REMAJA
Pradnya Dirga Paramita Taviono
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara gaya hidup brand minded dan kecenderungan pembelian impulsif produk fashion pada remaja. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif dan signifikan antara gaya hidup brand minded dengan kecenderungan pembelian impuslif produk fashion pada remaja. Semakin tinggi gaya hidup brand minded pada remaja, maka semakin tinggi pula kecenderungan para remaja tersebut untuk melakukan pembelian yang impulsif terhadap produk-produk fashion, dan sebaliknya. Penelitian ini menggunakan subjek sejumlah 120 orang (60 perempuan dan 60 laki-laki). Instrumen penelitian ini menggunakan 2 skala, yaitu Skala Gaya Hidup Brand Minded yang terdiri dari 23 item (α = 0,915, rentang rix= 0,346 – 0,727), dan Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Fashion yang terdiri dari 22 item (α = 0,919, rentang rix= 0,309 – 0,772). Hasil analisis menggunakan Spearman’s Rho, karena data yang diperoleh tidak berdistribusi secara normal. Hasil Uji Spearman’s Rho menunjukkan bahwa ada korelasi positif dan signifikan antara gaya hidup brand minded dengan kecenderungan pembelian impulsif produk fashion (r = 0,669, p = 0,000).
ADOLESCENTS
Pradnya Dirga Paramita Taviono
ABSTRACT
This study aimed to examine the relationship between the brand minded lifestyle and the impulsive buying tendency of fashion products in adolescents. The hypothesis in this study was there is a positive and significant correlation between brand minded lifestyle with the impulsive buying tendency of fashion products in adolescents. More higher brand minded lifestyle, the impulsive buying tendency of fashion products in adolescents will be more higher too, and vice versa. The research participants were 120 subjects (60 girls and 60 boys). The research instrument applied two scales, namely Brand Minded Lifestyle scale consist of 23 items (α = 0.915, range of rix= 0,346 – 0,727) and The Impulsive Buying Tendency of Fashion Products scale consist of 22 items (α = 0.919, range of rix= 0,309 –0,772). This research used Spearman’s Rho for the correlate analysis, because data from this study have an un-normal distribution. The results of the analysis of the Spearman’s Rho, showed that there was a positive and significant correlation between lifestyle brand minded and impulsive buying of fashion products (r = 0.669, p = 0.000).
i
HUBUNGAN ANTARA GAYA HIDUP BRAND MINDED DENGAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PRODUK FASHION
PADA REMAJA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Pradnya Dirga Paramita Taviono
119114176
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN MOTTO
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan
kepadaku”
(Filipi 4 : 13)
“I’m Nothing Without You, God. And With You, I Can Do Anything”
(Edward Chen)
“What is not started, will neve get finished”
(Johann Wolfgang VG)
“If “Plan A” didn’t work. The alphabet has 25 more letters! Stay cool ”
(unknown)
“When you want something, all the universe conspires in helpping you to achieve it”
(Paulo Coelho)
“You have to get up every morning and tell yourself, I CAN DO THIS!”
(unknown)
“Tidak ada manusia yang bodoh karena telat wisuda, tidak ada yang ingin mempermalukan oranag tuanya hanya karena belum lulus, semua orang
punya prosesnya masing-masing. Begitu juga aku, kamu dan kita”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Saya persembahkan Skripsi ini kepada semua orang yang telah turut membantu
saya dalam bentuk doa, semangat, motivasi dan apapun. Serta saya juga
mengucapkan terimakasih kepada:
Termakasih Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai senantiasa dalam proses
penyusunan skripsi ini.
Terimaksih kepada orang tua, adik serta Jinggo dan seluruh keluarga besar saya
yang selalu mendukung, memberi semangat dan mendoakan kelancaran proses
penyusunan skripsi ini.
Terimakasih kepada dosen pembimbing saya yang senantiasa membimbing dan
menyediakan waktu dan tenaganya untuk menghantarkan saya dari awal hingga
selesai menyusun skripsi ini.
Terimaksih kepada sahabat-sahabat SMA saya, terkhusus Rohaye yang tidak
pernah lelah mendukung, memberi semangat dan mendoakan saya untuk dapat
cepat menyelesaikan skripsi ini.
Terimaksih kepada sahabat-sahabat saya di Jogja, terkhusus Clarissa dan Yunika
yang selalu mendukung, tidak lelah membantu saya dalam hal apapun, memberi
semangat dan juga yang telah mendoakan kelancaran skripsi ini.
Terimaksih kepada teman-teman kost Putri Intan terkhusus Elyn, Nella dan Natry
serta kepada teman-teman Padepokan Mbak Etta 2011, yang turut mendukung,
membatu dan mendoakan saya. Semangat untuk kalian yang masih berjuang
menyelesaikan skripsi. Sukses untuk kita semua.
Dan,
Terimakasih kepada semua teman-teman dan siapapun yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, terimakasih untuk dukungan dan doa-doanya agar saya
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 21 April 2016
Penulis
vii
HUBUNGAN ANTARA GAYA HIDUP BRAND MINDED DENGAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPUSLIF PRODUK FASHION
PADA REMAJA
Pradnya Dirga Paramita Taviono
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara gaya hidup brand minded dan kecenderungan pembelian impulsif produk fashion pada remaja. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif dan signifikan antara gaya hidup brand minded dengan kecenderungan pembelian impuslif produk fashion pada remaja. Semakin tinggi gaya hidup brand minded pada remaja, maka semakin tinggi pula kecenderungan para remaja tersebut untuk melakukan pembelian yang impulsif terhadap produk-produk fashion, dan sebaliknya. Penelitian ini menggunakan subjek sejumlah 120 orang (60 perempuan dan 60 laki-laki). Instrumen penelitian ini menggunakan 2 skala, yaitu Skala Gaya Hidup Brand Minded yang terdiri dari 23 item (α = 0,915, rentang rix= 0,346 – 0,727), dan Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Fashion yang terdiri dari 22 item (α = 0,919, rentang rix= 0,309 – 0,772). Hasil analisis menggunakan Spearman’s Rho, karena data yang diperoleh tidak berdistribusi secara normal. Hasil Uji Spearman’s Rho menunjukkan bahwa ada korelasi positif dan signifikan antara gaya hidup brand minded dengan kecenderungan pembelian impulsif produk fashion (r = 0,669, p = 0,000).
viii
THE RELATION BETWEEN BRAND MINDED LIFESTYLE AND THE IMPULSIVE BUYING TENDENCY OF FASHION PRODUCTS
IN ADOLESCENTS
Pradnya Dirga Paramita Taviono
ABSTRACT
This study aimed to examine the relationship between the brand minded lifestyle and the impulsive buying tendency of fashion products in adolescents. The hypothesis in this study was there is a positive and significant correlation between brand minded lifestyle with the impulsive buying tendency of fashion products in adolescents. More higher brand minded lifestyle, the impulsive buying tendency of fashion products in adolescents will be more higher too, and vice versa. The research participants were 120 subjects (60 girls and 60 boys). The research instrument applied two scales, namely Brand Minded Lifestyle scale consist of 23 items (α = 0.915, range of rix= 0,346 – 0,727) and The Impulsive Buying Tendency of Fashion Products scale consist of 22 items (α = 0.919, range of rix= 0,309 – 0,772). This research used Spearman‟s Rho for the correlate analysis, because data from this study have an un-normal distribution. The results of the analysis of the Spearman‟s Rho, showed that there was a positive and significant correlation between lifestyle brand minded and impulsive buying of fashion products (r = 0.669, p = 0.000).
