• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi bali termasuk Famili Bovidae, Genus Bos dan Subgenus Bibovine (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Sumber sapi bali murni di Indonesia adalah Pulau Bali. Sapi bali memiliki beberapa keunggulan yaitu: (1) tingkat kesuburan sangat tinggi, (2) merupakan sapi pekerja yang baik dan efisien, (3) dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi, (4) persentase karkas tinggi, (5) daging rendah lemak subkutan, (6) heterosis positif (penyimpangan penampilan yang diharapkan dari penggabungan dua sifat yang dibawa kedua tetuanya) yang tinggi (Pane, 1990).

Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang penting dan berperan dalam pengembangan industri ternak di Indonesia (Talib, 2002). Santosa dan Harmadji (1990) menyatakan bahwa dalam rangka penyebaran dan perbaikan mutu genetik sapi lokal, sapi bali menjadi prioritas karena sifatnya yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup yang baru (tidak selektif terhadap pakan) dan tingkat kelahiran yang tinggi. Pemilihan sapi bali menurut Mangkoewidjoyo (1990), memberikan keuntungan dalam usaha meningkatkan populasi sapi di Indonesia karena sapi bali sudah beradaptasi dengan lingkungan di daerah tropis.

Sapi bali memiliki warna bulu merah bata saat muda, tetapi pada jantan warna tersebut akan menjadi hitam setelah dewasa. Ciri-ciri khusus sapi bali adalah warna putih pada bagian pantat, pinggiran bibir atas, kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku serta pada bagian dalam telinga (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Sepanjang punggung terdapat bulu hitam yang membentuk garis tipis dari bagian belakang bahu hingga ke bagian ekor. Pada sapi bali jantan, bulu kemerahan di tubuh sapi akan menjadi gelap ketika umur mencapai 12-18 bulan. Sejalan dengan bertambahnya kedewasaan sapi jantan, bulunya akan berwarna kehitam-hitaman, namun garis hitam di sepanjang punggung masih tampak jelas (Talib, 2002). Warna kehitaman bulu sapi bali jantan disebabkan oleh hormon testosteron sehingga pada sapi bali jantan yang dikebiri, warna bulunya akan berubah

(2)

4 kembali menjadi coklat kemerah-merahan (Darmadja, 1990). Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan perbedaan antara sapi bali jantan dan betina.

Gambar 1. Sapi Bali Betina

Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan (2012)

Gambar 2. Sapi Bali Jantan

Sumber : Departemen Pertanian (2010)

Hasil penelitian Liwa (1990) menunjukkan tinggi pundak sapi bali jantan dewasa yaitu 116,31 cm dan sapi bali betina yaitu 105,97 cm di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Pane (1990) menyatakan berat rata-rata sapi bali jantan umur 2 tahun adalah 210 kg dan sapi bali betina memiliki berat rata-rata 170 kg pada umur 2 tahun. Lingkar dada sapi bali jantan 181,4 cm sedangkan sapi bali betina 160 cm. Bobot lahir anak sapi bali berdasarkan hasil penelitian Prasojo et al. (2010) yaitu antara 10,5 kg sampai dengan 22 kg dengan rata-rata 18,9±1,4 kg untuk anak sapi

(3)

5 jantan. Sementara anak sapi betina memiliki kisaran bobot lahir antara 13 kg sampai dengan 26 kg dengan rataan 17,9±1,6 kg. Penambahan bobot badan harian (PBBH) sapi bali pra-sapih antara 0,33 kg–0,48 kg, sedangkan PBBH pasca-sapih sebesar 0,20 kg-0,75 kg menurut hasil penelitian Panjaitan et al. (2003).

Daerah sumber bibit utama sapi bali berada di Bali, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan populasi maka Sulawesi Selatan memiliki populasi sapi bali terbesar di Indonesia (954.901 ekor menurut Badan Pusat Statistik tahun 2012). Sejarah penyebaran sapi bali di Sulawesi Selatan yaitu pada tahun 1927 sapi bali dimasukkan ke Sulawesi Selatan (Rampi) sebanyak 5 ekor dan berkembang biak hingga 50 ekor pada tahun 1940. Tahun 1947 sapi bali disebarkan ke propinsi ini secara besar-besaran. Sapi-sapi tersebut beserta sapi yang telah ada sebelumnya, menjadi sumber awal sapi bali di Sulawesi Selatan yang telah berkembang menjadi propinsi dengan jumlah sapi bali terbanyak di Indonesia. Bencana penyakit jembrana pada tahun 1964 di Bali yang terjadi secara besar-besaran menyebabkan sapi bali tidak boleh dikeluarkan lagi dari pulau Bali sebagai ternak bibit. Mulai saat itu sumber bibit sapi bali di Indonesia digantikan oleh NTT, Sulawesi Selatan dan NTB (Talib, 2002).

