• Tidak ada hasil yang ditemukan

...( 48 )...ا جا ه ن م و ة ع ر ش م ك ن م ا ن ل ع ج ل ك ل

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "...( 48 )...ا جا ه ن م و ة ع ر ش م ك ن م ا ن ل ع ج ل ك ل"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.netBAB II

TINJAUAN UMUM MANHAJ TAFSIR

A. Pengertian Manhaj Tafsir

Kata manhaj tafsir merupakan kata gabung yang terdiri dari dua kata, yaitu

“manhaj” dan “tafsir”. Adapun pengertian kedua kata tersebut sebagai berikut:

1. Definisi Manhaj

Kata manhaj dan minhaj secara etimologis berarti jalan yang jelas.

Dikatakan “t}ari>q al-nahj” berarti jalan yang nyata. Dan “sabi>l manhaj”

berarti jalan yang nyata dan jelas. Kata manhaj sama dengan minhaj. Kata minha>j dalam Alquran terpakai hanya sekali yaitu dalam Q.S. Al-Ma>’idah/5:

48, sebagai berikut:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا...(48) ...

Terjemahnya:

Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.

Kata minhaj berarti jalan yang berkesinambungan. Kata “anhaja al-t}ari>q” berarti jalan itu menjadi jelas dan nyata. Al-Ra>gib al-Asfaha>ni>

mengemukakan bahwa al-nahju adalah jalan yang terang.

Para pakar bahasa Arab di Indonesia mengartikan manhaj atau minhaj sebagai cara atau metode. Dalam bahasa Inggris kata ini ditulis dengan method.

Sedangkan manhaj dari segi terminologi adalah kegiatan yang bertujuan mengungkap substansi ilmu pengetahuan dengan berdasar pada kaidah-kaidah

Alquran Hadis Tafsir al-FurqanManhaj TafsirTeknik Interpretasi -Linguistik -Tekstual -Sistemik -Sosio

Historis -Ganda Corak/

Objek Formal Tafsir -Fikih -Teologi -Bahasa

Sistematika Secara Runtut Metode Penyajian Ijma>li>

(Global) Sumber Tafsir -Alquran -Hadis -Taurat -Injil

-Pengetahuan Bahasa

BAB II

(2)

TINJAUAN UMUM MANHAJ TAFSIR

A. Pengertian Manhaj Tafsir

Kata manhaj tafsir merupakan kata gabung yang terdiri dari dua kata, yaitu

“manhaj” dan “tafsir”. Adapun pengertian kedua kata tersebut sebagai berikut:

1. Definisi Manhaj

Kata manhaj dan minhaj secara etimologis berarti jalan yang jelas.

Dikatakan “t}ari>q al-nahj” berarti jalan yang nyata. Dan “sabi>l manhaj”

berarti jalan yang nyata dan jelas. Kata manhaj sama dengan minhaj. Kata minha>j dalam Alquran terpakai hanya sekali yaitu dalam Q.S. Al-Ma>’idah/5:

48, sebagai berikut:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا...(48) ...

Terjemahnya:

Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.

Kata minhaj berarti jalan yang berkesinambungan. Kata “anhaja al-t}ari>q” berarti jalan itu menjadi jelas dan nyata. Al-Ra>gib al-Asfaha>ni>

mengemukakan bahwa al-nahju adalah jalan yang terang.

Para pakar bahasa Arab di Indonesia mengartikan manhaj atau minhaj sebagai cara atau metode. Dalam bahasa Inggris kata ini ditulis dengan method.

Sedangkan manhaj dari segi terminologi adalah kegiatan yang bertujuan mengungkap substansi ilmu pengetahuan dengan berdasar pada kaidah-kaidah umum logis dan garis-garis operasional yang tertentu guna menghasilkan suatu informasi.

(3)

Dalam bahasa Indonesia kata metode berarti cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.

Pengertian manhaj yang diartikan sebagai metode secara umum tersebut, dapat digunakan pada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran, penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik. Jadi dapat dikatakan, metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Adapun jamak dari kata manhaj (مَنْهَجُ) ialah manahij ( (مَنَاهِجُatau metodologi yaitu kumpulan pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan dalam mengkaji suatu objek. Sementara الْمُفَسِّرِين مَنَاهِجُ (metodologi tafsir) ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengeksplorasi kandungan Alquran yang dapat diinterpretasi oleh ayat-ayat yang mempunyai hubungan, penjelasan sunnah, perkataan sahabat dan tabiin, penggunaan kaidah-kaidah syariat dan bahasa Arab, ilmu pengetahuan alam, filsafat, kedokteran, serta jenis ilmu pengetahuan lainnya yang dapat memperluas wawasan pemahaman mengenai Alquran.

Muhammad Sayyid Jibril mendefinisikan الْمُفَسِّرِين مَنَاهِجُ

(metodologi tafsir) yaitu ilmu yang membahas tentang jalan atau metode para penafsir dan kecenderungan pada penafsiran Alquran al-Karim dari segala segi.

2. Definisi Tafsir

Kata “tafsir” merupakan bentuk taf’il dari kata al-fasr, secara etimologi, berasal dari bahasa arab yang berakar kata dari tiga huruf ف, س, ر yang memiliki makna “(بَيَانُ الشَّئ وَإِيضَاحُهُ) yaitu menjelaskan sesuatu dan

(4)

menerangkannya”. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh al-Z|ahabi>

bahwa kata (اَلْفَسْرُ) bermakna “(اَلْإِبَانَةُ وَاَلْكَشْفُ) yaitu menjelaskan dan menyingkap”. Makna ini sesuai dengan Q.S. Al-Furqan/25: 33, yang berbunyi:

وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ

تَفْسِيرًا ) 33)

Terjemahnya:

Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik.

Sementara itu Ibn Manz}u>r dalam kitabnya Lisa>n al-Arab mengemukakan makna lain dari kata al-fasr yaitu “(كَشْفُ الْمُغَطَّي) menyingkap sesuatu yang tertutup”. Yaitu menyingkap maksud dari lafaz yang musykil. Sedang kata tafsir berarti menyingkap makna yang dikehendaki dari suatu kata.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa makna tafsir dari segi etimologi adalah penjelasan, penyingkapan, dan penampakan makna suatu kata. Kata itu juga dipakai untuk menyingkapkan sesuatu yang kongkrit.

Adapun makna tafsir ditinjau dari segi terminologi, terdapat beberapa pendapat dari para ulama di antaranya:

a. Al-Zarka>syi> mengemukakan pengertian tafsir sebagai berikut:

اَلتَّفْسِير عِلْمٌ يُفْهَمُ بِهِ كِتَاب الله اَلمُنَزَّل عَلَى نَّبِيه مُحَمَّد وَبَيَانُ مَعَانِيْهِ وَاِسْتِخْرَاجُ

أَحْكَامِه وَحُكْمِه وَاِسْتِمْدَادُ ذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ اللُّغَهِ

وَالنَّحْوِ وَالتَصْرِيْفِ وَعِلْمِ الْبَيَانِ وَأُصُول

(5)

الْفِقْهِ وَالْقِرَاءَاتِ وَيَحْتَاجُ لمَِعْرِفَةِ أَسْبَابِ

النُّزُولِ وَالنَّاسِخ وَالْمَنْسُوخ

Artinya:

Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muh}ammad saw., menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya dengan berdasar pada ilmu bahasa, nahu, s}arf, ilmu al-bayan, us}u>l al-fiqh, al-qira’ah, dan membutuhkan pengetahuan asba>b al-nuzu>l serta al-na>sikh wa al-mansu>kh.

b. Al-Zarqa>ni> menjelaskan pengertian tafsir sebagai berikut:

عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيهِ عَنْ الْقُرْآَنِ الْكَرِيمِْ مِنْ

حَيْثُ دِلاَلَتِهِ عَلَى مُرَادِ الله تَعَالَى بِقَدْرِ

الطَّاقَةِ الْبَشَرِيَة

Artinya:

Ilmu yang membahas hal-ihwal Alquran dari segi makna yang dikehendaki oleh Allah swt., sesuai dengan kemampuan manusia.

c. Abu> H}ayya>n menjelaskan pengertian tafsir sebagai berikut:

اَلتَّفْسِيرُ: علمٌ يُبْحَثُ فِيهِ عَنْ كَيْفِيَةِ

النُّطْقِِ بِأَلْفَاظِ الْقُرآنِ، وَمدْلُولاَتِهَا، وَأَحْكَامِهَا الإِفْرَاديَّةِ وَالتَّرْكِيْبِيَّةِ، وَمَعَانِيهَا الَّتِي تُحمَلُ عَلَيْهَا حَالَ التَّرْكِيبِِ، وَتَتَمَاتُ ذَلِك.

