• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bawang Putih (Allium sativum L. )

Menurut Syamsiah dan Tajudin, (2003). Klasifikasi bawang putih, yaitu :

Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Liliales

Suku : Liliaceae Marga : Allium

Jenis : Allium sativum

Tumbuhan Bawang putih (Allium sativum L.) adalah tanaman yang berasal dari Asia Tengah, diantaranya Cina dan Jepang yang beriklim subtropik. Dari sini bawang putih menyebar ke seluruh Asia, Eropa, dan akhirnya ke seluruh dunia. Di Indonesia dikenal dengan banyak nama pada setiap daerahnya seperti lasun (Aceh), bawang bodas (Sunda), bawang handak (Lampung) Bawang putih merupakan tanaman herba parenial yang membentuk umbi lapis.

Bawang putih herba semusim berumpun yang mempunyai ketinggian sekitar 60 cm. Tanaman ini banyak ditanam di ladang-ladang di daerah pegunungan yang cukup mendapat sinar matahari.

Secara klinis, bawang putih telah dievaluasi manfaatnya dalam berbagai hal, termasuk sebagai pengobatan untuk hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, rheumatoid arthritis, demam atau sebagai obat pencegahan atherosclerosis, dan juga sebagai penghambat tumbuhnya tumor. Banyak juga terdapat publikasi yang menunjukan bahwa bawang putih memiliki potensi farmakologis sebagai agen antibakteri, antihipertensi dan antitrombotik (Majewski, 2014).

(2)

Bawang putih memiliki setidaknya 33 komponen sulfur, beberapa enzim, 17 asam amino dan banyak mineral, contohnya selenium. Bawang putih memiliki komponen sulfur yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies Allium lainnya.

Allicin (diallyl thiosulfinate) merupakan salah satu komponen biologis yang paling aktif yang terkandung dalam bawang putih. Komponen ini bersamaan dengan komponen sulfur lain yang terkandung dalam bawang putih berperan pula memberikan bau yang khas pada bawang putih juga memberi aktivitas antibakteri (Londhe,2011). Allicin tidak ada pada bawang putih yang belum dipotong atau dihancurkan (Majewski, 2014).

Berdasarkan Martha Elselina dan Mia Miranti (2005) untuk menguji kandungan metabolit sekunder menggunakan metode uji fitokimia yang dilakukan pada tiga ekstrak, yaitu ekstrak murni, ekstrak air dan ekstrak etanol diketahui bahwa di dalam ekstrak bawang putih terdapat golongan senyawa bioaktif. Golongan senyawa yang diuji antara lain uji flavonoid, tanin, saponin, alkaloid.

Tabel 1. Hasil uji fitokimia ekstrak bawang putih Martha Elselina dan Mia Miranti , (2005).

Kandungan zat Murni Air Etanol Keterangan

Flavonoid - - - umum terdapat pada tumbuhan

yang mengandung zat warna.

Tanin + + + bereaksi dengan protein

membentuk kopolimer yang tidak larut dalam air

Saponin + + + Terbentuk busa

Alkaloid + + + umum terkandung pada berbagai

bahan makanan

Alkaloid umum terkandung pada berbagai bahan makanan (Sadikin, 2002). Beberapa jenis tumbuhan yang mengandung lebih dari 50 macam alkaloid antara lain dari suku Liliaceae. Bawang putih termasuk ke dalam suku Liliaceae yang kaya akan kandungan alkaloid. Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang

(3)

mengandung satu atau lebih atom nitrogen. Alkaloid seringkali beracun dan sering digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne, 1996).

Tanin biasa terdapat pada tumbuhan berpembuluh. Zat ini mampu bereaksi dengan protein membentuk kopolimer yang tidak larut dalam air. Keberadaan tannin dalam sel mengganggu penyerapan protein oleh cairan tubuh karena menghambat proteolitik menguraikan protein menjadi asam amino (Harborne, 1996).

Saponin adalah kemampuan pembetukkan busa dari suatu ekstrak tumbuhan. Kadar saponin yang tinggi dalam tumbuhan membuat ekstrak alkohol-air sukar pekat. Saponin mampu menghemolisis sel darah (Harborne, 1996).

