• Tidak ada hasil yang ditemukan

FILSAFAT SEJARAH MENURUT IBN KHALDUN DAN KARL MARX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FILSAFAT SEJARAH MENURUT IBN KHALDUN DAN KARL MARX"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

FILSAFAT SEJARAH MENURUT

IBN KHALDUN DAN KARL MARX

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh: Khairul Ihsan NIM. 11160331000005

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H. / 2020 M.

(2)
(3)
(4)

iii Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Khairul Ihsan

NIM. : 11160331000005

Program Studi : Aqidah dan Filsafat Islam Tempat, Tanggal Lahir : Bogor, 12 April 1999

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul FILSAFAT SEJARAH MENURUT IBN KHALDŪN DAN KARL MARX adalah benar merupakan karya pribadi dan tidak melakukan plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah penulis cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Penulis bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat karya orang lain.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.

Ciputat, 17 Oktober 2020

(5)

iv

Perkembangan sejarah tidak hanya menunjukkan kita terhadap rekaman peristiwa masa lalu. Lebih dari itu sejarah yang terjadi dapat membuka pemikiran kita mengenai perkembangan manusia itu sendiri. Sebab tidak lain sejarah adalah wadah dari kronologi perkembangan manusia. Terdapat dua tokoh yang relevan membahas tentang peradaban manusia secara filosofis, yakni Ibn Khaldūn dan Karl Marx. Ibn Khaldūn sendiri adalah filsuf abad pertengahan yang mengkaji daur sejarah dengan berinti pada persatuan umat (masyarakat suatu bangsa), sedangkan Karl Marx adalah filosof modern yang mengkaji metode historis dari aspek kelas (kasta yang berperan pada perubahan sejarah).

Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh pengetahuan tentang esensi perubahan sejarah, atau dengan pertanyaan apa esensi perubahan sejarah dari kedua tokoh tersebut? Untuk itu penulis mengumpulkan data-data yang berkaitan, berikut dengan referensi primer, yakni Muqaddimah karya Ibn Khaldūn dan satu buku berisi karya-karya Karl Marx yang berjudul Karl Marx: Selected Writings. Berikut pula dengan penyusunannya, penelitian ini menggunakan metode penelitian yang berupa library research dengan analisa metode deskriptif dan

metode interpretatif.

Dari penelitian ini, dapat diteliti mengenai pendekatan yang identik dari bahasan filsafat sejarah antara Ibn Khaldūn dan Karl Marx, namun tidak serta merta dapat disamakan. Kajian Ibn Khaldūn mengenai sejarah juga memunculkan coraknya tersendiri, sebagai sebuah pandangan tokoh yang hidup pada masa klasik, sebaliknya posisi pemikiran Karl Marx mewakilkan perspektif kondisi pada masa modern. Pada pembahasan yang lebih jauh, dapat diketahui bahwa keduanya turut membahas sebuah komunitas dalam gagasannya, seperti Ibn Khaldūn yang membahas negara, masyarakat, maupun sebuah ikatan

(‘ashābiyyah), ataupun Karl Marx yang membahas filsafat sejarah dari asal mula

penggerak perkembangan. Dapat dibilang terdapat persamaan ataupun perbedaan dari penjelasan antara keduanya, keidentikan antara keduanya memiliki kualitas yang sama dalam upaya pemaparan filsafat sejarah.

Kata Kunci: Ibn Khaldūn, Karl Marx, Filsafat Sejarah, ‘ashābiyyah,

(6)

v

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan kepada hambanya, berupa nikmat iman dan kesehatan. Dengannya penulis dapat menuntaskan tugas akhir studi. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Rasūlallāh SAW yang telah memberikan suri teladan kepada umatnya.

Skripsi yang berjudul Filsafat Sejarah Ibn Khaldūn dan Karl Marx disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Fakultas Ushuluddin di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran beserta peran dari berbagai pihak, baik yang langsung maupun tidak langsung sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Humaidi, M.Ud. selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing dan menasihati dengan setulus hati dalam memberi masukan serta arahan yang baik kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir atau skripsi ini.

2. Dra. Tien Rohmatin, M.A., Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dan juga jajarannya yang telah membantu penulis dalam mengurus segala keperluan untuk menyelesaikan penulisan judul skripsi ini.

3. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tidak bisa penulis sebut namanya satu persatu. Semoga ilmu yang telah diajarkan kepada penulis dapat diamalkan dan semoga kelak mendapat balasan dari Allah.

4. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Dr. Yusuf Rahman, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.

(7)

vi

dan mendukung penulis untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, karena berkat doa kedua orang tualah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar serta menyelesaikan pendidikan ini dengan baik.

6. Citra tercinta yang selalu memberi semangat, dukungan, dan doa kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan semangat.

Penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih banyak atas doa, dukungan dan motivasinya kepada semuanya. Penulis juga tidak lupa mohon maaf apabila masih ada yang belum penulis sebut namanya satu persatu. Semoga segala kebaikan yang telah diberikan oleh semuanya menjadi amal baik dan diberi balasan oleh Allah SWT., Aamiiin.

Ciputat, 14 November 2020

(8)

vii

Arab Indonesia Arab Indonesia

ا A ط th ب B ظ zh ت T ع ث Ts غ gh ج J ف f ح ق q خ Kh ك k د D ل l ذ Dz م m ر R ن n ز Z ه h س S و w ش Sy ء ص Sh ي y ض Dh ة h Vokal Panjang Arab Indonesia أ ā يإ ī وأ ū

(9)

viii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1. Tujuan ... 8 2. Manfaat ... 8 D. Tinjauan Pustaka ... 8 E. Metode Penelitian ... 9 1. Pengumpulan Data ... 9 a. Data Primer ... 9 b. Data Sekunder ... 10 2. Analisis Data ... 10 3. Teknik Penulisan ... 10 F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN FILSAFAT SEJARAH IBN KHALDŪN A. Biografi ... 2

B. Karya-karya ... 15

C. Latar Belakang Pemikiran ... 16

BAB III BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN FILSAFAT SEJARAH KARL MARX A. Biografi ... 21

B. Karya-karya ... 28

(10)

ix KARL MARX A. Terbentuknya Masyarakat ... 34 1. Ibn Khaldūn ... 34 2. Karl Marx ... 36 3. Refleksi ... 38 B. Perkembangan Masyarakat ... 39

1. Teori Daur Peradaban Ibn Khaldūn ... 39

2. Teori Tahapan Perkembangan Masyarakat Karl Marx ... 40

3. Refleksi ... 42

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 45

B. Saran-saran ... 46

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara umum manusia tidak dapat terlepas dari sejarah. Sejarah diibaratkan seperti sebuah wadah tempat berprosesnya segala bentuk perkembangan, baik itu dari manusia, alam, ataupun kehidupan secara umum. Sering sekali pengetahuan akan periode kehidupan tertentu disampaikan melalui cerita-cerita sejarah yang sudah terjadi, maka dari itu terdapat sebuah pola waktu. Seperti masa lampau, di mana sejarah sudah terjadi atau terlewati, masa sekarang, di mana sejarah sedang terjadi, dan masa depan, yaitu sebuah sejarah yang akan terjadi atau belum terjadi. Sejarah adalah kontinuitas suatu kejadian, secara universal sejarah yang dimaksud adalah sejarah umat manusia, di samping itu sejarah juga dapat dirujuk sebagai kronologi sebuah peristiwa dalam sejarah umat manusia, seperti sejarah terbentuknya Negara Republik Indonesia (RI), sejarah pembuatan pesawat terbang, sejarah Yunani kuno dan sebagainya.

Sejarah-sejarah tersebut mengacu pada sebuah objek yang berlangsung pada tahap-tahap waktu tertentu sehingga menjadi kronologi tentang bagaimana perkembangan objek tersebut. Semisal pada sejarah terbentuknya RI, pertanyaan awalnya adalah bagaimana RI bisa terbentuk, bagaimana RI bisa muncul dalam sejarah manusia, dan menjadi topik yang urgen bagi kita sebagai bangsa Indonesia. Orang yang lahir setelah terbentuknya RI pasti akan menelisik bagaimana asal-usul RI, dia pasti akan menemukan sebuah tahap kejadian yang makin mendalam, seperti bagaimana bangsa-bangsa di nusantara dapat bersatu dan bagaimana negara dapat terbentuk. Itulah jenjang dari sejarah, di mana di setiap jenjang terdapat objek dan subjek yang bisa jadi sama atau berkaitan, namun tetap mengalami perkembangan.

Dalam sebuah pengantar filsafat sejarah karya W. H. Walsh term ―sejarah‖ sendiri memiliki makna yang ambigu, yakni (a) totalitas dari

(12)

perbuatan manusia di masa lalu, dan (b) sebuah naratif atau penunjukan hal yang sedang kita bangun kini (sekarang juga). Ambiguitas ini penting sebab hal ini membuka dua bidang dari filsafat sejarah, yakni pengamatan atas kejadian historis dan proses berpikir historis—yakni penelitian tentang bagaimana sejarah dapat melaju. Yang terakhir disebut juga sebagai filsafat sejarah spekulatif. Itulah yang dikaji pada kedua tokoh yang berikut ini penulis teliti.1

Kajian ini telah menjadi bahasan pokok seorang filsuf Muslim di Afrika Utara, dialah Ibn Khaldūn, dia adalah seorang filsuf sejarah yang hidup di abad ke-14 M. yang terkenal dengan karya Muqaddimah, pada bahasan dalam karya filsafat sejarahnya ini, ia mencanangkan konsep ‘ashābiyyah, yaitu sebuah ikatan antar sesama manusia dalam menjalin kerja sama untuk mempertahankan hidup, ikatan tersebut dapat bermula dari adanya hubungan darah (ras) ataupun rasa percaya yang memang telah terbangun sebelumnya. Ikatan inilah yang disebutnya menjadi fondasi awal terbentuknya sebuah masyarakat, atau disebut juga dengan masyarakat pemukim.