Artinya:

Tafsir adalah ilmu yang membahas tata-cara pengucapan kata-kata Alquran, maknanya, hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, baik per kata maupun susunan kata dan kelengkapannya.

Dari beberapa pandangan ulama tentang definisi tafsir, nampak bahwa terdapat perbedaan dalam menjelaskan definisi tafsir secara terminologi. Abd.

(6)

Muin Salim mengelompokkan dua pendapat tentang tafsir, dari para ulama us}ul tafsir dan ulama tafsir. Al-Zarkasyi> memandang tafsir sebagai “ilmu alat”

sedangkan al-Zarqa>ni> melihat tafsir sebagai pengetahuan tentang petunjuk-petunjuk Alquran. Pada pihak lain, ulama tafsir tampaknya sependapat bahwa tafsir adalah kegiatan ilmiah yang bertujuan untuk kebaikan hidup manusia.

Perbedaan yang ada di antara kelompok Mufassirin terletak pada esensi tafsir.

Muh}ammad ‘Abduh, memandang esensi tafsir sebagai kegiatan ilmiah berupa usaha memahami dan mengeluarkan kandungan Alquran. Sedangkan ‘Abd ‘Az{im Ma’ani> dan Ahmad Gandur menekankan esensi tafsir sebagai upaya menjelaskan kandungan Alquran.

Dari perbedaan pendapat di atas, lebih lanjut Abd. Muin salim merumuskan konsep-konsep yang termuat dalam kata tafsir sebagai berikut:

a. Kegiatan ilmiah untuk memahami kandungan Alquran b. Kegiatan ilmiah menjelaskan kandungan Alquran

c. Pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan untuk memahami Alquran d. Pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan memahami Alquran

Oleh karena itu, dari beberapa konsep diatas, yang penulis maksud dengan tafsir di sini ialah usaha untuk memahami dan menemukan serta menjelaskan kandungan Alquran.

Dari uraian kedua kata di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan manhaj tafsir adalah cara atau metode yang digunakan oleh para penafsir untuk memahami, menemukan dan menjelaskan kandungan Alquran.

Setiap mufassir pasti memiliki manhaj tafsir tersendiri, tergantung pada kecenderungan dan sudut pandang mufassir, serta latar belakang keilmuan dan

(7)

aspek-aspek lain yang melingkupinya. Pada penelitian ini penulis berusaha mengungkap dan menguji manhaj yang dipergunakan oleh A. Hassan dalam kitab tafsirnya yang dinamai dengan Tafsir al-Furqan.

B. Unsur-unsur Manhaj Tafsir

Pada pembahasan tentang unsur-unsur manhaj tafsir, penulis membaginya dalam beberapa sub pembahasan di antaranya: objek dan nati>jah tafsir, sumber-sumber tafsir, sifat tafsir, dan teknik interpretasi. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

1. Objek dan Nati>jah Tafsir

Sebagaimana penjelasan terdahulu bahwa tafsir adalah upaya dalam memahami dan menjelaskan kandungan Alquran. Ini berarti bahwa yang menjadi objek tafsir adalah ayat-ayat Alquran.

Abd. Muin Salim dalam metodologi tafsir, membagi objek tafsir pada dua segi, berdasarkan hadis-hadis Rasulullah saw., yaitu objek material tafsir dan objek formal tafsir. Adapun penjelasan kedua objek tafsir tersebut sebagai berikut:

a. Objek material tafsir

Penelitian terhadap hadis-hadis tafsir menunjukkan bahwa objek tafsir material atau sasaran tafsir Rasulullah saw., tidaklah terbatas pada kosa kata (mufrada>t al-Qur’a>n), tetapi juga klausa (jumlah mufi>dah al-Qur’a>n), dan frasa (syibh al-jumlah al-Qur’a>n) yang merupakan bagian dari sebuah ayat.

Dengan demikian maka penelitian tafsir dapat menghasilkan pengertian-pengertian ataupun konsepsi-konsepsi (teori-teori) qurani.

(8)

Hal ini dapat dilihat pada penafsiran Rasulullah saw. sebagai berikut:

Contoh hadis yang mengandung kosa kata sebagai objek dapat ditemukan dalam hadis Ibnu Ma>jah sebagai berikut:

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ

-صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ الدُّعَاءَ هُوَ الْعِبَادَةُ

». ثُمَّ قَرَأَ وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ

)رواه إبن ماجه)

Artinya:

Dari Nu’ma>n bin Basyi>r berkata, Rasulullah saw. bersabda sesungguhnya doa itu adalah ibadah, kemudian membaca dan Tuhanmu berfirman:

"berdoalah kepadaku, niscaya akan kuperkenankan bagimu".(H.R. Ibnu Ma>jah)

Rasulullah dalam hadis ini menafsirkan kata اَلدُّعَاءُ dalam Q.S.

Al-Mu'min/40: 60, sebagai ibadah.

Contoh klausa yang menjadi objek tafsir misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah/

2: 143 dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Ma>jah sebagai berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجِيءُ النَّبِيُّ

وَمَعَهُ الرَّجُلَانِ وَيَجِيءُ النَّبِيُّ وَمَعَهُ

الثَّلَاثَةُ وَأَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ وَأَقَلُّ فَيُقَالُ

لَهُ هَلْ بَلَّغْتَ قَوْمَكَ فَيَقُولُ نَعَمْ

فَيُدْعَى قَوْمُهُ فَيُقَالُ هَلْ بَلَّغَكُمْ

فَيَقُولُونَ لَا فَيُقَالُ مَنْ يَشْهَدُ لَكَ

فَيَقُولُ مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ فَتُدْعَى أُمَّةُ

(9)

مُحَمَّدٍ فَيُقَالُ هَلْ بَلَّغَ هَذَا فَيَقُولُونَ

نَعَمْ فَيَقُولُ وَمَا عِلْمُكُمْ بِذَلِكَ

فَيَقُولُونَ أَخْبَرَنَا نَبِيُّنَا بِذَلِكَ أَنَّ

الرُّسُلَ قَدْ بَلَّغُوا فَصَدَّقْنَاهُ قَالَ

فَذَلِكُمْ قَوْلُهُ تَعَالَى وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ

أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ

وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا )رواه إبن ماجه)

Artinya:

Dari Abu Said berkata, Rasulullah saw. bersabda Nabi datang bersama dengannya dua orang laki-laki, kemudian Nabi datang bersama tiga orang dan lebih banyak lagi dari itu, kemudian ditanyakan kepadanya “Apakah engkau telah menyampaikan risalah kepada kaummu?”, ia menjawab “iya”, maka dipanggillah kaumnya, kemudian ditanyakan kepada kaum tersebut

“Apakah telah disampaikan kepada kalian?” Maka mereka menjawab “tidak”.

Kemudian ditanya “siapa yang menyaksikan kamu?” Lalu mereka menjawab

“Muhammad dan umatnya.” Maka dipanggillah umat Muhammad, kemudian ditanya “Apakah telah sampai kepadamu risalah ini?, mereka menjawab iya, kemudian ditanya lagi, apakah yang kamu ketahui tentang pernyataan tersebut, mereka menjawab telah diberitakan kepada kami tentang pernyataan tersebut bahwa sesungguhnya para Rasul telah menyampaikan risalah maka kami membenarkannya. Bersabda Rasulullah itulah makna وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ

الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا. (H.R. Ibnu Ma>jah)

Dalam hadis ini tampak bahwa klausa dalam ayat

لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ

ditafsirkan dengan menggambarkan suasana di hari kemudian. Ketika itu ada segolongan umat yang tidak mengakui pernyataan Nabi mereka. Maka umat Nabi Muhammad yang akan menjadi saksi di antara mereka.

