• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG TIDAK DIDAFTARKAN DI KANTOR CATATAN SIPIL MENURUT PERSPEKTIF PASAL 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG TIDAK DIDAFTARKAN DI KANTOR CATATAN SIPIL MENURUT PERSPEKTIF PASAL 2"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG TIDAK DIDAFTARKAN DI

KANTOR CATATAN SIPIL MENURUT PERSPEKTIF PASAL 2 UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

ELVA YOHANA SIANTURI NIM : 150200299

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat- Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perkawinan Beda Agama Yang Tidak Didaftarkan Dikantor Catatan Sipil Menurut Perspektif Pasal 2 Undang-Undang No. 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan”

Selama masa perkuliahan dan penulisan skripsi ini penulis sangat bersyukur atas motivasi, dukungan, bimbingan dan doa dari berbagai pihak untuk itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Puspa Melati, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum Selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Prof.Dr.Hasim Purba,S.H.,M.Hum Selaku Dosen Pembimbing I Terimakasih atas waktu, saran, dan bimbingan yang bapak berikan selama ini kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

(5)

7. Rabiatul Syahriah,SH.,M.Hum Selaku Dosen Pembimbing II. Terimakasih atas waktu, bimbingan, dan kasih yang ibu berikan kepada saya seperti seorang anak, banyak ilmu dan didikan yang ibu berikan kepada saya mulai dari perkuliahan hingga penyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh Dosen fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah menempah dan memberikan banyak sekali ilmu yang sangat berharga kepada penulis Selama menjadi mahasiswa dan Pegawai di Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi penulis selama mengikuti perkuliahan.

9. Terkhusus Kedua Orang Tua penulis Tambatua Sianturi dan Nurhajijah Siregar terimakasih untuk kasih dan sayang yang diberikan kepada penulis, semua ini bisa terlewati karena doa, semangat, motivasi dan perjuangan yang kita lakukan bersama.

10. Kakakku Unita Vitta Omas Sianturi, M.Pd dan adik-adikku Kristiana Margaretta Sianturi, Michael Melki Sedek Sianturi, Petrus Hartamto Sianturi terimakasih untuk senantiasa mendoakan dan mengingatkan penulis untuk tetap semangat dan tidak boleh menyerah dalam penulisan skripsi ini.

11. Teman-temanku yang terkasih yang Maria Oktavia, Novaria, Diana, Sarah, Gabriela, Maria, Ade, Vinesia, Elleanore, Raras, Silvia, Ribka, Antero, Fandi, Indriwati, Juni, Delva, Wiky, Ida, Yossie, Edwin, Yazid, Hafizh, Reinhard, Samuel, Penita, Agustin, Frans, Kunjan, Sheryn, Syahida, David, Dina, Inka, Dodi, Irna, Dysaa dan teman-teman penulis dari awal perkuliahan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih

(6)
(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI………. iv

ABSTRAK……… vi

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang……….1

B. Rumusan Masalah………... 8

C. Tujuan Penulisan………. 9

D. Manfaat Penulisan………... 9

E. Metode Penelitian……….. 10

F. Keaslian Penulisan……… 10

G. Sistematika Penulisan……… 11

BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT KETENTUAN HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA A. Perkawinan beda agama menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia ………... 14

B. Syarat dan Prosedur perkawinan beda agama menurut ketentuan hukum yang berlaku………... 47

C. Ketentuan yang mengatur perkawinan beda agama. ……… 51

BAB III KEDUDUKAN HUKUM ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN DIKANTOR CATATAN SIPIL A. Kedudukan/ Status anak yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil. ……… 56

(8)

B. Hak-hak anak yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan

Sipil. ………... 59 C. Perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari

perkawinan yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan

Sipil. ………. 64 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG

LAHIR DARI PERKAWINAN BERBEDA AGAMA YANG TIDAK DIDAFTARKAN DIKANTOR CATATAN SIPIL MENURUT PASAL 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

A. Akibat hukum terhadap anak dari perkawinan yang berbeda agama menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan………....……….... 67 B. Perlindungan hukum terhadap kedudukan/ status anak yang

dilahirkan dari perkawinan beda agama menurut hukum yang berlaku di Indonesia………..……… 71 C. Perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari

perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan di Kantor

Catatan Sipil……….. 74 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………..

A. Kesimpulan……….. 82 B. Saran………. 84 DAFTAR PUSTAKA……….. 86

(9)

ABSTRAK Elva Yohana Sianturi *)

Hasim Purba **) Rabiatul Syahriah***)

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sebagaimana yang termuat dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “ perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu”. Namun pada kenyataannya dalam masyarakat sering kita jumpai perkawinan yang melanggar aturan, salah satunya perkawinan yang tidak didasari pada satu agama melainkan hanya berdasarkan cinta. Perkawinan beda agama ini akan menimbulkan suatu permasalahan terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut, pasal 42 menjelaskan “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam sebagai akibat perkawinan yang sah. Perkawinan tidak sah dihadapan hukum menimbulkan kedudukan/status si anak bermasalah. Berangkat dari hal inilah diangkat permasalahan pada skripsi ini yaitu: Bagaimanakah keabsahan dan akibat hukum perkawinan beda agama menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Bagaimanakah kedudukan hukum anak yang lahir dari perkawinan yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil dan Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang berbeda agama yang tidak didaftarkan dalam persepektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif yang bersifat deskripstif. Serta jenis data adalah data primer melalui wawancara dan data sekunder dengan studi literatur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkawinan beda agama menurut Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 perkawinan yang tidak sah, yang bertentangan dengan hukum agama di Indonesia dan kepercayaan. Dari Pasal 2 ayat 1 ini menimbulkan status pada anak, bagi sianak hukum tetap memberikan perlindungan untuk mendapatkan hak anak sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait status perlindungan hukum terhadap anak yang tidak dicatatatkan dikantor catatan sipil.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Perkawinan Beda Agama, Catatan Sipil1

1 *) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat.Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakat. Pengaruh dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan keagamaan yang dianut masyarakat seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi ajaran agama Islam, Hindu, Budha, Kristen, bahkan dipengaruhi budaya perkawinan barat1. Tata tertib adat perkawinan antara masyarakat adat yang satu berbeda dari masyarakat adat yang lainnya, dan antara yang beragama islam berbeda dengan agama yang lainnya2, berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai gologan warga negara dan berbagai daerah.

Dewasa ini di Indonesia telah dibentuk hukum perkawinan yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia yakni: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan penjelasannya dimuat dalam tambahan lembaran negara Republik Indonesia No.3019.3 Didalamnya diatur tentang dasar perkawinan,

1 Hilman Hadikusuma, “Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama”, Bandung, CV. Mandar Maju 2007, hal 1.

2 Hilman Hadikusuma, “Hukum Perkawinan Adat”, Bandung,Citra Aditya Bakti 1990, hal 12.

3 Sudarso, “Hukum Perkawinan Nasional”, Jakarta, Rineka Cipta 2005, hal 1.

(11)

syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian dan ketentuan-ketentuan lain. Sesuai dengan landasan falsafah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, UU Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan.

