• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

3.2 Analisis Makna Mitos dalam Iklan

Mitos dalam iklan: “Ahok-Djarot Politisi yang bersih : Solusi Permasalahan Warga Jakarta“

Menurut Barthes (dalam Budiman, 2011:38), bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos. Yaitu yang secara semiotis dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikasi yang (disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua (the second order semiological system). Penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Selanjutnya tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua.

Pada tataran signifikasi lapis kedua inilah mitos bercokol. Aspek material mitos yakni penanda-penanda pada the second order semiological

system tersebut dapat disebut sebagai retorik atau konotator-konotator yang

tersusun dari tanda-tanda pada sistem pertama, sementara petanda-petandanya sendiri dapat dinamakan sebagai fragmen ideologi. Skema penandaan dua tingkat ini digunakan peneliti untuk membaca proses penggambaran mitos dalam iklan.

Di dalam tataran bahasa (language), yaitu sistem semiologis lapis pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian hingga menghasilkan tanda. Dalam visual iklan Pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat versi #PerjuanganBelumSelesai peneliti membaca seperangkat tanda-tanda: Kandidat dengan pakaian kasual berupa kemeja kotak-kotak dan celana jeans, memakai kacamata hitam, dan

92 bersepatu pantofel yang berada di kota dengan bangunan khas Jakarta dan dikelilingi berbagai proyek disekitarnya. Semua ini membangun seperangkat tanda pada lapis pertama (denotasi) dengan makna literal: Pasangan calon Gubernur DKI Jakarta.

Bahasa yang timbul sebagai akibat adanya interaksi, menuntut adanya relasi atas segala sesuatu yang ada padanya. Menurut Saussure (1996:122-125), ada dua jenis relasi yang berhubungan dengan bahasa. Yakni relasi sintagmatik dan relasi paradigmatik. Sintagma merujuk kepada hubungan in praesentia di antara satu kata dengan kata-kata yang lain atau antara suatu satuan gramatikal dengan satuan-satuan gramatikal yang lain, di dalam ujaran atau tindak tutur (speech act) tertentu. Karena tuturan selalu diekspresikan sebagai suatu rangkaian tanda-tanda verbal dalam dimensi waktu, maka relasi-relasi sintagmatik kadang disebut juga sebagai relasi-relasi linear. Sebaliknya, relasi asosiatif setiap tanda berada di dalam kodenya sebagai bagian dari suatu paradigma. Suatu sistem in absentia yang menghubungkan tanda tersebut dengan tanda-tanda yang lain. Hubungan ini bisa berdasarkan persamaan maupun perbedaannya.

Di dalam bahasa, secara paradigmatik, sebuah kata akan berhubungan dengan sinonim-sinonimnya atau antonim-antonimnya. Bisa juga ia berhubungan dengan kata-kata lain yang memiliki bentuk dasar yang sama atau yang memiliki kesamaan secara fonetik. Di dalam bidang politik yang dikenal birokratif dan kaku, gaya kasual dianggap berbeda atau lebih ekstrim lagi nyeleneh. Secara skematik, peneliti melihat bagaimana kandidat merepresentasikan dirinya yaitu berpenampilan kasual (kemeja kotak-kotak

93 + memakai celana jeans + berkacamata + bersepatu pantofel) + berada di Kota Jakarta + dikelilingi proyek infrastruktur secara sintagmatik membangun sebuah relasional yang baru dari kandidat untuk calon Gubernur DKI Jakarta.

Relasi tanda sebagaimana konsep dikotomis Ferdinand de Saussure yakni relasi sintagmatis & relasi asosiatif (paradigmatis) digambarkan sebagai berikut:

Secara paradigmatik, kandidat calon gubernur pada umumnya berpenampilan serius. dan menggunakan warna-warna netral cenderung gelap hal ini berbeda dari gaya berpakaian yang ditampilkan pasangan Ahok-Djarot yang memakai Kemeja kotak-kotak+bercelana jeans+berkacamata hitam+bersepatu pantofel.

Menurut Yasraf, di dalam fashion terdapat berbagai sistem yang ia sebut sebagai sistem fashion. Misalnya sistem pakaian resmi, sistem seragam (militer/kantor/sekolah/dll), termasuk sistem pakaian kasual. Meskipun demikian, sebagai salah satu produk kebudayaan, maka sistem fashion

Paradigmatis Sintagmatis

Pasangan Kandidat

Mengenakan Pakaian Resmi

Pasangan Kandidat

Memakai Baju Warna gelap

Pasangan Kandidat Menggunakan - Baju - Kacamata - Sepatu - kasual - Hitam - Pantofel

Gambar III.6. Skema Paragdimatik dan Sintagmatik Iklan Ahok-Djarot #PerjuanganBelumSelesai

94 bukanlah sesuatu yang stabil, stagnan. Sebaliknya ia justru sangat dinamis, terbuka terhadap perubahan mulai dari yang moderat hingga radikal. Perubahan ini mendekonstruksi tanda, bentuk, ekspresi, bahkan kode-kode

fashion yang ada sebelumnya. Berbagai kombinasi baru dibuat sebagai padu

padan, untuk mendekonstruksi aturan-aturan yang ada sebelumnya (Piliang, 2012:357).

