• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tentang Perkawinan

a. Pengertian dan Tujuan Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga bahagia dan kekal. Maka perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, agung, dan monumental bagi setiap pasangan.6

Menurut Pasal 1 UU Perkawinan perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” 7

Demikian pula tersirat dalam penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan yang berbunyi

“Sebagai Negara yang berlandaskan Pancasila dimana sila pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan hanya memiliki unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan penting untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal mendapat keturunan yang juga tujuan Perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan merupakan hak dan kewajiban orangtua8

Pengertian Perkawinan menurut Pasal 1 KHI yaitu Perkawinan adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Menurut Prof. Subekti, SH perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki- laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama9.

Sedangkan pengertian perkawinan menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH mengatakan perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.10

Menurut Hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara

6 Purnomo,Danu.2020.Remaja Perkawinan usia anak dan pengembangan kampung KB. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana Press, hlm 5.

7 Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam suatu analisis dari Undang-Undang No 1 Tahun dan Kompilasi Hukum Islam, ( Bandung:CV Pustaka Setia, 2007) hlm 2.

8 Ibid.

9 Subekti, Pokok-Pokok dari Hukum Perdata, cet. 11, (Jakarta: Intermasa, 1975), hal. 20

10 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandunhg, 1981, hlm. 7-8.

(2)

13

seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. “Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil11

Perkawinan harus dilandasi rasa saling cinta dan kasih sayang antara suami dan istri, senantiasa diharapkan berjalan dengan baik, kekal dan abadi yang didasarkan kepada ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1 UU Perkawinan. Oleh karena itu perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi unsur bathin juga mempunyai peranan yang sangat penting12

Dari beberapa penjelasan mengenai penjelasan dan pengertian perkawinan, intinya adalah ikatan lahir dan bathin antara pria dan wanita untuk mencapai kebahagian dan keturunan. Demikian juga Perkawinan menurut UU Perkawinan dan KHI bahwa perkawinan adalah suatu ikatan/akad yang kuat yang dilakukan pria dengan wanita untuk membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan mendapatkan keturunan, serta kekal berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa yang demikian telah sejalan dengan perudangundangan yang berlaku di Indonesia dengan dibekali moral keagamaa sehingga dapat terciptanya keseimbangan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama.13

2. Tujuan Perkawinan

Perkawinan mempunyai tujuan yang mulia dalam pencapaian kesuksesan dalam hidup manusia. Dengan adanya perkawinan, manusia dapat mempunyai keturunan, kesuksesan dengan pasangan dan lebih mengetahui arti hidup yang sebenarnya penuh dengan lika liku, yang dengan sabar menghadapinya, maka Allah akan memberikan pahala kelak bekal di akhirat. Tujuan utama perkawinan adalah membangun rumah tangga yang bahagia. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa14.

Salah satu permasalahan dalam UU Perkawinan Indonesia adalah pengajuan dispensasi dilakukan oleh orang tua/wali, Alasan utama Pemohon Dispensasi mengajukan dispensasi

11 Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, (Universitas Al-Azhar, 2010), hlm.4

12 Ibid.

13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

14 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991), hlm 288

(3)

14

yakni anak tersebut telah berpacaran/ bertunangan dan juga karena telah hamil diluar kawin.

Ketentuan yang mengatur bahwa permohonan dispensasi diajukan oleh orang tua menyebabkan anak yang menjalankan perkawinan tidak diketahui apakah ia menghendaki perkawinan atau tidak.

b. Rasionalitas Penentuan Batas Usia Kawin.

Delapan belas adalah angka keramat dalam perdebatan tentang perkawinan anak.

