• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta:"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta:

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/

atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/

atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak

Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(4)
(5)

Aktualisasi Konsep dan Model Pembangunan Perdesaan Berbasis Masyarakat

Penulis : Purwanto Editor : Purwanto, [et al.]

ISBN 978-602-473-752-8 (PDF)

© 2021 Penerbit Airlangga University Press

Anggota IKAPI dan APPTI Jawa Timur Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115 Telp. (031) 5992246, 5992247 Fax. (031) 5992248 E-mail: adm@aup.unair.ac.id

Redaktur (Sarah)

Layout (Bagus Firmansah) Cover (Erie Febrianto) AUP (1109/09.21)

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak tanpa izin tertulis

dari Penerbit sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun.

(6)

“Models are sets of symbols, of concepts abstracted from the real world, which are organized together to represent a problem. any interaction of concepts can be represented as a model...Model are never true or false -- rather they are simply more or less useful”

(Rogers dkk., 1977; 61)

Pembangunan perdesaan merupakan salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020–2024 dengan upaya mentransformasikan kawasan perdesaan sebagai kawasan yang mandiri, berdaya saing, dan inklusif. Hal ini dituangkan dalam program ambisius pengembangan kawasan perdesaan dengan status Kawasan Perdesaan Prioritas Nasional (KPPN) dengan target meningkatkan status pembangunan sekitar 10.000 desa menjadi desa berkembang dan mandiri. Salah satu aspek penting untuk mendukung keberhasilan target pembangunan perdesaan mandiri, inklusif, dan berkelanjutan adalah melalui akselerasi dan transformasi pembangunan perdesaan. Namun demikian akselerasi pembangunan perdesaan menghadapi tantangan yang cukup kompleks dalam penguatan dan sinergi aktor pembangunan perdesaan yang melibatkan peran serta masyarakat, mitra swasta, dan pemerintah.

Prakata

(7)

Oleh karena itu, penting dilakukan suatu analisis yang mendalam tentang aktualisasi konsep dan model pembangunan perdesaan yang berbasis komunitas. Adanya Sustainable Development Goals (SDGs) yang sudah diturunkan hingga tingkat desa (SDGs Desa) yang memiliki “17 plus 1” atau menjadi 18 target utama menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan dimulai dari desa. Dengan adanya tambahan target dalam SDGs Desa, yaitu Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif memberikan gambaran peran penting komunitas, lokalitas, dan kearifan lokal dalam proses pembangunan di desa.

Kemandirian desa dalam konteks pembangunan di Indonesia tidak hanya dilihat dari hasil indeks pembangunannya, tetapi secara holistik merupakan upaya meningkatkan kapasitas dan percepatan transformasi pembangunan perdesaan melalui penerapan proper governance dan pemanfaatan inovasi sosial yang menyinergikan peran aktor-aktor pembangunan perdesaan dalam menciptakan nilai tambah dari aktivitas produksi dan reproduksi kapital di perdesaan secara inklusif dan berkelanjutan. Untuk bisa memperoleh data empiris tentang pembangunan desa maka perlu adanya kegiatan-kegiatan ilmiah dalam memberikan kontribusi nyata bagi penyusunan konsep dan model pembangunan perdesaan.

Pembangunan sebagai sebuah proses yang berkesinambungan

memerlukan adanya pemetaan isu dan tantangan pembangunan

perdesaan sebelum dapat menyusun atau mengaktualisasikan konsep

dan model pengembangan kawasan perdesaan berbasis masyarakat

yang berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan. Ambisi besar dalam

penyusunan konsep dan model pembangunan perdesaan dimaknai

secara positif sebagai upaya sungguh-sungguh untuk dapat berkontribusi

dalam percepatan capaian target pembangunan perdesaan. Pemangku

kepentingan dalam pembangunan perdesaan harus lebih terbuka dalam

menerima saran dan masukan serta memberikan ruang diskusi yang lebih

luas dengan melibatkan pengambil keputusan/kebijakan pemerintah,

akademisi, LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat perdesaan. Terlebih lagi

dengan adanya pandemi Covid-19, maka sudah pasti membutuhkan

adanya perubahan atau perbaikan konsep dan model pembangunan

yang lebih memiliki daya tahan (resiliensi) dari berbagai risiko yang

(8)

dapat mengganggu target pembangunan dan aktivitas masyarakat desa.

Akhirnya, harapan besar yang ingin dicapai dari penyusunan buku ini adalah teraktualisasinya konsep dan model pembangunan wilayah perdesaan berbasis komunitas dalam mendukung transformasi desa menuju desa mandiri yang berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan SDA dan kelembagaan lokal, serta mengaktifkan keterlibatan peran multistakeholders dalam pembangunan perdesaan di Indonesia.

Tim Penulis

(9)
(10)

Pembangunan perdesaan merupakan upaya terus-menerus yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapi selama ini senantiasa membuka peluang bagi adanya studi yang mampu memberikan kontribusi bagi penyempurnaan dan perbaikan konsep dan model pembangunan perdesaan. Buku ini disusun sebagai upaya awal dari para peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi LIPI untuk menyusun suatu grand design penelitian tentang konsep dan model pembangunan perdesaan berbasis komunitas. Selain itu, buku ini bisa menjadi panduan dalam menyusun konsep dan model pembangunan perdesaan.

Berbagai perspektif pemikiran dan ide dalam konsep dan model pembangunan perdesaan diuraikan dalam buku ini. Diskusi terfokus dilakukan dengan menghadirkan para pakar dari berbagai latar belakang pendidikan dan bidang keahlian seperti dari akademisi, peneliti, pejabat publik di kementerian/lembaga terkait, dan lembaga swadaya masyarakat.

