• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dan bernegara. Pendidikan merupakan suatu proses menghasilkan manusia yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dan bernegara. Pendidikan merupakan suatu proses menghasilkan manusia yang"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan merupakan suatu proses menghasilkan manusia yang cerdas dan berkualitas. Melalui pendidikan manusia dapat mengembangkan dan memajukan potensi dirinya menjadi manusia yang mempunyai kemampuan untuk dapat menghadapi dan bertahan di era globalisasi yang menuntut semua bidang kehidupan untuk berkompetitif dan mempunyai keahlian. Untuk mewujudkan hal yang demikian itu perlu dilakukan berbagai pembenahan dan pembenahan yang paling mendasar adalah pembenahan sistem pendidikan nasional.

Kemajuan suatu negara sangat bergantung pada kemajuan pendidikan rakyatnya. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dan berpenduduk lebih kurang 220 juta jiwa1, di bidang pendidikan dan teknologi masih jauh ketinggalan dari negara-negara Asia lainnya. Karena itu issue mengenai pendidikan tidak akan pernah berhenti menjadi topik yang selalu hangat untuk dibicarakan, mengingat sampai saat ini rakyat Indonesia belum bebas dari buta aksara. Menurut data stastik yang dirilis Tempo tanggal 8 September 2008 ada 10,16 juta (6,22%) penduduk

1

E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 2.

(2)

Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas buta aksara.2 Ini menunjukkan betapa sulit dan komplitnya permasalahan pendidikan di Indonesia. Hal ini juga sangat disadari oleh founding father (pendiri negara). Terbukti dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 secara eksplisit dicantumkan salah satu tujuan negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 31 UUD 1945 sebagai berikut:3

1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;

2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;

3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kahidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang;

4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional;

5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

2

http://www.tempointeraktif.com/hg/topic/masalah/1474/, diakses tanggal 21 Maret 2009. 3

(3)

Pasal ini secara tegas mengatur agar negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% atau 1/5 dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menunjukkan ”pembenahan” di bidang pendidikan membutuhkan dana yang sangat besar dan untuk itu pemerintah harus sungguh-sungguh dan bertanggung jawab dalam memenuhi amanat Pasal 31 UUD 1945,4 karena jika tidak terpenuhi pemerintah dapat dikatakan melanggar konstitusi. Lebih lanjut juga ditegaskan dalam Pasal ini tugas mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional adalah tugas dan tanggung jawab negara atau pemerintah Indonesia. Tentu saja pemerintah tidak mungkin berjalan sendiri dalam mengemban amanat UUD 1945. Seluruh komponen masyarakat juga wajib turut serta dan bahu membahu mewujudkan amanat luhur ini.

Sebagai wujud dari tanggung jawab tersebut, pemerintah telah mendirikan berbagai tingkat sekolah mulai dari pendidikan dasar, menengah sampai pendidikan tinggi. Demikian halnya lembaga masyarakat/swasta juga banyak yang telah mendirikan sekolah/pendidikan sebagai wujud kontribusinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentu saja pemerintah tetap bertindak sebagai leader (pemimpin) dan regulator (pembuat kebijakan) agar sistem pendidikan nasional kuat dan berwibawa untuk memberdayakan Warga Negara Indonesia menjadi manusia yang

4

Pasal 46 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

(4)

berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan jaman yang selalu berubah.5

Untuk itu berbagai peraturan yang mengatur pendidikan telah diterbitkan, seperti: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.02/2009 tentang Alokasi Anggaran Belanja Fungsi Pendidikan dalam APBN dan yang terbaru Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Sesuai dengan lingkup pembahasan, yang dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai perguruan tinggi khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Di dalam UU BHP PTN disebut sebagai Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP).

Lahirnya Undang-Undang BHP ini telah menimbulkan banyak reaksi dari berbagai pihak, baik yang setuju maupun yang tidak setuju tentunya dengan argumentasinya masing-masing. Pihak yang setuju umumnya berasal dari kalangan pemerintah, seperti Menteri Pendidikan Nasional Mendiknas), Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) serta pimpinan PTN sedangkan yang tidak setuju sebagian besar adalah kalangan mahasiswa dari berbagai PTN. Menurut Dirjen Dikti

5

Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

(5)

Depdiknas, tujuan keberadaan UU BHP yang paling besar adalah memberi otonomi yang lebih luas kepada satuan pendidikan khususnya PTN. 6

Kalau selama ini PTN hanya sebagai perpanjangan tangan dari Departemen Pendidikan Nasional yaitu sebagai Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Pemerintah, maka sulit bagi PTN itu untuk maju.7 Menurut Dirjen Dikti hal ini disebabkan PTN terkungkung dengan model kerja birokrasi, di mana untuk membeli kebutuhan PTN yang paling sederhana sekalipun seperti kertas yang menentukan harus Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) dan tidak bisa dalam bentuk

blocgrant (hibah). Kalau mendadak kebutuhan berubah karena dinamika PTN,

revisinya berlarut-larut sampai ke pusat.8 Mengingat Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dialokasikan untuk 1 (satu) tahun, dalam pelaksanaannya banyak sekali kebutuhan riel PTN yang ternyata berbeda dari yang dituangkan dalam DIPA sehingga memerlukan revisi. Revisi ini sendiri berlarut-larut dan memakan waktu sedangkan kebutuhan PTN sangat mendesak untuk tetap menjaga kelancaran proses belajar mengajar. 9

6

BHP: Paradigma Baru atau Privatisasi Pendidikan?,

http://www.suarapembaruan.com/News Diakses terakhir tanggal 28 April 2009. 7

FH UGM, ”Rancangan UU Badan Hukum Pendidikan”, Monday, 20 November 2006,

http://www.hukum.ugm.ac.id., diakses terakhir tanggal 27 April 2009. 8

”Penyelenggara Pendidikan : BHP, Undang-undang yang ’Kebablasan’, Senin, 9 Februari 2009, http://www.kompas.org., diakses terakhir tanggal 27 April 2009.

