Pros. SemNas. Peningkatan Mutu Pendidikan Volume 1, Nomor 1, Januari 2020
Halaman 88 - 94
E-ISSN: 2745-5297
Pengembangan keterampilan berpikir kreatif peserta didik menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving disertai Mind Mapping
Supriyadi, Hepi Diana, Dwijowati Asih Saputri, Rina Budi Satiyarti, dan Aulia Novitasari Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Jl. Letnan Kolonel H Jl. Endro Suratmin, Sukarame,
Kec. Sukarame, Kota Bandar Lampung, Lampung 35131
Email: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh model pembelajaran creative problem solving (CPS) disertai mind mapping terhadap keterampilan berpikir kreatif pesertadidik pada konsep sistem pertahanan tubuh di SMA Negeri I Natar, Lampung Selatan. Sampel penelitian dipilih dengan teknik acak kelas terdiri dari 72 peserta didik kelas XI (sebelas). Sampel telah terdistribusi dalam dua kelas, pertama kelas eksperimen (36) peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran CPS disertai mind mapping, dan yang kedua kelas kontrol (36) peserta didik. Penelitian ini menggunakan the posttest-only control group design. Instrumen penelitian terdiri dari perangkat pembelajaran yang dikembangkan mengacu model CPS disertai mind mapping dan soal tes keterampilan berpikir kreatif. Sebelum digunakan, kedua instrumen tersebut telah divalidasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan pada taraf (α=0,05) antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dalam hal nilai rata-rata keterampilan berpikir kreatif peserta didik. Dalam penelitian ini diketahui bahwa model pembelajaran CPS disertai mind mapping efektif dalam mengembangkan keterampilan berpikir kreatif peserta didik. Dengan demikian, peneliti merekomendasikan penggunaan model pembelajaran ini terutama di SMA Negeri I Natar, Lampung Selatan. Selain itu, bagi sekolah-sekolah lain temuan penelitian ini dapat menjadi acuan pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan student centered.
Kata kunci : creative problem solving, mind mapping, keterampilan berpikir kreatif.
ABSTRACT
The purpose of this study is to investigate the effect of using creative problem solving (CPS) strategy be accompanied by mind mapping in developing of students' creative thinking skills on the concept of the cell bodies regulatory mechanism in State Senior High School 1 Natar, South Lampung. The sample of the study selected using cluster random sampling technique, consisted of (72) students grade XI (eleven). The sample was distributed into two classes, the first represent the experimental group totaling (36) students taught trough CPS strategy be accompanied by mind mapping, and the second represents control group totaling (36) students. The study using the posttest-only control group design. The instruments of this study were a lesson plan using CPS strategy referring to the CPS be accompanied by mind mapping and creative thinking skills test. Both validity and reliability were checked by the researcher. The results of the study showed that there are statistical significant difference at the level (α = 0.05) between the experimental group and the control group the total average score of the students' creative thinking skills. In this study it is known that the CPS strategy be accompanied by mind mapping are effective in developing students' creative thinking skills. Thus, the researchers recommended the use of this strategy especially in State Senior High School 1 Natar, South Lampung. In addition, for other schools the findings of this study can be reference in using learning strategy that oriented to the student centered approach.
Keyword: creative problem solving, mind mapping, creative thinking skills
1. PENDAHULUAN
Pembelajaran sains di Indonesia saat ini ditekankan mengarah pada paradigma pembelajaran integrative science. Pembelajaran tersebut mengacu berbagai teori belajar, antara lain teori behavior, teori perolehan informasi, dan teori psikologi kognitif (konstruktivisme). Oleh sebab itu, guru semestinya mampu menciptakan ekosistem pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik, dan karakter materi yang akan disampaikan dengan berpijak pada filosofi yang termaktub dalam teori-teori tersebut.
Seterusnya, proses pembelajaran dilaksanakan menggunakan model pembelajaran berorientasi pendekatan student centered dilengkapi sumber belajar dan media yang mendukung.
Pada aras lain, kurikulum yang berlaku saat ini bervisi mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik baik sikap spiritual, sikap sosial, kognitif, dan psikomotorik. Kompetensi tersebut bisa dicapai melalui partisipasi aktif peserta didik dalam aktivitas belajar. Pendidik juga diharapkan mampu mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) peserta didik dalam proses pembelajaran sains (Asih Widi Wisudawati, 2014).
