• Tidak ada hasil yang ditemukan

Misi Transformatif dalam Potret Kemajemukan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Misi Transformatif dalam Potret Kemajemukan di Indonesia"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 1

Misi Transformatif dalam Potret Kemajemukan di Indonesia

Fransiskus Irwan Widjaja1, Fredy Simanjuntak2

1,2Sekolah Tinggi Teologi REAL, Batam Correspondence: [email protected] DOI: https://doi.org/10.46929/graciadeo.v5i1.111

Abstract: Pluralism is a serious challenge for the Church to function as a moderating agent that not only strengthens Indonesia's diverse identity but also transforms the nation. Once again, the church is faced with the exclusive nature of the call and responsibility to carry out the Great Commission while being socially open and inclusive. The church needs to reposition its mission out of the trap of religious formalism which is based on the sectoral ego. Therefore, a moderate mission strategy is needed to knit pluralism, especially in the conditions of the ongoing Covid-19 pandemic. This paper aims to embrace plurality and actualize a harmonious mission as a conceptual framework for living together in the archipelago. This research is qualitative research using critical analysis. The results of this study are expected to revolutionize the mission of the church critically in a new landscape and in a more holistic context.

Keywords: church, Indonesia, mission, pluralism, transformation

Abstrak: Kemajemukan menjadi tantangan serius Gereja untuk berfungsi sebagai agen moderasi yang bukan hanya memperkuat identitas kebinhekaan Indonesia namun juga mentransformasi bangsa. Sekali lagi gereja diperhadapkan dengan sifat eksklusif panggilan dan tanggung jawab untuk mengerjakan Amanat Agung sekaligus secara social terbuka dan inklusif. Gereja perlu mereposisi misi keluar dari perangkap formalisme agamawi yang bertitik tolak pada ego sectoral.

Oleh sebab itu diperlukan strategi Misi yang moderat untuk merajut kemajemukan terlebih dalam kondisi pandemic Covid-19 yang masih berlangsung. Tulisan ini bertujuan untuk merengkuh pluralitas dan mereaktualisasi misi yang harmonis sebagai kerangka koseptual hidup bersama di bumi nusantara. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis kritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat merevolusi misi gereja secara kritis dalam lanskap yang baru dan dalam konteks yang lebih holistik.

Kata kuncu: gereja, Indonesia, kemajemukan, misi, transformasi

Pendahuluan

Missio Dei adalah maksud Tuhan atau tujuan Tuhan bagi dunia. Itu adalah rencana dan strategi Tuhan untuk dunia, dan tindakan Tuhan di dunia. Ini merupakan skema besar. Tuhan untuk bangsa-bangsa di dunia. Dalam Perjanjian Lama Tuhan mengambil satu bangsa, menggunakannya sebagai simbol, sebagai tanda cara Dia mengekspresikan karakternya, keilahiannya, kedaulatannya, kekuatannya tetapi seluruh ciptaan adalah wilayah keterlibatannya. Sekalipun seolah-olah gambaran misi Allah seolah-olah tersen- tralisasi dalam sebuah bangsa pilihan yaitu Israel tetapi secara konsisten kitab suci berulang-ulang menarasikan cetak biru bagaimana bangsa-bangsa di luar Israel pun ter- masuk dalam tujuan universal Allah.

e-ISSN 2655-6863

Volume 5, No. 1, Juli 2022 (1-11) http://e-journal.sttbaptisjkt.ac.id/index.php/graciadeo

(2)

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 2

Jika di dalam Perjanjian Lama Allah melibatkan Israel secara sentripetal, di dalam Perjanjian Baru justru Allah memilih gereja sebagai titik tolak Misi-Nya secara sentrifugal.

Missio Dei dalam Perjanjian Baru memotivasi keterlibatan gereja di dunia. Misi Allah sejak dulu tetap sama yaitu untuk mentransformasi struktur dan budaya serta memung- kinkan individu dan komunitas untuk mengalami kuasa Tuhan yang mengubahkan.

Transformasi berarti “pemberdayaan” yang berkaitan dengan keadilan dan kebebasan.

Fokus transformasi dalam Perjanjian Baru adalah manusia, Roma 8:19,20,21. Mengapa?

Transformasi ciptaan terkait dengan umat Allah. Alkitab berbicara tentang transformasi pribadi manusia. Transformasi ini dimaksudkan untuk penetrasi ke dalam struktur dan budaya yang korup dan berdosa serta memungkinkan individu dan komunitas untuk mengalami kuasa transformasi Tuhan.

Transformasi melibatkan perubahan positif dalam seluruh kehidupan manusia secara material, sosial dan spiritual, dengan memulihkan identitas sejati manusia yang diciptakan menurut gambar Allah dan menemukan panggilan sejati manusia sebagai penatalayan yang produktif, dengan setia merawat dunia dan manusia kita. Penekanan yang lain perlu untuk diperhatikan dari pengalaman pesatnya kegiatan misi menurut Widjaja dkk., gereja perlu lebih peka dalam menggagas model misi yang inklusif untuk hubungan antara iman Kristen dengan agama-agama lain.1