Hal ini dilakukan sebagai upaya dari tim penyusun buku ini dalam mengumpulkan data dan informasi secara komprehensif.

Tindak lanjut dalam penyusunan konsep dan model pembangunan perdesaan berbasis komunitas harus dilakukan dalam bentuk pelaksanaan

Kata Pengantar

(11)

kegiatan penelitian untuk mengumpulkan data empiris dari wilayah- wilayah perdesaan di Indonesia. Pengumpulan data dan informasi empiris tersebut dilakukan dengan mengimplementasikan tahapan- tahapan kegiatan dengan target luarannya karena suatu konsep atau model pembangunan membutuhkan suatu proses panjang dari tahapan pembuatan embrio konsep dan model, draft rancangan awal, uji coba, perbaikan model, implementasi tahap awal, evaluasi, dan penetapan model. Dengan demikian, buku ini merupakan suatu awal dari rangkaian proses kegiatan ilmiah yang sangat terbuka terhadap adanya saran, masukan, dan kritik konstruktif dari berbagai pihak. Hal tersebut akan menjadi bahan pertimbangan dalam kegiatan penyusunan konsep dan model pembangunan perdesaan berbasis komunitas menuju tercapainya transformasi pembangunan perdesaan yang mandiri, inklusif, berdaya saing, dan berkelanjutan.

Jakarta, Januari 2021

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI

Prof. Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, MA.

(12)

Daftar Isi

Prakata ... v

Kata Pengantar ... ix

Daftar Gambar ... xiv

Bab 1 Kontribusi Pembangunan Perdesaan dalam Sustainable Development Goals ... 1

Latar Belakang ... 1

Pembangunan Perdesaan dan Agenda Sustainable Development Goals ... 3

SDGs Desa: Melokalkan SDGs dalam Pembangunan Perdesaan di Indonesia ... 6

Ukuran Keberhasilan Pembangunan Desa ... 8

Tantangan Pembangunan Perdesaan di Masa Depan ... 10

Bab 2 Permasalahan dalam Pembangunan Perdesaan ... 15

Permasalahan Pembangunan Perdesaan dalam Konteks Kebijakan Perhutanan Sosial ... 17

Masalah Baru dalam Pembangunan Perdesaan:

Upaya Meningkatkan Resiliensi Desa dari

Dampak Negatif Pandemi Covid-19 ... 18

(13)

Syarat bagi Percepatan Transformasi Pembangunan

Perdesaan... 21

Pemberdayaan Masyarakat, Kemiskinan, dan Transformasi Hijau dalam Pembangunan Perdesaan ... 25

Transformasi Pembangunan Perdesaan Adaptif ... 26

Arti Penting Aktualisasi Konsep dan Model Pembangunan Berbasis Komunitas ... 28

Bab 3 Pembangunan Perdesaan dalam Tataran Konsep dan Tipologi Wilayah ... 33

Pembangunan Perdesaan dalam Social Forestry: Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ... 33

Pembangunan Perdesaan melalui Pertanian Terintegrasi: Integrated Agriculture Development ... 46

Konsep dan Implementasi Pengembangan Desa Pesisir: Ecosystem-Based Approach to Fishery Management ... 53

Pembangunan Perdesaan Berbasis Masyarakat yang Berdaya Saing ... 63

Pembangunan Perdesaan Berbasis Masyarakat yang Inklusif ... 68

Pembangunan Perdesaan yang Berkelanjutan ... 72

Inovasi Sosial dalam Pembangunan Perdesaan ... 77

Konsep Proper Governance (Tata Kelola yang Tepat) ... 81

Bab 4 Kerangka Pemikiran Bagi Aktualisasi Konsep dan Model Pembangunan Perdesaan ... 87

Tipologi Wilayah Perdesaan ... 87

Paradigma Baru Pembangunan Perdesaan ... 88

Aktualisasi Konsep Pembangunan Perdesaan ... 91

Bab 5 Proses Penyusunan Konsep dan Model Pembangunan Perdesaan ... 97

Penyusunan Konsep dan Model Pembangunan Perdesaan .. 97

Pendekatan Ilmiah Berbasis Penelitian dalam Penyusunan Konsep dan Model Pembangunan Perdesaan .. 100

Aspek, Variabel, dan Indikator yang Dibutuhkan

dalam Penyusunan Konsep dan Model

Pembangunan Perdesaan ... 101

(14)

Aspek, Variabel, dan Indikator ... 105 Tahapan Riset Pembangunan Perdesaan:

Desain dan Action Plan ... 110

Bab 6 Proper Governance, Inovasi Sosial, dan Aktualisasi Model

Pembangunan Perdesaan Berbasis Masyarakat ... 115

Daftar Pustaka ... 127 Lampiran 1. Sumber Data dan Informasi dari

Focus Group Discussion (FGD) Tahun 2020 ... 139

(15)

Daftar Gambar

Gambar 1.1 Sustainable Development Goals dalam Aspek Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan ... 3 Gambar 2.1 Area Respons Covid-19 di Wilayah Perdesaan ... 19 Gambar 3.1 Tahapan dalam Daur Hidup Inovasi Sosial ... 39 Gambar 3.2 Hubungan Pembangunan Perdesaan, Pembangunan

Pertanian, dan Transformasi Perdesaan ... 50 Gambar 3.3 Model Konseptual Socio-Ecological Systems (SES) ... 57 Gambar 3.4 Lima Prioritas untuk Meningkatkan Produktivitas. . 66 Gambar 3.5 Model Evaluasi Kompetitif Perdesaan ... 68 Gambar 3.6 Proses Inovasi Sosial ... 77 Gambar 3.7 Tahapan dan Waktu yang Dibutuhkan dalam

