• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK PEMBANGUNAN AL JAM IYATUL WASHLIYAH IDEOLOGI, STRATEGI DAN PENCAPAIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "POLITIK PEMBANGUNAN AL JAM IYATUL WASHLIYAH IDEOLOGI, STRATEGI DAN PENCAPAIAN"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK PEMBANGUNAN AL JAM’IYATUL WASHLIYAH IDEOLOGI, STRATEGI DAN PENCAPAIAN

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Studi Pembangunan Pada Program Studi Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Dengan Wibawa Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

Dipertahankan pada Tanggal 31 Januari 2019 di Medan Sumatera Utara

DEDI ISKANDAR BATUBARA NIM: 128122004

PROGRAM DOKTOR STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(2)
(3)

Telah Diuji pada Ujian Terbuka (Promosi Doktor) Tanggal 31 Januari 2019

Panitia Penguji Disertasi:

Pimpinan Sidang : Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum Ketua : Prof. Subhilhar, MA, Ph.D Anggota : Amir Purba, MA, Ph.D

Heri Kusmanto, MA, Ph.D Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA

Warjio, MA, Ph.D

Prof. Dr. Hasan Bakti Nasution, MA

Dengan Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara Nomor: 1951/UN5.1.R/SK/SSA/2018

Tanggal 03 Oktober 2018

(4)

ABSTRAK

POLITIK PEMBANGUNAN AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH IDEOLOGI, STRATEGI DAN PENCAPAIAN

Oleh: Dedi Iskandar Batubara e-mail: dediiskandarbatubara@gmail.com

Prof. Subhilhar, M.A., Ph.D (Promotor) Heri Kusmanto, M.A., Ph.D (Ko-Promotor)

Amir Purba, M.A., Ph.D (Ko-Promotor)

Al Jam’iyatul Washliyah yang lebih dikenal dengan sebutan Al Jam’iyatul Washliyah lahir 1930 ketika bangsa Indonesia masih dalam penjajahan Hindia Belanda (NederlandsIndie), sehingga beberapa pendiri Al Jam’iyatul Washliyah ketika itu turut pula berperang melawan penjajah Belanda. Setelah kemerdekaan, Al Jam’iyatul Washliyah merupakan satu dari sekian banyak ormas yang selalu siap untuk mengisi kemerdekaan dengan baik melalui dakwah, pendidikan, sosial, pergerakan, perdagangan dan lain sebagainya bersama kelompok organisasi lain.

Selama kurun waktu 56 tahun Al Jam’iyatul Washliyah memusatkan kegiatan sebagai Masyarakat Sipil (1930-1986) di Kota Medan dan baru kemudian di tahun 1987 pindah ke Jakarta perpindahan tersebut merupakan pengejewantahan regulasi rezim masa Orde Baru, ada beberapa hal penting yang menjadi fokus utama Al Jam’iyatul Washliyah menyikapi peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat terhadap masyarakat sipil di Indonesia yaitu pemindahan pimpinan sebuah organisasi ke Jakarta dengan kejadian tersebut internal Al Jam’iyatul Washliyah merasa banyak yang dikorbankan salah satunya adanya memilih pemimpin yang siap menjadi pioner di Jakarta sebagai perumus kebutuhan yang berkaitan dengan ketentuan pemerintah, kedua adalah menyangkut masalah asas pendirian Al Jam’iyatul Washliyah yang di bentuk di Sumatera Utara, Kota Medan dengan mengedepankan bahwa Al Jam’iyatul Washliyah adalah disematkan di Medan dan akan terus berkembang. Ketiga, Al Jam’iyatul Washliyah merasa tidak yakin dengan kekuatan yang telah dimiliki apabila pindah ke ibu kota negara.

Disertasi ini akan membahas politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah, ideologi, strategi, dan pencapaiannya dalam konstruk pembangunan Islam, dalam penyusunan politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah. Selanjutnya bagaimanakah strategi Al Jam’iyatul Washliyah menjalankan organisasinya hingga dapat bertahan?

Benarkah Al Jam’iyatul Washliyah konsisten menggunakan konsep politik pembangunan Islam dalam membangun organisasinya. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa harus politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah yang diteliti karena menurut penulis, sekarang adalah momentum yang tepat untuk mengetahui tentang model politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah sebagai modal melangkah menuju pembangunan organisasi yang lebih modern dan maju. Mengetahui politik pembangunan ideologi dan Strategi yang dilakukan Al Jam’iyatul Washliyah setelah ditetapkannya pemberlakuan asas tunggal Pancasila melalui UU No. 8 tahun 1985 dan perpindahan kedudukan organisasi dari Medan ke Jakarta.

Kata Kunci: Politik Pembangunan, Masyarakat Sipil/Ormas Islam, Al Jam’iyatul Washliyah

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah segala puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan Disertasi dengan judul POLITIK PEMBANGUNAN AL WASHLIYAH : IDEOLOGI, STRATEGI DAN PENCAPAIAN

Pada prinsipnya bahwa Penelitian ini telah berupaya dan berusaha dengan segala kemampuan yang ada, dan menyadari dalam penulisan Disertasi ini banyak pihak yang telah membantu, oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos. M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas kepada peneliti dalam menyelesaikan Disertasi.

3. Bapak Prof. Subhilhar, MA., Ph.D selaku Promotor yang selalu sabar dalam membimbing dan mengarahkan peneliti dalam penulisan Disertasi ini sehingga dapat terlaksana dengan baik.

4. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution., MA selaku Ko-Promotor yang selalu meluangkan waktu dalam membimbing dan memberi masukan kepada peneliti dalam penulisan Disertasi ini.

5. Bapak Warjio, MA, Ph.D selaku Ko-Promotor yang selalu memberikan dukungan moril dalam membimbing dan selalu terbuka dalam berdiskusi dengan peneliti dalam penulisan Disertasi ini.

(7)

6. Bapak Heri Kusmanto, MA., Ph.D selaku Ko-Promotor yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingan serta arahan dalam perkuliahan maupun dalam penyusunan Disertasi kepada peneliti.

7. Bapak Amir Purba, MA, Ph.D selaku Ko-Promotor yang juga memberikan ilmu dan bimbingan serta dukungan moril kepada peneliti dalam perkuliahan maupun dalam penyusunan Disertasi.

8. Bapak Prof. Dr. Hasan Bakti Nasution, MA yang juga memberikan ilmu dan bimbingan serta dukungan moril kepada peneliti dalam perkuliahan maupun dalam penyusunan Disertasi.

9. Bapak dan Ibu Dosen/Pengajar pada Program Doktor Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara yang selalu siap dan aktif memberikan bimbingan moral dan moril serta ilmu pengetahuan serta wawasan yang sangat bermanfaat kepada peneliti.

10. Keluarga Besar Program Doktor Studi Pembangunan atas diskusi-diskusinya dan juga rekan-rekan yang berada di Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) yang tidak dapat saya sebut satu persatu.

11. Kedua orang tua tersayang ayahanda Busron Batubara dan ibunda Yurlis yang selalu memberikan dukungan moril dan materil serta bimbingan kepada peneliti dalam menyelesaikan perkuliahan dan penulisan Disertasi ini.

12. Istri tercinta Zubaidah Khan, MA yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada peneliti dalam menyelesaikan penulisan Disertasi ini. Serta ketiga putri tercinta Nayla Azmina Zuhdi Batubara, Zaara Shafina Batubara, Zahwa Qaysara Zuhdi Batubara.

13. Adik-adik saya Rusdianto Batubara, Siti Fatimah Batubara, Zulham Batubara dan Islamuddin Batubara atas dukungannya.

(8)

14. Abangda H. Yuslin Siregar yang senantiasa memberikan bantuan dan motivasi sejak awal perkuliahan hingga penyelesaian Disertasi ini.

15. Sahabat-sahabat yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu secara keseluruhan telah banyak membantu penyelesaian Disertasi ini.

Peneliti menyadari bahwa Disertasi ini belumlah sempurna masih banyak kekurangan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati peneliti memohon saran yang sifatnya membangun intelektualitas untuk perbaikan Disertasi ini, sehingga Disertasi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dengan ketulusan hati dan doa dari hati yang paling dalam semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatian kepada peneliti dan setiap kebaikan semua pihak mendapat berkah dari-Nya. AMIN...

Medan, Oktober 2018 Penulis,

Dedi Iskandar Batubara

(9)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

H. Dedi Iskandar Batubara, S.Sos., S.H., MSP, Lahir di Siligawan Gadang. Pada tanggal 17 Maret 1979 Alamat Jln. Garu II Gg. Saribunga No. 68 C RT beliau memiliki seorang Istri yang bernama Zubaidah Khan, M.A dan telah memiliki 3 (tiga) orang putri Nayla Azmina Zuhdi Batubara, Zaara Shafina Batubara, Zahwa Qaysara Zuhdi Batubara.