Adapun contoh frase yang menjadi objek tafsir misalnya pada frase

فِي

شَأْنٍ

dalam Q.S. Al-Rahman/55: 29 dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Ma>jah sebagai berikut:

(10)

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ: - عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في قوله تعالى { كُلَّ

يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ } ( 55 / سورة الرحمن / الآية 29 ) قَالَ (مِنْ شَأْنِهِ أَنْ يَغْفِرَ ذَنْبًا وَيُفَرِّجَ كَرْبًا، وَيَرْفَعَ قَوْمًا وَيَضَعَ

آخَرِينَ ) )رواه إبن ماجه)

Artinya:

Dari Abu> Darda’ dari Nabi saw., pada firman Allah “kulla yaumin huwa fi sya’n”, ia bersabda: di antara urusan-Nya adalah mengampuni dosa, menghilangkan kesulitan hamba-Nya, mengangkat derajat suatu kaum serta menjatuhkan kaum yang lain.(H.R. Ibnu Ma>jah)

Contoh sebuah ayat yang ditafsirkan secara utuh oleh Rasulullah saw., misalnya yang terdapat dalam Q.S. Qaf/50: 39, diriwayatkan oleh Ibnu Ma>jah dalam kitabnya sebagai berikut:

عَنْ جَرِيْرٍ بْنُ عَبْدِ اللهٍ: - قَالَ كُنَّا جُلُوْسًا عِنْدَ

رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ . فَنَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ ، فَقَالَ : " إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ

رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَاالقمرلا تُضَامُونَ فِي رُؤْيَتِهِ

، فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوا عَنْ صَلاَةٍ ، قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ ، وَقَبْلَ الْغُرُوبِ ، فَافْعَلُوا "

، ثُمَّ قَرَأَ : {وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ

الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ}(رواه إبن ماجه)

Artinya:

Dari Jari>r Ibn ‘Abdullah berkata kami duduk-duduk bersama Rasulullah saw., ketika beliau memandang ke bulan purnama, beliau berkata bahwa sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan sebagaimana kalian melihat bulan

(11)

ini. Kalian tidak bersatu dalam melihat Allah. Barang siapa di antara kalian yang mampu untuk tidak lalai dalam melaksanakan salat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari maka lakukanlah.(H.R. Ibnu Ma>jah)

Dari beberapa contoh di atas, kenyataannya bahwa penafsiran sebuah ayat dapat dimulai dan dilaksanakan dalam bentuk interpretasi kosa kata (syarah}

mufrada>t), dan interpretasi frasa (syarah} syibh jumlah), serta interpretasi klausa (syarah} jumlah), bahkan interpretasi ayat (syarah} ayat).

Jika dikaitkan dengan ungkapan yang ditafsirkan, maka terdapat tiga kemungkinan hubungan antara nati>jah dan ungkapan, yaitu hubungan padanan, hubungan kelaziman, dan hubungan ucapan. Atas dasar ini tafsir Rasulullah saw.

dapat dibedakan atas:

1) Baya>n mut}a>biq, yaitu tafsir yang menghasilkan nati>jah yang sepadan dengan ungkapannya, antara makna dan ungkapan terdapat keadaan yang tidak lebih dan tidak berkurang sehingga keduanya pas dan tepat satu sama lain. Misalnya Q.S. Al-Baqarah/2: 238 sebagai berikut:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238)

Terjemahnya:

Peliharalah semua salat, dan salat wust}a, dan laksanakanlah (salat) karena Allah dengan khusyuk.

Ungkapan صَلَاةُ الْوُصْطَى dalam ayat di atas, ditafsirkan dengan salat asar. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut:

(12)

عَنْ عَلِىٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ الأَحْزَابِ « شَغَلُونَا عَنِ

الصَّلاَةِ الْوُسْطَى صَلاَةِ الْعَصْرِ مَلأَ اللَّهُ

بُيُوتَهُمْ وَقُبُورَهُمْ نَارًا »(رواه مسلم)

Artinya:

Dari ‘Ali berkata, pada waktu perang Ahzab Rasulullah saw. bersabda mereka telah menyebabkan kita lalai dari salat pertengahan, salat asar.

Semoga Allah memenuhi rumah-rumah mereka dan kuburan mereka dengan api.(H.R. Muslim)

2) Baya>n mula>zim, yaitu tafsir yang memberikan konsep atau ide-ide yang merupakan unsur yang lazim mesti ada dalam kandungan lafaz atau kalimat.

Misalnya ibadah (

اَلْعِبَادَةُ

) dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmu>z\i>> sebagai penjelasan terhadap kata doa (

الدُّعَاءُ

) dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 186, dalam hadis sebagai berikut:

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ

النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ وَقَالَ رَبُّكُمْ

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ

يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ

جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ

حَسَنٌ صَحِيحٌ )رواه الترمذي)

Artinya:

(13)

Dari Nu’ma>n Ibn Basyi>r, ia berkata “aku telah mendengar Nabi saw.

bersabda: doa itu adalah ibadah” kemudian ia berkata (membaca ayat):

‘dan Tuhan kamu berfirman: berdoalah kepadaku, aku perkenankan untukmu. Sesungguhnya orang-orang yang merasa diri besar dari beribadah kepadaku akan memasuki neraka jahannam, dalam keadaan hina.” Abu> ‘Isa al-Turmu>z\|i>> mengatakan hadis ini h}asan s}ah}ih}.(H.R. Turmu>z\i>)

3) Baya>n tad}a>mun, yaitu tafsir yang memberikan konsep atau ide yang tercakup dan merupakan bagian dari pengertian yang lebih luas yang ada dalam lafaz atau ungkapan yang ditafsirkan. Misalnya Q.S. Ibrahim/ 14: 27 sebagai berikut:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ

فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ وَيُضِلُّ

اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ (27)

Terjemahnya:

Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang dia kehendaki.

Ungkapan akhirat (الأَخِرَة) dalam ayat ini ditafsirkan dengan konsep kubur (اَلْقَبْرُ) sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmu>z\i>> sebagai berikut:

عَنِ الْبَرَّاء : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عليه و سلم فِي قَوْلِ الله { يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ

آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

(14)

وَفِي الآخِرَةِ } قَالَ فِي الْقَبْرِ إِذَا قِيْلَ لَهُ

مَنْ رَبُّكَ مَادِينُكَ مَنْ نَبِيُّكَ؟ قَالَ أَبُو عِيْسَى هذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ )رواه الترمذي)

Artinya:

Dari Barra’ dari Nabi saw., pada firman Allah swt, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan di dunia dan di akhirat” Rasulullah bersabda di kubur apabila di tanyakan kepadanya: “siapa Tuhanmu, dan apa agamamu dan siapa Nabi mu. Abu> ‘I>sa berkata hadis ini h}asan s}ah}i>h}. (H.R.

Turmu>z\|i>)

Konsep kubur sesungguhnya hanyalah bahagian dari pengertian yang terkandung dalam lafaz akhirat. Alquran sendiri menyebut adanya hari kebangkitan, kehidupan dalam surga dan neraka. Tegasnya konsep akhirat mencakup seluruh aspek kehidupan setelah kehidupan di dunia ini, sementara kehidupan dalam kubur adalah awal dari kehidupan akhirat.

b. Objek Formal Tafsir

Pada sisi lain, hadis-hadis Rasulullah saw. memperlihatkan objek formal tafsir. Penelitian yang dilakukan ternyata menunjukkan bahwa objek tafsir tidak hanya mencakup masalah keagamaan (kepercayaan, hukum dan akhlak), tetapi juga masalah-masalah kemasyarakatan, masalah futurologi, masalah kefilsafatan, bahkan pengetahuan alam seperti falak dan pengobatan.

