BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Semakin berkembangnya industri-industri di kota besar, semakin berkembang pula limbah yang dihasilkan. Salah satunya adalah limbah cair. Limbah cair tersebut biasanya dialirkan ke sungai-sungai ataupun kali yang ada disekitar industri yang bersangkutan. Sehingga dengan dialirkannya limbah cair tersebut dapat mencemari kualitas air yang ada di sekitar kota khususnya untuk pengolahan air PDAM yang digunakan sebagai air baku utama dalam pengolahan air bersih dan dikhawatirkan dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat.
Dalam proses pengolahan air baku menjadi air minum, diperlukan pengolahan yang memenuhi standar kualitas yang ada, agar produk yang dihasilkan berkualitas tinggi dan tidak membahayakan kesehatan manusia.
Pengolahan air minum yang sudah diterapkan di Indonesia berupa pengolahan konvensional yang terdiri dari Koagulasi-Flokulasi, Sedimentasi dan Filtrasi. Akan tetapi pengolahan konvensional ini memiliki keterbatasan seperti membutuhkan luas lahan besar, operasional dan perawatan yang rumit hingga kualitas air yang masih dibawah standar. Hal ini menimbulkan pemikiran untuk mengembangkan lebih jauh bahkan hingga memodifikasinya dengan teknologi baru.
Akhir-akhir ini, salah satu teknologi yang banyak digunakan di negara-negara maju adalah Teknologi Membran. Teknologi ini merupakan teknologi bersih yang ramah lingkungan karena tidak menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan Teknologi membran ini dapat mengurangi senyawa organik dan anorganik yang berada dalam air tanpa adanya penggunaan bahan kimia dalam pengoperasiannya.
Proses mikrofiltrasi merupakan salah satu proses berbasis membran yang berkembang sangat pesat di awal perkembangan teknologi membran. Pertumbuhan dan perkembangannya pada tahun-tahun terakhir hanya mampu disaingi oleh reverse osmosis, akibat adanya permintaan yang sangat besar terutama untuk aplikasi proses desalinasi. Secara umum. mikro filtrasi diaplikasikan dalam proses pemisahan unsur- unsur partikulat dari larutannya.
Aplikasi proses mikrofiltrasi diantaranya adalah untuk proses sterilisasi obat- obatan dan produksi minuman, klarifikasi ekstrak juice, pemrosesan air ultramurni pada industri semi konduktor, metal recovery, dan sebagainya.
1.2 Tujuan
1.2.1 Percobaan 1: Pengukuran Sifat Fisik dan Fluks Membran - Mengukur ketebalan membran
- Melakukan pengujian fluks dengan menggunakan air bersih 1.2.2 Percobaan 2: Penentuan Fouling 1
- Menguji nilai fluks pada membran
- Menentukan besaran fouling pada membran 1.2.3 Percobaan 3: Penentuan Fouling 2
- Menguji nilai fluks pada membran
- Menentukan besaran fouling pada membran
BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Definisi Membran
Menurut Heru Pratomo (2003), membran merupakan suatu lapisan tipis antara dua fase fluida yang bersifat penghalang (barrier) terhadap suatu spesi tertentu, yang dapat memisahkan zat dengan ukuran berbeda, serta membatasi transport dari berbagai spesi berdasarkan sifat fisik dan kimianya. Proses pemisahan dengan membran dapat terjadi karena adanya perbedaan ukuran pori , bentuk, serta struktur kimianya. Membran demikian biasa disebut sebagai membran semipermeabel, artinya dapat menahan spesi tertentu, tetapi dapat melewatkan spesi yang lainnya. Fasa campuran yang akan dipisahkan disebut umpan(feed) dan fasa hasil pemisahan disebut permeat (permeate).
Kata membran berasal dari bahasa latin “membrana” yang berarti kulit kertas.
Secara umum istilah membran didefinisikan sebagai penghalang selektif antara dua fase yaitu fase umpan dan fase permeat. Membran dapat berfungsi sebagai media pemisahan yang selektif berdasarkan perbedaan muatan listrik atau perbedaan kelarutan (Mulder, 1996 dalam Eka Surya, 2013).
2.1.2 Klasifikasi Membran
2.1.2.1 Berdasarkan Jenis Bahan
Berdasarkam bahan, membran dibagi menjadi dua jenis yaitu membran alami (biologis) dan membran sintetik. Membran alami terdapat dalam sel organisme. Dalam sel eukariotik, membran ini menjadi pemisah antara ruangan- ruangan di dalam sel. Sementara itu, dalam sel prokariotik hanya terdapat satu ruangan saja sehingga membran digunakan sebagai pembatas antara nukleoid (bagian di dalam sel) dengan bagian luar di luar sel. Membran sintetis biasanya dibuat untuk keperluan komersil. Membran sintetik terdiri dari dua jenis yaitu membran organik dan membran anorganik. Membran organik terbuat dari bahan polimer (contohnya polisulfon, selulosa asetat dll) memiliki kelebihan yang lebih murah dibandingkan membran anorganik. Sedangkan membran anorganik terbuat dari keramik, logam dan karbon memiliki kestabilan dan kekuatan yang lebih tinggi daripada membran organik. Membran organik tidak dapat dipergunakan pada temperatur di atas 500 oC sedangkan membran anorganik seperti keramik dapat dipergunakan sampai suhu 2000 oC (Eka Surya, 2013)
2.1.2.2 Berdasarkan Morfologi
Menurut Li Zhao (2003), membran asymetric dan symetri termasuk membran yang berdasarkan struktrur morfologi. Membran simetris adalah sistem dengan
struktur homogen seluruh membran. Membran asimetris memiliki perubahan bertahap dalam struktur seluruh membran. Ide dasar di balik struktur asimetris adalah untuk meminimalkan resistensi hidrolik keseluruhan jalur aliran permeat melalui struktur membran. Fluks permeat melalui lapisan tertentu berbanding terbalik dengan ketebalan lapisan. Keuntungan utama dari struktur asimetris adalah laju aliran lebih tinggi pada penurunan tekanan yang diberikan dari yang simetris karena ketebalan didominasi rendah dari lapisan penyaringan fungsional.
Morfologi membran terdiri dari: (Jhon Armedi Pinem dan Rini Angela, 2011) a. Membran Berpori
Membran ini biasa digunakan untuk mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi. Untuk mikrofiltrasi, ukuran pori berkisar antara 0,1-10 μm. Sedangkan untuk ultrafiltrasi berkisar antaar 2100 nm. Prinsip pemisahan membran ini didasarkan atas perbedaan ukuran partikel.
- Membran simetris merupakan membran yang memiliki struktur dan ukuran pori yang seragam dengan ketebalan 10-200 μm. Membran ini terdiri atas membran berpori dan membran rapat.
- Membran asimetris merupakan membran yang memiliki struktur dan ukuran pori tidak seragam.
b. Membran Tak Berpori
Membran ini berpotensi untuk memisahkan molekul dengan ukuran yang hampir sama satu sama lain. Pemisahan terjadi melalui perbedaan kelarutan dan perbedaan difusifitas. Membran ini digunakan untuk pemisahan gas.
c. Membran Komposit
Bagian atas membran ini memiliki pori berukuran kecil dan rapat, dengan ketebalan lapisan 0,1-1 μm. Sedangkan bagian bawah membran (lapisan penyangga/pendukung) memiliki pori berukuran besar, dengan ketebalan 1- 150 μm. Membran ini mengkombinasikan selektifitas yang tinggi dari membran rapat dan laju permeasi yang tinggi dari membran yang sangat tipis.
Ketahanan terhadap transfer massa sebagian besar ditentukan oleh lapisan atas yang tipis.
