6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Penyakit 1. Pengertian
Menurut WHO tahun 2012, stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Nugroho, 2016).
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian (Batticaca, 2008).
Stroke Non Hemoragik adalah terjadinya kerusakan pada jaringan yang disebabkan berkrangnya aliran darah ke otak atau retaknya pembuluh darah yang menyuplai darah ke otak dengan berbagai sebab yang ditandai dengan kelumpuhan sensoris dan motoris tubuh sampai dengan terjadinya penurunan kesadaran (Muttaqin, 2008).
Stroke non hemoragik atau stroke iskemik adalah stroke yang terjadi karena tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Hal ini
disebabkan oleh aterosklerosis yaitu penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak (Pudiastuti, 2011).
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa stroke non hemoragik adalah gangguan peredaran darah serebral yang disebabkan oleh sumbatan atau penyempitan pembuluh darah, sehingga terjadi penurunan aliran darah ke otak secara mendadak yang dapat menyebabkan gangguan sensoris, motoris, dan penurunan kesadaran.
2. Klasifikasi Stroke
Klasifikasi stroke non hemoragik antara lain :
a. Berdasarkan perjalanan penyakit atau stadiumnya menurut Nugroho (2016) antara lain:
1) TIA (Transient Ischemic Attack)
Gangguan neurologis lokal yang terjadi selama beberapa menit sampai dengan beberapa jam dan gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
2) Stroke Involusi
Stroke yang masih terjadi terus sehinga gangguan neurologis semakin berat dan langsung selama 24 jam bahkan beberapa hari.
3) Stroke komplet
Ganguan neurolgis yang timbul sudah menetap, dapat diawali oleh serangan TIA berulang.
b. Berdasarkan mekanisme penyebab menurut Utami (2009):
1) Stroke trombotik merupakan jenis stroke yang disebabkan terbentuknya thrombus yang membuat penggumpalan.
2) Stroke embolik merupakan jenis stroke yang disebabkan tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
3) Hipoperfusion sistemik merupakan jenis stroke yang disebabkan berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.
3. Etiologi
Stroke iskemik sesuai namanya disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah otak (stroke non perdarahan = infark). Otak dapat berfungsi dengan baik jika aliran darah yang menuju ke otak lancer dan tidak mengalami hambatan. Namun jika persediaan oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh sel darah dan plasma terhalang oleh suatu bekuan darah atau terjadi thrombosis pada dinding arteri yang menyuplai otak maka akan terjadi stroke iskemik yang dapat berakibat kematian jaringan otak yang disuplai. Terhalangnya aliran darah yang menuju ke otak dapat disebabkan oleh suatu thrombosis atau emboli, keduanya merupakan jenis bekuan darah dan pengerasan arteri yang disebabkan plak arterosklerotik melalui proses ateriosklerosis yang
merupakan menumpukan dari lemak darah, kolesterol, kalsium pada dinding pembuluh darah arteri dan disebut juga dengan ateroma (Junaidi, 2011).
4. Faktor Risiko Stroke
Beberapa faktor penyebab stroke menurut Muttaqin (2008) antara lain:
a. Hipertensi, merupakan faktor risiko utama
b. Penyakit kardiovaskuler-emboli serebral berasal dari jantung c. Kolesterol tinggi
d. Obesitas
e. Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infark serebral f. Diabetes – terkait dengan aterogenesis terakselerasi
g. Kontrasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan kadar estrogen tinggi)
h. Merokok
i. Penyalahgunaan obat (khususnya kokain) j. Konsumsi alkohol
5. Pathofisiologi dengan Pathway
Infark serebri adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat.
Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan dan spasme
vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis sering kali merupakan faktor penting untuk otak, thrombus dapat berasal dari plak arterosklerosis, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi. Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah dan terbawa sebagai emboli dalam aliran darah.
Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak pada area yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema di sekitar area.
Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar dari area infark ini sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam bahkan sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema pasien mulai menunjukkan perbaikan.
Karena trombosis biasanya tidak fatal, bila tidak terjadi perdarahan massif. Oklusi pada pembuluh darah serebri oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi infeksi sepsis akan meluas pada dinding pembuluh darah, maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan perdarahan serebri, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak lebih disebakan oleh rupture arterosklerotik dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebri yang sangat luas akan menyebabkan kematian dibandingkan dari keseluruhan
penyakit serebrovaskuler, karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intracranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan kebatang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, thalamus, dan pons.
