• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Fisiografi Regional

Secara umum fisiografi Sulawesi bagian timur dikelompokkan kedalam tiga bagian besar yakni keping benua, komplek ofiolit, serta sedimen Neogen dan Kuarter (Gambar II.1).

Gambar II.1 Fisiografi Sulawesi bagian timur (Surono dan Hartono, 2013)

1. Kepingan benua

Kepingan benua yang tersebar di Lengan Timur Sulawesi terdiri dari: Banggai- Sula, Siombok, Tambayoli, Bungku, Sulawesi Tenggara, Mattarombeo, Buton, dan Tukang Besi (Surono dan Hartono, 2013).

(2)

7 2. Komplek Ofiolit

Komplek Ofiolit Sulawesi dikenal sebagai East Sulawesi Ofiolite Belt (ESOB) atau Lajur Ofiolit Sulawesi Timur (LSOT). Penyebaran LSOT dapat ditelusuri dari Lengan Timur Sulawesi mulai dari Poh, Bunta sampai Ampana, dan Morowali. Di bagian tengah Sulawesi, LSOT tersebar di Kolonodale-Bungku- Kendari, pantai barat Lengan Tenggara Sulawesi seperti Lasusua, Kolaka, dan Bombana.

3. Sedimen Neogen dan Kuarter

Sedimen Neogen di bagian timur Sulawesi merupakan sedimen yang diendapkan pada saat akhir dan setelah tumbukan antara keping benua dengan ofiolit.

Sedimen Neogen juga dikenal dengan Celebes Molasee (Molasa Sulawesi) oleh Sarasin dan Sarasin (1901). Molasa Sulawesi menyebar luas di hampir seluruh daratan Sulawesi dan umumnya terdiri atas batuan sedimen klastika dan karbonat laut dangkal. Sedimen Kuarter yang tersebar di Sulawesi Timur umumnya terdiri atas batugamping koral yang melampar di sepanjang pantai. Penyebaran yang luas berada di pantai selatan Lengan Timur Sulawesi dan di sekitar Kendari, Sulawesi Tenggara.

Menurut Surono dkk (1993) dalam Lembar Batui sebagian besar berupa perbukitan dan pegunungan yang berlereng sedang sampai terjal. Berketinggian dari sedikit di atas muka laut hingga melebihi 2600 m. Pegunungan Batui di daerah ini membentuk pegunungan, membujur di bagian tengah Lembar dengan arah yang mengalir ke tenggara, yaitu ke Teluk Tolo, dan yang ke baratlaut, ke Teluk Tomini. Dataran rendah terlampar di sepanjang pantai memanjang dari ujung baratdaya sampai ke Batui.

II.2. Tektonik Regional

Cekungan Tomori merupakan cekungan polihistorik yang terbentuk pada masa Pra-Tersier, awalnya sebagai cekungan hasil proses rift valley bagian utara kontinen Gondwana yang kemudian terpecah menjadi beberapa mikrokontinen.

(3)

8

Batas cekungan Tomori menurut Peta Cekungan Sedimen Indonesia (Badan Geologi, 2009) adalah sebagai berikut (Gambar II.2):

 Barat laut dibatasi oleh Kompleks Pompangeo dan Batugamping Meta berumur Kapur, yang membentuk tinggian topografi Pegunungan Koro Ue, Tamboke, dan Toruke Mpenai

 Utara dibatasi oleh Kompleks Pompangeo yang membentuk tinggian topografi Pegunungan Kayo Ga, serta tinggian topografi yang tersusun oleh Kompleks Ultrabasa

 Timur laut dibatasi oleh kompleks ultrabasa

 Selatan dibatasi oleh Kompleks ultrabasa, Sesar Matano, dan batas lempeng samudra baratlaut Cekungan Banda.

Gambar II.2 Peta Lokasi dan batas Cekungan Tomori (Badan Geologi, 2009)

Berdasarkan tektonostratigrafinya, Calvert dan Hall (2003) membagi Sulawesi menjadi 5 provinsi tektonik (Gambar II.3), yaitu 1) Busur Magmatik Sulawesi Utara, 2) Busur Plutono-Vulkanik Sulawesi Barat, 3) Jalur Metamorf Sulawesi Tengah, 4) Ofiolit Sulawesi Timur, dan 5) fragmen-fragmen mikrokontinen.

