suara 42,96 persen diikutin pasangan nomer urut 1 anies-sandi 39,97 persen dan Agus-Sylviana Murni 17,06 persen. Tapi kalah di putaran kedua dengan persentase 42,05 persen untuk Ahok-Djarot serta Anies-Sandi dengan Presentase 57,95 persen.

(21)

11 Pada survey yang dirilis Lembaga Survei Indonesia pada Desember 2016 calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama meskipun merupakan sosok yang dikenal pintar, berwawasan luas, perhatian pada rakyat, jujur/bersih dari korupsi, tegas berwibawa dan mampu memimpin DKI Jakarta tapi Basuki Tjahaja Purnama dianggap kurang ramah/santun serta kalah dalam penampilan fisik jika dibandingkan dengan kedua calon gubernur DKI lainnya. Dalam survei lain yang dirilis Charta Politika periode 7-12 April 2017 didapat temuan bahwa alasan rasional seperti kerja nyata, tegas danprogramnya bagus merupakan alasan-alasan utama yang menjadi dasar pilihan responden terhadap Basuki Tjahaja Purnama. Sementara pilihan terhadap Anies Rasyid Baswedan didasarkan pada alasan emosional seperti ramah dan sopan, satu agama dan wajah baru.Sebaliknya, alasan responden tidak memilih Anies Rasyid Baswedan terutama dikarenakan alasan rasional belum berpengalaman, sementara alasan responden tidak memilih Basuki Tjahaja Purnama terutama dikarenakan alasan emosional seperti kasar dan arogan. Sebagian besar responden (66,8%) menyatakan “Latar belakang suku" bukan menjadi pertimbangan pemilih didalam menjatuhkan pilihan di Pilkada DKI Jakarta 2017, sementara "Latar belakang agama" relatif dinilai penting (47,4%) sebagai salah satu pertimbangan bagi para pemilih.

Berangkat dari fenomena – fenomena ini dan melihat pada hasil survei yang mengindikasikan bahwa faktor emosional seperti agama dinilai penting, peneliti tertarik meneliti iklan kampanye pilgub DKI Jakarta tahun 2017 milik pasangan calon nomor 2 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat

(22)

(Ahok-12 Djarot) versi #perjuanganbelumselesai yang tayang di beberapa stasiun televisi swasta. Peneliti tertarik mengidentifikasi tanda, simbol, dan nilai-nilaiyang muncul dalam iklan tersebut, terkait makna yang terkandung dan pesan apa yang ingin disampaikan ke publik serta mitos dan citraaan yang terselip dalam iklan berdurasi 30 detik tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana citra pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat diartikulasikan dalam iklan kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017 di televisi versi #perjuanganbelumselesai ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi citra yang ditampilkan pasangan calon Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat dalam iklan kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017 di televisi versi #perjuanganbelumselesai.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk :

1.3.2.1Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian studi dan menjadi bahan pembelajaran ilmu komunikasi tentang pemaknaan

(23)

13 iklan kampanye pilkadamelalui televisi dengan model semiotika Roland Barthes.

1.3.2.2Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran terhadap pembuatan iklan kampanye pemilihan kepala daerah, bagaimana mencitrakan pasangan calon kepala daerah dalam iklan kampanye-nya di televisi.

Penelitian ini juga diharapkan agar masyarakat bisa lebih jeli melihat makna tersembunyi dibalik sebuah iklan sehingga tidak begitu saja terpengaruh oleh realitas yang disajikan oleh iklan.

1.4 Kajian Pustaka

1.4.1 Penelitian Sebelumnya

Penelitian Semiotika dengan objek iklan kampanye juga sudah pernah dilakukan oleh Shobihin Amin (skripsi tahun 2005)mengangkat judulImage Iklan Kampanye Politik Televisi (Analisis Semiotik Iklan Kampanye Politik Susilo Bambang Yudhoyono Pada Pemilu Presiden 2004)Shobihin menangkap fenomena tayangan iklan kampanye pilpres (televisi) yang banyak menggunakan citra (image) dalam menyampaikan pesan kepada pemirsa, sehingga informasi penting tentang profil, visi dan misi kandidat yang sesungguhnya menjadi kabur “terselimuti” oleh kuatnya pencitraan

(24)

14 kandidat. Hal inilah yang menyebabkan jalinan alur cerita iklan seolah “nyambung”, meski sebenarnya jalinan imajinya sama sekali tidak terkait. Dengan perkataan lain, imaji yang disebarkan dalam iklan (televisi) disambung-sambungkan dengan dukungan efek audio-visual.

Oleh karenanya, fokus pada penelitian ini menyangkut tanda-tanda/simbol-simbol yang digunakan dalam iklan. Tujuannya adalah untuk mengungkap/mengetahui bagaimana image iklan kampanye pilpres di televisi milik pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada pemilu presiden 2004. Sebab tayangan iklan Kampanye politik di televisi tidak hanya sebatas menawarkan profil, visi dan misi Capres.

1.4.2 Iklan

Istilah advertising (periklanan) berasal dari kata latin abad pertengahan

advertere, “mengarahkan perhatian kepada”. Istilah ini menggambarkan tipe

atau bentuk pengumuman publik apa pun yang dimaksudkan untuk mempromosikan penjualan komoditas atau jasa, atau untuk menyebarkan sebuah pesan sosial atau politik (Danesi, 2010: 362).