Menyelesaikan Pendidikan SD Al Jam’iyatul Washliyah Jln. Bromo Gg. Aman Medan pada tahun 1991 kemudian pada tahun 1994 melanjutkan pendidikan MTs.

Pondok Pesantren Modern Aziddin Medan, kemudian pada tahun 1997 beliau masuk pada sekolah MAS. Ex PGA Proyek UNIVA Medan, selanjutnya pada tahun 2006 beliau melanjutkan ke Pendidikan Tinggi pada FISIP Universitas Medan Area. Pada tahun 2006 mengambil perkuliahan pada Fakultas Hukum UNIVA Medan, kemudian pada tahun 2010 meneruskan pendidikan Magister pada Studi Pembangunan FISIP USU Medan.

Dedi Iskandar Batubara aktif dalam berorganisasi 2011-2014 Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia Sumatera Utara (DPD KNPI SUMUT) (Sekretaris), kemudian pada tahun 2012-2016 beliau sebagai (Wakil Ketua) Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Al Jam’iyatul Washliyah (GPA) Sumatera Utara, tahun 2012-2017 beliau menjadi Anggota di Dewan Pendidikan Provinsi Sumatera Utara. Selain aktif didalam berorganisasi beliau juga sangat menekuni perkerjaan yang dimulai dari sebagai Staf Tata MAS Ex PGA Proyek UNIVA Medan pada tahun 1997-1998 selanjutnya pada tahun 1998-2004 sebagai Wiraswasta pada bulan November 2004 - Februari 2005 sebagai staf di DPRD Provinsi Sumatera Utara, kemudian pada bulan Februari 2005 - November 2005 sebagai Asisten Anggota DPD/MPR RI (Alm. Drs. H. Abdul Halim Harahap), pada tahun 2006-2014 bekerja sebagai staf di CV. Vida Insani di Medan, pada bulan Juli 2012 - sekarang sebagai Dosen di UMN Al Jam’iyatul Washliyah, selanjutnya pada tahun 2014 - sekarang Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Asal Provinsi Sumatera Utara.

(10)

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Dedi Iskandar Batubara

NPM : 128122004

Program Studi : Program Doktor (S3) Studi Pembangunan Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul “POLITIK

PEMBANGUNAN AL JAM’IYATUL WASHLIYAH: IDEOLOGI,

STRATEGI DAN PENCAPAIAN” adalah asli karya saya sendiri bebas plagiat. Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti dan terdapat plagiat dalam karya tersebut, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, Oktober 2018 Penulis,

Dedi Iskandar Batubara

(11)

DAFTRAR ISI

Abstrak

Kata Pengantar... (i)

Riwayat Hidup Penulis... (iv)

Pernyataan... (v)

Daftar Isi... (vi)

Daftar Tabel……... (ix)

Daftar Gambar... (x)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Fokus Masalah... 17

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian... 17

1.3.1. Tujuan Penelitian... 1.3.2. Manfaat Penelitian... 17

1.3.2.1. Manfaat Teoritis... 17

1.3.2.2. Manfaat Praktis... 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Politik Dalam Pandangan Islam... 19

2.2. Pembangunan Dalam Pandangan Islam... 22

2.3. Politik Pembangunan Islam... 23

2.3.1. Tahapan Politik Pembangunan Islam... 26

2.4. Politik Pembangunan... 27

2.4.1. Perspektif Politik Pembangunan... 31

(12)

2.4.2. Kontruksi Ideologi Politik Islam... 38

2.4.3.Strategi politik pembangunan ... 40

2.4.4. Politik Identitas dan Islam... 43

2.5. Penelitian Terdahulu... 45

2.5. Kerangka Berfikir... 69

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... 70

3.2. Defenisi Konsep... 72

3.3. Lokasi Penelitian... 73

3.4. Informan Kunci... 73

3.5. Sumber Data... 74

3.6. Teknik Pengumpulan Data... 74

3.7. Metode Analisa Data... 76

3.8. Waktu Penelitian... 78

3.9. Desain Penelitian... 79

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sejarah Al Jam’iyatul Washliyah... 80

4.1.1. Visi dan Misi Al Jam’iyatul Washliyah... 81

4.2. Kondisi Kaderisasi Al Jam’iyatul Washliyah... 87

4.3. Kondisi Organisasi Al Jam’iyatul Washliyah……... 89

4.4. Ideologi sebagai identitas politik Pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah ……….……….. 91

4.5. Strategi Politik Pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah………. 109

4.5.1. Kiprah Al Jam’iyatul Washliyah Dalam Pembangunan Islam... 128

4.6. Pencapaian Pembangunan Islam Al Jam’iyatul Washliyah... 132

(13)

4.7. Pengaruh Asas Tunggal Pancasila terhadap Politik Pembangunan Al

Jam’iyatul Washliyah... 137 4.8. Peranan Al Jam’iyatul Washliyah Terhadap Politik Nasional... 146 4.7. Novelthy... 157 BAB V PENUTUP

5.1. KESIMPULAN... 159 5.2. SARAN... 160 DAFTAR PUSTAKA... 161

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel I Organisasi Islam Sebelum Kemerdekaan……... 5 Tabel II Jumlah asset PB Al Jam’iyatul Washliyah……... 135

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.3 Lima Dasar Politik Pembangunan Islam………... 25

Gambar 2.4 Alur Konsep Politik Pembangunan……... 28

Gambar 2.4.1 Dua Perspektif Politik Pembangunan…... 32

Gambar 2.6 Kerangka Berpikir... 69

Gambar 3.7 Komponen Analisa Data... 77

Gambar 3.9 Desain penelitian………... 79

(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Al Jam’iyatul Washliyah merupakan organisasi masyarakat sipil yang lahir pada 30 November 1930 dan bertepatan 9 Rajab 1349 H di Kota Medan Sumatera Utara, dengan tujuan utama pendiriannya adalah untuk mempersatukan umat yang berpecah belah dan berbeda pandangan. Pemahaman keagamaan Al Jam’iyatul Washliyah lahir dalam masa tertindas oleh penjajah Belanda yang masih berkuasa.

Disamping itu pula dengan cita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka. Hal tersebut terbukti dengan keterlibatan para pengurus dan anggotanya dalam mengupayakan kemerdekaan Republik Indonesia.

Setelah secara resmi Al Jam’iyatul Washliyah berdiri yang diketuai oleh Ismail Banda, para pendiri melakukan musyawarah untuk menetapkan anggaran dasar. Dari anggaran dasar terlihat bahwa Al Jam’iyatul Washliyah ingin mengembangkan agama Islam tidak hanya untuk kepentingan akhirat tetapi juga untuk kepentingan dunia. Mereka berusaha untuk memperkokoh persatuan umat dan meningkatkan kecerdasan, membantu orang miskin dan yatim piatu serta menyiarkan Islam kepada masyarakat yang belum memiliki agama (keyakinan spiritual). Pada saat awal pembentukannya terdapat beberapa program kerja Al Jam’iyatul Washliyah yakni:

1. Tabligh (ceramah agama) 2. Tarbiyah (pengajaran) 3. Pustaka/penerbitan 4. Fatwa

5. Penyiaran 6. Urusan anggota

(17)

7. Tolong menolong. 1

Al Jam’iyatul Washliyah yang lebih dikenal dengan sebutan Al Washliyah, lahir ketika bangsa Indonesia masih dalam penjajahan Hindia Belanda (Nederlands Hindie), sehingga beberapa pendiri Al Jam’iyatul Washliyah ketika itu turut pula berperang melawan penjajah Belanda. Tidak sedikit tokoh Al Jam’iyatul Washliyah yang ditangkap Belanda dan dijebloskan ke penjara. Kondisi tokoh Al Jam’iyatul Washliyah ketika itu cukup memprihatinkan termasuk para pemuda yang sedang menempuh pendidikan ke Timur Tengah/Mesir. Tidak sedikit dari mereka harus membuat keterangan palsu untuk bisa sampai ke Timur Tengah (Geo:2017)2. Sejarah pendirian Al Jam’iyatul Washliyah lahir akibat adanya dorongan dari kalangan pelajar senior Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) Medan yang mendirikan sebuah kelompok bernama Debating Club dengan maksud para pelajar MIT ingin sejajar dengan rekan-rekan pelajar Islam yang belajar di sekolah Belanda seperti Jong Islameiten Bond (JIB). Alasannya pelajar MIT tidak mungkin bisa masuk ke sekolah tersebut karena mereka tidak bisa menguasai bahasa Belanda dan juga munculnya paham dikalangan masyarakat yang beraliran radikal yang dibawa oleh Muhammadiyah (berdiri di Medan tahun 1928), karena umumnya masyarakat di Sumatera Timur bermazhab Syafi’I, mereka menolak aliran taqlid pendapat dari ulama fiqih.3

Pada tahun 1934, empat tahun setelah pembentukannya, Al Jam’iyatul Washliyah merumuskan tujuan untuk direvisi sehingga tujuan Al Jam’iyatul Washliyah adalah berusaha menunaikan tuntutan Agama Islam secara kaffah.

