• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMULIHAN HAK EKONOMI KORBAN PEMBAJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMULIHAN HAK EKONOMI KORBAN PEMBAJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

90 | Juris and Society

PEMULIHAN HAK EKONOMI KORBAN PEMBAJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014

TENTANG HAK CIPTA

Hendri Sita Ambar Kumalawati*, Muhamad Amirulloh Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Jl. Banda No. 42, Bandung

*hendri.sita@gmail.com

Abstrak

Dampak merugikan perbuatan pembajakan hak cipta sangat luas, selain merugikan negara, terutama merugikan pencipta atau pemegang hak cipta. Pada hakikatnya hubungan antara pencipta atau pemegang hak cipta dengan pelaku pembajakan hak cipta adalah hubungan privat to privat, namun kasus pembajakan hak cipta lebih banyak diselesaikan secara pidana. Sementara di sisi lain perlu diperhatikan pemulihan hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta yang sudah kehilangan pendapatannya akibat perbuatan pembajakan hak cipta. Artikel ini menggunakan analisis yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang, mengkaji pengaturan terkait penyelesaian sengketa pembajakan hak cipta dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 yang dianalisis secara normatif kualitatif. Data primer digunakan untuk mendukung data sekunder yang selanjutnya disusun secara deskriptif analitis. Hasilnya adalah tidak ada ketentuan yang melarang penyelesaian kasus pembajakan hak cipta secara perdata, baik secara litigasi maupun non-litigasi.

Secara normatif dimungkinkan pemberian ganti rugi dalam penyelesaian secara pidana, namun ketentuan larangan mediasi sebelum pengajuan tuntutan pidana terhadap pelaku pembajakan hak cipta dalam Pasal 95 ayat (4) membuat hak ekonomi untuk pencipta atau pemegang hak cipta belum tentu terpulihkan dan larangan mediasi dalam penyelesaian secara pidana tidak sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Kata Kunci: Ganti Rugi, Hak Ekonomi, Pembajakan.

Abstract

Piracy of copyright has inflicted a wide-scale financial loss, not only disserve the financial of the country, but also the creator or the copyright holder.

In principle, the correlation between the creator or copyright holder and the perpetrator of piracy is private – to – private relation, but the piracy cases have been mostly settled under criminal law. On the other side, the recovery of economic

(2)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

91 | Juris and Society

rights of the creator or the copyright holder is necessary to be taken into account.

This article is a normative legal research based on statute approach to analyze the stipulations regarding dispute settlement of piracy in Copyright Act Number 28 of 2014 and apply the qualitative normative method. Primary data is utilized to support the secondary data, henceforth to be compiled in analytical descriptive writing. This research revealed that there are no provisions prohibiting the dispute settlement of piracy cases, either by litigation or non-litigation. Normatively, the compensation is able to be done according to the criminal procedural law, but due to the prohibition of mediation process for piracy cases as stipulated in Article 95 paragraph (4), the recovery of economic rights of the creator or copyright holder have become uncertain and the prohibition of mediation process in criminal procedure is not in compliance with judicial principle: simple, rapid, and inexpensive.

Keywords: Compensation, Economic Right, Piracy.

A. Pendahuluan

Penemuan-penemuan di bidang teknologi sebagai hasil olah pikir intelektual manusia dan karya-karya seni serta sastra adalah sesuatu yang tidak berwujud pada awalnya atau berupa ide, namun dapat diwujudkan menjadi suatu produk yang memiliki nilai. Produk tersebut patut dihargai keberadaannya, bagaimanapun juga proses berpikir manusia yang berusaha untuk memecahkan suatu masalah ataupun mengekpresikan idenya dengan harapan bermanfaat bagi kehidupan orang banyak lazimnya membutuhkan waktu, tenaga bahkan biaya. Inilah yang membuat suatu karya menjadi bernilai, bukan dilihat dari produk yang dihasilkan, melainkan olah pikir intelektual manusia dalam mewujudkan idenya tersebut. (Idris, 2003)

Hasil olah pikir otak manusia atau intelektual yang sifatnya tidak berwujud merupakan Kekayaan Intelektual (KI) yang dilindungi hukum sebagai suatu hak bagi subjek-subjek hukum yang melahirkannya, seperti: hak merek, hak cipta, hak desain industri, hak paten, hak rahasia dagang, hak desain tata letak sirkuit terpadu, dan hak varietas tanaman. (Amirulloh & Muchtar, 2016)

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Rachmadi Usman dan Kamil Idris yang mengatakan bahwa KI memiliki nilai ekonomi, sehingga menumbuhkan konsepsi property atau kepemilikan yang dapat memberikan dorongan untuk menghasilkan karya-karya selanjutnya. Oleh karenanya, perlindungan terhadap KI menjadi sangat besar artinya bagi peningkatan taraf hidup, peradaban, dan martabat manusia. (Usman, 2003)

Perlindungan hak cipta sebagai salah satu KI melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC 2014) dimaksudkan untuk memberikan perlindungan preventif terhadap dinamika hak cipta yang terus

(3)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

92 | Juris and Society

berkembang di masyarakat, terlebih dengan perkembangan teknologi yang ada berdampak mudahnya membuat salinan-salinan ciptaan yang berkualitas.