Senada dengan itu, biologi sebagai bagian dari pelajaran sains hendaknya diposisikan sebagai wahana untuk meningkatkan kemampuan berpikir, keterampilan, sikap, nilai serta wadah untuk memperhatikan lingkungan. Biologi juga berkaitan dengan bagaimana cara mencari tahu dan memahami keadaan alam secara sistematis, sehingga belajar biologi tidak sekadar upaya menguasai kumpulan pengetahuan berupa fakta, konsep, dan prinsip saja, sebalikanya ia merupakan proses penemuan yang melibatkan kemampuan berpikir. Maka, keterampilan berpikir kreatif dapat dikatakan sebagai untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan mengoptimalkan kerja kognitif (Nikmatul Fitriyah &
Fikri, 2015).
Berkenan dengan kondisi pembelajaran sains di sekolah, hasil observasi pada proses pembelajaran guru mata pelajaran Biologi di SMAN 1 Natar Lampung Selatan pada kelas XI MIPA diketahui bahwa, pembelajaran masih berpusat pada guru (teacher centered) dimana komunikasi yang berlangsung saat proses pembelajaran cenderung berjalan satu arah, dan komunikasi tersebut didominasi oleh pendidik. Ketika proses pembelajaran berlangsung, guru lebih banyak menjelaskan materi kepada peserta didik. Hal itu memicu kurang adanya komunikasi timbal balik antara guru dan peserta didik.
Ketika guru mengajukan pertanyaan kepada peserta didik, sementara mereka belum mampu mengkonsep jawaban yang diharapkan oleh guru, mengakibatkan komunikasi antara pendidik dan peserta didik macet,
hingga pada ujungnya pendidik yang menjelaskan materi secara langsung.
Dengan kata lain, proses pembelajaran belum ditata secara sistematis sehingga banyak peserta didik yang belum paham terhadap materi yang disampaikan oleh guru. Hal itu menyebabkan pembelajaran sains yang idealnya berpusat pada peserta didik dimana mereka bisa terlibat langsung dalam pemecahan masalah yang dihadapi sehingga dapat mengembangkan keterampilan berpikirnya, belum sukses dilaksanakan dalam pembelajaran biologi di SMAN 1 Natar Lampung Selatan.
Melihat situasi itu, peneliti menawarkan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) disertai mind mapping untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif peserta didik. Model CPS merujuk pada pembelajaran yang menekankan pemecahan masalah secara sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Ketika dihadapkan dengan suatu permasalahan, peserta didik mampu melakukan keterampilan pemecahan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya.
CPS didesain untuk memcahkan masalah atau tantangan dengan cara yang imajinatif dan inovatif (Creative Education Foundation, 2015; Darusman, 2014). Strategi ini dapat membantu peserta didik mendefinisikan kembali masalah dan peluang yang mereka hadapi, menghasilkan respons dan solusi baru yang inovatif, dan kemudian mengambil tindakan.
Peserta didik juga dapat menggunakan berbagai media pembelajaran dan teknik belajar yang membuat proses itu menyenangkan, menarik, dan kolaboratif.
Model pembelajaran CPS tidak hanya membantu menciptakan solusi yang lebih baik, tetapi menciptakan pengalaman positif yang membantu mempercepat adopsi ide-ide baru. Dengan suasana belajar seperti itu, pembelajaran sains tidak hanya dengan menghafal tanpa berpikir, sebaliknya dengan mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dapat memperluas proses berpikir peserta didik (Shoimin, 2014). Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Osborn sebagai suatu model pembelajaran penyelesaian masalah secara kreatif yang terdiri dari enam langkah berdasarkan OFPISA model Osborn-Parnes, yaitu Objective Finding, Problem Finding, Idea Finding, Solution Finding, dan Acceptance Finding (Huda, 2013).
Untuk menngenapi tawaran solusi, pada penelitian ini juga menggunakan teknik mind mapping. Mind mapping merupakan cara mencatat materi pembelajaran secara efektif, kreatif, dan secara harfiah akan memetakan pikiran-pikiran (Buzan, 2012). Oleh karena itu, mind mapping merupakan cara yang paling mudah untuk memasukkan informasi ke dalam otak dan untuk mengambil informasi dari otak (Darusman, 2014).