9

Pengalaman Penulis selama bertugas di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Medan. Revisi DIPA terdiri dari beberapa jenis, yaitu : revisi perubahan volume tanpa merubah jumlah uang, perubahan volume sekaligus perubahan jumlah uang (wewenang Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Medan, cukup waktu satu hari kerja revisi akan selesai), revisi pergeseran dari belanja barang menjadi belanja modal atau sebaliknya dari belanja modal ke belanja barang (wewenang Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan di Jakarta), pembukaan tanda bintang/blokir, yaitu dana yang diblokir karena pada saat penelaahan DIPA kegiatan yang dibiayai oleh dana tersebut belum lengkap data pendukungnya, juga permohonan penambahan pagu (wewenang

(6)

Penghasilan PTN baik dari uang sekolah, uang pendaftaran, penghasilan dari poliklinik, laboratorium dan penghasilan sah lainnya juga selama ini menimbulkan permasalahan apakah termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetorkan ke kas negara? Hal ini menjadi masalah yang sangat krusial bagi pihak pengelola PTN karena walaupun penghasilan PTN yang disetorkan ke kas negara tetap dapat dipergunakan kembali oleh PTN yang berkenaan, namun prosesnya harus melalui mekanisme APBN yang tentu membutuhkan waktu. 10

Dengan adanya ketegasan dalam Pasal 38 UU BHP bahwa semua hasil kegiatan BHPP dan yang diperoleh dari penggunaan kekayaan negara yang telah dipisahkan sebagai kekayaan BHPP tidak termasuk PNBP, telah memberikan kelegaan bagi pimpinan PTN-BHPP yang selama ini selalu dihadapkan pada dilema antara kepentingan operasional PTN di satu sisi dan di sisi lain kewajiban setor menurut peraturan perundangan yang berkenaan dengan PNBP.11

Sejumlah argumentasi positif seperti konsep BHPP akan mewujudkan good

university governance (sistem, bentuk, model universitas yang baik) di mana PTN

berbentuk BHPP akan lebih profesional dengan mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dengan UU BHP ini PTN-BHPP akan semakin diarahkan untuk menjadi institusi yang mandiri, baik secara pengelolaan administrasi, Direktorat Jenderal Anggaran Jakarta). Bisa dibayangkan apabila revisi itu dilakukan untuk membiayai kebutuhan PTN yang mendesak, padahal revisi yang diajukan ternyata merupakan kewenangan Kantor Pusat, tentu akan memakan waktu.

10

Amri Rasyidin, Aspek Pengelolaan Keuangan Pada Perguruan Tinggi Negeri yang

berstatus Badan hukum Pendidikan (BHP), Blog, 13 April 2009, 09:01, hal. 3.

11

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

(7)

kegiatan akademik, finansial maupun pengontrolan kualitas agar dapat bertahan dan memberikan kualitas terbaiknya dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Bahkan argumentasi yang sangat positif disampaikan oleh Herry Achmadi dari Komisi IX DPR-RI bahwa dirinya memberikan jaminan untuk mahasiswa miskin yang potensi biaya kuliah murah, sedangkan untuk mahasiswa kaya tentu harus pengertian, ini juga untuk keadilan.12 Khusus bagi anak-anak miskin yang potensial, Dirjen Dikti memastikan dengan UU-BHP ini, bahwa anak-anak miskin yang potensial itu akan lebih terjamin karena 20% dari mahasiswa sebuah PT-BHP wajib diberikan beasiswa.13

Sedangkan argumentasi dari pihak yang tidak setuju umumnya didasari rasa khawatir akan semakin mahalnya pendidikan tinggi di negeri ini karena dengan UU BHP ini PTN-BHPP mempunyai otonomi yang luas sehingga PTN-BHPP bebas menentukan besaran biaya kuliah dan atas ”dalih” membiayai biaya operasionalnya

12

”SosialisasiUndang-Undang BHP”, http://www.dikti.go.id, diakses tanggal 9 Juni 2009.