Banyak jenis iklan yang masing-masing memiliki karakter tersendiri. Sebuah iklan memerlukan ide-ide dan konsepkreatif agar pesan persuasif tersebut dapat diterima khalayak. Dalam produksi iklan, ada perhatian yang obsesif dan ada hasrat untuk membuat setiap detail terlihat benar dan riil. Proses produksi iklan selalu diwarnai dengan tipifikasi-proses menciptakan standar konstruksi sosial (khas) didasarkan pada asumsi-asumsi standar- dan

(25)

15 idealisasi-penyesuaian dengan yang dicita-citakan/yang dikehendaki- sehingga dapat dikatakan iklan „memoles‟ realitas sosial yang ada untuk disesuaikan dengan pesan yang diiklankan. Menurut Marchand, tidak ada iklan yang ingin menangkap kehidupanseperti apa adanya, tapi selalu ada maksud untuk memotret ideal-ideal sosial, dan merepresentasikan sebagai sesuatu yang normatif, seperti kebahagiaan, kepuasan (Noviani, 2002: 58).

Dapat juga dikatakan bahwa iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi massa yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana promosi untuk menawarkan barang dan jasa saja, tetapi iklan mengalami perluasan fungsi, yaitu menjadi alat untuk menanamkan makna simbolik melalui bahasa dan visualisasi dalam pesan iklan. Sesuai dengan karakternya, iklan merupakan potret realitas yang ada di masyarakat sehingga dapat menyebarkan nilai-nilai sosial, budaya, politik, dan sebagainya.

Di belakang iklan yang baik terdapat sebuah konsep kreatif, sebuah ide besar yang membuat pesannya menjadi berbeda, merebut perhatian, dan mudah diingat (Vera, 2014:43-44).

1.4.2.1Iklan Kampanye

Dalam Peraturan Komisi Pemilih Umum Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2017 (PKPU No. 4 Tahun 2017) tentang kampanye pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau walikota dan wakil walikota disebutkan apa yang dimaksud dengan iklan kampanye. Pada bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 24

(26)

16 disebutkan, yang dimaksud dengan iklan kampanye adalah penyampaian pesan kampanye melalui media cetak dan elektronik berbentuk tulisan, gambar, animasi, promosi, suara, peragaan, sandiwara, debat, dan bentuk lainnya yang dimaksudkan untuk memperkenalkan pasangan calon atau meyakinkan pemilih memberi dukungan kepada pasangan calon, yang difasilitasi oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Adapun terkait lembaga penyiaran kampanye diatur dalam ayat 25. Dimana pada ayat 25 disebutkan bahwa Pemberitaan dan Penyiaran Kampanye adalah penyampaian berita atau informasi yang dilakukan oleh media massa cetak, elektronik dan lembaga penyiaran yang berbentuk tulisan, gambar, video atau bentuk lainnya mengenai Pasangan Calon, dan/atau kegiatan.

Lebih lanjut dalam PKPU No. 4 Tahun 2017 tentang kampanye pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau walikota dan wakil walikota bagian keempat diatur mengenai penayangan iklan kampanye di media massa. Pada bagian keempat pasal 32 disebutkan mengenai media penayangan iklan kampanye yaitu pada media massa cetak, media massa elektronik (televisi dan radio dan/atau media dalam jaringan), dan/atau lembaga penyiaran.

Materi iklan kampanye dapat memuat informasi mengenai nama, nomor, visi, misi, program, foto Pasangan Calon, tanda gambar Partai

(27)

17 Politik atau Gabungan Partai Politik dan/atau foto pengurus Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Adapun materi iklan kampanye dilarang mencantumkan foto atau nama Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia serta harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan dan etika periklanan. Materi Iklan Kampanye dapat berupa tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, dan/atau suara dan gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan (Pasal 33 ayat 2-5).

Iklan kampanye hanya boleh ditayangkan selama 14 (empat belas) hari sebelum dimulainya masa tenang dan setiap pasangan calon hanya dapat menayangkan paling banyak total 10 (sepuluh) spot iklan berdurasi 30 detik untuk setiap stasiun televise. Hal ini diatur pada pasal 34 ayat 1 dan 2 PKPU No. 4 Tahun 2017.

1.4.2.2Iklan Televisi

Tugas utama iklan televisiadalah menjual barang atau jasa bukan menghibur. Dikutip Bungin (2008: 121) dari David Ogilvy (1987: 170) Horace Schrewin melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara rasa suka kepada iklan-iklan dan termakan oleh iklan tersebut. Kata-kata Screwin ini tidak lagi dipatuhi oleh para copywriter dan visualizer

iklan televisi karena ternyata menghibur sambil menjual di televisi menjadi lebih menarik.

(28)

18 Para copywriter iklan televisi, kendati mengetahui tidak ada hubungannya antara iklan dengan keterpengaruhan pemirsa terhadap iklan tertentu, namun dorongan kapitalisme untuk menjadikan iklan sebagai medium pencitraan terhadap produk-produk kapitalisme lebih memengaruhi jalan pikiran copywriter di saat mereka memulai pekerjaan mereka. Para copywriter percaya dengan kekuatan pencitraan yang kuat akan lebih besar kekuatan memengaruhi pemirsa, apalagi kalau pencitraan itu dilakukan melalui konstruksi realitas sosial, walaupun realitas itu sifatnya semu. Hal ini adalah sebagian contoh dari upaya teknologi menciptakan theatre of mind dalam dunia kognitif masyarakat.

Tanpa disadari citra dalam iklan televisi telah menjadi bagian dari kesadaran palsu yang sengaja dikonstruksi oleh copywriter dan

visualizer untuk memberi kesan yang kuat terhadap produk yang diiklankan. Namun, tanpa disadari, mereka telah membawa pemirsa ke dalam dunia yang semakin tidak jelas. Menurut Yong-San, para

copywriter dan visualizer sering secara sengaja menciptakan gambaran palsu (pseudo-reality) dalam iklan (Bungin, 2008: 121-127). Dikutip Bungin dari Ibrahim Suharko (1998; 325) iklan-iklan berisikan manipulasi fotografi, pencahayaan, dan taktik-taktik kombinasi lain yang memunculkan suatu pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri atau yang disebut dengan vicorius experience.