(4)

9

Busur Plutonik-vulkanik Sulawesi Barat dan Busur Magmatik Sulawesi Utara

Busur plutonik dan busur magmatik dicirikan oleh batuan Tersier Pluto-Vulkanik yang berasosiasi dengan sedimen berumur Tersier dan Kuarter (Sukamto, 1975 dalam Sukamto dan Simandjuntak, 1981). Sulawesi Utara menunjukkan ciri-ciri busur vulkanik dengan kerak samudera sebagai batuan dasarnya, sedangkan Sulawesi Barat justru memperlihatkan kesamaan komposisi kerak benua termasuk batuan sedimen yang terlipat kuat dan diterobos oleh granodiorit dan diorit (Sukamto, 1975 dalam Sukamto dan Simandjuntak, 1981). Sedimen laut dan vulkaniklastik terendapkan secara bertahap antara Paleosen – Holosen. Pada bagian selatan terendapkan batuan Tersier di atas sikuen tebal dari “flysch”

berumur Kapur Akhir.

Jalur Metamorf Sulawesi Tengah dan Ofiolit Sulawesi Timur

Kompleks ofiolit dan sedimen pelagik tersebar luas sepanjang lengan Sulawesi bagian timur dan tenggara. Daerah ini tersusun atas ofiolit yang berasosiasi dengan sedimen pelagik Mesozoikum dan mélange. Kompleks ofiolit umumnya terdiri dari dunit, harzburgit, lerzoit, werhlit, serpentinit, gabro, diabas, basalt, dan diorit (Soeria-Atmaja dkk., 1972 dalam Sukamto dan Simandjuntak, 1981).

Sikuen lengkap ofiolit berada pada lengan timur, termasuk batuan ultramafik dan mafik, lava bantal, dan sedimen pelagik berupa rijang dan batugamping. Batuan mélange tersingkap pada bagian tengah dan tersusun oleh blok ofiolit, sedimen pelagik, dan batuan metamorf dalam matriks dari lempung merah (Simandjuntak, 1980 dalam Sukamto dan Simandjuntak, 1981). Batuan metamorf di bagian barat tersusun oleh beragam jenis sekis, dengan variasi jenis komposisi dalam amfibol- epidot, glaukofan-lawsonit atau fasies greenschist (de Roever, 1974 dalam Sukamto dan Simandjuntak, 1981).

Fragmen-Fragmen Mikrokontinen

Fragmen-fragmen benua, di Sulawesi terdiri dari Banggai-Sula dan Buton, diyakini berasal dari bagian utara lempeng Benua Australia (Pigram dkk., 1985

(5)

10

dalam Priadi, 2000). Fragmen mikrokontinen ini kemungkinan terpisah pada Jura dan bergeser ke arah baratlaut menuju posisi saat ini.

Fragmen benua ini dicirikan oleh kompleks batuan dasar batuan metamorf berumur Karbon dan batuan plutonik Perm - Trias, yang berada di bawah kontinen Mesozoik yang berasal dari suksesi sedimen dengan kehadiran ammonites, belemnites, dan pelecypods (Sukamto, 1974 dalam Sukamto dan Simandjuntak, 1981).

Gambar II.3 Tektono-stratigrafi Sulawesi (dimodifikasi dari Calvert dan Hall, 2003)

Berdasarkan hubungan stratigrafi sedimen laut berumur Trias hingga Kapur merupakan bagian penutup dari Kompleks Ofiolit Sulawesi. Rangkaian tektonik sedimen laut tersebut dapat disetarakan dengan pembentukan Kompleks Ofiolit Sulawesi yang berasosiasi dengan pembentukan mid oceanic ridge (Kadarusman dkk., 2004).

Ada beberapa perbedaan interpretasi mengenai kemunculan komplek ofiolit di lengan timur Sulawesi. Milsom dkk (2000) menemukan bukti adanya sedimen laut berumur Trias Akhir hingga Kapur di bawah tutupan ofiolit, sehingga mereka menyimpulkan umur obduksi komplek ofiolit terjadi pada Eosen – Oligosen Awal. Sedangkan Kadarusman dkk (2004), mengkaji asal muasal East Sulawesi

(6)

11

Ofiolit (ESO) dengan metode geokimia, dan menyimpulkannya sebagai bagian dari produk Superplume Pasifik pada 80 – 120 juta tahun lalu, dan mengalami akresi dengan batas Sundaland pada 30-40 Juta Tahun lalu (Eosen Akhir – Oligosen Awal).