Implementasi Model atau Program Pembangunan

dan Pemberdayaan Masyarakat ... 79 Gambar 3.8 Kerangka Konseptual Proper Governance. ... 85 Gambar 4.1 Kerangka Konseptual dan Strategi Pengembangan

Desa (Pertanian). ... 94 Gambar 5.1 Kerangka Pikir. ... 98 Gambar 5.2 Lingkungan dan Keberlanjutan Sosial – Lingkaran

Ganda (A Double Circle) ... 103 Gambar 6.1 Aplikasi Proper Governance dalam Aktualisasi

Konsep dan Model Pembangunan Perdesaan

Berbasis Masyarakat. ... 118

(16)

Latar Belakang

Sejak tahun 2014, sebagai awal periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (2014–2019), kontribusi lapangan usaha pertanian, bersama dengan subsektor kehutanan dan perikanan, terhadap Produk Domestik Bruto nasional menunjukkan tren menurun. Awalnya, proporsi sektor ini 13,49%

pada tahun 2014, kemudian menjadi sebesar 12,72% atau senilai Rp1.355 triliun pada tahun 2019 (BPS, 2019a; 2020a). Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2019 ini merupakan yang tertinggi ketiga, setelah industri pengolahan (19,70%) dan perdagangan (13,01%). Sektor pertanian yang bersifat musiman

1

menjadikan sektor ini kerap mengalami penurunan pertumbuhan PDB yang terjadi hampir di setiap triwulan IV.

Hal ini dapat terlihat dalam data periode tahun 2016–2019 di mana pada triwulan IV tahun 2019, pertumbuhan sektor pertanian turun drastis hingga minus 20,52% dibandingkan triwulan sebelumnya (BPS, 2020a).

1 Produksinya bergantung pada kondisi eksternal seperti cuaca atau iklim yang mengalami pe- rubahan pada periode waktu tertentu setiap tahunnya.

Kontribusi Pembangunan

Perdesaan dalam Sustainable Development Goals

Bab 1

(17)

Sektor pertanian dalam arti luas yang mencakup pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan tidak dapat terlepas dari keberadaannya di kawasan perdesaan. Oleh karena itu, pembangunan desa selalu menjadi perhatian pemerintah dalam perencanaan pembangunan nasional. Dengan keberadaan 75.436 desa yang menjadi tempat tinggal bagi sekitar 43,3%

2

dari total penduduk Indonesia. Sekitar 63,5% dari jumlah desa yang ada di Indonesia menjadikan tanaman padi, palawija, dan hortikultura sebagai mata pencaharian utama sehingga erat kaitannya dengan sektor pertanian (BPS, 2018a). Selebihnya, masyarakat desa memanfaatkan potensi sumber daya alam dari kehutanan, perkebunan, perikanan budidaya, dan kawasan pesisir perikanan laut.

Pembangunan kawasan perdesaan akan menjadi salah satu kunci untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, dan sejahtera.

Akan tetapi, upaya mewujudkannya masih memerlukan langkah kongkret dari pemerintah dalam mengaktualisasikan pembangunan kawasan perdesaan seperti yang diharapkan tersebut.

Dari tingkat pendapatan masyarakat perdesaan yang sebagian besar bersumber dari sektor pertanian, BPS memiliki perhitungan Nilai Tukar Petani (NTP) (BPS, 2019a). Pada tahun 2020, saat pandemi Covid-19, daya beli petani di perdesaan ditunjukkan dengan NTP di bulan Mei 2020 sebesar 99,47, yang menurun dibandingkan bulan-bulan sebelumnya di awal tahun 2020. Mulai bulan Juni 2020 telah tampak sedikit kenaikan, namun angka NTP tersebut masih lebih rendah dibandingkan periode sebelum pandemi Covid-19. Nilai Tukar Petani bulan September 2020 tercatat sebesar 101,66 dan November kembali naik menjadi 102,86 yang berarti terdapat kenaikan indeks harga yang diterima petani (termasuk dari hasil produksi pertanian), namun demikian indeks harga yang dibutuhkan untuk produksi pertanian juga meningkat (BPS, 2020b).

2 BPS memperkirakan di tahun 2020 terdapat 56,7% penduduk di daerah perkotaan, data bisa dilihat secara online di website, htt ps://www.bps.go.id/statictable/2014/02/18/1276/persentase- penduduk-daerah-perkotaan-menurut-provinsi-2010-2035.html diakses tanggal 18 Maret 2020.

(18)

Pembangunan Perdesaan dan Agenda Sustainable Development Goals

Kesejahteraan masyarakat menjadi hal penting dalam tujuan pembangunan suatu negara. Publikasi PBB (2015) berjudul The 2030 Agenda for Sustainable Development menyebutkan bahwa segala sumber daya dikerahkan untuk membangun wilayah perdesaan serta sektor pertanian dan perikanan yang berkelanjutan, mendukung petani, dan nelayan kecil. Gambar 1.1 mengadopsi kerangka Sustainable Development Goals (SDGs) dengan modifikasi pengelompokan berdasarkan tiga aspek, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Gambar 1.1 Sustainable Development Goals dalam Aspek Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan (Sumber: Bappenas, 2018 (Dimodifikasi)

Indonesia merespons SDGs dengan mengeluarkan Perpres No. 59 Tahun

2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

(TPB) dengan memasukkan 17 pembangunan berkelanjutan yang sejalan

dengan SDGs. Masing-masing tujuan SGDs memiliki keterkaitan dan

menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya mencapai keseluruhan

target tersebut. Tujuan SDG-1 dan SDG-2 memiliki keterkaitan yang erat,

yaitu tidak ada lagi kemiskinan (no poverty) dan tidak ada lagi kelaparan

(no hunger). Berdasarkan data BPS (2020c), angka kemiskinan di wilayah

(19)

perdesaan (12,9%) hampir mencapai dua kali lipat dari perkotaan (6,7%).