13

http://www.smkn1cepu.sch.id/index.php, diakses terakhir tanggal 28 April 2009, pengesahan Undang-Undang BHP, UU BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi. Selama ini satuan pendidikan sangat tergantung dari pendanaan dari peserta didik bahkan sampai sembilan puluh persen. Saat ini, BHP membatasi menjadi 1/3 maksimal dari biaya operasional. Ini adalah jaminan Undang-Undang BHP bahwa kenaikan SPP seperti yang banyak dikhawatirkan rasanya tidak mungkin terjadi. UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi tapi berpotensi secara akademik, terutama yang ada di quintil lima termiskin, dimana sampai saat ini hanya 3 Persen dari kategori ini yang menikmati pendidikan tinggi. Satuan Pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20 persen dari keseluruhan peserta didik yang baru. Satuan Pendidikan BHP harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikti 20 persen beasiswa atau bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademiki tinggi. Lihat juga di http://news.okezone.com, diakses terakhir tanggal 28 April 2009, khusus untuk pendanaan pendidikan bagi BHPP dan BHPPD, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional untuk pendidikan menengah dan paling sedikit 1/2 biaya operasional untuk pendidikan tinggi. Bandingkan dengan Pasal 40 dan Pasal 41 UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

(8)

PTN-BHPP dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio,14 juga memungkinkan PTN-BHPP dinyatakan pailit,15 hal ini juga membuka peluang bagi investor untuk ”mengendalikan” PTN-BHPP tersebut sesuai dengan ideologinya sehingga PTN-BHPP akan cenderung bersikap pragmatis terhadap investornya karena ketergantungannya dari segi modal.16

UU BHP juga tidak ada membuat larangan investor asing menanamkan modal pada PTN-BHPP, sehingga dimungkinkan bagi PTN-BHPP ”merangkul” investor asing untuk menanamkan modalnya di PTN-BHPP dengan kepemilikan modal maksimal 49%.17 Hal ini dianggap sebagai liberalisasi dan komersialisai pendidikan karena investor yang menanamkan modalnya pada PTN-BHPP merasa berkepentingan agar dana yang yang mereka investasikan pada PTN-BHPP akan menghasilkan keuntungan.18 Padahal dalam Pasal 4 (1) UU BHP ditegaskan bahwa pengelolaan dana secara mandiri oleh BHP didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.

14

Kajian Strategis Kabinet keluarga Mahasiswa ITB, ”BHP : Skenario Liberalisasi Pendidikan Negeri Ini”, 2008/2009, hal. 3, dan bandingkan dengan Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

15

Pasal 57 huruf b, Pasal 58 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

16

Kajian Strategis Kabinet keluarga Mahasiswa ITB, ”BHP : Skenario Liberalisasi Pendidikan Negeri Ini”, 2008/2009, hal. 3, dan bandingkan dengan Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

17

Lampiran II Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal

18

Kajian Strategis Kabinet keluarga Mahasiswa ITB, ”BHP : Skenario Liberalisasi Pendidikan Negeri Ini”, Ibid, hal. 4.

(9)

Prinsip nirlaba dalam hal ini bukan berarti BHP tidak boleh mencari untung, namun segala keuntungan BHP bukan merupakan dividen sebagaimana halnya dalam Perseroan Terbatas, melainkan harus ditanamkan kembali ke dalam BHP. Hal ini diatur dalam Pasal 38 ayat (3) UU BHP menyatakan, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan wajib ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan dan digunakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) paling lambat dalam waktu 4 (empat) tahun. Selanjutnya, Pasal 38 ayat (4) menyatakan, apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan menjadi objek pajak penghasilan. Pasal 37 ayat (6) menyatakan, kekayaan dan pendapatan badan hukum pendidikan digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk: (a) kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran; (b) pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam hal badan hukum pendidikan memiliki satuan pendidikan tinggi; (c) peningkatan pelayanan pendidikan; dan (d) penggunaan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat, negara terkesan lepas tangan terhadap pengelolaan pendanaan dunia pendidikan dan menimbulkan multi tafsir

(10)

terhadap penyelenggaraan sistem pendidikan yang dapat diterjemahkan sebagai liberalisasi atau komersialisasi pendidikan.19

Pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan beberapa PTN sedang dalam masa transisi berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) harus atau sedang menyesuaikan diri dengan melakukan berbagai pembenahan pengelolaan keuangannya agar tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Bagi PTN yang sudah berstatus BHMN mungkin tidak terlalu sulit untuk ’menjelma’ menjadi BHPP dibandingkan PTN lainnya di Indonesia yang masih 100% merupakan UPT dari Ditjen Dikti. Sebagai UPT dari Ditjen Dikti PTN tidak boleh menentukan sendiri dalam pembukaan jenis kelasnya, apakah reguler, paralel dan mandiri sebagaimana halnya dengan PTN BHMN. Karena semua pengeluaran PTN tersebut dibiayai oleh APBN sehingga apapun kegiatan yang dilakukan oleh PTN yang berkaitan dengan anggaran harus atas seijin Menteri teknisnya dan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Semua penerimaan PTN tersebut harus disetorkan ke kas negara sebagai PNBP. Dapat dibayangkan masa transisi 4 tahun yang disyaratkan dalam Pasal 65 UU BHP akan sangat berat bagi PTN.

Ketika masa 4 tahun terlewati maka pemerintah hanya akan menanggung dana dengan mekanisme BHPP (Pasal 40 angka 5 UU BHP). Bagi PTN-BHMN sudah

19

Pandangan Komisi X Terhadap RUU BHP Usulan Pemerintah (Materi Semiloka Badan Layanan Umum/BLU Dalam Rangka Dies Natalis Tahun Emas Universitas Diponegoro) http//www.lpm.undip.ac.id., diakses tanggal, 26 April 2009.