Jika sirkulasi serebri terhambat, dapat berkembang anoreksia serebri. Perubahan disebabkan oleh anoreksia serebri dapat reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan irreversibel bila anoreksia lebih dari 10 menit. Anoreksia serebri dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak (Muttaqin, 2008).
Faktor – faktor resiko Stroke
Hipertensi, obesitas,aterosklerosis
Katup jantung rusak, miokard infark, endokarditis
Aneurisma, malformasi arteriovenous Trombosis serebral
Pembuluh darah oklusi
Edema dan kongesti jaringan sekitar
Penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah,
lemak, dan udara Emboli serebral
Stroke
(cerebralvascular accident)
Perdarahan intraserebral Perembesan darah kedalam parenkim otak Penekanan jaringan otak
infark otak, edema, dan herniasi otak Defisit neurologis
Hemiplegia dan hemiparesis
Kerusakan mobilitas fisik Penurunan perfusi
jaringan serebral
Disartia, diasfasia,
apraksia
Kerusakan komunikasi
verbal Kehilangan kontrol
volunter Infark serebral
Kompresi batang otak
Kemampuan batuk menurun, kurang mobilitas fisik dan
produksi sekret
disfungsi bahasa dan
kognitif Resiko
peningkatan TIK
Herniasi falk serebri dan ke foramen
magrum Depresi saraf kardiovaskuler dan
pernafasan
Kematian
Kegagalan kardiovaskuler dan
pernafasan
Ketidakefektifan pola nafas
Ketidakefektif an bersihan jalan nafas
Sumber : Muttaqin, 2008 Pathway Stroke Non Hemoragik
6. Tanda dan Gejala / Manifestasi Klinik
Menurut Koes Irianto (2014, dalam Masriadi, 2016) gejala dan tanda stroke sangat bervariasi, tergantung bagian otak mana yang terkena.
Secara umum gejala stroke yang sering dijumpai dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Timbul rasa kesemutan pada sesisi badan, mati rasa dan terasa seperti terbakar atau terkena cabai.
b. Lemes atau bahkan kelumpuhan pada sisi badan, sebelah kanan atau kiri saja
c. Mulut atau lidah mencong bila diluruskan d. Nyeri kepala
e. Gangguan menelan atau bila sedang minum sering tersedak
f. Gangguan bicara berupa pelo atau aksentuasi kata sulit dimengerti (disartria) bahkan bicara tidak lancar, hanya sepatah.
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Ariani (2012) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita stroke adalah sebagai berikut :
a. CT Scan (Computerized Tomograpy Scanner)
Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark
b. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteru.
c. Pungsi Lumbal
1) Menunjukkan adanya tekanan normal
2) Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya perdarahan
d. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Menunjukkan daerah yang mengalami infark e. EEG (Elektroenchepalograph)
Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik f. Ultrasonografi Dopler
Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arterikaroti saluran darah/muncul plak)
g. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan darah, kekentalan darah, penggumpalan trombosit yang abnormal, dan mekanisme pembekuan darah.
8. Penatalaksanaan
Menurut Adams (2007). Manajemen stroke hemoragik di IGD harus dilakukan secara cepat, sistemik dan cermat, meliputi:
a. Penanganan pertama
1). Anamnesis : terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas saat serangan, gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan,
gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor2 resiko stroke (hipertensi, hiperkolesterol, diabetes, dll).
2). Pemeriksaan Fisik, meliputi penilaian ABC, nadi, oksimetri, dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misal cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan dada (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
3). Pemeriksaan Neurologik dan Skala stroke, Pemeriksaan neurologik terutama pemeriksaan saraf kraniales, rangsang meningeal, sistem motorik, sikap dan cara jalan, refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif.
4). Obat-obatan hiperosmolar, misal : manitol, gliserol.
5). Kortikosteroid, bila diperlukan 9. Diagnosa Banding
Menurut Junaidi (2011), beberapa keadaan atau penyakit terkadang muncul dengan gejala yang mirip dengan stroke, yaitu sebagai berikut:
a. Migren
Biasanya ada riwayat awal atau riwayat keluarga dan ditemukan rangsangan meningeal, sepeti: kaku kuduk, keterbatasan pengangkatan kaki pada posisi lurus. Pada migren terjadi sakit kepala paroksimal monolateral dan dapat disertai mual muntah serta defisit neurologis dan umumnya menyerang wanita.
b. Cervical syndrome
Biasanya dimulai dengan kelainan degeneratif spina servikalis, lalu diikuti dengan rasa nyeri pada otot leher yang sukar dibedakan dengan meningismus. Bagi penderita cervical syndorome tidak ada gangguan defisit neurologis dan umumnya merupakan penyakit kronis.
c. Nyeri saraf oksipital dan tension headache (sakit kepala karena regangan).