Produktivitas

Ball dan Peters (2004) menyatakan dalam produksi sapi potong, reproduksi yang baik sangat penting untuk efisiensi manajemen dan keseluruhan produksi. Reproduksi terbaik adalah seekor induk menghasilkan satu anak setiap tahun.

Reproduksi Sapi Bali

Reproduksi merupakan proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup dimulai dengan bersatunya sel telur betina dengan sel sperma jantan menjadi zigot yang disusul oleh kebuntingan kemudian diakhiri dengan kelahiran. Proses ini pada ternak dimulai setelah ternak jantan dan betina mengalami pubertas atau dewasa kelamin (Hardjopranjoto, 1995). Bearden et al. (2004) menjelaskan ada tiga tujuan reproduksi pada ternak yaitu : (1) mempertahankan spesies ternak dengan meng-hasilkan keturunan, (2) mengmeng-hasilkan makanan. Pemeliharaan ternak dilakukan oleh manusia untuk memperoleh produk seperti daging, susu dan lain-lain. Reproduksi

(4)

6 memungkinkan keberlanjutan rantai makanan tersebut dengan baik, (3) pengem-bangan genetik ternak yang memanfaatkan proses reproduksi alami ternak.

Efisiensi reproduksi yaitu ukuran kemampuan sapi betina untuk bunting dan menghasilkan anak hidup karena anak sapi merupakan produk utama. Hal tersebut menjadikan efisiensi reproduksi maksimal sangat penting dalam menentukan keuntungan usaha ternak sapi (Ball dan Peters, 2004). Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh angka kebuntingan (conception rate), jarak antar melahirkan (calving interval), jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period), angka perkawinan perkebuntingan (service per conception) dan angka kelahiran (calving rate).

Sapi bali yang kondisi badannya normal dan diberi kesempatan untuk kawin akan menunjukkan reproduksi maksimal yang diharapkan. Tingginya tingkat reproduksi sapi bali tersebut dapat terlihat dari selang beranak yang pendek mendekati satu tahun (Martojo, 1990). Pengelolaan reproduksi ternak yang baik sangat diperlukan agar diperoleh keuntungan yang besar. Faktor pengelolaan yang perlu mendapat perhatian menurut Hardjopranjoto (1995) yaitu : (1) pemberian pakan yang berkualitas baik dan cukup, (2) lingkungan yang mendukung perkembangan ternak, (3) tidak menderita penyakit khususnya penyakit menular kelamin, (4) tidak menderita kelainan anatomi alat kelamin yang bersifat menurun, (5) tidak menderita gangguan hormon khususnya hormon reproduksi.

Umur Berahi Pertama (Puberty). Berahi pertama atau pubertas didefinisikan sebagai waktu munculnya estrus pertama kali yang diikuti dengan ovulasi (Ball dan Peters, 2004). Awal pubertas pada ternak dapat terjadi lebih dini atau lebih lambat, tergantung pada bangsa, tingkatan makanan dan faktor lainnya (Salisbury dan VanDemark, 1985). Ternak yang dikawinkan pada saat estrus pertama atau pubertas, maka persentase kesulitan beranak akan tinggi. Toelihere (1979) menjelaskan bahwa pengaruh lingkungan menyebabkan estrus sering terjadi pada umur ternak yang masih muda sehingga apabila terjadi konsepsi maka akan berbahaya saat kelahiran karena tubuh induk belum berkembang.

Sapi umumnya akan mengalami pubertas saat mencapai 34% sampai 45% berat tubuh dewasa namun pengawinan tidak disarankan hingga betina mencapai

(5)

7 sekitar 55% berat dewasa. Sapi pedaging bangsa Eropa mencapai pubertas pada umur 10-15 bulan (Bearden et al., 2004). Toelihere (1979) menyatakan bahwa sapi mengalami pubertas antara umur 4 bulan sampai 24 bulan.