(29)

19 Sengaja ataupun tidak, citra dalam iklan televisi telah menjadi bagian terpenting dari sebuah iklan televisi itu. Citra ini pula adalah bagian penting yang dikonstruksi iklan televisi. Namun sejauh mana konstruksi itu berhasil, amat bergantung pada banyak faktor, terutama adalah faktor konstruksi sosial itu sendiri, yaitu bagaimana upaya seorang copywriter mengkonstruksi kesadaran individu serta membentuk pengetahuan tentang realitas baru dan membawanya ke dalam dunia hiper-realitas, sedangkan pemirsa tetap merasakan bahwa realitas itu dialami dalam dunia rasionalnya (Bungin, 2008: 127). Tidak ada iklan kampanye pilkada yang secara vulgar langsung meminta agar audiens memilih mereka dalam pemilu nanti. Kesemuanya menggunakan strategi persuasif dan bermain-main dengan pemaknaan yang sifatnya konotatif. Artinya, mereka tidak secara sengaja meminta agar komunikan tunduk terhadap pesan-pesan yang mereka tembakkan melalui bahasa iklan tadi.

Para pasangan calon umumnya memakai simbolisasi guna membentuk pencitraan bahwa mereka adalah pasangan yang paling pantas memimpin oleh karenanya layak dipilih dalam pemilu kelak.

1.4.3 Analisis Tekstual

Tradisi analisis tekstual banyak dikembangkan oleh tradisi Cultural Studies yang dilakukan oleh Stuart Hall (1972) dan koleganya. Analisis tekstual muncul sebagai salah satu metodologi yang digunakan untuk

(30)

20 mengupas, memaknai, sekaligus mendekonstruksi ideologi, nilai-nilai, interes, atau kepentingan yang ada di balik sebuah teks media. Metode analisis tekstual digunakan untuk mencari makna laten (latent meaning) yang tersembunyi di balik teks-teks media massa.

Metode analisis tekstual sebenarnya memberikan perangkat atau tools for analysis teks-teks media agar peneliti mampu mengungkap konstruksi yang tersembunyi dalam bangunan-bangunan teks media dengan pemaknaan yang berbeda-beda. Sehingga masyarakat diharapkan tidak hanya percaya begitu saja dengan realitas yang dibentuk dan diciptakan serta didistribusikan dalam teks-teks media yang mereka konsumsi sehari-hari.

Analisis tekstual juga memberikan pengertian bahwa budaya atau

culture yang dikreasi dan kemudian didistribusikan dan dikonsumsi adalah hasil dari konstruksi sosial yang tidak “given” atau “taken for granted”. Dengan dasar pengetahuan ini, maka analisis tekstual berangkat dari asumsi bahwa makna tidak tunggal tetapi multi atau merujuk istilah Fiske (1981) makna bersifat polisemi (dalam Ida, 2011).

Definisi Analisis Tekstual

Alan McKee (dalam Ida, 2011:41) menjelaskan bahwa analisis tekstual adalah interpretasi-interpretasi yang dihasilkan dari teks. Interpretasi-interpretasi ini adalah proses ketika kita melakukan encoding sekaligus

decoding terhadap tanda-tanda di dalam kesatuan sebuah teks yang dihasilkan. Interpretasi peneliti dalam hal ini tidak harus benar. Sebab

(31)

21 penelitian dengan menggunakan analisis tekstual tidak untuk mencari intepretasi yang benar. Interpretasi yang dihasilkan oleh peneliti mestilah memberikan kepercayaan yang meyakinkan (convincing) bagi argument-argumen penelitian yang dibangun sebagai tesis penelitian. Berbeda dengan kuantitatif yang menuntut „kebenaran‟ atau keberhasilan statistik dari sebuah penelitian. Dalam analisis tekstual, peneliti tidak dituntut melakukan interpretasi dengan tepat. Artinya dalam melakukan asesmen terhadap penelitian analisis tekstual tidak dapat digunakan standar tertentu.

Tujuan Analisis Tekstual

Analisis tekstual bertujuan menggali lebih dalam (to explore), membuka makna-makna tersembunyi (to unpack), membongkar konsep, nilai, ideologi, budaya, mitos, dan hal-hal lain yang diproduksi dan direproduksi oleh pembuat teks atau penguasa media (to deconstruct), untuk memahami bagaimana sebuah kultur, mitos, kepentingan lain yang ada dalam produksi teks (to understand) dan lain-lain.

Menurut McKee, tujuan dari kajian analisis tekstual meliputi hal-hal berikut: 1. Mengungkap apa dan bagaimana pengetahuan (knowledge)

diproduksi dalam suatu konteks masyarakat;

2. Memahami peran yang dimainkan media dalam kehidupan kita: bagaimana pesan-pesan media berpartisipasi dalam konstruksi budaya terhadap pandangan kita tentang dunia.

(32)

22

Analisis Tekstual dan Produksi

Menurut Thwaites dkk (2009:122), analisis tekstual bergerak dari menentukan lokasi tanda khusus, sampai memeriksa struktur mitos sosial. Analisis ini melibatkan asumsi-asumsi sbb.:

1. Premis dasar analisis tekstual adalah bahwa semua penanda memiliki petanda yang beraneka;

2. Konotasi yang dimiliki tanda selalu berhubungan dengan kode makna sosial;

3. Tiap-tiap teks merupakan kombinasi sintagmatik dari tanda, dengan berbagai konotasi berkaitan yang dimiliki tanda tersebut;

4. Konotasi yang mungkin ditekankan oleh para pembaca berbeda itu beraneka macam sesuai dengan posisi sosialnya: kelas sosial, gender, usia, dan faktor-faktor lain yang memengaruhi cara berpikir tentang dan dalam menginterpretasi teks;

5. Konotasi paling stabil, sentral, dan disukai secara sosial menjadi denotasi, yakni makna yang tampak benar dari tanda dan teks bagi para pembaca;

6. Denotasi memeroleh stabilitas dan sentralitas dari cara kumpulan konotasi diurutkan oleh mitos yang mengandung nilai-nilai budaya.

