• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja di SMP Kristen Harapan 1 Denpasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja di SMP Kristen Harapan 1 Denpasar"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN

SELF REGULATED LEARNING

DENGAN

KENAKALAN REMAJA

DI SMP KRISTEN HARAPAN 1 DENPASAR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Adisti Wastu Kirana Lembut 119114038

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iii

HALAMAN MOTTO

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketolah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima

dan setiap orang yang mencari, mendapat

dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.” (Matius 7:7-8)

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah

(5)

iv

Skripsi ini saya persembahkan untuk

Yang Maha Kuasa, Tuhan Yesus Kristus

Kedua orangtua yang kusayang, ibu dan bapak

(6)

v

Pernyataan Keaslian Karya

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 5 Desember 2016 Penulis,

(7)

vi

HUBUNGAN SELF REGULATED LEARNING DENGAN KENAKALAN

REMAJA

DI SMPK HARAPAN I DENPASAR

Adisti Wastu Kirana Lembut

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja. Variabel self regulated learning terdiri dari tiga aspek, yaitu metakognitif, motivasi, dan perilaku. Sedangkan kenakalan remaja terdiri dari dua golongan, yaitu kenakalan yang tidak melanggar hukum dan kenakalan yang dianggap melanggar hukum. Subjek penelitian ini berjumlah 240 orang siswa/siswi dengan menggunakan metode pengambilan sampel teknik convenience sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala regulasi diri dan skala kenakalan remaja yang dikembangkan oleh peneliti. Skala self regulated learning ini terdiri dari 25 item dengan nilai reliabilitas alpha berstrata sebesar 0,828 (αs = 0,828), skala kenakalan

remaja terdiri dari 24 item dengan nilai reliabilitas berstrata sebesar 0,853 (αs = 0,853). Penelitian

ini merupakan penelitian kuantitatif dengan teknik Spearman Rho. Hasil uji hipotesis hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja diperoleh nilai signifikansi sebesar -0,302 (p < 0,05). Hasil ini menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self regulated learning dengan kenakalan remaja.

(8)

vii

THE RELATION OF SELF REGULATED LEARNING WITH JUVENILE DELINQUENCY IN HOPE JUNIOR HIGH SCHOOL

DENPASAR

Adisti Wastu Kirana Lembut

ABSTRACT

The purpose of this study was to understand the relation of self regulated learning with juvenile delinquency. Self regulated learning has three aspects: metacognitive, motivation, and behavior. While the juvenile delinquency consist of two categories: illegal deliquency and non illegal deliquency. The subject of this study were 240 students, selected using convenience sampling. Data collection wa s carried out by using the self regulated learning and juvenile delinquency scales developed by researchers. The scale of self regulated learning consisted of 25 items with the reliability of alpha 0,828 (αs = 0,828), juvenile delinquency scale consisted of 24 item with reliability of alpha 0,853 (αs = 0,853). The research is quantitative research, spearman rho. The results of the hypothesis relations of self regulated learning with juvenile delinquency obtained value significance of -0,302 (p < 0,05). The results showed significant corelation between self regulated learning with juvenile delinquency.

(9)

viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Adisti Wastu Kirana Lembut

NIM : 119114038

Demi membangun ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah saya yang berjudul:

“HUBUNGAN SELF REGULATED LEARNING DENGAN KENAKALAN REMAJA DI SMP KRISTEN I DENPASAR”

Berserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 5 Desember 2016 Yang menyatakan,

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai dan membimbing dalam setiap proses pembuatan skripsi, sehingga sejak awal dapat berjalan dengan baik dan pada akhirnya dapat terselesaikan dengan baik. Meskipun tidak dipungkiri bahwa banyak hambatan dan kesulitan yang dialami oleh penulis selama proses pembuatan skripsi. Salah satu tujuan dan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.).

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang terlibat. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

1. Bapak Dr. T. Priyono Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Prof. A. Supratiknya., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberi masukan dan wejangan ketika pertemuan bimbingan KRS setiap awal semester.

(11)

x

5. Bapak Robertus Landung Eko Prihatmoko, M.Psi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu membimbing, memberi semangat, memberi saran serta solusi ketika penulis mengalami hambatan dalam penulisan skripsi.

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah mengajarkan dan memberikan ilmu serta pengalaman selama proses perkuliahan, sehingga penulis dapat menerapkan ilmu-ilmu tersebut dalam penulisan skripsi ini.

7. Segenap karyawan Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, dan Pak Gi) yang telah melayani, memberikan berbagai informasi dan membantu proses administrasi selama proses perkuliahan hingga penyelesaian skripsi.

8. Ibu Yuli Arsini S.Pd., selaku kepala sekolah SMP Kristen I Harapan Denpasar yang telah memberikan izin dan informasi untuk melakukan penelitian sejak observasi hingga pengambilan data melalui kuisioner. 9. Teman-teman yang menjadi responden penelitian.

10. Keluarga tersayang; Ibu Ratih Purnawati, Bapak I Ketut Sudana Astawa Lembut, dan Adik Ni Made Dinda Wastu Diyana Lembut yang selalu setia mendoakan, memberikan nasihat, dan dukungan bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

(12)

xi

12. Saudara Kenny Sundoro Rahardjo yang selalu mendoakan, memberikan dukungan dan semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

13. Sahabat yang telah memberikan dukungan dan semangat: Putri Bunga, Lia Erosvita, Maria Angelicha dan Tommy.

14. Sahabat yang selalu setia untuk menjadi teman berbagi dalam proses pembuatan skripsi, berbagi suka dan duka sehingga penulis selalu mampu untuk kuat dan tegar dalam menyelesaikan skripsi: Akwila, Mira Toby dan Arinda.

15. Seluruh teman-teman angkatan 2011 yang telah berjuang bersama, selalu mampu menguatkan satu sama lain selama masa kuliah aktif hingga masa penyelesaian skripsi.

(13)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN MOTTO ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ...xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoritis ... 7

(14)

xiii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Remaja ... 9

1. Pengertian ... 9

2. Batasan Usia ... 10

3. Perkembangan Kognitif Remaja ... 10

4. Perkembangan Sosial dan Emosional Remaja ... 14

5. Tugas Perkembangan Remaja ... 20

B. Kenakalan Remaja ... 21

1. Pengertian ... 21

2. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja ... 22

3. Bentuk Kenakalan Remaja ... 32

C. Self Regulated Learning ... 36

1. Pengertian ... 36

2. Proses Self Regulated Learning ... 36

3. Aspek-aspek Self Regulated Learning ... 39

4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Self Regulated Learning ... 41

D. Dinamika Hubungan Self Regulated Learning dengan Kenakalan Remaja……… ... 44

E. Hipotesis ... 48

F. Kerangka Berpikir ... 49

BAB III METODE PENELITIAN... 50

A. Jenis Penelitian... 50

(15)

xiv

C. Definisi Operasional ... 50

1. Self Regulated Learning ... 50

2. Kenakalan Remaja ... 51

D. Subjek Penelitian ... 51

E. Metode dan Alat Pengambilan Data ... 52

F. Uji Coba Alat Ukur ... 54

G. Validitas dan Reliabilitas ... 54

1. Validitas ... 54

2. Seleksi Item ... 55

3. Uji Reliabilitas ... 58

H. Metode Analisis Data ... 59

1. Uji Asumsi ... 59

1.1 Uji Normalitas ... 59

1.2 Uji Linearitas ... 59

2. Uji Hipotesis ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Pelaksanaan Penelitian ... 61

B. Deskripsi Subjek ... 61

C. Deskripsi Data Penelitian ... 61

D. Analisis Data Penelitian ... 63

1. Uji Asumsi ... 63

a. Uji Normalitas ... 63

(16)

xv

2. Uji Hipotesis ... 65

E. Pembahasan ... 66

BAB V KESIMPULAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Keterbatasan Penelitian ... 71