Pendapatan yang diterima masyarakat perdesaan juga masih mengalami ketimpangan, yang ditandai dengan Rasio Gini perdesaan sebesar 0,317 dan perkotaan sebesar 0,392. Hal ini terjadi karena terbatasnya kesempatan kerja di perdesaan dan akses terhadap sumber daya ekonomi lainnya yang juga minim. Aspek sosial juga merupakan bagian penting dalam mendukung implementasi SDGs di wilayah perdesaan sebagaimana terlihat dalam tujuan SDG-1 hingga SDG-4, yang bisa dikelompokkan dalam lingkup sosial.

Adapun upaya dalam membangun perdesaan masih dihadapkan pada tantangan terbatasnya sarana prasarana dan aksesibilitas yang menyebabkan belum optimalnya pengembangan ekonomi lokal. Data BPS (2019b) menunjukkan bahwa capaian aspek infrastruktur pada IPD tahun 2018 masih cukup rendah, yaitu 44,63 dari nilai maksimal 100. Infrastruktur perdesaan dapat diupayakan antara lain dengan meningkatkan investasi, termasuk melalui kerja sama internasional. Dengan dukungan aspek tersebut, diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan di seluruh desa dengan menyerap tenaga kerja lokal sesuai dengan tujuan SDG-8 (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi) dan SDG-10 (mengurangi ketimpangan). Lebih jauh, Bappenas juga telah mengembangkan indeks pembangunan ekonomi inklusif

3

. Indeks ini mencakup tiga pilar utama yaitu: pertumbuhan dan perkembangan ekonomi; pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan; serta perluasan akses dan kesempatan. Angka indeks terdiri atas 3 pilar dan 8 sub-pilar serta 21 indikator pembentuk indeks pembangunan ekonomi inklusif.

Dengan adanya SDA di desa, masyarakat diharapkan mampu mengolah sumber daya tersebut untuk menghasilkan produk pertanian terutama pada komoditas pangan, baik untuk dikonsumsi sendiri ataupun dijual.

Setidaknya, dari hasil aktivitas produksi pengelolaan SDA ini, masyarakat memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Guna meningkatkan kemampuan desa dalam mengolah SDA dalam aktivitas

3 htt p://inklusif.bappenas.go.id/indeks

(20)

ekonomi produktif, dibutuhkan banyak faktor pendukung, termasuk kualitas SDM sebagai aktor utama pembangunan desa. Peningkatan kualitas SDM tertuang dalam RPJMN Indonesia 2020–2024, yang sejalan pula dengan tujuan SDG-3 dan SDG-4. Hal ini sesuai dengan upaya pemerintah guna mendorong meningkatnya desa tertinggal menjadi desa berkembang sebanyak 10.000 desa dan desa berkembang menjadi desa mandiri sebanyak 5.000 desa, sebagai target dalam lima tahun (2020–2024).

International Labour Organization (ILO) menekankan pula bahwa tantangan bagi pembangunan perdesaan antara lain adanya konflik, berkurangnya SDA, dan perubahan iklim. Masyarakat perdesaan di negara-negara berkembang dapat terkena dampak negatif yang paling besar dari perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Dalam hal ini, diperlukan upaya pencapaian SDG-13 terkait aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Tujuan SDG-7 dapat berkaitan pula sebagai langkah untuk menurunkan emisi karbon dengan meningkatkan akses energi yang terjangkau dan ramah lingkungan untuk semua pihak. Di samping itu, perhatian terhadap ketersediaan SDA sejalan dengan tujuan SDG-6 (sanitasi dan air bersih) serta SDG-12 (menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan). Pengelolaan SDA di perairan (SDG-14) dan darat (SDG-15) termasuk upaya konservasi dan pemanfaatan kekayaan alam sektor perikanan, kelautan, pertanian, dan kehutanan guna mengatasi permasalahan degradasi lahan serta ancaman terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati. Lebih lanjut, ILO menyebutkan pula bahwa perdesaan memiliki permasalahan lain yaitu adanya kesenjangan tata kelola dan informalitas dalam kelembagaan. Oleh karena itu, penting untuk membangun kemitraan global (SDG-17) dan kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif (SDG-16) dalam semua aspek sebagai upaya penguatan tata kelola guna mendorong pembangunan perdesaan yang berkelanjutan.

Dengan adanya keterkaitan tujuan SDGs dengan pembangunan perdesaan

maka berbagai kebijakan yang telah banyak dibuat pemerintah semestinya

juga bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat perdesaan. Amanah

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang salah satunya menyebutkan

bahwa desa menjadi agen pembangunan terdepan. Hal ini diwujudkan

oleh pemerintah melalui implementasi pengalokasian dana desa untuk

(21)

mempercepat pembangunan kawasan perdesaan yang merupakan amanat dari UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Pada dasarnya, UU No. 6 Tahun 2014 menekankan pembangunan perdesaan pada aspek sosial ekonomi, yaitu upaya memberdayakan masyarakat desa dalam meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.

Sementara itu, untuk memperkuat aspek lingkungan dan keberlanjutan dalam konteks pembangunan kawasan perdesaan, lebih lanjut diatur dalam UU No. 26 Tahun 2017. Dengan demikian, maka pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, serta mengurangi tingkat kemiskinan.

Hal ini dapat dilaksanakan melalui program dan kebijakan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan SDA dan lingkungan secara berkelanjutan yang sejalan dengan tujuan SDGs.