Perkembangan teknologi di sisi lain membuat orang-orang yang tidak berhak, dalam arti secara melawan hukum dengan tidak meminta izin kepada pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pembajakan hak cipta yang ditujukan untuk kepentingan finansial diri sendiri. Pada umumnya yang menjadi sasaran pembajakan adalah ciptaan yang memiliki nilai komersil tinggi di pasaran, antara lain: buku, perangkat lunak (software), film atau lagu dalam bentuk cakram optik seperti VCD atau DVD, bahkan film atau lagu dapat diunduh secara gratis melalui internet dan kemudian diperbanyak secara ilegal.

Dampak kerugian ekonomi akibat pembajakan begitu luas. Negara dirugikan karena barang-barang hasil pembajakan tidak membayar pajak sehingga mengurangi pendapatan nasional dan tingginya angka pembajakan di Indonesia atas ciptaan dari luar negeri mengakibatkan menurunnya kepercayaan dunia internasional, sedangkan pencipta atau pemegang hak cipta menjadi kehilangan pendapatan dari setiap karyanya yang dikonsumsi masyarakat.

Perbuatan pembajakan merupakan akumulasi perbuatan penggandaan dan pendistribusian (Pasal 1 angka 23 UUHC 2014) dan hanyalah pencipta atau pemegang hak cipta yang memiliki hak ekonomi untuk melakukannya (Pasal 9 ayat (1) huruf b dan e UUHC 2014).

UUHC 2014 menetapkan sanksi pidana terhadap pelaku pembajakan hak cipta dan praktiknya pun kasus pembajakan hak cipta lebih banyak diselesaikan secara pidana. Terhadap tuntutan pidana, Pasal 95 ayat (4) UUHC 2014 menentukan bahwa untuk pelaku pembajakan hak cipta tidak diperkenankan adanya mediasi dan harus diproses di ranah pidana. Mediasi merupakan sarana penyelesaian konflik antar pihak yang bersengketa, bertujuan untuk mencapai perdamaian dengan hasil yang win-win solution, dan prosesnya dibantu oleh mediator. Melalui mediasi ini diharapkan pihak yang dirugikan terpulihkan hak ekonominya.

Namun ada sisi lainnya yaitu hak keperdataan dalam hal ini adalah hak ekonomi yang merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta yang perlu diperhatikan. Pada hakikatnya hubungan antara pencipta atau pemegang hak cipta dengan pelaku pembajakan hak cipta adalah hubungan privat to privat atau privaatrechtelijk. (Abdullah, 2008) Kepentingan pencipta atau pemegang hak cipta adalah mendapatkan ganti rugi dan pembajakan atas hak ciptanya tidak terjadi lagi. Pemulihan hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta lebih efektif bila diselesaikan oleh pihak-pihak yang terlibat dibanding dengan memenjarakan pelaku pembajakan hak cipta,

(4)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

93 | Juris and Society

sehingga peraturan perundang-undangan harus memberikan perlindungan hukum yang memadai.

Hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta penting untuk dilindungi sepenuhnya karena berpengaruh terhadap motivasi pencipta untuk menghasilkan suatu ciptaan. Motivasi pencipta dalam menghasilkan suatu ciptaan penting untuk dijaga karena ciptaan dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk kesejahteraan rakyat dan Negara Indonesia. Pengkajian terhadap permasalahan ini perlu dilakukan untuk perlindungan hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta di Indonesia.

Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang juga membahas mengenai ketentuan penyelesaian kasus pembajakan hak cipta secara perdata dalam UUHC 2014. Adapun beberapa penelitian tersebut, diantaranya:

1. Artikel yang ditulis oleh Sufiarina dengan judul Pergeseran Tindak Pidana Hak Cipta ke Arah Sengketa Perdata (Tinjauan atas Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta) yang dipublikasikan dalam Jurnal Cita Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2017. Adapun pembahasan dalam artikel ini mengungkapkan bahwa konsekuensi persyaratan mediasi sebelum mengajukan tuntutan pidana dalam Pasal 95 ayat (4) UUHC 2014 adalah pergeseran tindak pidana bidang hak cipta menjadi sengketa keperdataan, sehingga kewajiban mediasi untuk penyelesaian sengketa hak cipta tidak hanya diperlakukan bagi tindak pidana saja, namun juga diperluas sebagai syarat untuk penyelesaian sengketa litigasi di Pengadilan Niaga.