(11)

lebih terbiasa dengan nuansa Badan Hukum, hanya tinggal melakukan penyesuaian dan pembenahan di sana-sini agar sesuai dengan ketentuan UU BHP.

Pengelola PTN BHPP yang profesional dan berkualitas, mempunyai sumber dana yang kuat dalam menjalankan visi dan misinya karena Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit 1/2 dari biaya operasional BHPP20 sehingga BHPP dapat berperan sebagai kekuatan moral (moral force), sehingga intervensi penguasa seperti pada masa orde baru yang terlalu mengatur dan menekan PTN dapat dihindarkan.

Sumber dana PTN di masa sebelum menjadi BHPP hanyalah mengandalkan APBN (dahulu disebut sebagai Daftar Isian Kegiatan untuk Belanja Rutin dan Daftar Isian Proyek untuk Belanja Pembangunan, sekarang disebut Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran untuk Belanja Rutin dan Pembangunan), sebagaimana halnya dengan lembaga yang dibiayai oleh APBN, maka pegawainya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan sistem penggajiannya pun menurut sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil secara umum.

Staf pengajar (dosen) di PTN digaji berdasarkan sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil yang sudah diketahui gajinya jauh dari memadai.21 Untuk para staf pengajar akan mencari penghasilan tambahan dengan mengajar di berbagai tempat sebanyak mungkin demi mengejar honor sehingga berkesan kurang memperhatikan kualitas. Hampir jarang dijumpai staf pengajar/dosen dapat dengan tenang mengajar

20

Postioning Paper Pernyataan Sikap KM ITB Terhadap RUU BHP, ”Gaya Baru Otokrasi Pendidikan Indonesia” http//www.km.itb.ac.id./web/diskusi/?cat=5, diakses tanggal, 26 April 2009.

21

(12)

di suatu PTN dan senantiasa melakukan penelitian ilmiah atau membuat karya tulis dalam bentuk buku-buku serta dalam bentuk karya ilmiah lainnya. Walaupun honor/gaji bukanlah segalanya bagi staf pengajar/dosen, namun biaya hidup yang semakin tinggi, keinginan untuk memperoleh kesejahteraan dan untuk menjadikan hidup yang nyaman semuanya memerlukan uang.

Anggaran yang tersedia untuk sarana dan prasarana yang berasal dari APBN dirasa sudah sangat jauh dari persentase kelayakan. Pagu DIPA untuk USU tahun 2009 adalah sebesar Rp240.294.308.000 (dua ratus empat puluh milyar dua ratus sembilan puluh empat juta tiga ratus delapan ribu rupiah).22 Dana tersebut adalah untuk 1 tahun, terdiri dari belanja pegawai (gaji dan tunjangan PNS, honorarium),

belanja barang (pemeliharaan gedung, perawatan kendaraan bermotor, pemeliharaan

alat dan mesin, belanja operasional perkantoran, seperti ATK, langganan daya dan jasa, biaya surat menyurat dan belanja non operasional perkantoran, seperti perjalanan dinas), belanja modal (pembangunan gedung dan sarana lingkungan, pengadaan kendaraan bermotor). Bisa dibayangkan betapa rendahnya jumlah tersebut jika dibandingkan dengan kebutuhan riel PTN selama 1 tahun. Sebagai perbandingan, menurut Wakil Rektor Senior Bidang Akademik Institut Teknologi Bandung, Adang Surachman, kebutuhan operasional ITB untuk menyelenggarakan kuliah,

22

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Universitas Sumatera Utara Tahun Anggaran 2009, Nomor : 0186/023-04.2/II/2009.

(13)

pemeliharaan kampus, membayar gaji dosen dan staf mencapai Rp 450 miliar hingga Rp 500 miliar per tahunnya.23

Menurut Rektor USU, Chairuddin P.Lubis bahwa untuk memajukkan sebuah perguruan tinggi, tidak hanya harus memiliki kemampuan secara mandiri dalam mengupayakan dana untuk menjalankannya. Tapi juga sangat bergantung pada kesiapan dan kemampuannya dalam beberapa hal, seperti pengadaan sumber daya manusia yang berkualitas, bertanggung jawab dan bermoral. Kesiapan peserta didik, sistem pengelolaan dan teknologi informasi, serta fasilitas dan sarana pendidikan yang tersedia. Hal-hal tersebut yang harus disediakan sebuah perguruan tinggi untuk dapat maju dan berkembang.24 Sejalan dengan pendapat tersebut, untuk menjadi PTN yang modern dan berwibawa harus mampu mengikuti perkembangan teknologi modern yang umumnya sudah menggunakan hight technology (teknologi tinggi).

Peralihan status PTN menjadi BHPP tentu menjadikan PTN akan mengalami perubahan terutama dalam hal pengelolaan keuangannya.25 Sebelum menjadi BHPP seluruh pendanaan dalam arti pengalokasian dan pengelolaan keuangannya 100% diatur negara, mulai dari gaji para pegawai baik yang PNS maupun honor, biaya operasional PTN seluruhnya mulai dari hal yang paling kecil (seperti alat tulis, alat-alat kebersihan dan lain-lain) sampai yang paling besar (seperti pengadaan alat-alat-alat-alat teknologi tinggi, pembangunan gedung) semua nilai nominalnya dibiayai oleh APBN,

23

Postioning Paper Pernyataan Sikap KM ITB Terhadap RUU BHP, ”Gaya Baru Otokrasi Pendidikan Indonesia”, http/www.km.itb.ac.id./web/diskusi/?cat=5, diakses tanggal, 26 April 2009.