2.1.2.3 Berdasarkan Ukuran Pori
Menurut Richard (2004) membran berdasarkan ukuran pori terdiri dari membran microporous dan nonporous. Membran microporous memiliki ukuran pori yang sangat kecil berkiran antara 0.01 sampai 10 µm. Semua partikel yang memiliki ukuran lebih besar tidak akan melewati atau ditolak oleh membran mircoporous sedangkan partikel yang lebih kecil akan langsung melewati membran microporous. Membran nonporous adalah membran padat yang dapat
memisahkan partikel yang memiliki ukuran yang sama jika partikel tersebut memiliki tingkat kelarutan yang berbeda. Permeat pada membran nonporous digerakan secara difusi oleh driving force berupa tekanan, konsentrasi dan potensial energi listrik.
Jenis Membran filtrasi berdasarkan ukuran pori membran sebagai berikut:
(Ahsan Munir, 2006) - Ultrafiltration
Ultrafiltrasi (UF) adalah proses pemisahan partikel yang sangat kecil dan molekul terlarut dari cairan. Dasar utama untuk pemisahan adalah ukuran molekul, meskipun dalam semua aplikasi filtrasi, permeabilitas media filter dapat dipengaruhi oleh bahan kimia, sifat molekul atau elektrostatik sampel.
Ultra filtrasi hanya dapat memisahkan molekul yang berbeda oleh setidaknya urutan besarnya ukuran. Molekul dengan ukuran yang sama tidak dapat dipisahkan dengan filtration.Materials yang ultra mulai dari ukuran 1K ke berat molekul 1000K (MW) yang ditahan oleh membran ultrafiltrasi tertentu, sementara garam dan air akan melewati.
- Microfiltration
Filtrasi mikro (MF) adalah proses menghilangkan partikel atau badan biologis dalam 0.025 m untuk 10.0μm berkisar dari cairan dengan melewatkan melalui media mikro seperti filter membran. Meskipun partikel berukuran mikron dapat dihilangkan dengan penggunaan bahan nonmembrane atau kedalaman seperti yang ditemukan di media yang berserat, hanya filter membran memiliki ukuran pori tepat didefinisikan dapat memastikan retensi kuantitatif. Mikrofiltrasi juga dapat digunakan dalam persiapan sampel untuk menghilangkan sel-sel utuh dan beberapa puing sel dari lisat tersebut. Ukuran pori membran cut-off digunakan untuk jenis pemisahan biasanya di kisaran 0,05 µm sampai 1,0 µm.
- Reverse Osmosis
Reverse Osmosis (RO) memisahkan garam dan molekul kecil dari zat terlarut molekul rendah berat (biasanya kurang dari 100 dalton) pada tekanan yang relatif tinggi menggunakan membran dengan NMWLs dari 1 kDa atau lebih rendah. Membran RO biasanya dinilai oleh retensi mereka natrium klorida sementara membran ultrafiltrasi ditandai sesuai dengan berat molekul zat terlarut dipertahankan. Millipore sistem pemurnian air menggunakan membran reverse osmosis baik serta membran ultrafiltrasi. Sistem reverse osmosis terutama digunakan untuk memurnikan air keran untuk kemurnian yang melebihi suling kualitas air. Sistem ultrafiltrasi memastikan bahwa air
ultra murni bebas dari endotoksin serta nucleases untuk penelitian biologi kritis.
2.1.2.4 Berdasarkan Bentuk
Menurut McCabe et. al (1993), membran yang berdasarkan bentuknya biasanya digunakan untuk permeasi gas yaitu:
- Flats membrane
Modul ditumpuk bersama-sama seperti sandwich multilayer atau pelat dan bingkai filter press. Kelemahan utama dari jenis ini adalah area membran yang sangat kecil per pemisah satuan volume.
- Spiral-wound membranes
Perakitan terdiri dari sandwich empat lembar melilit inti pusat dari tabung pengumpul berlubang. Empat lembar terdiri dari lembaran atas sebuah pemisah jaringan terbuka untuk saluran pakan, membran, berpori merasa dukungan untuk saluran permeat, dan membran lain.
Seluruh elemen membran terletak di dalam shell logam. Gas umpan masuk pada ujung kiri shell, memasuki saluran pakan, dan mengalir melalui saluran ini dalam arah aksial spiral ke ujung kanan di mana daun residu gas keluar.
Aliran umpan menembus tegak lurus melalui membran. Permeat ini kemudian mengalir melalui saluran serapan menuju tabung pengumpul berlubang, di mana ia meninggalkan peralatan di salah satu ujung.
(McCabe et. al, 1993)
- Hollow-fibre membranes
Membran adalah dalam bentuk serat berongga diameter sangat kecil.
Diameter dalam dari serat adalah di kisaran 100 sampai 500 µm dan luar 200- 1000 µm dengan panjang hingga 3 sampai 5 m. Modul ini menyerupai penukar panas shell-dan-tabung. Ribuan tabung halus terikat bersama di setiap akhir menjadi lembaran tabung yang dikelilingi oleh shell logam dengan diameter 0,1-0,2 m, sehingga daerah membran per satuan volume adalah hingga 10.000 m2 / m3.
Feed tekanan tinggi masuk ke sisi shell di satu ujung dan daun di ujung lain.
Serat berongga ditutup di salah satu ujung bundel tabung. Gas serapan di dalam serat mengalir berlawanan dengan aliran shell-side dan dikumpulkan dalam ruang di mana ujung terbuka dari serat mengakhiri.
(McCabe et. al, 1993) 2.1.3 Membran Nata de Banana Skin
Nata de banana skin merupakan selulosa mikrobial yang dihasilkan dari proses fermentasi konsentrat kulit buah pisang dengan bantuan bakteri Acetobacter xylinum.
Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang paling efektif untuk menghasilkan selulosa dan telah digunakan secara luas ( Jonas dan Farah dalam Rizka Ayusnika dkk, 2014).
2.1.4 Proses Pembuatan Nata de Banana Skin
Menurut Rizka Ayusnika (2014), tahap pembuatan membran nata de banana terdiri dari beberapa tahapan proses pembuatan yaitu:
- Pembuatan nata de banana skin
Kulit buah pisang dicuci bersih, dipotong kecil-kecil dan diblender hingga halus kemudian disaring dan diperas dengan menggunakan kain blacu/mori untuk diambil cairan konsentratnya. Sebanyak 5 L konsentrat yang diperoleh, disaring dengan kertas saring dengan bantuan corong Buchner. Lalu filtrat dipanaskan hingga mendidih kemudian ditambahkan gula pasir sebanyak 500 gram. Larutan dibiarkan sampai mendidih kembali kemudian ditambahkan 25 gram ammonium sulfat (NH4)2SO dan 30 mL asam asetat glasial. Larutan diatur pH-nya menjadi 4-5.
Larutan dituangkan dalam keadaan panas ke dalam 3 nampan atau wadah plastik yang masing-masing berisi 1,5 L lalu ditutup dengan kertas koran dan didiamkan selama ±24 jam. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan starter bakteri A. xylinum sebanyak 10% dari volume media dan ditutup kembali dengan kertas koran. Media yang ditambahkan starter bakteri diinkubasi pada suhu kamar selama 9 hari untuk proses fermentasi sehingga diperoleh nata de banana skin untuk selanjutnya dimurnikan.
- Asetilasi Selulosa
Selulosa bakteri yang telah dihaluskan sebanyak 5 g ditambahkan 12 mL asam asetat glasial dan diaduk selama 1 jam. Setelah 1 jam ditambahkan campuran 0,088 ml asam sulfat pekat dan 20 mL asam asetat glasial dan diaduk kembali selama 45 menit. Kemudian campuran ini didinginkan sampai mencapai suhu 18,3
°C baru ditambahkan 13,5 mL anhidrida asetat yang telah didinginkan sampai mencapai suhu 15,6 °C dan ditambahkan campuran 0,612 mL asam sulfat pekat dengan 20 mL asam asetat glasial. Setelah itu campuran diaduk selama 20 jam sampai terbentuk larutan. Tahap selanjutnya adalah ditambahkan 15 mL asam asetat 67% tetes demi tetes selama 1 jam sambil diaduk pada suhu 37,8 °C.