2. Artikel yang ditulis oleh Dewa Gede Yudi Putra Wibawa dan I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati dengan judul Upaya Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Hak Cipta yang dipublikasikan dalam Jurnal Kertha Semaya Fakultas Hukum Universitas Udayana Vol. 8 Nomor 10 Tahun 2019. Adapun pembahasan dalam artikel ini mengungkapkan bahwa berdasarkan Pasal 95 penyelesaian sengketa Hak Cipta diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, dan pengadilan niaga, sedangkan secara pidana dapat diselesaikan melalui pengadilan negeri. Dalam ranah hukum pidana, mediasi penal dapat dilakukan untuk pelanggaran hak cipta selain pembajakan dengan bantuan wewenang diskresi, sedangkan pelanggaran hak cipta dalam ranah hukum perdata dapat dilakukan mediasi sukarela. Dengan demikian, penyelesaian sengketa pelanggaran hak cipta berdasarkan Pasal 95 disesuaikan dengan ranah hukum pelanggarannya.

Uraian latar belakang tersebut diatas membawa pada rumusan permasalahan bagaimana pengaturan ganti rugi terhadap pencipta atau pemegang hak cipta yang menjadi korban pembajakan menurut UUHC 2014

(5)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

94 | Juris and Society

dan bagaimana ketentuan penyelesaian sengketa terhadap kasus pembajakan menurut UUHC 2014 dikaitkan dengan asas penyelesaian sengketa secara sederhana, cepat, dan ringan biaya.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang menggunakan studi dokumen dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dalam melakukan kajian dan analisa semua peraturan perundang-undangan terkait pemulihan hak ekonomi korban pembajakan hak cipta melalui penyelesaian sengketa serta diolah menggunakan analisis normatif kualitatif. Data primer melalui wawancara digunakan untuk mendukung data sekunder. Data primer serta data sekunder dikumpulkan, diteliti, dan disusun secara deskriptif analitis.

C. Hasil dan Pembahasan

Hak cipta (copyright) sebagai bagian dari KI memiliki hak eksklusif dan dilindungi di Indonesia melalui UUHC 2014. Setiap adanya hak menimbulkan konsekuensi terdapatnya kewajiban dan terhadap hak serta kewajiban yang timbul selalu didukung oleh subyek hukum (natuurlijk persoon) yang terdiri atas manusia dan badan hukum atau rechtspersoon.

Apabila terdapat subjek tentunya terdapat objek serta relasi keduanya saling berkaitan satu dengan lainnya dan hubungan ini dinamakan hak milik (eigendom recht). (Amirulloh & Muchtar, 2016)

Subjek hukum hak cipta adalah pencipta (orang), ataupun badan hukum yang memperoleh hak untuk itu secara sah, sedangkan objeknya adalah benda immateril yakni hak cipta, ditegaskan dalam undang-undang bahwa hak cipta adalah benda bergerak tidak berwujud. (Amirulloh & Muchtar, 2016)

Hak eksklusif merupakan esensi kepemilikan hak cipta, hak yang hanya dimiliki pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengizinkan pihak lainnya dalam penggunaan karya ciptanya, sebaliknya dapat melarang pihak lainnya dalam penggunaan karya ciptanya (Panjaitan & Sinaga, 2017). Hak eksklusif ini mengandung hak moral yang melekat pada pencipta secara abadi, serta hak ekonomi yaitu hak memanfaatkan ciptaan secara ekonomis.

Pencipta dan pemegang hak cipta memiliki pengertian yang berbeda, yang dimaksud pencipta yaitu satu orang atau lebih yang menghasilkan ciptaan bersifat khas sekaligus pribadi, baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama- sama. Sedangkan yang disebut pemegang hak cipta terdapat tiga kategori yaitu pencipta itu sendiri, pihak yang secara sah menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima hak tersebut lebih lanjut dari pihak lain yang menerima hak itu secara sah.

(6)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

95 | Juris and Society

Pencipta atau pemegang hak cipta mempunyai hak ekonomi untuk melakukan perbuatan-perbuatan penerbitan, segala bentuk penggandaan, membuat terjemahan, mengadaptasi ciptaan, mengaransemen, transformasi ciptaan, mendistribusikan ciptaan ataupun salinannya, melakukan pertunjukan, pengumuman ciptaan, komunikasi, dan menyewakan ciptaan.

Perbuatan menggandakan serta mendistribusikan ciptaan dapat memberikan manfaat secara ekonomis, dimana perbuatan-perbuatan tersebut adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta. Berarti izin pencipta atau pemegang hak cipta adalah hal yang wajib untuk setiap orang yang bermaksud menggandakan dan mendistribusikan ciptaan secara komersial.

Secara komersial maksudnya adalah pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak terkait untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis dari berbagai sumber ataupun berbayar.

Izin yang diberikan untuk penggunaan secara komersial memberikan keuntungan ekonomi bagi pencipta atau pemegang hak cipta dan secara timbal balik penerima izin memberikan sejumlah pembayaran kepada pemberi izin.