Penulis hanya mengetengahkan beberapa contoh yang mewakili dari objek formal tafsir sebagai berikut:

(15)

1) Contoh penafsiran hadis Rasulullah saw. tentang masalah kepercayaan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Ma>jah dari 'Ali Ibn Abi>

T}a>lib sebagai berikut:

عَنْ عَلِيِّ قال : - كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِيَدِهِ عُودٌ فَنَكَتَ

فِي الْأَرْضِ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ (مَا مِنْكُمْ مِنْ

أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَمَقْعَدُهُ

مِنْ النَّار)ِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ؟

قَالَ (لَا. اعْمَلُوا وَلَا تَتَّكِلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ) ثُمَّ قَرَأَ {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى} . ( 12 / سُوْرَةُ اللَّيْلِ / الأيات 5 - 10 ) (رواه إبن ماجه)

Artinya:

Dari ‘Ali berkata kami duduk-duduk di sisi Rasulullah saw. dan ditangannya ada dahan kayu, sambil memukul mukulkannya ke tanah, kemudian mengangkat kepalanya dan bersabda “setiap orang di antara kamu, sungguh telah ditetapkan tempat duduknya di dalam surga dan tempat duduknya di neraka”, kemudian para sahabat bertanya apakah kami harus berserah diri saja? Nabi menjawab “tidak”, bahkan bekerjalah dan jangan berserah diri saja, karena tiap orang akan memperoleh kemudahan dalam berbuat untuk mencapai apa yang telah disediakan untuk dirinya. Kemudian Nabi berkata “adapun orang yang memberikan (harta-nya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah, dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik maka kelak kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (H.R. Ibnu Ma>jah)

2) Contoh penafsiran hadis Rasulullah saw. berkenaan tentang masalah falak, dalam Q.S. Yasin/36: 38. Sebagaimana di dalam hadis yang diriwayatkan

(16)

oleh al-Bukha>ri>, al-Turmu>z\i>, dan al-Baiha>qi> dari Abu> Mu>sa al-Asy’ari> sebagai berikut:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ : دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ حِينَ غَابَتْ

الشَّمْسُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

جَالِسٌ فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ أَتَدْرِي أَيْنَ تَذْهَبُ هَذِهِ

؟ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ : فَإِنَّهَا تَذْهَبُ

تَسْتَأْذِنُ فِي السُّجُودِ فيأذن لها وَكَأَنَّهَاقَدْ

قِيلَ لَهَا اطْلُعِي مِنْ حَيْثُ جِئْتِ فَتَطْلُعُ مِنْ

مَغْرِبِهَا قَالَ ثُمَّ قَرَأَ " وَذَلِكَ مُسْتَقَرٌّ لَهَا"

(رواه الترمذي)

Artinya:

Dari Abu> Z|ar berkata: aku masuk ke dalam mesjid ketika matahari sedang terbenam dan Nabi saw. sedang duduk, maka beliau bersabda:

Hai Abu Z||ar, tahukah engkau kemana matahari terbenam?. Aku menjawab: Allah dan rasulnya lebih tahu. Beliau berkata:

sesungguhnya ia pergi meminta izin untuk bersujud, maka ia diberi izin, dan seakan akan dikatakan padanya terbenamlah kemana saja kamu kehendaki, maka terbenamlah ia dari barat kemudian Rasulullah

membaca “ dan ia berada pada peredarannya”.(H.R. Turmu>z\|i>) 3) Contoh penafsiran hadis Rasulullah saw. berkenaan tentang masalah

pengobatan di dalam Q.S. Al-Nahl/16: 69. Terdapat pada hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukha>ri> dari Abu> Mu>sa al-Asy’ari> sebagai berikut:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ: أَنَّ رَجُلاً أَتَى إِلَى

النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم فَقَالَ أَخِى

يَشْتَكِي بَطْنُهُ فَقَالَ (اسْقِهِ عَسَلاً) .

(17)

ثُمَّ أتاه الثانية فقال (اسْقِهِ عَسَلاً) . ثم أتاه الثالثة فقال (اسْقِهِ عَسَلاً) . ثُمَّ أَتَاهُ

، فَقَالَ : قَدْ فَعَلْتَ ؟ فَقَالَ (صَدَقَ اللَّهُ

وَكَذَبَ بَطْنُ أَخِيكَ اسْقِهِ عَسَلاً) . فَسَقَاهُ فَبَرَأَ(رواه البخاري)

Artinya:

Dari Abu> Sa’i>d, bahwa seorang lelaki datang menghadap kepada Nabi saw., ia berkata saudaraku sakit perut, maka Rasulullah saw.

bersabda berikan dia madu. Kemudian datang kedua kalinya, Rasulullah saw. berkata: berikan dia madu. Kemudian datang ketiga kalinya, Rasulullah saw. berkata: berikan dia madu. Kemudian datang lagi, Rasulullah saw. berkata dengan tegas sungguh engkau telah memberikannya? Kemudian Rasulullah saw. berkata: Benarlah Allah swt. dan kebohongan perut saudaramu, berikanlah dia madu. Maka lelaki itu memberikan madu, maka sembuhlah. (H.R. Bukha>ri>) Hadis-hadis tafsir Rasulullah tersebut memberikan kejelasan bahwa ruang lingkup tafsir mencakup berbagai masalah, bahkan tidak terbatas pada masalah-masalah yang di ungkapkan, tetapi lebih luas lagi, meliputi pula aspek-aspek kehidupan manusia.

2. Sumber-sumber tafsir

Adapun yang dimaksud dengan sumber tafsir adalah faktor-faktor yang dijadikan sebagai pegangan dalam memahami kandungan Alquran. Kualitas suatu penafsiran dapat diketahui tergantung pada dasar atau pegangan yang dipergunakan dalam menafsirkan Alquran. Sumber tersebut dapat digunakan sebagai penjelas, perbendaharaan dan perbandingan dalam menafsirkan.

Abd. Muin Salim menjelaskan bahwa berdasarkan penelitian, Nabi saw.

telah menafsirkan Alquran dengan ayat Alquran, hadis qudsi, hadis, dan dengan pengetahuan bahasa.

(18)

Dalam sub bab ini penulis menjelaskan sumber-sumber yang dipergunakan oleh para Mufassir dalam menafsirkan Alquran sebagai berikut:

a. Alquran

Terdapat beberapa versi dalam mendefinisikan dan menelusuri asal usul kata Alquran. Namun yang masyhur menurut ahli bahasa berasal dari mas}dar

“قرأ”

dikatakan

قرأ, قراءة, وقرانا

yang artinya bacaan.

Menurut istilah, Alquran ialah perkataan Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muh}ammad saw., dengan lafaz dan maknanya dari Allah swt. secara mutawatir.

Sumber utama penafsiran adalah Alquran itu sendiri, yakni pernyataan ayat Alquran yang mempunyai relevansi dengan pernyataan ayat lain yang sedang dibahas atau ditafsirkan. Ini mengingat bahwa Alquran itu ibarat jalinan kalung, di mana antara ayat yang satu dengan lainnya saling terkait dan menjelaskan, sehingga muncul adagium yang sangat populer bahwa “al-Qur’a>n yufassiru ba’d}uhu ba’d}an” (Alquran itu, ayat-ayatnya saling menafsirkan satu dengan yang lainnya).

Metode ini merupakan salah satu cara yang ada dalam tafsir bi al-ma’s\ur.

Cara yang di pakai dalam metode ini adalah dengan membawa sesuatu ayat yang mujmal pada satu tempat kepada sesuatu yang mubayyan untuk mendapatkan penjelasannya, atau membawa suatu ayat yang masih mut}laqatau a>m (global) kepada ayat yang muqayyad atau kha>s}sebagai penjelasannya. Hal ini dapat dilihat pada penafsiran Rasulullah saw., sebagaimana yang terdapat di dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Turmu>z\i> sebagai berikut:

(19)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ: { الَّذِين آمَنُوا وَلَمْ

يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ } شَقَّ ذَلِكَ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَيُّنَا لَا يَظْلِمُ نَفْسَهُ قَالَ لَيْسَ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ اَلشِّرْكَ

أَلَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ { يَا بُنَيَّ لاَ

تُشْرِكْ بِاَللَّهِ إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ }(رواه الترمذي)

Artinya:

Dari 'Abdullah berkata: ketika turun “الَّذِين آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ” kaum muslim merasa susah, mereka berkata: wahai Rasulullah siapa-siapakah di antara kami yang tidak menganiaya dirinya.

Rasulullah berkata tidaklah demikian, sesungguhnya kezaliman itu adalah syirik. Apakah kalian tidak mendengarkan perkataan Lukman kepada putranya: “wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah.

Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar”.(H. R.

Turmu>z|i)

Hadis ini dengan tegas menunjukkan bahwa Nabi saw. menafsirkan Q.S.

Al-An’am/6: 82, dengan Q.S. Lukman/31:13. Karena dengan tegas dalam hadis tersebut dinyatakan bahwa Nabi saw. merujuk ke ayat Alquran.

b. Hadis

Hadis merupakan pegangan kedua dalam menafsirkan Alquran. Hal ini dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw, karena banyak hadis yang

merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat yang musykil yang ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi saw. Hal ini merupakan tugas Nabi sebagai penjelas Alquran itu sendiri, sebagaimana Allah swt. berfirman dalam Q.S. Al-Nahl/16 :44 sebagai berikut:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا

نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44)

(20)

Terjemahnya:

(Mereka kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan al-Zikr (Alquran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

Penafsiran hadis atas ayat Alquran sangat luas jangkauannya, sehingga Amin al-Khuli berpendapat bahwa perkembangan tafsir ayat, erat hubungannya dengan perkembangan pembukuan hadis, karena dalam pembukuan hadis juga menyertakan bab-bab tafsir. Tidak mengherankan jika pada awal periode Islam karya tafsir Alquran masih bercampur dengan karya hadis dan si>rah (biografi Nabi) dan belum ada pemisahan. Satu hal yang perlu menjadi catatan adalah bahwa hadis sebagai sumber Alquran tetap perlu diteliti otentisitas hadis. Apakah ia benar-benar hadis dari Nabi atau bukan.