Penelitian ini termotivasi oleh penelitian Kalis Stevanus dan Yunianto yang menyatakan misi bukan hanya dipahami sebagai penginjilan (keselamatan individu) dan pertumbuhan gereja, melainkan juga misi adalah tanggung jawab social.2 Penelitian yang lain mengajukan jalan toleransi sebagai pendekatan misi yang kontekstual mengantisipasi kemajemukan di Indonesia. Setiap kepelbagaian dihargai melalui kebersamaan, kepedu- lian social, dan wujud gotong royong yang dilandasi oleh semangat damai kasih Yesus bukan pada paksaan ideologis.3 Kesadaan serupa dinyatakan oleh Widjaja yang mengu- sulkan pendekatan hubungan diantara berbagai pemeluk agama dalam sikap saling memahami dan menerima satu sama lain dalam tujuan yang konstruktif dan saling mengenal melalui pertemuan-pertemuan dan dialog-dialog Bersama.4Dalam konteks yang lebih relasional, Singgih menuturkan wacana misi yang bertolak dari pluralitas khu- susnya dalam konteks Indonesia yang menggambarkan tentang identitas Kristen yang jelas, tidak terisolasi namun keluar menjalin relasi dengan yang lain.5 Dalam praksisnya barangkali gagasan Misi yang transformative yang ditawarkan oleh Fredy Simanjuntak dkk dalam konteks kemajemukan di Indonesia perlu dipertimbangkan menambahkan akan konsep potret kehidupan menggereja yang menghadirkan keramahan Allah di

1 Fransiskus Irwan Widjaja, Fredy Simanjuntak, and Noh Ibrahim Boiliu, “Repositioning Mission in Postmodern Culture,” in Proceedings of the 1st International Conference on Education, Society, Economy, Humanity and Environment (ICESHE 2019) (Paris, France: Atlantis Press, 2020), https://www.atlantis-

press.com/article/125936174.

2 Kalis Stevanus and Yunianto Yunianto, “Misi Gereja Dalam Realitas Sosial Indonesia Masa Kini,”

HARVESTER: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen 6, no. 1 (June 15, 2021): 55–67, http://e- journal.sttharvestsemarang.ac.id/index.php/harvester/article/view/61.

3 Veydy Yanto Mangantibe and Mario Chlief Taliwuna, “Toleransi Beragama Sebagai Pendekatan Misi Kristen Di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Religiosity Entity Humanity (JIREH) 3, no. 1 (June 18, 2021): 33–47,

https://ojs-jireh.org/index.php/jireh/article/view/56.

4 Fransiskus Irwan Widjaja, “Pluralitas Dan Tantangan Misi : Kerangka Konseptual Untuk Pendidikan Agama,” Regula Fidei: Jurnal Pendidikan Agama Kristen 4, no. 1 (2019): 1–13.

5 Ebenhaizer I. Nuban Timo, Gereja Lintas Agama: Pemikiran-Pemikiran Bagi. Pembaharuan Kekristenan Di Asia (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2013).82

(3)

Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 5, No 1, Juli 2022

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 3

ruang publik.6 Adapun yang membedakan penelitian ini dari penelitian sebelumnya terletak pada eksplorasi paradigma misi yang trasnformatif dan konstruktif dalam kerangka kemajemukan khususnya di masa Covid-19. Melalui penelitian ini diharapkan merengkuh pluralitas dan mereaktualisasi misi yang harmonis sebagai kerangka koseptual hidup bersama di bumi nusantara. Kajian ini juga diharapkan dapat merevolusi misi gereja secara kritis dalam lanskap yang baru dan dalam konteks yang lebih holistik

Bertolak dari pemaparan di atas, penulis ingin mencoba menguraikan beberapa hal yang dirumuskan melalui pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Bagaimana gereja dapat merengkuh pluralitas di tengah terpaan isu-isu sektarianisme di Indonesia? (2) Bagaima- na gereja hadir dalam ruang publik secara moderat tanpa kehilangan spirit misionernya?

(3) Seperti apa upaya gereja dalam mengkonseptualisasikan misi yang harmonis dan transformasional dalam konteks kemajemukan? Berangkat dari rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kesadaran kritis gereja secara signifikan untuk menghadirkan praksis misi yang bersifat transformatif di dalam kemajemuka dan perbedaan di Indonesia.

Metode

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Melalui proses pengumpulan materi dengan wawasan karya tulis ilmiah secara umum dan juga literatur yang membahas tentang perkembangan karya tulis berdasarkan kajian Misi &

Transformasi Dalam Kemajemukan Di masa Covid-19.7 Penekanan dalam tulisan ini terle- tak pada kerangka teori yang terkait dengan Misi yang transformatif” dengan menggu- nakan analisis wacana kritis dan sosio-teologis sehingga dapat membuka pemahaman kristiani tentang paradigma misi di era postmodern. Dominasi pengumpulan data dalam tulisan ini berasal dari penelitian studi literatur melalui berbagai macam buku, literatur, jurnal penelitian, tesis maupun disertasi, atau catatan yang berkaitan dengan tulisan.

Hasil dan Pembahasan

Gereja Merengkuh Pluralitas di tengah Persoalan Sektarianisme di Indonesia Keberagaman dan keberagamaan adalah situasi yang melekat pada budaya masyarakat Indonesia. Dalam konteks bangsa Indonesia, saat ini kita melihat masyarakat cenderung terkotak-kotak termasuk sekte agama. Isu sektarianisme umumnya tumbuh dan berkembang melalui agama. Sebenarnya jika dipahami salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kemunculan konflik di Indonesia adalah pengaruh paham agama yang bersifat trans-nasional yang masuk ke Indonesia. Jika paham agama yang demikian tum- buh dan berkembang tanpa melewati aktualisasi nilai masyarakat setempat akan berpo- tensi menggerus rasa nasionalisme dan meningkatkan eksistensi sektarianisme bahkan memicu intoleransi dan radikalisme.8 Sektarianisme ini sendiri bisa terjadi pada agama

6 Fredy Simanjuntak et al., “Refleksi Konseptual Misi Yesus Melalui Keramahan Gereja Di Indonesia,”

KURIOS 7, no. 2 (October 7, 2021): 259, https://www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios/article/view/329.

