• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Hukum Islam dan Nuansa Feminisme dalam Klaster Ketenagakerjaan Undang-Undang Omnibus Law

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Hukum Islam dan Nuansa Feminisme dalam Klaster Ketenagakerjaan Undang-Undang Omnibus Law"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Hukum Islam dan Nuansa Feminisme dalam Klaster Ketenagakerjaan Undang- Undang Omnibus Law

Herdifa Pratama1, Johari2

1STIES Imam Asy Syafii Pekanbaru, Indonesia Email: [email protected]

2UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia Email: [email protected]

*Corresponding author, email: [email protected]

©2022 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License (CC-BY-SA)

license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)

Accepted: 23 October 2022 Revised : 16 December 2022 Published: 25 December 2022

ABSTRACT

The problem of the existence of women in the world of employment has become a progressive issue to be discussed, both on an international scale and on a national scale in Indonesia. The rise of the feminist movement and the emergence of pioneering figures for women's emancipation also contributed to the initiation of the role of women as labors who deserve attention like male labors. This is what later became a sociological argument for Indonesia to be responsive to the issue of female labor through its legal products. Actually, this responsiveness can be seen from the issuance of Law Number 11 of 2020 which presents a new nuance in the employment cluster which was previously regulated in Law Number 13 of 2003. This study aims to elaborate on the capabilities of women as workers based on Islamic legal norms and identify the extent to which the nuances of feminism are present in the Indonesian Labor Law. The identification was carried out against Law Number 11 of 2020 which changed 31 articles, deleted 29 articles, and inserted 13 new articles from the previous Labor Law. The data in this study were collected through a literature study and then analyzed using a normative approach to Islamic law and a gender approach. The final conclusion of this research is that there is an offer of solutions in responding to issues of female labor that are developing in Indonesia.

Keywords: Feminism, Islamic Law, Women's Labor, Labor Law.

ABSTRAK

Problema eksistensi perempuan dalam dunia ketenagakerjaan telah menjadi isu yang progresif untuk diperbincangkan, baik dalam skala dunia internasional maupun dalam skala nasional di Indonesia. Maraknya gerakan

(2)

feminisme dan munculnya tokoh-tokoh pelopor emansipasi wanita juga turut memberikan inisiasi terhadap peran wanita sebagai tenaga kerja yang patut diperhatikan layaknya tenaga kerja pria. Hal inilah yang kemudian menjadi dalil sosiologis bagi Indonesia untuk memberikan responsif terhadap isu tenaga kerja wanita melalui produk hukumnya. Aktualnya, responsif ini dapat dilihat dari keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang menghadirkan nuansa baru dalam klaster ketenagakerjaan yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi kapabilitas wanita sebagai tenaga kerja berdasarkan norma hukum Islam dan mengidentifikasi sejauh mana nuansa feminisme hadir di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia.

Identifikasi ini dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang mengubah 31 pasal, menghapus 29 pasal, dan menyisipkan 13 pasal baru dari Undang-Undang Ketenagakerjaan sebelumnya. Data penelitian ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan normatif hukum Islam dan pendekatan gender.

Konklusi akhir dari penelitian ini ialah adanya tawaran solusi dalam merespon isu-isu tenaga kerja wanita yang berkembang di Indonesia.

Keywords: Feminisme, Hukum Islam, Tenaga Kerja Wanita, Undang- Undang Ketenagakerjaan.

1. PENDAHULUAN

Esensialnya manusia sebagai makluk ekonomi mengharuskan adanya aktivitas pekerjaan dan ketenagakerjaan yang dilakukan secara kontinu oleh setiap individu. Naluri untuk memenuhi kebutuhan hidup juga menjadi nilai asasi baik bagi pria maupun wanita dalam ruang lingkupnya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa bekerja ataupun menjadi tenaga kerja adalah satu garis lurus yang akan dilalui oleh pria dan wanita sebagai kodrat atas eksistensinya. Terlepas ini adalah hak opsional bagi setiap individu, tetapi faktanya ialah bekerja dan menjadi tenaga kerja adalah jalan mutlak yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi naluri akan kebutuhan hidup baik bagi seorang pria dan tidak menutup kemungkinan juga bagi seorang wanita.

Poin di atas menjadi statement yang membuktikan bahwa pemenuhan kebutuhan bisa saja menjadi dalil logis hadirnya wanita dalam dunia pekerjaan ataupun sebagai tenaga kerja. Inilah kemudian yang membuat pengkajian terhadap wanita dan eksistensinya dalam dunia kerja menjadi fenomena yang sangat menarik untuk dielaborasi. Menurut Yeni Nuraeni dan Ivan Lilin Suryono (2021), diantara isu yang masif diperbincangkan serta permasalahan yang sering terjadi di era revolusi ketenagakerjaan ialah isu ketimpangan gender dan misi feminisme yang berupaya mengangkat hak-hak wanita dalam klaster ketenagakerjaan. Mehrotra dan Sinha (2017) menyebutkan bahwa fenomena gender dan feminisme dalam ketenagakerjaan terurai kepada permasalahan terkait perbedaan antara wanita dan pria seperti perbedaan porsi

(3)

waktu pria dan wanita di rumah, perbedaan pendidikan, batasan sosial, segresi sektor ketenagakerjaan yang mengarah kepada ketimpangan gender dalam partisipasi pekerjaan.

Bila ditelisik secara historis, fenomena ketimpangan eksistensi pria dan wanita berangkat dari budaya patriarki yang sangat melekat dalam kultur masyarakat Indonesia.

Pria yang identik dengan superiornya dibanding wanita menempatkan pria sebagai pihak yang lebih berhak dalam hal ketenagakerjaan. Pemahaman seperti ini seolah telah menjadi paradigma yang tetap eksis bertahan di kalangan masyarakat Indonesia.

Akibatnya, keleluasaan wanita dalam mengakses bidang ketenagakerjaan menjadi terminimalisir dengan sendirinya. Dengan kata lain, wanita lebih kecil potensinya untuk menjadi tenaga kerja. Adapun wanita yang telah memiliki fungsi sebagai tenaga kerja bahkan juga mendapati permasalahan baru yaitu kencenderungan untuk mendapatkan upah yang lebih kecil daripada pria. (Yusrini, 2017)

Realitas fenomena, paradigma, dan permasalahan yang menyangkut eksistensi wanita dalam ketenagakerjaan seolah menjadi hal yang kontras dengan nilai manusia sebagai makhkluk ekonomi yang memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja. Dari sini muncullah misi feminisme dalam ketenagakerjaan. Feminisme merupakan suatu gerakan wanita yang mengusung misi ingin mengeluarkan wanita dari kondisi yang tidak menguntungkan dirinya dan dari anggapan ketidakmampuannya seorang wanita dibanding pria dalam tataran kemanusiaan. (Sastrawati, 2018). Feminisme di dalam klaster ketenagakerjaan berarti gerakan yang mengkampanyekan hak-hak seorang wanita sebagai bagian dari tenaga kerja global yang berhak mendapatkan akses pekerjaan beserta hal-hal yang melekat dengannya seperti halnya seorang pria.