Contoh penafsiran Rasulullah saw. ketika menafsirkan ayat

وَأَلْزَمَهُمْ

كَلِمَةَ التَّقْوَى

dalam Q.S. Al-Fath/48: 26 sebagai berikut:

إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ

حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ

عَلِيمًا (26)

Terjemahnya:

Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

(21)

Lalu Rasulullah saw. menjelaskan sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Turmu>z\i> sebagai berikut:

عَنْ الطُّفَيْلِ بْنِ أُبَيْ بنِ كَعْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ

النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم : { وَأَلْزَمُهُمْ كَلِمَةَ

التَّقْوَى } قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله (رواه الترمذي)

Artinya:

Dari T}ufail bin Ubay bin Ka’ab dari Nabi saw., Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa, Rasulullah saw. bersabda: La>ila>ha Illalla>h.

(H.R. Turmu>z\|i>)

Tampak dari hadis di atas, Rasulullah saw. menjelaskan kalimat takwa dengan La>ila>ha Illalla>h.

c. Pendapat para sahabat Nabi saw.

Para mufassir jika tidak menemukan informasi penafsiran ayat Alquran dari Alquran dan juga dari hadis Nabi saw., maka mereka merujuk kepada perkataan para sahabat Nabi. Oleh karena mereka memiliki tempat yang mulia di sisi kaum muslimin, dan di sisi Nabi saw.

Para sahabat Nabi saw. adalah orang-orang Arab yang menguasai bahasa Arab dan memiliki cita rasa bahasa (z}auq al-lugat al-sali>m) yang cukup baik, sehingga mereka dapat memahami Alquran dengan baik dan mengetahui aspek-aspek bala>gah yang ada di dalamnya. Di samping itu sebagian mereka juga mengetahui latar belakang (asba>b al-nuzu>l) konteks di saat wahyu Alquran turun, sehingga memudahkan dalam proses pengambilan kesimpulan suatu ayat. Hal ini senada dengan pernyataan Ibnu Qayyim ketika mengomentari penafsiran para sahabat bahwa “tidak diragukan lagi penafsiran para sahabat lebih benar dari penafsiran setelahnya”.

(22)

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika tidak ditemukan tafsir di dalam Alquran dan di dalam sunnah maka rujuklah ke perkataan para sahabat, maka sesungguhnya mereka lebih tahu tentang tafsir, karena mereka telah menyaksikan turunnya wahyu, dan keadaan ketika itu. Mereka memiliki pemahaman yang sempurna dan pengetahuan yang benar serta beramal dengan amal saleh, seperti para imam yang empat (al-Khulafa’ al-Ra>syidi>n), dan imam-imam yang diberikan petunjuk seperti 'Abdullah Ibn Mas’ud.

Abd. Muin Salim menyimpulkan bahwa potensi pengetahuan yang dimiliki sahabat dalam menafsirkan Alquran dengan ra’yu-nya adalah:

1) Penggunaan fenomena sosial yang menjadi latar belakang dan sebab turunnya ayat;

2) Kemampuan dan pengetahuan kebahasaan;

3) Pengertian kealaman;

4) Kemampuan intelensia.

Salah satu contoh penafsiran yang berdasarkan pendapat sahabat adalah ketika Ibnu 'Abba>s menafsirkan Q.S. Al-Anfal/8:41 sebagai berikut:

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ

وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ

وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آَمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (41)

Terjemahnya:

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu Sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba

(23)

kami (Muh}ammad ) di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Ayat di atas menjelaskan bahwa seperlima g\ani>mah (harta rampasan perang) dibagi untuk: (1) Allah dan Rasulnya, (2) Kerabat Rasul, (3) Anak yatim, (4) Orang miskin, (5) Ibnu Sabil. Sedang empat perlima ganimah dibagi kepada mereka yang ikut perang. Ketika Nabi saw. masih hidup, seperlima ganimah dibagikan kepada yang berhak menerimanya, seperti yang tercantum di atas.

Setelah Nabi wafat, gugurlah hak Nabi saw. dan kerabatnya. Hal ini bersandarkan pada tradisi (hasil ijtihad) para sahabat: Abu> Bakar, 'Umar bin Khatta>b, Us\ma>n bin 'Affa>n, dan 'Ali bin Abi> T}>alib dimasa kekhalifahannya. Mereka membagi seperlima ganimah itu kepada tiga golongan saja, yaitu untuk anak yatim yang bukan dari keluarga Bani Mut}a>lib, orang miskin yang bukan keluarga Bani Mut}alib dan kepada Ibnu Sabil (orang yang sedang melakukan perjalanan) yang lemah dan membutuhkan pertolongannya.

d. Pengetahuan bahasa

Dalam menafsirkan Alquran seorang penafsir seharusnya menguasai seluk beluk tentang bahasa Arab, oleh karena objek penafsirannya ialah Alquran yang tentunya menggunakan bahasa Arab, termasuk di dalamnya syair-syair jahili.

Syair-syair jahili biasanya dipakai untuk menjelaskan aspek semantik, terutama kata-kata yang sulit. Seperti apa yang pernah dilakukan 'Umar bin Khatta>b ketika ia kesulitan memahami kata “takhawwuf” dalam Q.S.

Al-Nahl/16: 47 sebagai berikut:

أَوْ يَأْخُذَهُمْ عَلَى تَخَوُّفٍ فَإِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ

رَحِيمٌ (47)

(24)

Terjemahnya:

Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa), maka sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Pada waktu itu ada seorang kakek dari suku Huz\ail yang berkata, “makna kata “takhawwuf” dalam bahasa kami adalah tanaqqus} (berangsur-angsur, sedikit demi sedikit). Lalu ‘Umar bertanya, apakah kamu tahu salah satu syair Arab yang dapat menjadi rujukan makna itu?, kakek tadi menjawab: ya. Ia kemudian menyebut salah satu syair yang berbunyi:

*تَخَوَّفَ الرَّحْلُ مِنْهَا تامِكاً قَرِداً * كََمَا تَخَوَّفَ

عُوْدَ النَّبْعَةِ السَّفِنُ*

Artinya:

Sedikit demi sedikit (berangsur-angsur) unta itu menjadi gemuk dan banyak kutunya. Sebagaimana halnya angin meniup dahan-dahan pohon Nab’ah sedikit demi sedikit.

‘Umar lalu mengatakan kepada para sahabatnya: “berpeganglah kalian pada diwan-diwan kalian, niscaya kalian tidak keliru (dalam menafsirkan Alquran)”.

Para sahabat bertanya: “apa diwan-diwan kami itu?” ‘Umar menjawab: syair Jahiliyah, sebab dalam syair-syair tersebut terdapat penjelasan (tafsir) untuk kitab kalian dan makna-makna dalam percakapan kalian.

Ibnu 'Abba>s rupanya juga banyak merujuk syair Arab kuno, karena pengetahuan tentang seluk beluk bahasa Arab dan pemahamannya akan sastra Arab kuno sangat tinggi dan luas. Kelebihan yang telah menjadi adat kebiasaan secara turun temurun bangsa Arab pada umumnya, terutama Arab Quraisy di zaman Nabi adalah menyusun syair dengan susunan kata yang halus dan sajak yang indah serta rapi, membuat pidato dengan bahasa yang halus, fasih, indah, dan sebagainya.

(25)

Mereka ahli dalam kesusastraan Arab. Hal itu juga dimiliki oleh Ibnu 'Abba>s.

Walaupun demikian, tidak berarti dalam menafsirkan Alquran Ibnu 'Abba>s hanya menggunakan keahlian sastra, karena Ibnu ‘Abba>s orang yang hati-hati dalam menafsirkan Alquran bila tidak benar dan tidak diketahuinya.

Adapun contoh penafsiran Alquran dengan syair, ketika Ibnu ‘Abba>s menafsirkan Q.S. Al-A’raf/ 7: 33 sebagai berikut:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ

تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ

تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (33)

Terjemahnya:

Katakanlah (Muhammad): "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."