Teks

Teks dalam konteks ini adalah semua yang tertulis, gambar, film, video, foto, desain grafis, lirik lagu, dan lain-lain yang menghasilkan makna (McKee, 2001). Pengertian teks tidak hanya meliputi hasil produksi media

(33)

23 massa atau publikasi. Teks juga bisa diartikan sebagai realita sehari-hari yang memiliki atau menghasilkan makna.

Dalam kajian-kajian wacana atau discourse, seringkali peneliti studi media hanya memahami teks-teks media yang tertulis atau terdokumentasi dan belum memiliki kepekaan untuk mengangkat praktik-praktik kehidupan sosial sebagai sebuah teks yang menarik untuk diamati dan dikaji. Kebiasaan untuk menjadikan kehidupan sehari-hari sebagai sebuah teks lebih sering dilakukan oleh tradisi Antropologi melalui metode etnografi (Ida, 2011:40).

Menurut Thwaites dkk (2009:112), teks adalah kombinasi dari tanda-tanda atau signs. Tanda-tanda ini yang bermain dan memproduksi makna dalam sebuah teks. Tanda atau sign diartikan sebagai segala sesuatu yang menghasilkan makna. Tanda tidak hanya berupa komentar yang dibuat oleh seseorang yang mengolah tanda menjadi bermakna. Tetapi tanda juga adalah segala sesuatu yang ada di dunia ini. Tanda atau sign merujuk pada sesuatu. Dengan kata lain, tanda mewakili atau menjadi referensi terhadap sesuatu sehingga menghasilkan makna. Tanda tidak hanya membawa makna, tetapi juga sekaligus memproduksi makna. Pada kenyataannya tanda sendiri memproduksi banyak makna, tidak hanya satu makna petanda. Inilah yang disebut Fiske sebagai polisemik tanda.

Setiap tanda/sign adalah objek yang merujuk pada sesuatu berdasarkan pada konteks atau pada budaya di mana tanda itu sendiri diproduksi dan direproduksi. Konteks budaya, bahkan historis menjadi penting untuk menghasilkan makna. Salah satu cara dalam kajian analisis tekstual untuk

(34)

24 menghasilkan derajat objektivitas penelitian. Maka konteks budaya menjadi sangat signifikan untuk menghasilkan apa yang disebut objektivitas tersebut.

Menurut McKee, ada beberapa aturan yang harus dipahami peneliti studi media dan budaya. Aturan ini berfungsi sebagai pijakan dalam memerlakukan data dan sekaligus fenomena yang diamati termasuk kepekaan sosial dan analisis kritisnya terhadap apa yang terjadi atau apa yang sedang terjadi. Aturan-aturan tersebut adalah:

1. Tidak ada interpretasi terhadap teks yang paling benar atau satu-satunya yang benar. Ada banyak kemungkinan interpretasi-interpretasi yang dilakukan oleh peneliti. Bisa juga sebagian mirip dengan yang lain dalam kondisi tertentu.

2. Tidak ada klaim bahwa sebuah teks adalah representasi yang “akurat” atau representasi yang “tidak akurat”.

3. Teks bukanlah refleksi realitas.

4. Ketika peneliti memaknai atau menginterpretasi teks, maka hal yang terpenting untuk diperhatikan adalah konteks, konteks, dan konteks. KONTEKS.

Teks, selalu diproduksi dalam konteks sosial. Teks selalu dipengaruhi oleh dan mereproduksi nilai budaya dan mitos dari konteks tersebut. Mitos kultural yang berlaku menentukan akan berupa apakah denotasi kunci, kode, konotasi, dan tanda yang dimiliki suatu teks. Bahkan seandainya suatu teks bertentangan dengan nilai-nilai tersebut sekalipun (contohnya prasasti), teks masih dipengaruhi oleh nilai-nilai tersebut.

(35)

25

1.4.3.1Analisis Tekstual Iklan Pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat #Perjuanganbelumselesai

Dalam konteks iklan sebagai produksi teks, iklan memiliki tiga macam sumber produsen, yakni organisasi mula-mula, lembaga konsultan kreatif yang membuat iklan, dan media yang memproyeksikan pesan tersebut (Burton, 2008). Iklan dikodekan untuk media spesifik. Iklan ini mengandung pelbagai pesan yang informatif dan mengandung nilai tertentu. Pesan-pesan tersebut kemudian direpresentasikan sehingga menarik bagi audiens. Audiens dalam hal ini ditargetkan sebagai penerima komunikasi. Dalam hal ini audiens kemudian berperan sebagai produsen makna. Di mana makna itu sendiri terbentuk atas pengaruh kebudayaan di mana makna itu diproduksi. Hal ini digambarkan melalui logika berikut:

Gambar I.1. Logika Analisis Tekstual dan Produksi Tekstual (Thwaites, 2009:122)

Dalam konteks iklan kampanye pemilihan kepala daerah, tim sukses Pasangan calon mula-mula memilikikonsep-konsep tertentu yang ingin disampaikan kepada audiens (mitos). Konsep ini kemudian disampaikan kepada lembaga konsultan kreatif yang membuat iklan. Konsep berupa mitos yang diharapkan akan diterjemahkan oleh pembuat iklan melalui lapis denotatif. Selanjutnya penanda dan

(36)

26 petanda yang dihasilkan dari lapis denotatif menjadi kode dan penanda maupun petanda bagi lapis konotatif hingga mewujud menjadi berbagai tanda yang hadir dalam iklan kampanye pasangan calon dalam hal ini pasangan calon Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat.

Durasi iklan televisi yang singkat dan padatnya informasi yang ingin disampaikan Pasangan calon ( Wajah dan nama kandidat, isu-isu yang diangkat, kualitas kepemimpinan , kinerja-nya dan hal-hal lainnya yang dapat menaikan pamor pasangan calon)memacu pembuat iklan untuk mencari tanda lain yang dapat digunakan untuk menggantikan kata-kata yaitu dalam objek penelitian ini adalah visual dan dialog/ narasi yang diucapkan kan dalam iklan.