Adapun asas-asas atau prinsip yang tercantum dalam dalam undang- undang ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

2. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamnya dan kepercayaanya itu.

3. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.

4. Perkawinan berasa monogamy terbuka.

5. Calon suami istri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan.

6. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.

7. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan dimuka sidang pengadilan.

8. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.4

4 Ibid hal 6.

(12)

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa “ perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penjelasan pasal ini menegaskan bahwa negara yang berdasarkan pancasila, dimana sila yang pertama ialah ketuhanan yang maha esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/ jasmani, tetapi unsur bathin/rohani juga memiliki peran penting, sebagaimana dalam UU Perkawinan ini membentuk keluarga yang bahagia yang merupakan tujuan perkawinan.

Adapun yang menyangkut sahnya perkawinan dan pencatatannya ditentukan bahwa :

a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu ;

b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan ini dimuat di dalam Pasal 2 UU Perkawinan dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Pemahaman tentang hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lainoleh

(13)

UU Perkawinan. Dalam praktik telah diambil penafsiran satu agama yang sama tetapi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum5.

Menurut hukum agama, perkawinan adalah suatu perbuatan yang suci, yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan iman dan taqwanya, apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan (dilarang).

1. Menurut Hukum Islam perkawinan adalah ‘akad’ (perikatan) antara wali wanita calon istri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh siwanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (kabul) oleh si calon suami yang dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan tidak sah karena bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan menyatakan “tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”.

2. Menurut Hukum Kristen Katolik perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dengan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali.

Perbuatan yang bukan hanya perikatan cinta antara kedua suami istri, tetapi juga harus mencerminkan sifat Allah yang penuh kasih dan kesetiaan dan yang tidak dapat diceraikan. Perkawinan itu adalah sah apabila kedua mempelai sudah dibaptis.

5 Hazairin, “Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia”, Jakarta, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1976. hal 25.

(14)

3. Menurut Hukum Hindu perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka, yang dilangsugkan dengan upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smrti. Perkawinan itu tidak sah apabila tidak dilangsungkan dengan upacara menurut hukum Hindu.

4. Menurut Hukum Perkawinan Agama Budha (HPAB) keputusan Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977 pasal 1 dikatakan: “Perkawinan adalah suatu ikatan lahir bathin antara seorang wanita sebagai istri yang berlandaskan cinta kasih (Metta), kasih sayang (karuna) dan rasa sepenanggungan (mudita) dengan tujuan untuk membentuk satu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha, para Budha dan para bodhistwa-mahasatwa, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan Agama Budha Indonesia (pasal 2 HPAB)6.

Perkawinan dan agama memiliki hubungan yang erat dan tidak terpisahkan sehingga semua agama mengatur masalah perkawinan dan pada dasarnya setiap agama selalu menginginkan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang satu agama.Hal ini dapat dipahami karena agama merupakan dasar atau pondasi yang utama dan sangat penting dalam kehidupan rumah tangga. Dengan memiliki pondasi agama yang kuat diharapkan kehidupan rumah tangga pun menjadi kuat sehingga tidak akan roboh kendati hanya dengan sedikit

6 Ibid hal 11.

(15)

goncangan. Menurut Prof. Dr. H.A.Ali Mukti dan Dr.Ali Akbar Sebagaimana dikutip oleh Bismar Siregar SH dalam bukunya berjudul “Hukum dan Hak-Hak Anak”.

“Kalau orang bertanya bagaimana cara membangun negara kuat, maka jawabannya ialah terdiri dari rumah tangga yang kuat. Negara yang adil terdiri dari rumah tangga yang adil.Dan negara yang makmur terdiri rumah tangga yang makmur.Jadi kalau ingin membangun negara sebaik- baiknya, maka keluarga (yang menjadi isi rumah tangga) harus kita bangun sebaik-baiknya.Tanpa membangun keluarga mustahil akan tercapai pembangunan negara”.7

Pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama.Namun pada kenyataannya dalam kehidupan masyarakat masih sering kita jumpai perkawinan yang tidak didasari pada satu agama melainkan mereka hanya berdasarkan cinta. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan yang selamat bukan saja didunia akan tetapi juga diakhirat, bukan saja lahiriah tetapi juga bathiniyah, bukan saja gerak langkah yang sama dalam karya tetapi juga gerak langkah yang sama dalam berdoa.

Perkawinan beda agama yang terjadi dikalangan masyakarakat Indonesia bisa menimbulkan berbagai macam permasalahan dari segi hukum,

1. Keabsahan perkawinan beda agama itu sendiri (pasal 2 ayat 1 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan :

“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya itu dan kepercayannya”.

7 Bismar Siregar, “Aspek Hukum Perlindungan atas Hak-Hak Anak: Suatu Tinjauan dalam Hukum dan Hak-Hak Anak”. Jakarta,Rajawali, 1986, hal 9.

(16)

2. Pencatatan perkawinan yang telah dilangsungkan (Pasal 2 ayat 2 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 34 Undang-undang No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, menyebutkan : “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

3. Status/kedudukan anak yang lahir akibat dari perkawinan tersebut dihadapan hukum (pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan : “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

Perkawinan beda agama dan tidak didaftarkan di kantor catatan sipil memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan dimata hukum, yakni status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. hal ini membawa konsekuensi terhadap anak yang demikian hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis ia tidak mempunyai bapak. Anak-anak yang lahir dalam kondisi tersebut tergolong menjadi anak luar kawin.

Akta kelahiran si anak statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologi bagi si anak dan ibunya.

Ketidakjelasan status si anak di mata hukum, mengakibatkan hubungan antara

(17)

ayah dan anak tidak kuat.Sehingga bisa saja suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.Hal yang jelas merugikan adalah anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.

Perkawinan beda agama bukan hanya berdampak negatif pada si anak tetapi pada istri, meskipun demikian masih kerap terjadi perkawinan beda agama yang jelas berdampak negatif bagi si anak, anak sendiri adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak tersebut, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan beda agama yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil harus dilindungi meskipun bertentangan dengan UU Perkawinan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimanakah keabsahan dan akibat hukum perkawinan beda agama menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia?

2. Bagaimanakah kedudukan hukum anak yang lahir dari perkawinan beda agama yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil ?

(18)

3. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang berbeda agama yang tidak didaftarkan dalam persepektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui keabsahan dan akibat hukum perkawinan beda agama menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kedudukan hukum anak yang lahir dari perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil.