Berkenaan dengan teorinya, ruang lingkup yang dijadikan dasar adalah lingkungan tempat tinggalnya di Afrika Utara, tempat gurun pasir terbesar melintang di atasnya, yaitu gurun Sahara. Tentu saja masyarakat yang tinggal sudah terbiasa dalam kondisi ekstrem akan panasnya padang pasir. Adalah orang-orang yang gemar berpindah-pindah menyesuaikan alam, atau yang disebut dengan nomaden, yang tinggal di sana. Ibn Khaldūn sendiri tinggal pada masa Islam telah berekspansi ke Maghrib.2 Ras tersebut adalah ras yang telah lama menetap di Maghrib, namun banyak menemui kekuasaan yang terus berpindah tangan. Ras tersebut pernah dikuasai bangsa-bangsa seperti Kartag, Mesir, Romawi, termasuk pula Islam. Dapat dibilang mereka adalah pengikut

1 W. H. Walsh, An Introduction to Philosophy of History. (Bristol: Thoemmes Press,

1992), h. 14.

2 Sebutan bangsa Arab pada zaman klasik untuk wilayah Afrika Utara. Lihat Ramzi

Rouighi, The Making of a Mediterranean Emirate. (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2011), h. 3.

(13)

kekuasaan demi kekuasaan.3 Banyaknya Dinasti yang singgah ke Afrika Utara juga mengubah struktur kehidupan mereka, yang semulanya nomaden menjadi bermukim. Hal ini disebut Ibn Khaldūn berkaitan dengan adanya ‘ashābiyyah. Kemudian dengan adanya ‘ashābiyyah, masyarakat tersebut berubah menjadi masyarakat pemukim, mengapa?, peristiwa ini bermula dengan munculnya kepemimpinan. Kepemimpinan terjadi ketika dalam sebuah kelompok ada seorang manusia yang merasa memiliki kualitas lebih dari sesamanya, kemudian dia maju sebagai pelerai pertikaian dan penjawab masalah. Begitulah kemudian muncul kepemimpinan dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain pemimpin adalah orang yang ahli dalam menyikapi suatu hal. Maka dari itu pemimpin akan membentuk sebuah lingkungan kuasa yang dapat diawasi dengan pengetahuannya yang terbatas, dengan begitulah suatu permukiman terbentuk. Di sinilah inti dari kekuasaan seorang pemimpin yang tidak dapat diperoleh di kehidupan masyarakat nomaden, meski Ibn Khaldūn tidak menyangkal bahwa ada pemimpin yang tidak menggunakan kekuasaannya sedemikian rupa dan masih memegang budaya nomad.4 Lingkungan yang diawasi oleh kepemimpinan tersebut membentuk sebuah permukiman, di mana sentralisasi sumber daya dikumpulkan guna memperkuat pertahanan dan memenuhi kebutuhan permukiman tersebut.

Ikatan permukiman dicontohkan oleh Ibn Khaldūn sebagai buah hasil dari ‘ashābiyyah, meskipun dia tidak menyangkal kemungkinan adanya pembentukan kepemimpinan bukan berasal dari ‘ashābiyyah. Penunjukan terhadap mana yang disebut ‘ashābiyyah diungkapkan olehnya bukan hanya mengarah pada suatu bangsa, namun yang dimaksud olehnya adalah rasa bersatu akan tujuan dan kesenasiban yang dijunjung hingga membentuk kelompok.

Fakta-fakta tersebut terwujud setelah terbangunnya sebuah

3 Arab dari bangsa-bangsa Eropa. Lihat, Bruce Maddy-Weitzman. ―Arabization and Its

Discontents: The Rise of the Amazigh Movement in North Africa.‖ Journal of the Middle East

and Africa, Vol. 3. (2012), h. 112.

4 Seperti yang disebutkan dalam penelitian Ali Çaksu. ―Ibn Khaldun and Philosophy:

(14)

kepemimpinan dan berdirinya sebuah bangsa. Dapat dikatakan berdasarkan teorinya ‘ashābiyyah adalah awal dan gambaran besar dari sebuah persatuan seperti halnya negara, namun juga ‘ashābiyyah dapat menunjuk pada kelompok tersendiri yang berperan independen di dalam ‘ashābiyyah yang lebih besar. Maka itu ‘ashābiyyah dapat menimbulkan pergesekan dengan ‘ashābiyyah lainnya. Seperti halnya revolusi di Iran, persatuan timbul karena bersatunya kelompok militan dan masyarakat dalam mengkudeta kerajaan Sasaniyyah, namun ketika kemajuan dan kemewahan yang didapat kelompok otoritas Iran dari menjual sumber daya minyak, menimbulkan beragam kontra dan kritisisme di masyarakat, saat segenap masyarakat merasakan hal yang senasib, mereka bersatu membalik arah menyerang rezim di sana, dan kembali bereformasi membentuk negara baru. Peristiwa semacam itulah yang menjadi daur sejarah atas buah kerja dari ‘ashābiyyah. Lebih lanjut konflik tidak hanya dapat muncul dari serangan internal, Ibn Khaldūn menyebutkan bahwa korupsi dan hedonisme yang terjadi dalam sebuah negara, dapat menjadi kelengahan dari serangan musuh, yang berarti ‘ashābiyyah besar lain seperti negara dapat menjajah atau mengambil alih negara dengan ‘ashābiyyah yang tengah melemah.5 Inilah yang menjadi filsafat sejarahnya, yang mengulik daur perkembangan peradaban sebuah negara dari jenjang ke jenjang.

Di samping seorang Ibn Khaldūn, ada pula Karl Marx sebagai tokoh modern yang juga membahas filsafat sejarah. Marx sendiri memiliki beragam karya yang mencakup bidang ekonomi maupun sosial, Marx juga turut menggambarkan filsafat sejarah secara mendasar. Dia menyebutkan bahwa penulisan sebuah sejarah mesti dimulai dengan dasar-dasar alamiah dan pemanfaatannya oleh manusia seiring berkembangnya peradaban. Manusia sendiri terpisah dari golongan hewan akan sebab memiliki kesadaran, Marx menyebut manusia berbeda dari hewan semenjak mereka menghasilkan cara pemenuhan kebutuhan dirinya, manusia lahir dengan organ fisik yang mereka

5 Ibn Khaldūn, The Muqaddimah. Disunting oleh N. J. Dawood. Dialihbahasakan oleh

Franz Rosenthal. (Princeton: Princeton University Press, 2015) h. 434-435. Atau lihat juga, Ali Çaksu. ―Ibn Khaldun and Philosophy: Causality in History.‖ Journal of Historical Sociology, h. 40.

(15)

bawa, dan dengan adanya akal atau kesadaran akan organ-organ fisik tersebut, manusia dituntun untuk bekerja menurut kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing organ fisik. 6 Kemampuan organ fisik manusia tersebut kemudian dimaknai oleh manusia sebagai cara dia mengekspresikan hidupnya, di samping dari penggunaannya sebagai cara dirinya untuk menyambung hidup.

Setiap individu manusia pastinya berbeda dalam mengekspresikan hidupnya masing-masing, dikarenakan berbedanya kondisi organ fisik yang mereka bawa. Namun Marx juga menunjuk organ yang lebih ekstensif dalam kehidupan manusia, seperti perkakas, bahan baku dan produk hasil. Semuanya itu menunjuk pada penggunaan materi yang tersedia dalam lingkungan individu manusia, dengan adanya kooperasi antar individu, masyarakat dalam suatu kelompok akan memperoleh kualitas yang lebih baik dalam produk yang dihasilkan. Seperti misal dalam suatu kelompok terdapat seorang pemburu, ketika dia berburu dia akan mengonsumsi hasil buruannya dengan dibakar ala kadarnya, namun beda halnya jika dia telah memiliki istri yang pandai memasak, dia akan membawa hasil buruannya untuk diolah oleh istrinya untuk disantap bersama-sama. Dari hal tersebut terjadilah kerja sama dan terbentuklah divisi kerja, dan atas pengaruh dari bertumbuhnya populasi, variasi pekerjaan menjadi kian beragam. Inilah awal kemunculan dari struktur sosial, secara alamiah keluarga merupakan struktur sosial terkecil dalam kelompok manusia, di masa lampau keluarga adalah tingkatan yang berada di bawah suku bangsa, struktur sosial akan berlanjut pada tataran kota dan juga negara.7

Perkembangan yang Marx usung mengacu pada teori dialektika materialisme, yaitu sebuah perkembangan bentuk pemanfaatan materi oleh manusia yang terus ―disempurnakan‖—dalam artian mengalami perubahan berdasarkan idealnya manusia. Seperti di zaman purba, berawal dari pemanfaatan organ fisik dirinya yang kemudian menggunakan perkakas lain

6 Karl Marx. Karl Marx: Selected Writings. Disunting oleh David McLellan. (New York:

Oxford University Press Inc.), 2000, h. 177.