Diagnosis ditegakan bila penyebab lain disingkirkan terlebih dahulu.
d. Meningitis bakterialis atau virus
Meningitis terjadinya gejala perlahan karena adanya infeksi dan tampak ada tanda radang pada cairan serebrospinal, sedangkan kejadian pada PSA adalah mendadak.
e. Trauma leher/kepala
Diketahui dengan adanya riwayat pada kepala dan leher.
f. Ensefalopati hipertensif
Bila sebelumnya penderita mengidap tekanan darah tinggi.
g. Tumor Intrakranial
Sering mengeluhkan sakit kepala hebat, mual atau muntah.
h. Kejang
Adanya riwayat kejang dengan gangguan saraf yang sementara (Paralisis Todd’s ).
i. Gangguan psikiatrik
Adanya riwayat gangguan jiwa.
j. Ganggual metabolik, seperti hiperglikemia, hipoglikemia, iskhemia pasca henti jantung, keracunan bahan-bahan toksik, gangguan endokrin (myxedema), uremia.
10. Komplikasi
Komplikasi Stroke menurut Satyanegara (1998, dalam Ariani, 2012) sebagai berikut:
a. Komplikasi dini (0-48 jam petama)
1. Edema serebri: defisit neurologis cenderung berat, dapat mengakibatkan peningkatkan tekanan intrakranial, herniasi, dan akhirnya menimbulkan kematian.
2. Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.
b. Komplikasi jangka pendek (1-14 hari pertama) 1. Pneumonia: akibat immobilisasi lama 2. Infark miokard
3. Emboli paru: cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, seringkali pada saat penderita mulai mobilsasi
c. Komplikasi jangka panjang
Stroke rekuren, infark miokard, gangguan vaskuler lain: vaskuler perifer.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Stroke
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan praktik keperawatan yang berlangsung diberikan kepada pasien pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan. Asuhan keperawatan dilaksanakan menggunakan metodologi pemecahan masalah melalui pendekatan proses keperawatan, pedoman pada standar keperawatan, dilandasi etik dan etika keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggung jawabnya (Nursalam, 2009). Asuhan keperawatan terdiri dari Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Perencanaan, dan Evaluasi )
1. Pengkajian
Menurut Nursalam (2009), pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistimatis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien. Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu pengkajian yang akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan respon individu. Khusus untuk pengkajian pada pasien gawat darurat mengingat kondisi dan keterbatasan waktu untuk mendapatkan data-data fokus , maka pemeriksaan menurut N Kartikawati (2011) dibagi menjadi dua yakni pengkajian primer dan pengkajian sekunder
a. Pengkajian Primer
Dilakukan untuk menangani masalah yang mengancam nyawa yang harus segera dilakukan tindakan. Komponen pengkajian primer menurut Kartikawati (2011) adalah Airway, Breathing dan Circulation (ABC). Pada pasien trauma ditambahkan Disability dan Expossure
(DE), sehingga pengkajian primer disingkat ABCDE 1) Airway (Jalan Napas)
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien bebicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan napas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan napas tidak ada gangguan. Periksa apakah jalan napas paten atau tidak, periksa vokalisasi, adakah aliran udara dan periksa adanya suara napas abnormal (stridor, snoring, gurgling). Tindakan yang dapat dilakukan adalah memeriksa dan mengatur jalan napas untuk memastikan kepatenan, mengidentifikasi dan mengeluarkan benda asing (darah, muntahan, secret, ataupun benda asing) yang menyebabkan obstruksi, memasang orofaringeal airway untuk mempertahankan kepatenan jalan napas dan mempertahankan serta melindungi tulang servikal.