3. Untuk mengetahui perlindungan Hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang berbeda agama yang tidak didaftarkan dalam persepektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

D. Manfaat Penulisan a. Secara Teoretis

1. Penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk ilmu pengetahuan, memberikan penambahan khasanah pustaka hukum, khususnya hukum perlindungan anak

2. Memberikan sumbangan dalam pengembangan wawasan serta kajian lebih lanjut bagi teoretis yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang masalah perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan beda agama.

b. Secara Praktis

(19)

1. Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat khususnya memberikan informasi ilmiah mengenai perlindungan anak.

2. Untuk dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi para penegak hukum dapat menyelesaikan masalah perlindungan anak.

3. Akan lebih memantapkan diri sendiri dalam memberikan perlindungan anak sebagai genarasi penerus masa depan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

E. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menggunakan peraturan perundang- undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang dikemukakan.

b. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang ditujukan untuk menggambarkan masalah-masalah yang terkait tentang perlindungan hukum terhadap anak perkawinan beda agama yang terjadi di dalam masyarakat, sehingga anak yang lahir atas perkawinan beda agama yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil tetap memiliki hak-hak yang melekat pada anak yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang.

F. Keaslian Penulisan

Judul skripsi “Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perkawinan Beda Agama Yang Tidak Didaftarkan Dikantor Catatan Sipil Menurut Perspektif Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

(20)

Perkawinan” yang penulis angkat berdasarkan penelusuran dan penelitian di perpustakaan bahwa tidak ada menemukan skripsi yang berjudul sama. Penulisan skripsi ini dimulai dengan judul skripsi ini baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan, media cetak, media elektronik serta disamping itu juga dilakukan penelitian.

Sehubung judul skripsi ini telah dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada ataupun belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Skripsi yang berkaitan dengan Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perkawinan Beda Agama Yang Tidak Didaftarkan Dikantor Catatan Sipil Menurut Perspektif Pasal 2 Undang- Undang No. 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan, adalah :

1. Perlindungan hukum terhadap perempuan dalam perkawinann beda agama di Indonesia oleh Nida’ul Haq Lubis.

2. Tinjauan yuridis mengenai perkawinan campuran dan akibat hukumnya terhadap harta benda berdasarkan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan oleh Ririn Chintia Br Damanik.

3. Kepastian hukum hak anak dalam perkawinan campuran pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan oleh Sahabat Apriyeni Laurensia Silaban.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa subbab. Urutan bab tersusun secara sistematis dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Uraian singkat atas bab-bab dan sub saling

(21)

berkaitan dengan lainnya. Uraian singkat atas bab-bab dan sub-sub bab tersebut sebagai berikut:

BAB PERTAMA: PENDAHULUAN

Dalam bab ini, menjelaskan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan Latar belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB KEDUA: PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT

KETENTUAN HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA.

Bab ini terdiri dari subbab, seperti tinjauan umum tentang Perkawinan beda agama menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Syarat dan Prosedur perkawinan beda agama menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan Ketentuan yang mengatur perkawinan beda agama.

BAB KETIGA: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN DIKANTOR CATATAN SIPIL.

Bab ini terdiri dari subbab, seperti Kedudukan/ Status anak yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil, Hak-hak anak yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan sipil, dan Perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil.

(22)

BAB KEEMPAT: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN BERBEDA AGAMA YANG TIDAK DIDAFTARKAN DIKANTOR CATATAN SIPIL MENURUT PASAL 2 UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974.

Bab ini membahas tentang akibat hukum terhadap anak dari perkawinan yang berbeda agama menurut Pasal 2 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perlindungan hukum Kedudukan/ status anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama menurut hukum yang berlaku di Indonesia, dan Perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

BAB KELIMA: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dari penulisan mengenai perlindungan hukum terhadap anak perkawinan beda agama yang tidak didaftarkan dikantor catatan sipil menurut perspektif Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan saran-saran mengenai perlindungan anak di Indonesia.

(23)

BAB II

PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT KETENTUAN HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA

A. Perkawinan Beda Agama Menurut Ketentuan Hukum Yang Berlaku Di Indonesia

1. Perkawinan Beda Agama Menurut KUHPerdata dan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Pengertian (definisi) perkawinan dapat dikemukakan sebagai berikut:

R.subekti: Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Wirjono Prodjodikoro: perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Paul Scholten: Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara8.

Beberapa sarjana hukum Islam memberi definisi perkawinan, sebagai berikut: H. Mahmud Yunus: Perkawinan adalah akad antara calon suami-istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at. Sayuti Thalib:

Perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. M. Idris Ramulyo: Perkawinan adalah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram, bahagia dan kekal. B.Ter

8 Djaja S. Meliala, “Perkawinan Beda Agama dan Penghayatan Kepercayaan di Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,” 2015, Bandung, Nuansa Aulia, hal 11.

(24)

Haan Bzn : dalam bukuya Asas-Asas dan Susunan Hukum adat memberikan pegertian perkawinan menurut hukum adat, menurutnya perkawinan adalah suatu usaha untuk melanjutkan keturunan, perkawinan disamping masalah pribadi, juga merupakan masalah keluarga dan masyarakat9.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat dari pengertian( definisi) perkawinan ini di dalamnya terdapat kesamaan yakni perkawinan merupakan suatu perjanjian, pengertian perjanjian bukan yang termuat dalam buku III KUHPerdata tetapi perjanjian dalam perjanjian kekeluargaan.10

Pengertian Perkawinan Menurut KUHPerdata dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. KUHPerdata (BW) tidak memberikan definisi tentang perkawinan, dalam Pasal 26 KUHPerdata (BW) diberikan batasan sebagai berikut: “undang-undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan- hubungan perdata”. Dapat disimpulkan bahwa pandangan keagamaan seseorang tidak mempengaharuhi sahnya suatu perkawinan.Pasal 81 KUHPerdata (BW) menentukan tidak ada suatu acara keagamaan boleh dilakukan, sebelum kedua belah pihak kepada pejabat yang agama mereka membuktikan bahwa perkawinan dihadapan pegawai catatan sipil telah berlangsung.Untuk melangsungkan perkawinan cukup dilakukan dihadapan pegawai catatan sipil (Pasal 76 KUHPerdata)11.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974 diberlakukan , serta dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

9 Asmin, StatusPerkawinan Antar Agama, Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Jakarta, PT.Dian Rakyat, 1989,hal 27.

10 Ali Affandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Menurut Kitab Undang- undang Hukum Perdata(BW), 1983, Jakarta, PT.Bina Aksara, hal 92.