Larutan dibiarkan selama 20 jam. Selanjutnya ditambahkan air sambil diaduk sampai terbentuk endapan kemudian dibiarkan selama 10-15 menit. Endapan disaring, dicuci dengan air sampai netral, dan disaring kembali. Setelah itu endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 50-60°C.
- Analisis Gugus Fungsi
Sebanyak 1-2 mg serbuk selulosa asetat nata de banana skin dicampur dengan ±200 mg serbuk KBr. Campuran digerus dengan mortar sampai halus dan homogen kemudian ditekan sehingga membentuk pelet. Pelet dipindahkan ke tempat cuplikan dan dilakukan analisa pada panjang gelombang 4000-500 cm-1 - Pembuatan Membran
Tahap pertama diawali dengan pembuatan larutan polimer CA (15% [b/v]), PS (10% [b/v]) dalam pelarut campuran diklorometana : aseton (1:1). Larutan dicampur dengan nisbah antara CA:PS adalah 9:1. Larutan diaduk dengan pengaduk magnetik hingga homogen. Kemudian larutan polimer dituang di atas pelat kaca
(18×18 cm2) yang telah diberi selotip pada kedua sisinya, lalu dicetak dengan cara menekan dan mendorong larutan tersebut hingga diperoleh lapisan tipis.
Selanjutnya polimer yang menempel pada pelat kaca ini dibiarkan selama 1 menit untuk menguapkan pelarut. Polimer tipis tersebut kemudian direndam dalam air.
Polimer tipis ini selanjutnya digunakan sebagai membran.
2.1.5 Kelebihan dan Kekurangan Membran Nata de Banana Skin
Keunggulan teknologi membran dalam proses pemisahan dibandingkan dengan metode pemisahan yang konvensional, diantaranya yaitu proses dapat dilakukan secara kontinyu, tidak memerlukan zat kimia tambahan, konsumsi energi rendah, dan lain-lain.
Pembuatan membran dari polimer alam telah banyak dikembangkan saat ini, karena lebih ramah lingkungan daripada polimer sintetis, salah satu membran yang terbuat dari selulosa asetat. Selulosa asetat dapat disintesis dari selulosa melalui proses asetilasi, salah satu sumber selulosa adalah kulit buah pisang (Mulder, 1996)
Menurut Ayusnika, dkk (2014), dalam pengujian membran nata de banana skin menggunakan sistem metode dead-end dimana pada metode ini arah alirannya tegak lurus terhadap membran. Namun pada penerapannya sering terjadi fouling yang sangat tinggi sehingga penggunaannya kurang maksimal.
2.1.6 Dead End
Dalam proses Mikrofiltrasi terdapat salah satu sistem pengolahan filtrasi yaitu Modul Dead-End, dimana seluruh cairan dipaksa melalui membran dibawah tekanan vakum dengan cara dihisap menuju daerah permeat. Karena semakin banyak cairan yang melalui membran terjadilah penumpukan pada area membran yang menyebabkan penurunan nilai fluks pada hasil permeatnya. Maka dari itu membran pada modul dead- end memiliki batas maksimum sampai seluruh permukaan membran tidak dapat memfiltrasi cairan (Richard, 2004).
(Richard, 2004)
Aliran dead end, aliran umpan tegak lurus ke permukaan membran. Aliran dead end digunakan pada filtrasi konvesional, dimana padatan yang disaring akan menempel pada permukaan membran sehingga akan membentuk suatu tumpukan berupa cake (Li Zhao, 2003).
(Li Zhao, 2003).
Menurut Ahsan Munir (2006), Dead End merupakan bentu yang paling dasar pada proses filtrasi. Aliran umpan (feed) dipaksa untuk melewati membran dan yang tidak dapat melewati membran akan terakumulasi pada permukaan membran. Filtrasi buntu adalah salah satu di mana aliran air tegak lurus ke permukaan membran. Air didorong melalui membran dengan tekanan. Semua air yang diperkenalkan dalam sel akhir-mati melewati sebagai permeat, dengan kata lain tidak ada air ditolak. Dalam filtrasi buntu partikel dipertahankan membangun dengan waktu satu permukaan membran atau dalam membran. Dalam kedua kasus, partikel membangun hasil dalam peningkatan resistensi terhadap filtrasi dan menyebabkan fluks permeat menurun, sebagai filtrasi hasil buntu memerlukan penghentian filtrasi untuk membersihkan atau mengganti membran karena itu jenis ini filtrasi juga disebut bets penyaringan.
Ada dua jenis filtrasi yang dapat digunakan dalam unit sel buntu; buntu mikrofiltrasi dengan fluks konstan dan buntu mikrofiltrasi dengan penurunan tekanan konstan. Akhir mikrofiltrasi mati dengan fluks konstan memastikan bahwa fluks permeat melalui saringan tetap konstan, filtrasi ini dapat dicapai dengan pompa perpindahan positif.
Sebagai kue build-up meningkat dengan waktu, penurunan tekanan harus ditingkatkan untuk mempertahankan fluks konstan. Pada buntu mikrofiltrasi dengan tekanan konstan, seperti kue build-up dengan waktu fluks permeat menurun (Ahsan Munir, 2006)
2.1.7 Fluks
Fluks didefinisikan sebagai aliran permeat dibagi dengan total luas permukaan membran, seperti yang ditunjukkan pada rumus di bawah ini, dan sering disajikan dalam satuan liter per meter persegi luas permukaan membran per jam (galon per hari per kaki
persegi). Karena fluks sangat dipengaruhi oleh suhu air, fluks sering dinormalisasi ke suhu standar 25 ° C (77 ° F) untuk memperhitungkan fluktuasi viskositas air: (dr. Ir.
Franken, 2009)
Dimana:
J = Fluks
Qp = Aliran Permeat A = Luasan permukaan
2.1.8 Fouling
Pada proses membran definisi tentang fouling dan scaling terkadang membingungkan. Fouling dapat didefinisikan sebagai proses terbentuknya lapisan oleh material yang tidak diinginkan pada permukaan membran. Secara teknis, scaling didefinisikan sebagai akumulasi kerak (scale) akibat adanya peningkatan konsentrasi dari materi anorganik yang melewati hasil kali kelarutannya pada permukaan membran dan menyebabkan penurunan kinerja membran. Sehingga definisi fouling sudah termasuk scaling. Dalam penggunaannya, istilah fouling lebih banyak pada materi biologis dan koloid, sedangkan istilah scaling digunakan untuk pengendapan garam atau mineral anorganik (Dessy Ariyanti, 2009)
2.1.9 Ketebalan Membran
Menurut Li Zhao (2003), Ketebalan lapisan membran separatis untuk struktur membran asimetris merupakan trade-off antara persyaratan integritas fisik, di satu sisi;
dan kebutuhan fluks tinggi, di sisi lain. Produk komersial saat ini menunjukkan ketebalan membran setipis sekitar 5 mikron tetapi umumnya dalam kisaran 10 sampai 30 mikron.
Dukungan massal dan setiap lapisan dukungan menengah bervariasi dalam ketebalan.
Karena stabilitas struktural membran anorganik mereka tidak menderita dari cukup dimensi ketidakstabilan masalah selama proses pemesinan. Jadi ketebalan lapisan yang berbeda bisa diperbaiki dengan SEM atau LM metode.
2.1.10 Morfologi Membran
Sampel direkatkan pada permukaan suatu silinder logam steril berdiameter 1 cm dengan menggunakan perekat ganda. Sampel dipreparasi dan dilapisi dengan logam emas dalam kondisi vakum menggunakan sputter coating. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam instrumen dan dikondisikan dalam keadaan vakum, lalu diatur dan difoto dengan perbesaran tertentu (Rizka Ayusnika, dkk, 2014).