1.4.4 Pendekatan Teknik Visualisasi (Komposisi dan Modalitas)

Yuliani dalam Shobihin (2005: 50) menyebutkan dalam visualisasi ide-ide dalam iklan televisi yang digunakan sebagai obyek penelitian berupa gambar bergerak hasil dari penyutingan langsung maupun dengan hasil rekaman gabungan antara gambar setting dengan desain komunikasi visual. Visualisasi dalam iklan merupakan cara untuk dapat menyampaikan pesan pada bidang yang seminimal mungkin. Pesan seringkali tidak disampaikan pada tataran verbal, tapi lebih sebagai the hidden value, yang selalu membawa nilai tersembunyi pada narasi pesan dengan muatan berbagai representasi.

(37)

27 Menurut Barthes (1977:3) dalam Djoko Soebagyo (2001), sebuah foto atau gambar merupakan suatu bentuk an institusional activity yang berkonsekuensi pada aktivitas sosial yang berhubungan dengan realitas dan berada pada kondisi kultural serta mempunyai fungsi integrasi manusia. Kondisi ini meletakkan gambar pada fungsi korelasi dan definisi terhadap kenyataan sosial sebagai suatu yang melintasi sejarah. Interaksi antara dua hal di atas (kenyataan fotografis dan representasi realisme) terletak pada bagaimana sebuah gambar mewakili realitas sosial, tapi juga bagaimana realitas sosial yang sedang berlangsung di luar gambar akan berinteraksi memunculkan penafsiran yang kontekstual (Shobihin, 2005:50).

Iklan dalam penelitian ini, menggunakan materi gambar, dengan pendekatan komposisi dan modalitas yang terbagi dalam dua karakter yaitu:

1. Gambar sebagai hasil dari penyutingan, sebuah kondisi yang sengaja diarahkan untuk menghasilkan pesan yang disajikan dengan senatural mungkin.

2. Gambar yang dipadukan dengan teknik fotografi dengan software

komputer grafis.

Untuk menguak makna yang tersembunyi perlu adanya pemahaman tentang komposisi dan ilustrasi. Komposisi dan ilustrasi merupakan sarana untuk mempermudah pembacaan gambar beserta aliran narasinya. Komposisi berpengaruh pada proses pembacaan pesan pada tingkat kombinasi dan sering sintaksis dari pada paradigmatik. Dari ini dapat diketahui bagian mana yang harus dibaca terlebih dahulu dan bagian mana

(38)

28 yang mendapat penekanan. Ilustrasi merupakan cara yang digunakan oleh produser iklan untuk mengetengahkan kritik, satir dan parodi yang akan mewarnai sebuah visualisasi. Ilustrasi bekerja pada level seleksi yang berpengaruh pada paradigmatik, yang dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana produser membentuk kesan terhadap obyek gambar kepada pembaca. Disini akan dapat diketahui bagaimana image pasangan calon dalam iklan kampanye akan tergambarkan.

Komposisi. Konvensi pada penulisan sangat berpengaruh pada penataan komposisi dan arah pembacaan pesan. Kultur dapat menentukan bahwa penulisan diawali dari kiri lalu mengalir ke kanan dan aliran pembacaan yang berawal dari atas ke bawah. Konvensi ini sangat mempengaruhi bagaimana antartanda visual berelasi dalam gambar dan dioperasikan menjadi pesan. Proses pemaknaan untuk tiap-tiap gambar bisa berbeda. Pada konvensi sosial yang memberlakukan penulisan dari kanan ke kiri (Yuliani dalam Shobihin 2005: 52).

Shobihin (2005: 53) mengutip Kress dan Ven Leeuwen, 1996 yang menyebutkan tiga elemen yang digunakan untuk mencari pesan dan makna dalam gambar. Elemen ini merupakan komposisi secara keseluruhan, cara bagaimana obyek representasi berinteraksi dan berelasi serta cara bagaimana mengintegrasikannya menjadi makna secara keseluruhan. Hal inilah memberikan tekanan bahwa aturan komposisi akan menentukan bagaimana gambar dibaca dan menghasilkan makna. Pada operasionalnya elemen ini menggunakan tiga sistem yang saling berelasi yaitu informative value,

(39)

29

salience dan framing.

Informative value merupakan penempatan elemen-elemen yang berdasar pada pola kiri dan kanan, atas dan bawah atau pusat dan tepi. Penempatan ini menentukan aturan sintaksis dari hubungan antar elemen dengan audiens. Hal ini dipengaruhi oleh konvensi pembacaan dari kiri ke kanan. Informative value memiliki sisi analisa yang merujuk pada komposisi keruangan, yaitu gien dan new, ideal dan real serta center dan margin.

Given dan new merupakan konsep komposisi yang menentukan bagaimana sebuah pesan dibaca pada sisi kiri dan kanan, bagaimana aliran pesan dan bagaimana bagian yang ordinat dan subordinat ditempatkan.

Given menunjuk pada pengertian sesuatu yang pasti, yang meletakkan pesan pada struktur yang jelas dan teridentifikasi bukan problematik. Pada suatu visual iklan, diletakkan pada sisi kiri ruang iklan dan pesan dimulai dari sisi ini. Sedangkan new berada pada sisi kanan sebagai problematik dan isu. Pada sisi ini tampilan visual belum bisa menjelaskan maksud secara utuh, tapi membutuhkan penerangan dan penjelasan lagi. New biasanya merupakan bagian pesan yang diletakkan pada struktur subordinat dari

given.