Flavonoid yang tidak terdapat pada ekstrak bawang putih ini diduga tidak terdeteksi dalam ekstrak. Hal ini dapat terjadi karena zat ini jarang terdapat tunggal dalam tumbuhan Selain itu, flavonoid umum terdapat pada tumbuhan yang mengandung zat warna. Pada bawang putih yang tidak berwarna, mungkin saja flavonoid ini tidak terdapat (Harborne, 1996).

B. Jerawat

Acne vulgaris merupakan sebuah gangguan yang umum terjadi karena inflamasi kronis dari bagian pilosebasea yang umumnya diawali dengan terbentuknya mikrokomedo. Lokalisasi dari acne vulgaris berada pada daerah wajah, terutama pada remaja yang berimbas signifikan pada usia remaja. Meskipun bersifat self-limiting, tetapi acne vulgaris dapat bertahan selama bertahun-tahun dan dapat mengakibatkan luka pada kulit dan pembentukan jaringan parut (Depiro et al., 2008).

Keadaan premenstruasi umumnya dapat memperburuk acne vulgaris. Kosmetik dengan dasar minyak, minyak rambut dan pelembab juga dapat memicu terjadinya acne vulgaris. Selain itu, kondisi panas dan lembab yang

(4)

merangsang pengeluaran keringat juga dapat memperparah acne vulgaris (Dipiro et al., 2008).

Cara pengobatan jerawat menurut Wasitaatmadja (1997) dapat dilakukan 3 cara :

1. Pengobatan topikal

Pengobatan topikal dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo, menekan peradangan, dan mempercepat penyembuhan lesi. Penggunaan obat topikal diantaranya dengan bahan iritan yang dapat mengelupas kulit, kortikosteroid topikal atau suntikan intralesi untuk mengurangi radang yang terjadi.

2. Pengobatan sistemi

Pengobatan sistemik ditujukan untuk menekan pertumbuhan jasad renik, mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum, dan mempengaruhi perkembangan hormonal. Pengobatannya dengan memberikan golongan obat sistemik yang terdiri atas antibiotik (tetrasiklin, eritromisin atau klimdamisin) dan obat hormonal yang dapat menekan produksi androgen (etinil estradiol dan antiandrogen siproteron).

3. Bedah kulit

Tindakan bedah kulit kadang-kadang diperlukan terutama untuk memperbaiki jaringan parut yang timbul akibat jerawat vulgaris yang meradang. Tindakan dapat dilaksanakan setelah jerawat sembuh dengan cara bedah listrik, bedah kimia, bedah beku, bedah pisau, dermabrasi atau bedah laser.

C. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut. Jadi ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi tanaman obat dengan ukuran partikel tertentu dan menggunakan medium pengekstraksi (menstrum) tertentu pula. Ekstraksi dapat dilakukan menurut berbagai cara. Ekstraksi tanaman obat adalah

(5)

pemisahan secara fisika maupun kimia suatu/sejumlah bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman obat.

Menurut Voight (1995) pada dasarnya terdapat dua prosedur untuk membuat sediaan obat tumbuhan, salah satunya yaitu dengan cara ekstraksi. Cara ekstraksi yaitu bahan yang telah dikeringkan dan dihaluskan, diproses dengan suatu cairan pengekstraksi. Jenis ekstraksi yang digunakan tergantung dari kelarutan bahan yang terkandung dalam tanaman serta stabilitasnya. Menurut Harborne (1987), ekstraksi yang tepat tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diekstraksi.

Proses ekstraksi merupakan proses penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dengan zat yang diinginkan larut (Voight, 1995). Kandungan kimia dari suatu tanaman yang berkhasiat obat umumnya mempunyai sifat kepolaran yang berbeda-beda, serta perlu untuk memisahkan secara selektif menjadi sekelompok-kelompok tertentu. Serbuk simplisia diekstraksi berturut-turut dengan pelarut yang berbeda polaritasnya (Harbone,1987). Maserasi

Maserasi berasal dari bahasan latin macerace yang artinya merendam. Proses ini merupakan cara paling tepat karena obat yang sudah halus memungkinkan untuk direndam dalam menstrum sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Voight, 1995). Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif dan zat aktif akan larut (Anonim, 1986).