Penentuan morfologi merupakan karakteristik yang penting bagi membran untuk mengetahui struktur pori. Suatu metode sederhana dan cepat untuk menentukan morfologi membran adalah dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM).
Struktur permukaan dan penampang lintang membran dapat dilihat secara mikroskopik pada foto yang dihasilkan oleh SEM. Dari teknik analisis SEM dapat diperkirakan ukuran pori dan distribusi membran hibrid yang telah disintesis (Jhon Armedi Pinem dan Rini Angela, 2011).
2.2 Tinjauan Bahan
2.2.1 Tepung Terigu (Sifat Kelarutan)
Tepung terigu merupakan hasil ekstraksi dari proses penggilingan gandum (T.
sativum) yang tersusun oleh 67-70 % karbohidrat, 10-14 % protein, dan 1-3 % lemak (Riganakos and Kontominas, 1995 dalam Eka Fitasari, 2009)
Protein dari tepung terigu membentuk suatu jaringan yang saling berikatan (continous) pada adonan dan bertanggung jawab sebagai komponen yang membentuk viscoelastik. Gluten merupakan protein utama dalam tepung terigu yang terdiri dari gliadin (20-25 %) dan glutenin (35-40%). Sekitar 30% asam amino gluten adalah hidrofobik dan asam-asam amino tersebut dapat menyebabkan protein mengumpul melalui interaksi hidrofobik serta mengikat lemak dan substansi non polar lainnya. Ketika tepung terigu tercampur dengan air, bagianbagian protein yang mengembang melakukan interaksi hidrofobik dan reaksi pertukaran sulfydryl-disulfide yang menghasilkan ikatan seperti polimerpolimer. Polimer-polimer ini berinteraksi dengan polimer lainnya melalui ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik, dan disulfide cross-linking untuk membentuk seperti lembaran film (sheet-like film) dan memiliki kemampuan mengikat gas yang terperangkap (Eka Fitasari, 2009)
2.2.2 Tepung Tapioka (Sifat Kelarutan)
Tepung tapioka merupakan pati yang diekstrak dari singkong. Dalam memperoleh pati dari singkong (tepung tapioka) harus dipertimbangkan usia atau kematangan dari tanaman singkong. Usia optimum yang telah ditemukan dari hasil percobaan terhadap salah satu varietas singkong yang berasal dari jawa yaitu San Pedro Preto adalah sekitar 18-20 bulan (Grace, 1977 dalam Adie Muhammad, 2007).
Kelarutan pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati. Pola kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur berat supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran swelling power. Solubilitas atau kelarutan pati tapioka lebih besar dibandingkan pati dari umbi-umbi yang lain (Pomeranz, 1991 dalam Adie Muhammad, 2007).
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Percobaan 1
3.1.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain:
Penetrometer untuk menguji kuat tarik dari membran Nata de Banana Skin
Foto Mikroskop untuk melihat struktur dan Morfologi Membran
Preparat sebagai media sampel untuk diamati
Mircrometer untuk mengukur ketebalan membran
Modul Membran Tipe Dead-end sebagai membran penguji
Pompa Vakum untuk memberi tekanan agar fluida atau cairan bisa melewati membran
Penggaris untuk mengukur diameter membran Bahan yang digunakan antara lain:
Membran Nata de Banana Skin sebanyak 2 buah sebagai bahan perlakuan
Akuades atau air bersih untuk merendamkan membran
3.1.2 Diagram Alir Percobaan
Cara kerja dalam percobaan ini terdiri dari beberapa tahap.
Persiapan
Pengukuran Ketebalan Membran Mulai
Membran direndam dalam akuades selama 1 jam
Pastikan semua bagian membran terendam Membran diamati apakah
muncul gelembung udara selama proses perendaman
Selesai
Pengamatan Struktur Permukaan Membran
Penentuan Luas Penampang Membran Mulai
Membran diukur ketebalannya menggunakan mikrometer
Hitung ketebalan rata-rata membran
Pengukuran ketebalan dilakukan minimal pada 3 tempat yang berbeda pada
membran
Selesai
Mulai
Lembaran membran diletakkan dibawan mikroskop
Struktur permukaan membran diamati
Gambar struktur permukaan membran diambil dengan
menggunakan kamera
Selesai
Pengujian Fluks Air Bersih
Mulai
Diameter membran diukur menggunakan penggaris
Luas penampang dihitung dengan persamaan L = π r2
Selesai
Mulai
Pengujian fluks dilakukan dengan menyiapkan membran, modul membran tipe dead-end, pompa vakum
dan ar
Membran diletakkan pada modul
Alirkan air ke dalam modul membran. Selanjutnya hitung
waktu yang dibutuhkan air untuk mengalir keluar
Diamati dan dicatat Volume air yang berhasil melewati membran pada
menit 3, 6, 9, 12 dan 15
Untuk mendapatkan nila fluks gunakan pers:
Selesai
3.2 Percobaan 2
3.2.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain:
Modul membran Tipe Dead-end sebagai membran penguji
Pompa vakum untuk memberi tekanan agar fluida atau cairan bisa melewati membran
Streerer untuk mengaduk dan mensterilkan larutan
Timbangan analitik untuk mengukur massa dari tepung terigu
TDC meter untuk menghitung jumlah padatan terlarut
Corong Bucner untuk memasukan larutan dan tempat membran
Erlenmeyer sebagai wadah untuk melarutkan tepung terigu Bahan yang digunakan antara lain:
Membran sebagai bahan perlakuan
Akuades untuk melarutkan tepung terigu
Tepung terigu sebagai konsentrat pelarut
3.2.2 Diagram Alir Percobaan
Cara kerja dalam percobaan ini terdiri dari beberapa tahap.
Pembuatan larutan tepung
Pengukuran fluks
Timbang tepung terigu sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan dan larutkan dalam air,
aduk dengan menggunakan pengaduk magnetik
Mulai
Tambahkan 3 macam konsentrasi; 0,25 g/l,
0,5 g/l dan 1 g/l
Selesai
Pengukuran retention
Mulai
TDS larutan umpan (feed) diukur pada setiap konsentrasi larutan dan ulangan
TDS larutan hasil filtrasi (permeate) diukur pada setiap konsentrasi dan
ulangan
A Mulai
Larutan terigu dimasukkan sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan kedalam
tangki pengumpan
Pompa dijalankan, tekanan air diukur pada modul
membran
Ukur berat dan volume dari permeat setiap 3 menit hingga 15 menit
Pengukuran fluks dilakukan cukup 1 kali untuk masing-masing konsentrasi tepung
Sebelum dipakai untuk pengukuran fluks selanjutnya, bersihkan permukaan membran dengan air bersih Hitung fluks dengan rumus: Jv = Qp / Am, dengan Jv:
Vol fluks, Qp: Laju aliran permeate, Am: luas permukaan membran
Buat plot grafik evolusi flux hingga 15 menit
Selesai
3.3 Percobaan 3
3.3.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain:
Modul membran Tipe Dead-end sebagai membran penguji
Pompa vakum untuk memberi tekanan agar fluida atau cairan bisa melewati membran
Streerer untuk mengaduk dan mensterilkan larutan
Timbangan analitik untuk mengukur massa dari tepung terigu
TDC meter untuk menghitung jumlah padatan terlarut
Corong Bucner untuk memasukan larutan dan tempat membran
Erlenmeyer sebagai wadah untuk melarutkan tepung terigu Bahan yang digunakan antara lain:
Membran sebagai bahan perlakuan
Akuades untuk melarutkan tepung terigu
Tepung tapioka sebagai konsentrat pelarut
3.3.2 Diagram Alir Percobaan
Cara kerja dalam percobaan ini terdiri dari beberapa tahap.