Muqaddimah anggaran dasar Al Jam’iyatul Washliyah menyatakan bahwa sebagai

1 Pengurus Besar Al Washliyah, ¼ Abad Al Washliyah, Medan, 1955

2 Wawancara dengan Gio Hamdani salah seorang pelajar Al Washliyah di Timur Tengah

3 Hamim,Ahmad. Al Jam’iyatul Washliyah Dalam Kancah Politik Indoesia Penerbit;(Banda Aceh Yayasan Pena. Hal 65

(18)

masyarakat sipil yang independen, organisasi ini senantiasa menjalankan kiprahnya secara aktif, khususnya dalam peran moderasi (washal) bagi perjalanan bangsa dan mengembangkan masyarakat, baik dalam memperjuangkan, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan serta mereformasinya menuju Indonesia baru. Tujuan tersebut juga untuk melaksanakan tuntutan agama Islam sekuat tenaga seperti diungkapkan dalam baiat yang diikrarkan seseorang saat dilantik menjadi pengurus Al-Jam’iyatul Washliyah. Dalam aspek teologi, Al Jam’iyatul Washliyah beri’tiqad Ahlussunnah Waljama’ah dalam hukum fikih mengutamakan Mazhab Syafi’i dan dari aspek kegiatan menitikberatkan usaha di bidang pendidikan, dakwah dan amal sosial. Tiga bidang tersebut yang dinamakan sebagai amal ittifaq Al Jam’iyatul Washliyah. Perlu diketahui bahwa peranan ormas Islam Al Jam’iyatul Washliyah terhadap bangsa Indonesia adalah organisasi Islam yang pertama dengan konsisten menyatakan bahwa Indonesia merdeka dan itu dideklarasikan di Timur Tengah yang dipelopori oleh tokoh besar Al Jam’iyatul Washliyah bernama Ismail Banda. Sebagai salah satu masyarakat sipil terbesar tentu Al Jam’iyatul Washliyah bukan tanpa dukungan, eksistensi masyarakat sipil ini diperhitungkan dalam mengisi kemerdekaan karena dilihat pendirian Al Jam’iyatul Washliyah yang berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman.4

Untuk melaksanakan Amal Ittifaq tersebut, Abdurrahman Syihab memberikan langkah-langkah strategis. Pertama, menyediakan tenaga-tenaga kader dan teras penggerak perhimpunan di dalam ilmu pengetahuan, kecerdasan pikiran, memperluas pengalaman dan pengertian istimewa dalam soal-soal masyarakat, perhimpunan Islam dan partai politik. Kedua, memulai pembangunan perguruan.

Ketiga, Penerbitan majalah sebagai tempat bersuara dan terompet Al Jam’iyatul

4 PB Al Washliyah, anggaran dasar Dan Rumah Tanggaal Jami’iyatul Washliyah (Jakarta: PB Al Washliyah, 2010)

(19)

Washliyah, setelah itu baru dimulailah mendirikan cabang-cabang dan ranting- ranting. Pada tahun yang sama Al Jam’iyatul Washliyah mengirim tiga orang pengurusnya M. Arsyad Thalib Lubis, Udin Syamsuddin dan Nukman Sulaeman untuk mengadakan studi banding ke sekolah Adabiyah, Normal School dan Diniyah di Sumatera Barat dalam rangka reformasi pengelolaan pendidikan Al Jam’iyatul Washliyah sendiri. Meskipun mendapat reaksi negatif dari sebagian anggota, kunjungan tersebut dianggap sangat penting dan hasil-hasilnya kemudian menjadi bahan diskusi dalam konferensi Madrasah Al Jam’iyatul Washliyah sendiri masih pada tahun yang sama. Di antara langkah yang diambil setelah konferensi tersebut adalah pendirian sekolah-sekolah umum berbasiskan agama, pengajaran bahasa Belanda, penataan kalender pengajaran, pembentukan lembaga Inspektur dan Pemilik Pendidikan Melihat kemajuan penerbitan buku-buku agama Islam di Sumatera Barat, seorang utusan dikirim ke Bukit Tinggi khusus untuk membeli buku-buku keperluan sekolah Al Jam’iyatul Washliyah. Hal inilah oleh Steenbrink K.A. menempatkan Al Jam’iyatul Washliyah pada posisi ketiga setelah Muhammadiyah dan NU.5

Setelah kemerdekaan tercapai kini Al-Jam’iyatul Washliyah memainkan peranan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan mental spiritual dan pembinaan disegala aspek. Dalam kehidupan yang akan datang Al-Jam’iyatul Washliyah terus meningkatkan perjuangan dan usahanya. Pada Bulan Mei tahun 1947 merupakan hal bersejarah bagi Al Jam’iyatul Washliyah sebulan sebelum tentara belanda melancarkan kampanye pertama untuk menguasai seluruh kota-kota besar di Sumatera Timur, para ulama Al Jam’iyatul Washliyah bersama dengan faksi-faksi Islam lainnya menyelenggarakan konferensi ulama Tebing Tinggi. Konferensi tersebut berfokus pada posisi Sultan-sultan melayu sebagai Ulil Amri (Pelindung

5 Loc cit.

(20)

Umat Islam) di Sumatera Timur. Konferensi tersebut memutuskan untuk mengeluarkan fatwa kepada semua orang di Sumatera Timur sebagai ulama mereka mengaku bahwa Republik Indonesia adalah satu-satunya pemerintah yang disahkan oleh rakyat. Karena itu, kesultanan melayu telah makzul (tamat). Dengan kata lain pada saat itu semua imam dan pejabat-pejabat Islam lainya yang ditunjuk oleh Sultan dianggap tidak sah oleh umat Islam Republikan lainnya.6

Setelah kemerdekaan, Al Jam’iyatul Washliyah merupakan satu dari sekian banyak ormas yang selalu siap untuk mengisi kemerdekaan dengan baik melalui pendidikan, sosial, pergerakan, perdagangan dan lain sebagainya bersama kelompok organisasi lain. Adapun kelompok-kelompok tersebut yang membentuk sebuah organisasi dan lahir sebelum masa kemerdekaan adalah terdiri dari 13 organisasi agama yang lahir sebelum kemerdekaan dan hingga saat ini masih ada dan aktif melaksanakan usaha organisasinya bahkan berkembang dengan baik meskipun ada juga yang kesulitan mengembangkan organisasinya dengan berbagai alasan dan persoalan internal maupun eksternal.7 Berikut ini beberapa masyarakat sipil yang lahir sebelum kemerdekaan tersebut adalah:

No Nama organisasi Tahun berdiri

1 Al Jam’iyatul Khairiyah 1905

2 Mathla’ul Anwar 1905

3 Sarikat Dagang Islam 1905

4 Persyarikatan Ulama 1911

5 Syarikat Islam 1912

6 Muhammadiyah 1912

7 Al Ishlah wal Irsyad 1914

8 Persatuan Islam 1923

9 Jong Islamiten Bond 1925

10 Nahdlatul Ulama 1926

11 Persatuan Tarbiyah Islamiyah 1930

12 Al Jam’iyatul Washliyah 1930

13 Majelis al Islami al A’la Indonesia 1937 Sumber: Faridl, Miftah 2012

6 Ismed Batubara. 2015. Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman Ke Zaman Hal. 69-71

7 Faridl, Miftah. 2012. Meretas jalan dakwah benang merah gerakan ormas islam

(21)

Dalam perspektif sosioreliguisitas masyarakat, kelahiran organisasi- organisasi massa selalu berkaitan erat dengan dinamika keberagaman setiap pemeluknya. Salah satunya adalah menyangkut silang pendapat diantara pengikut mazhab, pemikiran keagamaan yang berkembang saat itu memang sungguh menakjubkan, euphoria keyakinan beragama sangatlah kuat dan merupakan awal peradaban terhadap keyakinan bangsa, tentu perjalanannya tidak sesederhana yang dibayangkan, prosesnya yang paling rumit ketika menyangkut dinamika relasi sosial baik internal maupun antara umat beragama.

Keberadaan masyarakat sipil yang lahir sebelum kemerdekaan hingga saat ini masih ada dan terus menjalankan aktifitasnya meskipun orientasi gerakan dan programnya tidak lagi merebut kemerdekaan, namun tetap melaksanakan berbagai usaha organisasi dan berkontribusi bagi pembangunan bangsa sesuai tujuannya.