Ibnu 'Abba>s menafsirkan lafaz al-is\m dengan pengertian khamr (sesuatu yang memabukkan), berdasarkan sebuah syair:

شَرِبْتُ الْإِثْمَ حَتَّى ضَلَّ عَقْلِي ... كَذَا لاَ اْلإِثْمَ

تَذْهَبُ بِالْعُقُولِ

Artinya:

Aku minum-minuman keras sampai hilang akalku. Demikianlah khamr menyebabkan hilangnya akal pikiran seseorang.

e. Kisah-Kisah Israiliyat

(26)

Sumber kelima yang menjadi pegangan mufassir dalam menafsirkan Alquran ialah kisah-kisah israiliyat. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat persamaan antara Alquran dengan kitab Taurat dan Injil dalam beberapa masalah tertentu, seperti dalam hal sama-sama memuat cerita-cerita para Nabi dan umat-umat terdahulu. Tetapi biasanya cara Alquran mengungkapkan cerita-cerita tersebut secara global, tidak rinci. Misalnya, tentang waktu, tempat atau nama-nama tokoh dalam cerita tersebut kadang-kadang disamarkan, karena Alquran bukanlah buku sejarah yang hendak menceritakan suatu peristiwa berdasarkan kronologis dan apalagi secara detail. Tujuan kisah-kisah dalam Alquran itu tunduk pada tujuan agama, yakni sebagai pelajaran bagi orang-orang yang datang kemudian.

Oleh para sahabat, ahli kitab dianggap memiliki pemahaman yang lebih baik dan lebih luas wawasannya terhadap kitab-kitabnya (Taurat dan Injil), maka tidaklah mengherankan apabila Abu> Hurairah dan Ibn ‘Abba>s pernah merujuk dan bertanya kepada ahli kitab yang telah memeluk agama Islam. seperti, 'Abdullah Ibn Sala>m, Ka’ab al-Ah}ba>r, Wahab Ibn Munabbih dan lain sebagainya.

Pengambilan riwayat israiliyat tersebut, dimungkinkan oleh karena Alquran mengandung pula riwayat-riwayat dari umat terdahulu, dan soal-soal yang berkenaan dengan kejadian alam, serta manusia seperti halnya dengan kitab-kitab suci sebelumnya. Hanya saja ungkapan dalam Alquran tidak serinci dengan ungkapan yang terdapat dalam kitab suci lainnya. Karena itu untuk memenuhi hasrat ingin tahu, maka sebagian di antara sahabat menanyakannya kepada ahli kitab yang telah memeluk Islam. Pada sisi lain adalah tidak adanya larangan tegas

(27)

dari Rasulullah saw. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukha>ri> dan al-Turmu>z\i>> dari ‘Abdullah bin 'Amr bin As} bahwa Nabi bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن عَمْرٍو: أَنَّ النَّبِي صلى الله عليه و سلم قَالَ (بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ

بني إِسْرَائِيلَ وَلا حَرَجَ، وَمَنَ كَذَبَ عَلَيَّ

مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ) (رواه البخاري)

Artinya:

Dari 'Abdullah bin 'Amr, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:

sampaikanlah dariku walau satu ayat, ceritakanlah dari Bani Israil dan tidak mengapa, dan barang siapa yang mendustakanku secara sengaja, maka hendaklah ia bersiap-siap menempatkan diri di neraka.(H.R. Bukha>ri>)

Di era sahabat, pengambilan riwayat israiliyat relatif sedikit, dan hal itu pun sekiranya tidak bertentangan dengan akidah Islam. Merasuknya kisah-kisah israiliyat dalam tafsir tersebut kemudian semakin marak di era tabiin dan atba’

al-ta>bi’in. Apabila tidak kritis dan hati-hati dalam menyeleksi, maka dapat terjebak pada cerita-cerita mitos yang justru mengotori nilai keagungan ajaran Islam sendiri.

Kisah-kisah israiliyat tersebut, dapat dilihat pada penafsiran Ibnu Abba>s , misalnya ia meriwayatkan dari Ka’ab bin Ah}ba>r tentang arti

الرقيم

dalam Q.S. Al-Kahfi/18: 9, sebagai berikut:

أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آَيَاتِنَا عَجَبًا (9)

Terjemahnya:

(28)

Apakah engkau mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) al-raqi>m itu, termasuk tanda-tanda (kebesaran) kami yang menakjubkan?

Ibnu 'Abba>s menafsirkan kata

الرقيم

sebagai berikut:

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: يَزْعَمُ كَعْبُ أَنَّ اَلرَّقِيْمَ:

اَلْقَرْيَة.

Artinya:

Dari Ibnu 'Abba>s berkata Ka’ab mendakwahkan bahwa sesungguhnya al-raqi>m adalah desa.

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ، قوله:( أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ

الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ ) يَقُولُ: اَلْكِتَابُ.

Artinya:

Dari Ibnu 'Abba>s pada ayat أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ, dia berkata kitab.

3. Sifat tafsir

Salah satu unsur yang perlu diketahui dalam manhaj tafsir ialah

permasalahan tentang sifat tafsir, yang dimaksud dengan sifat tafsir di sini ialah konsep yang menunjukkan pada jenis dan motif yang melatar belakangi tafsir.

Hal ini dapat dilihat pada jenis-jenis tafsir pada masa Rasulullah saw.

sebagai berikut:

(29)

a. Penegasan makna (بيان التعريف) yakni penjelasan yang menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan term. Misalnya penegasan makna dari

“benang hitam ( (الخيط الاسود” dan “benang putih (الخيط الابيض)” dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 187, dengan “kegelapan malam (سواد الليل)” dan

“terangnya siang (بياض النهار)”.

b. Perincian makna (بيان التفصيل) yakni penjelasan yang merinci konsep-konsep yang terkandung di dalam lafaz. Misalnya kata مصيبة (musibah) dalam Q.S. Al-Syura/42: 30, yang dirincikan dengan “penyakit (مرض)”, “hukuman (عقوبة) dan “cobaan (بلاء)” di dunia ini.

c. Perluasan makna (بيان التوسيع) yakni penjelasan memperluas pengertian yang terkandung dalam term. Misalnya kata الدعاء (doa) yang ditafsirkan dengan konsep yang lebih luas yaitu dengan ibadat (العبادة).

d. Penyempitan makna (بيان التخصيص) yakni tafsir yang diberikan merupakan konsep bawahan dari konsep yang terkandung dalam term.

Misalnya tafsir kata القوة (kekuatan) dalam Q.S. Al-Anfal/8: 60, dengan kata الرمي (pasukan panah). Term “kekuatan” mencakup pengertian yang lebih luas dan umum dan tidak hanya mengenai “pasukan panah”.

e. Kualifikasi makna (بيان تقييد) yakni tafsir yang diberikan itu memberi sifat dari konsep yang terkandung dalam term. Misalnya penetapan kewajiban haji sekali seumur hidup sebagai kualifikasi dari kewajiban haji yang

terkandung dalam Q.S. Ali Imran/3: 97.

f. Pemberian contoh (بيان التمثيل) yakni tafsir yang diberikan itu hanya merupakan misal dari konsep yang terkandung dalam term. Misalnya kata

(30)

المغضوب عليهم dan الضالين ditafsirkan dengan اليهود (orang-orang Yahudi) dan النصري (orang-orang Nasrani).

Pada sisi lain sifat tafsir Rasulullah saw. dapat dilihat dari motif yang mendorong adanya tafsir. Dalam hal ini dapat dibedakan:

a. Pengarahan (بيان إرشاد). Misalnya tafsir Rasulullah sehubungan dengan Q.S.

Ali Imran/3:92, untuk menjawab pertanyaan seorang sahabat. Imam al-Bukha>ri> meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas bin Ma>lik kasus Abu> T{alhah. Dalam riwayat tersebut dinyatakan ketika Q.S. Ali Imran/3: 92, turun Abu> T{alhah menyampaikan hajatnya kepada Rasulullah untuk

melaksanakan ayat tersebut dengan menyedekahkan tanah milik yang disayanginya. Maka Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut:

(بَخْ ذَلِكَ مَالٌ رَايِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَايِحٌ وَقَدْ سَمِعْتُ

مَا قُلْتَ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِينَ) (رواه البخاري)

Artinya:

Wah, itulah harta yang menguntungkan, harta yang menguntungkan.