11 Ibid hal 13.

(25)

Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 dan penjelasannya dimuat dalam tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 sebagai Hukum Perkawinan Nasional yang menampung segala peraturan mengenai perkawinan yang selama ini belum tertampung dan masih banyak pengaturan perkawinan yang berbeda sebelum undang-undang ini diundangkan. Undang-Undang Perkainan ini berisi 14 bab dan 67 pasal. Didalamnya diatur tentang dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian dan ketentuan-ketentuan lain. Perkawinan dalam UU Perkawinan merumuskan dalam Pasal 1, sebagai berikut :

“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu dipahami sebagai landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih lanjut, baik yang terdapat dalam UU Perkawinan maupun dalam peraturan lainnya tentang perkawinan. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan :

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya12”.

Menurut penjelasan Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) ini, perkawinan yang sah hanya menurut hukum agamanya masing-masing, tidak

12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(26)

dapat dikatakan sah suatu perkawinan apabila perkawinan itu dilakukan berbeda agama. perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Perkawinan ini tidak mengatur perkawinan beda agama, hanya perkawinan yang dilakukan seagama menurut hukum agama masing-masing yang ada di Indonesia. Hal ini menimbulkan banyak penafsiran hukum yang berlaku dimasyarakat, hukum adat, hukum agama dan hukum nasional.

2. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Adat

Perkawinan menurut Hukum Adat , Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan13. Ikatan perkawinan bukan semata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, tetapi perkawinan membawa akibat hukum dalam perikatan adat seperti kedudukan suami, kedudukan istri, kedudukan anak , kedudukan anak tertua, anak penerus keturunan, anak adat, anak asuh serta harta yang timbul akibat terjadinya perkawinan.

Terjadinya perkawinan maka diharapkan agar dari perkawinan itu dapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orangtua dan kerabat, menurut garis ayah atau garis ibu ataupun garis orangtua. Selanjutnya sehubungan dengan asas- asas perkawinan yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai di bawah ini:

a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.

13 Hilman Hadikusuma.Hukum perkawinan Adat (bandung: Alumni,1983)hal 31

(27)

b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat

c. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.

d. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orangtua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui masyarakat adat.

e. Perkawinan dapat dilakukan oleh para pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak, begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orangtua/keluarga dan kerabat.

f. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan.

Perceraian antara suami dan istri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.

g. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri-istri. Berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan rumah tangga14. Telah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diharapkan agar masyarakat adat akan dapat menyesuaikan hukum adatnya dengan undang-undang tersebut15. tetapi sejauh mana masyarakat akan dapat menyesuaikan dirinya tergantung daripada perkembangan masyarakat adat itu sendiri, kesadaran

14 ibid hal 71.

15 Ibid hal 72.

(28)

hukumnya. Oleh karena, apa yang menjadi jiwa dari perundang-undnagan belum tentu sesuai dengan alam fikiran masyarakat. Misalnya saja undang-undang menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera itu, apakah kekuasaan suami-istri semata-mata dapat mewujudkan kebahagian, kekekalan dan kesejahteraan dalam rumah tangga, tanpa adanya pengawasa kekerabatan?Disini letak perbedaan antara rumah tangga modern dan rumah tangga adat, rumah tangga modern lebih mementingkan kepentingan perseorangan dan kebendaan, sedangkan rumah tangga adat ingin mempertahankan kepentingan kekerabatan dan kerukunan.16

Perkawinan campuran yang dimaksud disini perkawinan campuran adalah perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita yang berbeda keanggotaan masyarakat hukum adatnya, misalnya terjadi perkawinan antara pria dari masyarakat adat lampung beradat pepedun dan wanita dari masyarakat adat peminggir, atau perkawinan antara pria dari masyarakat adat Batak dengan wanita dari masyarakat adat Jawa, atau juga terjadi perkawinann antara perkawinan antara orang Jawa dengan orang Cina warga negara Indonesia dan lain-lain. Jadi perkawinan campuran menurut hukum adat berbeda dari pengertian perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana dinyatakan :

“yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”17

16 Ibid hal 72 17 Ibid hal 73

(29)

Selanjutnya menurut Pasal 58 UU tersebut perkawinan campuran dapat berakibat memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan. Dalam hal ini hampir sama dengan kaidah hukum adat dimana perkawinan campuran antara warga adat dapat berakibat memperoleh atau kehilangan kewargaan adat yang bersangkutan.

Disamping itu masih ada kemungkinan sebagai akibat perkawinan campuran seseorang memperoleh dwi-kewarganegaraan adat, misalnya dikarenakan bentuk perkawinan semenda raja-raja. Atau kehilangan sama sekali kewarganegaraan adat dikarenakan perkawinannya tidak diakui masyarakat adat yang bersangkutan dikeluarkan dari kekerabatan adat atau persekutuan hukum adat bersangkutan.

3. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Agama di Indonesia

Perkawinan menurut Hukum Agama, perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan iman dan taqwanya, apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan (dilarang). Perkawinan dan agama memiliki hubungan yang erat dan tidak terpisahkan sehingga semua agama mengatur masalah perkawinan dan pada dasarnya setiap agama selalu menginginkan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang satu agama.Hal ini dapat dipahami karena agama merupakan dasar atau pondasi yang utama dan sangat penting dalam kehidupan rumah tangga. Dengan memiliki pondasi agama yang kuat diharapkan kehidupan rumah tangga pun menjadi kuat sehingga tidak akan roboh kendati hanya dengan sedikit goncangan. Pada dasarnya setiap agama tidak

(30)

dapat membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama. Perkawinan beda agama menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia jelas menetang terjadinya perkawinan beda agama. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan :

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya”.

Undang-Undang perkawinan yang berlaku secara nasional menegaskan perkawinan yang sah hanya perkawinan yang dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya. Pemerintah hanya mengakui 6 (enam) agama yang ada di Indonesia, maka perkawinan yang sah menurut ketentuan hukum agama dalam Undang-Undang Perkawinan diartikan hanya pada Agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Dapat diartikan Undang-Undang Perkawinan memberikan kewenangan bagi pemeluk beragama untuk melaksanakan ketentuan dalam hukum agamanya masing-masing terkait perkawinan.

a. Perkawinan beda agama menurut agama Kristen Katolik Perkawinan beda agama menurut Agama katolik, perkawinan sebagai satu sakramen18, gereja Roma katolik mendasarkan ajarannya itu pada Efesus 5 : 25- 23.19

“ Hai istri tunduklah kepada suamimu seperti kepada tuhan karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus kepada jemaat. Dialah yang

18 Sakramen perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan dan dijalankan oleh dua orang yang dibaptis dalam nama bapa, putra dan roh kudus. Mereka berjanji untuk setiasatu sama lain sampai mati memisahkan mereka dan mereka berjanji saling menghormati dan mencintai.http://www.kaj.or.id/dokumen/kursus-persiapan-perkawinan-2/hukum-gereja-mengenai- pernikahan-katolik, diunduh 10 Oktober 2018.