Salah satu organisasi yang lahir sebelum kemerdekaan dan hingga saat ini masih tetap menjalankan aktivitasnya tersebut adalah Al Jam’iyatul Washliyah,8 sebagai sebuah masyarakat sipil yang bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dakwah dan pengembangan ekonomi umat, yang di awal pendiriannya memfokuskan diri pada usaha penyiaran agama Islam melalui pendidikan.

Proses perjalannya dalam pengembangan cita-cita mulia Al Jam’iyatul Washliyah bukan tidak besar yakni salah satunya persoalan keuangan. Keuangan yang di miliki Al Jam’iyatul Washliyah sangat memprihatinkan sebab semua belum dapat berjalan secara terstruktur/terukur dengan baik. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan keuangan ialah dengan cara menarik ulama kerajaan untuk duduk di dalam pengurusannya dan pelan-pelan masuk di dalam

8 Sebuah organisasi kemasyarakatan Islam yang didirikan pada tanggal 9 Rajab 1349 H, bertepatan dengan tanggal 30 NOpember 1930 M, yang dipelopori oleh pelajar-pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) Medan, Mereka antara lain Abdurrahman Syihab, Ismail Banda, Arsyad Thalib Lubis, Yusuf Ahmad Lubis, Adnan Nur Lubis, Organisasi ini diberinama Al Jam’iyatul Washliyah, disingkat Al Washliyah. Nama ini diberikan oleh ulama besar Sumatera Utara bernama Syekh Muhammad Yunus.

(22)

tatanan Pemerintahan, yang diharapkan mampu sebagai penopang, sekurang- kurangnya mereka dapat membantu memperlancar usaha mencari dana, dan berjalan secara sukarela tanpa imbalan akhirnya usaha ini kurang membawa hasil. Akhirnya dalam pengembangan sangat lama tetapi semuanya dapat dilalui dengan baik dan tidak mendapat tekanan/intervensi dalam proses pengembangannya oleh pihak manapun termasuk pemerintah.9 Seiring dengan berjalannya waktu proses pengembangan ormas Islam Al Jam’iyatul Washliyah tentu tidak mau meninggalkan kesempatan yang baik dan secara implisit masuk dalam tatanan masyarakat sipil tentu ini menjadi tantangan dalam internal Al Jam’iyatul Washliyah yang akan duduk bersampingan dengan ormas Islam lainnya.

Al Jam’iyatul Washliyah masa Orde Baru dibawah kepemimpinan H.

Bahrum Jamil mencoba menata ulang organisasi dan iklim politik antara Resiprokal dan Akomodatif. Lijphart(1968) politik akomodasi disamakan dengan proses demokrasi yang didasarkan oleh adanya kesepakatan (Consocialtional Democracy).

Maknanya politik akomodatif itu merupakan proses penerimaan perbedaan- perbedaan agar dapat dicapai suatu kesepakatan, sehingga memudahkan terjadinya perdamaian atau tidak terjadinya konflik. Pemerintahan orde baru yang juga dibawah kepemimpinan Presiden Jenderal Soeharto melakukan Test Case penerimaan Asas Tunggal (Astung) terhadap seluruh partai politik dan organisasi masyarakat sipil tidak terkecuali bagi organisasi masyarakat sipil Al Jam’iyatul Washliyah sendiri untuk siap dihadapkan dengan UU No 8 tahun 1985. Pasal 2 memberikan isyarat asas meliputi kata dasar, "landasan", pedoman pokok, dan kata-kata lain yang mempunyai pengertian yang sama dengan asas. Yang dimaksud dengan Pancasila ialah yang rumusannya tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi kemasyarakatan harus dipegang

9 Hamim aziz. 2006. Al Washliyah Dalam Kancah Politik indonesia.

(23)

teguh oleh setiap organisasi kemasyarakatan dalam memperjuangkan tercapainya tujuan dan dalam melaksanakan program masing-masing. Dalam perjalanannya seluruh ormas harus menerima Asas Tunggal Pancasila termasuk Al Jam’iyatul Washliyah sendiri.

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila, maka agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber motivasi dan inspirasi bagi para pemeluknya, dan mendapat tempat yang sangat terhormat. Penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi kemasyarakatan tidaklah berarti Pancasila akan menggantikan agama, dan agama tidak mungkin dipancasilakan sebab keduanya tidak ada pertentangan nilai.

Organisasi Kemasyarakatan yang dibentuk atas dasar kesamaan agama menetapkan tujuannya dan menjabarkannya dalam program masing-masing sesuai dengan sifat kekhususannya, dan dengan semakin meningkat dan meluasnya pembangunan maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial kemasyarakatan.

Selama kurun waktu 56 tahun Al Jam’iyatul Washliyah memusatkan kegiatan sebagai masyarakat sipil (1930-1986) di Kota Medan dan baru kemudian di tahun 1987 pindah ke Jakarta. Perpindahan tersebut merupakan pengejewantahan regulasi rezim masa Orde Baru, ada beberapa hal penting yang menjadi fokus utama Al Jam’iyatul Washliyah menyikapi peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat terhadap masyarakat sipil di Indonesia yaitu proses pemindahan pimpinan sebuah organisasi ke Jakarta. Peristiwa tersebut menimbulkan beberapa masalah di internal Al Jam’iyatul Washliyah, antara lain memilih pemimpin yang siap menjadi pioner di Jakarta sebagai perumus kebutuhan yang berkaitan dengan ketentuan pemerintah.

(24)

Masalah berikutnya berkaitan dengan semangat pendirian Al Jam’iyatul Washliyah yang disematkan di Kota Medan. Ada kekhawatiran perkembangan Al Jam’iyatul Washliyah di tempat lahirnya akan mengalami kemunduran. Selanjutnya Al Jam’iyatul Washliyah diawal perpindahan tersebut merasa tidak yakin dengan kekuatan yang telah dimilikinya apabila pindah ke ibu kota negara.

Markhuril Khamis (2017) mengatakan perpindahan Al Jam’iyatul Washliyah ke Jakarta bukan tidak menghabiskan energi yakni, semua akan dikorbankan termasuk loyalitas Al Jam’iyatul Washliyah sebab kekhawatiran lain muncul ketika Al Jam’iyatul Washliyah tidak dapat dikontrol secara maksimal oleh para pendiri awal Al Jam’iyatul Washliyah sebab bayak di antara mereka yang berdomisili di Sumatera Utara khususnya di Kota Medan.

Pada Muktamar tahun 1986 terjadi gejolak di internal Al Jam’iyatul Washliyah, tempat pelaksanaan Muktamar yang seyogyanya di Banda Aceh terpaksa dipindahkan ke Jakarta karena campur tangan Pemerintah. Peristiwa ini melibatkan peran H. Aziddin karena kedekatannya dengan penguasa di Jakarta, maka akhirnya disepakati pelaksanaan Muktamar Al Jam’iyatul Washliyah di Jakarta dan H.

Aziddin ditunjuk sebagai ketua panitia. Lalu dengan kepiawaian yang dimilikinya Al Jam’iyatul Washliyah bisa melaksanakan Muktamar di Asrama Haji Ciliwung pada 1986.

Salah satu keputusan penting Muktamar tersebut adalah penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi. Pemerintah orde baru menyambut baik penerimaan Pancasila sebagai asas (dasar), seperti yang dikatakan Menteri Sekretaris Negara Sudharmono setelah Al Jam’iyatul Washliyah menerima asas tunggal Pancasila maka memperjelas status dan hubungannya dengan Pemerintah. Selain mempertegas ke independenannya tidak dibawah organisasi sosial politik manapun.

(25)

Ketika Muktamar, adanya pengakuan dari pemerintah bahwa Al Jam’iyatul Washliyah berkewajiban untuk menyelamatkan Islam dan umatnya dari segala macam perpecahan, perselisihan, dan ketidakrukunan. Peran Al Jam’iyatul Washliyah bersama orde baru selama pemerintahan tersebut mengambil sikap melakukan kerjasama, dengan tetap memelihara independensinya. Sebab partai yang berkuasa kala itu adalah Golkar, tentu dengan sikap yang dimilikinya dianggap tidak pro terhadap pemerintah dan terkesan dianggap berseberangan. Selama masa itu pula Al Jam’iyatul Washliyah terus mencari wujud nyata menjadi organisasi keagamaan yang ideal sesuai dengan asas yang diterapkan di awal pendirian dengan bermazhab Syafi’ii dalam i’tiqad Ahlussunnah Waljamaah, dan menjaga marwah organisasi agar tidak melanggar hukum negara akibat perbuatan orang tertentu.