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma :
Nama : Pradnya Dirga Paramita Taviono
Nomor Mahasiswa : 119114176
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, karya ilmiah yang berjudul :
HUBUNGAN ANTARA GAYA HIDUP BRAND MINDED DENGAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PRODUK FASHION
PADA REMAJA
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau di media
lain untuk kepentingan akadems tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 21 April 2016
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terimakasih saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yaitu Tuhan Yesus Kristus atas segala penyertaan dan pendampingan selama
proses pengerjaan skripsi ini. Penulis memohon maaf apabila terdapat hal-hal
yang tidak berkenan. Pada proses penulisan skripsi ini, penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Tarsius Priyo Widiyamto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si selaku Kepala Program Studi Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Dosen pembimbing akademik saya, Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi.
4. Dosen pembimbing skripsi saya, Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi, M.A.
5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah
memberikan ilmu selama saya menempuh bangku kuliah.
6. Seluruh staff Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas keramahannya
dan bantuannya selama saya menempuh bangku kuliah.
7. Seluruh subjek penelitian saya yang sudah mau direpotkan dan mendoakan
keberhasilan saya.
Peneliti menyadari kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa,
sehingga peneliti sangat terbuka dengan kritik dan saran dari siapapun. Mohon
maaf apabila ada salah kata. Sekian.
xi
A. PEMBELIAN IMPULSIF PRODUK FASHION PADA REMAJA...9
1. Pembelian Impulsif...9
2. Aspek Pembelian Impulsif...11
xii
b. Aspek Afektif...12
3. Faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif ...13
a. Faktor Internal...13
b. Faktor Eksternal...14
4. Pembelian Impulsif Produk Fashion Pada Remaja...15
B. GAYA HIDUP BRAND MINDED...16
1. Pengertian Gaya Hidup Brand Minded...16
2. AIO dalam Gaya Hidup...18
3. Dampak Gaya Hidup Brand Minded...19
C. REMAJA...20
1. Kategori Tahapan Usia Masa Remaja...21
2. Karakteristik Remaja...23
D. DINAMIKA HUBUNGAN ANTARA GAYA HIDUP BRAND MINDED DENGAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PRODUK FASHION PADA REMAJA...25
E. SKEMA HUBUNGAN GAYA HIDUP BRAND MINDED DENGAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PRODUK FASHION PADA REMAJA...28
F. HIPOTESIS...29
BAB III METODE PENELITIAN...30
A. JENIS PENELITIAN...30
B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN ...30
C. DEFINISI OPERASIONAL...31
1. Gaya Hidup Brand Minded...31
2. Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Fashion...31
D. SUBJEK PENELTIAN...32
E. METODE PENGUMPULAN DATA...33
1. Skala Gaya Hidup Brand Minded ...33
2. Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Fashion...35
F. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ...36
xiii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...44
A. PELAKSANAAN PENELITIAN...44
B. DESKRIPSI SUBJEK PENELITIAN...44
C. DESKRIPSI DATA PENELITIAN...45
D. HASIL PENELITIAN...47
1. Uji Asumsi...47
a. Uji Normalitas ...47
b. Uji Linearitas...48
2. Uji Hipotesis...49
E. ANALISIS TAMBAHAN...50
1. Uji Perbedaan Jenis Kelamin...50
2. Uji Perbedaan Usia...52
F. PEMBAHASAN...55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...58
A. KESIMPULAN...58
B. SARAN...58
1. Bagi Remaja...58
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Sebaran Item Skala Gaya Hidup Brand Minded sebelum seleksi item....34
Tabel 2. Skor item-item favorable pada Skala Gaya Hidup Brand Minded...34
Tabel 3. Skor item-item unfavorable pada Skala Gaya Hidup Brand Minded...34
Tabel 4. Sebaran Item Skala Pembelian Impulsif Produk Fashion sebelum seleksi item...35
Tabel 5. Skor item-item favorable pada Skala Pembelian Impulsif Produk Fashion sebelum seleksi item...35
Tabel 6. Skor item-item unfavorable pada Skala Pembelian Impulsif Produk Fashion sebelum seleksi item...36
Tabel 7. Sebaran Item Skala Gaya Hidup Brand Minded setelah seleksi item...38
Tabel 8. Sebaran Item Skala Pembelian Impulsif Produk Fashion setelah seleksi item...39
Tabel 9. Deskripsi identitas subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin...45
Tabel 10. Deskripsi identitas subjek penelitian berdasarkan usia tahapan masa remaja...45
Tabel 11. Data Teoritis dan Empiris...46
Tabel 12. Uji Beda Mean Teoritis dan Mean Empiris Gaya Hidup Brand Minded...46
Tabel 13. Uji Beda Mean Teoritis dan Mean Empiris Pembelian Impulsif Produk Fashion...47
Tabel 14. Hasil Analisis Kolmograv-Smirnov Test...48
Tabel 15. Hasil Uji Linearitas...48
Tabel 16. Hasil Uji Korelasi...49
Tabel 17. Hasil Uji Perbedaan Pembelian Impulsif Produk Fashion Berdasarkan Jenis Kelamin...51
xv
Tabel 19. Hasil Uji Perbedaan Pembelian Impulsif Produk Fashion Berdasarkan Usia Tahapan Masa Remaja...53
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Skala Try Out 1...67
Lampiran Skala Try Out 2...73
Lampiran Tabel Seleksi Item...78
Lampiran Skala Penelitian...82
Lampiran Tabel Uji Beda...90
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan berbelanja yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya
selalu mengalami peningkatan dan semakin mengarah ke pembelian yang
impulsif. Riset dari The Nielsen Company pada tahun 2011 (diakses pada
23 Mei 2015 melalui www.tempo.com), mengungkapkan bahwa data dari
tahun 2003 hingga 2011 menunjukkan masyarakat Indonesia berkembang
menjadi semakin impulsif. Pada bulan Juni 2013, Nielsen kembali
melaporkan hasil survei bahwa konsumen Indonesia meningkat semakin
impulsif dalam berbelanja dibandingkan tahun sebelumnya (diakses pada
22 Juni 2015 melalui www.nielsen.com).
Rook (1987) mengungkapkan bahwa pembelian impulsif
merupakan perilaku pembelian yang terjadi akibat adanya dorongan untuk
membeli secara tiba-tiba dan lebih melibatkan konflik emosional.
Hirschman dan Stern (dalam Sumarwan, 2011) juga menjelaskan bahwa
adanya dorongan emosional terhadap suatu produk tertentulah yang
menyebabkan terjadinya perilaku pembelian secara spontan dan tidak
terefleksi. Perilaku pembelian seperti itulah yang disebut sebagai
pembelian impulsif (Sumarwan, 2011).
Pelaku pembelian impulsif bisa siapa saja, tidak terkecuali bagi
Beatti dan Friese (1995) menunjukkan bahwa remaja sebagai konsumen
pun semakin impulsif. Usia 11 – 21 tahun memang memiliki
kecenderungan pembelian yang lebih impulsif (Lin & Lin, 2005; Semuel,
2007; Paramita, 2015). Penelitian lain yang dilakukan oleh Wood (1998)
juga menunjukkan hasil bahwa pembelian impulsifakan meningkat secara
sangat signifikan mulai pada usia 18 tahun dan akan menurun setelah usia
39 tahun.
Pembelian impuslif juga membawa dampak bagi kehidupan pribadi
remaja. Kebiasaan membeli secara impulsif akan menyebabkan adanya
perasaan bersalah yang cukup mengganggu. Perasaan bersalah ini timbul
begitu saja setelah melakukan pembelian secara impulsif tersebut
(Verplanken & Herabadi, 2001). Selain itu, dampak yang cukup
merugikan adalah dari sisi keuangan. Terlebih bagi remaja yang sebagian
besar belum memiliki penghasilan atau pendapatan sendiri, dan juga
sebagaian besar remaja belum mampu mengelola keuangan dengan baik.
Maka, kebiasaan membeli sesuatu tanpa perencanaan tentu akan
mengakibatkan membengkaknya anggaran atau pengeluaran (Fitri, 2006).
Masa remaja memiliki karakteristik khusus, yaitu sebagai masa
perkembangan transisi (Papalia, 2008). Remaja akan mengalami banyak
perubahan, baik secara biologis, kognitif maupun sosial (Santrock, 2003).