Pembuatan ekstrak dengan cara maserasi mengikuti syarat Farmakope edisi III, yaitu bahan tumbuhan dihaluskan dengan cara dipotong-potong atau diserbukkan, kemudian disatukan dengan bahan pengekstraksi. Semakin kecil ukuran partikel dari bahan, maka akan semakin mudah cairan pengekstrak menarik senyawa kimia yang terkandung dalam bahan tersebut.

(6)

Tanaman obat ditempatkan pada wadah bermulut lebar, bersama

menstrum yang telah ditetapkan, kemudian bejana ditutup rapat, dan isinya

dikocok berulang-ulang selama 2-14 hari, namun maserasi sudah memadai selama 5 hari (Voight, 1995). Metode ini tidak menggunakan pemanasan, sehingga zat aktif yang terkandung di dalam simplisia tidak rusak. Selama maserasi zat disimpan dan terlindung dari cahaya langsung untuk mencegah reaksi perubahan warna. Kerugian dari ekstraksi dengan maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyarian kurang sempurna. Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.

D. Sabun Padat 1. Definisi Sabun

Sabun definisikan sebagai garam dari logam alkali, biasanya Natrium dan Kalium, dari asam lemak. Ketika asam lemak disaponifikasi oleh logam Natrium maupun Kalium maka akan berbentuk garam yang disebut sabun ( Barel et al, 2009).

Secara umum Sabun oleh masyarakat merupakan keperluan penting di dalam rumah tangga sebagai alat pembersih dan pencuci. Sabun obat adalah garam yang berasal dari suatu asam lemak tinggi yang bereaksi dengan alkali dan ditambah dengan zat kimia, bahan obat yang berguna untuk mencegah, mengurangi ataupun menghilangkan/menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit pada kulit (Lubis, 2003).

Sabun termasuk salah satu golongan deterjen karena mempunyai sifat menurunkan tegangan permukaan suatu zat, bila sabun dipakai membersihkan sesuatu harus dengan menggunakan air untuk melarutkannya, sambil membuat busa dan mengadakan emulsifikasi dan kotoran yang menempel di kulit. Tetapi bila dengan air sadah sabun tidak dapat berbusa, bahkan sabun akan membentuk garam-garam kapur dan magnesium yang tidak larut air (Rostamailis, 2005).

(7)

2. Klasifikasi Sabun a. Sabun cair

Dibuat dari minyak kelapa dan Alkali yang digunakan KOH. Bentuk cair dan tidak mengental pada suhu kamar.

b. Sabun lunak

Dibuat dari minyak kelapa/minyak kelapa sawit dan minyak tumbuhan yang tidak jernih. Alkali yang digunakan KOH Seperti pasta dan sangat mudah larut

c. Sabun keras

Dibuat dari lemak netral yang padat atau dari minyak yang dikeraskan dengan proses hidrogenasi. Asam lemaknya jenuh dan mempunyai BM tinggi. Alkali yang digunakan NaOH Sukar larut dalam air (Libis,003).

3. Prinsip Kerja Sabun

Sabun berfungsi untuk memindahkan kotoran dari permukaan seperti kulit, lantai, atau kain. Kotoran biasanya merupakan campuran dari bahan berlemak dan partikel padat. Lemak dapat berupa sebum yang dihasilkan oleh kulit, dan bertindak sebagai pengikat kotoran yang baik, misalnya terhadap debu (Parasuram KS, 1995).

Untuk membersihkan kotoran yang berupa minyak, pembilasan dengan air saja tidak cukup. Dibutuhkan zat lain untuk menurunkan tegangan antar muka antara minyak dengan air. Dengan adanya sifat surfaktan pada sabun, terjadi proses emulsifikasi sehingga bagian yang polar (hidrofilik) berikatan dengan air dan bagian non polar (lipofilik) berikatan dengan minyak. Bagian non polar dari sabun memecah ikatan antar molekul minyak sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan. Akibatnya air dapat menyebar membasahi seluruh permukaan dan mengangkat kotoran (Wasiaatmadja S,M. 1997 dan Brady JE. 1999).