19 Ibid. hal 35.

(31)

menyelamatkan tubuh karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada kristus demikian jugalah istri kepada suami dalam segala sesuatu.Hai suami kasihilah istrimu sebagaimana kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri- Nya baginya untuk menguduskannya. Sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman. Supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat dihadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak tercela. Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: sebab tidak pernah orang membenci tubuh-Nya sendiri tetapi mengasuhnya dan merawatnya, sama seperti kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya. Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan adalah hubungan kristus dan jemaat. Bagaimana juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya.20

Perkawinan menurut agama Katolik adalah perjanjian perkawinan dengan mana pria dan wanita membentuk antara mereka bersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah kepada kesejahteraan suami istri serta kelahiran dan pendidikan anak oleh Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang yang di baptis diangkat ke martabat sakramen21.Perkawinan Katolik bersifat monigami, kekal dan sekramental, artinya bahwa perkawinan menurut Katolik kekal dan hanya menikah sekali seumur hidup.

20 http://www.Alkitab.sabda.org/passage.php?passage=efesus5:22-33. diunduh 10 Oktober 2018.

21 Ibid hal 35.

(32)

Menurut agama Katolik, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan, diteguhkan dan diberkati oleh Pejabat Gereja yang dihadiri oleh dua orang saksi dan telah memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat perkawinan menurut agama Katolik, yaitu:

1) Calon mempelai sudah mengerti makna penerimaan sakramen perkawinan beserta akibat-akibatnya

2) Ada kesepakatan antara kedua mempelai (Kan 1057:2) 3) Tidak berdasarkan paksaan ( Kan 1103)

4) Pria sudah berumur 16 tahun dan wania sudah berumur 14 tahun (Kan 108:1)

5) Tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain (Kan 1085:1) 6) Beragama katolik (1086:1)

7) Tidak ada hubungan darah yang terlampau dekat (1091) 8) Dan tidak melanggar larangan perkawinan.22

Syarat-syarat perkawinan di atas, syarat ke-8 menyatakan:“tidak boleh melanggar larangan perkawinan”. Larangan perkawinan ini yang yang dapat membuat tidak sahnya suatu perkawinan serta menjadi halangan untuk melangsungkan perkawinan, larangan perkawinan katolik sebagai berikut:

(a) Umur calon mempelai pria belum mencapai 16 tahun dan calon mempelai wanita belum mencapai 14 tahun (Kan 1083:1)

(b) Impotensi yang sudah ada sejak sebelum perkawinan (Kan 1084:1) (c) Telah ada ikatan perkawinan sebelumnya (Kan 1085:1)

(d) Salah seorang calon mempelai bukan katolik (kan 1086)

22 Ibid hal 37.

(33)

(e) Salah seorang telah menerima tahbisan suci (Kan 1087)

(f) Telah terkait kaul kemurnian dalam suatu lembaga religius, biarawan/

biarawati (Kan 1088)

(g) Adanya penculikan wanita (Kan 1098)

(h) Tersangkut kejahatan pembunuhan (Kan 1090)

(i) Hidup bersama yang diketahui umum, misalnya antara pria dengan ibu atau anak wanitanya, wanita dengan bapak atau anak prianya (Kan 1093) (j) Calon mempelai mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas

atau ke bawah baik sah maupun tidak sah (Kan 1091: 1-4) (k) Kedua calon mempunyai hubungan semenda (Kan 1092)

(l) Kedua calon mempelai mempunyai hubungan adopsi dalam garis lurus atau menyamping sampai derajat kedua (Kan 1092)23.

Salah satu larangan perkawinan menurut agama Katolik yaitu salah satu calon mempelai bukan agama Katolik perbedaan agama dapat mengakibatkan perkawinan tidak sah.Gereja Katolik berpendapat bahwa perkawinan antara seorang beragama Katolik dengan yang bukan agama Katolik bukanlah bentuk perkawinan yang ideal, karena perkawinan dianggap sebagai sebuah sakramen (sesuatu yang kudus, yang suci)24. Tetapi walaupun demikian gereja Katolik realistis memandang perkawinan beda agama, sehingga dalam agama Katolik, uskup dapat memberikan dispensasi dengan memperbolehkan seorang Katolik, menikah dengan agama lain, dengan syarat tertentu dalam Kan 1125 dan Kan1126:

23 Ibid hal 67

24 Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish, “Pernikahan Beda Agama, Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan”, ( Jakarta : Komnas HAM,2005) hal 207

(34)

1.1 PihakKatolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya dibabtis dan dididik dalam gereja Katolik.

1.2 Mengenai janji- janji yang harus di buat oleh pihak itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dari kewajiban pihak Katolik.

1.3 Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan secara sifat hakiki dari perkawinan yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

1.4 Mengenai pelaksanaan perkawinan, dilarang melaksanakan upacara perkawinan menurut agama lain setelah atau sebelum peneguhan kanonik25.

Adanya syarat-syarat seperti dalam Kan 1125 dan Kan 1126 ini dapat disimpulkan bahwa agama Katolik mencegah penganutnya untuk beralih agamanya atau minimal mencegah menurunnya tingkat keimanan penganutnya setelah menikah dengan penganut agama lain begitu juga dengan anak-anak yang nanti lahir, agar mereka semua mengikuti ajaran Katolik. Kesimpulan dari syarat berikutnya yaitu bahwa sifat perkawinan menurut agama Katolik yaitu monigami, dan tidak terceraikan sebelum salah satu antara suami istri meninggal dunia, dengan demikian pihak yang bukan Katolik yang akan menikah dengan pihak Katolik, harus bejanji untuk tidak berpoligami serta tidak akan menceraikan suami

25 Ichtiyanto, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia , (Jakarta: Badan Litbang Agama dan diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003), hal 130

(35)

atau istrinya sebelum meninggal dunia, sehingga dapat diartikan bahwa pihak yang bukan Katolik harus mengikuti sifat dari perkawinan Katolik walaupun pada agama yang bukan Katolik memperbolehkan poligami dan mengenal lembaga perceraian.26Kesimpulan dari syarat terakhir yaitu bahwa agama Katolik memandang perkawinan sebagai sakramen, sehingga perkawinan dapat dikatakan sah jika dilakukan di hadapan Uskup, Pastor Paroki dan Imam. Oleh karena itu jika ada perkawinan beda agama di mana salah satu pihaknya adalah Katolik dilakukan tidak menurut agama Katolik, maka perkawinan tersebut tidak sah.

b. Perkawinan beda agama menurut agama Protestan

Agama Kristen mengajarkan bahwa perkawinan adalah persekutuan suci yang ditetapkan Tuhan.Perkawinan sebagai tata-tertib suci yang ditetapkan Tuhan.Perkawinan adalah persekutuan hidup meliputi keseluruhan hidup, yang menghendaki laki-laki dan perempuan menjadi satu, satu dalam kasih tuhan, satu dalam mengasihi, satu dalam kepatuhan, satu dalam menghayati kemanusiaan, dan satu dalam memikul beban pernikahan27.