Maka wajar jika cenderung lebih labil, karena masih mencari jati diri atau
identitas diri (Santrock, 2003). Di masa ini, seseorang juga mulai belajar
biasanya akan lebih mudah terpengaruh oleh lingkungannya (Sumanto,
2014). Karakteristik dasar tersebutlah yang membuat remaja lebih cepat
dan mudah untuk melakukan pembelian impulsif (Anastasia, Rasimin &
Nuryati, 2008).
Pembelian impulsif dapat terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa
faktor internal maupun eksternal. Salah satu faktor yang mempengaruhi
pembelian impulsif adalah gaya hidup. Penelitian dari Bashir, Zeeshan dan
Sabbar (2013) mengungkapkan bahwa gaya hidup membawa pengaruh
yang signifikan dalam munculnya kecenderungan pembelian impulsif pada
masyarakat di Pakistan. Bashar dan Saraswat (2014), juga menunjukan
hasil penelitiannya bahwa gaya hidup berpengaruh pada munculnya
pembelian impulsif pada konsumen di India. Santy dan Adhipratama
(2013), mengungkapkan bahwa gaya hidup memberikan pengaruh yang
paling besar terhadap adanya pembelian impulsif di Surf Inc Bandung.
Gaya hidup sebagai salah satu faktor dari penyebab pembelian
impulsif dapat didefinisikan sebagai nilai yang akan mempengaruhi
seseorang dalam hal kebutuhan, keinginan dan perilaku, tidak terkecuali
perilaku pembelian (Hawkins & Mothersbaugh, 2007). Gaya hidup juga
dapat diartikan sebagai apa yang dibeli, bagaimana digunakan dan apa
yang dipikirkan tentang produk tersebut (Munandar, 2001). Blackwell, et
al (1994), secara singkat menjelaskan gaya hidup sebagai pola yang
digunakan orang untuk hidup dan apapun yang dilakukan untuk
Gaya hidup tidak dapat dipisahkan dari pengaruh perkembangan
zaman dan kemajuan teknologi. Adanya perkembangan zaman dan
kemajuan teknologi akan mempengaruhi gaya hidup seseorang. Bagi
remaja perkembangan zaman dan kemajuan teknologi merupakan sesuatu
yang menarik, sehingga mereka akan selalu berusaha mengikutinya. Hal
ini secara sadar ataupun tidak akan mempengaruhi gaya hidup mereka
sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari cara mereka menghabiskan uang
dan waktunya. Sebagai contoh, remaja masa kini lebih sering menjelajahi
tempat nongkrong, cafe ataupun restoran tertentu yang terbilang baru dan
bergengsi (diakses pada 29 Juli 2015 melalui www.antaranews.com).
Adanya kemajuan teknologi juga membuat para remaja lebih
memanfaatkan internet untuk dapat up to date dalam mengikuti
perkembangan apapun (diakses pada 29 Juli 2015 melalui
www.id.techinasia.com). Bagi remaja dengan membeli dan menggunakan
barang-barang bermerek (branded) terkenal ataupun eksklusif merupakan
salah satu bentuk upaya untuk menunjukkan bahwa mereka turut
mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi (Susianto, 1993).
Upaya remaja untuk membeli dan menggunakan barang-barang
bermerek (branded) terkenal ataupun eksklusif inilah yang akhirnya
mendorong munculnya gaya hidup brand minded. Menurut McNeal
(2007), brand minded sendiri merupakan bentuk pola pikir terhadap
atau eksklusif. Dengan demikian maka gaya hidup brand minded dapat
diartikan sebagai pola gaya hidup yang mengutamakan merek (brand).
Melihat fenomena gaya hidup brand minded para remaja saat ini
serta berdasarkan hasil penelitian dari Elfina (2010), diketahui bahwa
kebanyakan remaja terlebih di kota-kota besar, menunjukkan gaya hidup
brand minded yang sangat kuat dalam hal pembelian dan penggunaan
produk-produk fashion. Berdasarkan penelitian sebelumnya dari
Anastasia, et al (2008), hal tersebut dapat terjadi karena bagi remaja,
fashion merupakan salah satu elemen penting dalam mendukung
penampilan dan dapat membantu untuk mempresentasikan dirinya dengan
baik, sehingga dapat diterima dalam kelompok yang dikehendakinya.
Remaja masa kini juga akan merasa bangga ketika mengikuti trend
fashion, sehingga mereka akan berlomba menggunakan produk-produk
fashion terbaru (diakses pada 29 Juli 2015 melalui www.rancahpost.co.id).
Penelitian yang dilakukan oleh Pranoto dan Mahardayani (2010)
menunjukkan hasil bahwa remaja memiliki kecenderungan yang cukup
besar untuk membeli dan menggunakan barang-barang bermerek
(branded), terlebih pada produk fashion. Sari (2013) dalam penelitiannya
menemukan hasil bahwa salah satu alasaan seseorang membeli dan
menggunakan barang-barang bermerek (branded) adalah mencari
kepuasan diri. Sedangkan, Sutojo (1988) mengungkapkan secara lebih
jelas bahwa remaja memang akan cenderung membeli dan menggunakan
ataupun bergengsi. Hal ini dikarenakan remaja memandang merek (brand)
dapat memberikan kepuasan tersendiri sebagai suatu bagian dari gaya
hidup.
Gaya hidup brand minded memiliki dampak bagi kehidupan
seseorang, tak terkecuali remaja. Berdasarkan penelitian dari Anggraini
(2012), individu dengan kecenderungan gaya hidup brand minded yang
tinggi akan lebih mengikuti perkembangan produk fashion. Seperti, setiap
bulannya membeli produk fashion terbaru dengan merek (brand) tertentu
yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Untuk mendapatkan
produk-produk fashion terbaru dan bermerek (branded) tersebut, individu ini akan
dengan mudahnya membuang uang dan menjadi boros hanya untuk
membeli sesuatu yang tidak terlalu dibutuhkan. Ketika telah berhasil
mendapatkan produk fashion yang diinginkan tersebut, individu dengan
kecenderungan gaya hidup brand minded yang tinggi ini akan merasakan
adanya kepuasan tersendiri (Anggraini, 2012).
Melihat hasil penelitian dari Anggraini (2012) tersebut, individu
dengan gaya hidup brand minded yang tinggi akan selalu berusaha untuk
membeli produk fashion bermerek (branded). Orientasi pada merek
(brand) ini dapat mendorong individu untuk membeli suatu barang yang ia
sukai secara spontan, tanpa mempertimbangkan manfaatnya, sehingga ia
dengan mudahnya menjadi boros. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang
tidak lagi berdasarkan kebutuhan, tetapi semua itu dilakukan untuk
mencari kepuasaan semata.
Tanpa disadari, individu dengan gaya hidup brand minded tinggi,
memiliki perilaku pembelian yang lebih mengarah kepada pembelian
impulsif. Untuk membuktikan apakah gaya hidup brand minded memiliki
hubungan yang signifikan dengan pembelian impulsif, maka peneliti akan
melakukan penelitian dengan mengangkat judul, “Hubungan Antara Gaya
Hidup Brand Minded dan Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk
Fashion Pada Remaja”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran dari latar belakang tersebut, maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara gaya hidup brand
minded dan kecenderungan pembelian impulsif produk fashion pada
remaja?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang signifikan
antara gaya hidup brand minded dan kecenderungan pembelian impulsif
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu
pengetahuan, khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi
(PIO) pada bidang perilaku konsumen (Consumer Behavior).
Penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi referensi empiris ataupun
sebagai masukan bagi peneliti-peneliti lain yang akan melakukan
penelitian tentang perilaku konsumen, terkhusus pembelian impulsif
dan gaya hidup brand minded.
