5 1. Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau pecah dan phren yang berarti jiwa. Skizofrenia adalah gangguan fungsional yang terjadi karena ketidaksesuaian antara proses pikir, emosi, dan kemauan yang disebabkan adanya waham dan halusinasi, inkoherensi, serta munculnya sikap penarikan diri dari lingkungan (Maramis, 2009).
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan realitas (halusinasi dan waham), ketidakmampuan berkomunikasi, afek yang tidak wajar, gangguan kognitif (tidak mampu berpikir abstrak) serta mengalami kesulitan melakukan akitivitas sehari-hari (Keliat, 2010).
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan gangguan pikiran, bahasa, persepsi, dan sensasi mencakup pengalaman psikotik berupa gejala positif dan negatif (WHO, 2015).
Skizofrenia adalah penyakit kronis berupa gangguan mental yang serius ditandai dengan gangguan dalam proses pikir yang mempengaruhi perilaku (Thorson, Matson, Rojahn, dan Dixon, 2008).
Kesimpulan dari beberapa definisi skizofrenia adalah bahwa gangguan jiwa atau gangguan kepribadian belum diketahui secara pasti
apa penyebab dan gejalanya, perjalanan penyakit yang progresif dan harus segera diberikan penanganan, apabila tidak maka kondisi pasien akan semakin parah.
2. Etiologi
Menurut Kaplan & Sadock (1997), skizofrenia merupakan sekelompok gangguan dengan penyebab dan gambaran klinis yang berbeda dan secara pasti respon pengobatan dan perjalanan penyakitnya bervariasi. Dan beberapa faktor penyebab kekambuhan dari skizofrenia antara lain:
a. Faktor saraf
Skizofrenia timbul akibat adanya gangguan pada susunan saraf yang terletak pada diensefalon atau kortek otak, dan dapat disebabkan karena kelainan patologis karena adanya perubahan- perubahan post-mortem (Maramis, 1995).
b. Faktor Genetik
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gen yang diwarisi seseorang sangat kuat mempengaruhi resiko seseorang mengalami skizofrenia (Maramis, 1995).
c. Faktor Penyakit
Menurut Mayer (1906) yang dikutip kembali oleh Maramis (1995), menyatakan bahwa skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit yang alamiah, oleh sebab itu dari jaman dahulu sampai
sekarang belum ada peneliti yang menemukan kelaianan patologis maupun fisiologis penyebab skizofrenia.
3. Prevalensi
Jumlah penderita gangguan jiwa dari tahun ke tahun terus meningkat. Prevalensi skizofrenia yaitu 0,23% dari jumlah penduduk yang melebihi angka normal sebanyak 0,17% menempati posisi kelima (Riskesdas, 2013).
Jumlah penderita gangguan jiwa dari data Dinas Kesehatan Jawa Tengah menyebutkan jumlah gangguan jiwa pada 2013 adalah 121.962 penderita. Sedangkan pada 2014 jumlahnya meningkat menjadi 260.247 penderita dan pada 2015 bertambah menjadi 317.504 (Wibowo, 2016).
Prevalensi skizofrenia di Indonesia sebanyak enam koma tujuh dari seribu keluarga. Artinya 1000 keluarga terdapat 6,7 yang mempunyai anggota keluarga pengidap skizofrenia. Penyebaran prevalensi tertinggi terdapat di Bali dan Yogyakarta dengan masing- masing 11,1 dan 10,4 per 1000 rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga pengidap skizofrenia. Peningkatan gangguan jiwa cukup signifikan dari tahun 2013 yaitu naik dari 1,7% menjadi 7%
(Riskesdas, 2018).
4. Prognosis
Prognosis pasien dengan gangguan yang kronik, sekitar dua puluh persen hanya mengalami episode tunggal skizofrenia selama hidup
tanpa adanya kekambuhan. Namun demikian lebih dari 50% pasien memiliki prognosis yang buruk dengan episode psikotik yang berulang sehingga harus keluar masuk rumah sakit, mengalami depresi dan melakukan percobaan bunuh diri, dan 10% pasien lainnya meninggal akibat bunuh diri (Prabowo, 2014).
Namun menurut Setiadi (2006), sekitar dua puluh lima persen pasien dapat pulih dari periode awal dan fungsinya dapat kembali sebelum munculnya gangguan tersebut. Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk.
Sekitar 50% berada diantaranya, ditandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan fungsi dengan efektif kecuali waktu luang.
5. Manifestasi Klinis
Menurut Hawari (2006), tanda dan gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
a. Gejala positif
1) Delusi/waham yaitu keyakinan yang tidak sebenarnya, tetapi penderita meyakini kebenarannya
2) Halusinasi yaitu pengalaman panca indra tanpa adanya rangsangan
3) Kekacauan pikirannya yang dapat dilihat dari sisi bicaranya 4) Gaduh, gelisah, tidak diam, mondar-mandir, agresif, bicara
dengan semangat dan gembira yang berlebihan
5) Merasa dirinya “orang besar”, merasa serba mampu, serta merasa hebat
6) Pikirannya dipenuhi dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap diriya
7) Menyimpan rasa permusuhan yang menganggap setiap orang baru atau orang didekatnya adalah seperti musuh
b. Gejala negatif
1) Pasif dan apatis yang berarti pasien kurang memperdulikan orang lain dan tidak aktif dalam melakukan
2) Menarik diri dari lingkungan biasanya pasien lebih cenderung asik dengan dunianya sendiri dan kurang banyak berinteraksi dengan sesama
3) Pola berpikir yang stereotype yang artinya individu memiliki pola pikir untuk menilai sesorang hanya dengan satu sisi saja berdasarkan pada persepsi yang dimilikinya.
4) Gambaran wajah yang tidak menunjukkan ekspresi, misalnya pada saat senang yang seharusnya tertawa, tetapi penderita malah menunjukkan ekspresi muka yang datar dan biasa-biasa saja.
5) Tidak memiliki inisiatif ataupun dorongan, tidak ada usaha, monoton, serta tidak menginginkan apa-apa
6. Penatalaksanaan
Okupasi terapi penting bagi penanganan pasien dengan gangguan jiwa karena menggunakan program terapi yang dapat membantu pasien mengembalikan kemampuan fungsional dan peran dalam bermasyarakat. Seorang okupasi terapis harus memberikan rasa aman, percaya diri, berbagi rasa, dan membuka pembicaraan (Bruce & Borg, 2002).
Berikut adalah beberapa penanganan atau pengobatan terhadap pasien skizofrenia yaitu:
a. Terapi obat-obatan
Terapi obat merupakan bentuk penanganan dari dokter yang diberikan kepada pasien untuk menangani halusinasi maupun waham, dokter memberi resep obat berupa suntik ataupun tablet dengan dosis seminimal mungkin karena dapat menghambat efek kerja otak. Pasien dianjurkan untuk meminum obat seumur hidupnya walaupun kondisinya sudah membaik (Willy, 2018).
b. Psikoterapi
Psikoterapi biasanya dilakukan oleh psikolog atau psikiater dengan cara mengkombinasikan pemberian obat-obatan agar pasien skizofrenia dapat mengontrol perilaku yang berlebihan (Willy, 2018).
c. Terapi Rehabilitasi
Pada terapi rehabilitasi ini melibatkan profesi okupasi terapi. Peranan terapis sangat penting dalam memantau pasien dengan gangguan mental, seorang terapis dapat menjadi model, pelatih, bahkan ”desainer”. Literatur okupasi terapi menyatakan bahwa okupasi terapis menggunakan metode socratic yaitu melanjutkan untuk memperluas perannya sebagai pendidik. Dalam peran ini, terapis adalah sebagai pelatih, model dan kadang kadang menjadi pengawas yang mendesain, mengkoreksi, dan memperbaiki pengalaman belajar dan karakteristik.
1) Psikososial
Untuk membantu gejala-gejala “negatif” agar tidak meningkat. Tindakan ini dapat berupa keterampilan sosial, yaitu penggunaan metode psikoterapik untuk mengajari pasien bagaimana berinteraksi dengan orang lain, bagaimana cara mengatasi masalah, dan meningkatkan rasa percaya diri.
2) Kognitif
Melatih kemampuan kognitif dasar seperti atensi, orientasi, dan memori, selanjutnya dapat mengajarkan individu dalam meningkatkan kemampuan fungsi kognitif lanjutan seperti problem solving, reasoning, formasi konsep, dan fungsi eksekutif, melatih kemampuan pengambilan keputusan, dan
berperan dalam meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi.
3) Produktivitas
Untuk memperbaiki kebiasaan dan kemampuan kerja pasien dengan lingkungan kerja agar pasien lebih produktif.
4) Leisure
Untuk memberikan waktu luang dan penyediaan aktivitas yang dapat meningkatkan perasaan senang.
5) Perawatan Diri
Untuk mendorong individu dengan gangguan jiwa untuk memperhatikan kebersihan pribadi termasuk cara makan, mandi, berdandan, buang air besar (BAB), buang air kecil (BAK), dan berpakaian secara mandiri.
d. Penanganan saat pasien mengamuk atau tidak dapat dapat dikendalikan
Hal ini biasanya dilakukan oleh profesi perawat didampingi dengan dokter. Dalam melayani pasien, perawat terlebih dahulu melakukan pendekatan. Namun, apabila pasien sudah tidak bisa dikondisikan perawat dan dokter spesialis jiwa akan melakukan pemindahan pasien ke ruangan lain, memberikan obat penenang, dan juga pengikatan yang merupakan jalan terakhir ketika pasien sudah betul-betul tidak bisa dikendalikan. Dalam hal ini, perawat
juga membutuhkan komunikasi terapeutik yang baik agar bisa membujuk atau menenangkan pasien.
B. Interaksi Sosial 1. Definisi
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antar individu yang satu dengan yang lainnya, antara kelompok satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu.
Menurut H. Bonner, interaksi sosial adalah suatu hubungan antar dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya (Gerungan, 1996).
Menurut Soejono (1990), menyatakan tanpa adanya interaksi sosial maka tidak ada kehidupan bersama. Bertemunya individu secara badaniah tidak akan menghasilkan komunikasi dalam suatu kelompok sosial. Komunikasi yang dimaksud seperti kerjasama, saling berbicara, dan seterusnya demi mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan maupun pertikaian, dan lain sebagainya.
Jadi, dari beberapa definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa interaksi sosial merupakan komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, dimana komunikasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku/kelakuan hidup manusia baik kearah yang lebih baik ataupun sebaliknya.
2. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial a. Kerjasama
Menurut Soerjono Soekanto ada lima bentuk kerjasama yaitu:
1) Kerukunan yang mencangkup gotong royong.
2) Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang atau jasa antara dua organisasi atau lebih.
3) Koalisi, yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama. Walaupun dapat menimbulkan keadaan yang tidak stabil, tetapi koalisi bersifat kooperatif karena memiliki maksud utama untuk mencapai tujuan bersama.
4) Joint-ventrue, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek- proyek tertentu, misalnya pengeboran minyak, pertambangan batu-bara, perfilman maupun perhotelan.
b. Persaingan
Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu cara pihak-pihak untuk mencapai tujuan tertentu. Persaingan biasanya terjadi dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, politik, dan sebagainya.
c. Pertentangan
Pertentangan merupakan suatu cara dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan
menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan.
d. Perubahan Sosial
Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat dapat mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
3. Hambatan-hambatan dalam Interaksi Sosial
Menurut Soekanto (2006) ada beberapa faktor yang menghambat interaksi sosial yaitu:
a. Perasaan takut untuk berkomunikasi, adanya prasangka buruk terhadap individu atau kelompok lain mendorong seseorang untuk takut dalam melakukan atau memulai komunikasi.
b. Adanya pertentangan pribadi, adanya pertentangan antar individu akan mempertajam perbedaan yang ada pada golongan tertentu.
Sedangkan hambatan interaksi sosial apabila ditinjau dari sudut pandang okupasi terapi yaitu:
a. Orang dengan kondisi skizofrenia cenderung mengalami penurunan di dalam interaksi, bahkan pasien dengan kondisi skizofrenia tidak memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan baik di lingkungan sekitarnya (Bellack et al, 1990).
b. Pada pasien skizofrenia lebih sering muncul perilaku yang suka menghindar apabila bertemu dengan orang lain dan sering menyendiri (Nyumirah, 2013).
c. Kurangnya perhatian dan perawatan diri menyebabkan pasien
dengan gangguan jiwa menjadi lebih introvert dan menjadi kurang percaya diri apabila bertemu dengan orang lain (Hawari, 2007).
4. Aspek-aspek Interaksi sosial
Soekanto (2002) mengemukakan interaksi sosial dapat berlangsung apabila memiliki beberapa aspek berikut:
a. Aspek kontak sosial
Merupakan peristiwa terjadinya hubungan sosial antara individu yang satu dengan yang lain. Kontak yang terjadi tidak hanya kontak fisik tapi juga secara simbolik seperti senyum.
b. Aspek komunikasi
Komunikasi sangat penting untuk berlangsungnya interaksi sosial. Komunikasi merupakan salah satu sarana untuk menyampaikan informasi, ide, pengetahuan dan perbuatan kepada orang lain dengan tujuan untuk mengubah perilaku tertentu seseorang menjadi ke arah yang lebih baik.
C. Permainan Bakiak 1. Definisi
Permainan bakiak dikenal sebagai alas kaki. Bakiak terbuat dari kayu yang kuat tetapi ringan. Permainan bakiak adalah alas kaki yang terbuat dari kayu yang menimbulkan suara yang nyaring ketika digunakan dan mempunyai tali karet berwarna hitam. Bentuknya sesuai dengan telapak kaki, lalu diberi tali yang terbuat dari kulit atau
karet. Bakiak ini berbentuk panjang dan jumlah karetnya lebih dari satu, jumlah tali yang terpasang pada bakiak disesuaikan dengan jumlah pemainnya. Permainan bakiak berada pada kategori permainan yang bersifat bermain dan adu ketangkasan, karena sifat permainannya yang mengandalkan ketangkasan kaki serta mengandalkan kekompakan dari para pemainnya (Ismail, 2006).
Pada Karya Tulis Ilmiah ini membutuhkan peserta dalam satu kelompok kecil berjumlah kira-kira 3-5 orang harus memakai sandal kayu yang panjang yang disebut bakiak dan bersaing dengan kelompok lainnya. Adapun ukuran pembuatan bakiak yaitu panjang terompah untuk 3 orang 141 cm, lebar terompah 10 cm, tebal terompah 2,5 cm, berat terompah seluruhnya untuk terompah 3 orang 4 kg (sepasang).
2. Manfaat dan Tujuan Bermain bakiak
Menurut Mayke (2001) menyatakan, bahwa bermain memiliki berbagai macam aspek perkembangan, misalnya perkembangan sosial emosional, kognitif, mengasah ketajaman panca idera, dan mengembangkan keterampilan berolahraga ataupun menari. Adapun manfaat dari bermain bakiak adalah:
a. Perkembangan Aspek Sosial
Bermain dapat digunakan sebagai media untuk berbagi, menggunakan permainan secara bergilir, mencari alternatif pemecahan masalah, serta berkomunikasi.
b. Perkembangan Aspek Emosi dan Kepribadian
Kegiatan bermain yang menyenangkan dapat membuat seseorang melepaskan ketegangan dan stress yang dialami sehingga dapat membuat perasaanya menjadi rileks dan lega.
Permainan yang dilakukan secara bersama-sama dapat meningkatkan rasa percaya diri, kejujuran, serta selalu memiliki kemurahan dan ketulusan hati.
c. Perkembangan Aspek Kognitif
Aktivitas bermain dapat membantu untuk meningkatkan kreativitas, trik dan juga strategi dalam melakukan sebuah permainan.
d. Terapi
Bermain dapat digunakan sebagai media psikoterapi yang disebut terapi bermain. Terapi bermain ini biasanya digunakan untuk menangani seseorang dengan perilaku agresif, perilaku menyimpang, serta sulit bergaul dan kurang percaya diri.
e. Media Intervensi
Bermain sering digunakan untuk melatih konsentrasi serta pemusatan perhatian. Media intervensi pemusatan perhatian dan konsentrasi ini biasanya ditujukan untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus seperti anak-anak autis, penderita cerebral palsy, radang otak, cacat mata, cacat pendengaran, skizofrenia, dan lain-lain.
3. Cara bermain
a. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dengan jumlah anggota sesuai dengan jumlah pijakan pada bakiak
b. Semua kelompok diminta untuk mengenakan bakiak dan berdiri di garis start
c. Dengan aba-aba dari instruktur, semua kelompok harus beradu cepat untuk tiba di garis finish
d. Kelompok yang paling cepat sampai digaris finish dinyatakan sebagai pemenangnya
4. Prasyarat Bermain Bakiak
Syarat-syarat yang harus dimiliki peserta bakiak yaitu:
a. Peserta harus memiliki koordinasi anggota tubuh yang baik, karena permainan ini membutuhkan gerakan tubuh dan kaki bergerak secara bersamaan (Arif, 2009).
b. Peserta harus memiliki kesabaran yang tinggi, karena permainan bakiak ini membutuhkan konsentrasi dan keseimbangan untuk melangkah agar tidak terjatuh (Arif, 2009).
c. Peserta harus bisa bekerjasama, karena ketika bermain akan membutuhkan kerjasama antar anggota untuk menyeimbangkan gerakan (Arif, 2009).
d. Adanya level kognitif yang baik, agar pasien dapat merencanakan strategi atau cara bermain agar memenangkan permainan (Dalyono, 2005).