C. Saran ... 72

1. Bagi Pihak Sekolah ... 72

2. Bagi Subjek Penelitian ... 72

3. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 73

(17)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Skor Jawaban ... 52

Tabel 2 Proporsi Self Regulated Learning Sebelum Uji Coba ... 53

Tabel 3 Proporsi Kenakalan Remaja Sebelum Uji Coba ... 54

Tabel 4 Proporsi Self Regulated Learning Setelah Uji Coba ... 57

Tabel 5 Proporsi Kenakalan Remaja Setelah Uji Coba ... 58

Tabel 6 Identitas Subjek ... 61

Tabel 7 Data Penelitian... 62

Tabel 8 Hasil Uji Normalitas ... 63

Tabel 9 Uji Linearitas Data Self Regulated Learning dengan Kenakalan Remaja ... 64

Tabel 10 Kriteria Koefiensi Kolerasi... 65

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Reliabilitas dan Seleksi Item ... 78

Lampiran 2 Skala Final ... 84

Lampiran 3 Hasil Uji Beda Mean (Uji-t) ... 92

Lampiran 4 Hasil Uji Normalitas ... 94

Lampiran 5 Hasil Uji Linearitas... 96

Lampiran 6 Uji Hipotesis ... 98

Lampiran 7 Blueprint Rancangan Item Skala Regulasi Diri... 100

Lampiran 8 Blueprint Rancangan Item Skala Kenakalan Remaja ... 104

Lampiran 9 Blueprint Skala Regulasi Diri ... 107

(19)
(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fase remaja adalah fase perantara dari anak-anak menuju dewasa. Santrock (2003) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Fase remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Pada fase remaja, biasanya seorang anak akan mengalami suatu perubahan. Perubahan tersebut bukan hanya dari fisik namun juga dari psikologisnya. Pada masa transisi ini kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya kenakalan pada remaja.

(21)

Berdasarkan data dari Mabes Polri dalam penyajian data informasi Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia pada tahun 2009, tingkat gangguan keamanan dan ketertiban nasional (Kamtibnas) pelaku kecelakaan lalu lintas (Laka Lantas) berdasarkan laporan dari Mabes Polri tahun 2008 memperlihatkan tingkat yang cukup memprihatinkan, yaitu pelaku Laka Lantas profesi mahasiswa/pelajar menduduki peringkat ke dua dengan jumlah pelaku sebesar 12.298 kejadian di bawah urutan profesi lain-lain sebesar 37.764 kejadian. Begitu pula dengan kenakalan remaja yang terjadi di Indonesia tercatat kenakalan remaja tertinggi tercatat di Provinsi Jawa Barat sebesar 10 kejadian diikuti Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara masing-masing sebesar 9 dan 4 kejadian. Selain itu gambaran pelaku kriminalitas tahun 2008 ditandai kekhawatiran dengan meningkatnya jumlah pelaku tindak kriminalitas yang masih berusia anak-anak dan remaja. Terungkap pada tahun 2008 berdasarkan laporan Polri secara keseluruhan, jumlah anak-anak dan remaja pelaku tindak kriminalitas sebanyak 3.280 orang, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2.797 orang dan perempuan sebanyak 483 orang, meningkat sebesar 4,3 persen dibandingkan tahun 2007 yang sebesar 3.145 orang.

(22)

di wilayahnya mengkhawatirkan. Sebab, dia kerap menemukan banyak anak-anak menjadi peminum miras hingga mabuk, dan berkeliaran di jalanan pada akhir pekan (Aryo Putranto Saptohutomo & Andrian Salam Wiyono, 2015).

Bali pun tak luput dari perilaku nakal remaja. Sebuah video perkelahian dua gadis yang diunggah di media sosial Facebook membuat heboh netizen

(pengguna internet) hingga menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat (NIV & REZ, 2016). Setelah itu berselang sehari pasca video dua gadis Bali berkelahi yang menjadi viral di media sosial Facebook, muncul lagi video serupa yang diduga dilakukan oleh pelajar di Kota Denpasar. Adalah video perkelahian berujung pengeroyokan oleh sejumlah pelajar pria mengenakan seragam SMA terhadap seorang pelajar yang mengenakan seragam serba putih (NVI & REZ, 2016).

(23)

seringkali tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dengan berbagai alasan, seperti lupa, soal terlalu sulit, dan memang malas mengerjakannya. Pihak sekolah merasa jika para siswa kurang memiliki rasa tanggungjawab terhadap tugas yang diberikan. Sebenarnya pihak sekolah sudah memiliki peraturan yang harus ditaati oleh siswa, namun terkadang siswa mengabaikannya.

Pihak sekolah sudah melakukan tindakan untuk mengendalikan masalah ini. Tindakan yang dilakukan oleh sekolah ialah memanggil dan menegur siswa yang melakukan pelanggaran, menghukum siswa dengan membersihkan toilet sekolah, memasang cctv dibeberapa sudut sekolah untuk memantau kegiatan siswa, bahkan hingga memanggil orangtua siswa untuk mengadakan pertemuan membahas kenakalan siswa, namun tidak semua orangtua bersedia datang ke sekolah.

(24)

kenakalan remaja yang melawan status, yaitu datang terlambat ke sekolah, membolos pada saat jam pelajaran berlangsung, dan tidak pekerjaan rumah (PR).

Perilaku ketidakdisiplinan siswa di sekolah juga menjadi salah satu bentuk kenakalan pada remaja yang melawan status. Hal ini sejalan dengan penelitian Sutrisno (2009) yang mengatakan bahwa remaja kebanyakan berperilaku sebagai siswa yang tidak disiplin. Hal ini ditunjukan oleh perilaku remaja sehari-hari di sekolah, seperti membolos, datang terlambat, melalaikan tugas, catatan tidak lengkap, tidak berseragam lengkap, malas mengikuti pelajaran, acuh tak acuh pada jam pelajaran, merokok, tidak sopan, mempengaruhi teman untuk melanggar disiplin, nongkrong di kantin.

(25)

Remaja yang tidak mampu mengembangkan self regulated learning

dengan baik memiliki kecenderungan melakukan kenakalan. Hal ini berdasarkan pada hasil observasi dan wawancara, di mana beberapa siswa datang terlambat. Datang terlambat merupakan salah satu bentuk self regulated learning yang rendah, terutama dalam strategi metakognisi. Strategi metakognisi yang rendah dalam hal memonitor. Oleh karena hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas maka diperoleh rumusan permasalahan, di antaranya mengenai “bagaimana hubungan self regulated learning terhadap kenakalan remaja”. Untuk

menjawab rumusan masalah tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian dengan mengambil judul “Hubungan Self Regulated Learning

dengan Kenakalan Remaja di SMP Kristen Harapan I Denpasar”.

C. Tujuan Penelitian

(26)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh hasil dan memberikan manfaat antara lain:

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan self regulated learning dan kenakalan remaja di sekolah. Khusunya bagi psikologi perkembangan dan psikologi sosial agar dapat lebih memahami bagaimana hubungan

self regulated learning terhadap kenakalan remaja. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu psikologi.