Lokasi asal dari ESO berdasarkan peta rekonstruksi lempeng purba (Kadarusman dkk., 2004) 137 jtl berada pada mid-Pacific Plate. Pada 120 jtl ESO pecah dan bergerak ke arah barat saat pembentukan mid-oceanic ridge pada Lempeng Pasifik. Perubahan pergerakan lempeng pada 85-65 jtl mengakibatkan ESO mengalami perubahan arah pergerakan utara-barat. Pada 40 jtl ESO mencapai posisi yang sangat dekat dengan batas Sundaland dan terperangkap di belakang lempeng samudra, yang menyeret fragmen mikrokontinen dari pecahan benua Australia. Pada 30 jtl ESO terobduksi terhadap batas Sundaland. Busur magmatisme terbentuk pada 20 jtl, yang dihasilkan dari subduksi arah barat mikrokontinen Banggai – Sula. Mikrokontinen Banggai-Sula mulai mengalami kolisi pada 10 jtl (Miosen Akhir) dengan bagian timur ESO. Posisi ESO selanjutnya terangkat dan tergeser pada kurang lebih 5 jtl saat pembukaan Selat Makassar. Runtunan peristiwa di atas dapat diamati pada skema gambar II.4.

Pada masa Neogen terjadi peristiwa pengalihtempatan beberapa mikrokontinen ke barat – baratlaut, yang difasilitasi oleh Sistem Sesar Sorong. Mikrokontinen – mikrokontinen tersebut selanjutnya mengalami tumbukan dengan Jalur Batuan Malihan Sulawesi Tengah dan Jalur Ofiolit Sulawesi Timur (Simandjuntak, 1990;

Coffield dkk, 1993). Sistem tumbukan tidak memunculkan busur gunungapi maupun cekungan busur muka dan belakang (Simandjuntak, 1986).

Pada masa inilah mikrokontinen – mikrokontinen Buton-Tukang Besi dan Banggai-Sula bertumbukan dengan lengan Sulawesi bagian timur (Gambar II.5).

Tumbukan mikrokontinen Banggai – Sula dengan lengan timur Sulawesi dimulai pada saat Miosen Tengah hingga Pliosen. Sedangkan Satyana (2007), menyebutkan bahwa tumbukan terjadi antara Miosen Akhir hingga Pliosen paling awal. Tumbukan ini mengakibatkan overthrust dari Sabuk Ofiolit Sulawesi Timur

(7)

12

(East Sulawesi Ophiolite Belt – ESO), pemendekan, dan pengangkatan ujung depan mikrokontinen Banggai – Sula, dan pembentukan sabuk lipatan dan patahan zona imbrikasi Batui didepan tumbukan (Gambar II.6). Waktu kolisi antara ESO dan mikrokontinen Banggai – Sula kemungkinan terjadi sekitar Miosen Akhir (Silver dkk., 1983).

Pada masa Kuarter terbentuk tunjaman ganda yang saling berlawanan di bagian timur Lengan Utara Sulawesi. Pada bagian utara Lengan Utara Sulawesi, kerak samudra Laut Sulawesi bergerak ke selatan – tenggara dan menghujam di bawah Lengan Utara Sulawesi, menghasilkan gunung api aktif di daerah ini. Tunjaman tersebut terjadi akibat tumbukan pada masa Neogen antara keping benua dan Sulawesi, dan masih aktif hingga saat ini (Kavalieris dkk., 1992; McCaffrey dkk., 1983).

Gambar II.4 Sejarah tektonik kompleks East Sulawesi Ofiolit dari Awal-Akhir Kapur hingga saat ini (Kadarusman dkk., 2004). (a) East Sulawesi Ofiolit terbentuk bersamaan dataran tinggi bawah samudra dan pegunungan –pegunungan bawah laut oleh Superplume Pasifik pada 80-120 Jtl. East Sulawesi Ofiolit bergerak ke arah barat menuju batas lempeng benua Sundaland. (b) East Sulawesi