90 Pros. SemNas. Peningkatan Mutu Pendidikan, 1 (1): 88-94, Januari 2020
Yang harus digarisbawahi, upaya untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif merupakan ikhtiar yang akan berperan penting dalam melahirkan generasi yang unggul. Utami Munandar menggambarkan sesorang yang mempunyai ketrampilan berpikir kreatif sebagai sosok yang mampu memberikan bermacam-macam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada proses yang dilakukan oleh seseorang untuk mengembangkan suatu persoalan menjadi alternatif jawaban (Fadillah, 2016). Generasi yang memiliki kecakapan seperti itulah yang merupakan aset yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan zaman.
Di samping itu, Guilford menyatakan, setiap orang yang memiliki keterampilan berpikir kreatif akan memiliki ciri-ciri yaitu pertama, berpikir lancar (fluency), mampu untuk menghasilkan banyak gagasan yang relevan dengan arus pemikiran yang lancar. Kedua, berpikir luwes (flexibility), mampu untuk menghasilkan pemikiran yang berbeda-beda dan mampu mengubah cara atau pendekatan. Ketiga, berpikir orisinal (originality), mampu untuk mencetuskan ide-ide gagasan yang asli. Dan keempat, berpikir rinci (elaboration), yaitu mampu membangun ide yang beragam serta mencoba berbagai pendekatan dalam memecahkan masalah (M Nur Ghufron, 2017).
Sebagai latar penelitian ini, ada beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan model pembelajaran CPS dengan Mind Mapping yaitu:
penelitian yang dilakukan oleh Nikmatul Fitriyah, Sulifah Apriliya Hariani, Kamalia Fikri menemukan bahwa model pembelajaran CPS dengan Mind Mapping memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keterampilan berpikir kreatif siswa kelas VII SMP N 11 Jember (Nikmatul Fitriyah & Fikri, 2015).
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Hariawan, Kamaluddin, Unggul Wahyono menyimpulkan bahwa model CPS memberikan pengaruh secara signifikan terhadap keterampilan siswa dalam memecahkan masalah fisika pada materi gerak harmonik sederhana dan elastisitas kelas XI SMAN 4 Palu (Hariawan &
Wahyono, 2015). Berdasarkan penelitian tersebut, terdapat persamaan hasil yaitu penggunaan model pembelajaran CPS adalah meningkatkan keterampilan berpikir kreatif, keterampilan memecahkan masalah, kreativitas, dan hasil belajar Biologi. Sedangkan perbedaannya adalah materi yang digunakan pada aspek yang diteliti.
Pada akhirnya, penerapan model pembelajaran CPS disertai mind mapping diharapkan dapat mendorong peserta didik untuk lebih berpikir kreatif dan menunjukkan sikap kreatif yang baik dalam menyelesaikan suatu permasalahan saat proses pembelajaran berlangsung.
2. METODE PENELITIAN
Populasi penelitian ini terdiri dari seluruh peserta didik kelas XI (sebelas) MIPA di SMA Negeri 1 Natar, Lampung Selatan. Sampel penelitian berjumlah
(72) peserta didik, didistribusikan ke dalam dua kelas, kelas eksperimen berjumlah (36) siswa, yang diajar menggunakan model pembelajaran CPS dan kelas kontrol berjumlah (36) peserta didik yang tidak memperoleh perlakuan.
Desain penelitian yang digunakan adalah the posttest only control group design. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan soal esai untuk mengukur keterampilan berpikir kreatif peserta didik. Instrumen penelitian berupa soal tes keterampilan berpikir kreatif, lembar catatan lapangan, rubrik penilaian mind map.
Proses penelitian menggunakan model CPS yang dikemas dalam perangkat pembelajaran merepresentasikan aktivitas belajar meliputi (1) objective finding yaitu peserta didik mendiskusikan suatu permasalahan yang diajukan oleh guru dan berupaya menemukan gagasan penyelesaian yang bisa digunakan untuk kerja kreatif peserta didik. (2) fact finding, yaitu peserta didik menemukan semua fakta yang mungkin berkaitan dengan gagasan yang telah diungkapkan sebelumnya. (3) problem finding, yaitu menjelaskan kembali permasalahan yang diajukan agar peserta didik lebih paham dan dapat menemukan penyelesaian yang diharapkan. (3) idea finding, yaitu evaluasi cepat dengan gagasan-gagasan peserta didik untuk menghasilkan hasil sortir gagasan yang sekiranya menjadi pertimbangan solusi lebih lanjut.