2. Manfaat Praktis a. Bagi remaja

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana self regulated learning yang baik, sehingga dapat mengurangi perilaku kenakalan.

b. Bagi sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan mendapatkan informasi tentang self regulated learning pada remaja, sehingga dapat menekan perilaku kenakalan pada remaja di sekolah. c. Bagi peneliti lain

(27)
(28)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Pengertian

Santrock & Adelar (2003) mengatakan bahwa remaja (adolescence) dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencangkup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Fase remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Pada fase remaja, biasanya seorang anak akan mengalami suatu perubahan. Perubahan tersebut bukan hanya dari fisik namun juga dari psikologisnya. Berk (2007) mengatakan bahwa masa remaja adalah periode transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Para teoretikus awal memandang masa remaja sebagai periode kekacauan dan ketertekanan biologis atau sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan sosial.

(29)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa remaja ialah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa.

2. Batasan Usia

Menurut Santrock (2003) fase remaja dimulai sekitar usia 10 tahun hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Ia juga membagi fase remaja menjadi dua, yaitu masa remaja awal menunjuk kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencangkup kebanyakan perubahan pubertas, dan masa remaja akhir menunjuk kira-kira setelah usia 15 tahun.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa batasan usia remaja ialah mereka yang berusia 10 tahun hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil batasan usia remaja dari usia 11 hingga 15 tahun.

3. Perkembangan Kognitif Remaja

(30)

makna yang lebih dalam. Mereka dapat berpikir dalam rangka apa yang mungkin akan terjadi, bukan hanya apa yang terjadi. Mereka dapat membayangkan kemungkinan dan dapat meyusun dan menguji hipotesis. Selain itu, mereka juga dapat mengintegerasikan apa yang telah mereka pelajari dengan tantangan di masa mendatang dan membuat rencana untuk masa datang.

Piaget (dalam Berk, 2007) percaya bahwa di masa remaja, anak muda pertama-tama mampu melakukan penalaran hipotetis-deduktif. Ketika dihadapkan pada masalah, mereka mulai membuat hipotesis atau prediksi tentang variabel-variabel yang mungkin mempengaruhi sebuah hasil yang kemudian menjadi dasar mereka menarik kesimpulan logis dan teruji. Selanjutnya, mereka secara sistematis akan memisahkan dan menggabungkan variabel-variabel untuk melihat kesimpulan.

(31)

David Elkind, 1978 (dalam Santrock, 2003) yakin bahwa egosentrisme remaja dapat dibagi mejadi atas dua jenis berpikir sosial, yaitu penonton imajiner (imaginary audience) dan dongeng pribadi (personal fable). Penonton imajiner menggambarkan peningkatan kesadaran remaja yang tampil pada keyakinan mereka bahwa orang lain memiliki perhatian yang amat besar terhadap diri mereka, sebesar perhatian mereka sendiri. Gejala penonton imajiner mencakup berbagai perilaku untuk mendapatkan perhatian, keinginan agar kehadirannya diperhatikan, disadari oleh orang lain, dan menjadi pusat perhatian. Remaja ingin menghindari perilaku yang “salah” di mata orang lain,

terutama teman-temannya. Sehingga membuat mereka berperilaku berlebihan agar diterima oleh teman-temannya baik cara berbicara, berpakaian, dan berperilaku. Apabila remaja berada di tempat yang “salah”, memiliki teman kelompok yang “nakal” maka ia cenderung

(32)

Remaja menjalankan tugas-tugas kognitif secara lebih efektif daripada sebelumnya. Akan tetapi dalam pengambilan keputusan sehari-hari, mereka kerap kali berpikir tidak rasional. Remaja tidak mengidentifikasi pro dan kontra mengenai setiap alternatif, menilai kemungkinan berbagi hasil, mengevalusai pilihan mereka berdasarkan pertimbangan apakah tujuan mereka terpenuhi dan jika tidak, belajar dari kesalahan dan mengambil keputusan yang lebih baik di masa depan (Berk, 2007). Selain itu, Jacobs & Klaczynski (2002, dalam Berk, 2007) mengemukakan bahwa dalam mengambil keputusan, remaja lebih sering daripada orang dewasa (yang juga mengalami kesulitan) beralih pada putusan intuitif. Hal itu dikarenakan dalam banyak jenis pengalaman, mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk memprediksi hasil-hasil yang mungkin muncul. Mereka juga menghadapi banyak situasi kompleks yang melibatkan tujuan-tujuan yang saling bersaing. Di samping itu, remaja jugaa sering merasa kewalahan ketika dihadapkan dengan banyak sekali pilihan.

(33)

pusat perhatian. Selain itu, remaja juga memiliki anggapan kalau dirinya mempunyai kekebalan terhadap hal-hal yang bersifat negatif. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil teori Elkind.

4. Perkembangan Sosial dan Emosional Remaja

Masa remaja merupakan masa peluang sekaligus resiko. Para remaja berada diantara kehidupan cinta, pekerjaan, dan partisipasi dalam masyarakat dewasa. Belum lagi masa remaja adalah masa di mana para remaja terlibat dalam perilaku yang penyempitan pandangan dan membatasi pilihan mereka. Pencarian identitas sebagai konsepsi tentang diri, penentuan tujuan, nilai, dan keyakinan yang dipegang teguh oleh seorang remaja (Papalia, 2008).

(34)

melibatkan diri mereka secara impulsif ke dalam serangkaian tindakan buruk.

Erikson (1982, dalam Papalia, 2008) mengatakan bahwa remaja yang berhasil mengatasi krisis tersebut dengan memuaskan mengembangkan “moral” kesetiaan: mempertahankan loyalitas,

keyakinan atau perasaan dimiliki oleh yang tercinta atau kepada teman. Kesetiaan dapat berarti identifikasi serangkaian nilai, ideologi, agama, gerakan politik, pencarian kreatif, atau kelompok. Indentifikasi diri muncul ketika anak muda lebih memilih nilai dan orang tempat dia memberikan loyalitasnya, bukan sekedar mengikuti pilihan orang tuanya. Kesetiaan merupakan perpanjangan dari rasa percaya (trust). Pada masa bayi, mempercayai orangtua merupakan hal yang penting untuk menekan ketidakpercayaan, pada masa remaja merupakan hal yang penting untuk mempercayai diri sendiri.

(35)

Fuligni & Eccles (1993, dalam Papalia, 2008) mengatakan bahwa gaya pengasuhan yang sangat ketat dan otoriter mungkin tidak lagi sesuai ketika anak memasuki masa remaja dan ingin diperlakukan lebih dewasa. Ketika orangtua tidak menyesuaikan diri, seorang remaja mungkin menolak pengaruh orangtua dan mencari dukungan serta persetujuan teman sebaya, apapun risikonya.

Orangtua otoritatif akan bersikap tegas terhadap nilai penting peraturan, norma, dan nilai tetapi bersedia mendengar, menjelaskan dan bernegoisasi (Lamborn, Mounts, Steinberg, & Dornbusch, 1991, dalam Papalia, 2008). Mereka melatih kontrol yang tepat terhadap perilaku anak tetapi tidak mengatur pemahaman eksistensi diri sang anak (Steinberg & Darling, 1994, dalam Papalia, 2008). Orangtua yang menunjukan ketidaksetujuan kesalahan perilaku remaja akan lebih efektif memotivasi mereka untuk berperilaku yang benar ketimbang orangtua yang menghukum mereka dengan kejam (Krevans & Gibbs, 1996, dalam Papalia, 2008).

(36)

Seidman (1989, dalam Papalia, 2008) mengungkapkan bahwa kualitas sekolah sangat mempengaruhi prestasi sekolah siswa. Sekolah yang bagus memiliki atmosfer yang teratur dan tidak oppressive; kepala sekolah yang aktif dan energik; dan guru yang berpatisipasi dalam pengambilan keputusan.