24

uang-kuliah-usu-termurah-di indonesia, www.beritasore.com/2009/II/18, 25

Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP, dan bandingkan dengan kritik yang terdapat pada http//www.sa.upi.edu/?x=Berita, diakses tanggal, 28 April 2009.

(14)

tetapi tentunya dengan segala keterbatasan dana sehingga tidak semua kebutuhan PTN dapat dipenuhi. Demikian halnya dengan seluruh penerimaan PTN seperti uang kuliah, uang pendaftaran, penghasilan kegiatan usaha seperti pelayanan kesehatan, laboratorium, sewa lahan PTN dan penerimaaan lainnya wajib disetor ke kas negara sebagai PNBP.

Namun setelah menjadi BHPP walaupun masih mendapat bantuan dana dari pemerintah segala penerimaan PTN-BHPP tidak termasuk PNBP sehingga tidak lagi disetor ke kas negara dan penggunaannya diserahkan kepada PTN-BHPP berkenaan. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 38 UU BHP yang menyebutkan bahwa semua pendapatan dan sisa hasil kegiatan BHPP yang diperoleh dari penggunaan kekayaan negara yang telah dipisahkan sebagai kekayaan BHPP, tidak termasuk PNBP demikian juga dengan semua bentuk pendapatan BHPP yang diperoleh dari penggunaan tanah negara yang telah diserahkan penggunaannya kepada BHPP tidak termasuk PNBP.

Namun demikian, ’kebebasan’ dalam pengelolaan keuangan PTN-BHPP tetap ’terikat’ dengan rangkaian kebijakan dan peraturan perundangan mengenai keuangan negara khususnya pengelolaan keuangan negara dalam hal kekayaan negara yang dipisahkan. Bagaimana mekanisme pengelolaan, pertanggungjawaban, dan laporan keuangan PTN-BHPP akan dibahas secara sistematis dalam bab-bab selanjutnya sehingga akan terlihat secara jelas perbedaan yang signifikan dalam hal pengelolaan, pertanggungjawaban dan pelaporan keuangan PTN setelah menjadi BHPP.

(15)

PTN-BHPP dalam mengelola keuangan institusinya tidak lagi hanya mengandalkan APBN dalam menyelenggarakan pendidikan, melainkan dapat berusaha mencari sumber-sumber pendanaan baru dengan cara membuka berbagai kelas seperti kelas reguler, kelas paralel, kelas mandiri, kelas eksekutif, kelas khusus, kelas ekstension, kelas internasional dan melakukan kerjasama dengan pihak lain, menanamkan investasi dalam bentuk portofolio, mendirikan perusahaan, yang kesemuanya dengan memperhatikan peraturan perundangan yang ada dengan tetap mengedepankan kualitas tanpa melupakan tugas luhur dan tri darma PTN yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Sehubungan dengan uraian di atas dan untuk mengetahui serta mendalami proses tata cara pengelolaan keuangan PTN sebelum dan sesudah menjadi BHPP, maka hal itulah yang menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian dengan judul ”Perubahan Status Hukum Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Ditinjau dari Hukum Pengelolaan Keuangan Negara” di dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan di dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana status PTN di Indonesia setelah lahirnya UU BHP? 2. Bagaimana pengaturan pendanaan PTN-BHPP?

3. Bagaimana sistem pengelolaan keuangan PTN-BHPP ditinjau dari hukum pengelolaan keuangan negara?

(16)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk megetahui dan memperdalam pengetahuan serta pemahaman yang benar tentang masalah pengelolaan keuangan dari peralihan status badan hukum PTN menjadi PTN-BHPP serta untuk mendapatkan perumusan yang lebih rinci seperti:

1. Mengetahui dan memperdalam status PTN di Indonesia setelah lahirnya UU BHP;

2. Mengetahui dan memperdalam pengaturan pendanaan PTN-BHPP;

3. Mengetahui dan memperdalam sistem pengelolaan keuangan PTN-BHPP ditinjau dari hukum pengelolaan keuangan negara.

D. Manfaat Penelitian

Permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini akan dihubungkan dengan peraturan-perundang-undangan yang ada khususnya UU BHP, UU Sisdiknas, UU tentang Guru dan Dosen, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU tentang Badan Pengawas Keuangan (selanjutnya disebut UU BPK), UU PNBP dan segala peraturan yang berhubungan dengan permasalahan yang dimaksud, sehingga diharapkan dapat membawa sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis. Sehubungan dengan itu, penelitian ini bermanfaat untuk:

1. Sudut pandang teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum peralihan PTN menjadi BHPP. Selain itu, penelitian ini diharapkan

(17)

dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti selanjutnya untuk pengembangan keilmuan khususnya Ilmu Hukum Ekonomi serta dapat memperkaya kepustakaan tentang peralihan status PTN menjadi BHPP;

2. Sudut pandang praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi kalangan praktisi, legislator dan aparat penegak hukum tentang pengelolaan keuangan akibat peralihan status PTN menjadi BHPP secara lebih efektif.