D. Kerangka Acuan
Kerangka acuan yang digunakan untuk kasus ini adalah kognitif perilaku, karena merupakan aplikasi strategi dan metode regulasi diri untuk merubah cara berpikir dan berperilaku (Meichenbaum, 1977).
Kerangka acuan kognitif perilaku bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dasar untuk memecahkan permasalahan dengan fungsi kognitif seseorang. Kerangka acuan kognitif perilaku dapat melibatkan strategi verbal dan non verbal yang bertujuan untuk memperluas pengetahuan pasien, memperkuat aplikasi pengetahuan, dan meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan masalah, merubah pikiran seseorang yang dapat merubah perilaku dan akhirnya dapat meningkatkan fungsional keseharian dan self of efficacy (Bruce & Borg, 2002).
Ada beberapa strategi yang digunakan pada kerangka acuan kognitif perilaku, yaitu:
1. Modifikasi pikiran dan perilaku
Terapis mengubah pikiran dan perilaku maladaptif pasien menjadi adaptif dengan memberikan edukasi kepada pasien tentang pikiran dan perilaku yang benar dan rasional (Bruce & Borg, 2002).
2. Mendengar apa yang harus dikerjakan (listening for must)
Tidak semua program terapi difokuskan pada tugas atau mempermasalahkan kepercayaan, tetapi mendengarkan tugas yang harus dikerjakan. Terapis membantu dengan cara mengidentifikasi tugas yang harus dikerjakan di rumah atau di tempat kerja.
3. Pekerjaan rumah (homework)
Dengan pemberian strategi ini akan membuat pasien mengembangkan keterampilannya sehingga hal ini biasanya dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.
4. Pengembangan pengetahuan lewat membaca
Dengan strategi ini diharapkan pasien dapat meningkatkan kemampuan membaca misalnya, brosur, pamflet, dan artikel pendek yang dikembangkan melalui psikoedukasional.
5. Penggunaan media film atau visual
Terapis menayangkan video mengenai interaksi sosial dan perilaku untuk menyikapi tugas yang efektif, setelah itu akan dilakukan diskusi mengenai film tersebut, peran sesuai dengan skenario yang dilihat sebagai model.
6. Individu belajar haknya
Strategi ini mengembangkan identifikasi hak pribadi pasien, bisa melalui model simbolik, peran, maupun intruksional.
7. Model dan permainan peran
Pada strategi ini terdiri dari rehearseal, modeling, dan coaching.
8. Physical guidance
Terapis akan membantu pasien apabila pasien mengalami kesulitan 9. Problem solving
Diharapkan pasien mampu memecahkan masalah karena telah berinteraksi dengan masyarakat.
10. Reinforcement
Reinforcement merupakan sesuatu yang diberikan mengikuti
perilaku kesukaan pasien agar pasien mau mengulang kembali perilaku yang diharapkan (Bruce & Borg, 2002).
Dalam Karya Tulis Ilmiah ini menggunakan strategi yaitu, listen for must, modeling, dan reinforcement.
E. Pro dan Kontra Pendapat Para Ahli
Bruce & Borg (2002) menyatakan, kerangka acuan kognitif perilaku mampu meningkatkan pemahaman dalam proses belajar sehingga dapat memberikan hasil yang didukung dengan pemberian reinforcement.
Okupasi terapis membantu dalam memberikan intervensi kepada pasien yang mengalami gangguan dalam berinteraksi sosial. Pemberian motivasi dan aktivitas bertujuan mampu memberikan hasil unruk pasien.
Sedangkan kelemahan penggunaan kerangka acuan kognitif perilaku adalah kurang berkembangnya kognitif seseorang menjadikannya sulit dalam memahami sesuatu, serta sulit untuk mengubah apa yang diyakini sebelumnya (Bruce & Borg, 2002).
F. Kecenderungan Penulis
Penulis menggunakan kerangka acuan kognitif perilaku dalam Karya Tulis Ilmiah ini dengan harapan dapat mengubah perilaku pola pikir pasien menjadi yang lebih baik. Penulis juga beranggapan dengan kerangka acuan ini pada pasien skizofrenia diharapakan dapat meningkatkan interaksi pasien. Hal ini didukung oleh penelitian Hepple
(2004) yang menyatakan bahwa kerangka acuan kognitif perilaku dapat merubah sistem keyakinan yang negatif, irasional dan mengalami penyimpangan (distorsi) menjadi positif dan rasional sehingga secara bertahap mempunyai reaksi somatik dan perilaku yang sehat dan normal.
Dalam Karya Tulis Ilmiah ini penulis menggunakan beberapa strategi diantaranya: listen for must, modeling, dan reinforcement.