Sungguh aku telah mendengar perkataaanmu, dan aku berpendapat engkau membaginya ditengah kerabatmu.(H.R. Bukha>ri>)

Penjelasan Rasulullah saw. ini bukan hanya menjelaskan bahwa sedekah itu termasuk kebajikan, tetapi juga mengarahkan bagaimana pemanfaaatan sedekah itu. Dalam hal ini mengutamakan kesejahteraan keluarga.

b. Peragaan (بيان التطبيق) misalnya penjelasan Rasulullah saw. tentang pelaksanaan tawaf, sembahyang di makam Ibrahim, dan sai yang terkandung

(31)

dalam Q.S. Al-Baqarah/2:125. Al-Turmu>z\i> meriwayatkan dengan sanad dari Ja>bir bin 'Abdullah pelaksanaan ibadah haji dari sunnah Rasulullah saw.

sebagai berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ

اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ

مَكَّةَ طَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا فَقَرَأَ }وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى{ فَصَلَّى خَلْفَ

المقام الْمَقَامِ ثُمَّ أَتَى الْحَجَرَ فَاسْتَلَمَهُ ثُمَّ

قَالَ نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ وَقَرَأَ }إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ}(رواه الترمذي)

Artinya:

Dari Ja>bir bin 'Abdullah berkata: saya mendengar Rasulullah saw. ketika tiba di Makkah beliau tawaf (mengelilingi Ka’bah) tujuh kali, kemudian membaca: “dan jadikanlah maqam Ibrahim tempat sembahyang” lalu beliau sembahyang di belakang maqam kemudian mendatangi batu hitam (hajar) lalu menyentuhnya kemudian berkata: “kita memulai dengan apa yang Allah mulai dan membaca: “sesungguhnya Safa dan Marwa adalah sebagian dari kebesaran Allah.”(H.R. Turmu>z|\i)

Hadis ini jelas menunjukkan bahwa Nabi saw. bukan hanya melaksanakan haji tetapi juga dengan pelaksanaan ibadah itu, ia juga menjelaskan pelaksanaannya dengan mengaitkan pelaksanaan ibadah tersebut pada ayat-ayat yang relevan.

c. Pembetulan (بيان تصحيح) dalam hal ini penjelasan Rasulullah saw.

diberikan untuk membetulkan kekeliruan pemahaman terhadap ayat. Misalnya koreksi terhadap pemahaman ‘Adi> terhadap apa yang dimaksud dengan الخيط الأسود (benang hitam) dan الخيط الأبيض (benang putih) dalam ayat

(32)

puasa. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh oleh Bukha>ri> dari

‘Adi> bin Ha>tim sebagai berikut:

عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ {حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ

مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ} عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ

وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ فَلَا يَسْتَبِينُ لِي فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ

وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ (إِنَّمَا ذَلِكَ

سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ) (رواه البخاري)

Artinya:

Dari ‘Adi> bin Ha>tim ra berkata: ketika turun ayat “hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” saya sengaja mengikat tali hitam dan tali putih, dan menyatukan keduanya dibawah bantal, kemudian melihatnya di malam hari, tapi tak nampak sedikitpun sesuatu. Maka saya bergegas dipagi hari menghadap Rasulullah saw. dan saya menceritakan apa yang saya lakukan, kemudian beliau berkata “sesungguhnya yang dimaksud itu ialah gelapnya malam dan putihnya siang”.(H.R. Bukha>ri>)

4. Teknik Interpretasi

Teknik interpretasi sebagai cara kerja memahami makna dari ungkapan verbal secara khusus berkaitan dengan objek dan alat interpretasi tetapi tidak terlepas dari aspek-aspek tafsir yang telah dikemukakan. Abd Muin Salim menyebutkan delapan teknik interpretasi, yaitu interpretasi tekstual, linguistik, sistemik, sosio-historis, teleologis, kultural, logik, dan ganda. Untuk lebih

(33)

jelasnya sebagai berikut:

a. Interpretasi tekstual

Dalam hal ini objek yang di teliti ditafsirkan dengan menggunakan teks-teks Alquran ataupun dengan hadis Nabi saw. Dasar penggunaan teknik ini adalah penegasan Alquran bahwa yang berfungsi sebagai penjelasan adalah terhadap dirinya sendiri dan tugas Rasul saw. sebagai mubayyin terhadap Alquran.

Penerapannya dengan menelusuri konsep-konsep penting dari kosa kata dalam ayat, selanjutnya mencari gagasan-gagasan yang terkandung dalam frase atau klausa yang menjadi bagian ayat. Untuk itu data pokok dan data pembantu dikaitkan dengan memperhatikan hubungan makna dengan ungkapan, fungsi-fungsi dan motif tafsir baik dengan cara perbandingan ataupun korelasi.

b. Interpretasi linguistik

Adapun yang dimaksud dengan interpretasi linguistik adalah penafsiran Alquran dengan menggunakan kaedah-kaedah kebahasaan. Teknik ini mencakup interpretasi dalam bidang-bidang semantik etimologis, semantik morfologis, semantik leksikal, semantik gramatikal, dan semantik retorikal.

Dasar penggunaan teknik ini adalah kenyataan bahwa Alquran diturunkan dalam bahasa Arab seperti yang dikemukakan dalam Q.S. Yusuf/12:2 dan Q.S.

Al-Ra’d/ 13: 37.

Penggunaan teknik interpretasi ini, misalnya kataرأى . Secara etimologis, kata ini berasal dari akar kata ر أ ى yang bermakna memperhatikan atau memandang dengan mata atau pikiran. Dari makna ini, maka kata ra’yu bermakna pandangan atau pendapat.

c. Interpretasi sistemik

(34)

Adapun yang dimaksud dengan interpretasi sistemik ialah pengambilan makna yang terkandung dalam ayat (termasuk klausa dan frasa) berdasarkan kedudukannya dalam ayat, di antara ayat-ayat atau pun di dalam surahnya. Di sini data dianalisis dengan melihat perpautannya dengan ayat-ayat, atau bagian lainnya yang ada di sekitarnya, atau dengan kedudukannya dalam surah. Penggunaan teknik ini mengacu pada kenyataan bahwa Alquran sebagai kitab suci yang memiliki sistematika yang utuh, padu, dan disusun oleh Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.

d. Interpretasi sosio-historis

Di sini ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan mempergunakan riwayat mengenai kehidupan sosial, politik, dan kultural bangsa Arab pada waktu turunnya Alquran, atau dengan ungkapan lain, ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan menggunakan asba>b al-nuzu>l ayat. Walaupun penggunaan teknik interpretasi ini amat terbatas dan pemakaiannya masih diperselisihi oleh para ulama.

e. Interpretasi teleologis

Di sini ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan menggunakan kaidah-kaidah fikih, yang pada hakikatnya merupakan rumusan dari filsafat hukum Islam, yang secara garis besar menghendaki tercapainya kebahagiaan manusia dengan wujud kesejahteraan dan kedamaian.

Penggunaan teknik ini dapat dilihat misalnya dalam penafsiran ulama fikih terhadap Q.S. Al-Nahl/16: 43 yang berbunyi:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ)43(

(35)

Terjemahnya:

Dan kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.

Dengan jalan isya>rah al-nas}, dapat dipahami bahwa adanya perintah bertanya kepada ahl al-zikri menunjukkan adanya kewajiban untuk mewujudkan ahl al-zikri di suatu tempat.

f. Interpretasi kultural

Dalam hal ini, ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan yang mapan. Pemakaian teknik ini mengacu pada asumsi bahwa pengetahuan yang benar tidak bertentangan dengan Alquran, bahkan mendukung kebenaran Alquran.

Aplikasi teknik ini dapat dilihat dari pada interpretasi Ibnu Mas’u>d terhadap Q.S. Al-Hijr/15: 22, seperti telah disebutkan di atas, yang memberikan makna kata لواقح dengan “menyatukan uap air dan awan sehingga terbentuk mendung”. Atau pemaknaan kataزرة dengan atom dan pemaknaan kataالعلق dengan “sesuatu yang tergantung”, bukan darah beku, karena makna yang pertama lebih sesuai dengan Embriologi.

g. Interpretasi logis

Teknik ini merupakan penggunaan prinsip-prinsip logika dalam memahami kandungan Alquran. Dalam hal ini, kesimpulan diperoleh dengan cara berpikir logis, yakni deduktif atau induktif. Pengambilan kesimpulan yang demikian, dikenal dalam logika sebagai prinsip inferensi.