A
Ukur Retention berbasis TDS awal (feed) dan akhir (permeat) dengan
menggunakan rumus:
RTDS = 1-(TDSpermeat / TDSfeed)
Selesai
Pembuatan larutan tepung
Timbang tepung tapioka sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan dan larutkan dalam air,
aduk dengan menggunakan pengaduk magnetik
Mulai
Tambahkan 3 macam konsentrasi; 1 g/l, 5 g/l
dan 10 g/l
Selesai
Pengukuran fluks
Pengukuran retention
Mulai
Larutan tapioka dimasukkan sesuai dengan konsentrasi
yang dibutuhkan kedalam tangki pengumpan
Pompa dijalankan, tekanan air diukur pada modul
membran
Ukur berat dan volume dari permeat setiap 3 menit hingga 15 menit
Pengukuran fluks dilakukan cukup 1 kali untuk masing-masing konsentrasi tepung
Sebelum dipakai untuk pengukuran fluks selanjutnya, bersihkan permukaan membran dengan air bersih Hitung fluks dengan rumus: Jv = Qp / Am, dengan Jv:
Vol fluks, Qp: Laju aliran permeate, Am: luas permukaan membran
Buat plot grafik evolusi flux hingga 15 menit
Selesai
Mulai
TDS larutan umpan (feed) diukur pada setiap konsentrasi larutan dan ulangan
TDS larutan hasil filtrasi (permeate) diukur pada setiap konsentrasi dan
ulangan
A
A
Ukur Retention berbasis TDS awal (feed) dan akhir (permeat) dengan
menggunakan rumus:
RTDS = 1-(TDSpermeat / TDSfeed)
Selesai
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Percobaan 1
4.1.1 Data Hasil Praktikum
No. Jenis
Membran
Luas Penampang
Melintang (πr2)(mm2)
Gaya Tarik (Kg)
Tegangan Tarik
(Kg/mm2) Diameter (cm)
Rata-rata Ketebalan
A b c =
1. Membran A 7857,142 3700 0,4709 10 0,20
2. Membran B 8498,285 4500 0,5295 10,4 0,14
a. Ketebalan Membran
No. Ketebalan (mm)
Membran A Membran B
1. 0,31 0,14
2. 0,14 0,12
3. 0,16 0,16
Rata-
rata 0,20 0,14
b. Volume
Luas Penampang Melintang pada Membran Membran A = πr2
= 22/7 (502)mm
= 7857,142 mm2 = 0,00785 m2 Membran B = πr2
= 22/7 (522)mm
= 8498,285 mm2 = 0,00849 m2
Nilai fluks pada membran Flux = v/(t x a)
Dimana : v = volume (L)
t = waktu (s)
a = luas penampang (m2) Membran A
Waktu (s) Volume air (liter)
Luas area
membran (m2) Fluks (L/m2.s)
180 0,04 0,00785 0,0283
360 0,06 0,00785 0,0212
540 0,08 0,00785 0,0188
720 0,12 0,00785 0,0212
900 0,16 0,00785 0,0226
Flux = = = 0,0283
Flux = = = 0,0212
Flux = = = 0,0188
Flux = = = 0,0212
Flux = = = 0,0226
Membran B
Waktu (s) Volume air (liter)
Luas area
membran (m2) Fluks (L/m2.s)
180 0,05 0,00849 0,0327
360 0,06 0,00849 0,0196
540 0,065 0,00849 0,0141
720 0,07 0,00849 0,0114
900 0,075 0,00849 0,0098
Flux = = = 0,0327
Flux = = = 0,0196
Flux = = = 0,0141
Flux = = = 0,0114
Flux = = = 0,00981
4.1.2 Grafik
Waktu (s) Fluks (L/m2.s)
Membran A 2700 Membran B 4500
180 0,0283 0,0327
360 0,0212 0,0196
540 0,0188 0,0141
720 0,0212 0,0114
900 0,0226 0,0098
4.1.3 Gambar Foto Mikroskop
Membran A Membran B
4.1.4 Pembahasan DHP
Hubungan fluks dengan waktu (bandingkan dengan literatur)
Pada membran A diperoleh nilai fluks sebesar 0,0283; 0,0212; 0,0188;
0,0212; 0,0226. Pada membran B diperoleh nilai fluks sebesar 0,0327; 0,0196;
0,0141; 0,0114; 0,0098. Dengan satuan nilai fluks adalah L/m2.s. Dimana waktu yang telah ditentukan selama 15 menit, tiap 3 menit diukur laju aliran volume yang berhasil melewati permukaan membran.
Dari data nilai fluks tersebut menunjukkan bahwa nilai fluks pada awal proses memliki nilai fluks yang cukup besar. Seiring berjalan proses filtrasi, nilai fluks mulai mengalami pernurunan hingga mencapai titik dimana membran sudah tidak dapat menyaring atau melewati larutan dan partikel yang memiliki ukuran yang kecil.
Menurut Suprihatin, dkk (2013), menyatakan bahwa Fluks merupakan parameter terpenting kelayakan penerapan proses membran, karena fluks menentukan kebutuhan luas membran. Fluks umumnya tinggi pada awal operasi dan menurun dengan meningkatnya waktu operasi. Setelah waktu tertentu fluks mencapai kondisi tunak, dimana fluks tidak mengalami perubahan secara berarti dengan meningkatnya waktu operasi. Nilai fluks pada kondisi ini selain dipengaruhi oleh jenis membran, juga dipengaruhi oleh kondisi operasi seperti kecepatan aliran umpan, tekanan transmembran, konsentrasi padatan, dan temperatur.
Setelah membandingkan data hasil percobaan dengan literatur yang menyatakan nilai fluks akan semakin menurun seiring bertambahnya waktu proses maka percobaan dinyatakan sukses dan sesuai dengan literatur.
Analisis Morfologi membran dengan foto mikroskop
Dari hasil foto mikroskop yang diperoleh, menunjukkan morfologi membran A memiliki ukuran pori yang lebih besar daripada membran B yang memiliki ukuran pori yang lebih kecil. Hal ini dapat dikarekan bahan pembuatan pada membran B lebih besar sehingga nilai uji kuat tariknya lebih besar. Semakin
besar pori pada suatu membran, daya permeabilitasnya akan semakin besar karena pori yang besar akan semakin mudah untuk melewati partikel.
Morfologi suatu membran sebelum dan setelah dilakukan sebuah proses filtrasi menunjukkan hasil yang berbeda. Permukaan membran yang sebelum dilakukannya proses akan memiliki pori yang relatif besar daripada permukaan membran yang setelah dilakukannya proses filtrasi. Hal ini dapat disebabkan karena setelah dilakukannya proses, permukaan membran yang kosong akan terisi oleh partikel yang tidak bisa melewati permukaan membran atau yang sering disebut sebagai foulant atau fouling.
Menurut Tika Kumala Sari dan Alia Damayanti (2014) menyatakan bahwa Foto hasil SEM membran sebelum dan sesudah digunakan untuk proses filtrasi terlihat berbeda. Membran terlihat semakin padat disebabkan karena terjadinya fouling. Fouling menyebabkan terjadinya penyumbatan pori-pori pada membran karena penumpukan material di permukaan membrane.
Nilai densitas yang tinggi menunjukkan bahwa pori pada membran selulosa asetat rapat sehingga molekul air sulit untuk masuk ke dalam membran dan sedikit yang terikat pada membran. Begitu juga sebaliknya, pada membran yang densitasnya rendah pori yang terbentuk banyak dan berukuran besar, sehingga air mudah masuk (menyerap) ke dalam membran selulosa asetat dan membentuk ikatan hidrogen yang cukup kuat dengan membran selulosa asetat (Buana E. Surya, 2013).
Setelah membandingkan hasil peercobaan dengan literatur, maka percobaan yang telah dilakukan telah sesuai.