Oleh karenanya pembajakan merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi dan menimbulkan kerugian bagi pencipta atau pemegang hak cipta.

1. Ganti Rugi terhadap Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas Perbuatan Pembajakan Hak Cipta

Kerugian menurut hukum perdata materiil dapat timbul karena adanya wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap suatu perikatan. Perikatan menurut Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Perikatan menurut KUHPerdata merupakan suatu hubungan hukum diantara dua orang mengenai kekayaan harta benda, dimana satu orang berhak untuk menuntut barang sesuatu dari orang lainnya, sedangkan orang lainnya dibebani kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut (Djatmiko, 1996).

Wanprestasi yaitu tidak berhasil memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan, lazim timbul jika ada perjanjian terlebih dahulu antara debitur dan kreditur (H.S, 2008). Sedangkan kerugian akibat PMH secara normatif merujuk pada Pasal 1365 KUHPerdata, dimana setiap perbuatan yang melanggar hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut.

Rumusan PMH yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata mengandung unsur-unsur adanya perbuatan, sifat perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan pelaku, timbul kerugian dari perbuatan

(7)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

96 | Juris and Society

tersebut, dan antara perbuatan dengan kerugian memiliki hubungan kausal (Salam, 2018).

Menurut Soetojo dalam Syukron Salam, satu unsur lagi muncul karena yurisprudensi yang dikeluarkan oleh Hoge Raad pada tahun 1919 yakni norma yang dilanggar bermaksud untuk melindungi kepentingan atau hak dari korban. Jika melihat pada rumusan perbuatan pembajakan dalam Pasal 1 angka 23 UUHC 2014, maka pelanggaran hak ekonomi dalam bentuk pembajakan dikategorikan sebagai PMH. Pembajakan hak cipta mengandung perbuatan penggandaan secara tidak sah serta diakumulasi dengan perbuatan mendistribusikan barang hasil penggandaan tersebut secara luas dengan tujuan memperoleh keuntungan ekonomi, sedangkan yang digandakan dan didistribusikan adalah ciptaan dan/atau produk hak terkait. Segala bentuk penggandaan dan pendistribusian ciptaan ataupun salinannya adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta yang artinya perbuatan-perbuatan tersebut hanya boleh dilakukan oleh pemilik hak. Jika pihak lain melakukan penggandaan dan pendistribusian secara luas untuk keuntungan ekonomi diri sendiri tanpa seizin pemilik hak, maka hal itu merupakan pelanggaran hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dan e UUHC 2014.

Perbuatan pembajakan mengakibatkan kerugian finansial bagi pencipta atau pemegang hak cipta, oleh karenanya perbuatan pembajakan termasuk dalam kategori PMH.

Ganti rugi yang disebabkan oleh PMH tidak diatur oleh KUHPerdata, akan tetapi secara analogi mengikuti aturan ganti rugi akibat wanprestasi (Pasal 1243-1252 KUHPerdata) dan agar dapat dibebankan ganti rugi harus terdapat unsur kesalahan berupa “kesengajaan” maupun

“kelalaian”.

Semua pelaku perbuatan pelanggaran hak ekonomi dapat dibebankan ganti rugi. Berdasarkan pengertian menurut Pasal 1 angka 25 UUHC 2014, syarat pemberian ganti rugi yang berupa pembayaran sejumlah uang dari pelaku pelanggaran hak ekonomi yaitu berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, baik perdata maupun pidana.

Pembajakan hak cipta merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta ditambah lagi dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) UUHC 2014 yang menyatakan bahwa hak cipta adalah benda bergerak yang tidak berwujud, menguatkan bahwa perbuatan pembajakan termasuk dalam pelanggaran hak terhadap harta kekayaan, sehingga dapat dikatakan bahwa terhadap perbuatan pembajakan dapat

(8)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

97 | Juris and Society

dibebankan ganti rugi pula sebagaimana perbuatan-perbuatan pelanggaran hak ekonomi lainnya yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UUHC 2014.

2. Penyelesaian Sengketa untuk Kasus Pembajakan Hak Cipta

Pengertian ganti rugi sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 1 angka 25 UUHC 2014 mensyaratkan bahwa jumlah ganti rugi akibat pelanggaran hak ekonomi harus ditetapkan menurut putusan pengadilan, baik perdata maupun pidana.

Penyelesaian sengketa akibat adanya pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait diatur dalam Pasal 95 ayat (1), (2), dan (3) UUHC 2014. Cara- cara penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh menurut undang-undang yaitu alternatif penyelesaian sengketa (APS), arbitrase, atau pengadilan niaga.

Penjelasan Pasal 95 UUHC 2014 hanya memberikan penjelasan pada ayat (1), bahwa bentuk sengketa hak cipta antara lain sengketa PMH, perjanjian lisensi, sengketa mengenai tarif dalam penarikan imbalan atau royalti, dan penyelesaian sengketa APS adalah mediasi, negosiasi, atau konsiliasi.