7 Suardin Gaurifa, “Jurnal Ilmiah Untuk Karya Tulis Teologi,” in Strategi Menulis Jurnal Untuk Ilmu Teologi (Semarang: Golden Gate Publishing, 2020).

8 Bob Marta, “Konflik Agama Dan Krisis Intoleransi: Tantangan Atau Mimpi Buruk Keberagaman Indonesia?,” Pusat Studi Kemanusiaan Dan Pembangunan, last modified 2020,

http://www.pskp.or.id/2020/08/06/konflik-agama-dan-krisis-intoleransi-tantangan-atau-mimpi-buruk- keberagaman-indonesia/.

(4)

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 4

manapun. Belum lagi ditambah pendangkalan agama yang berkembang dari pemeluk agama tersebut. Selain itu dalam masyarakat Indonesia juga banyak ditemukan bentuk formalisasi ajaran salah satu agama yang secara khusus diafiliasi menjadi hukum positif di daerah-daerah tertentu. Hal ini tentunya sangat rawan menyebabkan pergesekan ataupun pertikaian, terlebih jika diterapkan di dalam kondisi suatu masyarakat dengan keberagaman agama yang kompleks. Agama yang tidak dipahami secara komprehensif juga akan menimbulkan sikap sektarianisme radikal. Oleh karena itu dalam hal ini diper- lukan penguatan edukasi kebaragaman di institusi Pendidikan dan tokoh masyarakat.

Gereja dalam hal ini secara terbuka dalam pemahaman dan perannya sebagai “civil society.” John Locke dalam Suhelmi mengatakan “civil society” ini untuk mengisi peran gereja dalam masyarakat. Civil society berfungsi untuk mengontrol dan mengawasi peri- laku politik warga yang memiliki kekuasaan mutlak serta menjaga kebebasan warga dan hak-hak individu terlindungi.9 Oleh sebab itu gereja perlu dan terus menyempurnakan konsep civil society ini melalui elemen-elemen dasarnya dari berbagai perspektif seperti tradisi, filsafat, adat istiadat masyarakat, dan agama. Sebagaimana diketahui gereja memi- liki energi doktrinal yang paling sentral dalam mempengaruhi perilaku umat Kristen.

Kehadiran Gereja tidak dapat disangkali harus mewujud dalam suatu budaya.

Karena itu, diperlukan kecermatan untuk membedakan tampilan budaya dan nilai-nilai untuk dihidupi Gereja.10Contoh ini dapat ditemukan pada gereja Perjanjian Baru pada zaman Yesus dan Para Rasul. Pada waktu itu gereja berada dalam konteks dan bersen- tuhan dengan kondisi dan situasi Yudaisme. Hal yang menarik untuk diperhatikan ada- lah bagaimana gereja bersentuhan dengan konteks Yudaisme tersebut sekaligus menam- pilkan kebaharuan yang unik dalam dialognya. Contoh ini penting untuk gereja dapat mengadaptasi bagaimana gereja mula-mula berperan di tengah masyarakat zaman itu.

Demikian halnya, agar Gereja dapat dapat memosisikan diri dan menjalankan perannya dalam konteks kemajemukan, gereja patut terlebih dahulu memahami karakter publik kehadirannya. Bagaimanapun, kehidupan masyarakat mempengaruhi kehidupan Gereja.

“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan gereja. Karena itu, perjumpaan dengan masyarakat yang majemuk harus menunjukkan kualitas hidup Gereja.

Kehadiran gereja yang tergambar dalam dalam kotbah Petrus dalam Kisah Para Rasul menunjukkan peristiwa yang bermakna bagi masyarakat pada masanya. Kerinduan dari segi sosiale-konomi-politik masyarakat bertemu dalam gagasan model gereja mula- mula (Kis. 2:41-47). Gereja memberi ruang yang menyatukan banyak orang dari berbagai bangsa. Untuk mencapai masyarakat yang toleran ini tentunya gereja harus proaktif dalam perannya dalam ruang publik. Sebagai civil society, gereja dapat menjalankan perannya untuk menyuarakan keadilan sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan bersinergi dengan pemerintah dan tokoh masyarakat dan agama untuk melakukan penguatan edukasi keberagaman di institusi Pendidikan dan tokoh masyarakat dan forum-forum

9 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, Dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001).181-182

10 Antonius Denny Firmanto, “Kehadiran Gereja Di Ruang Publik Perspektif Eklesiologis Di Dalam Memandang Keadaan Akhir-Akhir Ini,” in Mengabdi Tuhan Dan Mencintai Liyan: Penghayatan Agama Di Ruang Publik Yang Plural, ed. A. Tjatur Raharso, Paulinus Yan Olla, and Yustinus (Malang:

STFT Widya Sasana, 2017), 272–285.

(5)

Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 5, No 1, Juli 2022

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 5

kerukunan umat. Edukasi keberagaman di institusi Pendidikan berupaya untuk mencegah paham intoleransi dan ekstrimisme di kalangan kaum muda agar tidak menjadi bibit konflik agama masa depan. Sementara itu, edukasi tokoh masyarakat berperan untuk mencegah paham intoleransi bagi masyarakat di lingkungan yang minim akses terhadap institusi Pendidikan formal dan edukasi tokoh agama berperan untuk menyelaraskan pengenalan dan penghargaan nilai-nilai agama melalui dialektika.