Ofiolit terakresi terhadap batas Sundaland pada 30-40 Jtl. (c) Mikrokontinen Banggai-Sula bergerak ke arah barat dan memulai proses pembentukan zona subduksi baru, membentuk endapan

volkaniklastik Neogen (NVC) yang saat ini menutupi kompleks East Sulawesi Ofiolit. (d) East Sulawesi Ofiolit selanjutnya terobduksi oleh gaya apungan subduksi (bouyant subduction) dari

mikrokontinen Banggai-Sula pada 0-5 Jtl. (Kadarusman dkk., 2004)

(8)

13

Gambar II.5 Tektonik di Sulawesi Timur, yang terbentuk dari kolisi antara Lengan Timur Sulawesi dengan mikrokontinen Buton – Tukangbesi dan mikrokontinen Banggai – Sula. Muka kolisi diindikasikan dengan terbentuknya zona sabuk lipatan dan patahan terimbrikasi (Satyana dan

Purwaningsih, 2011).

Gambar II.6 Model tektonik kolisi antara mikrokontinen Banggai-Sula dan Lengan Timur Sulawesi (Garrard dkk., 1988)

II.3. Stratigrafi Regional

Secara umum, menurut Surono dkk (1993) stratigrafi Kabupaten Morowali Utara termasuk dalam Peta Geologi Lembar Batui. Urutan stratigrafi daerah penelitian berdasarkan umur dari yang paling tua hingga muda yaitu: Formasi Tokala (TRJt), Formasi Matano (Km), Bancuh Kolokolo (Tmk), Formasi Bongka (Tmpb) dan aluvium (Qa) (Gambar II.7).

(9)

14

Gambar II.7 Stratigrafi regional (Surono dkk., 1993)

Batuan penyusun daerah penelitian berurutan dari tua ke muda sebagai berikut:

1. Formasi Tokala (TRJt)

Berdasarkan Surono dkk (1993), formasi ini berumur Trias dan dicirikan oleh batugamping dan napal, bersisipan serpih dan batupasir. Di dalam batugamping ditemukan fosil koral dan moluska. Künding (1956) menemukan fosil Misolla dan Rhynconella yang diduga berumur Noria atau Trias Akhir, dengan lingkungan pengendapan laut dangkal hingga dalam.

2. Formasi Matano (Km)

Berdasarkan Surono dkk (1993), formasi ini berumur Kapur dan dicirikan oleh rijang dan kalsilutit. Rijang berwarna merah jambu, kelabu muda, kehijauan, dan merah. Kalsilutit berwarna putih, putih pucat dan kelabu. Batugamping mengandung fosil Heterophelix sp., sedangkan rijangnya mengandung radiolaria.

Fosil – fosil tersebut menunjukkan umur Kapur Akhir, pada lingkungan pengendapan laut dalam. Tebal Formasi Matano mencapai lebih dari 1000 meter.

Hubungan antara rijang dan kalsilutit tidak jelas, hanya secara stratigrafi kalsilutit terdapat pada bagian atas dari runtutan ini.

(10)

15 3. Bancuh Kolokolo (Tmk)

Berdasarkan Surono dkk (1993), formasi ini berumur Miosen Awal - Miosen Tengah dan dicirikan oleh ofiolit, batuan sedimen, batuan gunungapi, batuan malihan, matriks lempung bersisik dan berlumpur napalan. Ofiolit terdiri atas peridotite, gabro, dolerite, dan basalt. Batuan – batuan tersebut umumnya sangat terubah. Peridotit tersenpentinitkan kuat, sering memperlihatkan struktur sarang, pembentukan serpentinit dan olivin. Jenis serpentin yang dikenali antigorite, berstruktur serabut, sarang lebah atau jala. Piroksen terubah menjadi klorit dan oksida besi.

Batuan basa, bertekstur ofitik atau subofitik. Fenokris plagioklas dari jenis labradorit (An 55 – 68), menunjukkan struktur kembar Carlsbad/albit dan zoning.

Piroksen-orto dan piroksen-klino terubah kuat, uralitisasi terdapat dalam beberapa batuan. Kloritisasi dari piroksen ada hubungannya dengan ubahan hidrotermal.