2. Manfaat Praktis
Bagi subjek penelitian, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sebagai bahan refleksi bagi kalangan remaja tentang gaya hidup brand
9 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pembelian Impulsif Produk Fashion Pada Remaja 1. Pembelian Impulsif
Pada era 1970-an, para peneliti mulai mencari tahu mengenai
pembelian impulsif. Rock dan Hoch (dalam Parakh, Bindal &
Saldanha, 2016), mengungkapkan bahwa pembelian impulsif dapat
terjadi bergantung pada dorongan emosional yang dialami oleh setiap
individu. Pembelian impulsif memang berkaitan erat dengan adanya
dorongan untuk membeli secara tiba-tiba dan lebih melibatkan konflik
emosional daripada pemikiran rasional (Rook, 1987; Niu & Wang,
2009; Sharma, Sharma & Mittal, 2012).
Menurut Goldenson (dalam Rook, 1987), dorongan yang
melibatkan konflik emosional ini dapat disebut juga sebagai dorongan
psikologis atau psychological impulse. Dorongan psikologis
(psychological impulse) adalah suatu kekuatan, terkadang berupa
desakan yang susah ditahan dan munculnya secara tiba-tiba untuk
langsung melakukan sesuatu tanpa pertimbangan sebelumnya (Rook,
1987). Wolman (dalam Rook, 1987) juga menjelaskan bahwa
dorongan psikologis (psychological impulse) terjadi tanpa perencanaan
bahwa dorongan yang kuat memiliki kemungkinan untuk sulit dilawan,
karena manusia memiliki kecenderungan untuk sulit mencegah
pengalaman-pengalaman yang dianggapnya menyenangkan. Dorongan
psikologis (psychological impulse) ini sangat berperan dalam
terjadinya perilaku pembelian impulsif (Rook, 1987).
Pembelian impulsif sendiri dapat didefinisikan sebagai perilaku
pembelian yang tidak terstruktur dan instan (Piron, 1991). Pembelian
ini lebih mengacu pada aktivitas pembelian yang sebenarnya tidak
diharapkan, terjadi secara spontan dan tidak reflektif, diiringi dengan
munculnya keinginan yang mendadak untuk membeli suatu produk
tertentu (Gasiorowska, 2011). Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya
melibatkan unsur pikiran dan tidak melalui pertimbangan yang matang
(Rook & Fisher, 1995; Mowen & Minor, 2002; Ghani, 2010).
Pembelian impulsif terjadi tanpa adanya perencanaan sebelumnya
(Rook & Fisher, 1995; Hausman, 2000; Lin & Chen, 2012),
dikarenakan adanya dorongan emosional terhadap suatu produk
tertentu yang dianggap menarik untuk dibeli (Ekeng, Lifu & Asinya,
2012; Sharma, et al, 2012).
Individu dengan kecenderungan impulsif yang tinggi akan lebih
mungkin untuk memiliki daftar belanja yang lebih “terbuka”, serta
lebih mudah dan cepat menerima ide pembelian baru secara tiba‐tiba
(Sumarwan, 2011). Individu dengan kecenderungan impulsif memiliki
mengontrol keinginanya untuk tidak membeli, dan adanya dorongan
emosional untuk segera membeli sesuatu yang diinginkan tersebut
(Verplanknen & Sato, 2011). Rook (dalam Blackwell, Miniard &
Engel, 1995) juga menegaskan bahwa pembelian impulsif memiliki
beberapa karakteristik, yaitu spontanitas, kekuatan impulse dan
intensitas tinggi, dapat merangsang kegembiraan serta cenderung tidak
mempedulikan konsekuensinya yang terjadi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kecenderungan pembelian impulsif merupakan bentuk perilaku
pembelian secara spontan dan tiba-tiba dikarenakan adanya dorongan
psikologis (psychological impulse) yang tidak disadari dan lebih
menekankan pada konflik emosional.
2. Aspek Pembelian Impulsif
Pembelian impulsif terbentuk dari dua aspek dasar yang berkaitan
dengan kurangnya melibatkan unsur-unsur kognitif dan berkaiatan erat
dorongan emosional. Kedua aspek tersebut adalah aspek kognitif dan
aspek afektif.
a. Aspek kognitif
Aspek kognitif mencakup hal-hal yang berkaitan dengan
pemikiran yang matang dan juga rasional. Pada pembelian
impulsif, aspek kognitif yang dimaksudkan dalam pembelian
perencanaan dalam pembelian yang dilakukan. Dalam hal ini ketika
melakukan pembelian, pembayaran yang dilakukan mungkin tidak
direncanakan atau dipertimbangkan sebelumnya dengan matang
untuk berbagai macam alasan (Verplanken & Herabadi, 2001;
Sharma, et al, 2012).
b. Aspek afektif
Aspek afektif dalam pembelian impulsif mencakup dorongan
emosional yang meliputi perasaan senang dan gembira setelah
melakukan pembelian tanpa perencanaan sebelumnya. Selanjutnya
juga akan muncul secara tiba-tiba perasaan atau hasrat untuk
melakukan pembelian berdasarkan keinginan hati, yang sifatnya
berulang-ulang atau kompulsif, tidak terkontrol, kepuasan, kecewa,
serta penyesalan karena telah membelanjakan uang hanya untuk
memenuhi keinginannya (Verplanken & Herabadi, 2001; Sharma,
et al, 2012).
Dapat disimpulkan bahwa pembelian impulsif dapat terbentuk
melalui kurangnya melibatkan unsur-unsur yang berhubungan dengan
aspek kognitf serta adanya aspek afektif yang lebih mengarah pada
dorongan emosional yang meliputi munculnya perasaan senang,
gembira, kepuasan bahkan kecewa dan penyesalan karena telah
3. Faktor Yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif
Pembelian impulsif dapat terjadi juga dipengaruhi secara khusus
oleh beberapa faktor yang dapat dibedakan menjadi faktor internal dan
juga faktor eksternal.
a. Faktor Internal
Menurut Verplanken, Herabdi dan Knippenberg (2009), faktor
internal dari pembelian impulsif secara khusus yang paling
mempengaruhi adalah variabel personal, yang meliputi usia dan
jenis kelamin. Berdasarkan perbedaan usia, remaja dengan usia 11
– 21 memang akan lebih cenderung impulsif (Paramita, 2015; Lin
& Lin, 2005; Semuel, 2007; Sharma, et al, 2012). Kecenderungan
pembelian impulsif ini akan meningkat secara sangat signifikan
mulai pada usia 18 tahun (Wood, 1998).
Berdasarkan jenis kelamin, beberapa peneliti mengatakan
bahwa ada perbedaan jenis kelamin terhadap kecenderungan
pembelian impulsif pada remaja, namun ada peneliti lain yang juga
mengatakan bahwa tidak ada perbedaan secara signifikan. Menurut
Lin dan Chuang (2005), jenis kelamin dapat menjadi pengaruh
munculnya kecenderungan pembelian impulsif dan kecenderungan
pembelian impulsif antara perempuan dan laki-laki berbeda.
Menurut Utami dan Sumaryono (2008), remaja perempuan lebih
cenderung melakukan pembelian secara impulsif daripada remaja
adanya perbedaan antara remaja laki-laki dan perempuan dalam
pembelian impuslif terhadap produk fashion. Menurut Sharma, et al
(2012) dan Ekeng, et al (2012), remaja laki-laki justru lebih
impulsif daripada remaja perempuan.
b. Faktor Eksternal
Menurut Kacen dan Lee (2002), secara eksternal
kecenderungan pembelian impulsif juga dipengaruhi oleh budaya
seperti apa yang melekat pada individu itu sendiri. Menurut
Sharma, et al (2012), pendidikan yang dimiliki seseorang juga
akan mempengaruhi tingkat kecenderungan pembelian impulsif nya
sendiri. Menurut Verplanken, et al (2009), faktor eksternal yang
mempengaruhi kecenderungan pembelian impulsif adalah adanya
variabel lingkungan personal, yang meliputi bagaimana tampilan
dan penawaran yang diberikan oleh suatu produk tertentu. Menurut
Paramita (2015), keluarga juga dapat mempengaruhi munculnya
kecenderungan pembelian impulsif. Pola komunikasi serta pola
asuh tertentu dalam sebuah keluarga dapat mendorong munculnya
kecenderungan untuk membeli secara impulsif. Secara eksternal
pembelian impulsif juga dipengaruhi oleh gaya hidup, yaitu pola
yang digunakan seseorang untuk hidup dan menghabiskan waktu
serta uangnya (Bashir, et al, 2013; Bashar & Saraswat, 2014; Santy
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa faktor internal yang
mempengaruhi pembelian impulsif adalah variabel personal, yang
meliputi segala urusan yang menyangkut kepribadian, seperti usia dan
jenis kelamin. Sedangkan, faktor eksternal meliputi budaya,
pendidikan, lingkungan personal, keluarga dan gaya hidup.