SDGs Desa: Melokalkan SDGs dalam Pembangunan Perdesaan di Indonesia

Merujuk pada Perpres No. 59 Tahun 2017, maka telah disusun SDGs Desa melalui sebagai pendukung bagi pencapaian SDGs secara umum.

SDGs Desa merupakan pembangunan total atas desa, dimana seluruh aspek pembangunan harus dirasakan manfaatnya oleh warga desa tanpa terkecuali. Selanjutnya, Perpres No. 59 Tahun 2017 diturunkan dalam Permendes PDTT No 13/2020 tentang prioritas penggunaan dana desa tahun 2021 yang diarahkan untuk mendukung pelaksanaan SGDs desa.

Hal ini merupakan upaya untuk melokalkan SDGs global dan nasional ke tingkat pembangunan perdesaan.

Secara umum, prinsip SDGs Desa serupa dengan prinsip pembangunan desa yang berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan. Prinsip SDGs Desa ada 18, yaitu: desa tanpa kemiskinan (inklusif); desa tanpa kelaparan (inklusif); desa sehat dan sejahtera (berdaya saing); pendidikan desa berkualitas (berdaya saing); keterlibatan perempuan desa (inklusif); desa layak air bersih dan sanitasi (berdaya saing); desa berenergi bersih dan terbarukan (berkelanjutan); pertumbuhan ekonomi desa merata (inklusif);

infrastruktur dan inovasi desa sesuai kebutuhan (berdaya saing); desa

(22)

tanpa kesenjangan (inklusif); kawasan pemukiman desa aman dan nyaman (berdaya saing); konsumsi dan produksi desa sadar lingkungan (berkelanjutan); desa tanggap perubahan iklim (berkelanjutan); desa peduli lingkungan laut (berkelanjutan); desa peduli lingkungan darat (berkelanjutan); desa damai berkeadilan (berdaya saing); kemitraan untuk pembangunan desa (berdaya saing); serta kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif (berdaya saing).

Dari beberapa penjelasan program pembangunan desa dan juga indikator-indikator pembangunan desa, dapat dilihat bahwa paradigma pembangunan pertanian dan perdesaan dalam RPJMN 2020-2024 mengalami pergeseran dari pendekatan sektoral menjadi tematik. Jika pada RPJMN 2015-2019 lebih mengutamakan swasembada dan orientasi produksi (komoditas pertanian), maka RPJMN 2020–2024 mengarahkan pembangunan desa pada kegiatan swasembada, ketahanan pangan, dan orientasi pangan berkualitas (Bappenas, 2020). Dengan demikian, upaya pencapaian SGDs diintegrasikan dalam agenda pembangunan di daerah baik pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan desa.

Implementasi SDGs desa sejalan dengan RPJMN 2020–2024 yang telah menetapkan program pembangunan desa terpadu yang mencakup peningkatan tata kelola pemerintahan (kelembagaan, keuangan, dan SDM aparatur) yang baik, termasuk pemanfaatan dana desa dan tata kelola aset desa; penguatan pendamping desa yang berfokus pada desa tertinggal dan peran serta masyarakat desa yang inklusif; penetapan batas desa, pengembangan desa wisata, desa digital dan produk unggulan desa dan kawasan perdesaan; transformasi ekonomi desa dan peningkatan peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes); perbaikan pelayanan dasar air minum, sanitasi dan listrik desa; pemanfaatan dana desa untuk mendorong sektor-sektor produktif dan pemberdayaan masyarakat desa melalui pendamping lokal desa; serta transformasi ekonomi kampung terpadu yang memanfaatkan kemajuan teknologi dan tata kelola keuangan desa yang transparan dan akuntabel.

Pembangunan perdesaan akan dapat dicapai bila memenuhi beberapa

syarat dasar antara lain, (a) infrastruktur fisik maupun sosial di perdesaan

berbasis teknologi dan ramah lingkungan, (b) meningkatnya partisipasi

aktif warga perdesaan dan atau kawasan perdesaan, dan (c) terbangunnya

(23)

kemandirian sosial ekonomi warga perdesaan dan atau kawasan perdesaan dalam rangka peningkatan daya saing daerah. Lebih lanjut, isu-isu lainnya yang juga menjadi bagian arah kebijakan dan strategi pembangunan untuk masyarakat desa seperti pengarusutamaan modal sosial budaya dalam rangka pelestarian lingkungan hidup yang mencakup penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan dan peningkatan akses masyarakat terhadap kawasan hutan berbasis desa dan peningkatan peran serta swasta dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta peningkatan pengembangan ekonomi budaya untuk kesejahteraan, seperti pengembangan produk dan jasa berbasis budaya, pengembangan mentalitas, etos kerja, daya saing, kewirausahaan, peningkatan pemasyarakatan budaya produksi dan cinta produk dalam negeri, dan tata kelola sertifikasi produk budaya lokal yang menjamin kualitas dan nilai tambah bagi masyarakat.

Ukuran Keberhasilan Pembangunan Desa

Program pembangunan perdesaan juga memerlukan adanya alat ukur

keberhasilan. Selain ukuran yang dihitung berdasarkan perubahan di

tingkat masyarakat seperti penurunan jumlah rumah tangga miskin dan

penurunan angka pengangguran, pemerintah Indonesia menggunakan

indeks-indeks pembangunan desa. Pertama, indeks pembangunan desa

(IPD) dari BPS yang membagi status pembangunan desa menjadi tiga

kategori yaitu Desa Tertinggal, Berkembang, dan Mandiri. Pada Potensi

Desa (Podes) 2018, dari total 75.436 desa di Indonesia, tercatat 14.461 desa

tertinggal (19,17%), 55.369 desa berkembang (73,40%), dan 5.606 desa mandiri

(7,43%). Kedua, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan

Transmigrasi (PDTT) menggunakan Indeks Desa Membangun (IDM)