Karena itu, gereja perlu untuk menyadari keberadaannya bukan hidup secara teri- solasi. Gereja berdampingan bersama yang lain, sebagaimana gereja mengalami kesela- matan, demikian juga keselamatan itu memiliki sifat komunal. Relasi yang memiliki nilai keselamatan ada dalam kebersamaan hidup. Barangkali sitiran Denny Firmanto terhadap Niebuhr memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai sifat komunal gereja dalam berelasi, manusia adalah dia yang selalu “menanggapi” suatu pengaruh, baik Allah, orang lain, komunitas, tatanan alam atau sejarah, atau pribadi mereka sendiri. Bersama dengan yang lain, manusia mengungkapkan pengenalan mereka tentang Allah.11 Dengan kata lain kebermaknaan Gereja terletak pada besar-kecilnya kehadiran gereja di ruang publik dalam upaya perjuangan bagi keselamatan umat manusia dan bumi yang sedang menderita.

Sebagai pengikut Kristus gereja dapat bercermin dan meneladani Kristus yang dalam totalitas eksistensinya, sebagai firman Allah yang menjadi manusia sekalipun mengalami nasib menjadi korban atas pewartaan Allah yang memerdekakan kemanusia- an dari jerat kerapuhan manusia. Yesus menunjukkan sifat berbela rasa yang terus-mene- rus menjadi karakteristik belas kasihan-Nya kepada orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu gereja perlu terlibat dalam setiap kegiatan-kegiatan positif apakah itu di masyarakat atau di berbagai organisasi masyarakat yang berorientasi pada transformasi masyarakat itu sendiri. Gereja perlu terbuka bagi setiap kelompok sekaligus menjadi teladan dalam tujuan memperjuangkan keberpihakanbagi kaum-kaum yang termarginal- kan, menderita sekaligus mengembangkan solidaritas persaudaraan yang menghimpun serta mengatasi berbagai sekat-sekat sosial dalam masyarakat.

Kehadiran Gereja dalam Ruang Publik

Kehadiran gereja di ruang publik tidak terlepas dari panggilan gereja untuk hadir dan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat.12 Gereja semakin dituntut peran dan sumbangsih positifnya dalam hal keadilan sosial, perdamaian, hak asasi manusia, politik, ekologi, dan masalah kemiskinan.13 Gurning mengutip Clifford Green dan Barth Konsep teologi dalam aspek sosial dan publik sebagai teologi teosentris (kristosentris dan trinita- rian!), sebagaimana Barth menekankan keberadaan gereja ada untuk dunia.14 Dalam pemikiran kedua tokoh di atas, pengharapan akan dunia baru yang akan justru merupa- kan bagian dari tanggung jawab sosial gereja di dunia ini. Eskatologi tidak menjadikan tanggung jawab sosial menjadi tidak relevan.15

11 Ibid.

12 Adrianus Sunarko, “Berteologi Bagi Agama Di Zaman Post-Sekular,” Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara 15, no. 1 (2016): 41–54.

13 Edy J. P. Gurning, “Peran Sosial Gereja Menurut Barth Dan Moltmann [The Social Role of the Church According to Barth and Moltmann],” Diligentia: Journal of Theology and Christian Education 1, no. 1 (September 30, 2019): 41, https://ojs.uph.edu/index.php/DIL/article/view/1898.

14 Ibid.

15 Ibid.

(6)

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 6

Gereja merupakan bagian integral dari sebuah sistem sosial, tetapi hal ini sekaligus menjadi pertanyaan terbuka problem mendasar gereja-gereja dalam posisi dan perannya tampaknya terjebak dalam privatisasi dan marginalisasi agama. Kebanyakan Gereja- gereja cenderung institusi introvert dan terasing dari dinamika di luar organisasinya.16 Sementara adagium yang cukup dikenal dari para reformator berbunyi “Ecclesia reformata semper reformanda est” Gereja yang membaharui masyrakat senantiasa mem- baharui diri. Yahya Wijaya mengingatkan tanggungjawab sosial gereja untuk memelihara kerjasama dalam membangun masyarakat. Gereja terpanggil menyuarakan kabar baik di ruang publik untuk membuat kehidupan itu semakin bermartabat.17Menurut Balasuriya, gereja telah bersifat publik sejak kemunculannya, saat para Rasul menerima pencurahan Roh Kudus, mereka bertindak demi transformasi sosial.18 Lebih jauh lagi Dyrness menegaskan orang Kristen terlibat dalam pemecahan masalah-masalah kemanusiaan.19 Menyimpulkan tanggung jawab sosial di atas, Singgih mengatakan, wujud gereja di masa depan adalah membawa warna moral di dalam masyarakat dengan bertindak dalam ruang publik menentang berbagai ketidakadilan.20

Jadi, Gereja memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan publik. Sifat misioner dan dialogis gereja adalah sifat persahabatannya untuk membicarakan, memperhatikan dan menjawab persoalan-persoalan dalam kehidupan bermasyarakat. Gereja harus res- ponsif terhadap perihal kemanusiaan di ruang publik. Gurning menyitir Barth, sebagai civil society, Gereja juga harus ikut memberikan dorongan kepada negara karena dengan dirinya sendiri, negara tidak berdaya untuk bergerak maju mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah. Hal ini dilakukan gereja supaya negara yang adil dapat bereksistensi sebagai perumpamaan, kiasan, dan analogi dari Kerajaan Allah yang gereja percayai dan beritakan.21 Menurut Barth, gereja dan negara mempunyai kesatuan dalam hal dasar dan tujuan. Baik gereja maupun negara sama-sama berada di bawah ketuhanan Kristus dan keduanya ada untuk tujuan melayani karya Kristus di bumi supaya Kerajaan Allah hadir di bumi seperti di sorga.22 Kemudian untuk berkorespondensi pada pemaparan di atas, diajukan pertanyaan, peran sosial seperti apa yang sebaiknya diambil oleh gereja untuk mewujudkan nilai-nilai transformasi di ruang publik?

