• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Paksa terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Kasus pada KPP Pratama Bandung Karees).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Paksa terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Kasus pada KPP Pratama Bandung Karees)."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Tax is one source og significant revenuefor the state. The goverment continued to try to increase revenue from the tax sector by making innovations, both in terms of legislation and taxation system. This research entitled The Effect Of Tax Colletion Through Claimed Letter to The Tax Obligatory Discipline in KPP Pratama Bandung Karees is done in order to know the effect claimed letter to the tax obligatory discipline. Independent variable in this research is the amount of claimed letters that printed (X) whereas dependent variable is the amount of tax loan that is paid after giving claimed letter (Y). The analyses method used in this research is that using clasical assumption test (normality test, heterokedastisitas), simple linier regression analysis, coeeficient determination and hypothesis test. The hypothesis test shows that significant value 0,000 is smaller is than 0,05 which means that H0 is rejected and H1 is accepted, and it means there is significant effect between tax collection using claimed letter to the tax obligatory. Coefficient determination (adjusted R square) is 0,696 or 70% (net), means tax collection using claimed letter to the tax obligatory is 70% while the rest 30% is affected by other factors that are not inserted in this research

(2)

viii

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting. Pemerintah terus berusaha untuk dapat meningkatkan penerimaan dari sektor pajak dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan, baik dari segi perundangan-undangannya maupun dari sistem perpajakannya. Penelitian yang berjudul Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak di KPP Pratama Bandung Karees dilakukan untuk mengetahui pengaruh penerbitan surat paksa terhadap kepatuhan wajib pajak. Variabel independent dalam penelitian ini adalah jumlah surat paksa yang diterbitkan (X) sedangkan variabel dependent dalam penelitian ini adalah jumlah dari tunggakan pajak yang dicairkan setelah dikeluarkan surat paksa (Y). Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan uji asumsi klasik ( uji normalitas, uji heterokedastisitas), analisis regresi linier sederhana, koefisien determinasi dan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa nilai signifikan 0,000 lebih kecil dari 0,05 yang berarti bahwa H0 ditolak dan H1 diterima, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara penagihan pajak dengan surat paksa terhadap kepatuhan wajib pajak. Koefisien determinasi (Adjusted R Square) sebesar 0,696 atau 70% (hasil pembulatan), artinya penagihan pajak dengan surat paksa memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak sebesar 70%, sedangkan sisanya sebesar 30% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diikutsertakan dalam penelitian ini.

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRACT ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 11

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS ... 13

2.1 Pengertian Pajak... 13

2.1.1 Pungutan Lain Selain Pajak...……….. 15

(4)

x

2.1.8 Teori-Teori Yang Mendukung Pemungutan Pajak ... 26

2.2 Pengertian Penagihan Pajak ... 27

2.2.1 Penagihan Pajak Pasif ... 30

2.2.2 Penagihan Pajak Aktif ... 35

2.2.3 Penerbitan Surat Paksa ... 38

2.2.4 Daluarsa Penagihan Pajak ... 41

2.2.5 Jangka Waktu Hak Penagihan Pajak ... 42

3.1.4 Uraian Tugas dan Jabatan KPP Pratama Bandung Karees 56 3.2 Metode Penelitian ... 62

(5)

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 63

3.2.3 Operasional Variabel ... 64

3.2.4 Penetapan Populasi dan Sampel ... 65

3.2.5 Analisis Data ... 65

3.2.5.1 Uji Normalitas ... 66

3.2.5.2 Uji Heterokedastisitas ... 66

3.2.5.3 Analisis Regresi Sederhana ... 66

3.2.5.4 Pengujian Hipotesis ... 67

3.2.5.5 Uji Koefisien Determinasi... 68

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... . 69

4.1 Tindakan Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa ... 69

4.2 Hasil Penelitian ... 75

4.2.1 Uji Normalitas ... 75

4.2.2 Uji Heterokedastisitas ... 76

4.2.3 Analisis Regresi Linier Sederhana ... 76

4.2.4 Pengujian Hipotesis ... 78

4.2.5 Koefisien Determinasi... .... 79

4.3 Pembahasan ... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

5.1 Kesimpulan ... 81

5.2 Saran………. ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83

LAMPIRAN ... 84

(6)

xii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR GAMBAR

(7)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I Jumlah Surat Paksa yang Diterbitkan dan dilunasi Pada