untuk meninjau kemajuan dari pembangunan desa. Kategorisasi desa

berdasarkan IDM ini beserta upaya peningkatan pembangunan desa telah

diatur dalam Permendes PDTT No. 2 Tahun 2016, dengan membagi ke

dalam lima kelompok status desa, yakni desa sangat tertinggal, tertinggal,

berkembang, maju, dan mandiri. Selain IPD dan IDM, terdapat pula

Indeks Kesulitan Geografis (IKG) yang mengukur tingkat ketersediaan

sarana dan prasarana pembangunan di perdesaan dan menjadi salah

(24)

satu alat ukur penentuan besaran dana desa

4

. Masing-masing indeks membuat pembobotan pada indikator-indikator yang ditetapkan untuk mewakili masing-masing kriteria sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Dalam tabel tersebut, terlihat adanya persamaan beberapa indikator yang digunakan beserta sumber atau rujukan data yang sama, yaitu dari publikasi Podes 2018.

Tabel 1.1 Persamaan dan Perbedaan dalam Pembentukan IPD, IKG, dan IDM

IPD IKG IDM

Pelayanan Dasar Ketersediaan Prasarana Pelayanan Dasar

Ketahanan Ekonomi

Akses Pendidikan Akses pendidikan Produksi desa Akses Kesehatan Akses kesehatan Akses distribusi Kondisi Infrastruktur Kondisi Infrastruktur Akses perdagangan Infrastruktur ekonomi Infrastruktur ekonomi Akses lembaga keuangan Infrastruktur energi Infrastruktur energi Lembaga ekonomi Infrastruktur air bersih dan

Sanitasi

Infrastruktur air bersih dan Sanitasi

Keterbukaan ekonomi

Infrastruktur Telekomunikasi (seluler, internet, pos/kurir)

Infrastruktur

Telekomunikasi (seluler, internet, pos/kurir)

Ketahanan Sosial

Aksesibilitas/ Transportasi Aksesibilitas/

Transportasi

Kesehatan

Sarana transportasi Sarana transportasi Pendidikan Akses transportasi Akses transportasi Permukiman Pelayanan Umum Waktu tempuh dan biaya

ke kantor kecamatan

Modal sosial (indikator solidaritas sosial, toleransi, rasa aman penduduk, kesejahteraan sosial) Kesehatan masyarakat Waktu tempuh dan

biaya ke kantor pusat pemerintahan kabupaten

Ketahanan Lingkungan/

Ekologi

Sarana olahraga Kualitas lingkungan hidup

Penyelenggaraan Pemerintahan

Potensi rawan bencana

Kemandirian pemerintahan Kualitas SDM aparatur

Keterangan: Warna menunjukkan kesamaan indikator dari setiap indeks.

4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50/PMK.07/2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peratu- ran Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.07/2019 Tentang Pengelolaan Dana Desa

(25)

Berdasarkan data Tabel 1.1, dapat diketahui persamaan komponen pembentuk indeks terutama dalam infrastruktur ekonomi dan sosial seperti sarana pendidikan, kesehatan, transportasi, air bersih, energi, dan telekomunikasi. Sedangkan dari sisi perbedaannya, IPD memberikan tambahan komponen penyelenggaraan pemerintahan yang tidak spesifik muncul sebagai pembentuk komponen IKG maupun IDM. Perbedaan lain adalah adanya komponen ketahanan ekologi dalam IDM yang tidak terdapat dalam IKG maupun IPD. Namun demikian, komponen ketahanan ekologi juga masih relatif memiliki sedikit indikator atau variabel yang digunakan yaitu hanya ada ukuran kualitas lingkungan hidup dan potensi rawan bencana.

Tantangan Pembangunan Perdesaan di Masa Depan

Dengan upaya kebijakan dan program pembangunan desa yang dijalankan dari tahun ke tahun, hasil-hasil pembangunan sudah dapat dinikmati oleh masyarakat di desa. Akan tetapi, hal tersebut belum dapat menghilangkan stigma atas kondisi wilayah perdesaan yang selalu berada dalam posisi tertinggal dalam pembangunan. Permasalahan di desa dapat diidentifikasikan dalam beberapa hal yaitu, pertama, keterbatasan akses sarana dan prasarana sosial, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan yang bukan lagi hal baru yang dialami oleh kawasan perdesaan.

Kedua, minimnya sinergitas dan kolaborasi multi-stakeholder. Ketiga, program pengembangan ekonomi perdesaan sering kali tidak sesuai dengan jejaring produksi dan kelembagaan lokal (P2E, 2018). Keempat, permasalahan konflik kepentingan (politik desa) sering menambah kompleksitas permasalahan pengembangan ekonomi perdesaan.

Kelima, pembangunan ekonomi perdesaan sering kali juga tidak ramah lingkungan, seperti eksploitasi SDA yang berlebihan yang berimbas pada persoalan ketidaktersediaan air di perdesaan (P2E, 2018).