2) Breathing (Pernapasan)
Periksa adanya pernapasan efektif dengan 3M (melihat naik turunnya dinding dada, mendengarkan suara napas dan merasakan
hembusan napas), amati warna kulit, identifikasi pernapasan abnormal, periksa adanya penggunaan otot bantu pernapasan, deviasi trakea, gerakan dinding dada yang asimetris, periksa pola napas pasien adakah tachipneal bracipneal/ tersengal-sengal/ pasien bisa berbicara dalam satu kalimat penuh atau tidak dan adakah pernapasan cuping hidung. Tindakan yang dapat dilakukan adalah auskultasi suara napas, atur posisi pasien untuk memaksimalkan ekspansi dada, berikan oksigen dan beri bantuan napas dengan menggunakan masker/ Bag Valve Mask (BVM)/ Endotrakheal Tube (ETT) jika perlu, tutup luka jika didapatkan luka terbuka di
dada dan berikan terapi untuk mengurangi bronkospasme/ adanya edema pulmonal dan lain-lain.
3) Circulation (Sirkulasi)
Periksa denyut nadi, kualitas dan karakternya, periksa adanya gangguan irama jantung/ abnormalitas jantung, periksa pengisian kapiler, warna kulit dan suhu tubuh serta adanya diaphoresis.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah lakukan tindakan CPR/
defibrilasi sesuai dengan indikasi, lakukan tindakan penanganan pada pasien yang mengalami disritmia, bila ada perdarahan lakukan tindakan penghentian perdarahan, pasang jalur IV dang anti volume darah/ cairan yang hilang dengan cairan kristaloid isotonic atau darah.
4) Disability (Status Kesadaran)
Tingkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan menggunakan AVPU, AVPU meliputi: alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang diberikan, verbal yaitu berespon terhadap suara/ verbal, pain yaitu berespon terhadap rangsang nyeri dan unresponsive yaitu pasien tidak berespon baik stimulus nyeri maupun stimulus verbal. Sebagai tambahan, cek kondisi pupil, ukuran, kesamaan dan reaksi terhadap cahaya. Pada saat survey primer, penilaian neurologis hanya dilakukan secara singkat. Pasien yang memiliki risiko hipoglikemi (misal: pasien diabetes) harus dicek kadar gula dalam darahnya. Apabila didapatkan kondisi hipoglikemi berat, maka bisa diberikan Dekstrose 50%. Adanya penurunan tingkat kesadaran akan dilakukan pengkajian lebih lanjut pada survey sekunder. GCS dapat dihitung segera setelah pemeriksasn sekunder.
Tabel 2.1 GCS (Glosgow Coma Scale)
Tindakan Respon Nilai
Mata Terbuka Secara spontan 4 Terhadap suara bicara 3 Terhadap nyeri 2 Mata tidak terbuka 1 Respon Verbal
Terbaik
Orientasi 5
Kacau 4
Penggunaan kata tidak tepat
3 Suara tidak dapat
dimengerti
2 Tidak bersuara 1 Respon
Motorik (gerak)
Mematuhi perintah 6 Melokalisir nyeri 5 Menarik dengan fleksi 4 Fleksi abnormal 3 Ekstensi abnormal 2 Flacid (lemah dan
lunak)
1
5) Expossure and Environmental Control (Pemaparan dan Kontrol Lingkungan)
Pemaparan (exposure) dilakukan dengan cara melepas semua pakaian pasien secara cepat untuk memeriksa cedera, perdarahan, atau keanehan lainnya. Perhatikan kondisi pasien secara umum, catat kondisi tubuh atau adanya bau zat kimia seperti alcohol, bahan bakar atau urine. Kontrol lingkungan (Enviromental Control) dilakukan dengan cara pasien harus dilindungi dari hipotermia.
Hipotermia penting karena ada kaitannya dengan vasokontriksi pembuluh darah dan koagulopati.
b. Pengkajian Sekunder
Setelah dilakukan survei primer dan masalah yang terkait dengan jalan napas, pernapasan, sirkulasi dan status kesadaran telah selesai dilakukan tindakan maka tahap selanjutnya adalah survei sekunder.
Berbeda dengan survei primer, dalam pemeriksaan survei sekunder ini apabila didapatkan masalah, maka tidak diberikan tindakan dengan segera. Hal-hal tersebut dicatat dan diprioritaskan untuk tindakan selanjutnya. Pengkajian sekunder memperoleh riwayat kesehatan yang sesuai dan relevan dengan kondisi pasien. Data riwayat termasuk keluhan utama pasien, riwayat penyakit saat ini, riwayat pengobatan, pengobatan yang sedang dijalani, riwayat keluarga dan sosial, serta pemeriksaan persistem. Untuk mengetahui dan memudahkan mengingat komponen pendataan riwayat, maka digunakanlan mnemonic SAMPLE yaitu sebagai berikut:
1) S (Symptoms), yaitu gejala utama yg dirasakan pasien pada saat itu
2) A (Allergies), yaitu ada tidaknya riwayat alergi
3) M (Medications), yaitu terapi terakhir yang sudah diberikan kepada pasien dan apakah terapi tersebut mengurangi permasalahan pasien atau tidak.