Tujuan perkawinan menurut agama Protestan ialah supaya dengan pernikahan itu seorang pria dan seorang wanita dapat saling bantu membantu, saling melengkapi saling menyempurnakan satu dengan yang lainnya, sehingga akan dapat dicapai kebahagiaan hidup materiil dan spiritual di dalam kasih dan rahmat Tuhan.28

Gereja Kristen Protestan berpendapat bahwa agar perkawinan itu sah, perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum negara maupun hukum

26 Ibid hal 210.

27 Ibid hal 132 28 Asmin op.cit hal 40

(36)

Tuhan.Sesuai dengan hukum negara yaitu pernikahan tersebut dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, agar pernikahan itu diakui sah secara yuridis oleh hukum negara. Sedangkan sesuai hukum agama yaitu dengan memenuhi syarat-syarat perkawinan, yaitu:

1. Masing-masing pihak tidak terkait tali perkawinan dengan pihak lain 2. Kedua mempelai beragama Kristen Protestan

3. Kedua calon mempelai harus sudah dewasa 4. Harus dihadiri oleh saksi

5. Disaksikan oleh jemaat29

Namun gereja protestan tidak dapat memungkiri bahwa umatnya hidup bersama-sama dengan pemeluk agama lain, karena itulah gereja tidak melarang umatnya menikah dengan pemeluk agama lain. Sama halnya dengan agama Katolik yang mengatur ketentuan mengenai perkawinan beda agama, agama Protestan juga melakukan hal yang sama yaitu mengatur ketentuan mengenai perkawinan beda agama yang dengan kesediaan pihak bukan protestan untuk menikah di gereja dan anak-anaknya dididik secara Kristen. Perkawinan pada beda agama dilarang dalam agama Kristen Protestan karena agama merupakan pondasi rumah tangga. Jika agama dan kepercayaan sudah berbeda, akan sulit menjalankan kehidupan rumah tangga ke depannya, misalnya dalam hal mendidik anak. Perkawinan berbeda agama tidak dapat dilakukan dengan alasan apapun yang mendasarinya, sehinga perkawinan beda agama menurut Protestan dilarang, hal itu tercantum dalam Korintus 6:14-18:

29 Ibid hal 41

(37)

“Jangan lah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya sebab persamaan apakah terdapat diantara kebenaran dan kedurhakaan?atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? perasaan apakah yang terdapat antara kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang yang tak percaya?apakah hubungan bait Allah dengan berhala? karena kita adalah bait Allah yang hidup menurut firman Allah ini:” aku akan diam bersama-sama dengan mereka yang hidup di tengah-tengah mereka, dan aku akan menjadi Allah mereka, dan dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka aku akan menerima kamu. Dan aku akan menjadi Bapamu, dan kami akan menjadi anak-anakku perempuan demikianlah firman Tuhan, Yang Mahakuasa, hal itu lah yang menjadi dasar perkawinan beda agama dalam Protestan tidak mungkin dapat dilakukan.”

c. Perkawinan beda agama menurut agama Hindu

Agama Hindu memandang perkawinan sebagai sesuatu yang suci.

Perkawinan adalah sanskara (sakramen) yang termasuk salah satu dari sekian banyak sakramen sejak proses kelahiran (gharbadana) sampai proses upacarakematian (antyasti).Tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah untuk membentuk keluarga yang utama, kekal, bahagia dan untuk menurunkan anak (purusa).30

Sahnya perkawinan menurut agama Hindu adalah perkawinan dilakukan menurut hukum dan tata cara agama Hindu, yang diatur oleh Dharma(agama) dan harus tunduk pada Dharma. Bila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut

30 Asmin op.cit hal 46.

(38)

hukum agama, maka akibatnya bahwa segala akibat hukum yang timbul dari perkawinan tersebut tidak diakui sah oleh agama31.Karena sahnya perkawinan digantungkan kepada hukum agama maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perkawinan pun harus memenuhi ketentuan hukum agama (dharma).

Adapun syarat-syarat perkawinan menurut hukum Hindu yang terdapat dalam kitab Manavaadalah :

1. Apabila dilakukan dihadapan Brahmana atau pendeta atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.

2. Dilaksanakan berdasarkan hukum Hindu, jadi kedua calon suami istri harus menganut agama Hindu. Apabila diantara calon pengantin terdapat perbedaan agama maka perkawinan tersebut tidak dapat disahkan, kecuali pihak yang bukan hindu telah di sudhi-kan (disahkan) sebagai pemeluk agama Hindu.

3. Perkawinan harus dilakukan atas dasar persetujuan kedua belah pihak.

4. Tidak berpenyakit jiwa

5. Bagi pria sudah mencapai umur 18 tahun dan wanita mencapai umur 15 tahun.

6. Kedua mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat.

7. Harus ada ijin orang tua, jika orang tua tidak ada atau sanak keluarganya yang dapat bertindak sebagai wali, maka perwalian dilakukan oleh raja atau pemerintah.32

31 Ibid,hal 47 32 Ibid.

(39)

Syarat-syarat sahnya perkawinan menurut agama Hindu yang telah diuraikan di atas maka menurut agama Hindu tidak dimungkinkan perkawinan dilakukan jika kedua mempelai terdapat perbedaan agama.

d. Perkawinan beda agama menurut agama Budha

Perkawinan menurut agama Budha adalah sebagai suatu ikatan suci yang harus dijalani dengan cinta dan kasih sayang, seperti yang diajarkan Budha.33Tujuan perkawinan menurut agama Budha yaitu untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga bahagia) yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha/

Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para budhisatwa-mahatsatwa.34

Dalam nakulapitar vagga, terdapat satu nasehat yang ditujukan kepada pasangan nakulapitar: “jika suami istri mempunyai niat yang kuat untuk saling membahagiakan baik dalam kehidupan ini maupun yang akan datang, syarat utama yang harus dipenuhi suami istri harus mempunyai Saddhavanta yakni sama-sama mempunyai keyakinan yang teguh terhadap sang tri Ratna (Triratna), disamping itu masing-masing hendaknya berkewajiban melaksanakan sila, bermurah hati dan bijaksana.35

Syarat-syarat perkawinan menurut hukum budha sebagai berikut : 1. Kedua mempelai harus saling menyetujui dan cinta mencintai.

2. Umur kedua mempelai adalah 21 tahun.

3. Keduanya tidak ada hubungan darah atau hubungan susuan.

4. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.