4. Pembelian Impulsif Produk Fashion Pada Remaja
Fashion berasal dari istilah bahasa asing yang artinya adalah
“busana” atau “pakaian” (Wollen, 2003). Menurut KBBI (diakses pada
15 September 2015, melalui www.kbbi.web.id), pakaian (fashion)
merupakan kata benda yang berarti suatu barang yang dapat dipakai
atau digunakan oleh manusia, seperti baju, celana, dan barang-barang
lainnya yang dapat menunjang penampilan. Jusuf (2001) juga
menjelaskan bahwa pakaian (fashion) dapat dipergunakan sebagai alat
untuk mengidentifikasi tingkatan sosial, ekonomi dan juga martabat
seseorang. Dengan demikian maka produk fashion dapat disimpulkan
sebagai sesuatu yang dipergunakan dan dikonsumsi oleh manusia,
berupa aneka barang seperti, baju, celana, sepatu, tas dan lain
sebagainya sebagai sarana penunjang penampilan.
Berdasarkan penelitian dari Ditmar, et al (1995) mengungkapkan
hasil bahwa remaja sebagai pelaku konsumen semakin cenderung
impulsif, terutama dalam hal pembelian produk fashion. Astari dan
Widagda (2014) juga mengatakan bahwa kecenderungan pembelian
daripada laki-laki. Jika melihat fenomena yang terjadi saat ini remaja
laki-laki juga mulai menyukai kegiatan belanja. Pada tahun 2011,
berdasarkan sensus nasional sex ratio diperoleh hasil bahwa konsumen
laki-laki justru lebih impulsif daripada perempuan (diakses pada 27
Februari 2016 melalui www.asmarie.blogdetik.com). Laki-laki sebagai
pelaku konsumen juga mulai menunjukkan kecenderungan pembelian
impuslif terhadap produk fashion yang cukup tinggi. Penelitian dari
Anastasia, et al, (2008) menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya
perbedaan antara remaja laki-laki dan perempuan dalam pembelian
impuslif terhadap produk fashion.
B. Gaya Hidup Brand Minded
1. Pengertian Gaya Hidup Brand Minded
Blackwell, et al (1994) mengungkapkan bahwa gaya hidup
merupakan pola yang digunakan seseorang untuk hidup. Definisi
tersebut sejalan dengan definisi dari Kotler (2005), yang mengatakan
bahwa gaya hidup merupakan pola hidup seseorang yang dapat dilihat
dari aktivitas, minat serta opininya dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Sumarwan (2011) juga menambahkan bahwa gaya hidup yang
merupakan pola hidup sehari-hari ini juga dapat menggambarkan
“keseluruhan kepribadian” dari orang itu sendiri. Oleh karena itu,
dengan mengetahui gaya hidup seseorang, maka dapat diketahui pula
keberadaan kelas sosial serta kepribadian orang tersebut (Sumarwan,
Selain itu, gaya hidup juga memiliki arti apapun yang dilakukan
seseorang untuk menghabiskan waktu serta uang yang dimilikinya
(Blackwell, et al, 1994). Hawkins dan Mothersbaugh (2007),
menjelaskan secara lebih rinci bahwa gaya hidup adalah nilai yang
akan mempengaruhi seseorang dalam berbagai hal, seperti dalam hal
kebutuhan, keinginan, perilaku, tidak terkecuali dalam perilaku
pembelian. Bahkan apa yang dibeli seseorang, bagaimana orang
tersebut menggunakan barang yang dibelinya dan apa yang dipikirkan
mengenai barang tersebut sebelum dan seseudah melakukan pembelian
merupakan bagian dari definisi gaya hidup (Munandar, 2001). Sebagai
contoh, orang yang dalam perilaku pembeliannya, memiliki orientasi
yang kuat pada barang dan produk-produk bermerek (branded), maka
ia akan selalu berusaha untuk membeli barang atau produk bermerek
(branded) tersebut. Dengan demikian, orang tersebut dapat dikatakan
memiliki gaya hidup brand minded.
Pengertian dari merek (brand) menurut American Marketing
Association (AMA), adalah sebuah nama, istilah, tanda, simbol, desain
atau juga kombinasi dari kelima komponen tersebut yang digunakan
untuk mengidentifikasi produk atau jasa dan juga digunakan untuk
membedakan produk atau jasa tersebut dari para pesaingnya (dalam
Fadli, 2010). UU no.15 tahun 2001 tentang merek (brand)
mengungkapkan definisi merek (brand) sebagai gambar, nama, kata,
unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
kegiatan perdagangan dalam bentuk barang ataupun jasa (diakses pada
14 September, melalui www.hukumonline.com). Pengertian dari brand
minded sendiri adalah bentuk pola pikir terhadap objek-objek komersil
yang cenderung berorientasi pada merek (brand) terkenal atau
eksklusif (McNeal, 2007).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa gaya hidup brand
minded adalah pola gaya hidup seseorang yang dapat dilihat dari
aktivitas, minat serta opininya dalam menjalani kehidupan sehari-hari,
terutama dalam perilaku pembeliannya yang selalu berorientasi pada
merek (brand) atau dengan kata lain perilaku pembelian yang selalu
mengutamakan merek (brand).
2. AIO dalam Gaya Hidup
AIO lekat dengan pengukuran gaya hidup. Hal ini dikarenakan AIO
terbilang efektif untuk mengukur gaya hidup secara khusus, secara
operasional dan efektif digunakan untuk pengukuran skala besar atau
secara kuantitatif (Blackwell, et al, 1994; Sumarwan, 2011; Sathish &
Rajamohan, 2012). AIO sendiri merupakan istilah yang menjelaskan
mengenai 3 aspek yang membentuk gaya hidup itu sendiri. 3 aspek
tersebut yaitu:
a. Activitties (aktivitas), meliputi apa yang dilakukan, apa yang dibeli
b. Interest (minat), meliputi preferensi dan prioritas seseorang dalam
memilih produk yang akan dibeli.
c. Opinion (Opini), meliputi pandangan dan perasaan seseorang
terhadap produk-produk yang ada di kehidupannya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa AIO adalah istilah yang
digunakan untuk mengukur gaya hidup berdasarkan 3 aspek, yaitu
aktivitas, minat dan opini. Dalam penelitian ini, AIO juga akan
digunakan sebagai landasan pengukuran pada variabel gaya hidup
brand minded.
3. Dampak Gaya Hidup Brand Minded
Anggraini (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan hasil
bahwa gaya hidup brand minded yang tinggi akan membawa beberapa
dampak yang cukup merugikan, yaitu :
a. Individu dengan kecenderungan gaya hidup brand minded yang
tinggi akan lebih mengikuti perkembangan produk fashion. Seperti,
setiap bulannya membeli produk fashion terbaru dengan merek
(brand) tertentu yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan.
b. Dalam hal keuangan, individu dengan gaya hidup brand minded
yang tinggi cenderung lebih boros dan akan lebih mudah
mengeluarkan uangnya untuk mendapatkan produk-produk fashion
c. Ketika telah mendapatkan produk fashion yang diinginkan,
individu dengan kecenderungan gaya hidup brand minded yang
tinggi ini akan merasakan kepuasan tersendiri. Namun, jika belum
atau tidak berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, maka
akan timbul perasaan tertekan dan membuat individu tersebut
menjadi rendah diri.