Remaja yang melewati perubangan fisik yang cepat mendapatkan kenyamanan dengan bersama orang lain yang juga sedang melewati perubahan yang sama. Penentangan remaja terhadap standar orang dewasa dan otoritas orangtua menguatkankannya untuk merujuk pada masukan dari teman yang berada di posisi yang sama. Kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman, dan panduan moral, tempat bereksperimen, dan setting untuk mendapatkan otonomi dan independensi dari orangtua. Kelompok tersebut merupakan tempat membentuk hubungan intim yang berfungsi sebagai “latihan” bagi

intimasi orang dewasa (Gecas & Seff, 1990; Buhrmester, 1996; Laursen, 1996, dalam Papalia, 2008).

(37)

mengembangkan bakatnya sebagai usaha mendapat pengakuan teman sebaya dan popularitas (Fuligni et al., 2001, dalam Papalia, 2008).

Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik, terutama organ-organ seksual mempengaruhi berkembangnya emosi atau perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan baru yang dialami sebelumnya, seperti perasaan cinta, rindu, dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis. Namun demikian kadang-kadang orang masih dapat mengontrol keadaan dirinya sehingga emosi yang dialami tidak tercetus keluar dengan perubahan atau tanda-tanda perilaku tersebut. Hal ini berkaitan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen (dalam Walgito, 2003) yang dikenal dengan display rules, yaitu masking,

modulation, dan simulation. Masking adalah keadaan seseorang yang dapat menyembunyikan atau dapat menutupi emosi alaminya. Emosi yang dialaminya tidak tercetus keluar melalui ekspresi tingkah laku. Contoh dari sikap masking tersebut adalah menutupi kesedihan, mengendalikan amarah, tidak menampakkan kebahagiaannya.

(38)

kejasmaniannya. Contoh dari sikap simulation adalah sering memberontak, meledakkan amarahnya, egois, bertindak kasar.

Menurut Gunarsa & Gunarsa (1981) mengatakan bahwa remaja cenderung untuk menggabungkan diri dalam kelompok teman sebaya. Kelompok sosial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi mereka. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkah laku dan melakukan hubungan sosial. Namun, kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi

overacting dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak. Pada masa ini, juga berkembang sikap “conformity”, yaitu

(39)

Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Mencapai kematangan emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Dalam menghadapi ketidanyamanan emosional tersebut, tidak sedikit remaja yang mereaksinya secara defensif, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan dirinya (Hurlock, 1955).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gaya pengasuhan otoritatif baik pada masa remaja. Selain itu, kualitas sekolah juga memperngaruhi prestasi siswa. Pada masa remaja, remaja memiliki kecenderungan untuk menggabungkan diri pada kelompok teman sebayanya. Dalam penelitian ini, peneliti ingin memfokuskan pada remaja memiliki kecenderungan untuk menggabungkan diri pada kelompok teman sebayanya.

5. Tugas Perkembangan Remaja

Menurut Havighurst (dalam Yusuf, 2006), remaja mempunyai tugas perkembangan sebagai berikut:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita.

(40)

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya.

f. Mempersiapkan karier ekonomi.

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan remaja ialah mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya, mencapai peran sosial, menerima keadaan fisiknya, mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mandiri secara emosional, mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga, memperoleh nilai dan sistem etis sebagai pegangan dalam mengembangkan ideologi. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi tugas perkembangan remaja pada mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya, serta mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

B. Kenakalan Remaja

(41)

M. Gold dan J. Petronio (dalam Sarwono, 2005) mendifinisikan penyimpangan perilaku remaja dalam arti kenakalan anak sebagai tindakan oleh seorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman.

Menurut Santrock (2003) kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial (misalnya bersikap berlebihan di sekolah) sampai pelanggaran status (seperti melarikan diri) hingga tindak kriminal (misalnya pencurian).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja adalah suatu hal yang mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial (misalnya bersikap berlebihan di sekolah) sampai pelanggaran status (seperti melarikan diri) hingga tindak kriminal (misalnya pencurian).

2. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja

(42)

Pada umumnya anak-anak muda tadi sangat egoistis, dan suka sekali menyalahgunakan atau melebih-lebihkan harga dirinya (Kartono, 2007). Berdasarkan penelitian Murtiyani (2011) pola asuh otoriter yang mana orangtua tidak pernah berunding kepada anaknya untuk menentukan peraturan dan orangtua memaksakan peraturan yang dibuatnya untuk anak dapat menjadi salah satu faktor kenakalan remaja. Orangtua menentukan peraturan pada anak dan tidak pernah melihat apakah anak bersedia dan mau mengikuti apa yang telah dibuat oleh orangtua. Hal ini memungkinkan remaja atau anak tidak diberi keempatan untuk bebas bahkan menentang orangtua karena orangtua sangat mengekang remaja atau anak, menyebabkan anak jarang keluar rumah atau jarang berkomunikasi dengan dunia luar sehingga pada kemudian hari anak akan mersa menikmati dunia luar dengan bebas.

Philip Graham (dalam Sarwono, 2005) mendasarkan teorinya pada pengamatan empiris dari sudut kesehatan mental anak dan remaja. Ia membagi faktor-faktor penyebab itu kedalam dua golongan, yaitu:

a. Faktor lingkungan:

1) Malnutrisi (kekurangan gizi). 2) Kemiskinan di kota- kota. 3) Gangguan di kota-kota besar.

4) Migrasi (urbanisasi, pengungsian karena perang, dan lain-lain). 5) Faktor sekolah (kesalahan mendidik, faktor kurikulum, dan

(43)

6) Keluarga yang tercerai-berai (perceraian, perpisahan yang terlalu lama, dan lain-lain).

7) Gangguan dalam pengasuhan oleh keluarga: i. Kematian orangtua.

ii. Orangtua sakit berat atau cacat.

iii. Hubungan antar keluarga tidak harmonis. iv. Orangtua sakit jiwa.

v. Kesulitan dalam pengasuhan karena pengangguran, kesulitan keuangan, tempat tinggal tidak memenuhi syarat-syarat, dan lain-lain.

b. Faktor pribadi:

1) Faktor bakat yang mempengaruhi temperamen (menjadi pemarah, hiperaktif, dan lain-lain)

2) Cacat tubuh

3) Ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri

Santrock (2007) menyebutkan ada beberapa faktor penyebab kenakalan remaja, antara lain:

a. Identitas

(44)

dimiliki keluarga, teman sebaya, dan sekolah terhadap remaja. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja, yaitu pertama terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan kedua tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan, dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.

Erikson percaya bahwa kenakalan terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan berbagai aspek-aspek peran identitas. Remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak, atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa bahwa mereka tidak mampu mematuhi aturan yang dibebankan pada mereka mungkin akan memilih perkembangan identitas yang negatif. Oleh karena itu, bagi Erikson, kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identias tersebut negatif.

b. Kontrol diri

(45)

tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin sebenarnya mereka sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka. Oleh karena itu, untuk memahami kenakalan remaja, kita haru menkaji berbagai aspek yang berbeda dalam perkembangan kontrol diri, sebagai contoh penundaan pemenuhan kebutuhan dan standar tingkah laku yang ditentukan sendiri. Kegagalan menunda pemenuhan suatu kebutuhan berhubungan dengan tingkah laku mencontek/curang dan ketiadaan tanggung jawab sosial.

(46)

Konsekuensi yang diharapkan muncul akibat suatu tindakan negatif juga berpengaruh pada keputusan remaja untuk melakukan atau menjauhi kenakalan. Bila remaja mengharapkan suatu penghargaan atau reward atas kenakalannya, mereka akan cenderung melakukan tindakan antisosial dibandingkan bila mereka berpendapat bahwa kenakalan akan menghasilkan hukuman.

Apakah seorang remaja akan melakukan tindak kenakalan juga diperngaruhi oleh kompetisi yang telah ia capai dalam berbagai aspek kehidupan yang berbeda-beda. Orang-orang yang berprestasi baik, aktif berpatisipasi di berbagai klub yang diterima oleh masyarakat, atau memiliki kemampuan dibidang atletik cenderung akan mengembangkan cara pandang yang positif terhadap diri mereka sendiri dan menerima reinforcement atau penguat dari orang lain karena tingkah laku mereka yang prososial. Namun demikian, kebanyakan remaja yang melakukan kenakalan tidak banyak memiliki kemampuan dalam berbagai kompetisi yang dapat meningkatkan cara pandangnya terhadap dirinya sendiri. Tingkah laku antisosial menjadi satu cara di mana mereka bisa menunjukan kompetisi diri dan menerima penguatan dari lingkungan yang juga terdiri dari pelaku kenakalan (Kazdin, 1995, dalam Santrock, 2007). c. Proses keluarga

(47)

berhubungan dengan tingkah laku antisosial oleh anak-anak remaja (Rosenbaum, 1989; Novy, et al., 1992; Moran, Chang, & Pettit, 1994, dalam Santrock, 2007). Selain itu, Offord & Boyle (1988, dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa dukungan keluarga dan praktek manajaeman seperti ini meliputi pengawasan keberadaaan remaja, menerapkan disiplin yang efektif bagi tingkah laku antisosial, menerapkan keterampilan pemecahan masalah yang efektif, dan mendukung berkembanganya keterampilan prososial.

Orangtua yang memiliki remaja pelaku kenakalan biasanya tidak terlatih untuk bersikap tidak mendukung tingkah laku antisosial daripada orangtua yang memiliki remaja yang tidak melakukan kenakalan. Pengawasan orangtua terhadap remaja terutama penting dalam menentukan apakah remaja akan melakukan kenakalan atau tidak. Perselisihan dalam keluarga serta penerapan disiplin yang tidak konsisten dan tidak sesuai juga berhubungan dengan kenakalan.

d. Kelas sosial/komunitas

(48)

lebih rendah (Miller, 1958, dalam Santrock 2007). Status dalam kelompok teman sebaya dapat ditentukan dari seberapa sering seorang remaja melakukan tindakan anti sosial dan tetap tidak dipenjara. Karena remaja dari kelas sosial yang lebih rendah memiliki kesempatan yang lebih terbatas untuk mengembangkan keterampilan yang diterima oleh masyarakat, mereka mungkin saja merasa bahwa bisa mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan antisosial.

Chesney-Lind (1989) dan Fegueira & McDonough (1992) (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa komunitas juga dapat berperan serta dalam munculnya kenakalan. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas yang tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil dari atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini sering kali ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan terisisih dari kaum kelas menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah faktor-faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan remaja. Bila dukungan keluarga tidak memadai, maka dukungan dari masyarakat seperti ini akan menjadi suatu hal yang penting dalam mencegah kenakalan.

(49)

teman sebaya di masa kecil, dan hubungan dengan teman antisosial terkait dengan kenakalan remaja. Salah satu temuan Capaldi et al., (2002) dan Barnes et al., (2006) (dalam Berk, 2007) tentang remaja nakal adalah keluarga mereka tidak hangat, penuh konflik, dan ditandai dengan disiplin kasar dan tidak konsisten serta pengawasan rendah. Farrington, (2004, dalam Berk, 2007) mengemukakan bahwa oleh karena transisi pernikahan kerap kali menyebabkan perselisihan keluarga dan tanggungunya pengasuhan, anak laki-laki yang mengalami perpisahan dan perceraian orangtua sangat rentan menjadi remaja nakal.

Pengasuhan yang tidak efektif dapat menumbuhkan dan menopang agresi anak. Dibanding anak perempuan, anak laki-laki lebih cenderung menjadi sasaran amarah dan disiplin tidak konsisten karena mereka lebih aktif dan implusif dan dengan demikian sulit dikendalikan. Bila anak-anak memiliki karakteristik ini dengan sangat parah dan kemudian mengalami pengasuhan tidak layak dan secara emosional negatif, agresi meningkat selama masa kanak-kanak, mengakibatkan tindakan kekerasan di masa remaja, dan tetap bertahan hingga masa dewasa (Berk, 2007).

(50)

kedua-duanya, dalam hal menghukum perilaku yang tidak patut. Beberapa tahun kemudian orangtua tipe ini biasanya tidak terlibat secara rapat dan positif dalam kehidupan anak mereka (G. R. Patterson, DeBaryshe, & Ramsey, 1998, dalam Papalia, 2008). Anak-anak mungkin mendapatkan imbalan dari perilaku antisosialnya ketika mereka tertangkap, mereka mendapatkan perhatian atau menemukan jalan mereka sendiri (Papalia, 2008).

Simons, Chao, et al. (2001, dalam Papalia, 2008) mengatakan bahwa anak-anak “bermasalah” ini terus menerus mendapatkan pengasuhan yang tidak efektif, yang sering kali mengarah kepada perilaku nakal pada masa remaja dan berteman dengan teman sebaya yang berperilaku menyimpang. Selain itu, Neiderhiser, Reiss, et al. (1999, dalam Papalia, 2008) menambahkan bahwa remaja antisosial cenderung memiliki konflik dengan orangtua, yang biasanya disebabkan oleh faktor genetik.

(51)

penuh konflik dapat meyebabkan remaja melakukan perilaku nakal. Kelas sosial/komunitas juga menjadi penyumbang faktor kenakalan remaja. Kelas sosial yang rendah cenderung melakukan kenakalan karena mereka memiliki kesempatan yang terbatas untuk mengembangkan keterampilan mereka yang dapat diterima di masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi faktor kenakalan remaja dalam hal kontrol diri dan proses keluarga.

3. Bentuk Kenakalan Remaja

(52)

adalah status-status dalam lingkung primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang memang tidak diatur oleh hukum secara terinci.

Delinkuen merupakan produk konstitusi mental serta emosi yang sangat labil dan defektif, sebagai akibat dari proses pengkondisian lingkungan buruk terhadap pribadi anak, yang dilakukan oleh anak muda tanggung usia, puber, dan adolesens (Kartono, 2007).

Adler (1952, dalam Kartono, 2007) menjabarkan bentuk-bentuk perilaku delinkuen sebagai berikut:

a. Kebut-kebutan di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas, dan membahayakan jiwa sendiri serta orang lain.

b. Perilaku ugal-ugalan, berandalan, urakan, yang mengacaukan ketentraman sekitar. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan.

c. Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa.

d. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan, atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan asusila. e. Kriminalitas anak remaja seperti perbuatan mengancam, memeras,

mencuri dan pelanggaran lainnya.

(53)

g. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif seksual.

h. Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika (obat bius; drugs) yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan.

i. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga mengakibatkan ekses kriminalitas.

j. Penyimpangan tingkah-tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior.

Mulyono (1995) mengatakan bahwa pada dasarnya perilaku kenakalan dapat di golongkan menjadi dua golongan, di antaranya adalah:

a. Kenakalan remaja yang tidak digolongkan pada pelanggaran hukum, antara lain:

1) Berbohong, memutar balikkan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutupi kesalahan.

2) Membolos, pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

3) Kabur, meninggalkan rumah tanpa ijin orangtua atau menentang keinginan orangtua.

4) Keluyuran, pergi sendiri maupun berkelompok tanpa tujuan, dan mudah menimbulkan perbuatan iseng yang negatif.

(54)

6) Bergaul dengan teman yang berpengaruh buruk. 7) Berpesta pora semalam suntuk tanpa pengawasan.

8) Membaca buku-buku porno, melihat film porno dan kebiasaan menggunakan bahasa yang tidak sopan.

9) Berpakaian tidak pantas.

b. Kenakalan remaja yang tergolong pelanggaran hukum, antara lain: 1) Berjudi dengan menggunakan uang dan taruhan dengan benda

lain.

2) Mencuri, mencopet, menjambret, merampas dengan atau tanpa kekerasan.

3) Minum-minuman keras atau menghisap ganja sehingga merusak diri.

4) Penggelapan barang.

5) Turut dalam pelacuran atau melacurkan diri baik dengan tujuan kesulitan ekonomi maupun yang lainnya.

6) Penipuan dan pemalsuan.

7) Pelanggaran tata susila, menjual gambar-gambar porno, pemerkosaan.

8) Tindakan-tindakan antisosial: perbuatan yang merugikan orang lain.

9) Menyebabkan kematian orang lain, percobaan pembunuhan dan turut dalam pembunuhan.

(55)

11) Penganiayaan berat.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa untuk mendefinisikan bentuk perilaku kenakalan merupakan hal yang sulit apakah tingkah laku seorang remaja semata-mata merupakan kenakalan remaja atau hanya merupakan kelainan tingkah laku sesuai dengan tahap perkembangan. Maka dalam hal ini peneliti membatasi bentuk perilaku kenakalan yang dibagi menjadi dua golongan, yaitu kenakalan yang tidak digolongkan pada pelanggaran hukum dan kebakalan yang tergolong pelanggaran hukum.

C. Self Regulated Learning

1. Pengertian

Self regulated learning didefinisikan sebagai suatu proses di mana pelajar melakukan strategi dengan meregulasi kognisi, metakognisi, dan motivasi. Straregi kognisi meliputi usaha mengingat kembali dan melatih materi terus-menerus, elaborasi, dan strategi mengorganisir materi. Strategi metakognisi meliputi merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi. Strategi motivasional meliputi nilai belajar sebagai kebutuhan diri atau sisi intrinsik, melakukan penghargaan terhadap diri sendiri, dan tetap bertahan ketika menghadapi kesulitan (Chin, 2004, dalam Kristiyani, 2016).

(56)

Proses self regulated learning dilakukan agar seseorang atau individu dapat mencapai tujuan yang diharapkannya. Dalam mencapai suatu tujuan yang diharapkan seseorang perlu mengetahui kemampuan fisik, kognitif, sosial, dan pengendalian emosi yang baik sehingga membawa seseorang kepada regulasi diri yang baik. Miller & Brown (dalam Neal & Carey, 2005) memformulasikan sebanyak tujuh tahap, yaitu:

a. Receiving atau menerima informasi yang relevan, yaitu langkah awal individu dalam menerima informasi dari berbagai sumber. Dengan informasi-informasi tersebut, individu dapat mengetahui karakter yang lebih khusus dari suatu masalah. Seperti kemungkinan adanya hubungan dengan aspek lainnya.

b. Evaluating atau mengevaluasi. Setelah kita mendapatkan informasi, langkah berikutnya adalah menyadari seberapa besar masalah tersebut. Dalam proses evaluasi diri, individu menganalisis informasi dengan membandingkan suatu masalah yang terdeteksi di luar diri (eksternal) dengan pendapat pribadi (internal) yang tercipta dari pengalaman yang sebelumnya yang serupa. Pendapat itu didasari oleh harapan yang ideal yang diperoleh dari pengembangan individu sepanjang hidupnya yang termasuk dalam proses pembelajaran. c. Triggering atau membuat suatu perubahan. Sebagai akibat dari suatu

(57)

pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan informasi yang didapat dengan norma-norma yang ada. Semua reaksi yang ada pada tahap ini yaitu disebut juga kecenderungan kearah perubahan.

d. Searching atau mencari solusi. Pada tahap sebelumnya proses evaluasi menyebabkan reaksi-reaksi emosional dan sikap. Pada akhir proses evaluasi tersebut menunjukkan pertentangan antara sikap individu dalam memahami masalah. Pertentangan tersebut membuat individu akhirnya menyadari beberapa jenis tindakan atau aksi untuk mengurangi perbedaan yang terjadi. Kebutuhan untuk mengurangi pertentangan dimulai dengan mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi.

e. Formulating atau merancang suatu rencana, yaitu perencanaan aspek-aspek pokok untuk meneruskan target atau tujuan seperti soal waktu, aktivitas untuk pengembangan, tempat-tempat dan aspek lainnya yang mampu mendukung efesien dan efektif.

f. Implementing atau menerapkan rencana, yaitu setelah semua perencanaan telah teralisasi, berikutnya adalah secepatnya megarah pada aksi-aksi atau melakukan tindakan-tindakan yang tepat yang mengarah ke tujuan dan memodifikasi sikap sesuai dengan yang diinginkan dalam proses.

(58)

perencanaan yang tidak direalisasikan itu sesuai dengan yang diharapkan atau tidak serta apakah hasil yang didapat sesuai dengan yang diharapkan.

Berdasarkan hasil uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses self regulated learning terdiri dari receiving atau menerima,

evaluating atau mengevaluasi, triggering atau membuat suatu perubahan,

searching atau mencari solusi, formulating atau merancang suatu rencana, implementing atau menerapkan rencana, assessing atau mengukur efektivitas dari rencana yang telah dibuat.

3. Aspek-aspek Self Regulated Learning

Menurut Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa self regulated learning mencakup tiga aspek, yaitu:

a. Metakognisi

(59)

mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar.

b. Motivasi

Motivasi merupakan pendorong (drive) yang ada pada diri individu yang mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi otonomi yang dimiliki dalam aktivitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu.

c. Perilaku

Perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar.

(60)

penelitian ini, peneliti menggunakan aspek self regulated learning

sebagai dasar penelitian.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning

Menurut Zimmerman (1989, dalam Kristiyani, 2016), ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan self regulated learning, yaitu:

a. Faktor internal

Berdasarkan perspektif kognitif, faktor-faktor internal yang mempengaruhi perkembangan self regulated learning ialah pengaruh personal dan pengaruh perilakuan. Pengaruh faktor personal terhadap self regulated learning, yaitu pengetahuan siswa dapat dibedakan menjadi pengetahuan deklaratif dan pengetahuan regulasi diri. Pengetahuan deklaratif diorganisasikan berdasarkan struktur verbal, urutan dan hirarkinya, sedangkan pengetahuan regulasi diri berupa strategi belajar atau standar siswa. Proses metakognisi meliputi perencanaan dan kontrol perilaku. Pembutan keputusan metakognisi tergantung juga pada tujuan jangka panjang siswa. Tujuan siswa dan penggunaan proses kontrol metakognitifnya secara teoritis tergantung pada persepsi efikasi diri dan afeksi. Pengaruh perilakuan terdiri dari tiga jenis respon siswa yang relevan dengan

(61)

Proses ini dapat menghasilkan informasi mengenai seberapa baik seseorang mengalami kemajuan dalam mencapai tujuan. Observasi diri dipengaruhi oleh beberapa proses personal seperti efikasi diri, penetapan tujuan, dan perencanaan metakognisi. Penilaian diri merupakan respon siswa yang meliputi secara sistematis membandingkan performansinya dengan strandar atau tujuan yang sudah ditetapkan, sedangkan reaksi diri meliputi beberapa proses diri seperti penetapan tujuan, persepsi efikasi diri, dan perencanaan metakognisi, di mana hubungan ketiganya bersifat timbal balik. b. Faktor eksternal