5. Kedua mempelai harus sama-sama yakin kepada Sang Tri Ratna.

33 Ibid,hal 50

34 Hilman Hadikusuma. Op.cit hal 25

35 Asmin Op.cit hal 51

(40)

6. Umat budha melakukan perkawinan harus mengucapkan Vandanna Tisarana oleh kedua mempelai. Pengucapan Vandanna Tisarana ini adalah salah satu ucapan keyakinan terhadap Budha.

Syarat-syarat perkawinan menurut agama Budha yang telah diuraikan di atas maka menurut agama Budha tidak dimungkinkan perkawinan dilakukan jika kedua mempelai terdapat perbedaan agama. untuk melangsungkan suatu perkawinan kedua calon mempelai sendiri harus sama-sama yakin kepada Sang Tri Ratna(Triratna), serta mengucapkan Vandana Tisarana salah satu ucapan keyakinan terhadap budha, perkawinan beda agama tidak dapat dilangsungkan melainkan calon mempelai yang bukan beragama budha, untuk memiliki keyakinan yang teguh terlebih dahulu terhadap Sang Tri Ratna (Triratna) serta syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut agama budha.

e. Perkawinan beda agama menurut Khonghucu

Perkembangan hak asasi manusia pasca reformasi tahun 1998 mengalami kemajuan yang sangat pesat, termasuk juga kebebasan untuk beragama.Dalam masa ini terdapat sebuah momentum yang amat berarti bagi umat Khonghucu di Indonesia. Sebelum masa reformasi hanya dikenal lima agama yaitu agama Islam, Katholik, Protestan, Hindu dan Budha. Namun saat ini di Indonesia diakui enam agama Yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Khonghucu.

Agama Khonghucu adalah agama monoteis, percaya pada satu tuhan yaitu yang biasa disebut Tian, Tuhan Yang Maha Esa atau Shangdi (Tuhan Yang Maha Kuasa). Perkawinan menurut Khonghucu dapat ditemukan dalam kitab LI JI buku XLI: 1& 3 tentang Hun Yi (kebenaran makna upacara pernikahan) dinyatakan bahwa upacara pernikahan bermaksud akan menyatu padukan benih

(41)

kebaikan/kasih antara dua manusia yang berlainan keluarga ke atas mewujudkan pengabdian kepada tuhan dan leluhur (zong Miao) dan ke bawah meneruskan generasi.36sebagaimana lazimnya dengan agama-agama yang lainnya yang diakui di Indonesia, maka sebagian orang yang menganut agama Khonghucu dalam melakukan upacara perkawinan didasarkan pada ketentuan agamanya sendiri.

Adapun ketentuan tersebut adalah dua calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan harus datang kepada pihak terkait (pemuka agama ) yang akan memberkati mereka atau mengantarkan kedua mempelai pada upacara LiepGwan (persidian) pernikahan di depan altar Thian dan Nabi Khonghucu.

Dengan berakhirnya upacara Liep Gwan maka secara agama kedua mempelai sudah sah menjadi suami istri.37

Ada beberapa hal yang diatur dalam hukum perkawinan Khonghucu, sebelum melaksanakan upacara peneguhan (liep Gwan) perkawinan diantaranya adalah :

1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Dasar perkawinan agama Khonghucu adalah monogami.

3. Perkawinan atas persetujuan kedua belah pihak.

4. Kedua calon mempelai tidak terkait dengan pihak lain.

5. Pengakuan iman atau peneguhan iman adalah wajib bagi calon mempelai.

6. Saat pelaksanaan upacara Liep Gwan wajib dihadiri oleh orangtua kedua belah pihak.38

Salah satu persyaratan sebelum melaksanakan upacara perkawinan menurut agama Khonghucu adalah kedua mempelai memiliki pengakuan iman dan

36 Erline Sandra Kristanti “Status Perkawinan Konghucu Menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( Tesis Universitas Diponegoro,semarang, 2010) hal 60

37 Ibid hal 63 38 Ibid

(42)

peneguhan iman yang sama berdasarkan agama Khonghucu. Apabila salah satu atau kedua calon mempelai tidak memenuhi persyaratan ketentuan dari hukum perkawinan ini maka dari pihak makin dapat membatalkan atau menolak upacara peneguhan perkawinan. Perkawinan beda agama menurut agama Khonghucu tidak dapat dilangsungkan karena salah satu persyaratan kesamaan dalam iman dan peneguhan yang calon mempelai miliki ada yang berbeda dari ajaran agama Khonghucu.

f. Perkawinan beda agama menurut agama Islam

Sumber hukum Islam adalah Al-Quran, Hadist dan Ijtihad. Sumber hukum tersebut wajib di ikuti oleh setiap muslim. Dasar hukumnya adalah surat an-Nisaa ayat 59 dan Hadist Mu’az bin Jabal39. Menurut QS an-Nisaa (4):59 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul ( Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudiannya. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”40

Menurut Hadits Nabi Muhammad SAW yang dirumuskan dalam percakapan antara Nabi Muhammad SAW dengan Mu’adz bin Jabal, Gubernur daerah Yaman dari pemerintahan Islam di Madinah ketika Rasul masih hidup.

39 Sayuti Thalib,Hukum Kekeluargaan Indonesia ,(Jakarta :Universitas Indonesia,1986) hal 5 40 Mustafa, Al-Qur’anku Al-Karim dengan Ketentuan Tajwid yang Dipermudah Dengan Alat Peraga Kode Warna-Warna, (Jakarta: Lautan Lestari, 2009) hal 73

(43)

Hadits tersebut adalah hadits Rasul berupa qauliyah, Hadits perkataan, Hadits pembicaraan antara Rasul dengan Mu’adz bin Jabal sesaat sebelum Mu’adz berangkat ke Yaman untuk menjadi Gubernur. Hadits tersebut berbunyi :

“Diberitakan bahwa Rasul mengutus Mu’adz salah seorang sahabatnya menjadi Gubernur di Yaman dan juga menunjuknya menjadi orang yang berwenang menentukan hukum atas suatu perkara. Pada waktu itu belum ada hakim yang dikhususkan mengadili suatu perkara secara terpisah dari kekuasaan eksekutif dan Rasul bertanya: “berdasarkan apakah engkau akan menentukan hukum?”, kemudian Mu’adz menjawab: “menurut ketentuan Tuhan”. Kemudian Rasul bertanya kembali “dan bagaimana kalau tidak engkau temui disana? ” kemudian Mu’adz menjawab “menurut Hadits Rasul” dan Rasul kembali bertanya “dan kalau tidak engkau temui disana?, kemudian Mu’adz menjawab ” dalam hal demikian saya akan berijtihad”. Riwayat Abu Dawud”.41

Dengan demikian sumber hukum atau usul fiqh dalam hukum Islam yang utama adalah wahyu Illahi yang terdapat dalam Al-Quran, kemudian yang kedua adalah Hadits Rasul dan yang ketiga adalah ijtihad ulil amri, hal tersebut sesuai dengan apa yang dituliskan QS an-Nisaa (4):59 dan Hadits Mu’adz bin Jabal.