(16)

yang lebih sempurna untuk bekerja, ataupun perkembangan struktur sosial dari nomaden ke bentuk pemukim seperti yang disebutkan oleh Ibn Khaldūn. Lebih jauh Marx tidak hanya menganggap perubahan benda ke benda lain yang lebih sempurna saja, namun juga produksi-produksi gagasan, konsep, dan kesadaran mesti diawali oleh interaksi manusia terhadap objek materi.8 Persepsi dan cara berpikir seorang individu manusia muncul sebagai konsekuensi dari perilaku mereka dalam mengelola materi yang ada di sisinya, dalam konsekuensinya materi tersebut berkembang menjadi sebuah tahap kemajuan dalam sejarah, yang hadir dalam bentuk struktur sosial. Dengan kata lain perkembangan sejarah beresensi pada kemajuan pengelolaan materi yang terus-menerus berubah.

Terkait dengan bahasan-bahasan di atas, penulis mencermati bahwa komparasi keduanya dapat menghasilkan kombinasi penjabaran komprehensif tentang esensi sejarah. Sebab kajian tentang Ibn Khaldūn dan Karl Marx memiliki satu arahan yakni mengkaji perubahan sejarah. Perubahan sejarah mereka menampilkan cirinya masing-masing.

Sebagaimana data lain menunjukkan bahwa pada pemikiran Ibn Khaldūn, terjun ke dalam pembahasan sejarah dikarenakan kehidupannya di Afrika Utara selalu menemui bangsa al-Barbar, yakni bangsa yang telah lama menetap di Afrika Utara. Ia begitu tertarik dalam mengkajinya, sebab mereka dari dulu sampai saat itu masih memegang identitas bangsanya. Dalam bahasannya, pemetaan atas peradaban yang berangsur-angsur silih berganti terfokuskan pada bangsa tersebut, yang tetap stabil hadir di setiap masa negara-negara yang bermunculan. Metodenya tidak hanya berpaku terhadap catatan-catatan yang ada, namun juga mempelajari bangsa tersebut berdasarkan pengalamannya dalam mencermati perilaku mereka (empiris). Sebab ia sendiri belajar dari gurunya Al-Ābilī, bahwa pendidikan praktik lebih unggul dari pendidikan teoritis.

(17)

Di samping itu Karl Marx juga memiliki passion dalam mengkaji sejarah ketika ia sempat tertarik untuk memahami kajian Hegel pada tahun pertama kuliahnya. Sempat gagal dalam memahaminya, ia lalu membaca setumpuk literatur dengan berbagai referensi, termasuk kajian sejarah dan revolusi makhluk hidup. Sebenarnya bukan hanya gagal dalam memahami Hegel yang membuatnya seperti itu, namun juga gagal memahami filsafat yang dasar. Ia bahkan sempat mengubur rangkumannya mengenai Hegel dengan pasir di dalam laci karena tidak puas dengan hasilnya. Berbeda dengan Ibn Khaldūn yang dominan belajar secara otodidak, Marx di masanya telah tersedia seminar-seminar formal di kampusnya. Kehidupan kampus yang didominasi oleh diskusi dan bedah literatur inilah yang membangun pemikirannya. Bahkan ia lulus dengan tesis tentang filsafat, agak bersimpangan dengan kampusnya yang merupakan fakultas hukum.

Dengan penelitian ini dapat dikemukakan manfaat dalam memahami yang urgen, yakni perkembangan sejarah. Setelah diteliti komparasi deskripsi antara kedua tokoh. Kita akan dapat menelaah bahwa sejarah memiliki proses yang tidak rumit, namun digerakkan oleh ambisi manusia yang beragam. Dan juga dapat mengapresiasi apapun sejarah baik yang ‗kelam‘ ataupun yang memberi kemajuan. Sebab tanpa adanya peristiwa di masa lalu kita tidak dapat memperbaiki sejarah tersebut di masa kini.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Fokus masalah pada penelitian ini adalah: mencari titik temu teori perkembangan sejarah dari kedua tokoh tersebut, yakni Ibn Khaldūn dan Karl Marx.

Dengan batasan masalah tersebut penulis mengambil rumusan masalah berikut:

1. Bagaimanakah komparasi dari teori perkembangan sejarah antara Ibn Khaldūn dan Karl Marx?

(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa teori sejarah dari kedua tokoh tersebut. 2. Untuk mengetahui bagaimana komparasi kedua tokoh mengenai

perubahan sejarah.

2. Manfaat

Manfaat yang diperoleh adalah kita dapat merefleksikan sejarah yang terbangun di masa lampau. Urgensinya memunculkan perkembangan dan kemajuan di masa depan. Masa lampau juga menjadi bahan telaah yang memengaruhi perilaku kita di masa kini. Penelitian ini membedah apa yang menyebabkan perkembangan tersebut muncul dari sisi metodis atas sejarah (metode historis). Sehingga diperoleh pengetahuan mengenai bagaimana perubahan sejarah, atau yang hakikatnya adalah perkembangan manusia dari masa ke masa dapat terjadi secara kronologis.

D. Tinjauan Pustaka

Kajian yang penulis teliti bersumber dari data-data yang bertemakan sejarah menurut Karl Marx dan Ibn Khaldūn, keduanya memang telah masyhur untuk diteliti, baik sebagai kajian dari perkembangan sejarah maupun perkembangan ekonomi. Seperti halnya berikut ini merupakan karya ilmiah yang bertemakan serupa dengan penelitian penulis, yaitu diantaranya:

Pertama, penelitian skripsi yang ditulis oleh Atnawi, yang berjudul Dialektika Perkembangan Masyarakat Primitif menuju Masyarakat Kota Menurut Ibn Khaldun. Pada penelitian ini pembahasan berintisari pada kajian

Ibn Khaldūn mengenai perubahan hidup manusia nomaden menjadi pemukim, dan konsekuensi yang berlanjut atau dialektika atas masyarakat tersebut.

Kedua, penelitian berbentuk tesis yang ditulis oleh Derek Sayer dengan

judul Some Issues of Historical Materialism. Penelitiannya berupaya untuk membuat sebuah pendekatan analitis dalam merekonstruksi metodologi

(19)

materialisme historis berdasarkan analisis apa yang dipraktikkan oleh Karl Marx.

Ketiga, skripsi dari Dedy Ibmar yang berjudul Metafisika Islam: Studi Komparasi Pemikiran Al-Razi dan Al-Farabi. Penulis turut menyertakan studi

ini dengan maksud untuk mengadaptasi format komparasi pada studi ini.

Secara distingtif penelitian ini merujuk pada kombinasi tokoh yang tidak dikaji oleh penelitian lain. Ciri khas yang penulis harapkan adalah penemuan filosofis antara kedua tokoh yang memiliki beberapa unsur identik. Studi-studi mendalam tentang Ibn Khaldūn ataupun Marx ini pun turut menyediakan kesimpulan-kesimpulan yang disederhanakan, sehingga memudahkan penulis untuk mengolah data dari rujukan utama.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian diperlukan sebagai cara untuk penataan dan pengelolaan data suatu penelitian. Berikut ini adalah langkah metode yang penulis lakukan sebagai prosedur dalam mengerjakan penelitian ini:

1. Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dengan studi kepustakaan (library research). Dalam pengambilan data studi kepustakaan penulis mengambil rujukan-rujukan yang berbentuk karya ilmiah akademik (skripsi, tesis, dan disertasi) ataupun karya publikasi (buku, koran, majalah). Adapun pengumpulan data kepustakaan terbagi antara data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang dominan dirujuk oleh penulis sebagai sumber utama. Adapun data primer yang digunakan yaitu: buku karya Ibn Khaldūn yang diterjemahkan oleh Masturi Irham dkk. ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul Mukaddimah dan buku yang sama dalam bahasa Inggris terjemahan Franz Rosenthal dengan judul

(20)

The Muqaddimah, Kemudian karya-karya pilihan Karl Marx yang

tersaji sebagai satu buku dengan judul Karl Marx: Selected Writings, yang diterjemahkan dan disunting oleh David McLellan dalam bahasa Inggris.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang berguna untuk mendukung analisa penulis terhadap data primer. Data sekunder dapat berupa jurnal dan buku, data yang digunakan oleh penulis diantaranya: Biografi Ibn Khaldūn dalam bahasa Inggris berjudul Ibn Khaldūn: His

Life and Work karya Muhammad Abdullah Enan, biografi Karl Marx

karya David McLellan yang berjudul Karl Marx: His Life and Thought, Jurnal karya Ali Çaksu yang berjudul Ibn Khaldun and Philosophy:

Causality in History, buku karya Syed Farid Alatas berjudul Ibn Khaldun, buku karya Muhammad Fakih berjudul Biografi Lengkap Karl Marx, dan buku karya David McLellan berjudul Karl Marx: His Life and Thought.

2. Analisis Data

Dalam menganalisis data metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan deskriptif dan komparatif. Metode deskriptif diartikan sebagai pemaparan data-data terkait pembahasan kedua tokoh mengenai sejarah. Terakhir adalah metode komparatif, yang penulis lakukan adalah membandingkan kedua teori tokoh. Kemudian membuat ringkasan poin-poinnya yang disederhanakan.

3. Teknik penulisan

Adapun teknik penulisan penelitian ini merujuk pada Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan tahun 2017 berdasarkan SK

(21)

pada penelitian ini mengacu pada sistem transliterasi Jurnal Ilmu

Ushuluddin yang diterbitkan oleh HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-ilmu

Ushuluddin) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini tersusun dari lima bab. Bab satu berjudul pendahuluan, bab ini berisi tentang latar belakang penelitian, yang berisi argumen-argumen teoritis dari topik filsafat sejarah dari Ibn Khaldūn dan Karl Marx. Disertai pula dengan rangka permasalahan kajian dan tujuan serta manfaat penelitian.

Bab dua disusun dengan biografi Ibn Khaldūn, karya-karya beserta latar belakang pemikirannya.