4.2 Percobaan 2
4.2.1 Data Hasil Praktikum Membran A
Konsentrasi 0,25 gr/L
Waktu (s) Volume air (liter)
Luas area
membran (m2) Fluks (L/m2.s)
180 0,06 0,00785 0,0424
360 0,09 0,00785 0,0318
540 0,135 0,00785 0,0318
720 0,170 0,00785 0,0300
900 0,200 0,00785 0,0283
Flux = = = 0,0424
Flux = = = 0,0318
Flux = = = 0,0318
Flux = = = 0,0300
Flux = = = 0,0283
Konsentrasi 0,5 gr/L
Waktu (s) Volume air (liter)
Luas area
membran (m2) Fluks (L/m2.s)
180 0,025 0,00785 0,0176
360 0,045 0,00785 0,0159
540 0,05 0,00785 0,0117
720 0,06 0,00785 0,0106
900 0,07 0,00785 0,0099
Flux = = = 0,0176
Flux = = = 0,0159
Flux = = = 0,0117
Flux = = = 0,0106
Flux = = = 0,0099
Konsentrasi 1 gr/L
Waktu (s) Volume air Luas area Fluks (L/m2.s)
(liter) membran (m2)
180 0,01 0,00785 0,0070
360 0,02 0,00785 0,0070
540 0,025 0,00785 0,0058
720 0,03 0,00785 0,0053
900 0,04 0,00785 0,0056
Flux = = = 0,0070
Flux = = = 0,0070
Flux = = = 0,0058
Flux = = = 0,0053
Flux = = = 0,0056
Membran B
Konsentrasi 0,25 gr/L
Waktu (s) Volume air (liter)
Luas area
membran (m2) Fluks (L/m2.s)
180 0,075 0,00849 0,0490
360 0,145 0,00849 0,0474
540 0,19 0,00849 0,0414
720 0,27 0,00849 0,0441
900 0,285 0,00849 0,0372
Flux = = = 0,0490
Flux = = = 0,0474
Flux = = = 0,0414
Flux = = = 0,0441
Flux = = = 0,0372
Konsentrasi 0,5 gr/L
Waktu (s) Volume air (liter)
Luas area
membran (m2) Fluks (L/m2.s)
180 0,059 0,00849 0,0386
360 0,1 0,00849 0,0327
540 0,155 0,00849 0,0338
720 0,187 0,00849 0,0305
900 0,225 0,00849 0,0294
Flux = = = 0,0386
Flux = = = 0,0327
Flux = = = 0,0338
Flux = = = 0,0305
Flux = = = 0,0294
Konsentrasi 1 gr/L
Waktu (s) Volume air (liter)
Luas area
membran (m2) Fluks (L/m2.s)
180 0,030 0,00849 0,0196
360 0,035 0,00849 0,0114
540 0,04 0,00849 0,0087
720 0,042 0,00849 0,0068
900 0,045 0,00849 0,0058
Flux = = = 0,0196
Flux = = = 0,0114
Flux = = = 0,0087
Flux = = = 0,0068
Flux = = = 0,0058
Membran konsentrasi TDS
awal akhir
A (3700)
0,25 301 306
0,5 296 288
1 290 296
B (4500)
0,25 294 306
0,5 263 283
1 273 275
4.2.2 Grafik Membran A
Waktu (s) Fluks (L/m2.s)
0,25 g/L 0,5 g/L 1 g/L
180 0,0424 0,0176 0,0070
360 0,0318 0,0159 0,0070
540 0,0318 0,0117 0,0058
720 0,0300 0,0106 0,0053
900 0,0283 0,0099 0,0056
Membran B
Waktu (s)
Fluks (L/m2.s)
0,25 g/L 0,5 g/L 1 g/L
180 0,0490 0,0386 0,0196
360 0,0474 0,0327 0,0114
540 0,0414 0,0338 0,0087
720 0,0441 0,0305 0,0068
900 0,0372 0,0294 0,0058
4.2.3 Gambar Foto Mikroskop Membran A
4.2.4 Pembahasan DHP
Hubungan fluks dengan waktu
Dari hasil data yang diperoleh menunjukkan adanya penurunan fluks seiring bertambahnya waktu pada membran A dan membran B hal ini dapat dikarenakan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menyaring maka jumlah fouling yang menempel pada permukaan membran semakin banyak akibat partikerl yang tidak dapat melewati permukaan membran sehingga terjadilah penumpukan material yang berukuran makro.
Menurut Tika Kumala Sari dan Alia Damayanti (2014), Nilai fluks akan cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Penurunan nilai fluks ini dapat disebabkan terjadinya fouling pada membran. Fouling adalah suatu fenomena penumpukan material pada membran sehingga menyebabkan pori membran semakin kecil.
Bandingkan nilai fluks pada berbagai konsentrasi larutan
Pada membran yang memiliki kuat tekan sebesar 3700 kg diperoleh nilai fluks pada berbagai konsentrasi larutan tepung diantaranya 0,25 gr/L; 0,5 gr/L ; dan 1 gr/L. Setiap perlakuan konsentrasi larutan tepung ditentukan waktu untuk menghitung volume air yang melewati membran per satuan waktu yang masing- masing ditetapkan 3 menit; 6 menit; 9 menit; 12 menit; dan 15 menit. Sehingga diperoleh nilai fluks pada masing-masing waktu antara lain:
Perlakuan 0,25 gr/L diperoleh nilai fluks sebesar 0,0424; 0,0318; 0,0318;
0,0300; 0,0283. Perlakuan 0,5 gr/L diperoleh nilai fluks sebesar 0,0176; 0,0159;
0,0117; 0,0106; 0,0099. Perlakuan 1 gr/L diperoleh nilai fluks sebesar 0,0070;
0,0070; 0,0058; 0,0053; 0,0056.
Dari data fluks yang dihasilkan per konsentrasi larutan tepung terigu pada membran A yang memiliki kuat tekan sebesar 3700 menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi larutan tepung yang diberikan maka nilai fluks akan semakin kecil. Hal ini meningkat seiring volume air yang berhasil melewati
permukaan membran atau yang disebut sebagai aliran permeat ikut meningkat.
Data fluks pada membran A sudah mewakili hubungan nilai fluks dengan konsentrasi larutan atau massa dari tepung terigu sersebut.
Menurut Tika Kumala Sari dan Alia Damayanti (2014), menyatakan bahwa semakin besar massa zeolit maka nilai fluks semakin rendah. Hal ini mungkin disebabkan semakin banyak massa zeolit yang digunakan untuk pembuatan membran semakin kecil pori yang dibentuk. Semakin besar pori menyebabkan laju alir umpan akan semakin besar sehingga nilai fluks juga akan semakin besar. Ukuran pori yang lebih besar menyebabkan polarisasi konsentrasi/fouling lebih mudah terjadi akibat nilai fluks yang besar.
Sehingga hal ini menunjukkan bahwa dari hasil percobaan yang dilakukan sesuai dengan literatur.
Analisis fouling pada membran yang dilihat dengan foto mikroskop
Pada permukaan membran A dan membran B menunjukkan permukaan membran semakin rapat setelah dilakukannya proses filtrasi dengan menggunakan larutan terpung terigu. Namun permukaan membran B lebih rapat daripada membran A. Hal ini dapat dikarenakan membran B memiliki densitas yang lebih besar dibandingkan dengan membran B. Dengan semakin rapatnya permukaan setelah dilakukannya proses filtrasi, fouling yang terbentuk akan semakin besar pula. Fouling yang terbentuk merupakan hasil akumulasi selama proses filtrasi, dimana partikel yang memiliki ukuran pori lebih besar daripada pori membran akan tertahan sehingga terbentuk suatu cake yang akan menurunkan kinerja dari suatu membran.
Menurut Tika Kumala Sari dan Alia Damayanti (2014) menyatakan bahwa Foto hasil SEM membran sebelum dan sesudah digunakan untuk proses filtrasi terlihat berbeda. Membran terlihat semakin padat disebabkan karena terjadinya fouling. Fouling menyebabkan terjadinya penyumbatan pori-pori pada membran karena penumpukan material di permukaan membrane.