4) P (Past Medical History) atau riwayat medis sebelum pasien dirawat saat ini
5) L (Last Oral Intake) atau terakhir kali pasien makan dan minum dan jenis atau detil dari makanan atau minuman yang baru saja dimakan atau diminum
6) E (Even Prociding Incident) yaitu hal-hal yang memungkinkan atau peristiwa yang mengawali terjadinya serangan atau penyakit pasien saat ini.
c. Pemeriksan fisik 1) Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa, lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untk adanya pigmentasi, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala.
2) Mata
Periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor atau anisokor serta bagaimana reflek cahayanya apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata, apakah konjungtivanya anemis atau tidak.
3) Hidung
Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas.
4) Telinga
Periksa adanya nyeri, penurunan atau hilangnya fungsi pendengaran.
5) Mulut
Inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna, kelembapan, dan adanya lesi: amati tekstur lidah, warna, kelembapan.
6) Toraks
Inspeksi: kesimetrisan ekspansi dinding dada, penggunaan otot pernapasan tambahan, frekuensi dan irama denyut jantung.
Palpasi: seluruh dinding dada untuk nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan. Auskultasi: suara napas tambahan (apakah ada rhonci, wheezing, rales dan bunyi jantung (murmur, gallop,
friction rub).
7) Abdomen
Inspeksi: adakah distensi abdomen, asites, luka, memar, ruam, massa, denyutan. Auskultasi: bising usus, palpasi: untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali, splenomegali. Perkusi: untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan).
8) Ekstermitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Inspeksi lihat adanya edema, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, kekuatan otot.
Kekuatan otot ini dinilai dengan memberikan suatu tahanan atau mengunakan gaya gravitasi adanya kelemahan dapat
menandakan adanya gangguan atau lesi pada traktus motorik.
Nilai skala peringkat kekuatan otot yaitu:
Tabel 2.2 Penilaian kekuatan otot Tingkat Kekuatan Otot
0 Paralisis otot atau tidak ditemukan adanya kontraksi pada otot.
1 Kontrasi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot yang dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakan sendi.
2 Otot hanya mampu menggerakan persendian tetapi kekuatannya tidak dapat melawan pengaruh gravitasi.
3 Selain dapat menggerakan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh gravitasi tatapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan oleh pemeriksa.
4 Kekuatan otot seperti pada tingkat 3 disertai dengan kemampuan otot terhadap tahanan yang ringan.
5 Kekuatan otot normal Menurut Hudak dan Gallo (2012) 2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan stroke menurut Muttaqin (2008) adalah:
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas fisik sekunder, perubahan tingkat kesadaran.
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kesadaran, hiperventilasi, depresan pusat pernapasan
c. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan perdarahan intra serebri, oklusi otak, vasospasme otak, edema serebral.
d. Resiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, edema serebri.
e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplegia, kelemahan neuromuskular pada ekstremitas.
f. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, kelemahan secara umum.
3. Perencanaan Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun dan penurunan mobilitas fisik sekunder, perubahan tingkat kesadaran.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1x2 jam diharapkan meningkatkan dan mempertahankan jalan napas tetap bersih, serta mencegah aspirasi.
Kriteria hasil:
1) Pasien tidak sesak napas.
2) Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara napas tambahan.
3) Tidak retraksi otot bantu pernapasan.
4) Pernapasan teratur, respirasi 16-20 x/menit Perencanaan:
1) Observasi keadaan jalan napas
Rasional: Obstruksi mungkin disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mukus, perdarahan, bronkospasme.
2) Rubah posisi tiap 2 jam sekali.
Rasional: Perubahan posisi dapat melepaskan sekret dari saluran pernapasan.
3) Lakukan penghisapan lendir
Rasional: mencegah terjadi sumbatan karena penumpukan sekret.