Dalam pendapat Gurning ada tiga peran utama gereja di ruang publik, pertama adalah pemberitaan Injil. Injil bukan hanya sekedar pemberitaan kabar baik, tetapi gereja perlu membicarakan persoalan-persoalan politis. Kedua, gereja menyuarakan pesan kenabian dalam tujuan mengusahakan kemerdekaan, perdamaian, dan perikemanusiaan.

Gereja tidak dimaksudkan untuk mengambil tugas yang dijalankan oleh pemerintah namun gereja harus memperdengarkan suaranya berkenaan dengan situasi-siatuasi poli-

16 Ronald Helweldery, “Gereja Dalam Konteks Relasi Negara Dan Masyarakat (Sebuah Upaya Memahami Reposisi Peran Politis Gereja),” WASKITA, Jurnal Studi Agama dan Masyarkat 2, no. 2 (2014):

123–145.

17 Yahya Wijaya, Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian: Menjadi Gereja Bagi Sesama, ed.

Supriatno, Daryatno, and Onesimus Dani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).71-73

18 Tissa Balasuriya, Teologi Siarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997).254

19 William A Dyrness, Agar Bumi Bersukacita (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001).10

20 Emanuel Gerrit Singgih, “Adakah Tempat Baginya Di Asia? Statistik Dan Penentuan Lokasi Christendom,” Gema Teologi 32, no. 1 (2008).41-42

21 Gurning, “Peran Sosial Gereja Menurut Barth Dan Moltmann [The Social Role of the Church According to Barth and Moltmann].”

22 Ibid.

(7)

Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 5, No 1, Juli 2022

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 7

tik yang penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan tujuan berbakti kepada negara dan ketundukan kepada Kristus.Ketiga, gereja harus menjadi model atau teladan.23 Gereja tidak bisa mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri atau hanya sekedar memperjuangkan agendanya, dan orang-orangnya. Gereja yang hanya berdam- pak hanya dalam lingkungan sendiri tapi nihil mendemonstrasikan keunggulan Injil akan menjadi batu sandungan di ruang publik. Oleh karena itu gereja-gereja perlu bersehati untuk mewujudkan peran prefetis gereja yang memang adalah bagian dari tanggunjawab gereja di dunia.

Misi yang Harmonis dan Transformasional dalam Konteks Kemajemukan

Tidak dapat disangkali bahwa kemajemukan adalah misteri Allah dalam gambaran besar yang tidak terbayangkan. Indonesia memiliki keunikan dalam keragaman agama dan budayanya. Qurtuby dalam Jhon Leonardo menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling plural di dunia.24 Hidup dalam konteks multi-agama dan multi- budaya, gereja perlu temukan cara baru untuk menjadi gereja dan mewartakan Injil.

Ketika Gereja menginjili di dunia nyata yang terus berubah, penekanan dalam kegiatan gereja juga berubah seiring waktu. Ketika zaman terus berkembang dan tidak dapat ditarik ke belakang maka Gereja perlu mengukur luang lingkup perubahan yang diperlukan untuk kepentingan aktualisasi pewartaan Injil. Misi Tuhan tidak pernah salah.

Tetapi cara dan metode dalam melakukan misi Tuhan mungkin salah. Gereja perlu memahami pentingnya konteks di mana gereja berdiri hari ini, karena jika metode atau cara penginjilan salah, Kekristenan akan dianggap aneh di Indonesia. Oleh karena itu konteks menjadi hal yang tidak dapat ditawar.

Dalam konteks multi-agama di Indonesia, misi memiliki proses ganda yang saling melengkapi: Persekutuan dengan Kristus, di mana Gereja dan orang-orang dari keperca- yaan dan ideologi yang berbeda berbagi pengalaman mereka tentang nilai-nilai tertinggi mereka, dan pertukaran praksis kepedulian dan kepedulian persaudaraan dalam bentuk nyata, ketika mereka berjuang bersama dan bekerja sama satu sama lain untuk tujuan bersama, yaitu lebih penuh dan kehidupan manusia yang otentik. Jadi kita perlu meng- hormati pemeluk agama lain sebagai sesama peziarah. Dalam tulisannya, Thomas meng- usulkan misi yang sesuai dengan konteks kemajemukan, “misi kristiani lebih baik disebut missio intergentes (misi antarumat) daripada missio ad gentes” (misi kepada umat).25

Gereja-gereja di Indonesia perlu memperhatikan dari Cakrawala Baru Misi: Konteks Multi-Agama. Panggilan gereja lebih relevan menuju sintesis yang hidup dari spiritualitas antar-agama untuk tatanan sosial manusia. Melalui cakrawala semacam ini gereja diper- hadapkan dengan persekutuan baru yang lebih maju untuk menyongsong masa yang akan datang. Konteks ini juga dapat dibandingkan dalam ulasan Widjaja dkk terkait perspektif misiologi dalam konteks Korea Utara Widjaja dkk yang mengatakan peluang misi tetap dapat disampaikan dalam lingkup kesetaraan hidup pada aspek spiritual, fisik

23 Ibid.

24 Jhon Leonardo Presley Purba, “Peran Gereja Dan Hamba Tuhan Dalam Menghadapi Perilaku Intoleransi Dan Fundamentalis,” Apostolos: Journal of Theology and Christian Education 1, no. 1 (May 2, 2021): 22–33, https://ejournal.staknkupang.ac.id/ojs/index.php/apos/article/view/10.

25 Joy Thomas, “Mission in the Asian Multi-Religious Context,” Revista Pistis Praxis 10, no. 3 (December 18, 2018): 525–550, https://periodicos.pucpr.br/index.php/pistispraxis/article/view/24507.