Fenomena Al Jam’iyatul Washliyah masa Orde Baru sebagai masyarakat sipil berkembang sangat lambat itu ditandai dengan melemahnya kaderisasi dan pengembangan sayap eksternal Al Jam’iyatul Washliyah dan berkonsentrasi pada sektor pendidikan, sosial dan dakwah. Sampai dengan masa reformasi kendala dalam pengembangan Al Jam’iyatul Washliyah masih begitu terasa meski mengalami kemajuan namun tidak signifikan sebagaimana faktor kemajuan yang dipandang di dalam dibidang dakwah maupun pendidikan serta pembangunan didalam Internal Al Jam’iyatul Washliyah itu sendiri masih dianggap belum maksimal mencerdaskan bangsa.10 Hal ini dapat dilihat dari sumbangsih-sumbangsih pemikiran masyarakat sipil ini belum menunjukkan suatu upaya memajukan dan mengembangkan pendidikan Islam dengan modernitas sistem meskipun masih tetap memegang teguh tradisonalitas yaitu: dengan memadukan antara pendidikan agama dan pendidikan

10 Haidar Putra Daulay. 2007. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. Hal 98

(26)

umum secara komprehensif dengan tujuan agar umat Islam nantinya mampu menghadapi perkembangan zaman.

Mengkaji Al Jam’iyatul Washliyah dalam perspektif pembangunan ideologinya, strategi yang dijalankannya dalam berbagai masa akan memberikan deskripsi tersendiri sesuai masa yang dilaluinya dan siapa pemimpin yang mengendalikannya. Sebagai contoh, bahwa pada awal Al Jam’iyatul Washliyah dikukuhkan, organisasi ini menerapkan syariat Islam yang ketat tetapi karena perubahan zaman dan pergeseran ideologi, Al Jam’iyatul Washliyah tidak lagi secara ketat mengamalkan ibadah dalam Islam misalnya berpakaian secara Islam.11 Kemudian adanya dilema internal Al Jam’iyatul Washliyah sebagai salah satu contoh dimana sebahagian besar anggota Al Jami’yatul Washliyah lebih memilih masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebagiannya masuk ke partai lain yakni Masyumi dan Partai Muslimin Indonesia sebab partai tersebut dianggap paling sesuai dengan cita-cita awal pendirian Al Washliyah. Namun sebagai organisasi yang mengatasnamakan independensi maka tentu sekali ada beberapa warga Al Jam’iyatul Washliyah masuk dalam partai-partai lain termasuk Golkar. Pergeseran ini yang menimbulkan salah satu pertikaian antara Ulama di tubuh Al Jam’iyatul Washliyah.

Penelitian Robert (1985) menyimpulkan bahwa penguasa diktator telah menyingkirkan dan melemahkan aktivitas politik sektor masa bawah.12 Upaya melemahkan aktivitas politik tersebut melalui hegemoni ideologi, tekanan, manipulasi, perlambangan, penggunaan ancaman dan kekerasan, serta pelemahan ekonomi sehingga terjadi ketidakadilan pendapatan yang terstruktur. Oleh karena itu ketika upaya pendemokrasian dilakukan amat sulit untuk memperoleh dukungan

11 Hamim aziz. 2006. Al Washliyah Dalam Kancah Politik Indonesia.

12 Heri kusmanto. 2013. Masyarakat Sivil Berteraskan Islam Di Indonesia Hal. 14

(27)

masyarakat, maka perlu diupayakan mobilisasi. Kecenderungan yang sama berlaku di Indonesia seperti yang akan dikaji menjelang reformasi. Kegiatan Al Jami’yatul Washliyah dirasakan semakin menurun, salah satunya pengkaderan semakin berkurang, kepemimpinan Al Jam’iyatul Washliyah dan organisasi-organisasi bahagian secara umum terkesan vakum. Upaya pelemahan ini bisa menjadikan organisasi Al Jam’iyatul Washliyah menjadi vakum secara permanen, kekuatan- kekuatan ideologinya akan semakin merosot dan bahkan menjadi rusak.

Hal tersebut terjadi akibat dari peranan mereka atau elit menjadi sangat penting bagi pemerintah, pengaruh politiknya juga akan timbul dengan sendirinya, sehingga di kalangan pemerintahan diktator selalu adanya kecurigaan terhadap pertumbuhan-pertumbuhan Islam. Pandangan yang sama dan bersifat negatif berlaku juga jika umat Islam dihubungkan dengan demokrasi. Pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan antara partai politik Islam maupun Islam dan demokrasi khasnya dalam pembangunan politik dan pengembangan masyarakat sipil di negara-negara muslim telah menjadi bahan kajian, utamanya selepas gelombang demokrasi terjadi.

(Lipset,1994: Hutington,1997).13

Organisasi keagamaan Islam di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dipelajari dan diteliti, mengingat bahwa umat Islam merupakan representasi masyarakat sipil yang menjadi pemeluk agama mayoritas di Indonesia.

Hal ini menjadikan organisasasi keagamaan merepresentasikan sebuah kekuatan sosial maupun politik yang terlibat secara aktif dalam pembangunan bangsa dan negara.

Dari aspek kesejarahan, dapat dilihat bahwa kehadiran masyarakat sipil, terutama yang lahir pada masa sebelum kemerdekaan membawa semangat perubahan dan pembaruan ditengah-tengah masyarakat. Sebelum Indonesia merdeka

13 Lipset,1994: Hutington,1997

(28)

terdapat kelompok-kelompok masyarakat terpelajar maupun kelompok masyarakat berdasarkan kesukuan, kewilayahan, agama serta kesamaan ideologi membentuk beberapa organisasi yang digunakan sebagai alat perjuangan untuk merebut kemerdekaan melawan kolonialisme penjajah salah diantara organisasi tersebut adalah Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Al Jam’iyatul Washliyah.

Masyarakat Sipil sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain; kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self enerating), dan keswadayaan (self supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.14 Robert W Hefner (2000) mengilustrasikan bahwa konsep masyarakat sipil berarti sesuatu yang membedakan secara luas dalam tradisi teoritis yang berbeda. Dalam pemikirannya, gagasan ini mengacu pada klub, organisasi- organisasi agama, kelompok-kelompok bisnis, serikat-serikat buruh, kelompok- kelompok HAM, dan asosiasi-asosiasi lainnya yang berada diantara rumah tangga dan negara yang diatur secara suka rela dan saling menguntungkan. Sebagai sebuah ruang politik Masyarakat sipil adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaring-jaring kelembagaan politik resmi.

Tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas, tempat di mana transaksi komunikasi yang bisa dilakukan oleh warga negara.

Muhammad AS Hikam (1996:3) menyatakan bahwa umumnya masyarakat sipil yang memiliki ciri-ciri sukarela, berdikari, mampu berdiri, dan ketertarikan kepada nilai-nilai atau norma-norma tertentu, maka dengan ciri tersebut masyarakat sipil relatif tidak bergantung kepada negara dan wujud sebagai suatu gerakan yang

14 http://www.referensimakalah.com/2012/12/pengertian-masyarakat-sipil-civil-society.html

(29)

memperjuangkan nilai-nilai tersebut. Akibatnya masyarakat sipil senantiasa mengalami hambatan secara struktural maupun budaya15.

Tahun 1998 Indonesia memasuki Era Baru yang disebut masa reformasi, kembali ke asas Islam, menarik untuk dikaji benang merah keislaman, ideologi, strategi dan pencapaian Al Jam’iyatul Washliyah, mengingat dengan asas Islam ini politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah kembali ke khittahnya. Sebab pada masa rezim orde baru yang memberlakukan asas tunggal Pancasila dan membatasi agama Islam sebatas kegiatan normatif ibadah ritual saja, sehingga ekspresi keholistikan Islam tidak secara bebas dapat diwujudkan pada masa reformasi, sehingga dikhawatirkan Al Jam’iyatul Washliyah sudah tidak menjalankan Islam secara kaffah atau bergerak secara pragmatisme atau menjadi sangat akomodatif.

Memasuki usia yang sudah cukup matang, Al Jam’iyatul Washliyah berusia 86 tahun (2016) kiprahnya terhadap pembangunan bangsa tidak diragukan lagi, tetapi informasi tentang bagaimana Politik Pembangunan organisasi Al Jam’iyatul Washliyah dalam hal ideologi dan strategi dalam politik pembangunan organisasi ataupun yang mengambil keuntungan dari politik pembangunan tersebut belum pernah dilakukan secara komprehensif. Utamanya di era reformasi, sehingga kontribusi pembangunan yang dilakukan Al Jam’iyatul Washliyah tidak terinformasikan secara Nasional. Termasuk misalnya belum adanya seorangpun tokoh pendiri dan pejuang Al Jam’iyatul Washliyah yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Syamsir Bastian Munthe (2014) mengatakan Pendiri Organisasi Al Jam’iyatul Washliyah belum ada yang mendapat gelar Pahlawan Nasional, padahal andilnya dalam pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah terpatri sejak zaman pra kemerdekaan Republik Indonesia, sakit hati ini melihat

15 Kusmanto, heri. 2013.Masyarakat Sivil Berteraskan Islam Di Indonesia Hal 15

(30)

kurangnya perhatian pemerintah terhadap pejuang, tokoh dan pendiri Al Jam’iyatul Washliyah. Sampai sekarang belum ada yang memperoleh gelar Pahlawan Nasional.16 Bertahan hingga usia 86 tahun tentunya membutuhkan strategi untuk tetap bisa menjalankan roda organisasi mencapai tujuannya, hal ini juga tentunya bukan hal yang mudah, sebagai organisasi sosial kemasyarakatan Al Jam’iyatul Washliyah harus mampu menjalankan misi dan tujuannya agar tetap bertahan dan tercapainya.