Kondisi makanan yang kurang baik di Indonesia menyebabkan pubertas terjadi pada umur yang lebih tua dibandingkan sapi bangsa Eropa. Sapi bali mengalami pubertas pada umur di atas 2 tahun (Toelihere, 1981a). Bearden et al. (2004) menjelaskan bahwa faktor genetik dan lingkungan akan mempengaruhi waktu terjadinya pubertas pada sapi. Umumnya, setiap faktor yang memperlambat pertumbuhan ternak akan menunda terjadinya pubertas. Faktor yang mempengaruhi waktu pubertas pada sapi menurut Ball dan Peters (2004) yaitu jenis ternak, nutrisi, bobot badan, musim serta kehadiran pejantan di sekitar betina. Faktor lain yang mempengaruhi pubertas menurut Toelihere (1979) adalah suhu lingkungan. Sapi dara yang ditempatkan di kandang terbuka dan berhubungan dengan udara luar akan estrus pertama pada umur 320 hari.

Umur Kawin Pertama (First Mating). Umur kawin pertama merupakan umur ternak ketika dikawinkan untuk pertama kalinya. Umur kawin pertama pada sapi yang dianjurkan yakni pada umur 14-22 bulan. Hal tersebut disebabkan hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan hingga pertumbuhan badannya memungkinkan kebuntingan dan kelahiran normal (Toelihere, 1979). Umur kawin pertama sapi dara sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan manajemen pertumbuhan dan perkembangan sapi (Salisbury dan VanDemark, 1985). Rata-rata umur kawin pertama sapi bali di Sulawesi Selatan berdasarkan penelitian Liwa (1990) adalah 33,4±4,7 bulan.

Hardjopranjoto (1995) menjelaskan waktu perkawinan yang tepat bagi hewan betina adalah faktor yang penting karena dapat menghasilkan keuntungan besar bagi peternak jika kebuntingan terjadi pada waktu yang tepat. Waktu pengawinan yang tepat bagi sapi dara yang baik pemeliharaannya yaitu pada umur 14-16 bulan. Sapi dara yang kurang baik pemeliharaannya sebaiknya dikawinkan pada umur 2-3 tahun. Sapi dara yang baru dikawinkan di atas 3 tahun cenderung mengalami penurunan prestasi reproduksi. Pengawinan sapi dara pada umur di atas 4 tahun cenderung terjadi siklus berahi yang tidak teratur, terbentuk kista ovarium dan gangguan reproduksi.

(6)

8 Service per Conception (S/C). Service per conception (S/C) atau yang seringkali disebut dengan jumlah perkawinan tiap konsepsi merupakan suatu konsep kuantitatif yang menggambarkan tingkat kesuburan ternak. Service per conception merupakan hal penting untuk menduga potensi fertilitas jantan baik melalui perkawinan alam maupun inseminasi buatan (Salisbury dan VanDemark, 1985).

Toelihere (1981) menyatakan nilai S/C 1,6 masih wajar pada sapi. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Ball dan Peters (2004) bahwa nilai S/C rata-rata sapi adalah 1,64 kali. Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa penyebab kawin berulang pada ternak adalah kegagalan pembuahan dan kematian embrio dini. Hasil penelitian Kadarsih (2004) terhadap sapi bali di daerah transmigrasi Bengkulu menunjukkan bahwa pada nilai S/C sapi bali pada dataran rendah sebesar 2,5 kali, daerah berbukit 1,85 kali dan dataran tinggi 2,1 kali. Fordyce et al. (2003) melaporkan bahwa kebuntingan sapi bali terjadi setelah dua kali perkawinan. Hal tersebut normal terjadi pada sapi-sapi di daerah tropis dan sekitar 30% disebabkan oleh kematian embrionik.

Umur Beranak Pertama (First Parturition). Beranak disebut juga proses kelahiran yang dimulai dengan pelunakan dan diawali pembesaran serviks yang kemudian diikuti dengan kontraksi uterus. Proses beranak diakhiri ketika janin dan membran plasenta dikeluarkan (Bearden et al., 2004). Dijelaskan Hardjopranjoto (1995) bahwa sapi dara yang dapat melahirkan anak sapi pertama pada umur 2 tahun akan memiliki masa laktasi dan jangka waktu bereproduksi lebih lama dibandingkan dengan sapi dara yang beranak pertama pada umur 3 tahun atau lebih.

Hasil penelitian Liwa (1990) terhadap sapi bali di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa rataan umur induk beranak pertama adalah 41,8±1,8 bulan. Gunawan et al. (2011) yang meneliti di pusat pembibitan sapi bali di Bali menyatakan umur beranak pertama sapi bali rata-rata 43,86 bulan yang dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi dalam pakan sedangkan menurut Talib et al. (2003), umur beranak pertama sapi bali di Sulawesi Selatan adalah pada umur 36 bulan (3 tahun).