Isu ketenagakerjaan wanita merupakan bias dari dinamisnya pertumbuhan ekonomi saat ini sehingga menghasilkan percepatan dan kenaikan aspek kebutuhan hidup pada diri seseorang khususnya dalam kehidupan keluarga. Isu ini bermuara pada peran pria sebagai ujung tombak dalam nafkah keluarga dirasa tidak maksimal dalam memenuhi besarnya kebutuhan keluarga. Kondisi ini menampilkan suatu opsi bagi wanita untuk dapat terlibat dalam dunia ketenagakerjaan. Sehingga wanita yang awalnya memiliki peran dalam domestik rumah tangga kini juga mulai menghadirkan eksistensinya sebagai tenaga kerja wanita. Selain itu, hadirnya wanita dalam dunia ketenagakerjaan menimbulkan adanya kenaikan tingkat persaingan tenaga kerja yang bukan hanya antar sesama tenaga kerja wanita tetapi juga dengan tenaga kerja pria yang notabenenya wilayah ini adalah teritorial bagi kaum pria.

Oleh karena itu, disinilah dibutuhkan peran negara sebagai otoritas yang memiliki wewenang dalam mengatur klaster ketenagakerjaan. Di satu sisi, Pembukaan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara untuk dapat menghadirkan kesejahteraan ekonomi dengan melindungi hak setiap warga negara.

Tetapi juga di sisi lain, negara juga memiliki kewajiban untuk mengatur sirkulasi dan porsi lapangan pekerjaan tidak hanya bagi pria tapi juga bagi wanita. Hal ini dikarenakan

(4)

telah adanya realisasi feminisme di dalam dunia ketenagakerjaan.(Syaparuddin, 2013).

Maka negara pun memiliki tugas untuk dapat memfasilitasi wanita dalam menjalankan hak bekerjanya dengan tetap mengutamakan tujuan kesejahteraan nasional.

Mulai hadirnya tenaga kerja wanita di Indonesia memunculkan sebuah fakta problem bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita masih berada di bawah pria. Menteri Ketenagakerjaan Indonesia, Ida Fauziyah (“Menaker: Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan Masih Di Bawah Laki-Laki - ANTARA News,” n.d.) menyebutkan bahwa di tahun 2022 hanya terdapat 40% tenaga kerja wanita dari 140 juta tenaga kerja di Indonesia. Hal ini kembali menguatkan paradigma bahwa memang budaya patriarki masih mempengaruhi masyarakat Indonesia sehingga wajar bahwa tingkat partisipasi wanita sebagai tenaga kerja masih jauh dibandingkan dengan pria.

Gambar 1. Rasio Perbandingan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Wanita dan Pria di Indonesia Tahun 2020-2021 (BPS, 2021).

Data nasional menunjukkan bahwa di tahun 2021, perbandingan antara TPAK wanita dan pria adalah 50,16 : 82,27. Rasio tersebut justru mengalami penurunan bila dibandingkan dengan rasio pada tahun 2020 yaitu 50,72 : 85,87. (BPS, 2021). Data ini menunjukkan bahwa selang tahun 2020-2021, jumlah tenaga kerja wanita di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan pria walau kajian dan gerakan feminisme serta kemunculan tokoh emansipasi wanita tengah menunjukkan perkembangan yang positif.

Selain itu, data ini juga memberikan sinyal bahwa masih terdapatnya permasalahan dalam klaster tenaga kerja wanita di Indonesia. Permasalahan tersebut tentu mengarah kepada isu-isu keadilan hak tenaga kerja bagi tenaga kerja wanita yang membutuhkan wewenang negara di dalamnya. Atas dasar inilah kemudian negara di tahun 2020 melalui fungsi legislasinya melakukan deregulasi dan debirokrasi dengan cara pemangkasan,

50,72 50,16

85,87

82,27

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

2020 2021

Wanita Pria

(5)

pengubahan, dan pembuatan norma hukum baru yang belum diatur dalam Undang- Undang sebelumnya. Deregulasi dan debirokrasi tersebut mencakup berbagai klaster seperti klaster lingkungan hidup, UMKM, dan termasuk juga ketenagakerjaan dalam satu Undang-Undang sekaligus yang dikenal dengan Omnibus Law.

Undang-Undang Cipta Kerja (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020) atau juga disebut dengan Omnibus Law merupakan terobosan negara untuk melakukan perubahan, pencabutan, ataupun pemberlakuan pada berbagai norma hukum sekaligus sehingga di dalamnya mengatur banyak klaster. (Anggreany Haryani Putri, 2021). Terlepas dari Omnibus Law dapat dikatakan sebagai metode yang belum dikenal di Indonesia, hadirnya produk hukum ini seolah menjadi upaya percepatan negara untuk mengatasi berbagai masalah seperti halnya isu dan permasalahan dalam ketenagakerjaan wanita. Namun fakta lapangannya, pengesahan Undang-Undang ini justru menghadirkan demonstrasi dari berbagai kalangan bahkan sampai masuk kepada proses uji materi oleh Mahkamah Konstitusi yang menghasilkan amanat perbaikan kepada Undang-Undang Omnibus Law.

Atas dasar inilah mengelaborasi klaster ketenagakerjaan yang diatur dalam Omnibus Law merupakan riset ilmiah dengan nilai urgensi yang besar. Terlebih kepada fenomena tenaga kerja wanita sebagai realisasi feminisime pada klaster ketenagakerjaan merupakan isu aktual yang juga butuh untuk dibahas lebih lanjut. Eloborasi ini juga turut menghadirkan hukum Islam sebagai kacamata analisis yang tepat untuk lebih eksposional dalam memandang fenomena ketenagakerjaan wanita. Norma hukum Islam yang sangat menghormati kedudukan wanita juga merupakan nilai yang memiliki persingunggan dengan konsep feminisme. Maka menghadirkan sudut pandang hukum Islam dan kajian feminisme dalam melihat Undang-Undang Omnibus Law yang merupakan warna baru dalam klaster ketenagakerjaan Indonesia akan dapat menghasilkan kajian solutif untuk lebih merespon isu tenaga kerja wanita yang saat ini menjadi isu aktual di Indonesia.

2. LITERATURE REVIEW

Diskursus pengkajian terhadap wanita dan feminisme terus mendapatkan satu sorotan khusus di dalam dunia riset. Pengkajian tersebut tidak lagi terbatas pada ranah akademik ataupun untuk gagasan pembentukan kebijakan, tetapi telah menjadi objek pembicaraan di masyarakat luas. Dalam beberapa dekade bekalangan ini saja, akademisi sebagai tumpuan akal publik telah menjadikan wanita dan feminisme sebagai wacana kompleks yang perlu untuk dielaborasi guna menghadirkan gagasan yang solutif untuk kepentingan masyarakat. (Palulungan, Ramli, & Ghufran, 2020). Lebih majunya diskursus ini bahkan terlihat dari adanya metamorfosa dari wanita sebagai objek kajian menjadi wanita sebagai sebuah pendekatan riset yang disebut dengan pendekatan gender.