(8)

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 8

dan sosial.26 Perspektif ini sangat dekat dengan gambaran misi holistik dalam Perjanjian Baru.

Dalam Perjanjian Baru, misi digambarkan secara holistik, misi Allah terwakilkan dalam Matius 23:23 yaitu: keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. Hal ini memiliki hubu- ngan yang erat dengan pelayanan Yesus seperti: memberitakan kabar baik kepada orang miskin, memproklamasikan pembebasan kepada tawanan, memulihkan penglihatan orang buta, membebaskan yang tertindas, menyatakan kedatangan tahun rahmat Tuhan (Lu. 4:18-19). Sebagaimana Jacque Mathhey berkata, “misi dalam perspektif pemerintahan Allah termasuk menempatkan orang-orang miskin, diabaikan, dan hina di atas kaki mereka kembali sebagai orang yang telah pulih di hadapan Allah dan umat manusia sepenuhnya kemanusiaan mereka.27

Di antara semua negara Asia, Indonesia memiliki posisi yang sangat terbuka untuk menghadapi tantangan mengembangkan teologi agama-agama baru, karena semua Agama-Agama utama Dunia ada di Indonesia secara berdampingan selama berabad- abad. Kerukunan dan persaudaraan antarumat beragama selalu menjadi bagian dari spirit Indonesia yang dikenal dengan istilah “Bhinneka Tunggal Ika”. Hingga saat ini kemaje- mukan di Indonesia masih dapat dikatakan harmonis, terlepas dari seluruh dinamika dan proses perjalanan bangsa ini.

Dalam kemajemukan gereja-gereja dapat mempertimbangkan cakrawala misi yang baru yang lebih tepatnya dapat dikatakan sebagai pengalaman misi yang membebaskan bagi para misionaris untuk tidak terikat pada institusi dengan tujuan meningkatkan jumlah anggota baru gereja. Misi yang dilakukan dalam gambaran seperti ini justru lebih mrip dengan tindakan proselitisasi ketimbang misi. Artinya misi ini diorietasikan pada individu atau orang khususnya kepada komunitas masyarakat yang terabaikan.

Sebagaimana dalam Kisah Para Rasul pemberitaan amanat agung Tuhan Yesus, diimplementasikan melalui pemuridan, oleh karena itu gereja-gereja di Indonesia perlu, pertama: sadar untuk menata gereja gereja kembali menjadi komunitas para murid Yesus daripada sekedar sentral ritualistik semata, mempertimbangkan secara serius realitas sosial, politik, agama, budaya dan ekonomi Indonesia. Thomas mengusulkan pertimba- ngan misi yang dikaitkan dalam konteks kemajemukan dan tantangan dunia postmodern hari ini. Misi direvitalisasi dengan mempertimbangkan misi yang direposisi ke dalam upaya-upaya seperti hidup bersama, dialog, dan kolaborasi melalui berbagai sektor seperti: (1) budaya. Budaya saat ini dicirikan oleh berbagai elemen dunia global modern yang berkembang pesat, (2) sektor sosial. Di dalam sektor kita harus sangat menyadari realitas migrasi, (3) sarana komunikasi sosial. Ini menentukan nilai-nilai moral dan buda- ya masyarakat manusia, (4) ekonomi. Nilai-nilai moral keadilan, kesetaraan dan penghor- matan terhadap kehidupan manusia harus ditanamkan ke dalam setiap bidang ekonomi, (5) penelitian ilmiah dan teknologi. Dua sektor ini menjadi idola baru hari ini. Dalam dunia yang terdigitalisasi dan terglobalisasi, sains dapat dengan mudah dianggap sebagai agama baru, (6) kehidupan sipil dan politik. Dalam berbagai situasi dunia yang berubah.28

26 Fransiskus I Widjaja et al., “The Religious Phenomenon of Juche Ideology as a Political Tool,”

HTS Theological Studies 77, no. 4 (2021): 1–7,

http://www.scielo.org.za/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0259-94222021000400040&nrm=iso.

27 D.J. Bosch, Transforming Mission, Paradigm Shifts in Theology of Mission (New York: Orbit Books, 1991).34

28 Thomas, “Mission in the Asian Multi-Religious Context.”

(9)

Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 5, No 1, Juli 2022

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 9

Paradigma misi yang demikian berpeluang dalam tujuan yang bersifat rekonsiliatif, transformatif dan harmonis.

Paradigma misi Kristen seperti ini akan dapat menjawab persoalan bagaimana orang-orang dari komunitas yang berbeda dapat hidup bersama dan membangun jembatan menuju masyarakat cinta, keadilan dan harmoni. Orang Kristen perlu membuktikan bahwa mereka adalah pengikut Yesus dengan berjuang untuk persatuan di tengah keragaman seperti yang dilakukan Yesus (Yohanes 17).

Praksis Misi Transformatif dalam Konteks Kemajemukan

Gereja perlu memahami praksis yang terhubung dengan kehidupan dan pengala- man Abraham. Abraham seolah-olah diarahkan berada di daerah perbatasan. Abraham tidak berada di Ur maupun Abraham seolah sudah mapan berada d tanah Kanaan. Ini merupakang benang merah yang penting untuk gereja memahami praksis misi tidak mungkin menjadi efektif sebagai gereja tanpa melintasi batas kenyamanan, budaya, dan kemudahan.