Sudah dijelaskan di atas bahwa sumber hukum Islam yaitu Al-Quran, sunnah Rasul dan Ijtihad, dan setiap muslim wajib menempah hidup sesuai dengan ketiga sumber hukum Islam tersebut, tidak terkecuali masalah pernikahan.

Nikah, menurut bahasa berarti berkumpul menjadi satu.Menurut syara, nikah berarti suatu aqad yang berisi pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafaz inkahin (menikahkan) atau tazwizin (mengawinkan). Kata

41 Ibid hal 5

(44)

nikah itu sendiri secara hakiki, menurut Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al- Malibrary, berarti akad dan secara majazi berarti bersenggamaan42.

Perkawinan menurut Islam adalah akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawadah dan rahmah43yaitu kehidupan rumah tangga yang saling mencintai dan menyayangi agar tercipta kehidupan rumah tangga yang tentram.

Dalam pandangan Islam pernikahan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul.44 Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti sesuatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya45. Sebagai sunnah Allah dapat dilihat dari ayat-ayat berikut :

1. QS az-Zariyat (51) : 49

“dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”46

2. QS al-Najm (53) : 45

“dan Dia lah yang menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan”

3. QS an-Nisaa (4) : 1

“hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari satu diri dan daripadanya Allah menciptakan

42 Neng Djubaedah,Sulaikin Lubis, Dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2005), hal 64.

43 Ibid

44 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta:Prenada Media,2003) hal 76 45 Ibid

46 Ibid hal 421

(45)

istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak”.

4. QS al-Rum (30) : 21

“dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan untuk kamu istri- istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda bagi orang yang mengetahuinya”47.

Perkawinan itu juga merupakan sunnah Rasul yang pernah dilakukannya selama hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama. Hal ini terdapat dalam hadits yang berasal dari Anas bin Malik sabda Nabi yang berbunyi :

“Tetapi aku sendiri melakukan sholat, tidur, aku berpuasa dan juga aku berbuka, aku mengawini perempuan.Siapa yang tidak senang dengan sunnahku, maka ia bukanlah dari kelompokku”.48

Ayat-ayat Al-Quran di atas jelas bahwa Allah memerintahkan umatNya untuk melaksanakan perkawinan, begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakan perkawinan maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan, karena dengan perkawinan seseorang mendapatkan keturunan, dapat menjaga diri dari perbuatan-perbuatan maksiat, dapat menimbulkan rasa cinta kasih sayang, serta dapat menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban.49

47 Ibid hal 328 48 Ibid hal 78

49 Abd Rahman Ghazaly,Fiqih Munakahat,( Jakarta: Prenada Media 2003), hal 24

(46)

Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi.50

Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula dorongan seseorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula dorongan seseorang perempuan waktu memilih laki-laki menjadi pasangan hidupnya, yaitu karena kecantikan seorang wanita atau kegagahan seorang laki-laki, karena kekayaan, karena kebangsawanannya dan karena keberagamaannya. Hal ini terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah bersabda :

“ perempuan dinikahi karena empat hal, yaitu harta,keturunan, kecantikan, dan agamanya. Maka hendaklah engkau memilih yang beragama karena akan membawamu pada kebahagiaan”51

Diantara alasan yang banyak di atas, maka yang paling utama dijadikan motivasi adalah karena keberagamaannya.Yang dimaksud dengan keberagamaannya disini adalah komitmen keagamanya atau kesungguhannya dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini dijadikan pilihan utama karena itulah yang akan langgeng.

Kekayaan seketika dapat lenyap, kecantikan suatu ketika akan pudar demikian

50 Amir Syafruddin,Op.cit hal 81

51Annisa Hidayat “Konsep Memilih Pasangan Hidup Dalam Persepektif Hadis”, http://annisahidayat.wordpress.com/2010/04/22/konsep-memilih-pasangan-hidup-dalam-

perspektif-hadis, diunduh 1 Juli 2012

(47)

pula kedudukan suatu ketika akan hilang. Maka demikian Islam memandang perkawinan bukan saja sebagai perbuatan mu’amalat, tetapi juga mengandung segi ibadah.Hal tersebut terbukti dengan adanya ketentuan-ketentuan Allah di dalam Al-Quran yang mengatur masalah perkawinan.

Menurut hukum Islam perkawinan baru dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun, syarat dan tidak melanggar larangan perkawinan sebagai yang ditentukan oleh syari’at.Sehingga dalam hukum Islam, rukun dan syarat-syarat perkawinan wajib dipenuhi.Disebutkan dalam kitab al-Figh’ala al-Mazahib al- Arba’ah.Nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya, dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu tidak sah.

Rukun nikah merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan dan merupakan bagian dari pada hakikat perkawinan, artinya bila salah satu dari rukun nikah tidak dipenuhi maka tidak akan terjadi suatu perkawinan. Rukun nikah terdiri dari:

a. Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan b. Harus ada wali bagi calon mempelai perempuan c. Harus disaksikan oleh dua orang saksi

d. Ijab dan Kabul52

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat ialah segala sesuatu yang telah ditentukan dalam hukum Islam sebagai norma untuk menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan. Syarat-syarat perkawinan yaitu :

52 Ahmad Rofiq,Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Garindo Persada,1997) hal 72

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pendapat diatas, maka yang disebut pendidikan menurut saya adalah suatu proses interaksi yang ditandai oleh keseimbangan antara pendidik dengan peserta

PT. Semen Tonasa Kabupaten Pangkep, dalam menjalankan kegiatan produksi semen selama ini maka perusahaan menggunakan anggaran statis sebagai alat pengendalian

Penetapan rencana tindakan pada klien dengan nyeri akut post

5-9 Tabel 5.3 Identifikasi Indikasi Program RTRW Kabupaten Sumbawa Barat Terkait Pembangunan Infratsruktur Bidang Cipta Karya

Tanaman ini telah diteliti sebelumnya dan menunjukkan bahwa fraksi n -heksan dari ekstrak metanol yang diperoleh melalui metode kromatografi telah dilakukan uji aktivitas

(3) rata-rata persentase jumlah siswa yang melakukan aktivitas yang diharapkan mencapai 100% dan hal ini berarti aktivitas siswa telah mencapai kriteria aktif (4) angket respon

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini akan menguji kembali pengaruh tax planning, tunneling incentive, intangible assets, leverage, dan profitabilitas terhadap keputusan

Di dalam kurung tulis bulan penerbitan jurnal dan tahun diakhiri dengan tanda koma dan tulis “hal.” atau “p.” sesuai dengan bahasa tulisan diikuti nomor halaman..