Pembajakan hak cipta merupakan PMH sedangkan Penjelasan Pasal 95 ayat (1) UUHC 2014 menegaskan bahwa salah satu bentuk sengketa hak cipta adalah PMH, dengan demikian berdasarkan ketentuan ini kerugian akibat perbuatan pembajakan hak cipta sebenarnya dapat diselesaikan secara perdata. Lebih lanjut ditegaskan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta ataupun ahli warisnya berhak memperoleh ganti rugi jika mengalami kerugian akibat terlanggar hak ekonomi (Pasal 96 ayat (1) UUHC 2014).

Kemudian pada ayat (2) ditentukan bahwa pemberian ganti rugi harus dicantumkan di putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana hak cipta dan/atau hak terkait. Penjelasan Pasal 96 UUHC 2014 tidak menerangkan lebih lanjut, akan tetapi ketentuan pada ayat (2) dimungkinkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sesuai ketentuan dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 untuk penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dengan perkara pidana dengan memperhatikan kewenangan mengadili gugatan tersebut, kebenaran dasar gugatan, serta hukuman ganti biaya yang sudah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.

Namun pada praktiknya hakim umumnya jarang sekali mengabulkan tuntutan pidana yang disertai juga dengan tuntutan ganti rugi.

Berdasarkan penelusuran penulis melalui internet dan wawancara di Pengadilan Negeri Bandung, belum pernah ada perkara gugatan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara pidana pembajakan hak cipta.

(9)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

98 | Juris and Society

Apabila Pasal 96 ayat (2) UUHC 2014 diterapkan pada penyelesaian kasus pembajakan, maka pemberian ganti rugi terhadap pencipta atau pemegang hak cipta harus menunggu putusan pengadilan pidana. Proses demikian memakan waktu yang cukup lama, belum jika terdapat upaya banding, kasasi, dan PK, proses ini akan terasa tidak efektif dari sisi waktu, biaya, dan tidak sederhana. Sementara ganti rugi bagi pencipta atau pemegang hak cipta adalah penggantian penghasilan yang dapat menafkahi hidupnya.

Pencipta atau pemegang hak cipta yang dilanggar hak ciptanya memiliki hak untuk mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya (Pasal 99 ayat (1) UUHC 2014). Pengadilan Niaga telah diberi kewenangan khusus oleh UUHC 2014 untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara pelanggaran hak cipta.

Penyelesaian sengketa secara litigasi melalui Pengadilan Niaga telah ditentukan jangka waktunya dalam Pasal 101 ayat (1) UUHC 2014 bahwa putusan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak gugatan didaftarkan, ditambahkan pada ayat (2) bahwa dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung jangka waktu tersebut dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari.

Upaya hukum yang dapat dilakukan hanyalah kasasi (Pasal 102 ayat (1) UUHC 2014). Jangka waktu penyelesaian sengketa pada tingkat kasasi dibatasi sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (2) UUHC 2014, yaitu sampai dengan 90 (sembilan puluh hari) sejak tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

Ketentuan mengenai Peninjauan Kembali (PK) tidak diatur secara tegas, oleh karena itu berlaku ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan PK apabila terdapat cukup alasan untuk itu (Pasal 67), sehingga dalam permasalahan ini Mahkamah Agung mengacu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam Pasal 296 ayat (1) bahwa permohonan PK dilakukan dalam waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan PK memperoleh kekuatan hukum tetap dan pada ayat (2) diatur paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan PK tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap (Djamal, 2009).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, jelas bahwa penyelesaian sengketa hak cipta secara litigasi diatur oleh UUHC 2014 sebagai acara cepat menurut pada asas “sederhana” yaitu efisiensi dan efektivitas

(10)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

99 | Juris and Society

pemeriksaan serta penyelesaian perkara serta “biaya ringan” yaitu biaya perkara yang terjangkau oleh masyarakat. Penyelesaian sengketa hak cipta yang sederhana, berarti dengan acara yang jelas, mudah dipahami, dan tidak berbelit-belit. Secara cepat berarti tidak banyak formalitas sehingga sengketa dapat diselesaikan dengan cepat dan biaya ringan diperlukan agar tidak memberatkan pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan sengketanya, baik melalui pengadilan maupun diluar pengadilan (Mertokusumo, 2017). Mekanisme beracara di Pengadilan Niaga memiliki karakteristik yaitu prosesnya formal, keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim), para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan, sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding), berorientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah), proses persidangan bersifat terbuka, dan waktu persidangan yang singkat (Fakhriah, 2019).