Tingkat Kelahiran (Calving Rate). Tingkat kelahiran anak sapi merupakan ukuran yang paling sesuai untuk mengetahui kesuburan ternak. Anak sapi yang dihasilkan dapat digunakan baik sebagai pengganti induk maupun sebagai produk utama yakni

(7)

9 penghasil daging. Kondisi yang paling baik akan memungkinkan induk menghasilkan satu anak sapi per tahun (Ball dan Peters, 2004).

Hasil penelitian Pane (1990), tingkat kelahiran sapi bali di Sulawesi Selatan sebesar 76%, Nusa Tenggara Barat sebesar 72% dan Bali sebesar 69%. Calving rate sapi bali di Sulawesi Selatan sebesar 60,4% berdasarkan laporan Talib et al. (2003). Sariubang et al. (2009) menyatakan tingkat kelahiran sapi bali pada sistem pemeliharaan intensif sebesar 83,3% sedangkan sistem tradisional hanya sebesar 66,7%.

Ball dan Peters (2004) menjelaskan bahwa di bawah kondisi yang ideal sekalipun (dengan 100% sapi induk yang normal dan 100% efisiensi deteksi berahi), tingkat kelahiran tidak dapat mencapai 100%. Optimalnya hanya 60-70% pengawinan sapi betina yang akan dapat menghasilkan anak. Jumlah kegagalan pengawinan atau service yang di atas 50% harus memiliki alasan yang spesifik. Penyebab kegagalan tersebut dapat melibatkan interaksi antara genetik, lingkungan dan manajemen pemeliharaan ternak.

Berahi Setelah Beranak (Oestrus Postpartum). Sapi-sapi betina sebagian besar akan kembali berahi 21-80 hari sesudah melahirkan, dengan rata-rata 70 hari (Salisbury dan VanDemark, 1985). Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa setelah melahirkan, induk akan kembali menunjukkan gejala birahi antara minggu kedua sampai minggu kesepuluh walaupun uterus belum kembali normal atau involusi normal. Involusi uterus membutuhkan waktu 3-6 minggu setelah ternak beranak. Kesuburan induk akan kembali normal 40-60 hari pasca beranak.

Hasil penelitian Liwa (1990) menunjukkan jarak berahi kembali sesudah beranak sapi bali di Sulawesi Selatan, rata-rata 178,1±40,3 hari. Sariubang et al. (2009) yang meneliti sapi bali di Kabupaten Takalar menjelaskan bahwa pada sapi bali yang dipelihara secara intensif dengan pakan rumput segar, dedak dan jerami fermentasi, oestrus postpartum terjadi pada hari ke-81 setelah beranak. Sapi bali yang dipelihara secara tradisional oestrus postpartum-nya lebih lama yaitu 107 hari setelah beranak. Gejala estrus sebenarnya sudah mulai terlihat 40–60 hari setelah beranak akan tetapi estrus yang disertai pembuahan (kebuntingan) terjadi lebih cepat pada induk sapi yang mendapat pakan yang lebih baik dan dipelihara intensif, dibandingkan sapi bali yang dipelihara secara tradisional.

(8)

10 Selang Beranak (Calving Interval). Selang beranak adalah jarak waktu antara satu kelahiran ke kelahiran atau beranak selanjutnya. Jarak beranak sangat dipengaruhi waktu oestrus postpartum (berahi kembali setelah beranak) maupun days open (masa kosong atau saat sapi betina tidak bunting), yaitu semakin besar days open maka jarak beranak juga semakin panjang (Romjali dan Rasyid, 2007).

Selang beranak yang lebih singkat akan menyebabkan tingkat kelahiran yang lebih tinggi di tahun-tahun berikutnya. Selang beranak sapi bali rata-rata 360,93 hari (Gunawan et al., 2011). Bamualim dan Wirdahayati (2003) melaporkan bahwa rata-rata selang beranak sapi bali adalah 15,7±1,8 bulan. Penelitian Romjali dan Rasyid (2007) menunjukkan selang beranak sapi bali adalah rata-rata 388,6 hari sedangkan hasil penelitian Sutan (1988) adalah 444,46 hari. Sutan (1988) juga menambahkan bahwa faktor yang mempengaruhi selang beranak adalah service per conception, jarak antara melahirkan terdahulu dengan kawin pertama setelah bunting, dan lama kebuntingan.