Batuan sedimen terdiri atas kepingan batugamping, batunapal, arenit, rijang dan kalsilutit. Batugamping dan batunapal, hampir secara keseluruhan berisi foraminifera planktonik dan bentonik, berukuran sampai puluhan meter, kepingan menyudut dan bentuknya tak teratur. Arenit terdiri atas kepingan aneka bahan, seperti kuarsa, batulumpur silikaan, argilit, batusabak, filit, sekis, mika, dan batuan gunungapi. Rijang dengan kepingan yang menyudut berukuran sampai puluhan meter panjangnya, tersusun dari kuarsa kriptohablur dan mengandung radiolaria terhablur ulang. Kalsilutit berkomposisi batulumpur gampingan dan greywake, dan berisi mikrofosil; terbenam dalam matriks dari campuran lumpurgamping dan lempung serta oksida besi. Batuan gunungapi dengan kepingan tuf gelas riodastik, berukuran beberapa meter panjangnya, teretakkan dan terkekarkan sangat kuat, berwarna kekuningan akibat proses pelapukan.

Batuan malihan berkeping batuan sedimen malih lanjut derajat rendah, yaitu; filit, batusabak, kuarsit, dan rijang malih. Sedimen menunjukkan tekstur saling berkaitan dari hablur yang mengarah. Kepingan sekis mika bertekstur perdaunan

(11)

16

terlihat dari hablur mika yang pipih memanjang tersusun sejajar, dan kuarsa yang mengarah.

4. Formasi Bongka (Tmpb)

Berdasarkan Surono dkk., (1993), formasi ini berumur Miosen – Pliosen dan dicirikan oleh perselingan antara konglomerat, batupasir, serpih, napal, dan batugamping: setempat bersisipan dengan tuf dan lignit. Setempat Formasi Bongka disisipi tuf dan lignit. Fragmen kuarsa dan batugamping berasal dari mikrokontinen Banggai – Sula, sedangkan batuan mafik-ultramafik diduga bersumber dari Ofiolit Sulawesi Timur.

Sebaran Formasi Bongka membentang luas membentuk lembah Sungai Bongka di Lengan Timur Sulawesi dan di Pulau Batudaka (Kepulauan Togian), serta di lereng selatan Lengan Timur Sulawesi. Batugamping sebagai lensa dalam batupasir mengandung Orbulina universa, Globigerina naparimaesis, Globigerinoides immaturus, Gb. rubber, Globorotalia tumida, Gl. tosaensis, Gl.

acostaensis, Pulleniatina obliquiloculata, dan Sphaeroidinella dehiscens.

Kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur Miosen Akhir – Pliosen, dengan lingkungan pengendapan pada laut dangkal hingga paralas. Napal dalam Formasi Bongka juga banyak mengandung foraminifera (Surono dkk., 1993), antara lain Globorotalia crassaformis, Gl. minardii, Gl. multicamerata, Gl. tumida, Globigerina venezuelana, Gl. altispira, Globigerinoides immaturus, Gb.

extremus, Gb. oblicuus, Pulleniatina primalis, Sphaeroidinella dehiscens, dan Orbulina universa. Kumpulan fosil tersebut juga menunjukkan umur Miosen Akhir – Pliosen, dengan lingkungan pengendapan di sekitar payau hingga laut dangkal. Formasi Bongka diperkirakan mempunyai hubungan menjemari dengan Formasi Tomata, dengan tebal formasi diperkirakan lebih dari 1000 meter.

5. Aluvium (Qa)

Merupakan endapan permukaan dicirikan oleh lumpur, pasir dan kerakal. Berupa endapan sungai, rawa, dan pantai; melampar luas di sekitar Morowali, rata sampai ke Batui.

(12)

17 II.4. Cretaceous Oceanic Red Beds

Cretaceous marine beds telah dikenal sejak 150 tahun lalu, sejak Stur (1860) and Gumbel (1861) menjelaskan lapisan Puchov di Carpathians dan lapisan Nierental di timur Pegunungan Alpen. Selama akhir 1990-an Wang dkk menemukan dan mempelajari Upper Cretaceous marine bed di Chuangde, Tibet selatan yang diendapkan di timur Samudera Tethys. Wang dkk (2004; 2005) dan Hu dkk (2005) pertama kali mempublikasikan Cretaceous Oceanic Red Bed (CORB) dan telah banyak digunakan sebagai korelasi menyeluruh secara global. CORB merupakan batuan sedimen berwarna merah-merah muda hingga coklat- kecoklatan. Umumnya berupa batugamping, napal, serpih, dan/atau rijang yang diendapkan di lingkungan pelagik laut berumur Kapur (Hu dkk., 2005; Scott dkk., 2009).