Platform organisasi internasional yang bekerja menentang perkawinan anak, Girls Not Brides, mendefinisikan perkawinan anak sebagai “setiap perkawinan formal atau persatuan informal dimana salah satu atau kedua pihak berusia di bawah 18 tahun”. Konvensi- konvensi PBB mengikuti patokan yang sama; Komite CEDAW PBB (1994) berpandangan bahwa usia minimum perkawinan haruslah 18 tahun, baik untuk lelaki maupun perempuan, Komite hak-hak anak PBB mencapai kesimpulan yang sama dan menyebutkan dampak perkawinan anak pada Kesehatan seksual dan Kesehatan reproduksi. 15

Batas usia kawin dalam UU Perkawinan merupakan tolok ukur kematangan seseorang dalam melaksanakan perkawinan yang menjadi sangat penting untuk menjamin keharmonisan dalam membangun rumah tangga. Batasan umur bagi pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup mereka ketika sudah melangsungkan perkawinan. Jika seorang anak dianggap belum cukup umur untuk melakukan perkawinan maka orang tua memiliki kewajiban untuk menunda sampai anak mereka sudah menginjak usia dewasa dan dianggap matang dalam membangun rumah tangga. Dapat dipahami bahwa dispensasi perkawinan memiliki arti keringanan akan sesuatu (batasan umur) dalam melakukan perkawinan.

Pada umumnya negara mempunyai UU Perkawinan yang menetapkan batas umur minimal untuk kawin bagi warga negaranya. Pada Pasal 7 UU Perkawinan menyatakan usia minimal melakukan perkawinan adalah 19 tahun untuk laki laki dan 16 tahun untuk perempuan. Namun seiring berkembangnya masyarakat terjadi perubahan pada undang- undang tersebut terkhusus mengenai batas usia perkawinan. Dalam UU Perkawinan

“Perkawinan hanya dizinkan jika para pihak sudah mencapai umur 19 tahun” Ketentuan batas usia perkawinan sebagaimana Perubahan Atas UU Perkawinan tersebut, memiliki latar belakang sehubungan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengeluarkan

15 Grijns,mies.dkk.Menikah muda di Inonesia. Suara,Hukum,dan Praktk.2018(Jakarta: YayasanPustaka Obor Indonesia) hlm.3

(4)

15

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017. Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun.

Hal ini dimaksudkan bahwa calon suami isteri harus telah matang jasmani dan rohani untuk melangsungkan perkawinan, agar dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu Undang-undang melarang perkawinan dibawah umur.

Istilah perkawinan dini seringkali digunakan untuk merujuk pada perkawinan orang yang berusia lebih muda lagi, meskipun istilah ini pada umumnya tergantung pada pemahaman masyarakat setempat tentang siapa “anak” itu dan tafsiran tentang apa yang dianggap “dini”16

Dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) KHI “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 UU Perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”

Terdapat dua norma dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang melanggengkan perkawinan anak, yakni :

a. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan memperbolehkan perkawinan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.

b. Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan memperbolehkan perkawinan anak untuk perempuan dan laki-laki dengan adanya mekanisme dispensasi perkawinan.

Meskipun telah ditentukan batas umur minimal, UU Perkawinan tetap memperbolehkan penyimpangan terhadap syarat umum tersebut, melalui Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilam dan Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.

16 Ibid.

(5)

16 2.2 Tentang Dispensasi Perkawinan

a. Pengertian Dispensasi Perkawinan

Pengertian dispensasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dispensasi merupakan izin pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Jadi dispensasi merupakan kelonggaran terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak diperbolehkan untuk dilakukan atau dibereskan. 17Masyarakat lumrah dengan adanya istilah dispensasi, sebab segala hal yang terjadi dalam masyarakat tidak luput dari sebuah dispensasi, asalkan tidak keluar dari norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan beragama. Sehingga dispensasi kawin adalah kelonggaran perkawinan yang diberikan oleh pemerintah yang sebenarnya tidak boleh dilakukan atau dilaksanakan karena kurangnya umur dari calon pengantin menurut Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Namun, kehidupan masyarakat yang beragam menimbulkan masalah dalam hal batasan usia dalam perkawinan, sehingga pemerintah memberikan dispensasi kawin kepada orang-orang tertentu dan menjadikannya problem solving bagi masyarakat.