Hal tersebut berbanding terbalik jika dibandingkan dengan Masyarakat Sipil lainnya, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang sama-sama lahir sebelum Indonesia merdeka, namun Al Jam’iyatul Washliyah belum mendapatkan perhatian serius padahal organisasi ini telah ikut berkontribusi bagi peradaban Nusantara sehingga mengakibatkan peran Masyarakat Sipil lain menjadi sangat dimarjinalkan, akibat kecenderungan tersebut perlu untuk diteliti17.

Pemikiran dan peran organisasi masyarakat sipil Islam Al Jam’iyatul Washliyah dalam politik pembangunan Islam menjadi hal penting untuk diketahui, bagaimana institusi ini menentukan identitas pembangunannya ditambah lagi peran sosial ekonomi dan politik yang dimainkannya dalam pengimplementasian politik pembangunannya. Kemudian ide-ide dasar, keyakinan dan kepercayaan (ideologi) serta strategi pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah yang ikut terlibat dalam berbagai proses perencanaan, penyusunan dan penetapan politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah, yang tentu dipengaruhi oleh perbedaan waktu, situasi, regulasi, sistem pemerintahan, kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang tidak sama.

16 Munthe, Syamsir Bastian, Wawancara tanggal 9 Nopember 2014, Kata Ketua Majelis Amal di Kantor Pengurus Besar Al Washliyah Jalan Ahmad Yani Rawa Sari Jakarta Sosial PB Al Washliyah, Jakarta.

17 Siddiq, Dja’far dan Rosnita, Gerakan Pendidikan Al Washliyah Sumatera Utara, Ulumuna Jurnal Study Keislaman, Volume 18 Nomor 1, 2014.

(31)

Asumsi awal penulis pada saat memulai membangun penelitian ini bahwa politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah merupakan cara dan strategi serta pemikiran/ideologi yang digunakan oleh Masyarakat Sipil dalam mencapai tujuannya. Kerangka Politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah tersebut disusun berdasarkan identitas politik pembangunan Islam, yang di implementasikan lewat nilai-nilai dan budaya keislaman. Permasalahan berikutnya yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah adalah melihat pentingnya mengetahui persoalan yang terjadi masa orde baru terhadap peraturan pemerintah tentang masyarakat sipil yang menjadikan Pancasila sebagai asas dasar organisasi, serta keterbatasan sumber rujukan tertulis dalam bentuk karya ilmiah yang dapat digunakan sebagai literatur dalam kegiatan-kegiatan penelitian, serta semakin berkurangnya sumber informasi faktual dari para aktor dan tokoh yang menjadi pelaku dan mengetahui perkembangan Masyarakat Sipil, membuat penelitian ini menjadi semakin penting untuk dilakukan.

Disertasi ini akan membahas politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah, ideologi, strategi, dan pencapaiannya dalam konstruk pembangunan Islam, dalam penyusunan politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah. Selanjutnya bagaimanakah strategi Al Jam’iyatul Washliyah menjalankan organisasinya hingga dapat bertahan? Benarkah Al Jam’iyatul Washliyah konsisten menggunakan konsep politik pembangunan Islam dalam membanguan organisasinya? itulah pertanyaan- pertanyaan penelitian yang ingin penulis cari jawabannya. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa harus politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah yang diteliti?

Karena menurut penulis, sekarang adalah momentum yang tepat untuk mengetahui tentang model politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah sebagai modal melangkah menuju pembangunan organisasi yang lebih modern dan maju.

(32)

Pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut di atas yang membuat penelitian tentang politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah penting untuk dilakukan, agar di dapatkan informasi dan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

1.2. Fokus Masalah

a. Bagaimana politik pembangunan ideologi dan strategi yang dilakukan Al Jam’iyatul Washliyah setelah ditetapkannya pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila melalui UU No. 8 tahun 1985 dan perpindahan kedudukan organisasi dari Medan ke Jakarta?

b. Apa pencapaian yang berhasil dilakukan organisasi Al Jam’iyatul Washliyah setelah pemberlakuan Azas Tunggal Pancasila melalui UU No. 8 tahun 1985 dan perpindahan kedudukan organisasi dari Medan ke Jakarta?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui Politik Pembangunan Ideologi dan Strategi yang dilakukan Al Jam’iyatul Washliyah setelah ditetapkannya pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila melalui UU No. 8 tahun 1985 dan perpindahan kedudukan organisasi dari Medan ke Jakarta?

2. Mengetahui pencapaian yang berhasil dilakukan organisasi Al Jam’iyatul Washliyah setelah setelah pemberlakuan Azas Tunggal Pancasila melalui UU No.

8 tahun 1985 dan perpindahan kedudukan organisasi dari Medan ke Jakarta?

1.3.2. Manfaat Penelitian

Secara garis besar terdapat dua manfaat yang diharapkan akan diperoleh jika tercapainya tujuan penelitian yaitu;

1.3.2.1. Manfaat Teoritis

(33)

Keberhasilan mengungkap dan mendapatkan informasi tentang politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah sekaligus aktor-aktor yang terlibat dalam politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah tersebut tentunya akan menambah dan memperkaya khazanah pengetahuan politik pembangunan dan politik pembangunan Islam. Ini artinya pengembangan atas teori-teori yang menjelaskan tentang politik pembangunan Islam disebabkan studi ini secara langsung menguraikan tentang ideologi strategi, model, dan aktor dalam politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah sebagai organisasi Islam.

1.3.2.2. Manfaat Praktis

Sementara itu, manfaat praktis yang bisa didapat melalui studi ini adalah mendapatkan informasi tentang mekanisme pembentukan, penyusunan, dan tokoh atau aktor yang terlibat dalam proses politik pembangunan Al Jam’iyatul Washliyah.

Ragam temuan tentang cara pembentukan, dasar yang digunakan, dan tokoh yang terlibat didalamnya akan bisa menjadi referensi bagi pengurus organisasi lainnya untuk menjadi bahan evaluasi bagi kajian keilmuan tentang politik pembangunan Islam khususnya politik pembangunan organisasi keislaman Indonesia di masa mendatang.

Secara internal, temuan-temuan dalam studi ini akan bisa menjadi bahan evaluasi dan masukan sekaligus pertimbangan bagi organisasi keagamaan Islam khususnya Al Jam’iyatul Washliyah untuk menjawab politik pembangunan dalam menghadapi situasi dan kondisi masa depan yang dinamis.

(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Politik Dalam Pandangan Islam

Kata politik sinonim dengan kata siyasah – berasal dari bahasa Arab “sasa”,

“yasusu” dan “siyasatan”. Siyasah berarti seni memerintah (Thaib, 2006). Siyasah berarti pemerintahan dan politik, atau membuat kebijaksanaan. Siyasah adalah ilmu pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri serta kemasyarakatan dan mengatur kehidupan umum atas dasar keadilan dan istiqamah.

Suyuti Pulungan (1994:25) menegaskan bahwa Siyasah adalah pengurusan kepentingan-kepentingan umat manusia sesuai dengan syara’ demi tercapainya kemaslahatan.

Konsep kemaslahatan dalam konteks siyasah adalah dampak positif dan konkrit dari adanya pemerintahan, negara dan kepemimpinan bagi semua kepentingan masyarakat. Politik dalam Islam penting sebagai perwujudan keadilan dan kedamaian. Politik dalam Islam diartikan sebagai bentuk perjuangan bagi kekuasaan untuk beriman kepada Allah SWT dengan menekankan pada Tauhid dan menolak Thogut, menghapus penindasan dan ketidakadilan di muka bumi.

Kekuasaan dalam Islam bukanlah untuk kekuasaan itu sendiri, bukan kekuasaan pribadi atau kelompok. Islam menempatkan kekuasaan dalam kerangka moral.

Kekuasaan bukan tujuan, tetapi sarana untuk mengabdi kepada Allah SWT.18

Perhatian utama politik dalam Islam adalah usaha mengontrol struktur negara, meraih kekuasaan untuk kebaikan, menyapu bersih keburukan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik, semuanya dianjurkan dan relevan dengan

18Warjio (ed.). Politik Pembangunan Islam : pemikiran dan implementasi. Medan : Perdana Publishing, 2013.