E. Keaslian Penelitian

Pemeriksaan yang dilakukan peneliti di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tentang ”Perubahan Status Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Ditinjau dari Sudut Pengelolaan Keuangan Negara”, sepanjang pengetahuan penulis, belum ada ditemukan judul penelitian yang sama dengan judul tesis ini. Maka, penelitian ini dapat dikatakan masih baru dan asli serta jauh dari unsur plagiat yang bertentangan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka.

Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka baik di sidang yang bersifat ilmiah maupun di hadapan masyarakat pada umumnya. Sebagai masukan dan saran membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah, juga sangat penulis harapkan untuk perkembangan bagi penelitian selanjutnya.

(18)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Menurut Neuman, teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk untuk berfikir tentang dunia itu bekerja.26 Sarantakos berpendapat bahwa teori adalah kumpulan prinsip-prinsip (principles) yang disusun secara sistematis. Prinsip tersebut berusaha berusaha menjelaskan hubungan antara fenomena-fenomena yang ada.27

Kerangka teori adalah alur pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai pendapat, teori, tesisi, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan penulis di bidang hukum. 28 Kerangka teori untuk menganalisis pengelolaan keuangan PTN yang berstatus BHPP adalah menggunakan teori keuangan negara dan teori badan hukum.

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang didapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.29 Keuangan Negara, meliputi :

26

H.R. Otje Salman S dan Arton F Samso, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan

Membuka kembali, (Bandung : P.T. Refika Aditama Cetakan Kedua, Desember 2005), hal. 22.

27

Mamduh M. Hanafi, Manajemen, (Yokyakarta : Unit Penertiban dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 1997), hal. 30.

28

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : C.V. Mandar Maju, 1994), hal. 27.

29

(19)

a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman;

b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. penerimaan negara; d. pengeluaran negara; e. penerimaan daerah; f. pengeluaran daerah;

g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.30

Konsep keuangan negara menurut Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UU KN) menandakan negara memberikan proteksi yang berlebihan (overprotected) dan peraturan yang berlebihan (overregulated) dalam menata sektor keuangan publik. Keuangan negara adalah keuangan publik, sedangkan konsep hukum keuangan publik mengandung prinsip kehati-hatian yang luar biasa

30

(20)

dalam menentukan pengelolaan dan tanggung jawabnya terutama agar (1) negara tidak melalaikan kewajibannya, (2) warga masyarakat tidak dirugikan haknya, serta (3) badan hukum tidak diingkari kedudukannya.31

Sejak abad ke-19, kepunyaan badan hukum memiliki ketegasan batasan apakah termasuk kepunyaan publik (domain public) atau kepunyaan privat (domain

prive). Keduanya tidak mungkin tunduk pada peraturan perundang-undangan yang

sama, baik dalam tata kelola, maupun dalam tata tanggung jawabnya.32 Kalau merujuk kepada pengertian keuangan negara menurut UU KN, perluasan pengertian keuangan negara telah mengenyampingkan syarat sebagai badan hukum, jika keuangan perusahaan negara/daerah dinyatakan sebagai keuangan negara.33

Menurut Arifin P. Soeria Atmadja definisi keuangan negara dapat dipahami atas tiga penafsiran, yaitu :

1. pengertian keuangan negara diartikan secara sempit, yang hanya meliputi keuangan yang bersumber pada APBN.

2. keuangan negara dalam arti luas, yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara, sebagai suatu sistem keuangan negara.

3. Apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sistem pengurusan dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara itu adalah sempit, selanjutnya untuk mengetahui sistem pengawasan dan pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara adalah dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN/D dan pada hakekatnya seluruh kekayaan negara merupakan objek pemeriksaan dan pengawasan.34

31 Ibid, hal.9. 32 Ibid, hal. 10. 33 Ibid, hal. 18. 34

Arifin P. Soeria Atmaja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum : Teori, Praktik

(21)

Dari beberapa penafsiran keuangan negara di atas, jika dikaitkan dengan definisi keuangan negara menurut UU KN penafsiran ketiga yang tampak paling esensial dan dinamis dalam menjawab berbagai perkembangan hukum yang ada dalam masyarakat.35

Dalam ilmu hukum, subyek hukum (legal subject) adalah setiap pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum. Subyek hukum dapat merupakan orang atau natuurlijkpersoon (menselijkpersoon) dan bukan orang (rechtspersoon). Rechtspersoon biasa disebut badan hukum yang merupakan

persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona. Pandangan

demikian dianut oleh Carl von Savigny, C.W.Opzoomer, A.N.Houwing dan juga Langemeyer. Yang menyebutkan bahwa badan hukum hanyalah fiksi hukum. Oleh karena itu pendapat ini disebut teori fictie atau teori fiksi.36