Dalam UU Perkawinan “Penyimpangan” dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan dispensasi oleh orang tua salah satu atau kedua belah pihak calon mempelai.

Bagi pemeluk agama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri bagi pemeluk agama lain.

Dispensasi adalah pemberian hak kepada seseorang untuk melangsungkan perkawinan meski belum mencapai batas minimum usia kawin. Artinya, seseorang boleh melangsungkan perkawinandiluar ketentuan itu jika dalam keadaan “menghendaki” dan tidak ada pilihan lain (ultimum remedium).

Adapun pengertian dispensasi kawin menurut terminology (istilah) dibagi menjadi beberapa pendapat :

Menurut Roihan A Rasyid, Dispensasi kawin adalah dispensasi yang diberikan oleh Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria 19 (Sembilan belas) tahun, dan bagi wanita 16 (enam belas) tahun.18 Namun peraturan ini sudah digantikan menjadi pria 19 tahun dan wanita 19 tahun pula.

17 Poerdawarminta, 2011. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. Hal 88

18 Royhan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005) hlm.32

(6)

17

Menurut Subekti dan Tjitrosudibio, dispensasi artinya penyimpangan atau pengecualian dari suatu peraturan19. Sedang kawin adalah ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama20.

Jadi dispensasi kawin adalah pemberian hak yang dimiliki individu untuk melangsungkan perkawinan meskipun belum mencapai batas usia kawin dengan ketentuan hanya jika memiliki keadaan yang “mendesak”.

b. Alasan Untuk Mengajukan Dispensai Perkawinan

Sebagaimana Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan mengatur langkah hukum yang dapat dilakukan bagi mereka yang tidak memenuhi syarat batas minimal usia perkawinan. Dalam ketentuan Pasal tersebut menyebutkan bahwa dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur tersebut, maka orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Dalam ketentuan tersebut memang menyebutkan orang tua anak yang dapat meminta dispensasi kepada pengadilan, karena anak/calon mempelai masih di bawah umur yang berarti belum cakap melakukan tindakan hukum, namun dalam proses pemeriksaannya anak tetap dilibatkan. Pengajuan permohonan dispensasi kawin tersebut harus atas dasar alasan yang sangat mendesak dan Pemohon harus dapat membuktikannya saat persidangan21.

Keadaan “menghendaki” yang dimaksud diatas adalah adanya alasan mendesak atau suatu keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa untuk tetap dilangsungkannya perkawinan tersebut. Alasan-alasan tersebut harus benar-benar dibuktikan dan tidak sekedar klaim. Dalam UU Perkawinan telah berusaha mengakomodir dengan keharusan adanya bukti-bukti yang cukup, diantaranya surat keterangan tentang usia kedua mempelai yang masih dibawah ketentuan UU dan surat keterangan tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut mendesak untuk dilakukan.

Adapun keadaan anak yang tidak memenuhi syarat alasan yang mendesak untuk melangsungkan perkawinan, misalnya:

1. Anak berada dalam paksaan orang tua untuk perkawinan;

2. Anak tidak bersedia melangsungkan perkawinan dengan calon pasangan;

19 Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum,( Jakarta : Pradya Paramita, 1979 ) hlm. 33

20 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, ( Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2008 ) hlm 962

21 Ferdi.dkk, 2021.Akibat Hukum Dari Dispensasi Kawin Terkait Dengan Perlindungan Hak Anak Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019. Malang :Dinamika.hlm.4

(7)

18 3. Anak masih dalam status bersekolah;

4. Anak tidak siap secara psikologis maupun kesehatan untuk melangsungkan perkawinan;

5. Anak khususnya laki-laki tidak siap secara finansial untuk mencukupi keluarganya nanti;

6. Tidak adanya dukungan orang tua kedua belah pihak telah berkomitmen untuk ikut bertanggungjawab terkait masalah ekonomi, sosial, kesehatan dan pendidikan bagi kedua calon mempelai;22