Di tataran pertama, seperangkat tanda-tanda pada lapis pertama yakni kandidat Ahok-Djarot yang memakai Kemeja kotak-kotak+bercelana jeans+berkacamata hitam+bersepatu pantofel membentuk seperangkat penanda yakni pribadi kandidat calon gubernur dan wakil gubernur untuk DKI Jakarta. Di dalam tataran mitos, yakni sistem semiologis lapis kedua, tanda-tanda pada tataran pertama menjadi penanda-penanda di tingkat kedua yang berhubungan lagi dengan petanda-petandanya. Tanda yang dihasilkan pada sistem signifikasi lapis pertama yakni “Gaya berpakaian Ahok-Djarot kandidat calon gubernur dan waki gubernur DKI Jakarta” ini menjadi penanda di lapis kedua. Penanda berupa “Gaya berpakaian Ahok-Djarot kandidat calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta” ini merujuk pada petanda akan pribadi Ahok-Djarot sebagai calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Dikutip dari portal online suara.com disebutkan pakaian tidak hanya sebagai penutup tubuh dan penunjang penampilan tapi juga bisa mencerminkan pribadi pemakai. Gaya pakaian yang digunakan Ahok-Djarot mencerminkan pribadi yang mudah didekati, santai namun juga tetap memiliki sisi serius dari seorang pemimpin namun disisi lain pemakaian

95 kacamata hitam menghadirkan kesan berbeda. Kacamata hitam memberi makna ketertutupan dan penyamaran.

Situasi politik yang dihadapi Ahok-Djarot saat kampanye ini berlangsung bisa dikatakan adalah situasi yang sulit. Dengan status Ahok sebagai tersangka kasus penista agama dan beberapa penolakan dari warga membuat posisi pasangan ini seperti telur diujung tanduk. Iklan adalah salah satu upaya mendistorsi realitas yang ada di masyarakat. Ahok yang beretnis Tionghoa, non-muslim, kasar dan arogan berdampingan dengan Djarot yang bersuku Jawa, muslim, santun keduanya digambarkan sebagai pribadi yang santai, terbuka, dan namun juga tetap meninggalkan kesan keseriusan. Sedang kacamata hitam seolah menjadi pembauran perbedaan antara keduanya, sehingga yang kita lihat hanyalah pasangan kandidat yang santun dan menyatu dalam perbedaan.

Hal lain yang dapat kita kenali adalah kemunculan bangunan Gereja Kathedral dan Masjid Istiqlal di sepanjang iklan. Salah satu contoh kecil keberagaman dan kesatuan di Indonesia adalah Masjid Istiqlal dan Gereja Catedral yang berseberangan, satu berkubah putih megah, satu menara kembar menjulang ke langit. Dua ikon Jakarta yang melambangkan perbedaan dan persahabatan antar umat. Salah satu contoh sederhana dari persahabatan antar keduanya ialah berbagi lahan parkir.

Kemudian yang juga dapat digarisbawahi adalah salam penutup dalam iklan yang menggunakan salam yang menunjukkan identitas keislaman yaitu “wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatu”. Salam penutup sekaligus pesan damai. Seolah menjadi sindiran bahwa islam itu pada hakikatnya

96 mencintai perdamaian. Sehingga dari tanda-tanda ini peneliti mendapati pasangan Ahok-Djarot digambarkan sebagai pribadi yang menghargai perbedaan, demokratis, dan cinta damai.

Terakhir adalah simbol nasionalisme yang bercokol tepat sebelum iklan benar-benar berakhir yang juga sebagai simbol integritas dan rasa tanggung jawab Ahok-Djarot sekaligus sebagai pengingat kembali dan juga harapan agar Warga Jakarta memilih pasangan nomor urut 2 karna perjuangan mereka belum selesai.

Dalam iklan ini Ahok-Djarot digambarkan bagai pemimpin yang nyaris sempurna, memiliki nilai-nilai kepemimpinan yang diidamkan masyarakat. Dekat dengan rakyat, memiliki kinerja yang baik, kredibel, bersih, berintegritas, santun, nasionalis, toleran, demokratis, tulus dan cinta damai. Konsep ini kita sandingkan dengan realita yang terjadi dalam kehidupan nyata, kita akan melihat adanya kesenjangan dan juga persamaan. Dimana pada realitanya Ahok adalah pribadi yang terkenal kerap berkata kasar dan ceplas-ceplos sedang di dalam iklan ia digambarkan sebagai pribadi yang santun melalui kata-katanya dan bahasa tubuhnya. Djarot digambarkan santun layaknya ia pada kehidupan nyata.

Penggambaran sebagai politisi yang bersih, pluralis, nasionalis, dan demokratis fokus pada kinerja yang baik untuk membagun Jakarta, walau sebaliknya kasus yang menimpa Ahok hingga menyeretnya menjadi tersangka penista agama menjadi sebuah representasi politik di Indonesia yang identik dengan pemimpin islam. Namun peneliti menangkap citraan ini tidak cukup kuat melawan isu yang beredar di kehidupan nyata. Pada

97 akhirnya pasangan Ahok-Djarot kalah dalam Pilgub DKI 2017. Dikutip dari tempo.co seorang Peneliti Universitas Nasional Australia (ANU) Marcus Mietzner menyatakan penentu pilkada jelas persoalan agama. Apalagi ditambah Ahok dituding telah menistakan agama. Tanpa kasus itu pun, peta politik warga Jakarta adalah 40 persen warga adalah orang konservatif yang memilih pemimpin Muslim dan ada 35 persen pemilih adalah orang pluralistik. Sisanya, lebih banyak terpengaruh kasus penistaan agama dan gaya kepemimpinan Ahok. Walau jika ditilik kinerja pasangan ini,, lembaga survei LSI Denny JA menyatakan tingkat kepuasan warga DKI terhadap Ahok-Djarot mencapai 73 persen. Yang mana dengan tingkat kepuasan seperti ini seharusnya petahana bisa terpilih kembali. Jika berkaca pada pernyataan Marcus Mietzner, peneliti melihat bahwa simbol keagamaan berupa Gereja Kathedral dan Masjid Istiqlal serta salam yang muncul dalam iklan adalah upaya membaur isu agama yang santer beredar dan menjadikan ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama.

Dokumen terkait