Ideal dan real adalah pembacaan pesan berdasar pada kesepakatan dari atas ke bawah. Ideal pada bidang atas dan real pada bidang bawah. Ideal

merupakan sisi dimana pesan dibaca sebagai sesuatu yang diharapkan, menjadi tujuan dan angan-angan atau berdasar apa yang mungkin akan terjadi. Disini tidak membutuhkan penjelasan atas fenomena. Sedang real

(40)

30 merupakan sisi pembacaan pesan sebagai suatu realitas pada pesan yang sebenarnya atau what is. Dalam media periklanan pesan dapat dilihat dan dipahami dalam bentuk-bentuk yang problematik dan faktual yang biasanya diletakkan pada bagian bawah ruang dalam iklan. Sedangkan centerdan

margin menunjukkan pada bagian yang penting dan yang kurang penting. Sisi center adalah bagian yang ditonjolkan atau sebagai fokus utama, sebagai sebab atau akibat yang utama. Centerdiletakkan pada bagian tengah ruang sebuah visualisasi. Margin sebagai pembatas, sebagai tambahan yang mendukung atau mengunsuri center. Margin biasanya diletakkan pada bagian tepi-tepi center.

Pada iklan kampanye, komposisi tersebut di atas memiliki kecenderungan dapat diterima dan dipahami untuk memaknai pesan baik dari segi visual maupun dari teks headline dan teks bodycopy serta penempatannya dalam ruang sebuah iklan. Sebagaimana disampaikan awal, sistem ini bekerja berdasar pada konvensi atau kesepakatan sosial atau

Margin Ideal Given Margin Ideal New Given Real Margin New Real Margin

Gambar I.2. Komposisi yang Digunakan pada Konvensi Penulisan dari Kiri ke Kanan center

(41)

31 kultur, sehingga tidak setiap wilayah tertentu memiliki pola komposisi dan pembacaan pesan yang sama. Komposisi di atas adalah komposisi yang cenderung digunakan pada konvensi penulisan dari kiri ke kanan.

Modalitas. Pada bentuk-bentuk visual, pesan-pesan disajikan secara terpilih melalui berbagai seleksi. Ini selalu berlaku pada kondisi kultural media, karena tema tidak dengan serta merta dipilih tapi melalui proses pengkodingan sesuai dengan keinginan produser iklan. Pada sisi inilah modalitas bekerja. Modalitas merupakan konstruksi berupa setting yang dilakukan produser iklan atau media terhadap status obyek dari kondisi realitas yang ada. Pembentukan modalitas selalu mengacu pada kondisi real yang terjadi, yang menyangkut pada penggambaran terhadap obyek iklan yang akan memunculkan kesan tertentu yang bersifat positif atau negatif. Modalitas berupa penciptaan konstruksi yang dibuat oleh produser iklan atau media berdasar pada realitas dan kondisi kultural yang tersusun berdasar pada konvensi yang disampaikan pada pengamat pada konsep kognisinya (Noviani, 2002:102).

Dari sini kita akan melihat konstruksi yang dibentuk oleh produser iklan dan kesan yang timbul atau ingin dimunculkan dari obyek iklan kampanye milik Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat versi #perjuanganbelumselesai bagaimana modalitas yang dibentuk oleh produser.

1.4.5 Semiotika

(42)

32 kajian tentang tanda akan menempati satu posisi tersendiri dalam cabang ilmu pengetahuan. Pemikiran ini didasari oleh keyakinannya bahwa di masa-masa berikutnya kajian akan peranan tanda dalam kehidupan sosial akan kian meningkat. Kajian tentang tanda ini kini kita sebut sebagai Semiologi. Secara etimologis, kata semiologi berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda.

Semiologi menunjukkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda tersebut dan hukum yang mengaturnya. Karena ilmu tersebut belum ada, maka tidak ada satupun yang memberikan kepastian ilmu tersebut akan ada. Tetapi ilmu ini berhak untuk hadir. Lebih tepatnya, tempatnya telah ditentukan sebelum ia hadir (Saussure, 1993:82-83).

Pada perkembangannya, istilah semiologi kerap dipertentangkan dengan semiotika. Kedua istilah tersebut menunjukkan tradisi “ilmu tentang tanda-tanda” yang berkembang di Amerika dan Eropa. Tradisi Saussure, Hjelmeslev dan Barthes, biasanya didefinisikan sebagai semiologi, sedangkan teori umum tanda dalam tradisi Pierce dan Morris disebut dengan semiotika (Noth, 2006:13). Di antara semiologi dan semiotika sesungguhnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Keduanya juga didefinisikan sebagai ilmu tentang tanda. Hingga pada tahun 1969 para pelopor semiotic

yang tergabung dalam International Association of Semiotic Studies,

memutuskan untuk mengadopsi istilah semiotic sebagai istilah umum yang meliputi semua bidang penelitian yang berada dalam tradisi semiologi dan semiotika umum (Noth, 2006:14). Sejak saat itu, penggunaan kata

(43)

33

“semiotic" untuk menyebut kajian tanda internasional. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti pun menggunakan istilah semiotika meski menggunakan telaah tanda dengan model semiologi Roland Barthes.

Semiotik adalah sebuah ilmu yang dapat diterapkan secara luas karena hampir seluruh hal yang ada di muka bumi ini dapat menjadi sebuah tanda. Sebagaimana dicanangkan Saussure dan Pierce, semiotik direferensikan menggarap semua tanda yang ada sehingga ruang lingkup kajian semiotik menjadi begitu luas. Keduanya meramalkan bahwa semiotik banyak berguna bagi berbagai disiplin. Ramalan keduanya dari hari ke hari menampakkan kebenaran. Semiotik yang mula-mula diterima dalam lingkaran-lingkaran akademis terbatas, semakin merambah ke dalam relung-relung disiplin lain (Rusmana, 2014:32). Salah satu penggunaan semiotik yang diulas dalam buku Semiotika Visual karangan Kris Budiman adalah untuk menganalisis teks dan gambar.