Alasan hamil di luar kawin kerap jadi alasan untuk mendesak hakim mengabulkan dispensasi kawin. Padahal hamil bukan jadi satu-satunya tolak ukur hakim mengabulkan dispensasi kawin, karena dikhawatirkan demi dispensasi kawin, pasangan memilih hamil lebih dulu. Pemahaman dan pandangan hamil harus melangsungkan perkawinan justru bertentangan dengan hukum perkawinan dalam Agama Islam. Sebaliknya berdasarkan Hukum Islam, perempuan yang sedang hamil dilarang untuk melakukan perkawinan sampai ia melahirkan anaknya.

Dalam Hukum Islam hamil itu tidak wajib melaksanakan perkawinan, Abu Yusuf berpendapat bahwa perkawinan wanita hamil di luar kawin tidak boleh dilakukan karena tidak memungkinkan tidur bersama, maka tidak boleh melaksanakan perkawinan.

Ibnu Qudamah berpendapat bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan dua syarat:

a. Wanita tersebut telah melahirkan bila hamil. Jadi jika dalam keadaan hamil tidak boleh melakukan perkawinan.

b. Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera.

Hakim tidak punya kewajiban mengabulkan dispensasi kawin di bawah umur 19 tahun dengan alasan hamil di luar kawin .Hakim harus memiliki kemampuan profesionalitas, integritas, di dalam mengadili, dan memberikan dispensasi kawin. Laki laki dan perempuan bisa melangsungkan perkawinan ketika sama-sama sudah melewati usia 19 tahun. Hal ini sebagaimana tertuang UU Perkawinan.

22 Ibid hlm.8-9

(8)

19

Adapun status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil dalam KHI dinasabkan kepada suami ibunya hal ini sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang mengaitkan nasabkan kepada pemilik bibit secara umum. Perbedaannya adalah, apabila ternyata pemilik bibit itu bukan orang yang mengawini wanita hamil itu. Imam Hanafi menghubungkannya bukan kepada laki-laki yang mengawininya, tetapi kepada pemilik bibit yang menyebabkan lahirnya anak tersebut.

Sedangkan KHI tetap menghubungkan nasab anak kepada laki-laki yang mengawini wanita hamil tersebut. Bagaimana kalau perkawinannya itu dilangsungkan dalam keadaan hamil tua, maka pendapat Imam Syafi'i lebih menyelamatkan kepada status anak. Karena menurut Imam Syafi'i bahwa pengakuan status anak itu ditentukan dengan masa kehamilan dalam perkawinannya dengan seorang laki-laki, yaitu apabila perkawinannya itu adalah enam bulan, lalu anak lahir ,maka anak tersebut memiliki hubungan nasab kepada suaminya.

Seandainya kurang dari enam bulan, maka nasab anak tersebut dihubungkan kepada ibunya.

c. Akibat Hukum Dispensasi Perkawinan

Hukum sebagai alat rekayasa sosial diharapkan dapat terjadinya perubahan-perubahan yang mengarah pada kebaikan bagi masyarakat. Salah satu tujuan revisi batas usia untuk melangsungkan perkawinan tersebut adalah diharapkan dapat menekan angka perkawinan anak di bawah umur karena perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak23

Tujuan utama dalam pengaturan dispensasi kawin adalah untuk perlindungan anak serta kepentingan terbaik bagi anak yang merupakan 40 persen dari penduduk Indonesia yang harus ditingkatkan mutunya menjadi anak Indonesia yang sehat, cerdas ceria, berakhlak mulia, dan terlindungi. Hal ini merupakan komitmen bangsa bahwa menghormati, memenuhi, dan menjamin hak anak adalah tanggung jawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua. Pembahasan tentang perlindungan anak lebih banyak dengan tendensi pidana seperti segala bentuk kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi.