Penggunaan teknik ini, mengacu pada kenyataan bahwa tafsir pada hakikatnya adalah termasuk kegiatan ilmiah yang memerlukan pemahaman ilmiah.

Selanjutnya, pada sisi lain, prinsip-prinsip logika dapat ditemukan dalam kaidah

(36)

us}u>l al-fiqh dan 'ulu>m al-Qur’a>n.

h. Interpretasi ganda

Yang dimaksud dengan interpretasi ganda adalah penggunaan dua atau lebih teknik interpretasi terhadap sebuah objek pembahasan. Hal ini dimaksudkan untuk pengayaan, sebagai kontrol, dan verifikasi terhadap hasil interpretasi. Dengan penggunaan teknik interpretasi ganda ini, maka metode tafsir yang dilakukan memiliki ciri koreksi internal atau koreksi diri sendiri.

Sebagai contoh adalah tafsir kata السارق dalam Q.S. Al-Maidah/5: 38.

Dilihat dari sudut semantik morfologis, memberi pengertian sifat, sehingga dapat dipahami bahwa yang dijatuhi hukum potong tangan adalah mereka yang memiliki sifat pencuri. Namun dengan memperhatikan hadis nabi M\uhammad saw., maka yang dimaksud ialah orang yang telah mencuri, meskipun perbuatan mencuri itu belum menjadi sifatnya.

Dari uraian tentang berbagai teknik interpretasi di atas, tampak bahwa setiap teknik interpretasi memiliki karakteristik tersendiri, namun dalam

penerapannya harus dilaksanakan secara integral. Dengan pengertian bahwa dalam mengkaji suatu objek, seorang mufassir dituntut untuk menggunakan berbagai teknik yang dapat diterapkan dalam mengkaji objek tersebut. Mengandalkan satu teknik interpretasi dengan mengabaikan teknik lainnya, dapat menjerumuskan seorang Mufassir kepada misinterpretation.

C. Klasifikasi Manhaj Tafsir

Manusia tidak sama dalam memahami dan mengungkap makna ayat-ayat Alquran, kata-katanya, dan ungkapan-ungkapannya. Karena daya tangkap dan

(37)

pemahaman orang berbeda-beda. Lain penafsir, maka lain pula manhaj yang dipergunakan dalam menafsirkan Alquran.

Oleh karena itu, metode penafsiran perlu dipelajari dengan seksama bagi yang ingin bertindak menafsirkan Alquran. Hal itu dimaksudkan agar tidak salah memilih jalan yang akan ditempuh. Dengan demikian, akan dapat mencapai tujuan dengan selamat dan memperoleh hasil yang benar dan memuaskan.

Ketika berbicara tentang metode penyajian tafsir Alquran, secara umum para ulama telah menklasifikasikannya menjadi empat bagian pokok, yaitu tahli>li>, ijma>li>, muqa>ran dan maud}u>'i>>. Dari metode-metode tersebut melahirkan beberapa corak penafsiran. Untuk lebih jelasnya pembahasan ini, sebagai berikut:

1. Metode al-Tah}li>li> (Analitis)

Tah}li>li> berasal dari kata h}allala-yuh}allilu-tah}li>l yang berarti mengurai atau menganalisis. Tafsir dengan metode ini adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Alquran dengan memaparkan segala makna yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam Alquran Mus}haf Us\ma>ni>. Tafsir ini juga dikenal dengan nama tafsi>r tajzi>’i> yaitu tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian, atau tafsir parsial. Tafsir dengan metode ini adalah metode tafsir tertua, yang pada mulanya terdiri dari tafsiran atas beberapa ayat saja, yang kadang-kadang mencakup penjelasan mengenai kosakatanya. Para ulama tafsir kemudian merasakan kebutuhan adanya tafsir yang mencakup isi Alquran secara keseluruhan. Oleh karena demikian, pada akhir abad

(38)

ketiga dan awal abad keempat hijriyah, antara lain Ibnu Ma>jah dan Ibnu Jari>r al-T}abari> berusaha mengkaji dan menganalisis keseluruhan isi Alquran dan membuat model atau cara yang paling maju dalam metode tah}li>li> ini.

Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk al-ma’s\u>r (riwayat) atau ra'yi (pemikiran). Di antara kitab tafsir tah}li>li>

yang mengambil bentuk al-ma’s\u>r ialah Ja>mi' al-Baya>n an Ta'wi>l al-Qur’a>n karangan Ibnu Jari>r al-T{abari> (w. 310 H.), Tafsir al-Qur’a>n al-Az}im (terkenal dengan tafsir Ibnu Kas\i>r) (w.774 H.), dan lain lain. Adapun tafsir tah}li>li> yang mengambil bentuk al-ra'yi banyak sekali, antara lain:

Tafsir al-Kha>zin karangan al-Kha>zin (w. 741 H.), Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta'wi>l karangan al-Baid}a>wi> (w. 691 H.), dan beberapa kitab yang lain.

Dalam penafsiran tersebut, Alquran ditafsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah secara berurutan, serta tidak ketinggalan menerangkan asba>b al-nuzu>l dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Demikian pula ikut diungkapkan penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh Nabi saw., sahabat, tabiin, ta>bi' al-ta>bi'in, dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, fikih, bahasa, sastra dan sebagainya. Selain itu, juga dijelaskan muna>sabah (kaitan) antara satu ayat dengan ayat yang lain, juga antara surah dengan surah yang lain.

Adapun kelebihan metode analitis (tah}li>li>) ialah ruang lingkupnya yang luas dan memuat berbagai ide, sedangkan kekurangannya ialah menjadikan petunjuk Alquran yang parsial, melahirkan penafsiran yang subjektif, dan memasukkan pemikiran israiliyat.

(39)

2. Metode al-Ijma>li> (Global)

Metode al-ijma>li> adalah menafsirkan ayat-ayat Alquran secara global.

Dengan metode ini, mufasir berupaya menjelaskan makna Alquran dengan uraian singkat dan bahasa yang mudah sehingga dapat dipahami oleh semua orang, mulai dari yang berpengetahuan luas sampai orang yang berpengetahuan sekedarnya.

Sistematikanya mengikuti urutan surah-surah Alquran, sehingga makna-maknanya dapat saling berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna ini mufasir menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari Alquran sendiri dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat penghubung, sehingga memberikan kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya. Dengan kata lain, makna yang diugkapkan itu biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui jumhur ulama, dan mudah difahami orang.

Ketika menggunakan metode ini, para Mufassir juga menjelaskan Alquran dengan bantuan sebab turun ayat (asba>b al-nuzu>l), peristiwa sejarah, hadis Nabi, atau pendapat ulama saleh.

Kitab tafsir yang menggunakan metode ini antara lain adalah al-Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m karya Muh}ammad Fari>d Wajdi>, seorang mufassir kontemporer asal Mesir, Tafsir al-Wasi>t} karya Tim Majma’ al-Buh}u>s\

al-Isla>miyyah, Tafsir al-Jala>lain serta Taj al-Tafasir karangan Muh}ammad Us\man al-Mirghani>.

Adapun kelebihan dan kekurangan metode global (ijma>li>) adalah:

kelebihannya, praktis dan mudah dipahami, bebas dari penafsiran israiliyat, dan akrab dengan bahasa Alquran. Sedangkan kekurangannya, menjadikan petunjuk

Referensi

Dokumen terkait

(4) Selain jumlah surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang di TPS disediakan surat suara yang diberi tanda khusus sebanyak

Beliau juga sangat benci apabila namanya disebut-sebut (dipuji) di tengah-tengah manusia, sehingga beliau pernah berkata kepada seseorang: “Jadilah engkau orang yang

Apabila nilai jaminan berupa efek dan/atau dana tersebut berkurang dari rasio jaminan yang ditetapkan dan diberitahukan Mandiri dari waktu ke waktu, maka Nasabah wajib menambah

Tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk

Dan termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam dan Allah menutup perbuatan jelek yang dilakukannya tersebut (1) namun

Tapi janganlah bermudah-mudah dalam masalah ini, karena sangat jelas sekali dari hadits-hadits shahih dan pernyataan-pernyataan para shahabat Rasulullah di atas

Hasil penelitian yang diperoleh masih jauh dari spesifikasi pasar, dimana derajat kemerlangan rendah, bulk density masih cukup tinggi dan pengotor unsur besi

Tingkat upaya penangkapan yang dalam jangka panjang memberikan hasil tertinggi dicirikan oleh F msy dan hasil tangkapannya dicirikan oleh MSY (Maximum