Saussure membagi tanda secara dikotomis (dua aspek) sebagai

signifier (penanda) dan signifie (petanda). Hubungan di antara keduanya bersifat arbitrer. Menurut Kris Budiman (2011), semiotik bukanlah sekadar studi atau ilmu tentang makna dan atau tanda sebagaimana disalahpahami oleh sebagian besar pembelajar Semiotik. Terlepas dari pembedaan yang mungkin dilakukan oleh semiotisi tertentu atas arti (meaning) dan makna (significance), semiotika tidak hanya mengkaji makna dan atau tanda. Relasi tanda dan makna-maknanya hanya dipelajari di dalam semantika (semantics) sebagai salah satu dari tiga cabang penyelidikan semiotika. Dua cabang

(44)

34 penyelidikan yang lain yakni sintaksis (syntax) dan pragmatika (pragmatics), tidak mempelajari makna, melainkan relasi formal di antara tanda dengan tanda-tanda yang lain serta relasi di antara tanda-tanda dan para penggunanya.

Kedua, semiotika tidak sebatas memelajari simbol, melainkan tanda-tanda pada umumnya yang jauh lebih luas cakupannya. Apa yang sering disebut sebagai simbol sesungguhnya hanyalah salah satu jenis relasi tanda. Ketiga, semiotika memang mengkaji tanda-tanda, atau lebih tepatnya relasi tanda-tanda. Yang menjadi kata kuncinya di sini adalah relasi, bukan tanda itu sendiri.

Semiotika mengkaji relasi tanda, yakni relasi tanda yang satu dengan tanda-tanda yang lain; relasi tanda-tanda dengan makna-maknanya atau objek-objek yang dirujuknya (designatum) dan relasi tanda-tanda dengan para penggunanya: interpreter-interpreternya.

Posisi Semiotika Sebagai Pendekatan

Roman Jakobson (1975:353) mengemukakan suatu model situasi tutur atau komunikasi verbal. Skema berikut ini menampilkan model tersebut beserta faktor-faktor yang menyusunnya:

Context Message

Adresser --- Addressee Contact

Code

Gambar I.3. Skema Model Situasi Tutur Roman Jacobson (dalam Budiman, 2011:5)

(45)

35 Di dalam setiap situasi tutur, pihak pengirim (addresser) menyampaikan pesan (message) kepada pihak penerima (addressee). Agar dapat beroperasi dengan baik, pesan tersebut membutuhkan konteks (context) sebagai acuannya beserta kode (code) yang setidak-tidaknya sebagian atau seluruhnya telah dikenal oleh pihak pengirim maupun penerima. Kemudian dengan adanya suatu kontak (contact) yang menghubungkan pihak pengirim dan penerima, baik secara fisik maupun psikologis, maka keduanya dimungkinkan untuk melakukan komunikasi.

1.4.5.1Semiotika Visual

Semiotika visual, merupakan salah satu bidang studi semiotika yang secara khusus menaruh minat terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan (visual senses). Jika definisi ini diikuti secara konsisten, maka semiotika visual tidak lagi terbatas pada kajian seni rupa (seni lukis, patung, arsitektur, dsb. melainkan juga segala macam tanda visual yang seringkali dianggap bukan karya seni (Budiman, 2011:9).

Sebagaimana ditulis oleh Kris Budiman (2011), Charles Morris mengklasifikasikan semiotika visual dalam tiga dimensi: sintaktik, semantik, dan pragmatik.

1. Sintaktik atau sintaksis merupakan suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal di antara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain”. Dengan kata lain karena

(46)

36 hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Secara sederhana, sintaktik dapat diartikan semacam gramatika.

2. Semantik adalah cabang penyelidikan semiotik yang memelajari “hubungan antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya. Istilahdesignata digunakan Morris untuk mengacu makna tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu. 3. Pragmatik diartikan sebagai cabang penyelidikan semiotika yang

memelajari “hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter atau para pemakainya”. Atau dapat diartikan pragmatik memelajari pemakaian tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berhubungan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.

1.4.5.2Semiologi Roland Barthes

Semiologi Saussure menjadi dasar dari kajian-kajian semiotika Barthes terhadap objek-objek kenyataan atau unsur-unsur kebudayaan yang sering ditelitinya. Bagi Barthes, semua hal dapat menjadi objek kajian semiotik.

“The world is full of signs, but these signs do not all have the fine simplicity of the letters os the alphabet, or highway signs. Or of military uniform: they are infinitely more complex”.

(47)

37

Dunia ini penuh dengan tanda-tanda, tetapi tanda-tanda ini tidak semua memiliki kesederhanaan baik dari huruf atau alphabet, atau tanda-tanda jalan raya. Atau seragam militer. Mereka jauh lebih kompleks.

Gagasan Barthes mengenai tanda-tanda dan cara memaknanya tertuang dalam bukunya Mythologies (1957). Buku ini berisi kumpulan artikelnya tentang penguraian mitos dalam tanda-tanda. Dalam Mitologi, Barthes banyak mengupas mitos dan peranan ideologi dalam proses pemaknaan tanda. Barthes, mengajukan pendekatan semiotik terhadap kebudayaan modern yang membatasi mitos bukan sebagai bentuk naratif, melainkan sebagai fenomena kehidupan sehari-hari (Noth, 2006:383).

Pada umumnya, mitos diartikan sebagai ide-ide palsu yang hidup dalam masyarakat. Ia hidup dan menjelma dalam berbagai hal yang kebenarannya diragukan namun keberadaannya diakui oleh masyarakat. Pengertian yang semacam itu, biasanya digunakan oleh orang-orang yang tidak percaya akan nilai-nilai mitos. Sementara Barthes, menggunakan kata-kata mitos sebagai salah seorang yang menaruh kepercayaan akan keberadaannya (Fiske, 1985:93). Bagi Barthes, mitos adalah cara budaya menjelaskan dan memahami suatu hal, sebuah cara untuk mengonsetualisasi dan memahaminya. Mitos dipandang sebagai sebuah tipe wicara yang tidak dapat berperan

(48)

38 sebagai sebuah objek, konsep maupun ide. Mitos adalah cara pemaknaan. (Barthes, 2004:151).

Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa mitos merupakan bagian dari sistem komunikasi, sekaligus merupakan pesan. Sehingga, kajian tentang mitos dapat dimasukkan pada ranah kajian semiologi (Barthes, 2004:152-155). Mitos berfungsi untuk menjelaskan dan memahami beberapa aspek dari realitas. Barthes juga menyebut mitos dengan istilah metabahasa. Karena mitos adalah bahasa kedua. Bahasa pertama, digunakan saat orang berbicara. Ketika seorang ahli semiologi menggambarkan tentang metabahasa, dia tidak lagi harus bertanya kepada dirinya tentang komposisi bahasa-objek. Ia hanya perlu mengetahui istilah total atau tanda global. Dan oleh sebab itu istilah ini selaras dengan mitos (Barthes, 2004: 162).

Tanda, berada pada sistem pertama (sistem linguistik) yang sekaligus menjadi penanda pada sistem kedua. Hal ini terlihat melalui skema berikut: 1. Signifier/Penanda 2. Signified/Petanda 3. Sign/Tanda I. Signifier/PENANDA II.Signified/ PETANDA III. Sign/TANDA

(49)

39 Di dalam tataran bahasa (language), yaitu sistem semiologis lapis pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda (I).

Selanjutnya di dalam tataran mitos, yakni sistem semiologis lapis kedua, tanda-tanda pada tataran pertama tadi menjadi penanda-penanda yang berhubungan lagi dengan petanda-petanda (II).

Dari penjelasan Barthes (dalam Budiman, 2011:39), proses signifikasi berlapis ganda ini digambarkannya melalui perangkat konseptual yang lebih familiar, yakni denotasi dan konotasi. Pertama, Barthes membedakan lapis ekspresi (expression = E) dari lapis isi (content = C). Penggunaan istilah ini merupakan hasil pinjaman dari Hjelmslev sebagai pengganti konsep-konsep seperti penanda dan petanda yang diusung oleh Saussure.

Kedua lapis ini, ekspresi dan isi, saling berelasi (relation = R) sehingga menghasilkan signifikasi –disingkat ERC. Sistem ERC pada tingkat pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi sebuah unsur saja dari sistem tingkat kedua. Derivasi yang kemudian dihasilkan bergantung kepada titik penyusupan dari sistem pertama ke dalam sistem kedua sehingga kemudian diperoleh dua perangkat yang satu sama lain berbeda.

Yang dimaksud dengan makna denotatif adalah makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda. Yang pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Makna denotatif ini bersifat

(50)

40 langsung. Sementara makna konotatif berkaitan dengan kebudayaan yang tersirat pada segala sesuatu yang ditimbulkan. Makna konotasi dari beberapa tanda akan menjadi semacam mitos atau mitos petunjuk dan menekan makna-makna denotatifnya (Berger, 2000:56).

1.4.5.3Tanda dan Proses Semiosis

Pierce, mengacu model tandanya sebagai sebuah model yang terdiri atas tiga (triple) hubungan yakni sign (tanda), thing signified

(sesuatu yang dilambangkan), dan cognition produced in the mind

(kognisi yang dihasilkan dalam pikiran). Suatu tanda atau representamen, menurut Pierce adalah sesuatu yang mengacu pada seseorang atas sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda ini merujuk pada seseorang yakni menciptakan di dalam benak orang itu suatu tanda (lain) yang setara, atau mungkin yang lebih maju. Tanda yang diciptakan itu disebut interpretant atas tanda pertama. Tanda itu mengacu pada sesuatu yakni objeknya. Itu mengacu pada objek itu, bukan dalam semua sisi, namun mengacu pada semacam ide (Noth, 2006:42).

Salah satu prinsip utama semiotik Pierce adalah relasional tanda. Tanda bukanlah sejenis objek. Tanda hanya ada di benak interpreter. Tidak ada sesuatu yang merupakan tanda kecuali diinterpretasikan sebagai (Noth, 2006:42).

(51)

41 Pierce mendefinisikan tindakan tanda triadic ini sebagai proses dampak kognitif yang ditimbulkan tanda kepada interpreternya. Proses ini ia sebut semiosis.

1.4.5.4Kode dalam Semiotik

Umberto Eco mendefinsikan kode sebagai sistem unit-unit signifikan dengan kaidah-kaidah pengkombinasian dan pentransformasian. Kode adalah sistem kaidah yang diberikan oleh kebudayaan. Kode, merupakan aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi (Noth, 2006:210).

Pengertian kode (code) di dalam strukturalisme dan semiotik menyangkut sistem yang memungkinkan manusia untuk memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda, sebagai sesuatu yang bermakna (Scholes dalam Budiman, 2011:34). Segala sesuatu bergantung pada kode. Kita bisa memberi makna kepada sesuatu berkat suatu sistem pikiran, suatu kode yang memungkinkan kita untuk dapat melakukannya.

Menurut Roland Barthes, di dalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok (five major codes) yang di dalamnya semua penanda tekstual (leksia) dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Kode-kode ini menciptakan sejenis jaringan atau topos yang melaluinya, sebuah teks dapat “menjadi” (Barthes dalam Budiman,

Gambar

Gambar I.1. Logika Analisis Tekstual dan Produksi Tekstual (Thwaites,  2009:122)
Gambar I.2. Komposisi yang Digunakan pada Konvensi Penulisan dari Kiri ke Kanan
Gambar I.3. Skema Model Situasi Tutur Roman Jacobson (dalam Budiman,  2011:5)
Gambar I.4. Sistem Semiologi dan Mitologi (Barthes, 2004:161)
+7

Referensi

Dokumen terkait