23 Konsideran UU Nomor 16 Tahun 2019

(9)

20

Di dalam pertimbangan UU Perlindungan Anak dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.

Permohonan dispensasi kawin yang dimohonkan orantua/wali merupakan upaya dalam perlindungan anak diluar kawin. Mengingat adanya penetapan hakim/pengadilan tentang dispensasi kawin merupakan sebuah proses dari pencatatan perkawinan bagi mereka yang belum cukup umur 19 tahun, tetapi ingin melangsungkan perkawinan.24

Perkawinan dibawah umur bukanlah persoalan sederhana, disatu sisi ius constitum yang berlaku di Indonesia tidak menghendaki adanya perkawinan dibawah umur namun disisi lain UU Perkawinan sendiri juga membuka peluang adanya hal lain diluar itu.

Demikian juga dengan Pengadilan Agama, lembaga peradilan yang berwenang dalam perkara dispensasi kawin (bagi pemeluk agama Islam) dalam mengadili perkara dispensasi kawin dihadapkan pada pertimbangan dua kemudharatan yang ada yakni mudharat akibat perkawinan di bawah umur dan mudharat jika dispensasinya ditolak.

Dari dua pertimbangan itu, hakim lebih sering mengabulkan permohonan dispensasi kawin dengan menimbang bahwa kemudharatan yang timbul akibat ditolaknya permohonan dispensasi lebih besar dibanding dengan kemudharatan yang terjadi akibat dari perkawinan dibawah umur itu sendiri. Dari permohonan yang ditolak, sangat memungkinkan bisa merusak keturunan (al nasl) dan juga kehormatan (al irdl) kedua calon mempelai.

Pertimbangan hakim dalam mengabulkan maupun menolak permohonan dispensasi kawin ini akan menimbulkan implikasi hukum atau akibat hukum. Akibat hukum merupakan akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum. Sedangkan peristiwa hukum diartikan sebagai peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.25

Di satu sisi apabila permohonan dikabulkan, maka secara legal akan menimbulkan semakin maraknya perkawinan di bawah umur. Masyarakat akan memandang bahwa pengadilan turut memberikan peluang besar bagi perkawinan di bawah umur, sehingga melanggar hak anak seperti halnya hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, serta hak untuk tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, peran hakim sangat penting dalam melindungi

24 Sugiri Permana dan Ahmad Zaenal Fanani, Dispensasi Kawin dalam Hukum Keluarga di Indonesia, hlm. 5.

25 J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Gramedia P ustaka Utama, 1992, hlm. 104

(10)

21

hak anak dalam pemeriksaan perkara Dispensasi Kawin agar pemberian izin dispensasi tersebut memang demi kepentingan terbaik bagi anak.26

Hakim harus menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan mempertimbangkan dari berbagai aspek sebagaimana telah diatur dalam ketentuan UU Perkawinan dan Perma Nomor 5 Tahun 2019, sehingga

“alasan sangat mendesak” untuk melakukan perkawinan di bawah umur terpenuhi. Di sisi lain, apabila permohonan dispensasi kawin ditolak juga akan menimbulkan akibat hukum lainnya. Ditolaknya permohonan tersebut karena selama pemeriksaan ditemukan fakta persidangan bahwa tidak ada alasan yang sangat mendesak untuk dilangsungkan perkawinan bagi anak.

Untuk itu, dalam legal reasoningnya hakim dapat memberikan penetapan berdasarkan pada fakta hukum yang ada dengan merujuk keterangan dari orang tua (pemohon dan calon besan), kedua calon mempelai dan saksi-saksi yang dihadirkan dipersidangan. Lebih luas lagi, penetapan hakim juga harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang baik secara syar’i, yuridis, sosiologis dan juga pertimbangan kesehatan.