Isu tentang wanita, feminisme, dan kaitannya dengan klaster ketenagakerjaan telah pernah dibahas sebelumnya. Begitupun juga dengan wacana pengkajian wanita dalam hak-haknya bekerja dari sudut pandang hukum Islam adalah wacana yang telah

(6)

menarik perhatian akademisi sebelumnya. Namun, artikel yang mendialogkan hukum Islam dan feminisme dengan subjek materi ketenagakerjaan dalam norma hukum Indonesia masih belum banyak dibahas. Dengan kata lain, objek kajian ini mengandung nilai kebaruan khususnya mengenai tawaran solusi dalam merespon isu ketenagakerjaan Indonesia dari sudut pandang hukum Islam dan feminisme.

Ada beberapa literatur yang digunakan dalam penelitian ini. Diantaranya dimulai dari literatur terkait dengan istilah feminisme (feminism) yaitu sebuah gerakan sosial yang diprakarsai melalui serangkaian gerakan antitesa terhadap gagasan patriarki, ketidaksetaraan sosial, dan penindasan terhadap wanita. Secara detilnya, feminisme merupakan misi yang diusung untuk membangun identitas otonom wanita dalam bidang sosial dan dan wacana kesetaraan gender. Pada awalnya istilah feminisme sebagai sebuah gerakan adalah sistem yang terputus dan tidak koheren dalam pemikiran dan praktik.

Akan tetapi di era revolusi sekarang ini, teori dan praktik feminisme merupakan bidang penyelidikan yang kritis dan menjadi sasaran perhatian dalam dunia publik. (Raina, 2020).

Feminisme sebagai gagasan yang identik dengan perjuangan hak-hak wanita juga memiliki persinggungan dengan nilai-nilai hukum Islam. Di dalam Islam, baik secara normatif ataupun historisnya sangat menjunjung tinggi keadilan sosial. Persinggungan antara feminisme dan hukum Islam inilah yang kemudian memunculkan teori yang disebut dengan feminisme Islam ataupun juga teologi feminisme. Namun yang perlu diperhatikan dari persinggungan kedua nilai ini ialah kehati-hatian untuk mendefinisikan feminisme dalam pemikiran Islam ataupun sebaliknya. Terlepas dari hal ini, feminisme dan hukum Islam dalam kacamata luas adalah dua nilai yang berpotensi produktif untuk berteori tentang cara hidup gender seorang muslimah modern. (Seedat, 2013)

Istilah feminisme yang dihubungkan dengan klaster ketenagakerjaan menunjukkan gagasan bahwa ruang lingkup kesetaraan hak wanita dan pria juga mencakup hak untuk bekerja. Isu wanita sebagai tenaga kerja juga menjadi premis sosial yang muncul akibat meningkatnya jumlah tenaga kerja wanita khususnya buruh wanita.

Isu ini semakin menguat seiring adanya ketimpangan wanita dalam mengakses haknya untuk bekerja. Di sisi lain, normatif hukum Islam pun mengatur bahwa tidak ada larangan yang absolut bagi wanita untuk menjadi tenaga kerja sebagaimana halnya kaum pria. Hal ini dikarenakan Islam mengakui persamaan hak antara laki-laki dan perempuan namun dalam substansial kedudukannya masing-masing. (Ambarwati, 2009)

Uraian di atas ialah seputar feminisme, hukum Islam, dan ketenagakerjaan yang dilihat dalam satu frame luas. Adapun keterkaitannya dengan norma hukum di Indonesia, Agus Pratiwi dalam “Perspektif Hukum Feminis Terhadap Aturan Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja di Indonesia” menyebutkan bahwa isu perjuangan hak-hak wanita sebagai tenaga kerja di Indonesia mulai muncul pasca dilegitimasinya Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam lewat norma sexual division of labor untuk

(7)

wanita sebagai pencari nafkah tambahan, termasuk dalam hal ini ialah wanita yang telah melakukan perkawinan. (Pratiwi, 2017). Selanjutnya, merunut lebih aktual isu wanita sebagai tenaga kerja di Indonesia akan bermuara kepada fenomena disahkannya Undang- Undang Omnibus Law pada tahun 2020 dengan salah satu hipotesanya ialah untuk dapat merespon isu-isu tersebut.

Literatur yang fokus mengelaborasi klaster ketenagakerjaan Indonesia khususnya perlindungan tenaga kerja wanita Indonesia lewat norma hukum yang diatur di dalam Undang-Undang Omnibus Law ialah artikel yang ditulis oleh Rizky dan Amanda (2020).

Semula, hipotesa Omnibus Law untuk memperbaiki permasalahan tenaga kerja wanita justru mendapatkan kritik kritis dan sorotan kontroversial dari publik. Dari sinilah kemudian Omnibus Law kembali meninggalkan sebuah celah kosong bagi negara untuk lebih dapat merespon isu-isu tenaga kerja wanita di Indonesia. Terlebih selepas diputuskannya opsi revisi dari Mahkamah Konstitusi pasca diadakannya uji materi terhadap Undang-Undang Omnibus Law

Keterkaitan antara fenomena Omnibus Law yang masih butuh pengkajian guna perbaikannya dengan isu tenaga kerja wanita yang semakin berkembang di Indonesia adalah sebuah diskusi yang urgensional. Diskusi ini menjadi sangat masif dengan adanya keterlibatan normatif hukum Islam dan feminisme yang keduanya juga memiliki titik persinggungan. Artinya, ketiga variabel di atas memiliki nilai daya tarik ilmiah dalam posisinya masing. Di satu sisi Undang-Undang Omnibus Law menjadi sumber data untuk menggali fenomena tenaga kerja wanita lewat norma hukumnya. Kemudian, keberadaan wanita yang juga memiliki hak bekerja seperti halnya pria adalah permasalahan yang butuh untuk diberikan responsif. Di satu sisinya lagi ialah hukum Islam dan feminisme menjadi kacamata untuk menguraikan fenomena ini dalam temuan yang solutif. Oleh karena itu, pengkajian ini menjadi perlu untuk dielaborasi secara komprehensif.

3. METHOD

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif sebagai upaya untuk menghasilkan kesimpulan yang berbentuk paparan deskriptif. (Bungin, 2017). Penelitian ini memaparkan kajian hukum Islam dan feminisme dalam hukum positif Indonesia yang mengatur tentang ketenagakerjaan serta isu-isu yang berkembang di dalamnya. Oleh karena itu, terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan normatif yang menggunakan perspektif hukum Islam dan pendekatan gender melalui kacamata feminisme. Output akhir dari penelitian ini ialah adanya tawaran solusi dalam perspektif hukum Islam untuk merespon isu-isu feminisme pada klaster ketenagakerjaan di Indonesia. Guna mendapatkan output tersebut, penelitian ini menggunakan sumber data sekunder melalui studi kepustakaan (library research). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini membagi data ke dalam bentuk data primer yaitu Undang-Undang Ketenagakerjaan yang saat ini di atur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

(8)

tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) dan data sekunder berupa buku, jurnal, ataupun hasil penelitian terdahulu yang memiliki relevansi dengan fokus penelitian ini. Keseluruhan data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis isi (content analysis) untuk mendapatkan konklusi yang berbentuk paparan tersistematis, runtut, dan komprehensif (Hardani, 2020) mengenai perspektif hukum Islam dan feminisme dalam memandang klaster ketenagakerjaan pada hukum positif Indonesia.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kapabilitas Wanita Sebagai Tenaga Kerja dalam Sorotan Hukum Islam Era revolusi dan globalisasi ditandai dengan menguatnya filosofi kebebasan berpendapat dan bertindak bagi manusia dan tidak kemungkinan juga bagi seorang wanita. Berbagai istilah muncul sebagai bentuk aspirasi wanita untuk dapat berkontribusi dalam dunia ketenagakerjaan. Seperti istilah feminisme yang sudah sejak lama digaungkan secara global, terma emansipasi wanita yang menjadi aspirasi nasional di Indonesia yang dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini, dan sebutan wanita karier bagi wanita yang telah terikat dengan hubungan pernikan dan menekuni suatu pekerjaan secara statis dalam waktu tertentu. (Djamaluddin, 2018). Awalnya aspirasi wanita ini hanya hadir dalam satu bidang saja, seperti emansipasi wanita yang terfokus pada bidang pendidika tetapi seiring perkembangan zaman aspirasi tersebut meluas ke berbagai bidang termasuk ketenagakerjaan.