Kematian Anak (Calf Mortality). Hasil penelitian Liwa (1990) di Sulawesi Selatan menunjukkan kematian anak sapi bali dibawah umur 1 tahun sebesar 8,3%. Hal tersebut sejalan dengan Talib et al. (2003) yang menyatakan tingkat kematian anak sapi bali atau calf mortality di Sulawesi Selatan sebesar 8% dan Gunawan et al. (2011) sebesar 7,58%. Kematian anak sapi bali hasil penelitian Kadarsih (2004) menunjukkan di dataran rendah sebesar 9,02%, daerah berbukit 3,20%, dan daerah pegunungan sebesar 6,43%. Kematian anak sapi lebih tinggi di daerah dataran rendah. Penyebabnya diduga karena manajemen dan stres pada ternak.

Penelitian Sariubang et al. (2009) di Kabupaten Takalar menunjukkan pemberian rumput segar dan pakan tambahan berupa dedak padi dan jerami fermentasi pada sapi bali menunjukkan tingkat kematian anak 0%. Sementara itu, sapi bali yang hanya digembalakan tanpa pemberian pakan tambahan tingkat kematian anak mencapai 14%. Kematian anak sapi yang tinggi tersebut disebabkan kekurangan gizi terutama vitamin dan mineral sehingga anak sapi lahir cacat ataupun lemah. Gunawan et al. (2011) menyatakan bahwa sifat keindukan yang rendah dan manajemen dapat menjadi penyebab tingginya jumlah kematian anak sapi bali. Musim kering dimana sumber pakan kualitasnya rendah juga menjadi faktor penyebab karena akan mempengaruhi produksi susu induk.

(9)

11 Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Kapasitas suatu wilayah dalam penyediaan pakan ternak dapat dianalisis dengan metode KPPTR sebagai suatu pendekatan sehingga diketahui potensi wilayahnya. Kaidah kesetaraan dan nilai asumsi Nell dan Rollinson (1974) digunakan dalam metode ini. Potensi tersebut dapat dinyatakan dalam nilai potensi (ton/BK/tahun) atau nilai riil yakni jumlah unit ternak (animal unit) yang dapat ditampung di wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya dapat pula diketahui kapasitas peningkatan populasi ternak di suatu wilayah peternakan apabila populasi ternak ruminansia diketahui (Nell dan Rollinson, 1974).

Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats)

Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi dengan berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) dan disaat yang bersamaan meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Perencanaan strategis harus menganalisis faktor-faktor tersebut, merumuskan dan mengevaluasi strategi dalam kondisi saat ini, hal ini yang disebut analisis situasi (Rangkuti, 1997). Analisis situasi menyangkut data dari berbagai faktor baik yang berpengaruh positif atau negatif serta peluang untuk mengembangkannya di masa yang akan datang (Fletcher, 1990). Model yang paling popular dalam analisis situasi adalah analisis SWOT.

Gambar

Gambar 1.  Sapi Bali Betina

Referensi

Dokumen terkait

Prototype Pengembangan Sistem Informasi Koperasi Simpan (Dani Anggoro) | 40 Anggota dan staf koperasi login ke website koperasi, memilih laporan yang diinginkan,

Dapat dilihat di tabel III.17, waktu mulai mulai produksi PT BIENSI adalah tanggal 12 bulan 12 tahun 2016 pukul 09.25, waktu tersebut adalah waktu selesai dari proses pertama

Hal tersebut mengandung arti bahwa semakin besar sikap atau tindakan manajemen (didukung oleh tindakan manajemen yang menutupi kecurangan, serta melakukan pemalsuan terhadap

Dilan- Evet, gideceğimiz yerin yerel zaman birimiyle on bin yıl kadar önceydi, yeni ekimler yapmıştık, daha sonra başka görevlilerin gittiğini duydum; ama

Sejalan dengan penjelasan diatas Azhar (2010) mengemukakan peranan komputer sebagai media pembelajaran secara umum mengikuti proses pembelajaran adalah sebagai

Anda harus mencantumkan sumber bahwa teks tersebut disalin dari Wikipedia dan menggunakan lisensi yang sama dengan lisensi yang digunakan oleh.. Wikipedia: Creative

Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan, Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar Mengajar , (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm.184.. melakukan penilaian, pengawasan dan

Hasil penelitian yang diperoleh adalah pertama pendistribusian dana zakat di Lembaga Manajemen Infaq didistribusikan kepada semua golongan mustahiq kecuali