Jika dikaitkan dengan tujuan hukum Islam, menurut A. Khisni bahwa paling tidak ada tiga hal utama yang harus dipertimbangan dalam menjatuhkan penetapan dispensasi kawin yakni harus mengacu pada :

1. Keselamatan jiwa anak yang berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap jiwa (hifzhun al nafs).

2. Kelanjutan pendidikan anak yang berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap akal (hifzhu al aql); dan

3. Keselamatan keturunan yang berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap keturunan (hifzhu al nasl).27

2.3 Tentang Perlindungan Anak

a. Perngertian perlindungan Anak

Perlindungan anak merupakan upaya usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa dikemudian hari. Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk

26 Ibid., hlm. 101

27 A. Khisni, Essay-essay Aliran Pemikiran Hukum Islam, (Semarang : Unissula Press, 2010)

(11)

22

menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik,mental, dan sosial.

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.28

Menurut Arif Gosita kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negative yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.29

Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu : (1) Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi : perlindungan dalam bidang hukum public dan dalam bidang hukum keperdataan. (2) Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi : perlindungan dalam bidang sosial,bidang Kesehatan, bidang Pendidikan.30

Pada Pasal 1 angka 2 UU No.23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak haknya agar dapat hidup, tumbuh,berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.31

Arifgosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak apat melaksanakan hak dan kewajibannya.32

Pelaksanaan perlindungan anak harus memenuhi syarat antara lain: merupakan pengembangan kebenaran,keadilan dan kesejahteraan anak; harus memenuhi landasan filsafat etika dan hukum;secara rasional positif dan dapat dipertanggungjawabkan;

bermanfaat untuk yang bersangkutan dan mengutamakan perspektif kepentingan yang diatur.

Prinsip-prinsip perlindungan anak 1. Anak tidak dapat berjuang sendiri

Perlu dipahami bahwa anak merupakan modal utama kelangsungan hidup manusia,bangsa dan keluarga. Maka dari itu hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri hak-haknya karena banyak pihak yang mempengaruhi kehidupannya,misalnya keluarga dan lingkungan. Oleh karena itu negara dan masyarakat

28 Gultom,Maidin.2010.Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia,(Bandung:PT Refika Aditama)

29 Gosita,Arif.1989.Masalah Perlindungan Anak,(Jakarta : Akademi Pressindo. Hlm 19

30 Gulton. Maidin. Op.cit. hlm 34.

31 Ibid.

32 Arif Gosita op.sit hlm 52

(12)

23

berkepentingan untuk melindungan hak-hak anak tersebut. Hak anak adalah hak asasi manusia sebagaimana secara tegas tercantum dalam konstitusi Indonesia yang diatur dalam Undang Undang Pelindungan Anak.

2. Kepentingan terbaik anak

Perlindungan anak dapat diselenggarakan dengan baik apabila prinsip kepentingan terbaik anak dipandang sebagai of paramount importance. Prinsip ini digunakan karena dalam banyak hal anak menjadi korban disebabkan ketidaktahuan karena usia perkembangannya.

3. Ancaman daur kehidupan

Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan harus dimulai sejak dini dan terus menerus sehingga ketika anak memasuki masa transisi ke dalam dunia dewasa dimana periode ini penuh resiko karena secara kultural seseorang akan dianggap dewasa.

4. Lintas sektoral

Nasib anak tergantung dari berbagai factor.baik factor makro maupun mikro yang langsung ataupun tidak langsung. Kemiskinan, system Pendidikan yang tidak relevan serta komunitas yang penuh ketidakadilan tidak dapat ditangani oleh sektor terlebih keluarga ataupun anak itu sendiri sehingga membutuhkan peran semua sektor.