Bab tiga disusun dengan biografi Karl Marx, karya-karya beserta latar belakang pemikirannya.

Bab empat berisikan analisis komparatif terhadap kedua konsep sejarah yang diangkat, dengan ringkasan poin-poin pembanding yang diringkas.

Bab lima yaitu penutup, berisi kesimpulan mengenai penelitian ini, serta saran-saran demi pengembangan penelitian..

(22)

12

BAB II

BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

IBN KHALDŪN

A. Biografi

Ibn Khaldūn besar dari keluarga keturunan Hadramaut, Yaman yang kemudian hijrah ke Andalusia (Spanyol), keluarganya adalah orang-orang ‗alim, seperti kakek dan ayahnya. Dari leluhurnya dia mendapat nama Khaldūn, yang berasal dari garis keturunan kakeknya dari buyutnya yang bernama Khalid bin Utsman, dengan kata Khalid mengalami tashrīf menjadi Khaldūn. Pada generasi sebelum kelahirannya, dikarenakan kaum Muslim Andalusia mengalami desakan oleh misi penaklukkan kaum Kristen, akhirnya mereka terusir dari Andalusia, dan kemudian menyeberang ke Afrika Utara dan menetap di daerah Tunis.

Ibn Khaldūn dalam otobiografinya menyebutkan nama dan nasabnya, yaitu ‗Abd al-Raḥmān bin Muḥammad bin Muḥammad bin al-Ḥassan bin Jabīr bin Muḥammad bin Ibrāhīm bin ‗Abd al-Raḥmān bin Khaldūn.1 lahir di Tunis 1 Ramadhan 732 H. / 27 Mei 1332 M. pada masa Daulah Ḥafsiyyah. Dia lahir dari keluarga yang melek akan pentingnya keilmuan. Ayahnya, Muḥammad Abū Bakr, hadir sebagai guru pertamanya, sehingga sejak belia dia telah mengetahui tajwid al-Qur‘ān dan mampu untuk menghafalkannya. Dalam beberapa bidang keilmuan guru-guru Ibn Khaldūn terbagi sebagai berikut: dalam bidang bahasa dia berguru pada Muḥammad Ibn al-‗Arabī, Abū al-‗Abbās Aḥmad Ibn al-Qasshār dan Abū ‗Abd Allāh Ibn Baḥr; dalam bidang Ḥadīts dia berguru pada Abū ‗Abd Allāh Muḥammad bin Jābir al-Qaysī al-Wādīyāsyī hingga kemudian dia mendapat

ijāzah2; di bidang Fiqh ia berguru pada Abū ‗Abd Allāh Muḥammad al-Jiyānī dan Abū Qahīrī. Di samping itu dia juga menuntut pendidikan keilmuan rasional, seperti logika, matematika, filsafat alam, metafisika, politik, etika dan juga

1 Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun. (New Delhi: Oxford University Press, 2015), h. 1. 2 Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun, h. 3.

(23)

retorika. Pendidikan filosofis tersebut dominan dia dapatkan dari gurunya yang paling dia kagumi, yakni Muḥammad Ibn Ibrāhīm al-Ābilī.3

Dalam pembukaan karya termasyhurnya Muqaddimah, Ibn Khaldūn memulai dengan penjelasan bahwa sejarah adalah ilmu yang memiliki beragam pendekatan. Sejarah memperkenalkan kita terhadap kondisi dari daulah-daulah di masa lalu. Juga memperkenalkan kita dengan biografi para pemimpin di masa lalu beserta kebijakan-kebijakannya. Penulisan sejarah memerlukan referensi yang mumpuni beserta keahlian dalam beragam ilmu. Sejarawan juga mesti memiliki pemikiran spekulatif yang baik agar dapat menjaganya dari luput dan kesalahan. Jika tidak dia tidak akan mampu menjelaskan materi di masa lalu dengan membandingkannya kepada materi kekinian (kontemporer) atau yang dekat dengannya.4

Dalam pendapatnya atas daulah-daulah tersebut, ia menyebut bahwa pemerintahan dan daulah-daulah (dinasti) hadir sebagai pasar dunia, mempromosikan produk-produk pendidikan dan keahlian. Pasar ini menyajikan pusaka dan informasi dari peristiwa historis. Menurutnya daulah yang berdiri dengan keadilan, hukum, dan terjaga di atas jalan yang lurus, pasar mereka bernilai seperti perak atau emas murni. Namun, ketika sebuah daulah dipengaruhi oleh motif pribadi, pertikaian, pengkhianatan dan tirani, nilai dari pasar mereka hanya seperti logam kasar.5

Ibn Khaldūn juga menyebut bahwa realitas sejarah yang ada berinti pada pergantian kekuasaan. Ia berkata: hari-hari kekuasaan bangsa Arab telah berakhir. Kekuasaan diambil alih oleh bangsa non-Arab, semisal Turki di timur, al-Barbar di barat, dan Kristen Eropa di utara. Perubahan lalu terjadi dari mulai institusi hingga adat, mengisyaratkan bahwa adat tiap ras bergantung pada adat dari pemimpinnya. Sebagaimana Ibn Khaldūn menyebut ada pepatah: ―rakyat biasa mengikuti agama dari penguasa.‖ Pada faktanya ketika seorang pemimpin berhasil

3 M. Zaki Kirmani dan N. K. Singh. Encyclopaedia of Islamic Science and Scientists. Vol.

II. (New Delhi: Global Vision Publishing House, 2005), h. 387.

4 Ibn Khaldūn, The Muqaddimah, h. 58.

5 Dia mengatakannya ibarat kata penilaian produk atau rating. Lihat, Ibn Khaldūn, The

(24)

mengambil kekuasaan suatu negara, mau-tidak mau adat dari para pendahulunya mesti menyesuaikan penguasa baru tersebut.6

Secara jelas Ibn Khaldūn memang menggali kajian sejarah ketika ia banyak memenuhi rasa ingin tahunya terhadap ragam ilmu. Namun khususnya pada kajian sejarah, ia banyak menemukan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti riwayat peperangan di Israel yang disebut sejarah menyertakan 600,000 orang pasukan dari salah satu pihak, sementara wilayah kronologinya tidak dapat terbayangkan pasukan sebanyak itu. Termasuk juga ia mengkritisi penafsiran sejarah yang ada di dalam al-Qur‘ān, saat itu para penafsir sering menukil Surat al-Fajr ayat 6-7. Yang intinya ditafsirkan bahwa bangsa ‗Ad adalah penduduk Iram, yang disebutnya keliru jika diartikan sebuah kota, namun lebih diartikannya sebagai pilar atau orang-orang pilar.7 Terlebih ia juga menyebutkan beberapa lagi kesalahan dalam penuturan sejarah di dalam pembukaan Muqaddimah-nya.

Pada faktanya Ibn Khaldūn adalah keturunan dari leluhur yang akrab dengan pengelolaan pemerintahan, atau yang berprofesi sebagai pejabat dalam pemerintah. Ini yang menyebabkannya mudah untuk bepergian antar-wilayah. Namun yang lebih penting, inilah jalan di mana ia dapat memperoleh informasi mengenai masyarakat dan kulturnya.

Di masanya sendiri lingkungan Ibn Khaldūn di Afrika Utara terdominasi oleh dua ras, yakni ras Al-Barbar (badui) dan ras Arab. Terdapat sebuah sentimen di masa lampau, di mana antagonisme ras Arab dan ras Al-Barbar8 menyebabkan begitu banyaknya konflik di Afrika Utara dan Andalusia. Ras Arab dan ras Al-Barbar adalah sekutu dalam penaklukkan Andalusia, namun kemudian muncul

6

Ibn Khaldūn, The Muqaddimah, h. 77-78.

7 Ibn Khaldun, Mukaddimah. Cet. I. Disunting oleh M. Nurkholis Ridwan.

Dialihbahasakan oleh Masturi Irham, Malik Supar, & Abidun Zuhri. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), h. 18-20, h. 24.

8

Saya ungkapkan dengan kata ‗Al-Barbar‘ mengacu kepada judul buku yang ditulis Ibn Khaldūn, Kitab al-Ibar wa Dīwān al-Mubtadā’ wa al-Khabar fī Ayyām al-‘Arab wa al-‘Ajam wa

al-Barbar. Lihat, Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun, h. 149. Meski demikian bahasa asli mereka

biasa menyebut diri mereka dengan ‗Amazigh‘ yang berarti ‗orang yang bebas‘, di abad ke-21 sebutan Barbar diprotes oleh mereka, karena term ini merujuk kepada istilah populer ‗kaum barbar‘ yang diserap oleh orang-orang Arab dari bangsa-bangsa Eropa. Lihat, Bruce Maddy-Weitzman. ―Arabization and Its Discontents: The Rise of the Amazigh Movement in North Africa.‖ Journal

(25)

sentimen dalam masyarakat Al-Barbar, ketika hanya ras Arab saja yang menguasai pengelolaan kekuasaan. Ibn Khaldūn juga menampilkan sikap yang sama dalam Muqaddimah miliknya, dia tunjukkan sisi antagonismenya kepada ras Arab, namun begitu memuji ras Al-Barbar dengan karakter dan kualitasnya.9 Seperti halnya catatan dalam bukunya tersebut yang didominasi oleh bab-bab mengenai bangsa-bangsa tersebut dalam berperilaku. Berkenaan dengan karyanya tersebut ringkasannya akan disampaikan pada subbab berikutnya.