KPP Pratama Bandung Karees Tahun 2009 s/d 2011 ... 71

Tabel II Jumlah Surat Paksa yang Diterbitkan dan dilunasi Pada KPP Pratama Bandung Karees Tahun 2009 s/d 2011 (Lanjutan) ... 66

Tabel III Jumlah Wajib Pajak Terdaftar di KPP Pratama Bandung Karees Tahun 2009 s/d 2011 ... 73

Tabel IV Jumlah Target Penerimaan dan Realisasi Penerimaan Pajak KPP Pratama Bandung Karees Tahun 2009 s/d 2011 ... 75

Tabel V Uji Normalitas ... 76

Tabel VI Uji Heterokedastisitas... 77

Tabel VII Analisis Regresi Linier Sederhana ... 78

Tabel VIII Pengujian Hipotesis ... 79

(8)

xiv

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran A Uji Normalitas dan Uji Heteroskedastisitas ... 84 Lampiran B Analisis Regresi dan Pengujian Hipotesis ... 85 Lampiran C Koefisien Determinasi ... 86 Lampiran D Jumlah Surat Paksa Yang Diterbitkan Dan Jumlah Surat

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Negara Indonesia mempunyai tujuan yang tertuang dalam pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mensejahterahkan rakyat Indonesia secara adil dan merata. Dimana salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia yaitu dengan melakukan pembangunan nasional secara bertahap dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan pembangunan tersebut tentunya pemerintah membutuhkan dana yang cukup besar dan dalam pemenuhan dana tersebut pemerintah mempunyai sumber-sumber penerimaan yang berasal dari dalam dan luar negeri. Pinjaman luar negeri adalah salah satu contoh penerimaan yang berasal dari luar negeri, dan penerimaan dari sektor pajak adalah salah satu contoh dari penerimaan dalam negeri.

Pajak merupakan pendapatan negara yang sangat potensial untuk dapat mencapai tujuan dalam pembangunan nasional. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan

negara demi kemakmuran rakyat.” Dengan peran yang melekat sebagai penopang

(10)

Bab I Pendahuluan 2

Universitas Kristen Maranatha supaya penerimaan dari sektor pajak ini bisa meningkat setiap tahunnya termasuk pembenahan di sistem perpajakan yang sudah ada.

Pada mulanya pajak merupakan upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Pemberiaan yang dilakukan saat itu digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.

Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi

hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat

itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk

kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan,

pembangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum

lainnya.

Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang

semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat

suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun

unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka

rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang

nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri. Di

Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak

(11)

Bab I Pendahuluan 3

1. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968.

2. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang Undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti.

3. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.

4. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing.

5. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan (PPd), Pajak Kekayaan (PPk), Pajak Perseroan (PPs) atau Tata Cara Menghitung Pajak

Sendiri (MPS), Menghitung Pajak Orang Lain (MPO).

Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa Undang-Undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial.

Reformasi perpajakan 1983 bisa dikatakan sebagai titik awal reformasi dibidang perpajakan dinegara kita, yaitu digantikannya official assessment system menjadi self assessment system. Dalam self assessment system Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya. Mulai dari menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutangnya.

(12)

Bab I Pendahuluan 4

Universitas Kristen Maranatha Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan (PPd), Pajak Kekayaan (PPk), Pajak Perseroan (PPs) atau Tata Cara Menghitung Pajak Sendiri (MPS),

Menghitung Pajak Orang Lain (MPO) dan mengundangkan 5 (lima) paket Undang-Undang Perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan. Kelima undang-undang tersebut adalah:

1. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

2. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

3. UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

4. UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Bangunan (masih menggunakan

official assessment system).

5. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.