Gambar II.8 Segitiga ORB (Hu dkk., 2012)

CORB umumnya diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama berdasarkan petrologi batuan sedimen (Wagerick dkk., 2009; Wang dkk., 2009). (1) Batugamping merah pelagik dan hemipelagik, (2) Batulempung merah laut dalam yang terendapkan dibawah CCD, dan (3) Radiolarites dan rijang merah terendapkan di bawah CCD (Gambar II.8). Perbandingan geokimia nilai CaO, Al2O3 dan SiO2 digunakan untuk mengklasifikasikan CORB. Ca-CORB adalah

(13)

18

berupa batugamping pelagik. Al-CORB adalah batulempung terrigenous dengan butir kuarsa berukuran lanau yang berasal dari erosi kontinen dan tertransport oleh arus laut atau angin, dan Si-CORB yang terdiri silika organik yang berasal dari radiolaria.

II.5. Geokimia Batuan Sedimen

Secara terminologi, kata batuan asal (provenance) berasal dari bahasa Perancis, yaitu Provenir yang berarti asal mula atau timbul (Pettijohn, 1987; dalam Boggs, 2008). Analisis provenan digunakan sebagai bukti dalam merekonstruksi kondisi paleogeografis dan paleotektonik dari batuan (Dickinson, 1988). Provenan dapat digunakan untuk menjelaskan daerah asal, seberapa jauh tertransport, arah dari transportasi, ukuran dan volume sedimen, variasi litologi dari batuan asal, tatanan tektonik daerah asal, iklim dan relief dari daerah asal sedimen.

Geokimia sedimen klastik telah digunakan untuk mengidentifikasi asalnya (Armstrong-Altrin dkk., 2004;2012). Diagram diskriminan tatanan tektonik yang diusulkan oleh Bhatia (1983) (Gambar II.9) dan Roser dan Korsch (1986) (Gambar II.10) telah digunakan dalam geokimia sedimen untuk mengidentifikasi tatanan tektonik cekungan sedimen yang belum diketahui (Purevjav dan Roser, 2012). Namun, dibeberapa terakhir, diagram diskriminan tatanan tektonik berdasarkan major elements mendapat banyak kritik, sedangkan skema yang bergantung pada trace elements telah dianggap sebagai parameter yang dapat diandalkan (LaMaskin dkk., 2008).

(14)

19

Gambar II.9 Diagram diskriminan Bhatia (1983)

Gambar II.10 Diagram diskriminan Roser dan Korsch (1986)

Gambar

Gambar II.1 Fisiografi Sulawesi bagian timur (Surono dan Hartono, 2013)
Gambar II.2 Peta Lokasi dan batas Cekungan Tomori (Badan Geologi, 2009)
Gambar II.3 Tektono-stratigrafi Sulawesi (dimodifikasi dari Calvert dan Hall, 2003)
Gambar II.4 Sejarah tektonik kompleks East Sulawesi Ofiolit  dari Awal-Akhir Kapur hingga saat  ini (Kadarusman dkk., 2004)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Manifestasi panas bumi yang terdapat di Kelapa Dua, Pohon Batu, Banda Baru maupun Tehoru muncul di satuan batuan malihan yang berumur Perm – Trias dan Manifestasi panasbumi

Tumbuhan atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan karbon yang jauh lebih besar dari pada tanaman

Satuan ini terdiri dari batuan piroklastik berukuran ash sampai lapili dengan fragmen-fragmen batuan andesit- basaltik yang merupakan bagian dari tubuh vulkanik

Lingkungan pembentukan batuan dipengaruhi oleh pH, komposisi magma asal (batuan beku), komposisi batuan asal (sedimen dan metamorf), temperatur pembentukan, proses

Batuan sumber di daerah penelitian secara geologi berupa granit yang termasuk pada jalur berumur Trias – Jura merupakan batuan granit alkali yang mengandung

Di daerah Kepala Burung atau Salawati-Bintuni, batuan dasar yang berumur Paleozoikum terutama tersingkap di sebelah timur kepala Burung yang dikenal sebagai

Digestasi anaerobik merupakan proses kompleks dalam penguraian senyawa organik menjadi metana (CH 4 ) dan karbon dioksida (CO 2 ) oleh berbagai jenis mikroorganisme anaerobik.

Fotosistem I merupakan kompleks pigmen protein yang mengandung multisubunit yang terletak pada membran tilakoid, yang dapat memfotoreduksikan ferredoxin dengan elektron yang