B. Karya-karya

Memang dapat diketahui bahwa Ibn Khaldūn sendiri tidak terlalu banyak mempublikasikan karya-karyanya. Terlepas dari banyaknya pengalaman yang ia dapat, ia lebih memilih untuk menuangkan semuanya dalam beberapa karyanya. Ia mampu mengelola tulisannya karena pendidikannya tentang penulisan telah mumpuni di usianya yang telah kepala empat. Semenjak dipekerjakan oleh Ibn Tafrākīn, Ibn Khaldūn mulai belajar untuk memperindah tulisannya, sampai ketika Al-Ābilī datang dari Barat, Ibn Khaldūn mulai berhasrat untuk mencari ilmu, bahkan ketika dalam waktu senggang, dia masih sempatnya untuk membaca dan belajar, seperti ketika di Biskra maupun di Fez.

Semenjak mendapat tempat di pemerintahan. Ibn Khaldūn mulai menggali ilmu dengan akses literatur yang luas. Di sini ia mulai mengembangkan pemikiran yang akan ditujukan pada karya-karyanya. Seperti Muqaddimah, otobiografinya dan juga Kitāb al-Ibar. Di antara karya-karyanya tersebut, Muqaddimah, adalah karyanya yang paling condong dalam penjabaran pemikiran filsafatnya. Ia memulai penulisannya pada 1374 M., ketika Ibn Khaldūn dengan keluarganya tinggal di benteng Qal‗at Ibn Salāmah di wilayah Banū ‗Ārif,.10

Dengan kesuksesan atas banyaknya pengalaman yang telah ia alami, Ibn Khaldūn diriwayatkan pernah berpendapat tentang karyanya ini:

―Aku mencapai Muqaddimah ini dengan cara yang luar biasa, menginspirasiku saat di pengasingan, gagasan-gagasan dan

9 Muhammad Abdullah Enan, Ibn Khaldun: His Life and His Works, h. 5. 10 Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun, h. 9.

(26)

ungkapan-ungkapan mengalir dalam benakku sampai kemudian matang dan berwujud sistematis.‖11

Ibn Khaldūn menghabiskan empat tahun untuk menulisnya,12

bahkan ia tidak merasa cukup ketika ia hanya berhasil meriwayatkan daulah-daulah sepengetahuannya, seperti dalam kutipan berikut:

―Dalam bukuku aku memberi, sejauh yang memungkinkan, sejarah Maghrib dari sudut pandang khusus ataupun umum, bermaksud untuk menyuarakan karya ini hingga generasi ke generasi, negara-negara dan kerajaan-kerajaan Maghrib, dengan mengesampingkan sejarah-sejarah lain dikarenakan keterbatasan pengetahuanku atas Timur dan negara-negaranya, dan juga karena sejarah yang ini tidak cukup komprehensif dalam metode yang dihendaki.‖13

Secara ringkas bukunya memuat mengenai kultur dari ras Al-Barbar dan Arab, beserta dengan struktur organisasi pemerintahannya. Lebih detilnya, pendekatan yang dirujuk olehnya adalah masyarakat. Seperti halnya simpulan-simpulan mengenai politik, ekonomi, geografi, mestilah disusul dengan cerminan terhadap masyarakat, akan sebab lingkungan tersebut turut membentuk fisik dan mental mereka. Karya ini adalah karya yang penulis gunakan sebagai rujukan bagi relevansi otentik terhadap tulisan Ibn Khaldūn, agar dapat serupa dengan data yang nanti akan penulis kemukakan selanjutnya.

C. Latar Belakang Pemikiran Filsafat Sejarah Ibn Khaldūn

Sepanjang hidupnya Ibn Khaldūn terus-menerus membaca perkembangan yang telah terjadi dari masa ke masa, hasilnya ia mulai mengenali daerah Afrika Utara dengan fokus suku Al-Barbar. Mereka adalah penduduk asli Afrika Utara yang keturunannya telah meluas hingga seluruh Mediterania, dan telah ada dari zaman nomaden.14

Zaman nomaden, dapat dibilang sebagai zaman yang tidak mengalami perkembangan, sebab manusia masih dikuasai oleh alam, sebagai lingkungan

11 Muhammad Abdullah Enan, Ibn Khaldun: His Life and His Works, h. 59. 12

Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun, h. 9.

13 Muhammad Abdullah Enan, Ibn Khaldun: His Life and His Works, h. 59.

14 Bruce Maddy-Weitzman. ―Arabization and Its Discontents: The Rise of the Amazigh

(27)

yang kejam dan liar. Sebab pada faktanya, manusia masih hidup tergantung pada sumber makanan yang tersedia dan lingkungan yang cocok baginya. Contohnya ketika sumber makanan itu diburu dan dikumpulkan, maka manusia mesti berpindah tempat ke lingkungan yang masih memiliki sumber kebutuhannya.

Atas dasar hal tersebut dasar pemikirannya mulai terbangun dengan struktur berikut: Ibn Khaldūn membahas bahwa zaman nomaden berakhir setelah manusia menciptakan permukiman, yang kemudian menjadi negara. Terbangun karena adanya persatuan antar-suku yang dilatarbelakangi oleh ‘ashābiyyah, menurutnya ‘ashābiyyah ini berarti hubungan darah atau kekerabatan, yang akan berguna ketika kita dapat menjalin kerjasama terhadap orang yang memiliki relasi dengan kita. Namun ‘ashābiyyah ini juga dapat berarti vitalitas suatu negara,15 yang artinya dapat mengukur kokohnya suatu negara dari kekerabatannya. Terbukti Ibn Khaldūn bersikap idealis dalam hal ini. Walaupun begitu menurut Ibn Khaldūn suatu negara akan berakhir pada empat generasi. Empat generasi tersebut terdiri dari:

1. Sang Pendiri, adalah generasi orang-orang yang masih memiliki rasa persatuan, di mana kekerabatan yang paling dasar telah terbentuk. Mereka terdidik oleh alam sehingga paham dengan situasi yang mesti mereka tempuh secara praktik.

2. Anaknya, adalah yang diajarkan olehnya, terbilang inferior16 dari bapaknya. Meskipun dia diajarkan langsung oleh bapaknya namun keahlian yang didapati lewat studi teori akan berbeda dengan keahlian diketahui lewat praktiknya langsung.17

3. Generasi selanjutnya akan terbiasa dalam meniru generasi sebelumnya, dan ia bersandar dari tradisi yang telah ada.

15 Muhammad Abdullah Enan, Ibn Khaldun: His Life and His Works, h. 127.

16 Bermutu rendah. Lihat, Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa

Indonesia. (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 553.

17 Catatan dalam Muqaddimah ini adalah bukti pengaruh Al-Ābilī terhadap Ibn Khaldūn.

Yaitu, praktik pedagogi berdasarkan studi teori adalah inferior terhadap pedagogi berdasar pada studi lapangan atau praktik. Lihat, Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun, h. 3-4.

(28)

4. Generasi terakhir inferior dari generasi-generasi sebelumnya, ia tidak lagi memahami bangunan dari kejayaan bangsanya. Ia membayangkan bahwa bangunan tersebut tidak diraih berdasarkan usaha dan pengaplikasian, melainkan dikarenakan nasab keturunannya. Ia berpikir bahwa kejayaan pada masanya adalah sesuatu hal semacam kewibawaan yang dimiliki oleh orang-orang sebelumnya dan didapatnya berdasarkan keturunan. Ia tidak mengerti bagaimana kehormatan padanya berasal selain dari karena nasabnya yang tinggi. Ia juga menjauh dari ikatan yang tidak satu pandangan dengannya, sebab ia merasa lebih baik dari mereka. Ia menganggap rakyatnya taat padanya sebagai hal yang semestinya.18

Ia memahaminya karena ia juga yakin dengan keunggulan praktik dibanding teori.19 Namun lebih dalam lagi kita mempertanyakan bagaimana semua ini ada hubungannya dengan sejarah? Maka dari itu mesti kita pahami bahwa Ibn Khaldūn juga telah mempelajari filsafat Yunani, meski tidak disebutkan olehnya namun ia tersirat mengerti tentang gagasan materi dan forma. Yang dimaksud forma olehnya adalah sejarah dan sebagai isi atau materinya adalah negara. Sebab negara adalah penyalur kekuatan atas perkembangan, namun perlu diketahui bahwa fokus Ibn Khaldūn bukanlah pada perkembangan yang struktural dinamik. Dalam artian sejarah yang dikajinya tidak berfokus kepada struktur masyarakat, meskipun masih berkenaan dengan masyarakat, sejarah yang dikajinya adalah sebuah pengulangan atau perputaran, seperti naik turunnya tahta kerajaan, atau revolusi yang terjadi karena munculnya kekuatan rakyat. Terlebih sejarah ini bergantung pada kepemimpinan atau pemerintahan sebuah negara, ke mana mereka akan membawanya. Karena ambisi berasal dari para penguasa dan kekuatan untuk memenuhinya berasal dari rakyatnya.

Dengan pendapatnya tersebut sejarah bukan sekedar perputaran waktu saja, sejarah adalah milik manusia, dan terjadi karena aktivitas manusia di dalamnya. Meskipun penulis telah menyebut bahwa Ibn Khaldūn berfokus pada sejarah yang

18 Ibn Khaldūn, The Muqaddimah, h. 183. 19 Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun, h. 3-4.

(29)

berputar, namun bukan berarti dia tidak mengkaji sejarah yang berkembang pada tahap struktural. Sebab dari zaman nomaden sampai zaman feodal pastilah mengalami perubahan struktur. Seperti ketika manusia menemukan agrikultur, dan memunculkan permukiman. Kemudian bertumbuhnya populasi menyebabkan beragamnya permintaan. Maka muncullah penjalinan relasi dan peperangan.