(35)

Islam. Politik dalam Islam adalah bagian dari agama Islam dan satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Thaib, 2006:3).19

Diana (2016) Agama dan politik adalah dua hal yang integral. Semua agama pasti membutuhkan kekuasaan yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi umatnya serta memberikan perlindungan kepada pengikut setia yang menyebarkan ajarannya. Islam tidak bisa dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan negara, sebab Islam bukanlah agama yang mengatur ibadah secara individu saja. Islam juga mengajarkan bagaimana bentuk kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan umat yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa yang diberlakukan penguasa terhadap rakyat, serta menjadi pencegah adanya kezaliman oleh penguasa. Berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum muslimin, pada hal ini kalau kita memahami betapa pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai dengan syari’at Islam. Terlebih lagi memikirkan/memperhatikan urusan umat Islam hukumnya fardlu (wajib) sebagaimana Rasulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dalam kitab Al Mustadrak No. 7889:

"Barang siapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barang siapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)". HR. Al Hakim.

Setiap saat kaum muslimin harus senantiasa memikirkan urusan umat, termasuk menjaga agar seluruh urusan ini terlaksana sesuai dengan hukum syari’at Islam. Sebab umat Islam telah diperintahkan untuk berhukum (dalam urusan apapun) kepada apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.

19 Thaib, 2006:3

(36)

Eksistensi politik sebenarnya sudah terlihat sejak dulu, dimana dalam sejarah perjuangan para sahabat terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwasanya agama Islam memang memiliki otoritas terhadap politik. Bukti-bukti itu dapat dilihat pada saat mereka mengangkat khalifah (kepala negara pengganti Rasulullah). Dalam mengangkat seorang khalifah, para sahabat memberikan syarat kepada khalifah agar memegang teguh Al-Quran dan as-Sunnah. Jika tidak karena mereka tahu bahwa politik tidak mungkin dipisah-pisahkan dari agama, sehingga mereka akan mengangkat khalifah berdasarkan pertimbangan yang terbaik. Dalam hal ini, bukan berarti politik itu baru lahir pada masa Rasulullah. Karena sejak manusia mengenal kata memimpin dan dipimpin, maka politik ada saat itu.

Namun banyak masyarakat yang berpandangan bahwa aplikasi politik dianggap sebagai segala sesuatu yang berbau kelicikan, kebusukan, serta pandangan negatif lainnya. Memang harus diakui, ada sebagian penguasa muslim yang tidak konsisten menjalankan kebijakan politiknya diatas ketentuan hukum dan etika syariat. Akibatnya, mereka menetapkan peraturan yang menyimpang dari ajaran Islam. Maka banyak orang yang beragama Islam tidak sepakat dengan adanya politik dalam Islam. Padahal, sebagai umat muslim yang cerdas harusnya kita paham akan pentingnya politik yang dapat dijadikan sebagai landasan munculnya aktivitas gerakan Islam melalui dua arah, yaitu secara kultural dan struktural.

Aktivitas gerakan Islam secara kultural akan terfokus pada proses dakwah di suatu negara agar tetap sesuai dengan ajaran Allah SWT, sedangkan secara struktural dapat mempengaruhi dibatalkannya atau di revisinya kebijakan-kebijakan pemerintah yang akan membawa kerugian terhadap masyarakat.

Maka dari itu berpolitik itu dihalalkan dan memiliki pengaruh besar dalam mempertahankan ajaran Islam di suatu negara. Akan tetapi, politik harus memegang teguh beberapa prinsip seperti: mewujudkan persatuan dan kesatuan

(37)

bermusyawarah, menjalankan amanah dan menetapkan hukum secara adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab, menaati Allah, Rasulullah, dan menepati janji.

Politik harus kokoh dengan prinsip yang benar dan tidak hanyut dengan gaya perpolitikan yang menghalalkan segala cara, sebab korelasi pengertian politik Islam dengan politik menghalalkan segala cara merupakan dua hal yang sangat bertentangan.

2.2. Pembangunan Dalam Pandangan Islam

Pembangunan sebagai suatu kebijakan publik dapat dilihat sebagai sebuah proses politik. Kaitannya dengan pembangunan, akan dihadapkan pada pertanyaan- pertanyaan seperti; siapa yang mendapatkan keuntungan dalam proses pembangunan, apa yang mereka dapatkan dari proses pembangunan, bagaimana mereka mendapatkannya, dan kapan?20 .

Di Indonesia kata pembangunan menjadi diskursus yang dominan dan erat kaitannya dengan pemerintahan orde baru. Kata pembangunan dalam konteks orde baru sangat erat kaitannya dengan discourse development yang dikembangkan oleh negara barat.21

Teori pembangunan dalam Islam, menurut Syukri Saleh merupakan kata kerja atau aktivitas. Pembangunan adalah salah satu cara mengabdikan atau beribadah kepada Allah SWT. Pembangunan bergabung antara dua bentuk yaitu pembangunan material dengan pembangunan spiritual dan dilaksanakan menurut garis panduan yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Pembangunan material ialah pembangunan yang dapat menegakkan program berkaitan dengan aspek kehidupan

20 Budi Winarno. Gagalnya Organisasi Desa Dalam Pembangunan di Indonesia. Tiara Kencana, Yogyakarta, 2008.p. ix

21Mansour Fakih. Runtuhnya teori pembangunan dan globalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2001, p. 12

(38)

manusia atau yang dinamakan dengan habl min al-Nas, seperti pengeluaran dan penggunaan. Sedangkan pembangunan spiritual ialah pembangunan yang dapat mengeratkan hubungan manusia dengan Allah SWT, melaksanakan syariat sebaik mungkin dan berakhlak dengan Allah SWT setinggi mungkin atau sebagai Habl min Allah, seperti keimanan, ketakwaan dan sebagainya.22

2.3. Politik Pembangunan Islam

Politik pembangunan Islam ditinjau dari falsafah mengandung nilai-nilai Islam. Penekannya berdasarkan pada nilai-nilai ketauhidan. Pertanggung jawabannya adalah dunia dan akhirat (horizontal dan vertikal). Horizontal adalah pertanggung jawaban kepada manusia dan makhluk hidup lainnya dengan memperhatikan kelestarian lingkungan (suistainable development). Pertanggung jawaban vertikal adalah pertanggung jawaban kepada sang Pencipta dan pemilik jagad raya, Allah SWT.

Kerangka politik pembangunan Islam

Sumber: Warjio,

Bagan di atas menjelaskan bahwa dalam perspektif Islam dalam pembangunan, politik pembangunan Islam dibuat dan dijalankan berdasarkan

22Muhammad Syukri Saleh. 7 prinsip pembangunan berteraskan Islam. Kuala Lumpur: Zebra Edition, 2003 p. 15

Pembangunan dalam perspektif Islam

Politik pembangunan Islam Mempromosikan budaya Islam dan membangun instansi Islam, struktur dan

administrasi

(39)

kerangka Islam. Institusi politik, menjadi bagian penting dari politik pembangunan Islam. Politik pembangunan Islam perlu mempromosikan nilai-nilai Islam, budaya Islam maka dengan sendirinya akan terbentuk identitas politik pembangunan Islam.

Islam dan pembangunan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya pembangunan dalam konteks Islam sangat berkaitan baik secara fisik maupun non- fisik.

Menurut (Mudrajat Kuncoro, 2011, Syukri Saleh, 1999, 2002, 2009, Zaenath, 2000, Khursid Ahmad, 2000, Syed Serajul Islam, 2000), politik pembangunan Islam memiliki lima kebijakan filosofis. Pertama, Tauhid, yaitu percaya kepada keesaan Allah dan semua yang ada di alam semesta merupakan kepunyaan-Nya. Dalam konteks upaya pembangunan, manusia harus sadar bahwa sumber daya yang tersedia adalah kepunyaan-Nya sehingga tidak boleh hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Manusia hanya penerima amanat atas segala sumber daya yang disediakan dan harus mengupayakan agar manfaat yang dihasilkan dapat dibagi kepada manusia lainnya. Kedua, Rububiyah, yaitu percaya kepada Allah SWT yang menentukan keberlanjutan dan hidup dari ciptaannya serta menuntut siapa saja yang percaya kepada-Nya kepada kesuksesan. Dalam konteks upaya pembangunan, manusia harus sadar bahwa pencapaian tujuan pembangunan tidak hanya bergantung pada upaya sendiri, tetapi juga pada pertolongan Allah SWT, baik material maupun spiritual.

Ketiga, Khilafah, yaitu peranan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi.