Sederhananya nilai kehidupan Abraham jelas tampak jelas tidak hanya terarah kepada Tuhan, melainkan juga kepada yang lain. Hal ini dapat dilihat dari keramahan Abraham yang yang dinarasikan dalam kitab Kejadian. Abraham menjamu tiga tamu asing seolah-olah seperti menjamu Tuhan (Kej.18:2). Hal ini setepatnya, digambarkan oleh Ephraim Meir dalam Adiprasetya sebagai persahabatan dengan orang asing, Allah sebagai “Diri-liyan terhubung dengan ciptaan secara bermakna.29 Relasi Abraham dengan Allah searah dengan hopitalitasnya dengan yang lain, bahkan hal itu jelas dalam hubungan Abraham dan Lot. Abraham menawarkan Lot pilihan pertama, ia membiarkan Lot memilih tempat yang subur, sementara ia sendiri memperoleh sisanya, Abraham bukan hanya bermurah hati, bahkan ia membangun kepercayaan dengan Lot (Kej. 13:9- 12). Kepedulian Abraham kepada Lot berlanjut, tatkala Tuhan beriktiar meluluhlan- takkan Sodom dan Gomora di mana Lot berada. Ia bahkan bersyafaat bagi Sodom dan Gomora, meskipun para penduduk Sodom dan Gomora adalah orang asing, dan ia tidak tinggal disana atau terkait dengan mereka. Ia memiliki kasih, kepedulian terhadap mereka (Kej. 18:23-33).

Di dalam peristiwa lain, dalam konflik terkait sumur, Abraham justru menyele- saikan konflik tersebut dengan meningkatkan hubungan antara dirinya dan Abimelekh (Kej. 21:25-32). Dengan demikian, ia memelihara hubungan baik dengan semua orang yang terlibat di mana ia berada. Abraham menunjukkan bahwa kemurahan hati dan keramahan yang tertuju kepada Tuhan dan kemanusiaan. Hal ini membuktikan nilai praksis kehidupan Abraham merupakan perjalanan kedewasaan Abraham dalam tinda- kan cinta, persahabatan, kasih sayang, dan keterlibatan sosial sebagai dasar kemanusiaan dalam kemurahan hati, keramahan, serta kepedulian kepada yang lain.

Dengan menyelami realitas kehidupan Abraham, tampaknya gereja telah tiba pada proyeksi Janji Tuhan mengenai Abraham dan bangsa-bangsa, sekaligus membuat Abraham terhubung secara lebih luas, dengan tujuan kosmik Tuhan sebagai berkat bagi semua bangsa (Kej. 12:3). Praksis misi ini menjadi sebuah kontinuitas Perjanjian Allah bagi Abraham dan kemanusiaan yang merentang melalui keluarga, seisi rumah, serta

29 Joas Adiprasetya, Gereja Pascapandemi: Merengkuh Kerapuhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021).56

(10)

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 10

komunitasnya. Inilah pengharapan Abraham yang mengikat jauh dari masa depan, melampaui batas-batas gegrafis, perbedaan, kemajemukan.

Dengan demikian, dapat dikatakan, praksis misi sedemikian berfungsi secara misio- nal dan partisipatif, mencapai tujuan yang lebih tinggi, menuju re-orientasi God-human relationship yang yang terdistorsi dalam jerat dosa. Gambaran ini bukan hanya sekadar mewujud dalam visi yang jauh ke depan, melainkan suatu tindakan restorasi virtue ilahi dalam relasi dunia yang gagal.

KESIMPULAN

Berdasarkan seluruh pemaparan di atas perlu disimpulkan beberapa point penting untuk gereja benar-benar dapat merengkuh pluralitas tanpa kehilangan spirit misioner- nya. Pertama, panggilan gereja harus diaktulisasikan dalam ruang publik. Gereja harus terbuka bagi semua kelompok dalam hal berbela rasa. Kedua, Gereja proaktif melakukan perannya dalam ruang publik, memberitakan Injil yang konstekstual dengan aspek yang holistik, menyuarakan kenabian dan mengusahakan kemerdekaan, perdamaian, dan perikemanusiaan. Ketiga, gereja terus mengembangkan cakrawala misi yang baru dalam konteks kemajemukan menuju sintesis yang hidup dari spiritualitas antar-agama untuk tatanan sosial manusia. Keempat, dengan berefleksi dari kehidupan dan pengalaman Abraham di tengah-tengah perbatasan, gereja dapat memproyeksikan dan mengembang- kan praksis misi di tengah kemajemukan. Sebagai penutup misi harus berkelindan men- transformasi berbagai sektor seperti keluarga, komunitas, budaya, sosial, komunikasi sosial, ekonomi, penelitian ilmiah dan teknologi, kehidupan sipil dan politik.

REFERENSI

Adiprasetya, Joas. Gereja Pascapandemi: Merengkuh Kerapuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021.

Balasuriya, Tissa. Teologi Siarah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.

Bosch, D.J. Transforming Mission, Paradigm Shifts in Theology of Mission. New York: Orbit Books, 1991.

Dyrness, William A. Agar Bumi Bersukacita. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Firmanto, Antonius Denny. “Kehadiran Gereja Di Ruang Publik Perspektif Eklesiologis Di Dalam Memandang Keadaan Akhir-Akhir Ini.” In Mengabdi Tuhan Dan Mencintai Liyan: Penghayatan Agama Di Ruang Publik Yang Plural, edited by A. Tjatur Raharso, Paulinus Yan Olla, and Yustinus, 272–285. Malang: STFT Widya Sasana, 2017.

Gaurifa, Suardin. “Jurnal Ilmiah Untuk Karya Tulis Teologi.” In Strategi Menulis Jurnal Untuk Ilmu Teologi. Semarang: Golden Gate Publishing, 2020.

Gurning, Edy J. P. “Peran Sosial Gereja Menurut Barth Dan Moltmann [The Social Role of the Church According to Barth and Moltmann].” Diligentia: Journal of Theology and Christian Education 1, no. 1 (September 30, 2019): 41.

https://ojs.uph.edu/index.php/DIL/article/view/1898.