(4) solution finding, yaitu mengevaluasi bersama gagasan-gagasan yang memiliki potensi terbesar hingga menghasilkan gagasan yang final untuk menjadi solusi permasalahan. (5) acceptance finding, yaitu peserta didik diharapkan sudah memiliki cara baru untuk menyelesaikan berbagai masalah secara kreatif.
Dalam konteks penelitian ini mind mapping dimaksudkan untuk mendorong keterampilan mengasosiasi konsep-konsep dengan membuat diagram nonlinear yang menunjukkan bagaimana unsur-unsur dihubungkan dan diuraikan dari pusat pemikiran melalui asosiasi, perasaan, dan gagasan.
Penyusunan mind mapp dilakukan sebagai latihan individu atau kelompok, atau sekelompok individu.
Terkait keterampilan berpikir kreatif, aspek-aspek yang dikembangkan dalam penelitian ini meliputi (1) berpikir lancar (fluency), yaitu keterampilan dalam melahirkan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah maupun pertanyaan. Mampu memberikan berbagai cara dan saran dalam melakukan banyak hal.
Juga selalu memikirkan alternatif solusi atas suatu persoalan; (2) berpikir luwes (flexibility), yaitu keterampilan memproduksi ide, gagasan, jawaban maupun pertanyaan yang bervariasi, mampu melihat suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang, menemukan banyak alternatif. (3) berpikir orisinal (originality), yaitu keterampilan dalam mencetuskan ungkapan yang baru dan unik, mampu memikirkan cara yang tidak biasa dalam menyelesaikan masalah, serta mampu membuat kombinasi yang tidak biasa dari bagian-bagian atau unsur, (4) berpikir elaboratif
(elaboration), yaitu mampu memperbanyak atau mengembangkan suatu gagasan maupun produk.
Menambahkan atau memperjelas rincian dari suatu objek, gagasan, situasi sehingga lebih menarik.
Terkait analisis data, uji statistik penelitian meliputi analisis uji coba instrumen tes keterampilan berpikir kreatif terdiri dari uji validitas, realiabilitas, uji tingkat kesukaran dan uji daya beda. Uji hipotesis penelitian dengan uji t independent setelah melalui prasyarat uji normalitas dengan uji liliefors dan uji homogenitas dengan uji fisher.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil rekapitulasi nilai posttest peserta didik diperoleh ketercapaian indikator dari keterampilan berpikir kreatif peserta didik pada materi sistem pertahanan tubuh ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Persentase ketercapaian masing-masing indikator dari keterampilan berpikir kreatif peserta didik kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan dalam Gambar 1. Hasil analisis capaian masing- masing indikator keterampilan berpikir kreatif memperlihatkan bahwa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki perbedaan nilai dimana kelas eskperimen memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol (Tabel 3).
Berdasarkan Tabel 3. diketahui hasil uji t yaitu thitung >
ttabel hal ini menunjukkan bahwa H0 ditolak H1
diterima. Artinya, ada pengaruh signifikan model
pembelajaran CPS disertai mind mapping terhadap keterampilan berpikir kreatif peserta didik.
Sejatinya, ide-ide kreatif dan juga keterampilan berpikir kreatif tidak muncul tiba-tiba muncul di pikiran peserta didik tanpa sebab yang jelas.
Sebaliknya, keterampilan itu lahir dari hasil mencoba menyelesaikan masalah tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu. (Baumgartner, 2010) mencontohkan bahwa, teori relativitas yang ditemukan oleh Albert Einstein bukanlah inspirasi yang tiba-tiba. Itu merupakan hasil dari sejumlah besar upaya pemecahan masalah untuk memahami perbedaan antara hukum fisika dan hukum elektromagnetik sebagaimana adanya dipahami pada saat itu.
Selain Einstein, para sainstis yaing kreatif lainnya:
Leonardo da Vinci, Thomas Edison, dll., selalu bekerja dengan cara yang sama. Mereka tidak menunggu ide-ide kreatif untuk menghampiri mereka, melainkan mereka yang fokus pada upaya memecahkan masalah yang dinyatakan dengan jelas, setidaknya dalam pikiran mereka.