Penyelesaian sengketa pelanggaran hak cipta juga dapat dilakukan secara non-litigasi melalui arbitrase. Secara khusus arbitrase diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase). Paling lama pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk dan dapat diperpanjang apabila diperlukan dengan persetujuan para pihak (Pasal 48 ayat (1) dan (2) UU Arbitrase), selain itu penunjukan arbiter tunggal ataupun pembentukan majelis arbitrase dibatasi pula jangka waktunya (Pasal 14 dan 15 UU Arbitrase).

Proses penyelesaian sengketa secara arbitrase lebih cepat dibandingkan dengan Pengadilan Niaga karena maksimal dalam 6 (enam) bulan harus sudah diselesaikan, selain itu UU Arbitrase menegaskan dalam Pasal 60 bahwa putusan arbitrase bersifat final serta memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (Naja, 2009). Pelaksanaan putusan arbitrase sejatinya harus dilakukan dengan sukarela dan didasari iktikad baik dari para pihak, Pasal 61 UU Arbitrase mengatur pula bahwa pengadilan dapat dimintakan eksekusi terhadap putusan arbitrase apabila pihak yang kalah enggan melaksanakan putusan tersebut.

Peluang untuk penyelesaian sengketa KI saat ini telah terbuka dengan didirikannya Badan Arbitrase Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAMHKI) sejak tahun 2011. Lembaga ini menyediakan jasa arbiter dan mediator yang memiliki spesialisasi di bidang KI.

(11)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

100 | Juris and Society

Selain hak untuk mengajukan gugatan keperdataan atas pelanggaran hak cipta, pencipta atau pemegang hak cipta diberikan hak untuk menuntut secara pidana atas pelanggaran-pelanggaran terhadap hak ekonominya sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 105 UUHC 2014. Ancaman pidana yang diberlakukan terhadap pembajakan adalah yang terberat, pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp.

4.000.000.000,- (empat milyar rupiah).

Tuntutan secara pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 120 UUHC 2014 merupakan delik aduan. Ketentuan ini berlaku untuk semua pelanggaran hak ekonomi, termasuk pembajakan. Penerapan delik aduan berarti aparat penyidik hanya dapat memproses atau melakukan penyidikan atas adanya pengaduan dari pihak korban (Sudarsono, 2007).

Khusus terhadap tuntutan pidana, terdapat Pasal 95 ayat (4) UUHC 2014 yang mengatur bahwa:

“Selain pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam bentuk Pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.”

Ketentuan tersebut di atas mensyaratkan adanya kewajiban mediasi terlebih dahulu terhadap setiap tuntutan pidana atas pelanggaran hak cipta, tidak bisa dipidana jika belum dimediasikan (Sufiarina, 2017). Namun ketentuan Pasal 95 ayat (4) UUHC 2014 mengecualikan kewajiban mediasi untuk pelanggaran hak cipta dalam bentuk pembajakan, kewajiban mediasi diberlakukan pada perbuatan-perbuatan pelanggaran hak cipta lainnya selain pembajakan. Ketentuan dalam pasal ini mewajibkan para pihak untuk menyelesaikan permasalahannnya dengan cara mediasi terlebih dahulu sebelum melakukan tuntutan pidana sepanjang para pihak berada di Indonesia.

Pengecualian mediasi terhadap perbuatan pembajakan hak cipta membuat setiap adanya pengaduan terhadap pelaku pembajakan hak cipta harus ditindaklanjuti mengikuti aturan hukum acara pidana yang berlaku.

Sebagaimana Pasal 1 angka 7 KUHAP, penuntutan yaitu tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Merujuk pada pengertian ini berarti setiap adanya pengaduan kasus pembajakan hak cipta harus ditindaklanjuti dari mulai tahap penyidikan sampai tahap penuntutan dengan pelimpahan berkas perkara oleh penuntut umum untuk diperiksa dan diputus oleh hakim di pengadilan.

(12)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

101 | Juris and Society

Mediasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 95 ayat (4) UUHC dilakukan pada tahap penyidikan dengan penyidik sebagai mediator serta dilakukan berdasarkan prinsip keadilan restoratif. Ketentuan dalam Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana menentukan bahwa keadilan restoratif dapat dilakukan apabila syarat materil dan formil terpenuhi.

Persyaratan formil yang harus dipenuhi diantaranya hasil mediasi dituangkan dalam surat pernyataan perdamaian dan pelaku bertanggung jawab, tidak berkeberatan serta secara sukarela mengganti kerugian yang diderita korban. Penyelesaian perkara dengan pencabutan hak menuntut dari korban serta perjanjian perdamaian perlu meminta penetapan hakim melalui jaksa penuntut umum untuk menggugurkan kewenangan menuntut dari korban dan penuntut umum (Angka 2 huruf f Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana (SE/8/VII/2018)).

Model penyelesaian perkara pidana dengan keadilan restoratif dilakukan dengan membebani kewajiban terhadap pelaku kejahatan sadar akan perbuatannya, mau mengakui kesalahannya, meminta maaf, juga mengembalikan kerusakan dan kerugian korban seperti semula atau setidak- tidaknya menyerupai kondisi semula memenuhi rasa keadilan korban.