Sehingga dari hasil percobaan menunjukkan hasil yang sama dengan literatur makan percobaan ini dikatakan berhasil.
Analisis nilai TDS
Pada membran A yang memiliki nilai kuat tarik 3700, dengan konsentrasi tepung terigu 0,25 gr/L menghasilkan nilai TDS awal sebesar 301 ppm dan TDS akhir sebesar 306 pp. Konsentrasi 0,5 gr/L menghasilkan nilai TDS awal sebesar 296 ppm dan TDS akhir sebesar 288 ppm. Dan konsentrasi 1 gr/L menghasilkan menghasilkan nilai TDS awal sebesar 290 ppm dan TDS akhir sebesar 296 ppm.
Sedangkan pada membran B yang memiliki nilai kuat tarik 4500 dengan konsentrasi tepung terigu 0,25 gr/L menghasilkan nilai TDS awal 294 ppm dan TDS akhir 306 ppm. Konsentrasi 0,5 gr/L menghasilkan nilai TDS awal 263 ppm dan TDS akhir 283 ppm. Dan konsentrasi 1 gr/L menghasilkan nilai TDS awal 273 ppm dan TDS akhir 275 ppm.
Dari hasil data TDS yang telah diperoleh menunjukkan nilai TDS awal lebih besar dibandingkan dengan nilai TDS akhir. Hal ini dikarekan jumlah padatan terlarur pada TDS awal lebih besar yang kemudian menempel pada permukaan membran sebagai akibat padatan terlarut tersebut tidak dapat melewati membran. Dan pada TDS akhir memiliki jumlah padatan terlarut kecil dikarenakan padatan terlarut telah tersaring pada saat larutan dituangkan pada modul membran.
Namun pada beberapa konsentrasi larutan tepung terdapat nilai TDS akhir lebih besar daripada TDS awal. Hal ini dapat dikarenakan pada saat melarutkan tepung, tepung tidak terlarut sempurna sehingga padatan terlarut tersebut mengendap pada permukaan beaker glass yang mengakibatkan pada saat awal menuangkan larutan tepung padatan terlarutnya tidak terikut.
Menurut Karamah E. Fathul, Lubis A. Oktafauzan (2014), menyatakan persentase efektifitas koagulasi terhadap pemisahan padatan terlarut memiliki kecenderungan naik jika waktu pengadukan dinaikkan dari 5 menit menjadi 10 menit dan kemudian terus turun setiap 5 menit penambahan waktu pengadukan dari 10 menit hingga 25 menit.
4.3 Percobaan 3
4.3.1 Data Hasil Praktikum Membran A 3700
Konsentrasi 1 gr/L
Waktu (s) Volume air (liter)
Luas area
membran (m2) Fluks (L/m2.s)
180 0,058 0,00785 0,0410
360 0,110 0,00785 0,0389
540 0,160 0,00785 0,0377
720 0,188 0,00785 0,0332
900 0,255 0,00785 0,0360
Flux = = = 0,0410
Flux = = = 0,0389
Flux = = = 0,0377
Flux = = = 0,0332
Flux = = = 0,0360
Konsentrasi 5 gr/L
Waktu (s) Volume air (liter)
Luas area
membran (m2) Fluks (L/m2.s)
180 0,004 0,00785 0,0028
360 0,007 0,00785 0,0024
540 0,010 0,00785 0,0023
720 0,013 0,00785 0,0023
900 0,015 0,00785 0,0021
Flux = = = 0,0028
Flux = = = 0,0024
Flux = = = 0,0023
Flux = = = 0,0023
Flux = = = 0,0021
Konsentrasi 10 gr/L
Waktu (s) Volume air (liter)
Luas area
membran (m2) Fluks (L/m2.s)
180 0,003 0,00785 0,0021
360 0,005 0,00785 0,0017
540 0,007 0,00785 0,0016
720 0,008 0,00785 0,0014
900 0,009 0,00785 0,0012
Flux = = = 0,0021
Flux = = = 0,0017
Flux = = = 0,0016
Flux = = = 0,0014
Flux = = = 0,0012
Membran B 4500 Konsentrasi 1 gr/L
Waktu (s) Volume air (liter)
Luas area
membran (m2) Fluks (L/m2.s)
180 0,090 0,00849 0,0589
360 0,170 0,00849 0,0556
540 0,210 0,00849 0,0458
720 0,270 0,00849 0,0441
900 0,290 0,00849 0,0379
Flux = = = 0,0589
Flux = = = 0,0556
Flux = = = 0,0458
Flux = = = 0,0441
Flux = = = 0,0379
Konsentrasi 5 gr/L
Waktu (s) Volume air (liter)
Luas area
membran (m2) Fluks (L/m2.s)
180 0,035 0,00849 0,0229
360 0,045 0,00849 0,0147
540 0,055 0,00849 0,0119
720 0,060 0,00849 0,0098
900 0,070 0,00849 0,0091
Flux = = = 0,0229
Flux = = = 0,0147
Flux = = = 0,0119
Flux = = = 0,0098
Flux = = = 0,0091
Konsentrasi 10 gr/L
Waktu (s) Volume air (liter)
Luas area
membran (m2) Fluks (L/m2.s)
180 0,010 0,00849 0,0065
360 0,030 0,00849 0,0098
540 0,035 0,00849 0,0076
720 0,038 0,00849 0,0062
900 0,040 0,00849 0,0052
Flux = = = 0,0065
Flux = = = 0,0098
Flux = = = 0,0076
Flux = = = 0,0062
Flux = = = 0,0052
Membran Konsentrasi TDS
awal akhir
A (3700)
1 g/L 289 272
5 g/L 295 294
10 g/L 298 295
B (4500)
1 g/L 283 295
5 g/L 293 298
10 g/L 289 305
4.3.2 Grafik Membran A
Waktu (s) Fluks (L/m2.s)
1 g/L 5 g/L 10 g/L
180 0,0410 0,0028 0,0021
360 0,0389 0,0024 0,0017
540 0,0377 0,0023 0,0016
720 0,0332 0,0023 0,0014
900 0,0360 0,0021 0,0012
Membran B
Waktu (s) Fluks (L/m2.s)
1 g/L 5 g/L 10 g/L
180 0,0589 0,0229 0,0065
360 0,0556 0,0147 0,0098
540 0,0458 0,0119 0,0076
720 0,0441 0,0098 0,0062
900 0,0379 0,0091 0,0052
4.3.3 Gambar Foto Mikroskop
Membran A Membran B
4.3.4 Pembahasan DHP
Hubungan fluks dengan waktu
Dari hasil data yang diperoleh menunjukkan adanya penurunan fluks seiring bertambahnya waktu pada membran A dan membran B . Hal ini dapat disebabkan, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menyaring maka jumlah fouling yang menempel pada permukaan membran semakin banyak akibat partikel yang tidak dapat melewati permukaan membran sehingga terjadilah penumpukan material yang berukuran makro.
Menurut Notodarmojo, S (2004), menyatakan ketika zat terlarut tertahan oleh membran, zat tersebut akan terakumulasi dan membentuk suatu lapisan didekat permukaan membran yang disebut polarisasi konsentrasi. Polarisasi konsentrasi pada membran dapat menyebabkan penurunan fluks membran secara terus menerus dan penurunan fluks ini merupakan fungsi dari waktu.