4) Berikan minum hangat bila memungkinkan
Rasional: Dapat mengencerkan sekret dan membantu mengeluarkan sekret
5) Auskultasi suara napas sebelum dan sesudah pasien batuk Rasional: Untuk mengetahui adanya kelainan suara napas 6) Lakukan fisioterapi dada sesuai dengan keadaan umum pasien
Rasional: Agar dapat melepaskan sekret dan mengembangkan paru-paru
7) Ajarkan pasien tentang metode batuk efektif
Rasional: batuk yang tidak terkontreol adalah melelahkan dan tidak efektif
8) Kolaborasi pemberian obat-obat bronkodilator sesuai indikasi seperti aminophilin, meta-proterenol sulfat (alupen)
Rasional: Mengatur ventilasi dan melepaskan secret karena relaksasi otot/bronkospasme.
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, hiperventilasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x2 jam Pola napas pasien efektif/adekuat
Kriteria hasil
1) pasien tidak terlihat sesak napas 2) respirasi dalam batas normal 3) auskultasi napas reguler
4) tidak terlihat menggunakan otot bantu pernapasan Perencanaan :
1) Berikan posisi nyaman pasien (posisi semifowler)
Rasional : Posisi semifowler membantu dalam ekspansi otot- otot pernapasan dengan pengaruh gravitasi.
2) Bersihankan jalan napas pasien dengan melakukan penghisapan lendir (suction)
Rasional : Mencegah adanya sumbatan karena penumpukan sekret/mukus.
3) Ajarkan teknik relaksasi dengan napas dalam
Rasional : Relaksasi napas dalam dapat melonggarkan ekspansi dada
4) Monitor tanda-tanda vital tiap 2 jam
Rasional : Normalnya tekanan darah akan sama pada berbagai posisi, nadi menandakan tekanan dinding arteri, suhu tubuh abnormal disebabkan oleh mekanisme pertahanan tubuh buruk.
5) Monitor status pernapasan pasien
Rasional : Ketidakteraturan pernapasan dapat memberikan gambaran lokasi kerusakan serebral/peningkatan TIK.
6) Pertahankan oksigenasi
Rasional : Menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan tekanan meningkat/terbentuknya edema.
c. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan perdarahan intra serebri, oklusi otak,vasospasme otak, edema serebral.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1x2 jam diharapkan perfusi jaringan otak tercapai secara optimal.
Kriteria hasil:
1) Pasien tidak gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang.
2) GCS 4,5,6
3) Pupil isokor, refleks cahaya (+)
4) Tanda-tanda vital normal (tekanan darah: 100-140/80-90 mmHg, nadi: 60-100 x/menit, suhu: 36-36,70C, RR: 16-20 x/menit)
Perencanaan:
1) Berikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang sebab- sebab peningkatan TIK dan akibatnya.
Rasional: Keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan
2) Atur posisi kepala pasien lebih tinggi 0-450
Rasional: Membantu drainage vena untuk mengurangi kongesti serebrovaskuler.
3) Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
Rasional: Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
4) Monitor tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi pernapasan.
Rasional: Kerusakan pada vaskuler serebri yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolik, sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi.
5) Anjurkan pasien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan.
Rasional: Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intra kranial dan potensial terjadi perdarahan ulang.
6) Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung.
Rasional: Rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan kenaikan TIK. Istirahat total dan ketenangan mungkin diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam kasus stroke hemoragik/perdarahan lainnya.
7) Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat
Rasional: meminimalkan bebas vaskular dan tekanan intrakranial.
8) Monitor AGD bila diperlukan oksigen
Rasional: Menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan tekanan meningkat / terbentuknya edema.
9) Kolaborasikan dalam pemberian terapi sesuai indikasi:
antifibrolitik (seperti asam aminocaproic/amicar), vasodilator perifer (siklandelat, papaverin, isoksupresin), steroid (deksametason), antibiotik, obat osmosis diuretik (furosemid, manitol), antihipertensi.
Rasional: Dapat membantu dalam mengurangi kerusakan berlebihan pada jaringan yang berada di otak.
d. Resiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1x2 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada pasien.