Dapat disimpulkan bahwa individu dengan gaya hidup brand
minded yang tinggi akan selalu berusaha untuk membeli produk fashion
bermerek (branded). Orientasi pada merek (brand) ini dapat mendorong
individu untuk membeli suatu barang yang ia sukai secara spontan,
tanpa mempertimbangkan manfaatnya, sehingga ia dengan mudahnya
menjadi boros. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki
kecenderungan gaya hidup brand minded tinggi, membeli tidak lagi
berdasarkan kebutuhan, tetapi semua itu dilakukan untuk mencari
kepuasaan semata. Tanpa disadari, individu tersebut akan memiliki
perilaku pembelian yang mengarah kepada pembelian impulsif.
C. Remaja
Masa remaja adalah tahapan masa perkembangan yang dimulai setelah
seorang individu menyelesaikan tahap perkembangan masa kanak-kanak
akhir (Santrock, 2003). Dengan kata lain, seseorang dapat dikatakan
sebagai remaja jika ia telah memiliki usia lebih dari sepuluh tahun hingga
1. Kategori Tahapan Usia Masa Remaja
Menurut Kanopka (dalam Yusuf, 2004), masa remaja sendiri
dibagi menjadi 3 kategori, berdasarkan usia. Pengkategoriannya
sebagai berikut:
a. Early adolescense (12 – 14 tahun) :
Pada masa ini, menurut Yusuf (dalam Sumanto, 2014) akan
terjadi periode peralihan dari masa perkembangan kanak-kanak
akhir menuju remaja awal. Periode remaja awal (early adolescense)
ini biasanya terjadi ketika seseorang masuk ke tingkat pendidikan
sekolah menengah pertama (SMP). Individu pada masa remaja
awal akan memiliki pola pikir ego-centris, yaitu pola pikir yang
masih menggangap orang lain disekitarnya seperti dirinya dalam
segala hal. Seperti hal yang dipikirkan, dirasakan, disenangi dan
dalam hal-hal lainnya (Sumanto, 2014).
Selain itu, akan mulai muncul minat terhadap kehidupan
praktis sehari-hari yang jauh lebih konkret. Individu akan memiliki
rasa ingin tahu yang besar serta diikuti dengan keinginan untuk
belajar sesuatu yang baru dan juga lebih suka dan sering untuk
mengelompokkan diri dengan teman sebaya (Sumanto, 2014).
b. Middle adolescense (15 – 18 tahun) :
Periode remaja madya atau pertengahan (middle adolescense)
ini biasanya terjadi ketika seseorang masuk ke tingkat pendidikan
dorongan untuk hidup yang lebih kuat, mulai muncul kebutuhan
untuk memiliki sosok teman yang dapat memahami dan
menolongnya, serta mulai mencari sesuatu yang dipandang lebih
bernilai, pantas dijunjung, dipuja dan diperjuangkan (Sumanto,
2014).
c. Late adolescense (19 – 22 tahun)
Periode remaja akhir (late adolescense) ini biasanya terjadi
ketika seseorang akan segera mengakhiri sekolah menengahnya
dan persiapan masuk ke perguruan tinggi (Yusuf dalam Sumanto,
2014). Pada periode ini, seorang remaja akan mulai mempersiapkan
diri untuk memasuki tahapan masa perkembangan dewasa awal.
Individu pada periode ini, sudah mulai mantap menentukan
pendirian hidupnya (Sumanto, 2014).
Selain itu, menurut Sumanto (2014) pada periode ini seseorang
remaja akan lebih memperhatikan dan mempelajari penampilan
fisiknya. Remaja juga akan lebih membangun sikap yang sehat
mengenai dirinya sendiri sebagai makhluk yang bertumbuh.
Kemudian, mulai belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman
seusianya, mulai mengembangkan peran sosialnya sebagai pria atau
wanita secara jelas dan tepat serta lebih tertarik untuk
mengembangkan ketrampilan-ketrampilan yang dimilikinya.
Individu pada periode ini juga akan berusaha untuk mencapai
kelompok-kelompok sosial, mengembangkan hati nurani, pengertian moral
dan nilai-nilai kehidupan dan mulai memilih serta mempersiapkan
karirnya.
2. Karakteristik Remaja
Remaja sebagai tahapan masa perkembangan memiliki beberapa
karakteristik. Namun, menurut hasil penelitian dari Anastasia, et al,
(2008), hanya ada dua karakteristik dasar yang membuat remaja lebih
cepat dan lebih mudah untuk melakukan pembelian impulsif. Kedua
karakteristik tersebut antara lain:
a. Remaja lebih cenderung labil atau belum memiliki pendirian yang
kuat.
Hal ini dikarenakan, masa remaja merupakan masa
perkembangan transisi (Papalia, 2008). Sebagai masa
perkembangan transisi, seorang remaja akan mengalami banyak
perubahan dalam kehidupannya. Perubahan tersebut mencakup
perubahan secara biologis, kognitif dan juga sosial (Santrock,
2003).
Selain itu, Santrock (2003) juga mengungkapkan bahwa masa
remaja memiliki tugas perkembangan untuk mencari jati diri atau
identitas diri. Erikson dalam teori psikososialnya, juga menjelaskan
bahwa masa remaja akan mengalami tahapan perkembangan
Teori ini lebih dikenal dengan istilah “identitas vs kebingungan
identitas” (Sumanto, 2014).
Perubahan yang dialami dan proses pencarian identitas atau jati
diri inilah yang secara tidak langsung akan membuat seseorang
dalam tahapan masa perkembangan ini akan menjadi lebih labil
(Anastasia AF, et al, 2008).
b. Remaja lebih mudah terpengaruh oleh orang lain dan lingkungan
sekitarnya.
Masa remaja memiliki beberapa tugas perkembangan yang
secara tidak langsung membuat seorang remaja menjadi lebih
mudah terpengaruh oleh orang lain dan lingkungan dimana ia
berada. Tugas perkembangan tersebut, antara lain: adanya tugas
perkembangan untuk mulai mencapai kebebesan emosi dan
berusaha menujukkan perilaku yang dapat diterima oleh masyrakat
sekitarnya (Soesilowindradini, 2006).
Selain itu, pada masa ini seorang remaja akan mulai belajar
bergaul dengan kelompok yang sesuai dengan jenis kelaminnya.
Hal ini juga menyebabkan para remaja lebih mudah terpengaruh
oleh lingkungannya (Sumanto, 2014). Soesilowindradini (2006)
juga menambahkan bahwa pada masa remaja, seseorang akan
mulai mengadakan hubungan-hubungan baru dengan teman-teman
D. Dinamika Hubungan Antara Gaya Hidup Brand Minded Dengan Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Fashion Pada Remaja
Gaya hidup adalah sebagaimana seseorang menjalani kehidupan
sehari-harinya, yang dapat dilihat dari aktivitas, minat serta opini (Kotler,
2005). Gaya hidup juga berasal dari nilai-nilai dasar individu yang
mendasari perilaku konsumen yang dapat pula merefleksikan suatu trend
dan juga gaya berpakaian dari orang itu sendiri (Brandon & Forney, 2002).
Gaya hidup remaja masa kini semakin memperhatikan trend terbaru yang
sedang berlangsung dilingkungan sekitarnya (diakses pada 29 Juli 2015
melalui www.id.techinasia.com), terlebih pada trend fashion. Remaja akan
merasa bangga jika telah mengikuti trend fashion terbaru, sehingga
mereka akan berlomba menggunakan produk-produk fashion terbaru
(diakses pada 29 Juli 2015 melalui www.rancahpost.co.id).