Bandingkan nilai fluks pada berbagai konsentrasi larutan
Pada membran yang memiliki kuat tekan sebesar 3700 kg diperoleh nilai fluks pada berbagai konsentrasi larutan tepung diantaranya 1 gr/L; 5 gr/L ; dan 10 gr/L. Setiap perlakuan konsentrasi larutan tepung ditentukan waktu untuk menghitung volume air yang melewati membran per satuan waktu yang masing- masing ditetapkan 3 menit; 6 menit; 9 menit; 12 menit; dan 15 menit. Sehingga diperoleh nilai fluks pada masing-masing waktu antara lain:
Perlakuan 1 gr/L diperoleh nilai fluks sebesar 0,0410; 0,0389; 0,0377;
0,0332; 0,0360. Perlakuan 0,5 gr/L diperoleh nilai fluks sebesar 0,0028; 0,0024;
0,0023; 0,0023; 0,0021. Perlakuan 1 gr/L diperoleh nilai fluks sebesar 0,0065;
0,0098; 0,0076; 0,0062; 0,0052. Dengan satuan fluks L/m2s
Dari data fluks yang dihasilkan per konsentrasi larutan tepung terigu pada membran A yang memiliki kuat tekan sebesar 3700 menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi larutan tepung yang diberikan maka nilai fluks akan semakin kecil. Hal ini meningkat seiring volume air yang berhasil melewati
permukaan membran atau yang disebut sebagai aliran permeat ikut meningkat.
Data fluks pada membran A sudah mewakili hubungan nilai fluks dengan konsentrasi larutan atau massa dari tepung terigu sersebut.
Menurut Bastian Arifin dan Sri Aprilia (2014), menyatakan nilai fluks untuk masing-masing membran juga menunjukkan dengan tingginya kon-sentrasi polimer maka fluks juga semakin menurun.
Analisis fouling pada membran yang dilihat dengan foto mikroskop
Pada permukaan membran A dan membran B menunjukkan permukaan membran semakin rapat setelah dilakukannya proses filtrasi dengan menggunakan larutan terpung terigu. Namun permukaan membran B lebih rapat daripada membran A. Hal ini dapat dikarenakan membran B memiliki densitas yang lebih besar dibandingkan dengan membran B. Dengan semakin rapatnya permukaan setelah dilakukannya proses filtrasi, fouling yang terbentuk akan semakin besar pula. Fouling yang terbentuk merupakan hasil akumulasi selama proses filtrasi, dimana partikel yang memiliki ukuran pori lebih besar daripada pori membran akan tertahan sehingga terbentuk suatu cake yang akan menurunkan kinerja dari suatu membran.
Menurut Notodarmojo, S (2004), menyatakan fouling tidak hanya terjadi pada bagian permukaan atas atau lapisan luar membran saja yang membentuk cake, tetapi juga terjadi pada bagian spinger/ lapisan dalam membran. Pengotor yang masuk kedalam lapisan dalam tersebut terjadi akibat adanya tekanan yang diberikan selama proses operasi membran, tekanan akan mendorong deposisi partikel pada permukaan membran/ lapisan atas untuk masuk ke dalam lapisan dalam membran.
Analisis nilai TDS
Pada membran A yang memiliki nilai kuat tarik 3700, dengan konsentrasi tepung terigu 1 gr/L menghasilkan nilai TDS awal sebesar 289 ppm dan TDS akhir sebesar 272 ppm. Konsentrasi 5 gr/L menghasilkan nilai TDS awal sebesar 295 ppm dan TDS akhir sebesar 294 ppm. Dan konsentrasi 10 gr/L menghasilkan menghasilkan nilai TDS awal sebesar 298 ppm dan TDS akhir sebesar 295 ppm. Sedangkan pada membran B yang memiliki nilai kuat tarik 4500 dengan konsentrasi tepung terigu 1 gr/L menghasilkan nilai TDS awal 283 ppm dan TDS akhir 295 ppm. Konsentrasi 5 gr/L menghasilkan nilai TDS awal 293 ppm dan TDS akhir 298 ppm. Dan konsentrasi 10 gr/L menghasilkan nilai TDS awal 289 ppm dan TDS akhir 305 ppm.
Dari hasil data TDS yang telah diperoleh menunjukkan nilai TDS awal lebih besar dibandingkan dengan nilai TDS akhir. Hal ini dikarekan jumlah padatan terlarur pada TDS awal lebih besar yang kemudian menempel pada permukaan membran sebagai akibat padatan terlarut tersebut tidak dapat melewati membran. Dan pada TDS akhir memiliki jumlah padatan terlarut kecil dikarenakan padatan terlarut telah tersaring pada saat larutan dituangkan pada modul membran.
Namun pada beberapa konsentrasi larutan tepung terdapat nilai TDS akhir lebih besar daripada TDS awal. Hal ini dapat dikarenakan pada saat melarutkan tepung, tepung tidak terlarut sempurna sehingga padatan terlarut tersebut mengendap pada permukaan beaker glass yang mengakibatkan pada saat awal menuangkan larutan tepung padatan terlarutnya tidak terikut.
Menurut Karamah E. Fathul, Lubis A. Oktafauzan (2014), menyatakan persentase efektifitas koagulasi terhadap pemisahan padatan terlarut memiliki kecenderungan naik jika waktu pengadukan dinaikkan dari 5 menit menjadi 10 menit dan kemudian terus turun setiap 5 menit penambahan waktu pengadukan dari 10 menit hingga 25 menit.
BAB V KESIMPULAN
5.1 Percobaan 1
Setelah melakukan percobaan pada praktikum membran mikrofiltrasi dapat disimpulkan:
Dalam melakukan proses filtrasi dengan menggunakan teknologi membran, perlu diperhatikan tingkat ketebalan yang digunakan. Semakin tebal permukaan membran yang digunakan, maka kemampuan membran untuk melewati partikel akan semakin kecil. Karena semakin tebalnya membran ukuran pori akan semakin kecil, dimana pori adalah tempat dilaluinya partikel. Semakin besar ketebalan membran maka tekanan driving force juga akan semakin besar yang digunakan untuk mendorong partikel melewati permukaan membran.
Fluks merupakan laju aliran volumetrik per luasan permukaan per satuan waktu.
Semakin keruh air yang digunakan dalam proses filtrasi, fluks yang dihasilkan akan semakin kecil. Begitu pula sebaliknya, semakin bersih air yang digunakan maka semakin besar nilai fluks yang dihasilkan.
5.2 Percobaan 2
Setelah melakukan percobaan 2 dengan konsentrasi larutan tepung terigu pada praktikum membran mikrofiltrasi dapat disimpulkan:
Nilai fluks akan cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Penurunan nilai fluks ini dapat disebabkan terjadinya fouling pada membran. Fouling adalah suatu fenomena penumpukan material pada membran sehingga menyebabkan pori membran semakin kecil.
Membran sebelum dan sesudah digunakan untuk proses filtrasi terlihat berbeda.
Membran terlihat semakin padat disebabkan karena terjadinya fouling. Fouling menyebabkan terjadinya penyumbatan pori-pori pada membran karena penumpukan material di permukaan membrane.
Tingkat fouling meningkat dapat juga disebabkan karena konsentrasi larutan tepung yang besar. Sehingga meningkatkan jumlah padatan terlarut atau Total dissolved solids (TDS). Semakin besar konsentrasi atau massa zat terlarut maka jumlah fouling yang dihasilkan akan meningkat pula.
5.3 Percobaan 3
Setelah melakukan percobaan 2 dengan konsentrasi larutan tepung tapioka pada praktikum membran mikrofiltrasi dapat disimpulkan:
Nilai fluks akan cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Penurunan nilai fluks ini dapat disebabkan terjadinya fouling pada membran. Fouling adalah suatu fenomena penumpukan material pada membran sehingga menyebabkan pori membran semakin kecil.
Membran sebelum dan sesudah digunakan untuk proses filtrasi terlihat berbeda.
Membran terlihat semakin padat disebabkan karena terjadinya fouling. Fouling menyebabkan terjadinya penyumbatan pori-pori pada membran karena penumpukan material di permukaan membrane.
Tingkat fouling meningkat dapat juga disebabkan karena konsentrasi larutan tepung yang besar. Sehingga meningkatkan jumlah padatan terlarut atau Total dissolved solids (TDS). Semakin besar konsentrasi atau massa zat terlarut maka jumlah fouling yang dihasilkan akan meningkat pula.