(8)

4. Sabun Padat

Sabun adalah garam alkali karboksilat (RCOONa).Gugus R bersifat hodrofobik karena bersifat nonpolar dan COONa bersifat hidrofilik (polar). Proses yang terjadi dalam pembuatan sabun disebut sebagai saponifikasi (Girgis, 2003). Kedua gugus tersebut dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga sabun dapat mengikat kotoran berupa minyak atau lemak yang menempel di kulit (Ghaim dan Elizabeth, 1995). Sabun merupakan salah satu produk kosmetik yang perlu digunakan dalam rumah tangga, yang dihasilkan dari reaksi antara minyak dan atau lemak dengan basa KOH atau NaOH (Kumaunang, 2012). Sabun padat memiliki kekerasan yang akan memberikan busa yang cukup (yaitu, perilaku sebagai agen pembusa), untuk meningkatkan kemampuan membersihkan dari sabun (Brown et al., 2011). Sabun merupakan senyawa natrium dengan asam lemak yang digunakan sebagai bahan pembersih tubuh, berbentuk padat, busa, dengan atau tanpa zat tambahan lain serta tidak menimbulkan iritasi pada kulit.

Gambar 1. Reaksi saponifikasi 5. Proses Pembuatan Sabun

proses pembuatan sabun, yaitu proses saponifikasi trigliserida, netralisasi asam lemak dan proses saponifikasi metil ester asam lemak. Perbedaan antara tiga proses ini terutama disebabkan oleh senyawa impuritis yang ikut dihasilkan pada pembentukan sabun.

Proses saponifikasi trigliserida merupakan proses yang paling terkenal diantara proses yang ada, karena bahan baku yang digunakan untuk proses ini mudah diperoleh, dahulu digunakan lemak hewan sekarang telah digunakan minyak nabati. Pada saat ini telah digunakan proses saponifikasi trigliserida (Kubis, 2009). Pada reaksi saponifikasi, larutan alkali kuat (misalnya natrium hidroksida) akan mengubah minyak

(9)

dan lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak lalu bereaksi dengan alkali kuat menghasilkan garam asam lemak yaitu sabun dan gliserol.

6. Syarat Mutu Sabun padat

Tabel 2. Syarat mutu sabun padat (Standar Nasional Indonesia 06-3532-1994)

No. Jenis Uji Satuan Peryataan Mutu

1 Kadar air dan zat menguap pada 105ºC

% Mak 15

2 Jumlah asam lemak % Min 7

3 Fraksi tak tersabunkan % Min 70

4 Bagian tak larut dalam alkohol % Maks 2,5

5 Alkali bebas dihitung sebagai NaOH

% Maks 0,1

6 Kadar Minyak Mineral % negatif

7. Metode Pembuatan Sabun

Metode pembuatan sabun ada beberapa cara, antara lain sebagai berikut : a. Metode Panas (full boiled)

Secara umum proses ini melibatkan reaksi saponifikasi dengan menggunakan panas yang menghasilkan sabun dan membebaskan gliserol. Tahap selanjutnya dilakukan pemisahan dengan penambahan garam (salting out), kemudian akan terbentuk 2 lapisan yaitu bagian

atas merupakan lapisan sabun yang tidak larut didalam air garam dan lapisan bawah mengandung gliserol, sedikit alkali dan pengotor-pengotor dalam fase air (Anonim, 2008 ).

b. Metode Dingin

Cara ini merupakan cara yang paling mudah untuk dilakukan dan tanpa disertai pemanasan. Namun cara ini hanya dapat dilakukan terhadap minyak yang pada suhu kamar memang sudah berbentuk cair. Minyak dicampurkan dengan larutan alkali disertai pengadukan terus menerus hingga reaksi saponifikasi selesai. Larutan akan menjadi sangat menebal dan kental. Selanjutnya dapat ditambahkan pewarna, pewangi dan zat tambahan lain. Berbeda dengan fully-boiled

(10)

process, gliserol yang terbentuk tidak dipisahkan.Ini menjadi suatu nilai tambah tersendiri kerena gliserol merupakan humektan yang dapat memberikan kelembaban. Lapisan gliserol akan tertinggal pada kulit sehingga melembabkan kulit. Proses pembuatan sabun secara dingin dikenal menghasilkan kualitas sabun yang tahan lama. Sabun dari minyak kelapa dapat dibuat dengan proses ini (Srivasta,SB.,1974).

c. Metode Semi-Panas (semi boiled)

Teknik

ini merupakan modifikasi dari cara dingin. Perbedaannya hanya terletak pada pengggunaan panas pada temperatur70-80o C. Cara ini memungkinkan pembuatan sabun dengan menggunakan lemak bertitik leleh lebih tinggi (Anonim,2008). Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode pembuatan sabun padat semi panas. Metode ini dipilih karena pada umumnya pembuatan sabun dengan menggunakan minyak lemak bertitik leleh tinggi dibuat melalui proses semi panas. Selain itu metode semi panas dipilih karena pada proses ini tidak dilakukan pemisahan gliserol, seperti pada metode panas. Gliserol disini dibutuhkan dalam sabun padat karena dapat melembabkan kulit.