Dalam perannya akan sejarah ‘ashābiyyah juga menjadi faktor utama.20 Bermula dari pembentukan permukiman yang terdiri dari satu keluarga. Kemudian di saat populasi bertambah dan mulai terjadinya perpindahan manusia dari satu negara ke negara lain, para pendatang yang lalu bermukim di suatu tempat pasti akan diminta kontribusinya, baik dalam bentuk pajak ataupun bekerja terhadap pemerintah. Untuk melengkapi data-datanya mari kita lihat kembali ringkas peristiwa yang terjadi pada Ibn Khaldūn:

1. Di Tunis tempat kelahirannya, ia sempat bekerja sebagai sekretaris di daulah Hafsiyyah. Bosnya, Ibn Tafrakīn, pejabat menteri di sana, berniat untuk memerangi Penguasa Qasantina yang ingin merebut pemerintahannya. Maka ia memerintahkan pasukan, yang terdiri dari bangsa Arab dan Badui (al-Barbar), untuk menyerang mereka. Terlebih kontribusi mereka untuk dapat tinggal di Tunis adalah ikut serta dalam perang.21

2. Di Bijāyah, ketika penguasanya kehilangan tahta secara paksa, penguasa yang menang menggantikan kepemimpinannya di sana. Dalam kepemimpinannya ia menerapkan kebijakan penghentian pungutan pajak oleh pasukan bayaran yang tinggal di sana—pasukan itu dominan adalah ras al-Barbar.22 Hal ini turut menuai pertentangan hingga pemimpin baru itu berhasil dilengserkan oleh mereka. Di sini terlihat bahwa ‘ashābiyyah mendapat peran dalam keteguhan persatuan pemikiran.

20 Pada satu studi disebutkan bahwa, ‘ashābiyyah mendorong terbentuknya suatu negara

atau dinasti. Lihat, Syafrizal. Konsep 'Ashabiyah Ibn Khaldun dalam Penguatan Nilai

Nasionalisme di Indonesia. Skripsi, (Medan: UIN Sumatera Utara, 2017), h. 56.

21 Muhammad Abdullah Enan, Ibn Khaldun: His Life and His Works, h. 18. 22 Ramzi Rouighi, The Making of a Mediterranean Emirate, h. 47

(30)

Yang dapat kita cermati adalah sejarah suatu negara dibangun atas dasar kontribusi kolektif kekuatan setiap individu yang diubah kepada suatu perubahan. 23 Dalam artian secara bertahap, ‘ashābiyyah menjadi faktor pembangun dari sebuah negara,24 dan sebuah negara menjadi pelaku utama dalam perputaran sejarah. Sebuah sejarah akan terulang kembali setelah keruntuhan suatu negara dan digantikan dengan negara yang baru. Teori yang berinti pada perputaran (daur) sejarah inilah yang menjadi esensi dari pembahasan Ibn Khaldūn mengenai sejarah. Pengusungan analisis semacam ini tentunya tidak terlepas dari latar belakang seorang Ibn Khaldūn, yang hidup pada Abad Pertengahan.25

23 Adi Susilo Jahja, ―Mengenali Kontribusi Ibnu Khaldun terhadap Pemikiran Ekonomi.‖

Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Syariah Amwaluna Vol. 1, No. 1, 2009, h. 7-8.

24 Metin Yücekaya, Ibn Khaldun's Conception of Dynastic Cycles and Contemporary

Theories of International System Change: A Comparative Assessment. Tesis, (Ankara: Middle

East Technical University, 2014), h. 68.

25 Ernest Gellner, ―From Ibn Khaldun to Karl Marx.‖ The Political Quarterly Vol. 32, No.

(31)

21

BAB III

BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

KARL MARX

A. Biografi

Karl Marx dikenal sebagai seorang tokoh yang mengemukakan teori-teori kontroversial. Gagasannya yang menjadi perbincangan tidak terlepas dari masa-masa kecilnya yang terbilang rumit. Sebab ia sendiri lahir sebagai keturunan Yahudi, yang pada masanya belum memperoleh emansipasi di Eropa. Ia lahir pada 5 Mei 1818 di Trier, Monarki Prussia dari pasangan Heinrich Marx1 dan Henrietta Pressburg. Kedua orangtuanya adalah seorang Yahudi yang lahir di Eropa. Ayahnya terbilang berasal dari keluarga kurang mampu, namun ia adalah seseorang yang berjuang keras untuk bekerja sebagai seorang pengacara. Malang pada masa itu, Monarki Prussia terbilang mendiskriminasi kaum Yahudi, kebijakan yang mendiskriminasi Yahudi memang lazim dengan negara-negara Eropa Tengah saat itu. Saat itu ia berusaha untuk memenangkan emansipasi untuk kaum Yahudi di Prussia dengan memanfaatkan profesinya. Problem yang ia hadapi adalah tidak seimbangnya pendapatan dan perlakuan terhadap pekerjaan penganut Yahudi dengan penganut Kristen. Namun apa daya, ketika ia harus menerima kegagalan setelah dicegat oleh Kementerian Keadilan Prussia. Pada akhirnya demi melanjutkan profesinya sebagai pengacara ia terpaksa berpindah ke agama Kristen,2 inilah sebab ia mendapat nama Heinrich, yakni nama Jerman jika dikonversi dari nama Yahudi, Heschel.3

1

Nama Marx adalah nama Jerman konversi dari nama Yahudi, Mordechai. Lihat, David McLellan, Karl Marx: His Life and Thought. (London: The Macmillan Press Ltd, 1973), h. 3.

2 Dalam karya McLellan ia disebut berpindah ke agama Kristen Protestan, namun dalam

karya Muhammad Ali Fakih, disebutkan ia pindah ke agama Kristen Lutheran, hal ini selaras dengan kisah penolakkan orangtua tunangan Karl Marx yang sempat merasa tidak cocok dengan agama Marx yang Lutheran, sedangkan mereka penganut Protestan. Lihat, Muhammad Ali Fakih,

Biografi Lengkap Karl Marx. (Yogyakarta: Labirin, 2017), h. 11, h. 13.

(32)

Berbeda dari bapaknya, ibunya, Henrietta Pressburg masih tetap memeluk Yahudi, ia adalah putri dari seorang Rabbi Belanda, Isaac Pressburg, leluhurnya diketahui bernasab dari Yahudi Hongaria. Pada faktanya keluarga Marx adalah keturunan Rabbi,4 dan hampir semua Rabbi di Trier adalah dari nasab Marx. Trier sendiri adalah kota peninggalan Kerajaan Romawi, namun sempat jatuh dalam jajahan Perancis. Inilah awal mula kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasi kaum Yahudi mulai diterapkan.

Ayah Marx adalah satu dari sekian banyak kaum Yahudi yang berupaya untuk mendapat tempat dalam masyarakat sipil. Istilah ini disebut dengan

Verbürgerlichung, yang berarti pencapaian kedudukan dalam masyarakat untuk

bergaya hidup sebagaimana borjuis pada tingkat sosial dan kultural.5 Istilah tersebut berasal dari kata Bürger yang berarti borjuis, namun bisa pula berarti penduduk kota. Pada faktanya borjuis pada masa kini berbeda dengan borjuis pada masa Marx, mereka lebih tertarik dengan kemajuan sosial dengan berperan sebagai motor pada industrialisasi Jerman. Mereka memiliki beragam profesi, seperti pemilik perusahaan, enterpreneur, pebisnis, manajer, tuan sewa, termasuk, pengacara, hakim, pegawai sipil berpendidikan, menteri, insinyur, dan ilmuan. Semua tercangkup sebagai orang yang punya gelar atau orang pemilik properti, mereka terbilang sebagai sebagian kecil masyarakat yang menempati lima sampai delapan persen populasi dunia pada abad ke-19.6

Borjuis pada masa itu dapat dikatakan berbeda dari masa sekarang karena beberapa hal: borjuis pada masa abad ke-19 menunjukkan pencapaian luar biasa pada bidang ekonomi dan edukasi, seperti dalam sains dan seni, tata kota, kesehatan publik, dan kesejahteraan sosial, semua itu adalah capaian dari para

4

Seseorang yang dididik untuk menetapkan hukum dalam Yudaisme. Lihat, Merriam-Webster. Merriam-Webster's Advanced Learner's English Dictionary, h. 1328.

5 Marx sendiri juga mencatatkan sejumlah besar topik-topik mengenai Yahudi dalam

karyanya On the Jewish Question, namun dia terbilang tidak mengecam antisemitisme, terlebih gagasan-gagasannya tidak dapat kita katakan mengerucut pada Yudaisme yang sekuler, dan topik ini juga memiliki diskusinya tersendiri, yang populer pada abad ke-20. Lihat, David McLellan,

Karl Marx: His Life and Thought, h. 6, dan Jürgen Kocka. Civil Society and Dictatorship in Modern German History. (London: University Press of New England, 2010), h. 21.

(33)

borjuis, dengan kinerja dan ambisi mereka.7 Sedangkan pasca abad ke-20 sikap mereka lebih condong untuk bergaya hidup eksklusif, memisahkan diri dari masyarakat yang lebih rendah dari mereka karena lebih merasa sebagai ‗orang penting‘. Mereka yang sebelumnya berambisi dalam kemajuan kota, berubah haluan menjadi seperti nasionalis yang bernaung dalam ‗garis kanan.‘ Bahkan rasisme dan antisemitisme terbilang mendapat tempat yang sama dengan borjuis.