Tujuan utama dari reformasi perpajakan tahun 1983 adalah untuk

menegakkan kemandirian kita dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan

lebih mengarahkan segenap potensi dan kemampuan dalam negeri, khususnya

dengan cara meningkatkan penerimaan negara melalui perpajakan dari

sumber-sumber di luar minyak bumi dan gas alam.

Reformasi perpajakan tidak berhenti begitu saja, tetapi terus dilakukan

perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan perubahan sistem perekonomian dan

pengaruh globalisasi dunia yang semakin kuat. Pada tahun 1994, empat dari kelima

undang-undang diatas kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa

(13)

Bab I Pendahuluan 5

1. UU No. 9 Tahun 1994 perubahan atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan.

2. UU No. 10 Tahun 1994 perubahan atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan.

3. UU No. 11 Tahun 1994 perubahan atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak

Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

4. UU No. 12 Tahun 1994 perubahan atas UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak

Bumi dan Bangunan.

Pada tahun 1997 dikeluarkan lagi serangkaian undang-undang yang

berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah

direformasi Tahun 1994, yaitu:

1. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak.

2. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

3. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

4. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

5. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Adanya perkembangan sosial dan ekonomi, pemerintah kembali mengeluarkan serangkaian Undang-Undang untuk mengubah Undang-Undang yang telah ada, yaitu:

1. UU No. 16 Tahun 2000 perubahan atas UU No. 6 Tahun 1983 dan perubahan atas

UU No. 10 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

2. UU No. 17 Tahun 2000 perubahan atas UU No. 7 Tahun 1983 dan perubahan atas

(14)

Bab I Pendahuluan 6

Universitas Kristen Maranatha

3. UU No. 18 Tahun 2000 perubahan atas UU No. 11 Tahun 1994 tentang Pajak

Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

4. UU No. 19 Tahun 2000 perubahan atas UU No. 19 Tahun 1959 dan perubahan

atas UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.

5. UU No. 21 Tahun 2000 perubahan atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

6. UU No. 34 Tahun 2000 perubahan atas UU UU No. 18 Tahun 1997 Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah.

7. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 Perubahan atas UU UU No. 13

Tahun 1985 tentang Tarif Bea Materai.

Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.

Perubahan terakhir Undang-Undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada

tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku

mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009,

serta UU PPN No. 42 Tahun 2009 yang berlaku mulai tahun 2010. Namun,

dilatarbelakangi adanya sunset policy beberapa waktu lalu, maka UU KUP

diperbaharui lagi dengan adanya UU No 16 Tahun 2009 sebagai penerapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 5 Tahun 2008 yang hanya

mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.

(15)

Bab I Pendahuluan 7

Dengan sistem pemungutan Self assessment system kepercayaan penuh yang diberikan oleh pemerintah kepada para wajib pajak dalam kenyataanya tidak selalu berjalan dengan baik, kenyataannya masih banyak wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Sehingga dengan adanya ketidaktaatan seperti ini akan secara langsung berpengaruh terhadap penurunan penerimaan negara. Dalam hal pemenuhan pembiayaan pembangunan melalui pajak, peran dari wajib pajak merupakan faktor yang paling menentukan keberhasilan peningkatan penerimaan pajak. Selain itu faktor lain yang sangat berpengaruh adalah bagaimana pemerintah dalam hal ini fiskus melakukan penagihan pajak terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya.

Proses penagihan pajak akan dilakukan bila terdapat utang pajak yang belum lunas sampai dengan tanggal jatuh tempo, seperti dengan adanya Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan lainnya, maka akan dilakukan tindakan penagihan pajak seperti:

1. Menegur dan memperingatkan. 2. Penagihan seketika dan Sekaligus. 3. Surat Paksa.

4. Pencegahan. 5. Penyitaan.

6. Pemblokiran rekening wajib pajak. 7. Penyanderaan.

(16)

Bab I Pendahuluan 8

Universitas Kristen Maranatha Pengertian penagihan pajak menurut UU Nomor 19 Tahun 2000 adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.

Dalam hal penagihan pajak pihak Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atau surat ketetapan pajak (SKP) sebagai sarana dalam pelunasan pajak terutang. Namun seperti yang telah diuraikan diatas bahwa pada kenyataan dilapangan tidak sedikit wajib pajak yang menghiraukan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak tersebut.

Selanjutnya pihak fiskus melakukan penagihan secara aktif dengan menerbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan lainnya. Surat Teguran Pajak bukan merupakan suatu sarana yang dapat menjamin bahwa para wajib pajak akan melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya wajib pajak yang tidak menjawab atas penerbitan Surat Teguran Pajak tersebut, sehingga langkah selanjutnya yang diupayakan oleh fiskus adalah dengan menerbitkan penagihan pajak dengan Surat Paksa yang merupakan salah satu sarana dalam melaksanakan penagihan pajak guna mencapai penerimaan negara.

(17)

Bab I Pendahuluan 9

Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000 dinyatakan bahwa surat paksa diterbitkan apabila:

1. Penanggung pajak tidak melunasi uatng pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.

2. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus. 3. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam

keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Secara garis besar tujuan pemerintah melakukan reformasi perpajakan adalah untuk meningkatkan penerimaan negara melalui kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Adapun pengertian kepatuhan Wajib Pajak menurut Safri Nurmantu yang dikutip oleh Siti Kurnia Rahayu dalam bukunya yang berjudul Perpajakan (2010;138), menyatakan bahwa “kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua

kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya”. Kepatuhan Wajib

Pajak menurut Chsaizi yang dikutip oleh Siti Kurnia Rahayu (2010;139) dapat terlihat dari:

1. Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri.

2. Kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat pemeritahuan. 3. Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang, dan 4. Kepatuhan dalam pembayarn tunggakan.

(18)

Bab I Pendahuluan 10

Universitas Kristen Maranatha Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam

suatu negara”. Dari pengertian tersebuta dapat disimpulkan bahwa Wajib Pajak yang

patuh adalah Wajib Pajak yang sadar pajak, paham atas hak dan kewajiban perpajakannya, Dimana kepatuhan dalam hal pemenuhan kewajibannya menjadi kunci keberhasilan dari self assesment system.

Adapun jenis-jenis kepatuhan Wajib Pajak menurut Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu dalam buku Perpajakan (2006:110) adalah:

 Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi

kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang perpajakan.

 Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara

substantif/hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakannya yaitu sesuai dan jiwa Undang-Undang pajak kepatuhan material juga dapat meliputi kepatuhan formal.

Misalnya ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuaan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila Wajib Pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret maka Wajib Pajak telah memnuhi ketentuan formal, akan tetapi isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan diman Wajib Pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang perpajakan yang berlaku.

(19)

Bab I Pendahuluan 11

lengkap dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan dan menyampaikan ke KPP Wajib Pajak terdaftar sebelum batas waktu berkahir. Berdasarkan uraian penjelasan diatas maka untuk lebih mengerti dan memahami lagi mengenai pengaruh penagihan surat paksa terhadap kepatuhan wajib pajak maka peneliti memutuskan mengambil judul: “Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap

Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Kasus Pada KPP Pratama Bandung Karees)”.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan uraian latar belakang diatas maka pokok permasalahan yang akan diteliti adalah:

1. Bagaimanakah KPP Pratama Bandung Karees melakukan penagihan pajak dengan surat paksa?

2. Seberapa jauh peranan penagihan Surat Paksa dalam rangka kepatuhan Wajib Pajak?

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dan tujuan penelitian berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan diatas maka peneliti mempunyai tujuan yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaimana KPP Pratama Bandung Karees dalam melakukan penagihan pajak.

(20)

Bab I Pendahuluan 12

Universitas Kristen Maranatha 1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

a. Sebagai salah satu persyaratan akademis untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Maranatha.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan atau pengetahuan dibidang perpajakan mengenai pengaruh penagihan pajak dengan adanya surat paksa terhadap kepatuhan wajib pajak.

2. Bagi perusahaan

Dalam hal ini adalah Kantor Pelayanan Pajak yang menjadi obyek penelitian agar dapat menjadi pertimbangan dalam melaksanakan penagihan pajak dengan surat paksan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

3. Bagi pembaca

(21)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian dan analisis data yang telah dilakukan menggunakan SPSS 17.0 for windows, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. KPP Pratama Bandung Karees menerbitkan surat paksa apabila surat teguran terbit setelah 7 hari dari saat jatuh temponya hutang pajak, penyampaian surat teguran bisa dengan cara langsung, melalui pos tercatat atau melalui jasa ekspedisi. Apabila dalam jangka waktu 21 hari sejak pengiriman surat teguran utang pajak belum dilunasi oleh wajib pajak yang bersangkutan belum lunas, maka dalam hal ini KPP Pratama Bandung Karees akan menerbitkan surat paksa. Selanjutnya apabila dalam jangka waktu 2x24 jam utang pajak belum lunas maka KPP Pratama Bandung Karees dapat melaksanakan penagihan aktif berupa, pencekalan, pemblokiran rekening dan penyitaan asset milik wajib pajak terutang, dimana pelaksanaan penyitaan ini harus didahului dengan penerbitan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP).

(22)

Bab V Kesimpulan dan Saran 82

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan, peneliti akan mencoba untuk memberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Penagihan pajak dengan surat paksa harus tetap ditingkatkan lagi oleh pemerintah dalam hal ini pihak fiskus, sehingga diharapkan dengan kesadaran dari wajib pajak terus meningkkat dalam melaksanakan kewajibannya perpajakannya dapat menigkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Erwis, Nana Adriana. 2012. Efektivitas Penagihan Pajak Dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Terhadap Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makasar Selatan. Fakultas Ekonomi. Universitas Hasanuddin Makasar. Nurmanto, Safri. 2003. Pengantar Perpajakan, Kelompok Yayasan Obar, Jakarta. Pardede, marulak, 2006, Dis-sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam

Perpajakan Pada Penagihan Dengan Surat Paksa, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 3 No. 3 Hal 103-102, Jakarta

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 192/PMK.03/2007 Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000

Kurniawati, 2008. Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dikantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Menteng Dua, UIN Syarif Hidayatullah, jakarta.

Mardiasmo. 2008. Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta. Mardiasmo. 2009. Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Resmi, Siti. 2009. Perpajakan: Teori dan Kasus, Edisi Kelima, Salemba 4: Jakarta. Tansuria, Billy Ivan. 2010. Pokok-Pokok Ketentuan Umum Perpajakan, Edisi Pertama, Graha Ilmu: Yoyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan dengan Surat Paksa. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara

Perpajakan.

Wijoyanti, Mayang. 2010. Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dikantor Pelayanan Pajak Jakarta Mampang Prapatan. Fakultas Ekonomi. Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Setiap titik kisi dapat ditempati satu atom atau lebih dari satu atom

Tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui karakteristik dan pengaruh pemberian biomaterial selulosa bakteri Acetobacter xylinum dari limbah air cucian

However, even though the society assumes that being powerful is not women’s standard of beauty, Mulan shows that her abilities which are used for others benefit as the prove to

jlavus dan Penurunan Kadar Aflatoksin oleh Lactococcus lactis subsp cremoris dan Lactobacillus coryneformis pada Pasta Kacang Tanah..

Pertumbuhan sektor industri non-migas Indonesia pada SM-I/2015 sebesar 5,26% menurun 0,29% jika dibandingkan dengan semester yang sama pada tahun 2014, dimana pertumbuhan

PDA Tigi Ma’aya Tour & Travel haruslah terus dievaluasi agar mengetahui strategi promosi mana yang harus dipertahankan dan tidak perlu dipertahankan, karena setiap

Kesimpulan dari hasil kajian selama melakukan penelitian pada Gudang Farmasi Kabupaten Sukabumi, antara lain: Pada Gudang Farmasi Pemerintah Kabupaten Sukabumi,

Simpulan dan Saran: Pendidikan kesehatan P4K memberikan pengaruh terhadap tingkat pengetahuan, namun tidak memberikan pengaruh pada sikap ibu hamil primigravida