Beberapa sarjana lain mendekati persoalan badan hukum dari aspek harta kekayaan yang dipisahkan tersendiri. Pandangan ini disebut teori pemisahan kekayaan dengan beberapa variasi. Teori van het ambtelijk vermogen diajarkan oleh Holder dan Binder mengembangkan pandangan bahwa badan hukum adalah badan yang mempunyai harta yang berdiri sendiri yang dimiliki pengurus harta itu karena jabatannya sebagai pengurus harta yang bersangkutan. Teori zweck vermogen ataupun

doel vermogens theorie diajarkan oleh A. Brinz dan F.J. van Heyden

mengembangkan pendapat bahwa badan hukum merupakan badan yang mempunyai

35 Ibid. 36

Yudhipanto, “Catatan Tentang Badan Hukum”, Maret 2009,

(22)

hak atas harta kekayaan tertentu yang dibentuk untuk tujuan melayani kepentingan tertentu. Adanya tujuan tersebut menentukan bahwa harta kekayaan dimaksud sah untuk diorganisasikan menjadi badan hukum.37

Teori propriete collective yang diajarkan oleh Marcel Planiol, menyebutkan badan hukum pada hakikatnya merupakan hak dan kewajiban para anggota bersama-sama, kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama semua anggotanya tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya menjadi pemilik sebagai pribadi untuk masing-masing bagiannya dalam satu kesatuan yang tidak dapat dibagi itu, tetapi juga pemilik bersama untuk keseluruhan harta kekayaan, sehingga masing-masing pribadi anggota adalah pemilik harta kekayaan yang terorganisasikan dalam badan hukum itu.38

Teori organ yang diajarkan Otto van Gierke memandang badan hukum sebagai suatu yang nyata (realiteit) bukan fiksi, pandangan ini diikuti oleh L.C. Polano. Menurut teori organ badan hukum adalah suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya (pengurus, anggota-anggotanya) seperti manusia biasa, yang mempunyai panca indera dan sebagainya.39

37

Ibid, hal.2. 38

H.Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung : P.T. Alumni, 2004), hal. 35.

39

(23)

Semua pandangan teoritis di atas berusaha memberi pembenaran ilmiah terhadap keberadaan badan hukum sebagai subyek hukum yang sah dalam lalu lintas pergaulan hukum.

Dalam ilmu hukum ada dua jenis badan hukum dipandang dari segi kewenangan yang dimilikinya, yaitu :

1. badan hukum publik (personne morale) yang mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan public;

2. badan hukum privat (personne juridique) yang tidak mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan publik.40

Dalam konteks negara sebagai badan hukum publik, kedudukan hukum dan kepunyaan negara dibedakan dalam “kepunyaan privat (domain prive) dan kepunyaan publik (domain public).41

Negara sebagai badan hukum privat dapat menjelmakan sebagai salah satu pemegang saham dalam perseroan terbatas badan usaha milik negara. Hans Kelsen menyatakan negara memiliki norma yang sama berlaku bagi orang perseorangan dalam lapangan hukum privat sehingga meskipun ada negara sebagai salah satu pihak dalam urusan privat, bukan berarti penyelesaian aturannya dikecualikan dari lapangan hukum privat.42

40

Arifin P. Soeria Atmaja, Op. cit, hal.105. 41

Ibid, hal.92 42

Dian Puji Simatupang, Hak Menguasai Negara Dalam Keuangan Publik:Konsep, Teori

dan Praktik, Bahan Kuliah Hukum Anggaran Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007,

(24)

Dalam doktrin, badan hukum (rechtspersoon) mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan subjek hukum lainnya seperti manusia (natuurlijke persoon). Seperti halnya manusia memerlukan persyaratan tertentu untuk dapat dikatakan memiliki kemampuan hukum (rechtsbevoegdheid), badan hukum juga memerlukan syarat, yaitu :

1. mempunyai kekayaan terpisah; 2. mempunyai tujuan tertentu; 3. mempunyai kepentingan tertentu; 4. mempunyai organisasi teratur.43

Melihat syarat yang harus dimiliki suatu badan hukum, PTN sebagai BHPP telah memenuhi semua unsur ataupun persyaratan tersebut. Pasal 11 ayat (1) UU BHP menyebutkan pendirian badan hukum pendidikan harus memenuhi persyaratan bahwa badan hukum pendidikan yang akan didirikan tersebut mempunyai :

a. pendiri;

b. tujuan di bidang pendidikan formal; c. struktur organisasi; dan

d. kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri.

Dengan lahirnya UU BHP ini kiranya perluasan pengertian keuangan negara yang dianut dalam UU KN tidak lagi menjadi polemik dalam pengeloaan keuangan PTN-BHPP. Pasal 38 UU BHP menegaskan bahwa semua pendapatan dan sisa hasil kegiatan BHPP yang diperoleh dari penggunaan kekayaan negara yang telah

43

(25)

dipisahkan sebagai kekayaan BHPP, tidak termasuk PNBP demikian juga dengan semua bentuk pendapatan BHPP yang diperoleh dari penggunaan tanah negara yang telah diserahkan penggunaannya kepada BHPP tidak termasuk PNBP. Pasal ini demikian melegakan bagi pimpinan PTN karena permasalahan PNBP sering menjadi temuan BPK.

Selama ini dana PNBP yang berasal dari mahasiswa, harus disetorkan terlebih dahulu ke kas Negara, kemudian PTN mengajukan permintaan kembali sehingga membutuhkan waktu lama dan proses panjang. Karena kebutuhan operasional PTN yang mendesak, rektor mengambil resiko ‘masuk bui’ daripada melawan kebutuhan dosen dan mahasiswa.44 Sedangkan terhadap dana operasional PTN BHPP yang berasal dari APBN tetap mengikuti aturan yang berlaku terhadap pengelolaan keuangan negara yang bersumber dari APBN, yang akan diuraikan dalam bab pembahasan permasalahan.