Tantangan lain yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan antara

lain kondisi topografi antardesa yang berbeda-beda, perbedaan etos

kerja masyarakat, dan perbedaan kultur budaya desa. Sebagai contoh,

tingginya angka kemiskinan masyarakat di kawasan hutan disebabkan

oleh banyak faktor seperti sumber daya manusia rendah, budaya

(26)

masyarakat, motivasi lemah, pola hidup konsumtif, dan jumlah penduduk terlalu sedikit (Rositah, 2005). Persoalan SDM juga disampaikan oleh Wu (2015) yang menyebutkan bahwa pengembangan sumber daya manusia (SDM) perdesaan membutuhkan upaya yang komprehensif, sistematis yang melibatkan budaya, pasar, dan pemerintah. Demikian juga di desa kawasan pesisir, permasalahan kemiskinan masyarakat pesisir tidak dapat dilepaskan dari empat permasalahan pokok di desa-desa pesisir di Indonesia (Rudy & Khoiriah, 2019), yakni: (i) tingginya tingkat kemiskinan masyarakat pesisir, (ii) kerusakan sumber daya pesisir, (iii) rendahnya kemandirian organisasi sosial desa, dan (iv) minimnya infrastruktur dan kesehatan lingkungan di permukiman desa. Minimnya pembangunan SDM wilayah perdesaan menjadi dasar perlunya pendamping yang diberikan baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Di sisi lain, faktor budaya dan kebutuhan yang berbeda antardesa perlu menjadi perhatian dalam memformulasikan kebijakan pembangunan desa. Tidak jarang, pemberian bantuan disamaratakan antardaerah padahal dari sisi sosiologis budaya, karakteristik masyarakat, dan struktur geografi berbeda dan memiliki andil penting dalam dinamika pembangunan desa. Demikian juga bila suatu desa berorientasi menjadi desa konservasi, maka pendekatan kebijakan pembangunan dan faktor- faktor pendukungnya harus dibedakan dengan desa produksi. Ukuran keberhasilan pembangunannya juga harus dibedakan antara desa yang berorientasi pada konservasi dengan desa yang berorientasi pada produksi atau eksploitasi sumber daya karena output pembangunan yang dihasilkan tentu juga berbeda.

Kurang tepatnya program yang diimplementasikan oleh pemerintah baik pada program untuk masyarakat maupun desa tersirat dari kebijakan yang cenderung bersifat fragmented, teknokratik, sektoral, dan top-down.

Satu contoh yang menunjukkan hal ini adalah program unggulan bagi desa di kawasan pesisir selama periode 2011–2014 yaitu pengadaan 1000 unit kapal berbobot 30 GT dengan harga Rp 1,5 miliar setiap unitnya yang diperuntukkan bagi kelompok nelayan di berbagai penjuru Indonesia.

Permasalahannya, kapal dirakit kurang memerhatikan keragaman fishing

ground, keragaman karakteristik lingkungan tempat kapal bersandar,

(27)

juga keragamanan kebiasaan nelayan dalam menangkap ikan. Kurang diperhatikannya keragaman tersebut menjadikan program berjalan tidak sesuai dengan harapan karena masalah peningkatan produksi dan eksploitasi hanya dilihat sebatas persoalan teknis pengadaan kapal, alat tangkap, dan sumber daya ikan. Padahal banyak elemen penunjang yang berperan, diantaranyai pengetahuan dan keahlian nelayan, modal, ketersediaan fasilitas penunjang seperti BBM, es, dan infrastruktur serta kondisi pasar pasca tangkap. Permasalahan yang tidak teridentifikasi dan tidak teratasi tersebut telah menyebabkan banyak kapal yang dibagikan tidak bisa dioperasikan karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan nelayan atas teknologi kapal dan alat tangkap baru serta perilaku ikan yang menjadi target alat tangkap yang baru. Selain itu, sebagian kelompok nelayan tidak mampu mengoperasionalkan kapal karena keterbatasan modal. Semakin besar kapal dan alat tangkap, semakin banyak pula kebutuhan modal yang umumnya sulit bisa dipenuhi oleh jaringan permodalan yang dimiliki nelayan kecil (Nadjib, 2013; Adhuri dkk., 2019). Oleh karena itu, keberhasilan usaha perikanan hanya bisa terjadi kalau keseluruhan elemen dari usaha perikanan berada dalam kondisi optimal dan “sehat”. Perbaikan yang sifatnya parsial atau hanya berfokus pada elemen tertentu seperti dicontohkan pada program seribu kapal, bisa dipastikan akan berisiko.

Kembali pada tantangan pembangunan desa secara umum, narasumber FGD_3,

5

menambahkan informasi tentang pentingnya kesinambungan pembangunan. Dalam pembangunan perdesaan, program-program pembangunan di kawasan perdesaan tidak berkelanjutan (discontinued) karena adanya perubahan rezim pemerintahan, tetapi seharusnya program tersebut berjalan secara berkesinambungan dalam arti tidak berubah secara total atau mengulang proses dari awal. Hal ini berakibat pada efektivitas kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selalu dipertanyakan karena ketiadaan tindak lanjut program, terlalu banyak intervensi, dan tumpang tindih suatu program di suatu daerah. Narasumber FGD_3 menyarankan untuk mengatasi hal tersebut, maka perangkat desa perlu untuk dilibatkan secara aktif dalam

5 FGD 3 dilaksanakan pada 6 Juli 2020

(28)

memahami suatu program dari proses perencanaan hingga pelaksanaan program. Kapabilitas dan kompetensi perangkat desa dalam penguasaan dan pemanfaatan teknologi juga perlu untuk semakin ditingkatkan untuk mengimplementasikan rencana dan program pembangunan di desa. Hal ini membutuhkan proses yang berkesinambungan dalam peningkatan kualitas SDM di desa hingga dapat tercapai perubahan yang lebih baik.

Dengan penjelasan tentang program, kebijakan, target, sasaran, dan permasalahan dalam pembangunan perdesaan, maka pembangunan kawasan perdesaan dengan aktivitas ekonomi sektoralnya menjadi hulu dari aktivitas ekonomi dan pembangunan nasional. Pemerintah harus senantiasa berupaya untuk memastikan masyarakat di pedesaan dapat menikmati hasil-hasil pembangunan serta mendapat kesempatan yang semakin besar untuk berkontribusi dalam aktivitas ekonomi nasional.