Wanita sebagai tenaga kerja masih menjadi topik yang sarat akan dinamika pendapat di dalam hukum Islam. Namun demikian, poin universalnya ialah hukum Islam sangat menjunjung tinggi hak dan derajat wanita. Penerapan hukum Islam bersumber dari tekstualitas wahyu berupa firman Allah Swt. dan sunnah Rasulullah Saw yang secara kuantitatifnya tidak akan bertambah. Namun, secara kualitatif, penerapan hukum Islam juga dapat melihat kepada kontekstualitas yang terjadi senyatanya. Kedua hal ini menjadi aspek yang dibutuhkan untuk dapat memandang problematika saat ini dari kacamata hukum Islam. Hal ini dikarenakan fakta masyarakat di lapangan akan selalu berkembang sehingga untuk menilai kebenarannya dibutuhkan bukan tekstualis hukum Islam tetapi juga kontekstualis (kaidah moral), jika memang Islam hadir sebagai rahmat bagi semesta alam.

Artinya bahwa, menyoroti dan menilai kapabilitas wanita sebagai tenaga kerja tidak bisa terlepas dari konsepsi Islam tentang eksistensi wanita dan pria tetapi juga fakta lapangan dan kaidah moral yang melingkupi di dalamnya. Mengenai siapa yang dapat bekerja atau siapa yang berhak menjadi tenaga kerja, Al-Qur’an telah mengaturnya di dalam Q.S. Al-Jumu’ah (62) ayat 10.

ِضأرَ ألۡٱ ِفِ ْاوُرِشَتنٱَف ُةٰوَلَّصلٱ ِتَيِضُق اَذِإَف يِثَك ََّللَّٱ ْاوُرُك أذٱ َو َِّللَّٱ ِل أضَف نِم ْاوُغَ تأ بٱَو

أمُكَّلَعَّل ا

َنوُحِل أفُ ت

(9)

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

(Q.S. Al-Jumu’ah [62]: 10)

Dalil tekstualis di atas melegitimasi bahwa hak ataupun kewajiban bekerja dan menjadi tenaga kerja dimiliki oleh pria maupun wanita. Umumnya, pekerjaan yang dibolehkan bagi pria berarti dibolehkan juga bagi wanita ataupun sebaliknya. Akan tetapi, akan menjadi masalah selanjutnya ialah dengan hak dan kewajiban bekerja yang sama- sama dimiliki oleh pria dan wanita, apakah keduanya mampu melaksanakan hal tersebut secara sama-sama pula? Apakah pria dan wanita memiliki kapabilitas untuk mampu melaksanakan pekerjaan yang sama? Maka untuk menjawab hal ini, kehadiran nilai kontekstual dalam memandang fenomena kapabilitas wanita sebagai tenaga kerja seperti pria menjadi kebutuhan yang tidak terhindarkan.

Hukum Islam telah meletakkan kaidah moral dan nilai-nilai hikmah bagi kaum pria dalam menjalankan pekerjaannya. Kaidah dan nilai itu mestilah harus dipatuhi oleh setiap tenaga kerja pria. Begitupun juga serupanya dengan wanita, terdapat kaidah dan nilai yang harus ditaati oleh setiap tenaga kerja wanita, agar aktivitasnya tidak menyalahi hukum Islam.(Ambarwati, 2009). Bertolak dari nilai dan kaidah itulah maka wanita sebagai tenaga kerja dapat dilegitimasi kapabilitasnya untuk bekerja. Sebagai contoh, kaidah moral bagi seorang wanita di dalam Islam ialah wanita diharuskan untuk menjaga kehormatan dirinya (Q.S. An-Nur[24]: 31), wanita diwajibkan untuk menutup auratnya (Al-Ahzab [33]: 59), dan wanita dilarang menempatkan dirinya dalam kondisi berduaan dengan pria yang bukan mahram-nya. Nilai dan kaidah ini mengandung legitimasi bahwa segala bentuk pekerjaan yang menjatuhkan kehormatan wanita, menampakkan aurat wanita yang jauh lebih luas dibanding pria, dan menempatkan wanita dalam keadaan berkhalwat maka wanita tidak memiliki kapabilitas untuk menjadi tenaga kerja di dalamnya.

Penting sekali untuk mengukur kapabilitas wanita sebagai tenaga kerja. Hal ini dikarenakan agar wanita tidak jatuh dalam penyalahan kepada hukum Islam walau notabene awalnya hanya sebatas melaksanakan syariat Islam untuk bekerja. Dua-duanya adalah suatu kemaslahatan. Bekerja tentu mengandung nilai maslahat bagi wanita, tetapi menjaga hak kodratnya yang sangat dihormati dalam Islam juga mengandung nilai maslahat. Terkait hal ini, mengukur kapabilitas wanita sebagai tenaga kerja dan menyorotinya dalam hukum Islam dapat disandarkan pada dua buah kaidah fikih tentang pertimbangan kemaslahatan. (Nashr, Farid & Aziz, 2016).

ِحِلَصَمْلا ِبْلَج ىَلَع ُمِ دَقُم ِدِساَفَمْلا ُءْرَد

Upaya menolak mafsadat (kerusakan) harus lebih didahulukan daripada upaya mengambil maslahat (kebaikan).

َمِ دُق ِحِلاَصَمْلا ِتََحَاَزَ ت اَذِإ

اَهْ نِم ىَلْعَْلْا

(10)

Jika ada beberapa kemaslahatan yang bertabrakan, maka maslahat yang lebih besar (lebih tinggi) harus didahulukan.

Pertimbangan kemaslahatan merupakan dalil kontekstual yang relevan untuk didialogkan dengan dalil tekstual dalam mengelaborasi kapabilitas wanita sebagai tenaga kerja. Hukum Islam melalui keumuman dalil tekstualnya mengatur bahwa wanita dan pria berhak untuk bekerja guna kemaslahatan diri dan keluarganya. Akan tetapi, kodrat wanita sebagai manusia yang dijaga kehormatannya di dalam Islam juga menjadi nilai maslahat dirinya. Maka kedua indikator ini harus dipertemukan untuk melihat maslahat dan mafsadat di dalamnya serta untuk menimbang prioritas maslahat manakah yang lebih besar antar keduanya.