Pranoto dan Mahardayani (2010) juga mengatakan bahwa remaja
memiliki kecenderungan cukup besar untuk membeli dan menggunakan
barang-barang bermerek (branded), terlebih pada produk fashion. Remaja
gemar membeli produk-produk fashion yang bermerek (branded),
terkenal, eksklusif, bergengsi serta mahal. Hal ini dikarenakan bagi
remaja, fashion merupakan salah satu elemen penting dalam mendukung
penampilan dan dapat membantu untuk mempresentasikan dirinya dengan
baik, sehingga dapat diterima dalam kelompok yang dikehendakinya
mencari kepuasan diri sebagai suatu bagian dari gaya hidup (Sutojo,
1988). Pola gaya hidup seseorang yang dalam perilaku pembeliannya
selalu mengutamakan merek (brand) inilah yang disebut sebagai gaya
hidup brand minded.
Menurut penelitian dari Anggraini (2012), gaya hidup brand
minded memiliki dampak terhadap perilaku konsumsi manusia, termasuk
pada munculnya kecenderungan pembelian impulsif. Hal ini dikarenakan,
individu dengan kecenderungan gaya hidup brand minded yang tinggi
akan lebih mengikuti perkembangan produk fashion. Kemudian dalam hal
keuangan, individu dengan gaya hidup brand minded yang tinggi
cenderung lebih boros dan akan lebih mudah mengeluarkan uangnya
untuk mendapatkan produk-produk fashion terbaru dan bermerek
(branded) yang diinginkannya. Selain itu, ketika telah berhasil
mendapatkan produk fashion yang diinginkan, individu dengan
kecenderungan gaya hidup brand minded yang tinggi ini akan merasakan
adanya kepuasan tersendiri. Namun, jika belum atau tidak berhasil
mendapatkan apa yang diinginkannya, maka akan timbul perasaan tertekan
dan membuat individu tersebut menjadi rendah diri.
Melihat dampak dari gaya hidup brand minded tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa individu dengan gaya hidup brand minded yang
tinggi akan selalu berusaha untuk membeli produk fashion bermerek
(branded). Orientasi pada merek (brand) ini nantinya yang akan
spontan, tanpa mempertimbangkan manfaatnya, sehingga ia dengan
mudahnya menjadi boros. Ini menunjukkan bahwa seseorang yang
memiliki kecenderungan gaya hidup brand minded tinggi, membeli tidak
lagi berdasarkan kebutuhan, tetapi hanya untuk mencari kepuasaan semata.
Tanpa disadari, individu dengan gaya hidup brand minded tinggi, akan
memiliki perilaku pembelian yang lebih mengarah kepada pembelian
impulsif. Hal ini dapat terjadi karena pembelian impulsif sendiri terjadi
akibat adanya dorongan untuk membeli secara tiba-tiba dan juga spontan
E. Skema Hubungan Gaya Hidup Brand Minded Dengan Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Fashion Pada Remaja
BAGAN 1
Skema Hubungan Gaya Hidup Brand Minded Dengan
Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Fashion Pada Remaja
Gaya Hidup
- Lebih boros dan lebih mudah
mengeluarkan uang untuk
membeli produk fashion branded.
- Merasa senang, jika mendapatkan
produk fashion branded sesuai
dengan yang diinginkan dan akan
merasa tertekan dan rendah diri, jika
tidak mendapatkan produk fashion
- Tidak terlalu mengikuti
perkembangan fashion terbaru
yang bermerek (branded).
- Tidak boros dalam pembelian
produk fashion branded dan lebih
dapat mengontrol pengeluaran
uangnya.
- Jika tidak mendapatkan produk
fashion branded yang diinginkan,
tidak akan merasa tertekan dan
F. HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif dan
signifikan antara gaya hidup brand minded dan kecenderungan pembelian
impuslif produk fashion pada remaja. Semakin tinggi gaya hidup brand
minded pada remaja, maka semakin tinggi pula kecenderungan para
remaja tersebut untuk melakukan pembelian yang impuslif terhadap
produk-produk fashion. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah gaya
hidup brand minded pada remaja, maka semakin rendah pula
kecenderungan para remaja tersebut untuk melakukan pembelian yang
30 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif korelasional.
Menurut Azwar (2004), penelitian kuantitatif adalah salah satu metode
penelitian yang dalam analisisnya lebih menekankan pada data numerikal
atau angka. Data numerikal atau angka tersebut berasal dari pengukuran
dengan skala terhadap variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini dan
akan diolah menggunakan metode statistik. Sedangkan, penelitian
korelasional sendiri merupakan penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana hubungan keterkaitan antara satu variabel dengan
variabel lainnya, berdasarkan koefisien korelasi (Azwar, 2009).
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Pada penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu:
1. Variabel bebas (independent) : Gaya hidup brand minded
2. Variabel tergantung (dependent) : Kecenderungan pembelian impulsif
C. Definisi Operasional
1. Gaya Hidup Brand Minded
Gaya hidup brand minded dapat didefinisikan sebagai pola gaya
hidup remaja yang dapat dilihat dari aktivitas, minat serta opininya
dalam menjalani kehidupan sehari-hari, terutama dalam perilaku
pembeliannya yang selalu berorientasi pada merek (brand) atau selalu
mengutamakan merek (brand).
Gaya hidup brand minded dalam penelitian ini akan diukur dengan
Skala Gaya Hidup Brand Minded yang disusun oleh peneliti
berdasarkan 3 aspek yang disebut AIO, yaitu Activites (aspek
aktivitas), Interest (aspek minat) dan Opinion (aspek opini). Semakin
tinggi skor total yang diperoleh, maka semakin tinggi pula tingkat gaya
hidup brand minded yang dimiliki subjek. Sebaliknya, jika semakin
rendah skor total yang diperoleh, maka semakin rendah pula tingkat
gaya hidup brand minded yang dimiliki subjek.
2. Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Fashion
Pembelian impulsif produk fashion merupakan bentuk perilaku
pembelian remaja terhadap aneka produk fashion, secara spontan dan
tiba-tiba dikarenakan adanya dorongan psikologis (psychological
impulse) yang tidak disadari dan lebih menekankan pada konflik
emosional. Penelitian ini menggunakan kedua aspek dari pembelian
Kecenderungan pembelian impulsif dalam penelitian ini akan
diukur dengan Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk
Fashion yang akan disusun oleh peneliti berdasarkan aspek kognitif
serta aspek afektif. Semakin tinggi skor total yang diperoleh, maka
semakin tinggi pula kecenderungan pembelian impulsif yang dimiliki
subjek. Namun, jika semakin rendah skor total yang diperoleh, maka
semakin rendah pula kecenderungan pembelian impulsif yang dimiliki
subjek.
D. Subjek Penelitian
Subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah remaja
dengan rentang usia 12 hingga 22 tahun. Penelitian ini menggunakan jenis
sampling Non Probability Sampling, yaitu jenis pengambilan sampel yang
tidak memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota populasi untuk
dijadikan sampel (Sugiyono, 2013). Teknik yang digunakan adalah
Incidental Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel tidak secara acak
(Sugiyono, 2013), atau dengan kata lain Incidental Sampling adalah teknik
pengambilan sampel dengan sistem „kebetulan‟, jadi siapa saja yang
ditemui peneliti dan termasuk dalam kriteria subjek penelitian dapat
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah proses yang dilakukan dalam
suatu penelitian, untuk mengumpulkan data primer dan sekunder (Siregar,
2013). Pada penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan
adalah penyebaran skala. Penyebaran skala merupakan metode yang
berbentuk laporan diri sendiri berisi daftar kumpulan pernyataan yang
harus dijawab oleh individu sebagai subjek penelitian (Azwar, 2009).
Jenis skala yang digunakan adalah skala tertutup, yaitu skala yang
memuat pernyataan-pernyataan dan subjek tidak diberi kesempatan untuk
menyampaikan pendapatnya secara bebas (Siregar, 2013). Sedangkan,
model skala yang digunakan adalah model skala likert (summated rating).