Mediasi yang dilakukan untuk kasus pelanggaran hak cipta selain pembajakan membuka peluang untuk diberikannya ganti rugi terhadap pencipta atau pemegang hak cipta secara cepat, tidak berbelit-belit, dan tidak membutuhkan banyak biaya. Sementara terhadap pelaku pembajakan hak cipta harus dilakukan penuntutan dan diperiksa di muka pengadilan.

Tahap penyidikan merupakan kunci utama untuk dapat menentukan dapat tidaknya suatu perkara pidana dilanjutkan ke proses penuntutan serta peradilan pidana yang mewujudkan tujuan hukum, yakni: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dengan tetap mengedepankan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Angka 2 huruf a SE/8/VII/2018).

Larangan mediasi untuk penyelesaian kasus pembajakan hak cipta secara pidana membuat penyelesaian perkara memakan waktu lebih lama dibandingkan dengan penyelesaian perkara pelanggaran-pelanggaran hak cipta lainnya dan sesuai ketentuan ganti rugi dalam Pasal 1 angka 25 dan Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2) UUHC 2014 korban pembajakan hak cipta harus menunggu putusan pengadilan untuk mendapatkan pemulihan hak ekonominya.

(13)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

102 | Juris and Society

Namun, ketentuan dalam Pasal 1 angka 25 dan Pasal 96 ayat (1) dan (2) terasa kontradiktif dengan ketentuan dalam Pasal 95 ayat (4) UUHC 2014, karena bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta selain pembajakan dapat tercapai perdamaian sebelum dilakukan penuntutan, sehingga tuntutan pidana dapat dibatalkan serta pencipta atau pemegang hak cipta mendapatkan ganti rugi. Jika tidak terjadi penuntutan, maka tidak diperiksa di muka pengadilan, berarti tidak akan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagai syarat pemberian ganti rugi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 25 serta Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2) UUHC 2014.

D. Penutup 1. Kesimpulan

Perbuatan pembajakan hak cipta termasuk PMH sehingga menurut ketentuan hukum perdata, pelaku pembajakan dapat dibebani ganti rugi dan tidak ada ketentuan yang melarang penyelesaian sengketa antara pencipta atau pemegang hak cipta dengan pelaku pembajakan diselesaikan secara perdata. Mekanisme penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan jalur litigasi ke Pengadilan Niaga atau non-litigasi secara APS atau arbitrase.

Saat ini penyelesaian sengketa secara mediasi dan arbitrase dapat ditangani oleh badan khusus yang menangani masalah KI, yaitu melalui Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAMHKI).

Merujuk pada UUHC 2014, pendirian badan ini sesuai dengan Pasal 95 ayat (1), namun masih kontradiktif dengan pengertian ganti rugi yang dicantumkan dalam Pasal 1 angka 25 yang mensyaratkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Sementara penyelesaian sengketa secara arbitrase dan mediasi memakan waktu yang lebih singkat dan proses yang lebih sederhana dibandingkan acara di pengadilan niaga, sehingga pencipta atau pemegang hak cipta bisa mendapatkan ganti rugi lebih cepat, hal ini sejalan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pengaturan hukum positif mengenai proses penyelesaian sengketa baik dalam UUHC 2014 maupun UU Arbitrase membatasi jangka waktu proses pemeriksaan perkara yang mana menurut pada asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Ketentuan ganti rugi dalam Pasal 1 angka 25 sejalan dengan ketentuan Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2) UUHC 2014, yaitu mensyaratkan bahwa ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku pelanggaran hak cipta, termasuk pembajakan, harus dicantumkan dalam putusan pengadilan pidana. Namun, ketentuan dalam Pasal 1 angka 25 dan Pasal 96 ayat (1) dan

(14)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

103 | Juris and Society

(2) terasa kontradiktif dengan ketentuan dalam Pasal 95 ayat (4) UUHC 2014, karena bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta selain pembajakan dapat mencapai perdamaian sebelum dilakukan penuntutan, sehingga tuntutan pidana dapat dibatalkan dan hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta dapat terpulihkan. Namun jika tidak terjadi penuntutan, maka tidak diperiksa di muka pengadilan, berarti tidak akan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagai syarat pemberian ganti rugi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 25 serta Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2) UUHC 2014.

Penyelesaian kasus pelanggaran-pelanggaran hak ekonomi di ranah pidana berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) UUHC 2014 dengan pendekatan keadilan restoratif sebenarnya sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, hanya saja perlu dibuka jalur mediasi untuk penyelesaian kasus pembajakan hak cipta agar hak ekonomi pencipta ataupun pemegang hak cipta terlindungi sepenuhnya. Sedangkan syarat pemberian ganti rugi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 25 serta Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2) UUHC 2014 secara normatif membuka peluang pemberian ganti rugi kepada pencipta atau pemegang hak cipta dalam penyelesaian kasus pembajakan secara pidana, namun membutuhkan proses yang memakan waktu lama, tidak sederhana, dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan dengan cara penyelesaian secara mediasi.