Kondisi ini misalnya terlihat dari kehidupan berkeluarga. Kewajiban bekerja dan mencari nafkah berada di pundak suami. Artinya, suami lebih berhak menjadi tenaga kerja dibanding istri dalam kehidupan keluarganya. Namun faktanya, begitu banyak seorang istri bekerja dan menjadi tenaga kerja walaupun di keluarganya masih memiliki ataupun sudah tidak memiliki suami. Dalam hal ini, kapabilitas wanita sebagai tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tidak boleh melepaskan indikator kewajiban seorang istri di dalam rumah tangga. Sebab kewajiban memenuhi kebutuhan keluarga nomor satunya dipegang oleh suami. Indikatornya seperti restu dari suami, ada atau sudah tidak adanya suami, dan mampu atau tidak mampunya mendahulukan kewajiban istri dalam domistiknya di rumah. (Nawang Sari & Anton, 2020)

Jelasnya ialah tidak ada larangan mutlak di dalam hukum Islam terkait wanita menjadi tenaga kerja baik itu bagi dirinya sendiri ataupun bagi keluarganya. Akan tetapi, seorang wanita diharuskan untuk mempertimbangkan eksistensi kodratnya dengan kehormatan yang wanita miliki sebelum masuk ke dalam ranah ketenagakerjaan.

Pertimbangan maslahat adalah metode yang relevan untuk mengukur kapabilitas wanita sebagai tenaga kerja. Jika bekerja adalah yang sangat urgen dan dibutuhkan oleh seorang wanita maka menjadi tenaga kerja adalah pilihan yang harus didahulukan namun tetap dengan batasan kaidah dan nilai moral seorang wanita yang telah diatur di dalam hukum Islam. Maka, kapabilitas wanita sebagai tenaga kerja ditentukan dari terjaga atau tidak terjaganya kehormatannya dan mampunya atau tidak mampunya seorang wanita menjalankan kewajiban asalnya sebagai seorang wanita sembari menjadi tenaga kerja wanita.

4.2. Nuansa Feminisme dalam Klaster Ketenagakerjaan Undang-Undang Omnibus Law

Sejak proses perancangan hingga pengesahannya oleh Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang Omnibus Law (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020) terus mendapat sorotan minus dari berbagai elemen masyarakat khususnya persoalan klaster ketenagakerjaan. Berbagai kritik dan penolakan dari publik kemudian berujung

(11)

dengan adanya judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji formil dan uji materiil terhadap Undang-Undang Omnibus Law. Kritikan tersebut mayoritasnya disuarakan oleh serikat pekerja, serikat buruh, aktivitas wanita, bahkan mahasiswa dan akademisi pun turut memberikan aspirasi penolakannya.

(Mainake, 2021).

Secara materiilnya, Undang-Undang Omnibus Law terdiri atas 15 bab dan 186 pasal. Di dalamnya diatur berbagai ketentuan multi-klaster seperti ketenagakerjaan, investasi, jaminan sosial, sampai lingkungan hidup. Tercatat ada 79 Undang-Undang yang terdampak dan disatukan yuridisnya dalam Undang-Undang Omnibus Law.

Sehingga Undang-Undang ini oleh publik disebut sebagai Undang-Undang “sapu jagat”

karena luasnya cakupan aturan di dalamnya. (Anggreany Haryani Putri, 2021)

Di dalam Undang-Undang Omnibus Law, klaster ketenagakerjaan diatur dalam Bab IV. Klaster ini terus mendapatkan sorotan dari para buruh dan tenaga kerja karena dianggap tidak menjamin hak-hak tenaga kerja. Begitupun juga halnya dengan tenaga kerja wanita. Sebelum disahkannya Undang-Undang Omnibus Law, klaster ketenagakerjaan Indonesia di atur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Keduanya juga mencakup aturan yang berkaitan dengan tenaga kerja wanita. Namun bila ditelusuri lebih dalam, terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dalam kaitannya dengan klaster ketenagakerjaan. Perbedaan tersebut meliputi sub-klaster berikut;

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT);

2. Upah minimum;

3. Alih daya (outsourcing);

4. Waktu istirahat mingguan;

5. Waktu istirahat panjang;

6. Waktu cuti;

7. Pesangon;

8. Bonus;

9. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK);

10. Jaminan kehilangan pekerjaan; dan 11. Tenaga kerja asing.

Menyoroti berbagai poin di atas, terdapat satu nilai di dalam Undang-Undang Omnibus Law yang harus digarisbawahi terkait dengan persoalan tenaga kerja wanita.

Hal ini yang kemudian memberikan gambaran bagaimana Undang-Undang Omnibus Law mendudukan tenaga kerja wanita di Indonesia. Nilai tersebut ialah penghapusan masa cuti bagi tenaga kerja wanita yang tengah mengalami dan menjalankan peran reproduksinya.

Baik itu dalam fase haid, hamil, melahirkan, menyusui, ataupun keguguran yang bisa saja dialami oleh tenaga kerja wanita.

(12)

Persoalan cuti merupakan suatu hak yang dimiliki oleh tenaga kerja, tak terkecuali bagi wanita. Adanya perbedaan fungsional tubuh antara wanita dan pria seharusnya semakin menguatkan hak cuti dengan alasan reproduksi menjadi suatu hal yang harus serta-merta dimiliki oleh setiap tenaga kerja wanita. Di satu sisi, reproduksi bagi wanita tentu merupakan unsur kodrati yang diberikan oleh Allah Swt sebagai bentuk siklus keturunan dan indikator kesejahteraan hidup. Sementara di sisi lain, negara melalui aman konstitusi menjamin adanya pekerjaan yang layak dan pemberian kesejahteraan hidup bagi setiap tenaga kerja. Nilai inilah yang menjadi poin kontroversial di dalam Undang- Undang Omnibus Law.

Aturan cuti baik cuti haid, cuti hamil, cuti melahirkan, cuti menyusui, dan cuti keguguran bagi tenaga kerja wanita menjadi salah satu aturan yang yang dihapuskan di dalam Undang-Undang Omnibus Law dari total 29 pasal yang dihapus. Bila mengacu pada Undang-Undang Ketenagakerjaan sebelumnya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 merupakan undang-undang yang tidak melepaskan perhatiannya terhadap pemberian cuti haid, cuti hamil, cuti melahirkan, cuti menyusui, dan cuti kegugur bagi tenaga kerja wanita. Di dalam pasal 81-83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 diatur bahwa; (1) Tenaga kerja wanita bisa memperoleh cuti saat haid hari pertama dan kedua;

(2) Tenaga kerja wanita berhak mendapatkan cuti hamil-melahirkan dan waktu istirahat bagi tenaga kerja wanita yang mengalami keguguran; (3) Tenaga kerja wanita diberikan waktu khusus bagi yang memiliki anak yang masih menyusui bila dilakukan selama jam kerja. Ketiga poin inilah yang lepas dari perhatian Undang-Undang Omnibus Law.