8. Uraian Bahan

a. Ekstak Etanol Bawang Putih

kandungan kimia dalam bawang putih adalah Allicin merupakan salah satu komponen biologis yang paling aktif yang terkandung dalam bawang putih. Ekstrak Etanol bawang putih berfungsi sebagai zat aktif yang memiliki khasiat sebagai antibakteri.

b. Minyak Kelapa

Minyak kelapa adalah minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan endosperm kering co-cos nucifera L.

(11)

Fungsi : zat tambahan

Pemerian : tidak berwarna atau kuning pucat ,bau khas,tidak tengik.

Kelarutan : larut dalam 2 bagian etanol (95%) pada suhu 60º C, sangat mudah larut dalam kloroform P dan dalam eter P pada suhu lebur 23 sampai 26 (Depkes RI, 1979).

c. Minyak Zaitun

Minyak zaitun adalah minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan dingin biji masak Olea europaea L.

Pemerian : cairan kuning pucat atau kuning kehijauan, bau lemah, tidak tengik, rasa khas. Pada suhu rendah sebagian atau seluruhnya membeku.

Kelarutan : sukar larut dalam etanol 95%, mudah larut dalam kloroform P, dalam eter minyak tanah (Depkes RI, 1979).

d. Asam Stearat

Asam strearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari lemak,sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat, C18H36O2, C16H32 dan heksadekanoat.

Fungsi : Pengemulsi, surfaktan, mengeraskan sabun dan menstabilkan busa

Pemerian : zat padat keras mengkilat menunjukan susunan hablur, putih atau kuning pucat.

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air,larut dalam 20 bagian etanol (95%)P,dalam 2 bagian kloroform P dan 3 bagian eter P (Depkes RI, 1979).

e. NaOH

Pemerian : kuning kehijauan,pucat,bau klor,teruarai oleh cahaya. Khasiat : sebagai pereaksi murni

Kelarutan : larut dalam air,mengandung tidak kurang dari 10,0 % b/v dan tidak lebih dari 16,0 % b/v cl (95%) (Depkes RI, 1979).

(12)

f. Trietanolamin (TEA)

Pemerian : Berwarna sampai kuning pucat, cairan kental. Kelarutan : bercampur dengan aseton, dalam benzene 1 : 24,

larut dalam kloroform, bercampur dengan etanol. Konsentrasi : 2-4%

Kegunaan : Zat pengemulsi

OTT : akan bereaksi dengan asam mineral menjadi bentuk garam kristal dan ester dengan adanya asam lemak tinggi.

Stabilitas : TEA dapat berubah menjadi warna coklat dengan paparan udara dan cahaya

g. Gliserin

Pemerian : cairan sirup jernih,tidak berwarna,tidak berbau, manis diikuti rasa hangat. Higroskopik jika disimpan beberapa lama pada suhu rendah dapat memadat membentuk masa hablur tidak berwarna yang tidak melebur hingga suhu lebih kurang dari 20º C.

Khasiat : humektan

Kelarutan : dapat campur dengan air dan dengan etanol (95%) P,praktis tidak larut dalam kloroform, dalam eter, dan dalam minyak lemak (Depkes RI, 1979).