2. Landasan Konsepsional

Landasan konsepsional atau konstruksi secara internal di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Badan Hukum Pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal.45

44

Amri Rasyidin, Loc. cit 45

(26)

Badan Hukum Pendidikan (BHP) terdiri dari BHPP (BHP yang didirikan oleh pemerintah), BHPPD (BHP yang didirikan oleh pemerintah daerah), BHPM (BHP yang didirikan oleh masyarakat), dan BHP Penyelenggara (yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain yang sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan)46

b. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang didapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut;47

c. Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya yang mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan dan pertanggungjawabannya;48

d. Badan Hukum Milik Negara adalah Perusahaan Negara atau Badan Usaha Milik Negara yang seluruh atau sebahagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat yang tujuannya bersifat idiil dan nirlaba;49

46

Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

47

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 48

Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

49

Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum, (Depok, Fakultas Hukum Universiyas Indonesia, 2005), hal. 130.

(27)

e. Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencarikan keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsif efisiensi dan produktifitas;50

f. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atau Satuan kerja (Satker) serta disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara dan pencairan dana atas atas beban APBN serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah;51

g. Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;52

50

Pasal 1 Ayat (23) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 51

Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Menteri Keungan Republik Indonesia Nomor: 96/PMK.06/2005 tentang Petunjuk Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2006.

52

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dan lihat juga Pasal 23E, 23F, dan 23G Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

(28)

h. Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan;53

i. Perguruan Tinggi Negeri adalah perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen yang bertanggung jawab atas pendidikan tinggi;54

j. Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif dan transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.55

k. Kekayaan Negara yang tidak dipisahkan adalah kekayaan negara yang ada pada Departemen/Lembaga atau Badan Hukum pemerintah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau perolehan lainnya yang sah.56

l. Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN atau perolehan lainnya yang sah yang dijadikan penyertaan

53

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

54

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum.

55

Pasal 1 Ayat (11) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

56

Pusdiklat Keuangan Umum, Penatausahaan Kekayaan Negara Dipisahkan, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, 2007, hal. 7.

(29)

modal negara pada BUMN, BUMD atau badan hukum lainnya yang dimiliki Negara atau Daerah.57

m. Penyertaan Modal Negara adalah pengalihan kepemilikan Barang Milik Negara yang semula merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara pada BUMN, BUMD atau badan hukum lainnya yang dimiliki Negara atau Daerah.58

G. Metode Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.59 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganisisnya.60 Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.61 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.

57 Ibid. 58 Ibid., hal. 15. 59

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.

60

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6. 61

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

(30)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis perubahan status PTN menjadi BHPP dari sudut hukum pengelolaan keuangan negara berdasarkan asas-asas yang termuat di dalam hukum positip. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh karena itu dilakukan penelitian kepustakaan.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan Perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah, karya-karya ilmiah, dan lain lain.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu berbagai peraturan perundangan yang

berkaitan dengan Pendidikan Tinggi, Badan Hukum Pendidikan dan Pengelolaan Keuangan Negara, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait;

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau

(31)

pertemuan ilmiah lainnya, data-data dari internet, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini;62

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.63 Surat kabar dan majalah mingguan juga menjadi bahan penunjang dalam penelitian ini sepanjang memuat informasi yang relevan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh Pasal-Pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif

62

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hal. 24.

63

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1990), hal. 14-15.

(32)

untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.64

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan Pasal-Pasal terpenting yang berisi kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan sistem pengelolaan keuangan Badan Hukum Pendidikan akibat peralihan status hukumnya, kemudian membuat sistematika dari Pasal-Pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

64

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.

Referensi

Dokumen terkait

G RAY L EVEL C O -O CCURRENCE M ATRIX (GLCM) Metode GLCM (grey-level co-occurrence matrix) adalah salah satu cara mengekstrak fitur tekstur statistik orde

Simpangan baku(S) adalah nilai yang menunjukan tingkat variasi kelompok data atau ukuran standar penyimpangan dari nilai rata-ratanya... X = nilai rata-rata data n = jumlah data

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan frekuensi mual dan muntah berlebihan.. Deflsit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan

Hal-hal yang telah penulis kemukakan di atas mendorong penulis untuk mengambil judul skripsi “Pelaksanaan Perjanjian Medis Transplantasi Organ Tubuh antara

Agus Harjito dan Rangga Aryayoga mengemukakan, berdasarkan analisis yang telah dilakukan sebelumnya maka didapatkan beberapa hasil sebagai berikut: (1) Dari hasil

Gaya kepemimpinan disini merupakan suatu kegiatan dimana seorang pemimpin memberikan pengaruh kepada orang lain untuk bekerja sama secara sukarela tentang tugas-tugas

Perkawinan dilakukan sebagai bentuk kesepakatan bersama antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang kekal dan bahagia. Namun

Pembangunan sistem hukum nasional ini dilakukan dengan didasarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia sebagai titik dimulainya pembangunan sistem hukum