Kekosongan hukum terkait cuti ataupun waktu istirahat bagi wanita yang menjalankan fungsi reproduksinya menandakan bahwa negara melalui Undang-Undang Omnibus Law belum menjamin hak-hak tenaga kerja wanita secara utuh. Negara yang membolehkan wanita untuk bekerja seharusnya juga memfasilitasi wanita dengan hak- hak yang memang harus diterimanya baik sebagai warga negara, seorang wanita, ataupun sebagai tenaga kerja wanita. Disinilah kemudian yang mendiskreditkan wanita dalam dunia ketenagakerjaan. Hal ini menjadi suatu permasalahan bila dihadapkan dengan pertambahan jumlah tenaga kerja wanita di Indonesia. Akibatnya ialah pertambahan jumlah tenaga kerja wanita tidak diiringi dengan tingkat kesejahteraan tenaga kerja wanita yang berpotensi turun akibat hilangnya cuti dan waktu istirahat dengan alasan reproduksi. Dengan kata lain, nuansa feminisme seolah terdegradasi di dalam Undang- Undang-Undang Omnibus Law.

Bila ditelusuri lebih jauh, kekosongan hukum terkait cuti dan waktu istirahat bagi wanita atau minimnya nilai-nilai feminisme di dalam Undang-Undang Omnibus Law disebabkan oleh perbedaan tujuan filosofis antara Undang-Undang ini dengan Undang- Undang Ketenagakerjaan sebelumnya. Tujuan yang diusung di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ialah aspek ketenagakerjaan yang mengedepankan perlindungan bagi tenaga kerja pria dan wanita. Sementara itu, nilai filosofis yang dituju di dalam

(13)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 ialah kepentingan pembukaan lapangan kerja dan kemudahan investasi untuk peningkatan ekonomi. (Prabowo, Triputra, & Junaidi, 2020). Melihat hal ini, bukan tidak mungkin Undang-Undang Omnibus Law memfokuskan eksistensinya untuk mampu menarik investor dan memberikan jaminan kepada perusahan agar tenaga kerja dapat berkerja secara maksimal, salah satunya ialah lewat penghapusan pasal cuti bagi tenaga kerja wanita.

Hal ini memang terlihat sebagai suatu kontradiktif tujuan negara lewat produk hukumnya. Namun yang jelas ialah kajian feminisme yang semakin berkembang di Indonesia dan meningkatnya minat wanita untuk menjadi tenaga kerja justru kedua hal tersebut gagal untuk memberikan nuasanya di dalam Undang-Undang Omnibus Las.

Terlepas dari kontradiktif di atas, sudah menjadi kewajiban mutlak bagi negara untuk menjamin klaster ketenagakerjaan wanita dan klaster kemudahan investasi di Indonesia.

Bukan malah mengabaikan satu klaster demi meraih satu klaster yang lain, tapi negara harus menjamin setiap klaster mampu berjalan dengan baik.

4.3. Tawaran Solusi Hukum Islam terhadap Isu Feminisme dalam Ketenagakerjaan

Pembicaraan mengenai eksistensi wanita sebagai tenaga kerja menggiring kepada sebuah isu kuat di dalamnya apakah dunia ketenagakerjaan mendudukkan wanita dalam posisi yang sewajarnya atau sebaliknya. Normatif hukum Islam membuka pintu kepada wanita untuk dapat menjadi tenaga kerja namun dalam syarat dan batasan tertentu. Dalam ranah di sini, peran keluarga dan kemandirian seorang wanita dalam mempertimbangkan dirinya adalah kunci untuk memutuskan pilihan antara bekerja atau tetap kepada peran domestiknya di rumah. Jika pilihan yang diambil oleh seorang wanita adalah tetap pada peran domestiknya, maka hal tersebut merupakan suatu kewajaran dikarenakan peran pencari nafkah keluarga sepenuhnya ada pada seorang suami. Akan tetapi, jika seorang wanita memutuskan untuk terlibat dalam dunia ketenagakerjaan, maka hal tersebut ibarat sebuah terobosan kemandirian bagi wanita yang ditenggarai oleh faktor ekonomi. Melihat pada kondisi kedua ini tentu seorang wanita sebagai tenaga kerja akan dilibatkan pada permasalahan dan isu ketenagakerjaan, baik hak sebagai tenaga kerja, maupun hak tenaga kerja yang ada hubungannya dengan haknya sebagai seorang wanita.

Isu kehadiran wanita sebagai tenaga kerja mencakup lima yang terbagi kepada isu pengerahan dan penempatan kerja, hubungan kerja, kesehatan kerja, keamanan kerja, dan isu jaminan sosial bagi tenaga kerja wanita. (Kahpi, 2019). Imam Soepomo (2003) juga menyebutkan bahwa hak tenaga kerja baik bagi pria ataupun wanita meliputi tiga bentuk perlindungan yaitu perlindungan ekonomis, perlindungan sosial, dan perlindungan teknis.

Kelima isu tenaga kerja wanita dan tiga bentuk perlindungan tenaga kerja yang disebutkan merupakan sasaran yang dituju gerakan feminisme dalam klaster ketenagakerjaan. Wanita sebagai tenaga kerja secara konsepsinya tidak ada yang salah, namun dalam tataran lapangan, tenaga kerja dihadapkan berbagai permasalahan

(14)

khususnya akibat ketimpangan gender. Mulai dari diskriminasi dalam penempatan kerja, pertimbangan upah yang kecil, hingga minimnya perlindungan bagi tenaga kerja wanita.

Melihat hal ini, hemat penulis berpendapat bahwa hukum Islam merupakan instrumen yang tepat untuk memberikan tawaran solusi atas setiap isu lapangan yang dialami oleh tenaga kerja wanita. Karakteristik hukum Islam yang luas dan universal mampu memandang secara objektif terkait eksistensi wanita di dalam dunia ketenagakerjaan. Oleh karena itu, tawaran solusi ini didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam (Fatarib, 2014) yang coba dihadirkan dalam merespon isu tenaga kerja wanita. Di antaranya meliputi:

4.3.1. Komitmen Akhlaqul Karimah dalam Klaster Ketenagakerjaan

Akhlaqul karimah merupakan nilai yang dibutuhkan manusia untuk menjadikan segala aspek dalam kehidupannya sejalan dengan aturan Allah Swt., termasuk dalam hal ini ialah klaster ketenagakerjaan. Ini menjadi tawaran solusi yang pertama dikarenakan pentingnya menghadirkan komitmen akhlaqul karimah di dalam klaster dan siklus ketenagakerjaan Indonesia. Mulai dari negara yang merupakan lembaga otoritas pengatur klaster ketenagakerjaan, pelaku usaha yang menjadi tempat tenaga kerja bernaung, serta setiap tenaga kerja pria ataupun wanita, menjadi hal yang fundamendal untuk menghadirkan akhlaqul karimah pada seluruh elemen tersebut. Komitmen ini dapat dilakukan dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu;

1. Prinsip tauhid yang menjadikan tujuan hakiki pekerjaan adalah ibadah;

2. Prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang mendepankan nilai penegakan kebaikan dan pencegahan kemungkan dalam setiap jenis pekerjaan yang dijalani; dan 3. Prinsip ta’awun yang mengutamakan asas saling tolong-menolong antara

negara, pelaku usaha, dan tenaga kerja.

Dengan adanya komitmen ini, tentu negara akan menghadirkan peraturan yang win-win solution dalam klaster ketenagakerjaan, pelaku usaha tidak hanya semata mengincar dan menguras habis nilai profit dari tenaga kerjanya, dan setiap tenaga kerja pun akan bekerja secara maksimal untuk diri, keluarga, tempat bekerjanya, dan masyarakat banyak. Artinya, dengan komitmen akhlaqul karimah maka akan hadir tujuan meraih kemaslahatan masyarakat di dalam klaster ketenagakerjaan.

4.3.2. Kebebasan Mengakses Kesempatan Kerja Berdasarkan Kapabilitas Isu penempatan kerja menjadi isu yang dieluh-eluhkan di dalam kajian feminisme.

Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah tenaga kerja wanita sehingga terjadi peningkatan pula pada persaingan kerja antara pria dan wanita. Tenaga kerja pria mengklaim akan keperkasaan dirinya sehingga tidak jarang menguasai berbagai bidang kerja. Bila melihat hal ini, solusi sebenarnya adalah bukan kepada faktor anggapan akan keperkasaan pria dan wanita. Tetapi, nilai kapabilitas seorang tenaga kerja adalah hal yang sangat sebagai pertimbagan dalam mengakses pekerjaan.

(15)

Dengan kapabilitas yang mumpuni tentu tenaga kerja mampu melaksanakan pekerjaannya dengan maksimal. Jadi bukan hanya seputar anggapan superiornya pria atau inferiornya wanita, tetapi kapabilitas tenaga kerjalah yang harus dinilai untuk dapat mempertimbangkan akses kesempatan kerja yang dapat dijalaninya. Oleh karena itu, guna merespon isu ketimpangan gender dalam ketenagakerjaan ini ialah dengan menjadikan nilai kapabilitas sebagai indikator pertimbangan akses kesempatan kerja.

4.3.3. Tolerasi yang Menghargai Hak Kodrati Tenaga Kerja Wanita

Selain nilai kapabilitas, nilai lain yang harus dipertimbangkan untuk mengatasi isu ketimpangan gender dalam ketenagakerjaan ialah nilai hak kodrati seorang wanita untuk menjadi tenaga kerja. Hal ini seharusnya disadari oleh setiap wanita dan menjadikannya sebagai nilai yang pertama sebelum nilai kapabilitas dalam mengakses kesempatan kerja. Begitupun juga bagi negara, pelaku usaha, dan sesama tenaga kerja, sudah menjadi suatu hal yang mutlak bagi seorang tenaga kerja untuk mendapatkan toleransi berdasarkan hak kodratinya. Dengan adanya hal ini, tenaga kerja wanita tidak akan melewati batas syariat dalam ia bekerja, begitupun juga pelaku usaha dan negara, akan melindungi dan menjaga kehormatan seorang wanita walaupun ia adalah seorang tenaga kerja.

4.3.4. Keadilan Antara Beban Kerja dan Upah Kerja

Selain terbatasnya kesempatan kerja, kesenjangan upah antara tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita juga menjadi isu yang masif belakangan ini. Dilansir dari laman detiknews.com (“Perempuan Dan Ketimpangan Ketenagakerjaan,” n.d.), perbandingan kesenjangan upah kerja antara tenaga kerja pria dan wanita di tahun 2021 yaitu sebesar 20,39. Artinya, rata-rata upah kerja yang diterima oleh tenaga kerja pria 20,3% lebih besar dari pada upah tenaga kerja wanita. Kisaran upah yang diterima oleh tenaga kerja pria yaitu sebesar 2,96 juta per bulan sedangkan upah yang diterima oleh tenaga kerja wanita sebesar 2,35 juta per bulan. Di sini tampak jelas bahwa masih terdapatnya ketidakadilan dalam pemberian upah kerja.

Guna merespon isu ini, menghadirkan prinsip keadilan hukum Islam dalam klaster ketenagakerjaan adalah hal yang sangat tepat. Anggapan minimnya upah yang diterima oleh tenaga kerja wanita tentu mendiskreditkan kemandirian wanita yang berkomitmen untuk terlibat di dalam dunia kerja. Oleh karena itu, penting adanya perhitungan beban kerja yang diampu dengan upah kerja yang diterima oleh tenaga kerja wanita agar isu ketidakadilan upah ini dapat teratasi. Setiap perusahaan seharusnya melihat kepada beban kerjanya bukan kepada sisi tenaga kerja wanita yang hanya hak sekunder baginya.

Sehingga seolah-olah, karena bekerja adalah hak sekunder bagi wanita sedangkan bagi pria adalah hak primernya lantas menjadikan upah tenaga kerja wanita menjadi di bawah dari tenaga kerja pria. Tentu hal ini adalah hal yang sangat tidak depat dan tidak mencerminkan prinsip keadilan di dalam hukum Islam.

4.3.5. Kesetaraan Hak Sebagai Tenaga Kerja

(16)

Muara dari tawaran solusi atas isu feminisme dalam klaster ketenagakerjaan di Indonesia menyurut kepada penegakan paham, gagasan, dan cita-cita agar adanya kesetaraan hak tenaga kerja pria dan wanita lebih digalakkan lagi. Hak disini meliputi hak kesempatan kerja, hak keamanan kerja, hak perlindungan kerja, khususnya hak jaminan sosial. Keseluruhan hak tersebut menjadi indikator kesetaraan sebagai tenaga kerja bagi bagi pria maupun bagi wanita. Dengan adanya perhatian terhadap kesetaraan ini tentu tenaga kerja wanita akan lebih mendapat fasilitas, keamanan, dan kemudahan bekerja, sehingga mendorong peningkatan kesejahteraan bagi wanita dan peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Akhirnya, Islam merupakan instrumen yang tepat untuk menjawab pertemuan dengan semangat feminisme seorang wanita dalam mengakses ketenagakerjaan. Melalui normatifnya, hukum Islam mampu menghadirkan solusi yang responsif dalam menjawa isu, permasalahan, dan fenomena maraknya inisiati wanita untuk terlibat di dalam dunia ketenagakerjaan. Hal ini tidaklah dapat ditepiskan, tetapi fenomena adalah bentuk perkembangan zaman yang selalu berubah-ubah. Oleh karena itu, hukum Islam hadir untuk dapat melingkupi perkembangan zaman tersebut. Salah satunya tampak dari prinsip hukum yang Islam yang menghadirkan nilai akhlaqul karimah, kebebasan, toleransi, keadilan dan kesetaraan hak bagi tenaga kerja wanita di Indonesia.

5. KESIMPULAN

Hukum Islam memandang bahwa seorang wanita memiliki hak dan kapabilitas untuk bekerja sama seperti halnya seorang pria. Akan tetapi, seorang wanita diharuskan untuk mempertimbangkan eksistensi kodratnya dengan kehormatan yang wanita miliki sebelum masuk ke dalam ranah ketenagakerjaan. Pertimbangan maslahat adalah metode yang relevan untuk mengukur kapabilitas wanita sebagai tenaga kerja. Jika bekerja adalah hal yang sangat urgen dan dibutuhkan oleh seorang wanita maka menjadi tenaga kerja adalah pilihan yang harus didahulukan namun tetap dengan batasan kaidah dan nilai moral seorang wanita yang telah diatur di dalam hukum Islam.

Perhatian Indonesia kepada tenaga kerja wanita adalah hal yang harus dielaborasi melalui produk hukum aktualnya yaitu Undang-Undang Omnibus Law. Namun sayangnya, Undang-Undang ini memiliki kekosongan hukum terkait cuti bagi wanita yang menjalankan fungsi reproduksinya. Tidak adanya aturan mengenai cuti haid, hamil, melahirkan, ataupun waktu istirahan karena menyusui dan keguguran membuat Undang- Undang ini menjadi sebuah isu yang menunjukkan masih adanya permasalahan dalam tenaga kerja wanita di Indonesia. Oleh karena itu, hukum Islam adalah instrumen yang relevan untuk memberikan tawaran solusi atas isu feminisme dalam ketenagakerjaan Indonesia. Dengan prinsip hukum Islam, merespons isu tenaga kerja wanita diarahkan kepada nilai-nilai akhlaqul karimah, kebebasan akses bekerja, toleransi hak kodrati wanita, keadilan upah, dan kesetaraan hak bekerja bagi wanita sehingga wanita menjadi lebih terfasilitasi lagi dalam menjalankan salah satu hak asasinya.

(17)

Referensi

Ambarwati, A. (2009). Tenaga Kerja Wanita Dalam Perspektif Islam. Muwâzâh, Vol. 1, No, 101–108.

Anggreany Haryani Putri. (2021). Ketenagakerjaan Dalam Perspektif Omnibus Law.

Krtha Bhayangkara, 15(2), 223–232. https://doi.org/10.31599/krtha.v15i2.721 BPS. (2021). Badan Pusat Statistik. Retrieved October 17, 2022, from

https://ppukab.bps.go.id/indicator/6/183/1/-sakernas-tingkat-partisipasi-angkatan- kerja-tpak-.html

Bungin, B. (2017). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.

Djamaluddin, A. (2018). Wanita Karier Dan Pembinaan Generasi Muda. Al-MAIYYAH : Media Transformasi Gender Dalam Paradigma Sosial Keagamaan, 11(1), 111–131.

https://doi.org/10.35905/almaiyyah.v11i1.546

Fatarib, H. (2014). PRINSIP DASAR HUKUM ISLAM (STUDI TERHADAP FLEKSIBILITAS DAN ADABTABILITAS HUKUM ISLAM). Nizam, 4(01), 63–

77.

Hardani. (2020). Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group.

Kahpi, A. (2019). Pekerja Muslimah dan Hak-Haknya di Indonesia Persfektif Islam. Al- Qadau, 7(1), 83–90.

Karo Karo, R. P. P., & Yana, A. F. (2020). Konsepsi Omnibus Law terhadap Perlindungan Tenaga Kerja Wanita di Indonesia. Warta Dharmawangsa, 14(4), 723–729. https://doi.org/10.46576/wdw.v14i4.901

Mainake, Y. (2021). Judicial Review Klaster Ketenagakerjaan Undang-undang Cipta Kerja. Info Singkat: Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual Dan Strategis, XIII(8), 1–

4. Retrieved from http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info Singkat-XIII- 8-II-P3DI-April-2021-2047.pdf

Mehrotra, S., & Sinha, S. (2017). Explaining Falling Female Employment during a High Growth Period. Economic and Political Weekly, 52(39), 54–62. Retrieved from https://smartnet.niua.org/

Menaker: Partisipasi angkatan kerja perempuan masih di bawah laki-laki - ANTARA

News. (n.d.). Retrieved October 17, 2022, from

https://www.antaranews.com/berita/2652805/menaker-partisipasi-angkatan-kerja- perempuan-masih-di-bawah-laki-laki

Nashr, Farid & Aziz, A. (2016). Qawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah.

Nawang Sari, R. P., & Anton, A. (2020). Wanita Karier Perspektif Islam. SANGAJI:

Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum, 4(1), 82–115.

https://doi.org/10.52266/sangaji.v4i1.446

Nuraeni, Y., & Lilin Suryono, I. (2021). Analisis Kesetaraan Gender dalam Bidang Ketenagakerjaan Di Indonesia. Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 20(1), 68–79.

https://doi.org/10.35967/njip.v20i1.134

Palulungan, L., Ramli, M. T., & Ghufran, M. (2020). Perempuan, Masyarakat Patriarki

& Kesetaraan Gender. In BaKTI: Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia.

Retrieved from www.batukarinfo.com

(18)

https://news.detik.com/kolom/d-6043723/perempuan-dan-ketimpangan- ketenagakerjaan

Prabowo, A. S., Triputra, A. N., & Junaidi, Y. (2020). Politik Hukum Omnibus Law di

Indonesia. Pamator Journal, 13(1), 1–6.

https://doi.org/10.21107/pamator.v13i1.6923

Pratiwi, A. (2017). Perspektif Hukum Feminis Terhadap Aturan Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja di Indonesia. PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), 4(1), 41–60. https://doi.org/10.22304/pjih.v4n1.a3

Raina, J. A. (2020). Feminism : An Overview Feminism : An Overview. International Journal of Research, 04(13), 3372–3376. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/339939198_Feminism_An_Overview Sastrawati, N. (2018). Laki-Laki dan Perempuan Identitas yang Berbeda: Analisis

Gender dan Politik Perspektif Post-Feminisme. Retrieved from https://id1lib.org/book/5996253/a62273?dsource=recommend

Seedat, F. (2013). When islam and feminism converge. Muslim World, 103(3), 404–420.

https://doi.org/10.1111/muwo.12022

Soepomo, I. (2003). Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan.

Syaparuddin. (2013). Islam dan Tenaga Kerja Wanita (Keadilan Ekonomi Bagi Kaum Wanita). Madania, XVII(1), 101–110.

Yusrini, B. A. (2017). Tenaga Kerja Wanita Dalam Perspektif Gender Di Nusa Tenggara Barat. Al-MAIYYAH : Media Transformasi Gender Dalam Paradigma Sosial Keagamaan, 10(1), 115–131. https://doi.org/10.35905/almaiyyah.v10i1.452

Referensi

Dokumen terkait

Persoalan baru muncul ketika pendekatan ini dihadapkan pada realitas ibadah umat Islam yang tidak tertulis secara eksplisit, baik di dalam al-Qur’an maupun hadis,

Selain itu, Arvyanti, Ibrahim dan Irawan (2015) yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan teman sebaya dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa.Kondisi

(2) Bupati atau pejabat dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana

Perancangan layout yang digunakan yaitu untuk mendesain program delphi yang digunakan untuk menampilkan suhu dari arduino. Digunakan beberapa komponen penting pada

Dalam tesis ini yang menjadi permasalahan untuk diteliti adalah berkaitan dengan efektifitas pemberlakuan pajak penghasilan terhadap yayasan yang bergerak di bidang pendidikan

Melihat hal itu, Omnibus Law sebagai produk hukum baru dari pemerintahan Jokowi di periode kedua ini perlu dikaji lebih dalam karena sebuah Undang-Undang yang sudah sah

Namun penamaan kartu grafis yang diberikan AMD lewat driver masih kurang jelas dan akurat, dikarenakan developer yang mengelola divisi driver AMD ini masih malas merubah nama

Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Terdapat pengaruh positif yang signifikan motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar KKPI siswa kelas XI