Kriteria hasil:
1) Pasien tidak gelisah
2) Pasien tidak mengeluh nyeri kepala, mual dan muntah 3) GCS: 4,5,6
4) Tidak terdapat papiledema
5) TTV dalam batas normal (tekanan darah: 100-140/80-90 mmHg, nadi: 60-100 x/menit, suhu: 36-36,70C, RR: 16-20 x/menit)
Perencanaan:
a. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK
Rasional: Deteksi dini untuk memprioritaskan Perencanaan, mengkaji status neurologis, tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
b. Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional: Dengan peningkatan tekanan darah (diastolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intrakranial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda terjadi peningkatan TIK.
c. Evaluasi pupil
Rasional: Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan saraf jika batang otak terganggu.
d. Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal.
Rasional: Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak sehingga dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
e. Bantu pasien jika batuk, muntah
Rasional: Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan dalam thorak dan tekanan tekanan dalam abdomen, sehingga meningkatkan tekanan TIK.
f. Berikan oksigen sesuai indikasi
Rasional: Mengurangi hipoksia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi serebri dan volume darah dan menaikkan TIK.
g. Berikan obat osmosis diuretik seperti manitol, furosemid Rasional: Diuretik digunakan untuk mengalirkan air dari sel-sel otak dan mengurangi edema serebri dan TIK
h. Berikan analgetik
Rasional: untuk mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.
i. Berikan obat antihipertensi
Rasional: Digunakan pada hipertensi kronis, karena manajemen secara berlebihan akan meningkatkan perluasan kerusakan jaringan.
e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplegia, kelemahan neuromuskular pada ekstremitas.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1x2 jam diharapkan pasien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
Kriteria hasil:
1) Pasien dapat ikut serta dalam program latihan 2) Tidak terjadi kontraktur sendi
3) Meningkatnya kekuatan otot
4) Pasien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas
Perencanaan:
1) Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan. Kaji secara teratur fungsi motorik.
Rasional: Mengetahui tingkat kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas
2) Ubah posisi pasien tiap 2 jam.
Rasional: Menurunkan risiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang jelek pada daerah yang tertekan.
3) Ajarkan pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstrimitas yang tidak sakit.
Rasional: Gerakan aktif memberikan masa, tonus dan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
4) Lakukan gerak pasif pada ekstrimitas yang sakit.
Rasional: Otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih untuk digerakkan.
5) Inspeksi kulit bagian distal setiap hari. Pantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi, kemerahan, atau lecet- lecet.
Rasional: Deteksi dini adanya gangguan sirkulasi dan hilangnya sensasi resiko tinggi kerusakan integritas kulit.
6) Bantu pasien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi.
Rasional: untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
7) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik pasien.
Rasional: merangsang anggota tubuh yang lemah.
f. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari
kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, kelemahan secara umum.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1x2 jam diharapkan proses komunikasi pasien dapat berfungsi secara optimal.
Kriteria Hasil:
1) Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan pasien dapat dipenuhi.
2) Pasien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
Perencanaan:
1) Katakan untuk mengikuti perintah secara sederhana seperti tutup matamu.
Rasional: Untuk menguji afasia reseptif.
2) Perintah menyebutkan nama suatu benda yang di perlihatkan.
Rasional: Menguji afasia ekspresif misalnya pasien dapat mengenal benda tersebut namun tidak mampu menyebutkan namanya.
3) Antisipasi setiap kebutuhan pasien saat berkomunikasi.
Rasional: Mencegah rasa putus asa dan ketergantungan pada orang lain.
4) Bicaralah dengan pasien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak”.
Rasional: Mengurangi kecemasan dan kebingungan pada saat komunikasi.
5) Suruh pasien untuk menulis nama atau kalimat pendek, bila tidak mampu menulis suruh pasien membaca kalimat pendek.
Rasional: Menguji ketidakmampuan menulis (agrafia) dan defisit membaca (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia reseptif dan ekspresif.
6) Anjurkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan pasien.
Rasional: Mengurangi isolasi sosial dan meningkatkan komunikasi yang efektif.
7) Hargai kemampuan pasien dalam berkomunikasi.
Rasional: Memberi semangat pada pasien agar lebih sering melakukan komunikasi.
8) Kolaborasi dengan ahli terapi wicara.
Rasional: Mengkaji kemampuan verbal individu dan sensorik motorik dan fungsi kognitif untuk mengidentifikasi déficit dan kebutuhan terapi.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan. Tahap ini muncul jika perencanaan yang dibuat diaplikasikan pada pasien (Debora, 2011).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. Pada tahap ini perawat membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masalah yang terjadi sudah teratasi seluruhnya, hanya sebagian, atau bahkan belum teratasi semuanya (Debora, 2011).