Marx sendiri tergolong kepada golongan yang berjuang mendapat tempat dalam miliu8 borjuis. Memang masa kecilnya tidak banyak menempuh pendidikan yang signifikan, ia belajar di rumah hingga usianya yang ke-12, kemudian masuk ke Sekolah Frederick William (SMA) di Trier selama lima tahun, tepatnya dari tahun 1830-1835 M.9 Sekolah ini membawa gagasan-gagasan liberal Abad Pencerahan, yang diperkenalkan oleh seorang Elektorat10 lama Trier, Clement Wenceslas, ia mencoba mendamaikan antara iman dan akal pada filsafat Kantian.

Setelah lulus, Marx yang telah berusia 17 tahun kuliah ke Universitas Bonn. Ia disuruh ayahnya agar mengambil jurusan hukum, agar bisa mengikuti jejaknya, akan tetapi Marx sendiri lebih tertarik dengan filsafat dan sastra.11 Marx berangkat dari rumahnya pada pukul 4 dini hari, ia berpamitan dengan keluarganya di pelabuhan kapal uap di sungai Mosel. Perjalanannya menempuh waktu dua hari, melewati Coblenz dan bersimpang di sungai Rhine, ia kemudian naik kapal lagi di hari kedua menuju ke Bonn. Di hari ketiga ia segera mendaftar masuk Fakultas Hukum di Universitas Bonn. Marx mengawali kuliahnya dengan mengambil 9 kelas, termasuk kuliah dengan A. W. Schlegel yang membahas

7 Ini juga merupakan bukti yang selaras dengan Karl Marx, dalam catatannya pada The

Materialist Conception of History menyebut bahwa Hobbes dan Locke menyaksikan

perkembangan borjuis Belanda dengan unjuk gigi dalam politik sebagai borjuis Inggris. Pada bagian lain dalam karya yang sama ia menyebut bahwa Adam Smith dan Ricardo menjadi sosok seorang borjuis, yang mana masih berjuang dalam melawan sisa-sisa budaya feodal. Ia pun sering menyebut sosok-sosok lain yang sama sebagai seorang borjuis. Lihat, David McLellan, Karl

Marx: His Life and Thought, h. 203, h. 228.

8 Lingkungan sekitar yang khas suatu individu atau populasi. Lihat, Tim Redaksi Kamus

Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa Indonesia, h. 1030.

9

David McLellan, Karl Marx: His Life and Thought, h. 9.

10 Seseorang yang memiliki hak untuk memilih penguasa, seperti kaisar atau raja. Lihat,

Merriam-Webster. Merriam-Webster's Advanced Learner's English Dictionary, h. 538.

(34)

mengenai romantisisme dalam filsafat dan literatur, kuliahnya termasuk yang paling diminati se-universitas.12

Dalam berbagai pertimbangan ia lalu pindah ke Universitas Berlin. Sebab ayahnya memandang Berlin lebih baik dari Bonn bagi pendidikannya. Pada Oktober 1836 Marx berangkat dari Trier ke Berlin. Di Berlin dia menyewa sebuah kamar di Mittelstrasse, demi menuju tempat studinya di Universitas Berlin. Ia kuliah di Fakultas Hukum seperti sebagaimana ia di Bonn, namun ia memutuskan untuk ‗berkelut dengan filsafat‘ bahkan ia pernah yakin bahwa hukum tanpa filsafat tidak akan terlaksana.13 Di Fakultasnya, Marx mengikuti kuliah dari Eduard Gans, ia adalah yang sering menyampaikan pemikiran Hegelian progresif. Eduard Gans adalah seorang Yahudi yang berpaham Hegelian liberal, dalam kuliahnya ia mengelaborasi gagasan Hegelian tentang perkembangan rasional dalam sejarah terkhusus ditekankan pada aspek libertarian dan urgensi atas pertanyaan-pertanyaan masyarakat. Gans mendukung gerakan Revolusi Perancis 1830 dan menyuarakan sistem monarki bergaya Inggris Raya, dalam bahasannya ia juga hendak mencari sebuah solusi atas kemelut yang terjadi antara golongan proletar dengan kelas-menengah (borjuis). Di institusi lain dengan nama Sekolah Hukum Historis, Marx juga menghadiri seminarnya. Dengan bahasan hukum yang dibawakan oleh Karl von Savigny, kajiannya fokus membahas seputar justifikasi bagi hukum-hukum yang diambil berdasarkan adat dan tradisi dari rakyatnya, dan bukannya dikendalikan oleh sistem teoritis dari para pemberi hukum. Pokok bahasannya mengambil ulang peristiwa masa lalu dalam sejarah dalam membangun prinsip-prinsipnya.14 Pada faktanya sejarah yang banyak dirujuk di lingkungan Marx adalah Revolusi Perancis, sebab terbilang bahwa orang-orang yang kini berada di Fakultas Hukum di Universitasnya memberi pengaruh

12 Romantisisme memang telah diperkenalkan oleh teman ayahnya, Baron von

Westphalen. Kedekatannya bahkan terlihat ketika ia mendedikasikan tesis doktoralnya (1841) kepada Baron yang sudah lewat kepala enam. Lihat, David McLellan, Karl Marx: His Life and

Thought, h. 16.

13 Muhammad Ali Fakih, Biografi Lengkap Karl Marx, h. 14. 14 David McLellan, Karl Marx: His Life and Thought, h. 25-26.

(35)

gagasan Revolusi Perancis,15 setelah kemunculannya memberi reaksi yang kuat terhadap pemerintah monarki di Prussia.

Pada awalnya, Marx masih menyambung-nyambungkan keilmuan hukum-nya dengan permasalahan kritis mengenai filsafat. Demi memenuhi hasrathukum-nya untuk terlibat dalam spekulasi filosofis, pertama-tama dia berlatih dengan filsafat hukum yang dekat dengan filsafat namun masih berada dalam cakupan Fakultas-nya, diambilah olehnya referensi tentang pengantar metafisik. Setelah 300 halaman ia baca, ia menyerah untuk berusaha memahaminya. Akhirnya ia memutuskan untuk menjembataninya dengan filsafat Hegelian. Marx lalu menyusun outline dalam skema yang terbilang rumit dari dasar filsafat hukum yang ia kaji. Akan tetapi, Marx kecewa dengan hasil kerjanya, ia menaruh catatannya ke dalam laci meja dan menguburnya dengan pasir. Ia merasa bahwa klasifikasinya ditampilkan kosong tanpa esensi.16

Kekecewaannya soal progres sebelumnya memunculkan perubahan pemikiran yang radikal baginya. Ketika dia mengapresiasi Kant dan Fichte terhadap idealismenya, ia kini meninggalkannya dan berbalik untuk mencari idea dalam kenyataan itu sendiri.17 Diketahui bahwa Hegel memang tengah memegang pengaruh utama pada pemikiran filosofis di Jerman masa itu, tepatnya dari 1818 sampai 1831 tahun kewafatannya. Hegelian sendiri masih tetap digaungkan setelah wafatnya Hegel hingga saat Marx kuliah. Tak dapat dipungkiri, Marx pastilah mendengar pengaruh dan kelompok dari Hegelian ini. Di masa kuliahnya

15 Pada dasarnya, Revolusi Perancis adalah gerakan revolusi pertama yang berhasil

menggugurkan feodalisme (sistem monarki), arus gelombang revolusi kian menaik ketika raja Perancis, Louis XVI, berambisi dalam menyaingi Inggris dalam perang dan kolonialisme. Ketika dana untuk mencapai ambisinya telah di ambang kebangkrutan, ia dengan sewenang-wenangnya menaikkan pungutan pajak terhadap rakyatnya, hal inilah yang memulai pergulatan antara monarki Perancis dengan rakyatnya berlangsung, dimulai dengan inisiatif kelas-menengah agar memperoleh kursi dalam rekonsiliasi pemerintahan, sampai dengan buruh-tani yang mogok kerja dan ikut serta dalam melengserkan penguasa. Kelanjutan dari peristiwa tersebut mengakibatkan Perancis berubah dari monarki menjadi republik, mereka juga memberi efek sentimen terhadap Prussia dan Austria yang masih memegang sistem monarki, dan terbilang berusaha untuk mengubahnya. Lihat, William Doyle, The French Revolution: A Very Short Introduction. (New York: Oxford University Press Inc., 2001), h. 19, h. 42, h. 109-111.

16 David McLellan, Karl Marx: His Life and Thought, h. 26-27. 17 David McLellan, Karl Marx: His Life and Thought, h. 27-28.

(36)

ini Marx rajin membaca dan merangkum apa yang bisa dia ulas dari karya-karya para intelektual, mulai dari Aristoteles sampai Hegel dan Feuerbach.

Terlepas dari itu, ia kembali bergelut dengan pelajaran yang telah dia tempuh selama ini. Hal tersebut dikarenakan niatannya untuk menulis tesis doktornya, dengan harapan dengan tesis doktornya ini Marx mendapat jalan untuk menjadi dosen yang dapat membantu penghidupannya. Maka itu di awal tahun 1839. ia memulainya, dengan berfokus pada topik filsafat Epikurean. Terlebih karena banyak kolega Marx dari Hegelian yang menyukai topik dari filsafat pasca-Aristoteles, sebab mengingat kondisi general pemikiran pada zaman itu mirip dengan yang terjadi pada pemikiran pasca-Hegel saat ini, dan zaman itu juga merupakan awal di mana Kristen menampilkan pandangan intelektualnya dan berbaur dengan filsafat.18

Secara ringkas tesisnya memang turut mengkaji pemikiran Hegel, namun kelanjutannya bermaksud untuk menyampaikan kejadian yang terjadi di zaman Romawi tersebut, telah kembali terulang di masa Hegel. Di samping tesis ia masih tetap untuk ikut berdiskusi dengan kajian-kajian di Berlin Doctors‘ Club, bahkan

ia turut mengulas karya literatur Filsafat Agama-nya Hegel bersama temannya, Bruno Bauer, ia juga sempat menulis dua sajak pendek untuk mengisi hobinya.

Marx dapat menyelesaikan tesisnya pada April 1841, Bruno Bauer, teman yang telah menyarankannya menulis tesis demi menjadi dosen, memberi rekomendasi untuk memberikan tesisnya ke Universitas Berlin. Sebaliknya Marx malah memberikan tesisnya ke Universitas Jena, setelah beberapa kerabat dan kenalannya mengabarinya bahwa Jena memiliki kualitas baik dalam memproduksi doktor-doktor filsafat.19

Setelah mendapat gelar doktornya. Marx kemudian membiasakan diri untuk bepergian antara Trier, Bonn, dan Cologne, ia melakukannya agar menjaga rasa aman—seperti yang dia lakukan ketika menunggak biaya kuliah, dengan cara berganti-ganti alamat. Di Trier ia menghabiskan enam minggu bersama keluarganya, lalu kemudian kembali ke Bonn bersama Bruno Bauer untuk

18 Karl Marx, Karl Marx: Selected Writings, h. 15.

(37)

menempuh karier akademiknya. Demi mendapatkan jabatan dosen ia mesti melampirkan pendamping tesis doktornya, berupa disertasi. Marx kemudian memulai revisi tesis doktornya dengan beberapa tambahan pada sejarah Epikurean, Stoik, dan filsafat Skeptis.20 Bagi Marx, penambahan materi tesis berarti mesti bertambahnya kajian-kajian yang ia kunjungi. Akan tetapi, seperti halnya sifat yang telah menjadi khasnya, banyaknya proyek yang ia kerjakan belum tentu dapat menuntaskan pekerjaannya. Bahkan diskusi-diskusi yang dia ikuti kini, malah mengalihkannya dari kerja disertasinya. Penguasa kala itu, Frederick William IV, bertekad untuk membabat habis pandangan-pandangan Hegelian dengan mengundang Friedrich Schelling.

Kemalangan lain menimpanya, setelah Bruno Bauer, teman dekatnya yang berniat membantunya menjadi dosen, dicopot dari kursi pendidik setelah tertangkap memberi ajaran doktrin non-ortodoks pada bulan yang sama.21 Maka berakhirlah harapan Marx untuk mendapat karier sebagai dosen. Selagi ia di Trier, ia menyusun artikel untuk Arnold Ruge, seorang kolega Marx yang juga keluar dari jabatan pendidiknya karena tetap memegang pandangan non-ortodoksnya. Ruge adalah seorang penyunting dari jurnal Deutsche Jahrbücher, kini ia berhenti dari pekerjaannya di universitas dan mulai meniti karier di jurnalisme. Artikel Marx yang dia kirimkan ke Ruge pada Februari 1842, juga terselip sepucuk surat permohonannya untuk mengulas beragam buku dan turut berdedikasi untuk jurnal

Deutsche Jahrbücher —dapat dibilang Marx menaruh harapan untuk dapat

bekerja di sana.22

Di kala itu Marx terbilang dalam posisi yang stabil, ia dapat meraih pendapatan dengan menjadi jurnalis dan mengumpulkan data-data yang berguna bagi karya-karya besarnya yang akan muncul kemudian. Dalam kehidupannya pada jenjang jurnalisme ia banyak bepergian ke beberapa kota di Eropa, seperti Paris, Brussels, dan London. Pada tahun 1848 ia juga sempat kembali ke negerinya dan tinggal di Cologne demi memompa semangat kelas pekerja di

20 Karl Marx, Karl Marx: Selected Writings, h. 16. 21 Karl Marx, Karl Marx: Selected Writings, h. 22.

(38)

Jerman.23 Dalam kariernya, segera setelah ia berkarya di Rheinische Zeitung, namanya pun turut melejit seiring banyaknya minat dari beragam surat kabar yang bersedia untuk mempublikasikan tulisannya, seperti: Vorwäts (Paris),

Deutsche-Französische Jahrbücher (Paris), Neue Rheinische Zeitung (Cologne), New York Herald Tribune (London), People’s Paper (London), Free Press (London), New American Encyclopedia (London), Das Volk (London), dan Die Priesse (Vienna).

Ia mengaku tulisan-tulisannya memang banyak mendulang kritisisme ataupun bantahan dari banyak pihak. Bahkan ketika bekerja di koran besutannya, yakni

Neue Rheinische Zeitung, ia mendapat kecaman keras dari penguasa Prussia

Frederick William IV, hingga berbuah penutupan surat kabarnya dan pengusirannya dari Prussia. Sampai akhir hayatnya pada 17 Maret 1883, ia meninggal tanpa kewarganegaraan saat menderita laringitis disertai bronkitis. Ia dikubur di Highgate Cemetery, tertulis di makamnya: ―para filosof hanya menginterpretasi dunia dengan bermacam cara – namun intinya adalah demi mengubahnya.‖24

A. Karya-karya

Marx terbilang cukup banyak menulis karya, baik dalam format artikel, surat kabar, wawancara, pidato, maupun buku. Ia juga sempat mengomentari tentang lingkungan hidup, kebebasan pers, dan konferensi sebuah kongres. Begitu banyaknya tulisan yang ia buat hingga publikasi beberapa karyanya muncul jauh setelah kematiannya, seperti The German Ideology yang terbit pada 1932. Berikut ini penulis sampaikan beberapa karya inti darinya:

1. Critique of Hegel’s Philosophy of Right

Dalam karyanya ini ia bertujuan mengevaluasi filsafat politik Hegel, dengan cakupan kritik terhadap institusi politik dan diskusi mengenai relasi politik terhadap ekonomi. Karyanya ini terdiri dari empat bagian, yang pertama mengkritisi Hegel secara general terfokus pada

23 Muhammad Ali Fakih, Biografi Lengkap Karl Marx, h. 24.

(39)

dialektikanya, kedua, mengkritisi Hegel yang melindungi monarki, ketiga, analisisnya terhadap birokrasi dengan gagasan negara dalam negara.

Keempat, membahas adanya pemisahan antara masyarakat sipil dengan

negara politis.25

2. Theses on Feuerbach

Pada bulan April 1845, kala itu Marx sering terlibat dalam kritik terhadap Feuerbach. Sehingga ia merasa terlalu dikenal sebagai pengkritisinya, maka ia mulai menyusun dalam buku catatannya, sebelas poin yang merangkum perbedaan pendapat antara ia dengan Feuerbach. Tulisannya ini pun membuahkan pemikiran materialisme yang berbeda dari segala forma statis, dan memberi makna pada term ‗objektif‘ dan ‗sains‘ dalam relasinya terhadap Marx.26

3. The German Ideology

Dalam masa keterkaitannya dengan Feuerbach, Marx juga merasa perlu untuk membuat satu buku, lahirnya buku ini pun tidak hanya memuat kritik lanjutan atas Feuerbach, tapi juga memuat deskripsi dan definisi bari dari konsepsi materialis atas sejarah. Bagian awalnya memuat sarkasme Marx terhadap Hegelian, dan di bagian utama terbagi menjadi tiga seksi: bagian penjelasan Hegelian atas pendekatan historis dan materialis, bagian analisis historis terhadap metode tersebut, dan prediksi konsekuensi di masa depan, yakni revolusi komunis.27

4. Communist Manifesto

Karyanya ini terdiri dari empat bagian, pertama menampilkan sejarah masyarakat sebagai (pengelompokan) kelas masyarakat semenjak Abad Pertengahan, dalam kisah borjuis dan proletar. Bagian kedua,

25 Karl Marx, Karl Marx: Selected Writings, h. 32. 26 Karl Marx, Karl Marx: Selected Writings, h. 171. 27 Karl Marx, Karl Marx: Selected Writings, h. 175.

Referensi

Dokumen terkait

Siklus Hidup Ulat Grayak (Spodoptera litura, F) dan Tingkat Serangan pada Beberapa Varietas Unggul Kedelai di Sulawesi Selatan.. Abdul Fattah dan

insektisida seperti ,ang se%ak la&a digunakan oleh &as,arak ialah abate ,ang kandungan sen,a;an,a te&ophos selain itu kegiatan fogging di setiap daereh sering

Penilaian acuan patokan (PAP) merupakan penilaian yang diacukan pada tujuan instruksional yang harus dikuasai oleh siswa, sedangkan penilaian acuan norma (PAN)

Berkaitan dengan reformasi birokrasi yang menghendaki adanya transparansi dan akuntabilitas, kehadiran media baru atau internet merupakan sebuah inovasi

Ujicoba Ujian Nasional.. Kedua benda tolak-menolak dengan gaya 2N. Jika X sebagai kutub utara kompas, posisi kompas yang benar ditunjukkan oleh kompas nomor .... Trafo

Penelitian ini berjudul “St udi Model Dakwah terhadap Siaran Asyiknya Berislam di Celebes TV ”, merupakan penelitian yang mencoba menjabarkan tentang model dakwah yang

Melalui Peternakan Kroto Modern (PKM) diharapkan tidak akan terjadi lagi kelangkaan kroto dipasar karena jumlah permintaan penggemar burung yang terus bertambah setiap tahunnya..

Dalam hal ini hubungan kualitas pelayanan terhadap kepuasan konsumen saling mempengaruhi didukung oleh penelitian dari Sienny Thio (2001),dalam jurnal yang berjudul