Disamping sebagai wakil atas segala sumber daya yang diamanahkan kepadanya, manusia yang beriman juga harus menjalankan tanggung jawabnya sebagai pemberi teladan atau contoh bagi manusia lainnya. Keempat, Tazkiyah, yaitu merujuk pada pertumbuhan dan penyucian manusia sebagai prasyarat yang diperlukan sebelum

(40)

manusia menjalankan tanggung jawab yang ditugaskan padanya. Manusia adalah agen perubahan dan pembangunan. Oleh karena itu perubahan dan pembangunan apa pun yang terjadi sebagai akibat upaya manusia ditujukan bagi kebaikan orang lain dan tidak bagi pemenuhan pribadi. Kelima, Al-Falah, yaitu konsep keberhasilan dalam Islam bahwa keberhasilan apapun yang dicapai dikehidupan dunia akan mempengaruhi keberhasilan di akhirat sepanjang keberhasilan yang dicapai di dunia tidak menyalahi petunjuk bimbingan yang ditetapkan Tuhan.

Kelima filosofis ini menjadi asas bagi pembangunan Islam. Pembangunan dalam kerangka Islam ditemukan pada pola nilai dalam Al-Qur’an dan Sunah.

Kedua sumber ini menjadi rujukan dasar dalam upaya pembangunan.23

Titik berat pembangunan spiritual, moral dan etika mengindikasikan derajat perhatian yang tinggi melekat dalam proses pembangunan Islam.24

Gambar 2.3 Lima Dasar Politik Pembangunan Islam

23Warjio. Dilema politik pembangunan PKS: Islam dan konvensional. Medan: Perdana Publishing, 2013, p.71-73

24Mudrajat Kuncoro. Ekonomi pembangunan: masalah, kebijakan, dan politik. Jakarta: Erlangga.

2012. p. 25

(41)

2.3.1. Tahapan Politik Pembangunan Islam

Ada lima tahapan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan akhir dari proses pembangunan. Kelima tahapan tersebut adalah: Pertama Tahapan persiapan Kualitatif. Aspek ini bersumber dari manusia. Manusia dalam Al-Qur’an diumpamakan pohon (Qs. 14:25-26). Akar, batang dan buah merupakan bahasa amtsal untuk akidah, syariat dan muamalat. Dengan akidah yang baik manusia mampu melaksanakan syariat dengan baik dan akhirnya akan tercermin pada muamalat. Dalam sebuah sistem, muamalat yang buruk tercermin pada hasil pembangunan yang buruk, seperti kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan proses pembangunan berikutnya.25

Tahapan kedua adalah peran dan kedudukan manusia dalam sebuah sistem.

Manusia tidak hanya dipandang sebagai individu, tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat sebagai suatu sistem dalam kehidupan. Jika masyarakat terdiri atas individu-individu yang baik, sistem tersebut akan mampu menciptakan berbagai manfaat dan keuntungan yang berpengaruh kepada tahapan berikutnya. Tahapan ketiga adalah terciptanya keuntungan kualitatif dan keuntungan kuantitatif. Bentuk keuntungan tersebut antara lain kekayaan alam, teknologi, sosial ekonomi, kepuasan spiritual dan moral serta keuntungan lainnya. Tahapan keempat adalah utilisasi hasil pembangunan bagi proses pembangunan berikutnya. Islam menjelaskan bahwa sumber permasalahan ekonomi terletak pada cara pengalokasian atau distribusi faktor produksi yang ada. Allah SWT menyediakan semua hal yang dibutuhkan demi kelangsungan hidup manusia di alam semesta (Qs.

25Mudrajat Kuncoro. Ekonomi pembangunan: masalah..2010

(42)

31:20). Tahapan kelima adalah tercapainya kesuksesan di akhirat. Untuk mencapai kelima tahapan tersebut, Al-Ghazali menyatakan pemerintahan harus dilakukan secara adil. Konsep pemerintahan yang adil dalam politik pembangunan Islam adalah:

• Senantiasa antusias dengan nasihat ulama

• Dedikasi dan loyalitas tinggi

• Hidup sederhana

• Senantiasa beribadah

• Senantiasa bersikap lemah lembut

• Senantiasa berusaha mencapai ridha Allah

• Berusaha mendapatkan kerelaan manusia sesuai syariah

• Berlaku baik pada bawahan

• Rendah hati dan penyantun

• Tulus dan ikhlas

• Mengetahui sisi manfaat bahaya kekuasaan

• Membiasakan memberi maaf dan menahan amarah26

2.4. Politik Pembangunan

Sebagai sebuah paradigma, politik pembangunan memerlukan penjelasan untuk pendefinisiannya. Dari segi bahasa, politik pembangunan adalah gabungan dari politik dan pembangunan. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan politik pembangunan? Politik pembangunan adalah sebuah paradigma yang memiliki arti dan implementasi tersendiri. Politik pembangunan sebagai sebuah paradigma didalamnya karena memiliki basis kepercayaan utama atau metafisika dari sebuah

26Sahri. Konsep negara dan pemerintahan dalam perspektif Fikih Siyasah Al-Gazzali. Jurnal Ilmu Syariah dan hukum. Vol.47.no.2 Des. 2013

(43)

sistem berfikir, basis ontologi, epistemologi dan metodologi. Politik pembangunan adalah satu terminologi yang merupakan gabungan antara konsep politik pembangunan. Konsep politik selama ini banyak diartikan sebagai perebutan kekuasaan. Sama dengan konsep politik pembangunan harus berorientasi pada kebutuhan, sanggup mempertemukan keperluan materi dan non materi manusia, berasal dari hati masyarakat, percaya kepada diri sendiri, yang secara tidak langsung menyatakan bahwa setiap masyarakat intinya mengandalkan kekuatan dan sumber dayanya sendiri, mempunyai pertimbangan ekologis, pemanfaatan secara rasional sumber daya biosphere, dan didasarkan pada transformasi struktural serta keseluruhan yang terpadu.

Konsep politik dan pembangunan kita mendapatkan satu kesimpulan bahwa dua konsep tersebut memiliki hubungan dan makna yang saling bertautan dan dibentuk dalam apa yang disebut dengan proses politik, jika kedua kata tersebut digabungkan menjadi politik pembangunan, maka bukan saja ia saling terkait maknanya tetapi juga memiliki satu paradigma baru, namun demikian sebagai sebuah konsep politik pembangunan tidak bisa secara mudah dikatakan seperti itu.

Secara filosofis konsep politik pembangunan adalah sebuah konsep yang lebih mendalam dalam memahami realitas politik dalam pembangunan. Jadi, ia tidak dapat dimaknai secara terpisah-pisah tetapi harus dimaknai dalam satu kesatuan.

proses alurnya dapat dilihat dibawah ini:

Gambar 2.4 Alur konsep politik pembangunan

Politik Politik

Pembangunan Pembangunan

(44)

Teori-teori pembangunan pada umumnya berhubungan dengan pengalaman negara-negara maju. Karena itulah perspektif-perspektif pembangunan tradisional di Negara-Negara yang kurang berkembang biasanya mengasumsikan kemungkinan pembangunan disetiap tempat, modal dan teknologi mungkin dapat disaring dari pengalaman negara maju untuk negara berkembang. dengan asas pemikiran tersebut akan membawa konsekuensi praktis bagi pelaku, cara berpikir, interpretasi, dan kebijakan dalam pemilihan masalah pembangunan27. Inti dari teori pembangunan adalah mengenai persoalan perubahan sosial selain itu pembangunan juga dimaknai sebagai sebuah proses dalam demokrasi yang menekankan peran institusi dan partai politik. Lucian Pye (1965) dalam Warjio( 2013:72) menyatakan pembangunan sebagai penguatan nilai-nilai dan praktik-praktik demokrasi kapitalis barat. Ia berpendapat adanya partisipasi, pluralis, sistem-sistem multipartai, dan politik persaingan maupun stabilitas politik dan penghindaran ketegangan yang berlebihan.

Muhammad Syukri Saleh (2003:15) aktivitas pembangunan adalah satu cara mengabadikan atau beribadah kepada Allah S.W.T. pembangunan berteraskan Islam yang dimaksudkan bahwa pembangunan yang bergabung antara dua bentuk pembangunan: pembangunan material dan pembangunan kerohanian dan dilaksanakan menurut garis panduan yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam.

Lahirnya politik pembangunan sebagai sebuah paradigma, diawali dari penilaian yang dilakukan oleh para ahli dan praktisi pembangunan terhadap teori- teori dan praktek pembangunan yang terkait dengan pemahaman bahwa pembangunan dirumuskan oleh para aktor melalui proses dan kepentingan- kepentingan politik.

27 Warjio 2016. Politik pembangunan: paradoks, teori , aktor dan ideologi. Penerbit: kencana jl.

Tembra raya no 23 rawamangun-jakarta 13220 hal.111

Gambar

Gambar 2.3 Lima Dasar Politik Pembangunan Islam
Gambar 3.7 Komponen Analisa Data: Model interaktif (Sumber: Miles Huberman,1992).
Gambar 3.9 Desain penelitian
Tabel jumlah aset PB Al Jam’iyatul Washliyah.

Referensi

Dokumen terkait