Cara berpikir dan cara kerja semacam itu kemudian dikembangkan oleh para ahli pedagogi menjadi salah satu formula pembelajaran, yang kemudian dikenal dengan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS). CPS adalah proses yang sederhana itu melibatkan pemecahan masalah untuk memahaminya, menghasilkan ide untuk memecahkan masalah dan mengevaluasi ide-ide itu untuk menemukan solusi yang paling efektif.
Tabel 1. Capaian Keterampilan Berpikir Kreatif Kelas Eksperimen
Indikator Persentase Keterangan
Berpikir lancar 85,42 % Sangat Baik
Berpikir luwes 81,94 % Baik
Berpikir orisinil 79,34 % Baik
Berpikir elaborasi 78,47 % Baik
Tabel 2. Capaian Keterampilan Berpikir Kreatif Kelas Kontrol
Indikator Persentase Keterangan
Berpikir lancar 73,61 % Cukup
Berpikir luwes 71,75 % Cukup
Berpikir orisinil 68,57 % Cukup
Berpikir elaborasi 62,50 % Cukup
Gambar 1. Komparasi Capaian Keterampilan Berpikir Kreatif
92 Pros. SemNas. Peningkatan Mutu Pendidikan, 1 (1): 88-94, Januari 2020
Beralas pada rasionalisasi itulah penelitian ini berupaya mengembangkan keterampilan berpikir kreatif peserta didik menggunakan model CPS disertai mind mapping. Setelah melewati beberapa kali perlakuan, sebagaimana telah disajikan pada temuan penelitian di atas, diketahui model ini berpengaruh signifikan dalam mengembangkan keterampilan berpikir kreatif. Untuk melacak secara detai hal-hal apa saja yang menyebabkan model ini berdampak pada keterampilan berpikir kreatif peserta didik, berikut ini dibentangkan proses berjalannya pembelajaran dalam penelitian ini.
Pertama, Objective Finding, bisa dikatakan langkah paling penting dari CPS adalah mengidentifikasi masalah atau atau menetapkan tujuan. Ini mungkin tampak mudah, tetapi sangat sering, apa yang kita yakini sebagai masalahnya bukanlah masalah atau tujuan sebenarnya. Oleh sebab itu, kejelian dalam merumuskan masalah menjadi kunci proses pembelajaran yang mengarah pada pengembangan keterampilan berpikir kreatif. Dalam penelitian ini proses merumuskan masalah diawali dengan aktivitas mengamati fenomena atau kasus- kasus faktual terkait materi sistem pertahanan tubuh.
Fenomena yang dimaksud antara lain ihwal kasus HIV/AIDS, wabah flu burung, dll. Setelah memahami problem tersebut peserta didik dilatih untuk merumuskan masalah sebagai dasar untuk mendesain langkah-langkah menemukan jawabannya.
Perlu digarisbawahi, pertanyaan adalah penentu cara menemukan jawabannya. Oleh karena itu, mengingat arah pembelajaran dengan model ini menuju pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi (kreatif), maka peserta didik digiring untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan kreatif, alih-alih sebatas pertanyaan-pertanya seputar “apa, dimana, siapa”. Dengan mengarahkan peserta didik untuk merumuskan pertanyaan kreatif, maka proses menemukan jawabannya pun akan mengarahkan ke pembentukan keterampilan berpikir kreatif. Misalnya, peserta didik menemukan kasus HIV/AIDS. Jika peserta didik tersebut merumuskan pertanyaan “apa penyebab HIV/AIDS?”, maka jelas rumusan masalah tersebut tidak dapat menjadi sarana mengembangkan aktivitas kreatif atau mengembangkan keterampilan berpikir kreatif. Namun, jika rumusan pertanyaannya diubah, “jika kamu menemukan seorang teman yang memiliki perilaku menyimpang dan berpotensi terjangkit penyakit HIV/AIDS, tindakan apa yang mungkin kamu lakukan terhadapnya?”. Untuk memecahkan masalah itu dan menganalisis apa yang sebenarnya perlu kita lakukan, mungkin terungkap bahwa masalah sebenarnya adalah temanmu tersebut selama ini kurang mendapat perhatian keluarga dan lingkungan sekitarnya, sehingga dia merasa terasing.
Ujungnya, dia meluapkan kejengahannya dengan berperilaku menyimpang. Dalam hal ini, solusinya mungkin diberi pengetahuan tentang bahaya HIV/AIDS, tetapi mungkin juga adalah untuk
memberikan terapi sosial berupa perhatian dan pendekatan-pendekatan kegiatan yang bisa melibatkannya ke dalam berbagai aktivitas positif.
Dengan memikirkan berbagai upaya penyelesaian suatu masalah, peserta didik dapat mengembangkan keterampilan berpikir kreatifnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Treffinger yang mengatakan bahwa, dengan adanya pembelajaran kreatif dapat menciptakan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian masalah tanpa terpikirkan sebelumnya.
Kedua, Fact Finding, pada fase ini peserta didik dibimbing menemukan berbagai fakta yang berkaitan dengan ide dan gagasan yang telah diungkapkan sebelumnya. Cara terbaik untuk mengklarifikasi masalah dan memahami masalah yang mendasarinya yang kemudian dapat dirumuskan dalam bentuk fakta- fakta adalah bertanya pada diri sendiri--atau lebih baik lagi—meminta kepada teman sebaya, guru atau anggota keluarga untuk bertanya lewat serangkaian pertanyaan investigatif untuk mengklarifikasi masalah sebenarnya di balik masalah tersebut. Terkait kasus HIV/AIDS di atas, misalnya, pertanyaan pertama yang bisa diajukan adalah: "mengapa seorang temanmu melakukan perbuatan menyimpang yang berpotensi temenyebabkan terkena HIV/AIDS?" Mungkin jawaban sementara yang muncul antara lain, “karena kesepian, merasa malu untuk bergaul dengan lingkungan sekitar, karena saya tidak kenal banyak orang di sekitar tempat saya tinggal, karena merasa sulit untuk bertemu orang, karena saya melakukan banyak kegiatan sendirian, dan karena ia hanya ingin melakukan kegiatan dengan orang lain yang memiliki minat yang sama. Dari fakta-fakta inilah jelas yang lebih merupakan masalah yang dihadapi teman tersebut lebih terfokus pada masalah psikologi. Oleh sebab itu, energi kreatif yang bisa ditawarkan kepada teman tersebut adalah untuk menemukan orang-orang yang dapat berbagi kegiatan dengannya.
Sebetulnya, peserta didik juga dapat dilatih lebih lanjut untuk dapat lebih memperjelas masalah dengan mengajukan pertanyaan rinci seperti: "Apa yang benar-benar menyebabkan seorang teman berbuat menyimpang?", Apakah banyak teman-teman lain menghadapi masalah yang sama? Jika ya, bagaimana mereka mengatasinya?" Pada saat peserta didik telah menjawab semua pertanyaan ini, mereka dilatih melahirkan gagasan yang sangat jelas tentang apa masalah atau tujuan sebenarnya.
Ketiga, Problem Finding, pada tahap ini pendidik menjelaskan kembali berbagai permasalahan yang dihadapi peserta didik agar lebih paham dan lebih dekat dengan penyelesaian yang diharapkan. Langkah ini dilakukan dengan meneliti masalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik.
Tergantung pada sifat masalahnya, peserta didik diminta mengklasifikasian karakteristik masalah dari yang sederhana hingga kompleks. Masalah yang penyelesaiannya perlu melakukan banyak penelitian atau yang sedikit dikelompokkan. Hal yang dilakukan
peserta didik adalah menyusun daftar masalah dalam tabel.
Keempat, Idea Finding, fase ini diisi aktivitas mengidentifikasi gagasan-gagasan untuk memecahkan masalah. Selanjutnya, gagasan tersebut dievaluasi untuk menghasilakan hasil sortir gagasan yang sekiranya paling tepat menjadi solusi. Langkah ini dilakukan setelah peserta didik mampu merumuskan dengan jelas tentang masalah nyata di balik problem/kasus. Langkah selanjutnya adalah mengubah masalah ini menjadi tantangan kreatif.
Tantangan kreatif pada dasarnya adalah pertanyaan sederhana dibingkai untuk mendorong saran atau ide.
Dalam kasus HIV/AIDS, suatu tantangan biasanya dimulai dengan "Dengan cara apa masalah itu dapat diselesaikan?" atau "Bagaimana mungkin saya bisa memecahkan kasus tersebut?" atau "Bagaimana saya bisa membantu teman saya agar tidak terkena HIV/AIDS?" Tantangan kreatif harus sederhana, singkat dan fokus pada satu masalah. Setelah peserta didik memiliki ide untuk menyelesaikan masalah tersebut, mereka dibimbing untuk menemukan pendekatan logis untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam konteks penelitian ini, berbagai ide yang muncul dari peserta didik antara lain, memberikan penyuluhan, membuat poster atau slogan, membuat esai tentang bahaya narkotika dan seks bebas, dan juga ada yang menawarkan dibentukanya forum atau komunitas yang mendampingi para pengidap HIV/AIDS.
Kelima, Solution Finding, pada tahap ini pendidik dan peserta didik mengevaluasi bersama gagasan- gagasan yang memiliki potensi terbesar hingga menghasilkan gagasan yang final untuk menjadi solusi permasalahan. peserta didik memverifikasi hasil pengamatan dan diskusinya dengan data-data dan fakta dari sumber yang terpercaya. Di sinilah, kita sampai pada bagian yang diasosiasikan oleh kebanyakan orang dengan brainstorming dan pemecahan masalah kreatif: produksi ide.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dari suatu kasus yang disodorkan akan ada banyak kemungkinan rumusan masalah, dan juga kemugkinan ide untuk menyelesaikan persoalan. Karena itu, pendidik dan peserta didik mendiskusikan dan menyepakati satu tantangan kreatif yang harus diselesaikan. Pada penelitian ini, salah satu tantangan kreatif yang menjadi fokus untuk pencarian solusinya adalah bagaimana membangun komunitas yang dapat menciptakan ekosistem untuk mengembangkan aktivitas positif bagi para pemuda, sehingga mereka terhindar dari perbuatan menyimpang yang rentan terserang virus HIV/AIDS.
Kelima, Acceptance Finding, merupakan fase puncak dari aktivitas belajar dengan model CPS. Pada fase ini peserta didik telah memiliki cara baru untuk menyelesaikan berbagai masalah secara kreatif.
Gagasan-gasan terkait penyelsaian masalah yang telah diputuskan setiap peserta didik digabungkan bersama untuk membentuk gagasan besar (atau kelompok
gagasan). Kemudian, dengan menggunakan kriteria yang dibuat sebelumnya, pilih semua ide yang secara luas memenuhi kriteria tersebut. Selanjutnya, bergantung pada sifat tantangan dan ide-ide yang dipilih, peserta didik dibimbing menyusun langkah- langkah sistematis untuk mengimplementasikan ide- ide tersebut untuk menyelesaikan masalah. Dalam kasus lain, ide mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut. Dengan gagasan yang rumit, evaluasi sederhana mungkin tidak cukup. sehingga perlu melakukan SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, menganalisis atau mendiskusikan ide tersebut dengan orang lain yang akan terkena dampaknya.
Pada titik ini, boleh jadi peserta didik memiliki beberapa ide hebat. Namun, banyak dari mereka kesulitan memotivasi diri untuk mengambil langkah berikutnya. Ide-ide kreatif dapat berarti perubahan besar atau mengambil risiko. Beberapa dari kita suka perubahan dan risiko. Yang lain takut karenanya. Oleh sebab itu, langkah berikutnya dibuat rencana tindakan dengan langkah-langkah sederhana yang perlu diambil untuk mengimplementasikan ide-ide. Dalam tahap ini penggunaan mind mapping bermanfaat membantu peserta didik mengorganisasikan pikiran- pikiran mereka. Setelah fase-fase ini telah dilakukan, maka peserta didik siap untuk melakukan praktik pemecahan masalah.
Terkait dengan pengaruh model CPS terhadap keterampilan berpikir kreatif, dalam konteks penelitian ini diketahui bahwa hasil postes antara kelas eksperimen dan kelas kontrol terdapat perbedaan signifikan nilai rata-rata pada masing-masing indikator dari keterampilan berpikir kreatif. Lewat model pembelajaran CPS, sebagaimana telah diceritakan fase-fasenya di atas, membantu peserta didik untuk terlatih berpikir lancar (fluency), yaitu keterampilan menghasilkan banyak ide gagasan yang sesuai dengan permasalahan. Tak hanya itu, peserta didik diberikan ruang untuk berpikir luwes (flexibility) dengan cara membudayakan diri untuk menciptakan varian pemikiran yang beragam, mampu melihat persoalan dari berbagai perspektif, dan memiliki keluwesan dalam mengubah pendekatan atau strategi dalam memecahkan masalah. Bagaiman membangun keterampilan berpikir orisinal juga tak luput dari pembelajaran dengan model CPS ini. Peserta pada akhirnya bisa mencetuskan ide-ide gagasan yang asli.
Keterampilan berpikir kreatif level ini umpamanya dibangun saat proses menemukan ide pada tahap idea finding. Dan terakhir, peserta didik dterlatih mengelaborasi gagasan-gagasannya yang beragam serta mencoba berbagai pendekatan dalam menyelesaikan masalah. Peserta didik mencari arti yang mendalam terhadap jawaban permasalahan dengan langkah-langkah yang terperinci. Dalam model CPS pada tahapan solution finding peserta didik ditekankan untuk mampu mengevaluasi berbagai ide gagasan untuk diambil sebuah gagasan final dalam penyelesaian masalah.
94 Pros. SemNas. Peningkatan Mutu Pendidikan, 1 (1): 88-94, Januari 2020
Alhasil, dapat dimengerti bahwa adanya pengaruh model pembelajaran CPS terhadap keterampilan berpikir kreatif peserta didik pada pembelajaran materi sistem pertahanan tubuh didasari apa yang telah dikaji (Creative Education Foundation, 2015) bahwa CPS dapat menciptakan lingkungan dimana kreativitas dan inovasi dapat berkembang, menggunakan seperangkat alat dan metode yang luas untuk menumbuhkan aktivitas pokok dalam membangun kreativitas berpikir, menciptakan proses pembelajaran yang melibatkan peran individu dan sosial dalam kelompok, memfasilitasi aktivitas berpikir divergen dan konvergen.
4.
SIMPULAN
Merujuk hasil analisis data, penelitian ini menemukan kesimpulan yaitu, ada pengaruh signifikan penggunaan model pembelajaran creative problem solving disertai mind mapping terhadap keterampilan berpikir kreatif peserta didik kelas XI SMAN 1 Natar Lampung Selatan..
DAFTAR PUSTAKA
Baumgartner, J. (2010). The Basics of Creative Problem Solving - CPS. http://www.jpb.com.
Buzan, T. (2012). Buku Pintar Mind Mapping.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chang, C. S., Wong, W. T., dan Chang, C. Y. (2011).
Integration of Project-Based Learning Strategy with Mobile Learning : Case Study of Mangrove Wetland Ecology Exploration Project. Tamkang Journal of Science and Energy, 14(3), 265-273.
Creative Education Foundation. (2015). Creative Problem Solving Tools and Techniques Resource Guide. Creative Education Foundation.
Darusman, R. (2014). Penerapan Metode Mind Mapping (Peta Pikiran) untuk meningkatkan
kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Siswa SMP. Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, 168.
Fadillah, A. (2016). Pengaruh Pembelajaran Problem Solving Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Siswa. Jurnal Pendidikan Matematika, 3.
Fitriyah, N. S. A., dan Fikri, K. (2015). Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dengan Mind Mapping Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif dan Hasil Belajar IPA Biologi. Jurnal Edukasi, 45.
Ghufron, M.N.R.R. (2017). Teori-Teori Psikologi . Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hariawan, K., & Wahyono, U. (2015). Pengaruh Model Pembelajaran CPS Terhadap Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Pada Siswa Kelas XI SMAN 4 Palu. Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako, JPFT (Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako Online), 1(2), 48.
https://doi.org/10.22487/j25805924.2013.v1.i2.
2395
Huda, M. (2013). Model - Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lee, J., Blackwell, S., Drake, J., & Moran, K. (2014).
Taking a Leap of Faith : Redefinining Teaching and Learning in Higher Education Through Project-Based Learning. The Interdisciplinary Journal on Problem-Based Learning, 8(2), 19-34.
Munandar, U. (2012). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Shoimin, A. (2014). 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Wisudawati, A. S. (2014). Metodologi Pembelajaran IPA. Jakarta: PT. Bumi Aksara.