(62)

Dukungan orangtua juga sangat memengaruhi perkembangan self regulated learning siswa. Semakin besar besar dukungan dari orangtua yang dirasakan siswa, semakin besar pula kemungkinan siswa tersebut melakukan belajar bedasar regulasi diri. Faktor sekolah yang mempengaruhi self regulated learning adalah relasi guru-siswa (Leutwyler & Merki, 2009, dalam Kristiyani, 2016), dukungan otonomi guru (Leutwyler & Merki, 2009; Sierens, et al., 2009, dalam Kristiyani, 2016), dan model pengajaran yang diberikan guru (Vassallo, 2011, dalam Kristiyani, 2016). Guru memiliki pengaruh besar pada perkembangan self regulated learning (Greene & Azevedo, 2007, dalam Kristiyani, 2016). Dalam faktor teman sabaya, Zimmerman dan Cleary (2006, dalam Kristiyani, 2016) mengatakan bahwa pada masa remaja kepercayaan pada kemampuan sendiri, yang merupakan bagian dari self regulated learning, sangat dipengaruhi oleh perilaku atau umpan balik dari orang-orang penting di sekitar siswa, seperti teman sebaya. Newman (2002, dalam Kristiyani, 2016) menyatakan bahwa siswa yang memiliki self regulated adalah siswa yang memiliki perasaan otonomi yang tinggi. Tetapi hal ini bukan berarti mereka terisolasi dan tidak membutuhkan bantuan orang lain, teman sebaya adalah orang-orang yang dapat memanifestasikan kebutuhan ini.

(63)

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada faktor internal, yaitu pengaruh personal dan pengaruh perilakuan.

D. Dinamika Hubungan Self Regulated Learning dengan Kenakalan Remaja

Masa remaja adalah masa di mana seseorang lebih mementingkan kehidupan sosialnya di luar ikatan sosialnya dalam keluarga, berpikir tentang apa yang terjadi pada pikiran orang lain, emosi yang tinggi, serta mulai melihat lebih dekat diri mereka sendiri untuk mendefinisikan bahwa diri mereka berbeda. Mereka mudah menjadi tidak puas dengan diri mereka sendiri, mengkritik sifat-sifat pribadi mereka, membandingkan diri mereka dengan orang lain, dan mencoba mengubah seperti diri orang lain atau teman lain. Pada fase remaja, biasanya seorang anak akan mengalami suatu perubahan. Perubahan tersebut bukan hanya dari fisik namun juga dari psikologisnya. Pada masa transisi ini kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya kenakalan pada remaja.

(64)

sekolah, seperti membolos, datang terlambat, melalaikan tugas, catatan tidak lengkap, tidak berseragam lengkap, malas mengikuti pelajaran, acuh tak acuh pada jam pelajaran, merokok, tidak sopan, mempengaruhi teman untuk melanggar disiplin, nongkrong di kantin.

Ketika remaja tidak disiplin, maka ia membutuhkan strategi belajar. Salah satu strategi belajar yang diperlukan oleh remaja adalah self regulated learning (SRL). Self regulated learning dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana pelajar melakukan strategi dengan meregulasi kognisi, metakognisi, dan motivasi. Straregi kognisi meliputi usaha mengingat kembali dan melatih materi terus-menerus, elaborasi, dan strategi mengorganisir materi. Strategi metakognisi meliputi merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi. Strategi motivasional meliputi nilai belajar sebagai kebutuhan diri atau sisi intrinsik, melakukan penghargaan terhadap diri sendiri, dan tetap bertahan ketika menghadapi kesulitan (Chin, 2004 dalam Kristiyani, 2016). Schunk dan Zimmerman (1998) mengatakan bahwa

self regulated learning yang terdiri dari tiga aspek, yaitu metakognitif, motivasi, dan perilaku.

(65)

Sehubungan dengan itu, Zimmerman (1998) menyatakan bahwa hal yang penting bagi individu yang melakukan regulasi diri adalah kempampuan individu dalam merencanakan, mengorganisasi atau mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar. Apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang tinggi akan maka ia mampu merencanakan kegiatan sehari-hari, mampu mengatur diri, serta dapat memonitor kegiatannya, dan melakukan evaluasi kegiatannya. Sebaliknya, apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang rendah maka ia akan kesulitan untuk membuat suatu perencanaan kegiatan sehari-hari, kesulitan mengatur diri, kesulitan mengontrol kegiatannya, dan kesulitan dalam mengevaluasi kegiatan.

(66)

Pada aspek perilaku, Zimmerman dan Pons (1998) menyatakan bahwa perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar. Apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang tinggi maka ia mampu untuk melihat perilakunya sendiri dengan memberikan perhatian atas kualitas pada perilaku yang sedang dilakukannya. Selain itu, mereka juga mampu untuk mengevaluasi perilakunya sendiri dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

(67)

kenakalan. Sebaliknya, remaja dengan tidak memiliki self regulated learning

yang baik cenderung kurang mampu menyadari perilakunya dan kurang mampu mengatur dirinya sendiri, sehingga remaja melakukan kenakalan.

E. Hipotesis

(68)

F. Kerangka Berpikir

Self Regulated Learning

(SRL)

SRL Tinggi SLR Rendah

Mampu mengatur strategi belajar

Kurang mampu mengatur strategi belajar

(69)

50

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitan kuantitatif dengan metode survei. Penelitian survei digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi tentang populasi yang besar dengan menggunakan sampel yang relatif kecil. Desain survey tergantung pada penggunaan jenis kuisoner (Creswell, 2012).

B. Indentifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas pada penelitian ini adalah self regulated learning. 2. Variabel terikat pada penelitian ini adalah kenakalan remaja.

C. Definisi Operasional

1. Self Regulated Learning

(70)

Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu. Aspek perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar.

2. Kenakalan remaja

Pada dasarnya prilaku kenakalan dapat di golongkan menjadi dua golongan, yaitu kenakalan remaja yang tidak digolongkan pada pelanggaran hukum dan kenakalan remaja yang tergolong pelanggaran hukum.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini diambil dengan teknik non probability sampling, yaitu tidak semua anggota populasi memiliki kesempatan atau pelurang yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Siregar, 2013). Secara khusus teknik pemilihan sampel yang digunakan adalah convenience sampling. Menurut Somantri (2006) convenience sampling merupakan teknik penarikan sampel yang dilakukan dengan alasan kemudahan atau kepraktisan menurut peneliti.

(71)

E. Metode dan Alat Pengambilan Data

Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah dalam bentuk skala, yaitu skala self regulated learning dan skala kenakalan remaja.

Skala menggunakan metode summated rating yang merupakan penskalaan model Likert. Model penskalaan ini merupakan metode penskalaan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Gable dalam Azwar, 2000).

Untuk melakukan penskalaan dengan metode ini, sejumlah pernyataan sikap telah ditulis berdasarkan kaidah penulisan pernyataan dan didasarkan pada rancangan skala yang telah ditetapkan. Subjek akan diminta untuk menyatakan kesusuaian atau ketidaksesuaiannya terhadap isi pernyataan dalam empat macam kategori jawaban, yaitu “sangat tidak setuju” (STS), “tidak setuju” (TS), “setuju” (S), dan “sangat setuju” (SS). Rentang skor pada

setiap butir item adalah 1 sampai 4.