Arif Gosita mengatakan bahwa hukum perlindungan anak adalah hukum yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.33 Bismar Siregar menyatakan bahwa aspek hukum perlindungan anak dipusatkan pada hak-hak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban.34

b. Peraturan Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Aspek hukum perlindungan anak secara luas mencakup Hukum Pidana, Hukum Acara, Hukum Tata Negara, dan Hukum Perdata. Di Indonesia pembicaraan mengenai perlindungan hukum mulai Tahun 1977 dalam seminar perlindungan anak remaja yang diadakan Prayuana. Seminar tersebut menghasilkan dua hal penting yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak, yaitu:

a. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang ataupun Lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaaan, dan

33 Ibid hlm 53

34 Sumitro,Irma,1990.Aspek Hukum Perlindungan Anak.Semarang: Bumi Aksara. hlm 15.

(13)

24

pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan social anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan asasinya.

b. Segala upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh perseorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rohani dan jasmani anak yang berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah melakukan perkawinan, sesuai dengan hak asasi dan kepentingan agar dapat mengembangkan hidupnya seoptimal mungkin.

J.E. Doek dan H.M.A Drewes mengartikan hukum perlindungan anak sebagai berikut:

a. Dalam arti luas merupakan segala aturan hukum yang memberikan perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan memberi kemungkinan bagi mereka untuk berkembang, dan

b. Dalam arti sempit sebagai perlindungan hukum yang terdapat dalam ketentuan hukum perdata, ketentuan hukum pidana, dan ketentuan hukum acara.

c. Pentingnya perlindungan hukum terhadap anak, dapat dilihat pada konvensi hak-hak anak.

Ada beragam kategori untuk memahami substansi atau isi konvensi hak-hak anak, salah satu ragam yang paling umum adalah berdasarkan hak yang terkandung dalam konvensi hak-hak anak. Berdasarkan kategori ini ada 4 (empat) kelompok hak dalam konvensi hak- hak anak yaitu:

a. Hak atas kelangsungan hidup b. Hak untuk tumbuh berkembang c. Hak atas perlindungan

d. Hak untuk berpartisipasi

Adapun hak-hak seorang anak yang wajib dilindungi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak antara lain:35

a. Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;

b. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;

35 Undang-undang (UU) No. 35 Tahun 2014. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(14)

25

c. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan Orang Tua atau Wali;

d. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial;

f. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat;

g. Hak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain;

h. Selain mendapatkan Hak Anak sebagaimana dimaksud di atas, Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan Anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus;

i. Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan;

j. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;

k. Hak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi setiap anak penyandang disabilitas;

l. Hak mendapatkan perlindungan dari tindakan ketidakadilan seperti diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, penganiayaan, maupun tindakan menyimpang lainnya. Selain itu, mereka juga berhak mendapatkan perlindungan dari kegiatan atau praktik-praktik yang dapat melibatkan mereka dalam kegiatan politik, persengketaan, kerusuhan, kekerasan, atau juga peperangan;

m. Hak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Dalam hal terjadi pemisahan, Anak tetap berhak: (1) bertemu langsung dan berhubungan

(15)

26

pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya; (2) mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; (3) memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan (4) memperoleh Hak Anak lainnya;

Hak untuk memperoleh perlindungan dari: (1) penyalahgunaan dalam kegiatan politik; (2) pelibatan dalam sengketa bersenjata; (3) pelibatan dalam kerusuhan sosial; (4) pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan; (5) pelibatan dalam peperangan; dan (6) kejahatan seksual

Rumusan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 13 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” Status hukum anak dalam kandungan: yang diberikan hak oleh hukum sebagaimana diuraikan di atas, lebih menegaskan adanya hak anak dari pada kewajiban anak, oleh karena kedudukan dan segala keterbatasannya, karena ia anak (dalam kandungan).

Undang-undang khusus tentang perlindungan anak juga diharapkan mampu menjadi undang-undang yang memberikan perlindungan anak secara holistic, serta menjadi landasan yuridis untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab beberapa hal yang terkait. Selain itu, pertimbangan lain bahwa perlindungan anak merupakan bagian dari kegiatan pembangunan sosial dan khususnya dalam meningkatkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga juga dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok dari orang- orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

ABSTRAK , Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 1 bahwa : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan bertujuan untuk membentuk