Pada penskalaan model likert, kuantifikasi dilakukan berdasarkan
hasil perhitungan respon kesetujuan atau ketidaksetujuan dari subjek
(Kasmadi & Sunariah, 2013). Dengan kata lain, dalam model likert
pernyataan yang akan disusun oleh peneliti memiliki kategori positif serta
negatif. Bentuk skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala
Gaya Hidup Brand Minded dan Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif
Produk Fashion.
1. Skala Gaya Hidup Brand Minded
Pada skala gaya hidup brand minded, peneliti menyusun 24 item
pernyataan, yang terdiri dari 8 item pernyataan yang disusun
berdasarkan aspek aktivitas, 8 item selanjutnya disusun berdasarkan
(Blackwell, et al, 1994). Setiap item yang disusun tersebut terbagi atas
pernyataan favorable serta unfavorable.
Tabel. 1.
Sebaran Item Skala Gaya Hidup Brand Minded sebelum seleksi item
Aspek Item Jumlah Bobot
Pada penelitian ini, subjek akan diminta untuk memilih salah satu
dari 4 alternatif pilihan jawaban, yaitu Sangat Tidak Sesuai (STS),
Tidak Sesuai (TS), Sesuai (S) dan Sangat Sesuai (SS). Pemberian skor
dalam penelitian ini, sebagai berikut:
Tabel. 2.
Skor item-item favorable pada Skala Gaya Hidup Brand Minded
Respon Subjek
Skor item-item unfavorable pada Skala Gaya Hidup Brand Minded
2. Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Fashion Pada skala kecenderungan pembelian impulsif produk fashion
peneliti menyusun 24 item pernyataan, yang terdiri dari 12 item
pernyataan yang disusun berdasarkan aspek kognitif dan 12 item
pernyataan yang disusun berdasarkan aspek afektif (Verplanken &
Herabadi, 2001). Setiap item yang disusun tersebut terbagi atas
pernyataan favorable serta unfavorable.
Tabel. 4.
Sebaran Item Skala Pembelian Impulsif Produk Fashion sebelum seleksi
item
Pada skala ini, subjek akan diminta untuk memilih salah satu dari
4 alternatif pilihan jawaban, yaitu Sangat Tidak Sesuai (STS), Tidak
Sesuai (TS), Sesuai (S) dan Sangat Sesuai (SS). Pemberian skor dalam
penelitian ini, sebagai berikut:
Tabel. 5.
Skor item-item unfavorable pada Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Fashion
Respon Subjek
Skor Subjek
SS 1
S 2
TS 3
STS 4
F. Validitas Dan Reliabilitas 1. Validitas
Suatu alat ukur dinyatakan memiliki validitas yang tinggi apabila
alat ukur tersebut mampu memberikan hasil ukur yang sesuai dengan
tujuan penelitian. Validitas merupakan suatu ukuran yang
menunjukkan tingkat „kesahihan‟ suatu instrumen (Kasmadi &
Sunariah, 2013). Oleh karena itu, dalam suatu penelitian validitas tes
sangat diperlukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kemampuan
alat ukur tersebut dapat mengukur variabel-variabel yang hendak
diteliti.
Penelitian ini menggunakan validitas isi (content validity), yaitu
salah satu jenis validitas yang diperoleh dari hasil analisis rasional
terhadap isi tes dan juga berdasarkan penelitian oleh ahli (expert
judgement) yang bersifat subjektif (Azwar, 2010), dan telah dilakukan
oleh dosen pembimbing skripsi. Penilaian ini dilakukan untuk melihat
aspek yang hendak diungkap dan juga kesesuaiannya dengan blue
print.
2. Seleksi Items
Seleksi items adalah bagian yang penting dalam suatu penelitian,
karena kualitas dari suatu skala psikologi sangat ditentukan oleh
kualitas item-itemnya sendiri. Pada penelitian ini, seleksi item
dilakukan setelah melakukan uji validitas dengan menggunakan
validitas isi (content validity) oleh dosen pembimbing skripsi sebagai
expert judgement, dan setelah dilakukannya uji coba skala (try out)
kepada 60 orang remaja yang berusia 12 hingga 22 tahun (34
perempuan dan 26 laki-laki).
Menurut Azwar (2010), seleksi item digunakan untuk mengetahui
item mana yang memiliki daya beda dan item mana yang tidak
memiliki daya beda. Seleksi item dapat dilakukan dengan cara melihat
daya diskriminasi dari setiap item yang ada. Daya diskriminasi ini
diperoleh dengan cara mengkorelasikan skor item dengan skor item
total, yang disebut koefisien korelasi item total (rix). rix bergerak mulai
dari 0 sampai dengan 1,00 baik positif ataupun negatif. Jika skor yang
diperoleh semakin mendekati 1,00, maka item tersebut memiliki daya
diskriminasi yang terbilang tinggi. Sebaliknya, jika skor mendekati 0
ataupun memiliki tanda negatif, maka item tersebut dapat dikatakan
memiliki daya diskriminasi yang rendah atau bahkan tidak memiliki
Pemilihan item berdasarkan korelasi dari item total memiliki
batasan rix≥ 0,3. Dengan demikian, jika item mencapi rix minimal 0,3,
maka item tersebut memiliki daya beda yang tinggi. Sebaliknya, jika
item mencapi rix < 0,3, maka item tersebut memiliki daya beda yang
rendah. Pada penelitian ini, pengujian tersebut dilakukan dengan
menggunakan program SPSS 16 for windows pada Skala Gaya Hidup
Brand Minded dan juga Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif
pada Produk Fashion.
Pada Skala Gaya Hidup Brand Minded yang terdiri dari 24 item,
diperoleh hasil bahwa hanya terdapat 1 item yang memiliki nilai rix <
0,3, sehingga item tersebut dinyatakan gugur. Jadi, jumlah item yang
lolos melewati uji seleksi item adalah 23 item.
Tabel. 7.
Sebaran Item Skala Gaya Hidup Brand Minded setelah seleksi item
Aspek Item Jumlah Bobot
Favorable Unfavorable
Aktivitas 2, 3, 14, 20 5, 8, 10, 11 7 30,4% Minat 4, 7, 16, 21 6, 9, 13, 23 8 34,7% Opini 12, 15, 19, 22 1, 17, 18, 24 8 34,7%
Total 12 11 23 100%
Keterangan: Angka yang dicetak tebal adalah item yang gugur dalam penelitian.
Sedangkan, pada Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif pada
Produk Fashion, terdiri dari 24 item dan diperoleh hasil bahwa
terdapat 2 item yang gugur, karena memiliki nilai rix < 0,3. Dengan
demikian dan jumlah item pada Skala Kecenderungan Pembelian
Tabel. 8.
Sebaran Item Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk
Fashion setelah seleksi item
Keterangan: Angka yang dicetak tebal adalah item yang gugur dalam penelitian.
Pada Skala Gaya Hidup Brand Minded dan Skala Kecenderungan
Pembelian Impulsif pada Produk Fashion tidak dilakukan penyetaraan
jumlah item setelah lolos pada proses seleksi item. Hal ini dikarenakan
item yang gugur dari kedua skala tidak berasal dari satu aspek yang
sama. Dengan kata lain, item yang gugur tersebut tidak berdampak
pada aspek-aspek yang digunakan dalam pengukuran dari kedua skala
Selain itu, jika penyetaraan jumlah item dilakukan justru akan
membuat nilai koefisien alpha cronbach (α) dari kedua skala turun.
Berdasarkan pertimbangan berikut, maka dalam penelitian ini
penyetaraan jumlah item tidak dilakukan.
3. Reliabilitas
Reliabilitas adalah suatu pengukuran yang menunjukkan sejauh
mana tingkat kepercayaan suatu instrumen (Kasmadi & Sunariah,
2013). Azwar (2009), juga mengatakan bahwa reliabilitas mengacu