Tabel 1

Skor Jawaban

Jawaban Pernyataan

Favorabel Unfavorable

STS (Sangat Tidak Setuju) 1 4

TS (Tidak Setuju) 2 3

S (Setuju) 3 2

(72)

Skala self regulated learning terbagi dalam tiga aspek, yaitu aspek metakognitif, aspek motivasi, dan aspek perilaku. Proporsi persebaran item dalam setiap aspek dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 2

Proporsi Item pada Skala Self Regulated Learning Sebelum Uji Coba

Aspek Indikator Nomer Item Jumlah

(73)

Tabel 3

Proporsi Item pada Skala Kenakalan Remaja Sebelum Uji Coba

Aspek Nomer Item Jumlah

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan uji coba alat ukur. Tujuannya adalah untuk menguji kesahihan alat ukur. Uji coba alat ukur dilakukan pada Rabu, 26 Mei 2016 secara online. Lama proses uji coba alat ukur adalah dua hari.

Jumlah subjek dalam uji coba alat ukur adalah 53 orang. Masing-masing subjek diberi skala yang terdiri dari dua bagian, yaitu self regulated learning

(bagian I) dan kenakalan remaja (bagian II). Hasil yang diperoleh dari uji coba ini adalah item-item yang memenuhi kriteria untuk menjadi alat ukur yang sahih.

G. Validitas dan Reliabilitas

(74)

Validitas adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi ukurnya. Artinya, sejauh mana skala tersebut mampu mengukur atribut yang akan diukur. Validitas yang digunakan peneliti adalah validitas permukaan (face validity) yang dinyatakan berdasarkan format penampilan tes, apabila penampilan tes telah menyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap atribut yang hendak diukur, maka dapat dikatakan bahwa validitas muka telah terpenuhi. Kedua, validitas yang bersifat logis (logical validity). Dalam validitas ini, setiap aspek yang akan diungkapkan, ditetapkan lebih dahulu definisinya sebagai pengukur apakah materi tiap item benar-benar tercakup di dalamnya, maka jika item dipandang telah menampung materi didalam definisi tertentu, berarti alat pengumpul data cukup valid (Hadari, 1985).

Validitas permukaan dan validitas logis dari skala ini diselidiki dengan bantuan dosen pembimbing sebagai professional judgement

dengan cara melihat penampilan tes telah meyakinkan, memberikan kesan mampu mengungkap atribut yang hendak diukur dan apakah item dipandang telah menampung materi dalam definisi tertentu.

2. Seleksi Item

(75)

item-total (rix) yang dihitung menggunakan alat bantu program SPSS for

windows versi 16.

Berdasarkan koefisien korelasi item-toato bergerak dari nilai 0-1,00 dengan tanda positif dan negatif. Batasan kriteria seleksi item dengan menggunakan koefisien korelasi item-total adalah rix≥ 0,30. Oleh sebab itu, item yang memiliki koefisien korelasi item-total lebih atau sama dengan 0,30 dianggap memiliki daya diskriminasi yang baik. Sebaliknya item yang memiliki koefisien korelasi item-total kurang dari 0,30 dianggap daya diskriminasinya rendah (Azwar, 2000).

Apabila item yang memiliki indeks diskriminasi ≥ 0,30 jumlahnya melebihi jumlah item yang direncanakan untuk dijadikan skala, maka kita dapat memilih item-item yang memiliki indeks daya diskriminasi tertinggi. Sebaliknya apabila jumlah item yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang di inginkan, kita dapat mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0,30 menjadi 0,25 misalnya sehingga jumlah item yang di inginkan dapat tercapai. Apabila hal ini tidak juga menolong, maka sangat mungkin kita harus merevisi seluruh item-item baru sama sekali dan kemudian melakukan field testing

kembali karena menurunkan batas kriteria rix dibawah 0,20 sangat tidak di sarankan (Azwar, 2000).

(76)

13, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 29, 31, 34, 35, dan 36. Dibawah ini proporsi item yang sahih.

Tabel 4

Proporsi Item pada Skala Self Regulated Learning Setelah Uji Coba

Aspek Indikator Nomer Item Item yang

lolos Jumlah

(77)

14, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, dan 28. Di bawah ini proporsi item yang sahih.

Tabel 5

Proporsi Item pada Skala Kenakalan Remaja Setelah Uji Coba

Aspek Nomer Item Item yang lolos Jumlah Tidak tergolong

(78)

Koefisien alpha cornbach dari skala self regulated learning setelah uji coba adalah 0,758. Sedangkan koefien alpha cornbach dari skala kenakalan remaja setelah uji coba adalah 0,807.

H. Metode Analisis Data

1. Uji Asumsi

Penelitian ini melakukan uji asumsi dengan tujuan untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya korelasional yang digunakan untuk uji hipotesis. Uji asumsi yang dilakukan adalah uji normalitas sebaran data dan linearitas hubungan antar variabel.

1.1 Uji Normalitas

Penelitian ini melalukan uji normalitas dengan tujuan untuk mengetahui apakah data penelitian berasal dari populasi yang sebarannya normal. Hal ini dapat dilihat melalui data dengan nilai p < 0,05 menunjukan bahwa data tersebut memiliki perbedaan yang signifikan dengan data yang normal. Sebaliknya, apabila data yang didapat memiliki nilai p > 0,05 menunjukan bahwa data tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan data normal. Data semacam ini yang merupakan data dengan sebaran yang normal (Santoso, 2010). Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan

(79)

Penelitian ini melaukan uji normalitas dengan maksud untuk mengetahui hubungan antar kedua variabel yang hendak dianalisis apakah mengikuti garis lurus atau tidak. peningkatan atau penurunan ada suatu variable makan akan diikuti pula secara linear oleh peningkatan atau penurunan kuantitas pada variabel lainnya (Santoso, 2010). Pengujian linearitas dilakukan dengan uji linearitas menggunakan alat bantu program SPSS for windows versi 16. Jika data memenuhi syarat yaitu p < 0,05 maka data tersebut dapat dikatakan linear.

2. Uji Hipotesis

Penelitian ini melakukan uji hipotesis dengan menggunakan korelasi

Gambar

Tabel 1  Skor Jawaban
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari pemaparan di atas maka hal ini penting untuk dilakukan penelitian tentang bagaimana hubungan peran Ibu dengan persiapan remaja menghadapi masa pubertas pada anak di SMP Negeri

Ada hubungan tingkat konsumsi zat besi dan pola menstruasi (lama menstruasi dan siklus menstruasi) dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMP Kristen

skripsi dengan judul : “ HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI ZAT BESI DAN POLA MENSTRUASI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA REMAJA PUTRI DI SMP KRISTEN 1 SURAKARTA ” , sebagai

“Hubungan Tingkat Konsumsi Zat Besi dan Pola Menstruasi dengan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri di SMP Kristen 1 Surakarta”.

Hubungan Pengetahuan Tentang Anemia, Lama Menstruasi, Konsumsi Zat Besi Dengan Anemia Pada Remaja Putri SMK Negeri 1 Metro Lampung.. Fakultas Kesehatan

Remaja merupakan bagian dari fase tumbuh kembang yang terjadi di antara masa anak-anak dan dewasa dengan tanda perubahan fisik, hormonal, psikologis, emosi, dan sosial. 1,2

Masa remaja awal ditandai dengan peningkatan yang cepat dari pertumbuhan dan pematangan fisik. Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang penting pada seseorang.

bali materi yang dipelajari untuk meningkatkan hasil belajar. Menetapkan tujuan atau sub tujuan dan membuat perencanaan un- tuk urutan, waktu, dan aktifitas yang berhubun-