Helweldery, Ronald. “Gereja Dalam Konteks Relasi Negara Dan Masyarakat (Sebuah Upaya Memahami Reposisi Peran Politis Gereja).” WASKITA, Jurnal Studi Agama dan Masyarkat 2, no. 2 (2014): 123–145.

Mangantibe, Veydy Yanto, and Mario Chlief Taliwuna. “Toleransi Beragama Sebagai Pendekatan Misi Kristen Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Religiosity Entity Humanity

(11)

Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 5, No 1, Juli 2022

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 11

(JIREH) 3, no. 1 (June 18, 2021): 33–47. https://ojs- jireh.org/index.php/jireh/article/view/56.

Marta, Bob. “Konflik Agama Dan Krisis Intoleransi: Tantangan Atau Mimpi Buruk

Keberagaman Indonesia?” Pusat Studi Kemanusiaan Dan Pembangunan. Last modified 2020. http://www.pskp.or.id/2020/08/06/konflik-agama-dan-krisis-intoleransi-

tantangan-atau-mimpi-buruk-keberagaman-indonesia/.

Purba, Jhon Leonardo Presley. “Peran Gereja Dan Hamba Tuhan Dalam Menghadapi Perilaku Intoleransi Dan Fundamentalis.” Apostolos: Journal of Theology and Christian Education 1, no. 1 (May 2, 2021): 22–33.

https://ejournal.staknkupang.ac.id/ojs/index.php/apos/article/view/10.

Simanjuntak, Fredy, Alexander Djuang Papay, Ardianto Lahagu, Rita Evimalinda, and Yusak Hentrias Ferry. “Refleksi Konseptual Misi Yesus Melalui Keramahan Gereja Di Indonesia.” KURIOS 7, no. 2 (October 7, 2021): 259. https://www.sttpb.ac.id/e- journal/index.php/kurios/article/view/329.

Singgih, Emanuel Gerrit. “Adakah Tempat Baginya Di Asia? Statistik Dan Penentuan Lokasi Christendom.” Gema Teologi 32, no. 1 (2008).

Stevanus, Kalis, and Yunianto Yunianto. “Misi Gereja Dalam Realitas Sosial Indonesia Masa Kini.” HARVESTER: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen 6, no. 1 (June 15, 2021): 55–67. http://e-

journal.sttharvestsemarang.ac.id/index.php/harvester/article/view/61.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, Dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Sunarko, Adrianus. “Berteologi Bagi Agama Di Zaman Post-Sekular.” Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara 15, no. 1 (2016): 41–54.

Thomas, Joy. “Mission in the Asian Multi-Religious Context.” Revista Pistis Praxis 10, no. 3 (December 18, 2018): 525–550.

https://periodicos.pucpr.br/index.php/pistispraxis/article/view/24507.

Timo, Ebenhaizer I. Nuban. Gereja Lintas Agama: Pemikiran-Pemikiran Bagi. Pembaharuan Kekristenan Di Asia. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2013.

Widjaja, Fransiskus I, Noh I Boiliu, Irfan F Simanjuntak, Joni M P Gultom, and Fredy Simanjuntak. “The Religious Phenomenon of Juche Ideology as a Political Tool.”

HTS Theological Studies 77, no. 4 (2021): 1–7.

http://www.scielo.org.za/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0259- 94222021000400040&nrm=iso.

Widjaja, Fransiskus Irwan. “Pluralitas Dan Tantangan Misi : Kerangka Konseptual Untuk Pendidikan Agama.” Regula Fidei: Jurnal Pendidikan Agama Kristen 4, no. 1 (2019): 1–

13.

Widjaja, Fransiskus Irwan, Fredy Simanjuntak, and Noh Ibrahim Boiliu. “Repositioning Mission in Postmodern Culture.” In Proceedings of the 1st International Conference on Education, Society, Economy, Humanity and Environment (ICESHE 2019). Paris, France:

Atlantis Press, 2020. https://www.atlantis-press.com/article/125936174.

Wijaya, Yahya. Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian: Menjadi Gereja Bagi Sesama.

Edited by Supriatno, Daryatno, and Onesimus Dani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut arti dari tata bahasanya, kata dalam bahasa Mandarin dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kata konkrit/ 实词 (kata yang mempunyai arti yang konkrit dan dapat berdiri

DALAM KONTEKS INDONESIA, ISTILAH ISLAM TRANSNASIONAL MERUJUK PADA IDEOLOGI KEAGAMAAN LINTAS NEGARA YANG SENGAJA DIIMPOR DARI LUAR DAN DIKEMBANGKAN DI INDONESIA YANG MEMBAWA

Sambung nyawa mengandung senyawa kimia, seperti flavonoid, sterol tak jenuh, triterpenoid, polifenol, saponin, steroid, asam klorogenat, asam kafeat, asam vanilat,

Bagi Gereja-gereja di Indonesia, paradigma misi ekumenis adalah paradigma misi yang relevan bukan hanya karena sebagian besar Gereja-gereja Indonesia menjadi

gereja adalah persekutuan orang-orang kudus, yaitu persekutuan orang-orang yang menjadi suci kembali di hadapan Allah oleh karena perbuatan Tuhan Yesus Kristus.”

Adobe Flash CS3 merupakan sarana untuk merancang animasi, Flash juga memilki sarana image editing program, kebanyakan dari sarana yang tersedia pada flash adalah untuk membuat gambar

Tugas dan tanggung jawab :.. a) Melaksanakan standar pelaksanaan pengujian terhadap hasil produksi tusuk kontak, kabel dan hasil braider serta material yang datang

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu ada hubungan yang positif dan signifikan antara penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada