STUDI PENGEMBANGAN USAHA
GULA MERAH TEBU DI KABUPATEN REMBANG
(Studi Kasus di Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang)
Oleh :
MILA FADILAH UTAMI F 34103056
2008
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Mila Fadilah Utami. F34103056. Studi Pengembangan Usaha Gula Merah Tebu di Kabupaten Rembang (Studi Kasus di Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang). Di bawah bimbingan Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc.
St dan Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Ing. 2008.
RINGKASAN
Pengembangan usaha gula merah tebu di Kabupaten Rembang memiliki prospek baik yang didukung oleh ketersediaan bahan baku, sarana dan prasarana pendukung, permodalan serta strategi pengembangan usaha. Usaha gula merah tebu milik Ibu Arini merupakan salah satu usaha di Kabupaten Rembang, yang dijadikan rujukan dalam pengembangan usaha gula merah tebu.
Tujuan dari penelitian ini adalah menyusun strategi pengembangan usaha gula merah tebu dengan menganalisis aspek-aspek yang berkaitan, seperti analisis SWOT, aspek pemasaran, aspek teknis dan teknologis serta aspek finansial.
Kajian peluang pengembangan usaha gula merah tebu dimulai dengan menentukan matriks internal eksternal. Berdasarkan hasil yang diperoleh, strategi yang dapat digunakan untuk usaha gula merah tebu adalah strategi integratif (integrasi horizontal). Strategi tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas produk, memperluas pasar, mengembangkan teknologi dan fasilitas produksi melalui kerjasama dengan pihak lain.
Pada analisis SWOT melalui analisis faktor internal dan eksternal, dihasilkan 4 alternatif strategi usaha yang dapat dilakukan, yaitu SO strategi, ST strategi, WO strategi dan WT strategi. Beberapa alternatif strategi yang dihasilkan antara lain meningkatkan kapasitas produksi dengan mutu yang baik, melakukan pengawasan bahan baku dan produk, meningkatkan pangsa pasar, dan menerapkan teknologi tepat guna. Keempat strategi tersebut dilakukan dengan saling mendukung.
Kapasitas produksi dalam pengolahan nira tebu menjadi gula merah tebu ditentukan oleh waktu produksi yang tersedia dan kemampuan mesin serta peralatan yang digunakan. Teknologi yang diterapkan pada pengembangan usaha
gula merah disesuaikan dengan kebutuhan usaha, kondisi finansial dan kemampuan pekerja dalam mengoperasikannya.
Kondisi kegiatan produksi perusahaan yang biasanya dilakukan selama ini dianalisis dan dibandingkan dengan penerapan teknologi yang baru dalam kegiatan produksi gula merah tebu. Penerapan teknologi dalam upaya pengembangan usaha gula merah adalah penggunaan wajan uap dalam proses pemasakan nira tebu, perlakuan terhadap bahan baku (tebu) dan nira hasil penggilingan tebu. Dalam basis waktu operasi satu hari, kapasitas produksi saat ini adalah 21 kwintal, sedangkan kapasitas produksi pada penerapan pengembangan usaha gula merah tebu adalah 28 kwintal.
Kondisi saat ini membutuhkan total biaya investasi sebesar Rp 264,925,497,00 yang terdiri atas modal tetap Rp 218.025.000,00 dan modal kerja Rp 46,900,497,00. Sedangkan untuk penerapan pengembangan usaha Rp 364,761,801,00 yang terdiri atas modal tetap Rp 308.285.000,00 dan modal kerja Rp 56,476,801,00. Kriteria kelayakan investasi untuk masing-masing kondisi secara berurutan yaitu, NPV sebesar Rp 257.968.831,00 dan Rp 854.471.865,00;
IRR sebesar 40,60 %. dan 51,12 %; Net B/C sebesar 1,97 dan 3,34; BEP sebesar Rp 195.968.791,00 atau 59.384 Kg/tahun dan Rp 158.721.400,00 atau 45.349 Kg/tahun; PBP sebesar 2,96 dan 1,89 tahun. Berdasarkan hasil tersebut, usaha gula merah tebu layak untuk dikembangkan dengan kedua kondisi, yaitu kondisi yang dilakukan saat ini dan kondisi penerapan pengembangan. Namun jika ditinjau dari indikator NPV, kondisi pengembangan usaha dengan menerapkan alternatif yang ada memiliki nilai NPV jauh lebih besar dibandingkan nilai NPV kondisi usaha saat ini. Sehingga pilihan terbaik untuk mengembangkan usaha gula merah tebu adalah penerapan alternatif pengembangan yang ada, yang didukung pula oleh kriteria investasi lainnya.
Mila Fadilah Utami. F3403056. The Development Study of Brown Cane Sugar Industry on Rembang District (Study Case on Pamotan Subdistrict, Rembang District). Supervised by Dr. Ir. Muhammad Romli, Msc. St. and Dr.
Ir. Suprihatin, Dipl. Ing. 2008.
SUMMARY
The development of Brown sugar industry in District of Rembang has a good prospect supported by the availability of raw material resource, supporting facility, capitalization, and the development strategy. Brown cane sugar industry owned by Mrs. Arini is one of brown cane sugar industries in District of Rembang, which was chosen to be the reference in developing brown cane sugar industry.
The aim of this research was to plan the development strategy of brown cane sugar industry by analyzing related aspects, such as SWOT analysis, marketing aspect, technical and technological aspect, and also the financial aspect.
The study of brown cane sugar industry development prospect was started with deciding internal external matrix. From the obtained result, applicable strategy for brown cane sugar industry was Integrative strategy (Horizontal integration). The strategy was done by increasing product quality, extending market, developing technology and production facilities by cooperating with other instances.
The SWOT analysis based on internal (Strengths and Weaknesses) and external (Opportunities and Threats) factors, gave four alternative strategies (SO, WO, ST and WT). Those strategies were increasing well-qualified production capacity, supervising on raw materials and products, increasing market share, and application effective technology. Those strategies were carried out supportively one to another.
The company production activity which was used to be done was analyzed and compared with the application of new technology in producing brown cane sugar. The new technology application implied were the using of steam pan on cane sap cooking process, raw material conditioning (cane), and the staged
filtering of cane sap from extraction. Production capacity for the present condition was 2.1 tons per day and the development condition was 2.8 tons per day.
Total investment required for the present condition was Rp.
264.925.497,00 which divided into Rp. 218.025.000,00 fixed cost, and Rp.
46.900.497,00 production cost. While for the development condition total investment required was Rp. 364.761.801,00, which divided into Rp.
308.285.000,00 fixed cost, and, Rp. 56.476.801,00 production cost. The criteria of investment feasibility for each condition in order were, NPV of Rp.
257.968.831,00 and Rp. 854.471.865,00; IRR of 40,60 % and 51,12 %; Net B/C of 1,97 and 3,34; BEP of Rp. 195.968.791,00 or 59.384 kgs/year and Rp.
158.721.400,00 or 45.349 kgs/year; PBP of 2,96 year and 1,89 year. Based on the results, brown cane sugar industry was feasible on both conditions. But if viewed from NPV indicator, the development condition had much better NPV than present condition. So the best choice for the brown cane sugar industry development was the development condition, which was supported by the other investment criteria.
STUDI PENGEMBANGAN USAHA
GULA MERAH TEBU DI KABUPATEN REMBANG
(Studi Kasus di Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang)
Oleh :
MILA FADILAH UTAMI F 34103056
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Institut Pertanian Bogor
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
STUDI PENGEMBANGAN USAHA
GULA MERAH TEBU DI KABUPATEN REMBANG (Studi Kasus di Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
MILA FADILAH UTAMI F 34103056
Dilahirkan pada tanggal 05 April 1985 Di Pandeglang
Tanggal lulus : Januari 2008
Disetujui, Bogor, Januari 2008
Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing.
Pembimbing Akademik I Pembimbing Akademik II
PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Studi Pengembangan Usaha Gula Merah Tebu di Kabupaten Rembang (Studi Kasus di Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang)” adalah hasil karya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya.
Bogor, Januari 2008
Mila Fadilah Utami F 34103056
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dalam rangka memenuhi tugas akhir di Departemen Teknologi Industri Pertanian. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya.
Skripsi yang berjudul “Studi Pengembangan Usaha Gula Merah Tebu di Kabupaten Rembang” disusun berdasarkan penelitian yang telah penulis laksanakan di Kabupaten Rembang.
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung hingga terselesaikannya tugas akhir ini, yaitu kepada :
1. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St., sebagai dosen pembimbing pertama yang berkenan membimbing dan mengarahkan penulis hingga terselesaikannya tugas akhir ini.
2. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing., sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan perhatiannya.
3. Dr. Ir. Yandra Arkeman, M. Eng., sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritikan yang membangun dalam ujian dan penyusunan skripsi.
4. Keluarga besar Bapak Abdussalam (Mbah Kakung) dan Ibu Arini sebagai pemilik usaha gula merah tebu serta para pengusaha gula merah tebu yang berada di Kabupaten Rembang atas bantuan dan dukungannya selama melakukan penelitian.
5. Ayahanda tercinta H. Misri Ahmadi dan Ibunda tercinta (Alm) Hj. Lili Aliah, serta kelima saudara penulis (Aa dan Teteh) yang telah memberi doa, dukungan dan kasih sayang tanpa batas.
6. Sahabat sekaligus mitra selama penelitian di Rembang, Er-R yang telah memberikan dukungan dan kerjasama yang amat berharga.
7. Sahabat-sahabat penulis, Endang, Endah, Idesh, Dika, Umi, Mamin, Mayang wo, Ana, Bunda, Windi, Yuyu, Dita, Lucia, Naqoer, Mb Ida, Aa Ijey, Aa Indra, Aa Bayu, Aa Dudi, Mas Umam, Om Ucup, Da Hendrick, Bang Affan, Bung Amet, dan Bung Fardian. Terima kasih atas support yang amat berarti dan telah menjadi teman terbaik dalam berbagi.
8. Teman-teman TIN 40, atas dukungan, pengalaman dan kebersamaan selama ini.
9. Para Lawalata-Ers, atas dukungan, perhatian dan pengalaman yang begitu berharga.
10. Bapak dan Ibu Laboran serta seluruh staf Departemen TIN.
11. Popo Iskandar, ST yang selalu memberikan dukungan, perhatian dan ketegaran kepada penulis.
12. Seluruh pihak yang telah membantu penelitian ini.
Bogor, Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR TABEL... v
DAFTAR GAMBAR... vi
DAFTAR LAMPIRAN... vii
I. PENDAHULUAN... 1
A. LATAR BELAKANG... 1
B. TUJUAN... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA... 3
A. NIRA... 3
B. GULA MERAH... 4
1. MUTU GULA MERAH... 6
2. PROSES PEMBUATAN GULA MERAH TEBU... 9
3. PERBAIKAN PROSES... 11
C. USAHA KECIL... 12
D. KONSEP MANAJEMEN STRATEGIS... 13
1. PROSES MANAGEMEN STRATEGIS... 14
2. SWOT... 15
3. ASPEK PEMASARAN... 15
E. ASPEK TEKNIS DAN TEKNOLOGIS... 16
F. ASPEK FINANSIAL... 17
III. METODOLOGI... 18
A. KERANGKA PEMIKIRAN... 18
B. TATA LAKSANA... 19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 24
A. KARAKTERISTIK WILAYAH... 24
1. KARAKTERISTIK INDUSTRI... 27
2. ASPEK LEGALITAS... 30
B. PROFIL USAHA GULA MERAH TEBU... 32
1. ASPEK TEKNIS DAN TEKNOLOGIS...32
2. ASPEK PEMASARAN...39
3. ASPEK FINANSIAL...41
C. ANALISIS PENGEMBANGAN GULA MERAH TEBU... 46
1. ANALISIS SWOT... 46
2. ASPEK TEKNIS DAN TEKNOLOGIS...57
3. ASPEK PEMASARAN... 68
4. ASPEK FINANSIAL...71
V. KESIMPULAN DAN SARAN... 80
A. KESIMPULAN... 80
B. SARAN... 82
DAFTAR PUSTAKA... 83
LAMPIRAN... 86
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi Padatan dalam Nira Tebu ... 4
Tabel 2. Nilai Gizi Yang Terkandung Setiap 100 g Berbagai Jenis Gula ... 5
Tabel 3. Perbandingan Gula Pasir dan Gula Merah ... 6
Tabel 4. Spesifikasi Persyaratan Mutu Gula Merah Tebu ... 7
Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Untuk Penelitian ... 19
Tabel 6. Sebaran Perkebunan Tebu dan Potensi Pengembangannya di Kabupaten Rembang Taun 2005 ... 24
Tabel 7. Luas Areal, Produksi, Produkstivitas dan Jumlah Petani Komoditas Tebu di Kabupaten Rembang Tahun 2006 ... 25
Tabel 8. Harga Rata-Rata Komoditas Perkebunan Tahun 2006 ... 28
Tabel 9. Harga Jual Gula Tumbu dari Pengrajin ke Pedagang Pengumpul Tahun 2006 ... 40
Tabel 10. Komposisi Modal Tetap untuk Industri Gula Merah Tebu...42
Tabel 11. Komposisi Modal Kerja untuk Industri Gula Merah Tebu...43
Tabel 12. Total Investasi untuk Industri Gula Merah Tebu...43
Tabel 13. Struktur Pembiayaan Usaha Gula Merah Tebu...44
Tabel 14. Perincian Laba Bersih...44
Tabel 15. Tingkat Mutu Gula Merah Tebu Berdasarkan Penilaian Objektif Pengusaha... 47
Tabel 16. Matriks IFE Industri Gula Merah Tebu...49
Tabel 17. Matriks EFE Industri Gula Merah Tebu...51
Tabel 18. Matriks Internal Eksternal... 52
Tabel 19. Matriks Analisis SWOT...53
Tabel 20. Tingkat Mutu Gula Merah Tebu Berdasarkan Penilaian Objektif Pengusaha...68
Tabel 21. Kapasitas Produksi pada Kondisi Saat Ini dan Kondisi
Pengembangan...73
Tabel 22. Komposisi Modal Tetap Kondisi Pengembangan Usaha...74
Tabel 23. Komposisi Modal Kerja Kondisi Pengembangan Usaha...75
Tabel 24. Total Investasi Kondisi Pengembangan Usaha...75
Tabel 25. Struktur Pembiayaan Kondisi Pengembangan Usaha ... 76
Tabel 26. Penilaian Laba Bersih Kondisi Pengembangan Usaha... 76
Tabel 27. Ringkasan Kondisi Saat ini dan Pengembangan Usaha Gula Merah... 79
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Gula merah Tebu...11
Gambar 2. Bahan Baku Usaha (Tebu)...25
Gambar 3. Proses Penggilingan...33
Gambar 4. Proses Pemasakan Nira dengan Wajan Berundak...35
Gambar 5. Nira Tebu Yang Mulai Mengental...35
Gambar 6. Gula Merah Tebu...36
Gambar 7. Diagram Alir Proses Pembuatan Gula Merah Tumbu...37
Gambar 8. Diagram Alir Proses Pembuatan Gula Merah Awur...38
Gambar 9 Distribusi Produk Gula Merah Tebu...40
Gambar 10. Alat Penyaringan Nira Tebu... 59
Gambar 11. Boiler dan Wajan Uap... 60
Gambar 12. Proses Penggilingan... 63
Gambar 13. Proses Pemasakan Nira dengan Wajan Uap... 64
Gambar 14. Pemasakan Nira dengan Wajan Uap... 65
Gambar 15. Proses Penirisan Gula... 66
Gambar 16. Diagram Alir Proses Pembuatan Gula Merah Awur pada Skenario 2... 67
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Komposisi Modal Tetap Skenario 1...86
Lampiran 2. Komposisi Modal Tetap Skenario 2...87
Lampiran 3. Perhitungan Biaya Penyusutan dan Biaya Pemeliharaan Skenario 1...88
Lampiran 4. Perhitungan Biaya Penyusutan dan Biaya Pemeliharaan Skenario 2...89
Lampiran 5. Biaya Tenaga Kerja Langsung dan Tidak Langsung...90
Lampiran 6. Perhitungan Biaya Bahan Baku...91
Lampiran 7. Biaya Operasional pada Skenario 1...92
Lampiran 8. Biaya Operasional pada Skenario 2...94
Lampiran 9. Komposisi Modal Kerja dan Total Biaya Investasi Pada Skenario 1 dan 2...96
Lampiran 10. Struktur Pembiayaan Neraca Pembayaran Kredit...97
Lampiran 11. Penentuan Harga Pokok dan Harga Jual pada Skenario 1...99
Lampiran 12. Penentuan Harga Pokok dan Harga Jual pada Skenario 2...100
Lampiran 13. Proyeksi Laporan Laba Rugi pada Skenario 1... 101
Lampiran 14. Proyeksi Laporan Laba Rugi pada Skenario 2... 103
Lampiran 15. Proyeksi Arus Kas pada Skenario 1... 105
Lampiran 16. Proyeksi Arus Kas pada Skenario 2... 107
Lampiran 17. Kriteria Investasi Skenario 1... 109
Lampiran 18. Kriteria Investasi Skenario 2... 110
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat. Kebutuhan ini semakin meningkat setiap tahunnya, yang tidak dapat diimbangi oleh tingkat produksi gula nasional. Data konsumsi gula nasional pada tahun 2005 sebesar 3,6 juta ton/ tahun, sementara produksi hanya sekitar 2,0 juta ton/ tahun (Tim Studi P3GI, 2005). Gula merah merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan gula di Indonesia.
Volume produksi tebu pada tahun 2006 di Kabupaten Rembang mencapai 23.127.555 ton. Jumlah luas tanaman tebu Kabupaten Rembang 6.140,86 hektar, dengan luas potensi lahan kering sebesar 9.488 hektar. Hal ini menunjukkan usaha gula merah tebu di Kabupaten Rembang memiliki potensi pengembangan yang besar. Namun, pengembangan usaha gula merah tebu ini menghadapi beberapa kendala antara lain keterbatasan modal dan aplikasi teknologi, serta rendahnya sumber daya manusia dalam penguasaan teknologi.
Sebagian besar gula merah yang ditemui di pasar lokal cukup bervariasi, terutama dalam hal penampakan dan sifat fisiknya, yaitu warna, kadar abu dan kekerasannya. Keragaman mutu produk di pasaran dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu rendahnya teknologi proses yang digunakan, variasi bahan baku, dan kondisi proses pengolahan yang tidak konsisten. Menurut Rosby (2004), proses produksi gula merah yang selama ini dikerjakan menggunakan teknologi sederhana dan bersifat tradisional inilah yang menyebabkan hasil produksi gula merah sangat bervariasi.
Gula merah di pasar Indonesia memiliki warna yang berbeda-beda, mulai dari kuning, merah, coklat, dan bahkan ada yang cenderung hitam. Demikian juga dengan kekerasan dan teksturnya, ada yang lembek dan ada pula yang sangat keras (Nurlela, 2002). Kualitas yang bervariasi inilah yang menyebabkan industri gula merah kurang berkembang dengan baik, bahkan kurang mampu bersaing menghadapi industri lain yang memproduksi bahan substitusi gula merah.
Selain warna dan kekerasan, tingginya kadar abu dalam gula merah juga menjadi kendala bagi perkembangan gula merah. Menurut Herman (1987), sebagian besar kotoran dalam gula berasal dari pengotoran oleh lingkungan (tanah, pasir, dan sebagainya) karena kurangnya perhatian terhadap kebersihan ruang pengolahan maupun peralatan yang digunakan. Selain itu pengotoran dapat terjadi secara alami dari bahan bakunya.
Berdasarkan permasalahan tersebut diperlukan kajian mengenai studi pengembangan usaha gula merah tebu, dengan memperhatikan aspek-aspek yang terkait.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Menganalisis aspek-aspek yang berkaitan dengan pengembangan usaha gula merah tebu, yang mencakup analisis SWOT, aspek pemasaran, aspek teknis dan teknologis, serta aspek finansial.
b. Menyusun strategi pengembangan usaha gula merah tebu di Kabupaten Rembang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. NIRA
Nira tebu merupakan campuran dari beberapa komponen. Komposisi nira tebu tidak akan selalu sama, tergantung pada jenis tebu, kondisi geografis, tingkat kematangan, serta cara penanganan sebelum penebangan dan pengangkutan (Reece, 2003).
Menurut Puri (2005), Nira merupakan cairan hasil penggilingan tebu yang berwarna coklat kehijauan. Nira tebu dalam keadaan segar terasa manis, berwarna coklat kehijau-hijauan dengan pH 5.5-6.0. Santoso (1993) menyatakan bahwa, nira sangat mudah mengalami kerusakan sehingga nira menjadi asam, berbuih putih, dan berlendir. Apabila nira telambat dimasak biasanya warna nira akan berubah menjadi keruh kekuningan, rasanya asam serta baunya menyengat.
Kondisi dan sifat-sifat nira ini akan menentukan sifat dan mutu produk yang dihasilkan (Muchtadi,1992).
Kerusakan nira banyak sekali macamnya, namun pada umumnya nira dikatakan rusak jika sukrosa dalam nira terinversi menjadi gula pereduksi yang terdiri dari glukosa dan fruktosa dalam perbandingan yang sama (Indeswari, 1986). Inversi sukrosa ini dapat disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi, derajat keasaman (pH) nira yang terlalu rendah atau tinggi dan aktivitas mikroorganisme (Soerjadi, 1979).
Sebagian besar gula merah warnanya coklat sampai coklat kehitaman serta mudah lembek. Hal ini mungkin akibat terjadinya kegosongan selama proses pengolahan, disamping nira yang kurang baik (Herman, 1987). Pembentukan warna gula merah dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kondisi bahan baku (nira) dan proses pembuatannya. Kondisi nira yang dimaksud adalah kondisi nira (segar atau asam) dan komposisi kimia nira (kadar air, protein, asam-asam organik, dan lemak). Sedangkan tahapan prosesnya adalah suhu proses, pengadukan selama pemasakan, serta kondisi kebersihan proses (sanitasi) dan alat-alat yang digunakan (Nurlela, 2002).
Menurut Poel et al. (1998) dalam Reece (2003), komposisi padatan terlarut yang terdapat di dalam nira tebu disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Padatan Dalam Nira Tebu
Komponen g/100g
basis kering Bahan gula
Sukrosa
Glukosa
Fruktosa
Oligosakarida
75.0-94.0 70.0-90.0 2.0-4.0 2.0-4.0 0.001-0.05 Garam
Dari asam organik
Dari asam anorganik
3.0-4.5 1.5-4.5 1.0-3.0 Asam organik
Asam karboksilat
Asam amino
1.5-5.5 1.1-3.0 0.5-2.5 Bahan-bahan organik bukan gula lainnya
Protein
Pati
Polisakarida terlarut
Lilin, lemak dan fosfolipid
0.5-0.6 0.001-0.18
0.03-0.50 0.04-0.15
B. GULA MERAH
Gula merah adalah hasil olahan nira yang berbentuk padat dan berwarna coklat kemerahan sampai dengan coklat tua. Nira yang digunakan biasanya berasal dari tanaman kelapa, aren, lontar atau siwalan, dan tebu (Dachlan, 1984).
Selain untuk konsumsi di tingkat rumah tangga, gula merah juga menjadi bahan baku untuk berbagai industri pangan seperti industri kecap, tauco, produk cookies, dan berbagai produk makanan tradisional (Santoso, 1993). Gula merah juga mulai dikonsumsi di berbagai negara baik sebagai konsumsi akhir maupun sebagai bahan baku dan bahan tambahan dalam suatu industri. Gula merah banyak
diminati di Jerman dan Jepang, industri perhotelan, supermarket, pabrik kecap ekspor, hingga pabrik anggur. (Warastri, 2006).
Dilihat dari segi kesehatan, gula merah memiliki beberapa keunggulan dibandingkan gula putih (gula pasir). Nilai gizi gula merah ternyata lebih baik dibandingkan dengan gula pasir yang banyak dikonsumsi manusia saat ini. Utami (1996) menyatakan bahwa mengkonsumsi gula kristal putih sama saja dengan mengkonsumsi kalori kosong yang tidak memiliki manfaat nutrisi, para ahli gizi biasa menyebutnya dengan ”sumber kalori kosong”. Pada gula pasir nilai kalorinya memang cukup tinggi, yaitu 364 per 100 gram, namun sebenarnya sudah tidak mengandung gizi lagi (Sarengat et al., 1981). Perbandingan nilai gizi yang terkandung dalam berbagai jenis gula dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Gizi yang Terkandung Setiap 100 g Berbagai Jenis Gula G.Kelapa
(mg)
G.Aren (mg)
G.Merah Tebu (mg)
G. Pasir (mg)
Madu (mg)
Kalori 386.0 386.0 356.0 364.0 294
Protein 3.0 0.0 0.4 0.0 0.3
Lemak 10.0 0.0 0.5 0.0 0.0
Hidrat arang 76.0 95.0 90.6 94.0 79.5
Kalsium 76.0 75.0 51.0 5.0 5.0
Fosfor 37.0 35.0 44.0 1.0 16.0
Besi 2.6 3.0 4.2 0.1 0.9
Vit. A 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Vit. B1 0.0 0.0 0.02 0.0 9.0
Vit. B2 0.0 0.0 0.03 0.0 0.0
Vit. C 0.0 0.0 0.0 0.0 04.0
Air 10.0 9.0 7.4 5.4 20.0
Sumber: Tan, 1980
Nilai kalori satu sendok makan gula merah dianggap sama dengan nilai kalori satu sendok makan gula putih, walaupun sebenarnya ada sedikit perbedaan.
Seratus gram gula merah mengandung 373 kalori, sedangkan gula putih mengandung 396 kalori. Meskipun penampakan gula merah lebih padat dibandingkan gula putih, namun butirannya lebih kecil dan kalorinya lebih besar jika diukur berdasarkan volumenya. Gula merah dapat membantu mengurangi kram perut pada saat menstruasi, walaupun manfaat ini belum dapat dipercaya sepenuhnya (Pinder, 2006). Perbandingan antara gula pasir dan gula merah mengenai kandungan dan manfaatnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan Gula Pasir dan Gula Jawa (Gula Merah)
VARIABEL Gula Pasir Gula
Jawa
Rasa Manis Ada Ada
Glukosa Ada Ada
Galaktomanan (berfungsi untuk kesehatan) Tidak ada Ada Energi spontan (energi bisa langsung digunakan oleh
tubuh) Tidak ada Ada
Antioksidan Tidak ada Ada
Lebih bermanfaat untuk diabetes Tidak ada Ada
Mengandung senyawa non-gizi yg bermanfaat untuk
diabetes (penelitian terbaru yang belum dipublikasikan) Tidak ada Ada
Aroma khas nira Tidak ada Ada
Mengandung senyawa yg bermanfaat untuk kesehatan seperti yg ada dalam kelapa muda (peneliti Depkes RI, non publikasi)
Tidak ada Ada Aman dikonsumsi setiap hari sampai beberapa kali
penyajian, karena bebas bahan pengkristal dan bahan pengawet
Tidak ada Ada Sumber: Nirasari, 2007
1. Mutu Gula Merah
Mutu gula merah ditentukan terutama dari rasa dan penampilannya, yaitu bentuk, warna, kekeringan, dan kekerasannya. Gula yang berwarna lebih cerah dan agak keras lebih disukai serta memiliki harga jual lebih tinggi. Gula merah memiliki struktur dan tekstur yang kompak, tidak keras sehingga mudah dipatahkan, dan sekaligus terdapat kesan empuk (Santoso, 1993). Mutu gula merah tebu secara rinci dituangkan dalam SNI 01-6237-2000 yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Syarat mutu tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Gula merah hasil produksi pengrajin maupun yang didapatkan di pasaran pada umumnya dalam bentuk gula cetak dan mutunya beragam, ditinjau dari segi keawetan (daya simpan), warna, maupun kadar kotoran.
Adanya keragaman warna dan kekerasan pada produk-produk gula merah di pasaran Indonesia dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu rendahnya teknologi pengolahan, adanya variasi bahan baku (kondisi nira) maupun proses pengolahan yang tidak konsisten (Santoso, 1993).
Tabel 4. Spesifikasi Persyaratan Mutu Gula Merah Tebu
No. Jenis uji Satuan Persyaratan
Mutu I Mutu II 1 Keadaan
- bau - rasa - warna - penampakan
- - -
Khas Khas
Coklat muda sampai tua Tidak berjamur
Khas Khas
Coklat muda sampai tua Tidak berjamur 2 Bagian yang tak larut dalam
air, b/b % Maks 1.0 Maks 5.0
3 Air, b/b % Maks 8.0 Maks 10.0
4 Gula (dihitung sebagai
sakarosa), b/b % Min 65 Min 60
5 Gula pereduksi (dihitung
sebagai glukosa), b/b % Maks 11 Maks 14 6 Bahan tambahan makanan
pengawet - residu - benzoat
mg/kg mg/kg
Maks 20 Maks 200
Maks 20 Maks 200 7 Cemaran logam
- timbal (Pb) - tembaga (Cu) - seng (Zn) - timah (Sn) - raksa (Hg)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks 2.0 Maks 2.0 Maks 40.0 Maks 40.0 Maks 0.03
Maks 2.0 Maks 2.0 Maks 40.0 Maks 40.0 Maks 0.03
8 Cemaran arsen mg/kg Maks 0.1 Maks 0.1
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2000)
Wirioatmodjo (1984) menyatakan bahwa sebagai komoditi pertanian, gula merah memiliki ciri daya simpannya relatif singkat karena mudah menyerap air sehingga mudah lembek. Mengenai warna, Herman (1987) mengungkapkan bahwa sebagian besar gula kelapa warnanya coklat sampai coklat kehitaman serta mudah lembek. Hal ini mungkin akibat terjadinya kegosongan selama proses pengolahan, disamping nira yang diolah kurang baik.
a. Warna Gula Merah
Gula merah yang warnanya lebih cerah dianggap memiliki kualitas yang lebih baik (Nurlela, 2002). Warna gula merah ditentukan oleh mutu nira yang digunakan. Nira yang telah terfermentasi mengandung asam dan gula pereduksi relatif tinggi. Menurut Shallenberg et al. dalam Nurlela (2002),
kandungan gula pereduksi berperan penting dalam proses pencoklatan pada gula merah. Hal ini dikarenakan gula yang siap melakukan reaksi pencoklatan adalah gula pereduksi, sedangkan gula nonpereduksi harus mengalami perubahan menjadi gula pereduksi terlebih dahulu.
Reaksi pencoklatan nonenzimatis yang diduga terjadi pada proses pembuatan gula merah adalah reaksi maillard dan karamelisasi, yang disebabkan oleh keberadaan gula pereduksi, protein, dan lemak dalam nira.
Reaksi maillard adalah reaksi yang terjadi antara asam amino dengan gula pereduksi apabila dipanaskan bersama-sama. Sedangkan reaksi karamelisasi adalah reaksi yang terjadi pada pemanasan gula dalam asam, basa, dan pemanasan tanpa air (Ozdemir, 1997).
b. Kekerasan Gula Merah
Kekerasan gula merah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti mutu nira, kadar air, dan kadar lemak. Mutu nira berhubungan dengan jumlah sukrosa yang terdapat di dalamnya. Semakin baik mutu nira, jumlah sukrosa akan semakin tinggi dan gula merah yang terbentuk akan memiliki tekstur yang baik. Apabila sukrosa telah terinversi maka gula merah akan sulit mengeras.
Air merupakan salah satu komponen yang berpengaruh terhadap keempukan gula. Semakin tinggi air maka kekerasan gula merah akan semakin rendah, sebaliknya keempukan gula akan semakin meningkat dengan meningkatnya kadar air dalam gula merah (Sudarmadji et al., 1989).
Lemak juga berperan dalam menentukan keempukan gula merah.
Molekul-molekul lemak di dalam gula merah membentuk globula-globula yang menyebar diantara kristal atau butiran gula sehingga kekerasan gula akan berkurang atau keempukannya akan bertambah (Santoso, 1993).
c. Rasa Gula Merah
Gula merah mempunyai nilai kemanisan mempunyai nilai kemanisan 10% lebih manis daripada gula pasir (Santoso, 1993). Nilai kemanisan ini terutama disebabkan oleh adanya fruktosa dalam gula merah yang memiliki nilai kemanisan lebih tinggi daripada sukrosa. Gula merah juga memiliki rasa sedikit asam karena adanya kandungan asam-asam organik di dalamnya.
Adanya asam-asam ini menyebabkan gula merah mempunyai aroma yang khas, sedikit asam, dan berbau karamel. Rasa karamel pada gula merah diduga disebabkan adanya reaksi karamelisasi akibat panas selama pemasakan (Nengah, 1990).
d. Adsorpsi Air
Gula merah memiliki sifat kering dan tidak terlalu kering, karena kadar air mempengaruhi keempukan gula merah. Kadar air yang terdapat pada gula merah adalah kurang dari 12%. Kadar air yang terlalu tinggi menyebabkan gula merah menjadi lembek dan cepat rusak (Dachlan, 1984).
Penguraian sukrosa menjadi gula pereduksi disebabkan adanya aktivitas enzim invertase yang dihasilkan mikroba kontaminan atau akibat pemanasan dalam suasana asam yang terjadi selama pengolahan. Dikaitkan dengan sifat higroskopisnya, gula pereduksi akan menyebabkan peningkatan kadar air sehingga kekerasan gula menurun (Santoso, 1993).
2. Proses Pembuatan Gula Merah Tebu
Definisi gula merah tebu menurut SNI 01-6237-2000 adalah gula yang dihasilkan dari pengolahan air atau sari tebu (Saccharum officinarum) melalui pemasakan dengan atau tanpa penambahan bahan makanan yang diperbolehkan dan berwarna kecoklatan. Proses pembuatan gula merah tebu pada prinsipnya sama dengan pembuatan gula merah pada umumnya.
Prinsipnya adalah proses penguapan nira dengan cara pemanasan sampai nira mencapai kekentalan tertentu kemudian mencetaknya menjadi bentuk yang diinginkan.
Tahap awal pembuatan gula merah adalah proses penggilingan batang tebu untuk mengekstraksi nira semaksimal mungkin. Proses ini dilakukan dengan menggunakan mesin giling yang digerakkan oleh diesel yang dihubungkan dengan sabuk transmisi atau belt. Peralatan giling ini dibuat dari besi yang terdiri dari dua silinder bergerigi yang bergerak berlawanan arah sehingga batang tebu hancur karena terjepit diantara dua silinder. Dengan demikian nira tebu dapat terekstrak (Lesthari, 2006).
Nira yang telah terekstrak kemudian disaring dengan menggunakan kain penyaring untuk memisahkan kotoran-kotoran seperti potongan ranting, daun kering, dan serangga. Nira hasil penyaringan dimasukkan ke dalam wajan kemudian dipanaskan pada suhu sekitar 110 0C selama tiga sampai empat jam sambil dilakukan pengadukan. Suhu yang optimal untuk pemanasan nira adalah 110-1200C. Apabila suhunya terlalu tinggi, maka akan terjadi karamelisasi berlebihan sehingga gula yang dihasilkan dapat menjadi gosong. Pengadukan perlu dilakukan untuk mempercepat penguapan air dari nira dan untuk membentuk kristal gula yang kompak serta menghasilkan warna gula yang seragam (Sagala dalam Lesthari, 2006).
Pada pemasakan dengan suhu tinggi ini kotoran-kotoran halus akan terapung bersama dengan buih nira. Kotoran tersebut dibuang dengan menggunakan serok (Santoso, 1993). Buih-buih yang timbul selama proses dapat dikurangi dengan melakukan pengadukan terus menerus serta dapat ditambahkan parutan kelapa, minyak kelapa, atau kemiri yang dihaluskan.
Bahan-bahan ini ditambahkan untuk menurunkan tegangan permukaan antara buih dan cairan nira (Palungkun, 1993).
Pemanasan nira dihentikan jika nira sudah mulai pekat dan berwarna kecoklatan serta buih-buih nira sudah menurun. Kecukupan pemanasan sangat mempengaruhi mutu gula merah yang dihasilkan. Apabila waktu pemanasan terlalu cepat maka gula merah yang dihasilkan akan lembek dan mudah meleleh (Sardjono, 1986). Nira pekat yang telah masak kemudian dituangkan ke dalam cetakan yang telah dibasahi air untuk mempermudah pelepasan gula merah. Alat pencetakan gula merah umumnya adalah tempurung kelapa atau batang bambu (Dyanti, 2002). Proses pembuatan gula merah tebu secara ringkas disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Gula Merah Tebu
3. Perbaikan Proses
Untuk memperoleh produk dengan mutu yang baik perlu diperhatikan mutu bahan baku, proses produksi, dan pengemasan produk (Sardjono, 1986).
Menurut penelitian Nurlela (2002), pembentukan warna gula merah pada dasarnya sangat tergantung pada dua hal, yaitu kondisi bahan baku (nira) dan proses pembuatan gula merah. Kondisi bahan baku atau nira yang menghasilkan gula merah dengan warna coklat kekuningan, keras, dan kering adalah nira segar dengan kisaran pH antara 5.5 – 5.6.
Batang tebu
Nira Penggilingan
Penjernihan dengan pemanasan awal 70 0C
Pencetakan Pemanasan 100-110 0C
Penggumpalan
Gula merah tebu Minyak
kelapa Bagase
Larutan kapur
Nira jernih
Buih dan kotoran
Tahap-tahap proses yang mempengaruhi adalah suhu proses, pengadukan selama pemasakan, serta kondisi kebersihan proses (sanitasi) dan alat-alat yang digunakan. Warna produk (gula merah) memang sangat berpengaruh dalam persepsi konsumen tentang gula merah. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk meningkatkan mutu dan mengurangi variasi mutu gula merah adalah perlu adanya cara pengolahan gula merah yang lebih baik, meliputi suhu dan waktu pengolahan; intensitas pengadukan; serta kebersihan alat.
Menurut penelitian Yustiningsih (2006), proses penjernihan nira optimum dengan metode defekasi mampu menurunkan nilai kadar air sebesar 2.84%, kadar abu 37.43%, total kotoran 50.69%, kadar glukosa 76.58%, kadar protein 64.18%, dan kadar lemak 67.13%, serta meningkatkan kadar sukrosa sebesar 52.10%. Pada penelitian tersebut proses defekasi pada semua kombinasi suhu nira dan dosis kapur yang digunakan ternyata tidak berbeda nyata. Kombinasi suhu dan dosis kapur yang digunakan adalah 750C-0.033%, 290C-0.067%, 290C-0.100%, 750C-0.100%, 750C-0.067%. Yustiningsih menyarankan bahwa untuk aplikasi di Industri Gula Merah Tebu (IGMT), kombinasi yang digunakan adalah 29 0C-0.067% dengan alasan praktis dan efisien.
C. Usaha Kecil
Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil, definisi industri kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta, dan mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar Rp. 1 milyar atau kurang.
Batasan mengenai skala usaha menurut BPS dilakukan berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja, yaitu :
1. Industri dan Dagang Mikro (ID Mikro) : 1-4 orang 2. Industri dan Dagang Kecil (ID Kecil) : 5-19 orang 3. Industri dan Dagang Menengah (ID Menengah) : 20-99 orang
4. Industri dan Dagang Besar (ID Besar) : 100 orang ke atas
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tersebut, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah membuat empat kelompok bidang usaha yang ada pada usaha kecil dan menengah (UKM), yaitu :
1. Bidang usaha perdagangan 2. Bidang usaha industri pertanian 3. Bidang usaha industri non pertanian 4. Bidang usaha aneka jasa
Menurut Adiningsih (2004) permasalahan utama UKM, yaitu masalah finansial dan masalah manajemen. Masalah yang termasuk dalam masalah finansial diantaranya adalah :
1. Kurangnya akses ke sumber dana yang formal baik disebabkan oleh ketiadaan bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai.
2. Bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi.
3. Banyak UKM yang belum bankable baik disebabkan belum adanya manajemen keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan manajerial dan finansial.
Masalah organisasi manajemen (non-finansial) antara lain :
1. Kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan teknologi serta kurangnya pendidikan dan pelatihan.
2. Kurangnya pengetahuan atas pemasaran yang disebabkan oleh terbatasnya informasi yang dapat dijangkau oleh UKM mengenai pasar, selain karena keterbatasan kemampuan UKM untuk menyediakan produk atau jasa yang sesuai dengan keinginan pasar.
3. Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) serta kurangnya sumber daya untuk mengembangkan SDM.
4. Kurangnya pemahaman mengenai keuangan dan akuntansi.
D. Konsep Manajemen Strategis
Manajemen strategis didefinisikan sebagai seni dan ilmu pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan lintas
fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai tujuan-tujuannya (David, 2004). Menurut Jauch (1998), manajemen strategis merupakan arus keputusan dan tindakan yang mengarah pada perkembangan suatu strategi atau strategi-strategi yang efektif untuk membantu mencapai sasaran perusahaan.
Manajemen strategis sangat penting bagi perkembangan perusahaan, baik besar maupun kecil. Pelaksanaan proses manajemen strategis secara signifikan dapat memperkuat pertumbuhan dan kemakmuran. Hal tersebut dikarenakan manajemen strategis dapat membantu perusahaan dalam melihat ancaman dan peluang di masa yang akan datang sehingga memungkinkan perusahaan untuk dapat mengantisipasi kondisi yang selalu berubah-ubah. Selain itu, manajemen strategis juga menyediakan sasaran serta arah yang jelas bagi masa depan perusahaan sehingga perusahaan yang mengembangkan sistem manajemen strategi mempunyai kemungkinan tingkat keberhasilan lebih besar daripada yang tidak menggunakan sistem manajemen strategi (Jauch, 1998).
1. Proses Manajemen Strategis
Proses manajemen strategis adalah alur dimana penyusunan strategi menentukan sasaran dan menyusun keputusan strategi. Sesuai dengan pendapat David (2004), manajemen strategi terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Perumusan atau Formulasi Strategi
Perumusan strategi termasuk mengembangkan misi bisnis, mengenali peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan sasaran jangka panjang, menghasilkan strategi alternatif dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan.
2. Implementasi Strategi
Tahap implementasi strategi yaitu mengimplementasikan pilihan dengan maksud mengalokasikan sumberdaya dan mengorganisirnya sesuai dengan strategi (Jauch, 1998).
3. Evaluasi Strategi
Tahap evaluasi strategi berarti mengevaluasi hasil implementasi dan memastikan bahwa strategi yang telah disesuaikan dapat mencapai tujuan perusahaan (Jauch, 1998).
2. SWOT
SWOT merupakan singkatan dari lingkungan internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan eksternal Opportunities dan Threats. Analisis SWOT adalah suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) (Rangkuti, 1998). Salah satu keuntungan dari penggunaan analisis SWOT adalah kemudahan menganalisis kondisi yang mempengaruhi perusahaan dalam menentukan strategi untuk mencapai tujuannya (Rangkuti, 2000).
Analisis SWOT didahului dengan mengidentifikasi faktor-faktor dari lingkungan eksternal dan internal yang dihadapi oleh suatu usaha. Analisa lingkungan eksternal meliputi peluang dan ancaman yang harus dihadapi perusahaan (Kotler, 1997). Peluang adalah potensi minat dan kebutuhan konsumen dimana perusahaan dapat menggarapnya secara menguntungkan.
Ancaman adalah tantangan yang dapat mengakibatkan perusahaan sulit atau tidak dapat mencapai tujuannya (Kotler, 2005).
Analisa lingkungan internal meliputi kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Kekuatan adalah suatu kelebihan daya saing yang dapat digunakan oleh perusahaan dalam merebut pasar. Sedangkan kelemahan merupakan faktor yang dapat membatasi pilihan perusahaan untuk mengembangkan strategi (Kotler, 1997).
Faktor-faktor yang teridentifikasi tersebut disusun dalam suatu matriks internal eksternal. Matriks ini bertujuan untuk memperoleh strategi bisnis di tingkat korporat yang lebih detil. Parameter yang digunakan meliputi parameter kekuatan internal perusahaan dan pengaruh eksternal yang dihadapi (Rangkuti, 2000).
3. Aspek Pemasaran
Pemasaran adalah proses sosial dimana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan,
menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain (Kotler, 2005).
Bagi pemasaran produk barang, manajemen pemasaran akan dipecah atas 4 kebijakan pemasaran yang lazim disebut sebagai bauran pemasaran (marketing-mix) yang terdiri dari 4 komponen, yaitu produk, harga, distribusi, dan promosi (Umar, 2003).
Menurut Kotler (2005), alat bauran pemasaran yang paling mendasar adalah produk yaitu tawaran berwujud dari perusahaan kepada pasar, yang mencakup mutu, rancangan, fitur, pemberian merek, dan pengemasan produk.
Alat bauran pemasaran yang menentukan keberhasilan adalah harga. Tempat (distribusi) mencakup berbagai kegiatan yang dilakukan perusahaan agar produk dapat diperoleh dan tersedia bagi para pelanggan sasaran. Sedangkan promosi mencakup semua kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk mengkomunikasikan dan mempromosikan produknya ke pasar sasaran (Kotler, 2005).
Sebagian besar produsen tidak menjual barang mereka secara langsung ke pemakai akhir. Antara peodusen dan pemakai akhir terdapat satu atau beberapa saluran pemasaran, serangkaian pemasaran yang melaksanakan berbagai fungsi (Kotler, 2004).
E. Aspek Teknis dan Teknologis
Aspek teknis bertujuan untuk meyakini apakah secara teknis dan teknologis, perencanaan yang telah dilakukan dapat dilaksanakan secara layak atau tidak, baik pada saat pembangunan proyek atau operasional sacara rutin (Husnan dan Muhammad, 2000).
Pada aspek teknis dan teknologis dipaparkan beberapa faktor diantaranya yaitu penentuan kapasitas produksi, serta pemilihan mesin, peralatan, dan teknologi untuk produksi. Kapasitas didefinisikan sebagai suatu kemampuan pembatas dari unit produksi untuk berproduksi dalam waktu tertentu. Beberapa kriteria pemilihan teknologi yang digunakan, yaitu kesesuaian dengan bahan baku yang digunakan untuk proses produksi, keberhasilan penggunaan teknologi di tempat lain, kemampuan tenaga kerja dalam mengimplementasikan teknologi, dan kemampuan mengantisipasi terhadap teknologi lanjutan (Umar, 2003).
F. Aspek Finansial
Aspek finansial membicarakan tentang bagaimana menghitung kebutuhan dana, baik kebutuhan dana untuk aktiva tetap maupun dana untuk modal kerja. Beberapa hal yang dibahas dalam analisis aspek finansial antara lain yaitu penentuan kebutuhan dan pengalokasian dana, sumber dana dan biaya modal, estimasi aliran kas proyek, serta kriteria penilaian investasi (Husnan dan Muhammad, 2000).
Pada umumnya ada beberapa metode yang biasa dipertimbangkan untuk dipakai dalam penilaian aliran kas dari suatu investasi, yaitu metode Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Break Event Point (BEP), Pay Back Period (PBP), dan analisis sensitivitas (Gray et al., 1992).
III. METODOLOGI
A. KERANGKA PEMIKIRAN
Gula merah merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan gula di Indonesia yang semakin meningkat setiap tahunnya. Upaya pengembangan terhadap usaha gula merah didukung pula oleh tingkat kebutuhan gula merah tebu bagi industri maupun konsumsi rumah tangga, ketersediaan bahan baku dan potensi lahan, volume produksi tebu, dan harga gula merah tebu lebih murah. Namun, pengembangan usaha gula merah tebu ini menghadapi beberapa kendala antara lain keterbatasan modal dan aplikasi teknologi, serta rendahnya kualitas sumber daya manusia dalam penguasaan teknologi.
Pengembangan usaha gula merah tebu ini dilakukan dengan mengkaji aspek-aspek yang berkaitan, antara lain analisis SWOT, aspek pemasaran, aspek teknis dan teknologis, serta aspek finansial.
Kualitas gula merah tebu yang bervariasi menyebabkan industri gula merah kurang berkembang dengan baik, bahkan kurang mampu bersaing menghadapi industri lain yang memproduksi bahan substitusi gula merah.
Mutu gula merah tebu saat ini masih tergolong rendah dan bervariasi akibat dari teknologi dan kondisi proses produksi yang diterapkan tidak optimum.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan mutu gula merah tebu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
Identifikasi faktor-faktor penyebab mutu gula merah tebu yang rendah dan bervariasi
Verifikasi teknologi proses melalui kajian eksperimental untuk memperbaiki kualitas produk.
Formulasi strategi pengembangan usaha gula tebu.
B. TATA LAKSANA
1. Pengumpulan Data dan Informasi
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui eksperimen, pengamatan langsung, dan wawancara atau pengisisan kuesioner. Wawancara dilaksanakan dengan pengolah, pedagang (distributor), konsumen, dan aparat setempat. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber yang mendukung, seperti Dinas Perindustrian Kabupaten Rembang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Rembang, Badan Pusat Statistik Kabupaten Rembang, dan Instansi-Instansi lain yang terkait, Lembaga Swadaya Informasi IPB, internet, dan literatur lainnya. Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Adapun gambaran mengenai jenis dan sumber data yang akan digunakan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Jenis dan Sumber Data untuk Penelitian Pengembangan Industri Gula Merah Tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Tahun 2007.
Jenis Data Sumber Data
I. Data Primer
1. Aspek teknis teknologis (bahan baku, bahan tambahan, alat, proses produksi), aspek pemasaran, kebutuhan finansial
Masyarakat pengolah gula merah tebu, petani tebu, pedagang (distributor).
2. Konsumsi gula merah tebu Konsumen gula merah tebu
3. Kualitas gula merah tebu Analisa laboratorium dari hasil eksperimen di lapangan
II. Data Sekunder
1. Kondisi wilayah Dinas Kehutanan dan Perkebunan 2. Statistik industri gula merah Dinas Perindustrian, BPS, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Rembang
4. Informasi lain LSI, internet, jurnal, dan literatur lain 2. Analisis SWOT
Analisis SWOT dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi yang sesuai bagi usaha gula merah tebu. Analisis diawali dengan mengidentifikasi berbagai faktor internal maupun eksternal yang terdapat pada usaha gula merah tebu. Dalam kasus ini usaha gula merah milik Ibu Arini yang berlokasi di Kecamatan Pamotan, Kabupaten
Rembang digunakan sebagai rujukan. Setiap unsur dari masing-masing faktor diberi bobot faktor (BF) sesuai tingkat kepentingannya dengan nilai total dari setiap faktor adalah satu.
3. Aspek Pasar dan Pemasaran
Data dan informasi yang berkaitan dengan aspek pasar dan pemasaran diperoleh melalui wawancara dengan pengusaha gula merah tebu serta observasi lapang. Berdasarkan hal tersebut secara rinci ditentukan strategi pemasaran dan bauran pemasaran dalam pengembangan usaha gula merah tebu.
4. Aspek Teknis dan Teknologis
Aspek teknis dan teknologis menganalisis data dan informasi yang diperoleh untuk kapasitas produksi dan tingkat aplikasi teknologi, pengadaan bahan baku, proses produksi.
5. Aspek Finansial
Analisis aspek finansial bertujuan untuk menilai biaya-biaya yang dibutuhkan untuk pengembangan usaha dan berapa besar keuntungan yang akan diperoleh dari pengembangan usaha tersebut. Analisis aspek finansial juga membicarakan mengenai permodalan yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan jumlah dana. Kriteria kelayakan dalam analisis finansial antara lain NPV, IRR, Net B/C, BEP, dan PBP.
a. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) digunkan untuk mengetahui apakah suatu usulan proyek investasi layak dilaksanakan atau tidak dengan cara menghitung selisih antara nilai sekarang dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih (Gray et al., 1992). Perhitungan NPV perlu ditentukan terlebih dahulu tingkat bunga yang dianggap relevan.
NPV dihitung dengan rumus :
( )
∑
+= t− tt i
C NVP B
1
Dimana :
Bt = penerimaan kotor pada tahun ke-t Ct = total biaya pada tahun ke-t i = tingkat suku bunga
t = periode investasi (t = 0, 1, 2, 3,..., n) n = umur ekonomi proyek
Berdasarkan nilai tersebut, terdapat tiga kriteria untuk menilai kelayakan investasi, yaitu :
1. Jika nilai NPV lebih besar dari nol, maka proyek atau industri tersebut menguntungkan atau layak dilaksanakan.
2. Jika nilai NPV sama dengan nol, maka proyek atau industri tersebut tidak untung tetapi juga tidak rugi, oleh karena itu keputusan yang diambil ditentukan secara subyektivitas.
3. Jika nilai NPV lebih kecil dari nol, maka proyek atau industri tersebut dianggap rugi karena penerimaan lebih kecil daripada biaya, sehingga lebih baik tidak dilaksanakan.
b. Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat bunga yang menyamakan present value dari aliran kas keluar dengan present value dari aliran kas masuk (Husnan dan Muhammad, 2000). Menurut Gray et al.
(1992) menambahkan bahwa IRR adalah nilai discount rate sosial yang membuat NPV proyek sama dengan nol.
Formulasi IRR secara sistematis (Gray et al., 1992) adalah :
( )
∑
=+
− 0
1 t
t t
i C
B atau
( ) ∑ ( )
∑
= ++ t
t t
t
i C i
B
1 1
dimana :
Bt = penerimaan kotor pada tahun ke-t
Ct = total biaya sehubungan dengan proyek pada tahun ke-t i = tingkat suku bunga
t = periode investasi (t = 0, 1, 2, 3,..., n)
Pembanding IRR dalah tingkat suku bunga yang berlaku, sehingga kriteria IRR adalah :
Jika nilai IRR lebih besar dibandingkan tingkat suku bunga yang berlaku, maka proyek layak untuk dilaksanakan.
Jika nilai IRR sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku, maka proyek masih layak untuk dilaksanakan namun tidak menguntungkan.
Jika nilai IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga yang berlaku, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan.
c. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Gray et al. (1992) menjelaskan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah angka perbandingan antara jumlah present value dari keuntungan- keuntungan suatu proyek dibagi dengan biaya investasi pada awal dilaksanakannya suatu proyek. Nilai Net B/C dihitung dengan rumus :
(
i)
investasi awalC C B
NetB t tt / _
/ 1
+
=
∑
−dimana :
Bt = penerimaan kotor pada tahun ke-t Ct = total biaya pada tahun ke-t i = tingkat suku bunga
t = periode investasi (t = 0, 1, 2, 3,..., n) n = umur ekonomi proyek
Tiga kriteria Net B/C untuk menilai kelayakan investasi adalah : a. Jika nilai Net B/C lebih besar dari satu, maka proyek dinyatakan layak
secara finansial sehingga dapat dilanjutkan.
b. Jika nilai Net B/C sama dengan satu, maka proyek boleh dilaksanakan atau tidak.
c. Jika nilai Net B/C kurang dari satu, maka proyek dinyatakan tidak layak secara finansial sehingga tidak dapat dilanjutkan.
d. Break Event Point (BEP)
Weston dan Copeland (1992) menjelaskan bahwa hubungan antara besarnya pengeluaran investasi dan volume yang diperlukan untuk mencapai profitabilitas disebut sebagai analisis impas (break event analysis). Analisis impas merupakan sarana untuk menentukan keadaan dimana penjualan akan impas menutup biaya-biaya.
BEP dirumuskan sebagai berikut :
% 100
% x
BV R BEP BT
= −
(
BV R)
Rp BT
BEP( .) 1 /
−
= dimana :
BT = jumlah biaya tetap tiap periode operasi R = hasil penjualan
BV = jumlah biaya variabel
e. Pay Back Period (PBP)
Pay Back Period (PBP) adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas yang hasilnya merupakan satuan waktu (Umar, 2003). Apabila PBP ini lebih pendek daripada yang disyaratkan maka proyek dikatakan menguntungkan, sedangkan jika lebih lama maka proyek ditolak (Husnan dan Muhmmad, 2000).
Rumus yang digunakan untuk menghitung PBP menurut Umar (2003) adalah sebagai berikut :
tahun bersih x
Kas
awal investasi Nilai
PBP 1
_ _
= _
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK WILAYAH
Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan yang telah lama dibudidayakan di Kabupaten Rembang. Pengusahaan areal tebu rakyat di Kabupaten Rembang sampai akhir tahun 2005 seluas 4.398 ha yang tersebar di 12 wilayah kecamatan dengan sentra produksi di Kecamatan Pamotan, Sulang, Sumber dan Pancur yang ditinjau secara teknis relatif mempunyai kesesuaian lahan dan agroklimat.
Luas lahan tebu dan potensi pengembangannya di Kabupaten Rembang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Sebaran Perkebunan Tebu dan Potensi Pengembangannya di Kabupaten Rembang Tahun 2005
No Kecamatan Luas (Ha) Potensi Lahan Pengembangan (Ha)
1 Rembang 117 673
2 Sulang 968 1.127
3 Sumber 459 686
4 Bulu 108 462
5 Gunem 113 397
6 Pamotan 1.859 2.250
7 Pancur 353 720
8 Kaliori 75 421
9 Sedan 185 640
10 Kragan 57 695
11 Sarang 40 450
12 Lasem 64 317
13 Sluke - 200
14 Sale - 450
Jumlah 4.398 9.488
Sumber : Data Statistik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Rembang Tahun 2005
Volume produksi tebu pada tahun 2006 di Kabupaten Rembang mencapai 23.127.555 ton dengan rata-rata rendemen 10 %. Luas areal tanaman tebu Kabupaten Rembang 6.140,86 hektar, dengan luas potensi lahan kering sebesar
9.488 hektar. Luas areal, Produksi, Produktifitas dan Jumlah Petani Komoditas Tebu di Kabupaten Rembang Tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Luas areal, Produksi, Produktifitas dan Jumlah Petani Komoditas Tebu di Kabupaten Rembang Tahun 2006
No Kecamatan Luas
Areal (Ha)
Produksi Jumlah
Petani (KK) Ton Rata-rata
Produksi Kg/Ha
1 Sumber 341 1.221,462 3.582 92
2 Bulu 167 566,130 3.390 61
3 Gunem 213 722,070 3.390 189
4 Sale - - - -
5 Sarang 19 62,700 3.300 6
6 Sedan 90 322,380 3.582 38
7 Pamotan 3.015 12.050,955 3.997 1.235
8 Sulang 1.305 4.791,960 3.672 503
9 Kaliori 109 369,510 3.390 29
10 Rembang 181 619,020 3.420 52
11 Pancur 554 1.917,948 3.462 439
12 Kragan 27 90,720 3.360 10
13 Sluke - - - -
14 Lasem 119 392,700 3.300 47
Jumlah 6.140 23.127,555 3.767 2.701
Tahun 2005 4.398 16.353,697 3.718 1.994
Tahun 2004 3.871 11.951,000 3.087 1.984
Sumber : Data Statistik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Rembang Tahun 2006
Berdasarkan data statistik di atas, diperoleh kesimpulan bahwa perkebunan tebu rakyat cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Berdasarkan Tabel 6 dan 7 mengenai sebaran perkebunan tebu dan potensi pengembangannya tahun 2005 serta luas areal produksi, produktivitas dan jumlah petani komoditas tebu di Kabupaten Rembang tahun 2006, Kecamatan Pamotan memiliki tingkat produktifitas, potensi pengembangan dan kontribusi sebagai penghasil tebu yang paling besar di Kabupaten Rembang dibandingkan dengan Kecamatan lainnya.
Pada umumnya varietas tebu yang digunakan dalam usaha tani tebu di Kabupaten Rembang adalah P5 851, P5 864 dan BZ 148. Jenis tebu yang ditanam disesuaikan dengan kondisi lahan di masing-masing daerah. Pada umumnya
kondisi lahan di Kabupaten Rembang merupakan lahan kering, termasuk lahan perkebunan tebu di Kecamatan Pamotan. Menurut Soentoro et al., (1999) produktifitas tebu lahan kering jauh lebih rendah dibandingkan dengan produktifitas tebu lahan sawah.
Gambar 2. Bahan Baku Usaha (Tebu)
Kecamatan Pamotan dilewati jalur alternatif menuju Surabaya, sehingga sering dilalui oleh kendaraan-kendaraan besar seperti truk barang. Kondisi jalan raya di Kecamatan Pamotan adalah jalan aspal yang dilalui angkutan Desa.
Namun, kondisi jalan penghubung antar desa masih kurang memadai meskipun sudah diaspal. Akses transportasi menuju Kecamatan Pamotan (terutama menuju desa-desa penghasil gula merah tebu) agak sulit. Karena rata-rata frekuensi angkutan desa yang melintas kurang lebih 15-30 menit sekali dengan waktu operasi terbatas dari pagi hari hingga siang hari. Bus hanya melintasi desa yang berada di sepanjang jalan raya menuju Kecamatan Pamotan. Untuk memudahkan mobilitas penduduk di Kecamatan Pamotan, pada umumnya menggunakan sepeda motor milik pribadi. Bagi para pengusaha gula merah tebu, pada umumnya mereka menggunakan mobil untuk mengangkut bahan baku dan hasil produksi berupa gula merah tebu, baik gula merah tumbu maupun gula awur yang akan dijual.
Perkembangan sarana komunikasi di Kecamatan Pamotan sudah cukup memadai. Televisi dan radio merupakan sumber informasi utama petani dan pengusaha gula merah tebu dalam mengetahui perkembangan dunia usaha.
Penduduknya sudah banyak yang menggunakan alat komunikasi berupa telepon dan handphone, sebagai media komunikasi.
B. KARAKTERISTIK INDUSTRI 1. Sejarah dan Perkembangan
Industri gula merah tebu di Kecamatan Pamotan sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Menurut Soentoro et al., (1999), salah satu upaya para petani tebu untuk mempertahankan dan meningkatkan pendapatannya dalam menghadapi depresi ekonomi, yang menyebabkan penurunan harga gula yang drastis pada awal tahun tiga puluhan adalah dengan mengolah sendiri tebu menjadi gula merah tebu. Pada saat itu banyak pabrik gula yang tutup sehingga produksi gula sangat merosot.
Hingga saat ini industri gula merah tebu terus tumbuh dan berkembang. Bahkan gula merah tebu mulai dijadikan bahan substitusi gula pasir.
Pada awalnya, proses penggilingan tebu menggunakan tenaga sapi, sehingga waktu yang diperlukan untuk menghasilkan gula merah tebu lebih banyak. Namun, pada akhir tahun 1980-an mulai terjadi alih teknologi. Salah satunya yaitu penggunaan mesin penggiling tebu yang digerakkan oleh mesin diesel berbahan bakar solar.
Selain gula tumbu, terdapat beberapa PGT yang memproduksi gula awur (gula semut). Di Kabupaten Rembang, pengolahan nira tebu menjadi gula tumbu dan gula semut pada umumnya masih dilakukan dengan cara tradisional, yaitu dengan menggunakan wajan bertahap yang dipanaskan di atas tungku pembakaran berbahan bakar bagase.
Proses pengolahan gula awur sedikit berbeda dengan pembuatan gula tumbu. Prosesnya memerlukan waktu lebih lama dan membutuhkan keuletan dalam membuatnya. Selain itu biaya produksinya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan gula tumbu. Namun di sisi lain harga jual gula awur lebih mahal dibandingkan dengan gula tumbu. Komoditas gula awur ini sebenarnya memberikan harga yang menjanjikan. Namun sedikit PGT yang melirik peluang tersebut, karena beberapa pertimbangan seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Daftar harga rata-rata komoditas perkebunan (gula merah dan gula putih) pada setiap bulan di Dinas Kehutanan dan Perkebunan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Harga Rata-rata Komoditas Perkebunan (Gula Merah dan Gula Putih) pada Setiap Bulan di Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Komoditas Mutu Harga (Rp) Pada Bulan ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rata-
rata Gula Merah Campuran 3300 3300 3300 3300 3400 3400 3300 3300 3200 3200 3200 3400 3300 Gula SHS1 1 6000 6000 6000 6000 6000 6000 6000 6000 6000 6000 6000 6000 6000
Sumber : Data Statistik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Rembang Tahun 2006
Sedangkan menurut data primer yang diperoleh di lapangan, rentang harga gula awur tahun 2007 adalah Rp. 3.550,00-Rp. 4.200,00.
Terdapat suatu fenomena yang seringkali terjadi pada PGT di Kabupaten Rembang, yaitu para pengusaha gula tumbu akan memproduksi gula tumbu bila harga gula pasir sedang mengalami penurunan. Sebaliknya, para pengusaha gula tumbu akan beralih menjual hasil tebunya ke PG, bila harga gula pasir sedang naik dan harga gula tumbu jauh di bawah harga gula pasir. Hal itu terjadi karena para pengusaha gula menganggap, jika tebunya dijual ke PG maka ia tidak perlu mengeluarkan biaya produksi (biaya giling dan upah tenaga kerja).
Hasil panen tebu yang diperoleh selanjutnya akan digiling di Pabrik Gula (PG) menjadi gula pasir dan gula merah tebu. Terdapat sekitar 2-3 PG yang menjadi tujuan penjualan hasil panen petani tebu di Kabupaten Rembang, diantaranya yaitu PG Rendeng di Kudus, PG Trangkil di Pati dan PG lain di sekitarnya. Dengan perkiraan distribusi lahan pada tahun 2005 adalah PG Rendeng 1200 ha, PG Trangkil 800 ha, usaha gula tumbu (gula merah tebu) 2000 ha dan sisanya masuk ke PG lain.
Sekitar tahun 1990-an pemerintah melalui Dinas Perkebunan melakukan kegiatan penyuluhan kepada petani tebu. Pada umumnya materi yang disampaikan adalah materi mengenai pengelolaan, perawatan, pengendalian, serta upaya meningkatkan produktifitas tanaman tebu. Namun, usaha gula merah tebu di Kabupaten Rembang ini kurang mendapat perhatian dan pemantauan dari pemerintah daerah. Sehingga perkembangannya tidak tercatat secara rutin dan rinci. Para pengolah dan pengusaha gula merah tebu melakukan kegiatan usahanya masing-masing, berdiri dan berkembang sendiri.