E. Bakteri

Nama bakteri berasal dari bahasa yunani “bacterion” yang berarti batang atau tongkat. Sekarang nama itu dipakai untuk menyebut sekelompok mikroorganisme bersel satu, tubuhnya prokariotik, yaitu terdiri atas sel yang tidak mempunyai pembungkus inti. Bakteri berkembang biak dengan membelah diri, karena bakteri sangat kecil maka hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Bakteri walaupun bersel satu tetapi mempunyai beberapa organel yang dapat melaksanakan beberapa fungsi hidup

(13)

1. Propionibacterium acnes Divisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Bangsa : Eubacteriales Suku : Propionibacteriaceae Marga : Propionibacterium

Jenis : Propionibacterium acne (Irianto,2006)

Propionibacterium acne adalah termasuk gram-positif berbentuk

batang, tidak berspora, tangkai anaerob di temukan dalam spesimen-spesimen klinis. Propionibacterium acne adalah salah satu bakteri yang menyebabkan timbulnya jerawat. Bakteri ini akan mengeluarkan endotoksinnya kedalam jaringan kulit yang akan menimbulkan peradangan dan bernanah. organisme utama yang pada umumnya memberi kontribusi terhadap terjadinya jerawat.

Propionibacterium acne pada umumnya tumbuh sebagai anaerob

obligat, beberapa strain/jenis adalah aero toleran, tetapi tetap menunjukkan pertumbuhan lebih baik sebagai anaerob. (Irianto, 2006).

2. Staphylococcus epidermidis

Sistematika bakteri Staphylococcus epidermidis menurut Irianto (2006) adalah sebagai berikut:

Divisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Bangsa : Eubacteriales Suku : Micrococaceae Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus Epidermidis merupakan bakteri gram positif,aerob

atau anaerob 0,8-1,0 µm tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna putih bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 37. Koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat halus, menonjol, berkilau, tidak

(14)

menghasil pigmen, berwarna putih porselen sehingga Staphylococcus

epidermidis disebut staphylococcus albus, koagulasi-negatif dan tidak

meragi manitol (Jawetz et al,2001).

Staphylococcus epidermidis terdapat pada kulit, selaput

lendir,bisul,dan lika. Dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang baik dan menyebar luas dalam jaringan (Jawetz et al,2001).

F. Cara kerja Antibakteri

Zat antimikroba dalam melakukan efeknya, harus dapat mempengaruhi bagian-bagian vital sel seperti membran sel, enzim-enzim dan protein struktural. Pelczar (1988) menyatakan bahwa mekanisme kerja zat antimikroba dalam melakukan efeknya terhadap mikroorganisme adalah sebagai berikut:

1. Merusak Dinding Sel

Pada umumnya bakteri memiliki suatu lapisan luar yang kaku disebut dinding sel (peptidoglikan). Sintesis dinding sel ini melibatkan sejumlah langkah enzimatik yang banyak diantaranya dihalangi oleh antimikroba. Rusaknya dinding sel bakteri misalnya karena pemberian enzimlisosim atau hambatan pembentukanya oleh karena obat antimikroba, dapat menyebabkan sel bakteri lisis. Kerusakan dinding sel akan berakibat terjadinya perubahan-perubahan yang mengarah pada kematian sel karena dinding sel berfungsi sebagai pengatur pertukaran zat-zat dari luar dan kedalam sel, serta memberi bentuk sel.

2. Mengubah Permeabilitas Membran sel.

Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh selaput yang disebut membran sel yang mempunyai permeabilitas selektif, membran ini tersusun atas fosfolipid dan protein. Membran sel berfungsi untuk mengatur keluar masuknya zat antar sel dengan lingkungan luar,

(15)

melakukan pengangkutan zat-zat yang diperlukan aktif dan mengendalikan susunan dalam diri sel. Proses pengangkutan zat-zat yang diperlukan baik ke dalam maupun keluar sel dimungkinkan karena di dalam membran sel terdapat enzim protein untuk mensintesis peptidoglikan komponen membran luar. Dengan rusaknya dinding sel, bakteri secara otomatis akan berpengaruh pada membrane sitoplasma, beberapa bahan antimikroba seperti fenol, kresol, detergen dan beberapa antibiotik dapat menyebabkan kerusakan pada membrane sel, bahan-bahan ini akan menyerang dan merusak membran sel sehingga fungsi semi permeabilitas membran mengalami kerusakan. Kerusakan pada membran sel ini akan mengakibatkan terhambatnya sel atau matinya sel.

3. Kerusakan Sitoplasma.

Sitoplasma atau cairan sel terdiri atas 80% air, asam nukleat, protein, karbohidrat, lipid, ion anorganik dan berbagai senyawa dengan bobot molekul rendah. kehidupan suatu sel tergantung pada terpeliharanya molekul-molekul protein dan asam nukleat dalam keadaan alamiahnya. Konsentrasi tinggi beberapa zat kimia dapat mengakibatkan kuagulasi dan denaturasi komponen-komponen seluler yang vital.

4. Menghambat Kerja Enzim

Di dalam sel terdapat enzim dan protein yang membantu kelangsungan proses-proses metabolisme, banyak zat kimia telah diketahui dapat mengganggu reaksi biokimia misalnya logam-logam berat, golongan tembaga, perak, air raksa dan senyawa logam berat lainnya umumnya efektif sebagai bahan antimikroba pada konsentrasi relatif rendah. Logam-logam ini akan mengikat gugus enzim sulfihidril yang berakibat terhadap perubahan protein yang terbentuk. penghambatan ini dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel.

(16)

5. Menghambat Sintesis Asam Nukleat Dan Protein

DNA, RNA dan protein memegang peranan amat penting dalam sel, beberapa bahan antimikroba dalam bentuk antibiotik misalnya kloramfenikol, tetrasiklin, prumysin menghambat sintesis protein. Sintesis asam nukleat dapat dihambat oleh senyawa antibiotik misalnya mitosimin. Bila terjadi gangguan pada pembentukan atau pada fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan total pada sel.

Potensi pengukuran antimikroba menurut Rita (2010) :

Tabel 3. potensi pengukuran antimikroba

Diameter Zona Hambat (mm) Aktivitas

20 atau lebih 10-20 5-10 Kurang dari 5 Sangat kuat Kuat Sedang Lemah

G. Pengujian Aktivitas Antibakteri

Metode yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri. a. Metode difusi agar

Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk menguji aktivitas antimikroba, metode difusi dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu metode silinder, kertas cakram, dan lubang (cup plat). Kerjanya dengan mengamati daerah yang bening, yang mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh antimikroba pada permukaan media agar (Dwidjoseputro, 2005).

1. Cara silinder plat

Metode silinderyaitu meletakkan beberapa silinder yang terbuat dari gelas atau besi tahan karat di atas media agar yang telah diinokulasi dengan bakteri. Tiap silinder ditempatkan sedemikian rupa hingga berdiri di atas media agar, diisi dengan larutan yang akan diuji dan diinkubasi. Setelah diinkubasi,

(17)

pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan di sekeliling silinder (Dwidjoseputro, 2005).

2. Cara cakram

Cakram kertas yang berisi antibiotik atau sampel diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut.

3. Cara cup plat

Cara ini juga sama dengan cara cakram, dimana dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi antibiotik yang akan di uji.

b. Metode dilusi

Metode ini mengukur MIC (minimum inhibitory concentration atau kadar minimum, KHM) dan MBC (minimum bactericidal

concentration atau kadar bunuh minimum, KBM). Caranya dengan

membuat pengenceran antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji antibiotik pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun antibiotik, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Dwidjoseputro, 2005).

Gambar

Tabel  1.  Hasil  uji  fitokimia  ekstrak  bawang  putih  Martha  Elselina  dan  Mia  Miranti , (2005)
Tabel 2. Syarat mutu sabun padat  (Standar Nasional Indonesia 06-3532-1994)
Tabel 3. potensi pengukuran antimikroba

Referensi

Dokumen terkait

sinkronisasi kegiatan statistik yang diselenggarakan pemerintah dan swasta, dalam kerangka Sistem Statistik Nasional (SSN) yang efektif dan efisien. Strategi ini

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh tumpangsari dengan jarak tanam yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bahan kering tajuk legum tarum, dan produksi total

Berdasarkan jenis bullying, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sampel anak perilaku bullying jenis fisik merupakan perilaku yang paling banyak terjadi, sedangkan

Rumah Sakit Umum Daerah sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul perlu dioptimalkan fungsinya dengan menetapkan RSUD sebagai Unit

Dengan mengklik tombol edit, maka program akan menuju ke file program yang ketiga , yaitu file edit_dat.php dengan membawa tiga variabel, yaitu variabel $id yang berisi data

Rujukan iu hamil dan neonatus yang eresiko tinggi merupakan komponen Rujukan iu hamil dan neonatus yang eresiko tinggi merupakan komponen yang penting dalam sistem

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis (Ha) yang digunakan dalam penelitian ini