2. Saran

Demi kepentingan hak ekonomi pencipta ataupun pemegang hak cipta yang telah dirugikan akibat pembajakan hak cipta perlu diperhatikan mengenai pengaturan yang jelas mengenai pemberian ganti rugi melalui penyelesaian sengketa baik litigasi maupun non-litigasi yang berada di ranah perdata maupun pidana berdasarkan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan agar hak ekonomi dari pencipta atau pemegang hak cipta di Indonesia dapat terlindungi sepenuhnya oleh negara.

Penyelesaian perkara pembajakan hak cipta secara pidana, berdasarkan asas ultimum remidium harus menjadi langkah terakhir untuk penyelesaian permasalahan pembajakan hak cipta.

(15)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

104 | Juris and Society

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul Gani, et.al. (2008). “Laporan Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Cipta (Perubahan UU No. 19 Tahun 2002)”.

Departemen Hukum dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Amirulloh, Muhamad dan Helitha Novianty Muchtar. (2016). Buku Ajar Hukum Kekayaan Intelektual. Bandung: Unpad Press.

Damian, Eddy. (2013). “Urgensi Pembentukan Lembaga Profesi Penaksir dan Lembaga Manajemen Nilai HKI. Seminar tentang Perlindungan HKI sebagai Alat Kolateral dalam Sistem Hukum Nasional”. Bandung:

Kemenkumham RI – Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Djatmiko. (1996). Pengetahuan Hukum Perdata dan Hukum Dagang.

Bandung: Angkasa.

Fakhriah, Efa Laela. (2019). Kapita Selekta Hukum Acara Perdata di Indonesia.

Bandung: Mandar Maju.

Harnowo, Tri. (2018). Eksistensi Mediasi Penal dalam Penyelesaian Pelanggaran Pidana Kekayaan Intelektual. Diakses dari www.hukumonline.com.

Idris, Kamil. (2003). Intellectual Property: A Power Tool for Economic Growth.

World Intellectual Property Organization. Diunduh dari www.wipo.int.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Mertokusumo, Sudikno. (2017). Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi Revisi.

Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Naja, Daeng. (2009). Pengantar Hukum Bisnis Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Panjaitan, Hulman dan Wetmen Sinaga. (2017). Performing Right: Hak Cipta atas Karya Musik dan Lagu serta Aspek Hukumnya. Edisi Revisi. Jakarta: UKI Press.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Qur’ani, Hamalatul. (2019). Kolaborasi Penanganan Sengketa Khusus HKI Melalui Arbitrase dan Mediasi. Diakses dari www.hukumonline.com.

Salam, Syukron. (2018). “Perkembangan Doktrin Perbuatan Melawan Hukum Penguasa” Jurnal Nurani Hukum Vol. 1 No. 1.

Salim H.S. (2008). Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika.

Sudarsono. (2007). Kamus Hukum. Cetakan Kelima. Jakarta: Rineka Cipta.

Sufiarina. (2017). “Pergeseran Tindak Pidana Hak Cipta ke Arah Sengketa Perdata (Tinjauan atas Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta)”. Jurnal Cita Hukum Vol. 5 No. 1.

(16)

Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 1 No. 1 Juni 2021: 90-105

105 | Juris and Society

Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana.

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Usman, Rachmadi. (2003). Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia. Bandung: PT Alumni.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam bab ini mencangkup segala konsep yang mendasari penelitian meliputi pengertian pengendalian intern, kelemahan pengendalian intern, pertumbuhan ekonomi, ukuran

Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.Pada perkara

Perlindungan hukum terhadap hak cipta software diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (pada Pasal 1 Angka 9, Pasal 11 Ayat 2, Pasal 40 Ayat 1,

Masalah tanggungjawab pengangkut terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang/pengirim barang dalam penerbangan lazimnya dikenal dengan tanggungjawab pengangkut

dasarnya. Morfem akar tersebut boleh menerima huruf imbuhan. Justeru , pengimbuhan huruf yang terdapat dalam KK kala lepas, KK kala kini dan KK perintah adalah

Tujuan : Karya Tulis Ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui apakah Infra Red dan Chest Physiotherapy dapat menurunkan spasme otot bantu pernapasan, menurunkan

Implementasi SDGs desa sejalan dengan RPJMN 2020–2024 yang telah menetapkan program pembangunan desa terpadu yang mencakup peningkatan tata kelola pemerintahan (kelembagaan,

Keterangan: hubungan antara defisiensi besi dan perilaku, dapat menyebabkan beberapa efek biologis yang berperan penting dalam perkembangan dan fungsi saraf, gangguan fungsi pada