Berbagai masalah dan keterbatasan yang dialami oleh wilayah desa bukan

menjadi alasan bagi pemerintah untuk tidak memberikan layanan dan

akses yang baik terhadap layanan kebutuhan dasar yang berkualitas

dan mendukung aktivitas produksi dan pengolahan sumber daya

perdesaan. Dengan demikian, maka aktualisasi pembangunan kawasan

perdesaan menjadi penting untuk menjadi perhatian pemerintah dengan

memosisikan masyarakat sebagai subjek pembangunan desa itu sendiri.

(29)
(30)

Latar Belakang

Kebijakan pembangunan perdesaan perlu memerhatikan karakteristik objek dan subjek pembangunan. Merancang kebijakan tanpa memahami secara dalam karakteristik lokal hanya akan menciptakan stabilitas semu dan resiliensi yang dangkal, hal ini sesuai dengan temuan Li, Westlund, dan Lie (2019) bahwa lokalitas dan struktur internal menjadi kekuatan perdesaan untuk bertahan. Tantangan pembangunan perdesaan saat ini yaitu melakukan diversifikasi usaha (membuka menu-menu lokalitas) melalui penciptaan pasar dan social capital menjadi hal yang bisa menciptakan transformasi ketahanan desa dan keberlanjutan komunitas yang ada (Carr, 2019; Li, Westlund, dan Lie., 2019). Kemudian, pembangunan desa dalam pembangunan menuntut tiga hal, yaitu mendorong pembangunan aktivitas ekonomi baru, kewirausahaan lokal, dan pengembangan social capital yang dapat mendorong kewirausahaan terkait aktivitas ekonomi baru dan inovasi (Li, Westlund, dan Lie., 2019).

Carr (2019) melanjutkan bahwa pembangunan dan adaptasi komunitas menciptakan transformasi komunitas lokal yang mampu mengurangi dampak goncangan dan tekanan pada ekologi sehingga menciptakan

Permasalahan dalam

Pembangunan Perdesaan

Bab 2

(31)

sinergi dalam pembangunan desa. Hal yang paling mendasar untuk ditingkatkan adalah kesadaran dan kemauan masyarakat untuk membangun transformasi lokal, kewirausahaan, inovasi (aktivitas ekonomi baru), dan sosial kapital dalam setiap aktivitas pembangunan desa dengan melibatkan negara untuk memfasilitasi proses tersebut.

Tantangan pembangunan perdesaan saat ini, yaitu bagaimana membuka menu-menu lokalitas dan menginternalisasikannya dalam desain pembangunan. Hal yang paling mendasar untuk ditingkatkan adalah kesadaran dan kemauan masyarakat untuk membangun budaya inovasi dalam setiap aktivitas pembangunan desa dan kehadiran negara untuk memfasilitasi proses tersebut. Menarik melihat bagaimana argumen yang dibangun oleh Habiyaremye, Kruss, dan Booyens (2020) yang mengatakan negara memiliki peran yang penting dalam menjalankan inovasi untuk mempercepat transformasi struktural dan mengatasi ketimpangan di desa dan tingkat keberhasilan intervensi negara akan semakin besar jika mampu memajukan kapabilitas lokal dan partisipasi pengguna akhir atau masyarakat. Hal ini senada dengan Li, Westlund, dan Lie (2019) yang juga mengatakan kemajuan desa memerlukan kolaborasi antara pelaku usaha di desa, pemerintah, asosiasi lokal, dan komunitas, termasuk juga peranan perguruan tinggi.

Dalam artikel yang ditulis oleh Carr (2019) ditekankan perlunya

menciptakan ruang yang lebih besar untuk berjalannya suatu proses

transformasi dan inovasi pada suatu kelompok target atau sasaran,

walaupun untuk menentukan kelompok tersebut tidaklah mudah. Carr

(2019) memberikan catatan akan pentingnya posisi kelompok katalis dalam

mendukung proses transformasi yang berkelanjutan. Peranan katalis ini

bisa berbeda-beda, misalkan posisi suami yang memberikan kelonggaran

pada istrinya untuk bekerja ataupun para tuan tanah. Kedua kelompok

tersebut memiliki kekuasaan (power). Dengan demikian, hal terpenting

dalam upaya memberikan ruang transformasi yang lebih besar yaitu perlu

melihat dampaknya pada posisi ‘security of the powerful’, yang merupakan

prakondisi penting agar proses transformasi bisa bekerja secara signifikan

dan berlanjut dalam jangka panjang.

(32)

Permasalahan Pembangunan Perdesaan dalam Konteks Kebijakan Perhutanan Sosial

Terkait dengan kebijakan perhutanan sosial, Wong dkk., (2020) mengatakan perhutanan sosial bertujuan mencapai kemenangan dalam hal tata kelola hutan yang berkelanjutan, mitigasi atas perubahan iklim, dan kewirausahaan yang kuat dalam hal penghidupan. Dengan melihat kasus-kasus perhutanan sosial yang ada di Asia Tenggara, Wong dkk., (2020) menyampaikan bahwa tidak semua perhutanan sosial memberikan keuntungan pada komunitas lokal, misalkan dalam hal kegagalan untuk memberikan hak penuh atas lahan. Demikian juga, dengan organisasi masyarakat sipil yang telah memiliki perspektif di tingkat tapak akan keadilan lingkungan dan hak-hak lainnya, juga cenderung sama dalam hal solusi kewirausahaan dan berbasis pasar. Sementara itu, sektor swasta yang menjadi solusi kunci secara nyata tidaklah hadir dalam ruang perhutanan sosial. Wong dkk., (2020) menyimpulkan bahwa skema formal perhutanan sosial juga telah menggeser atau memperkuat diskusi lama atas permasalahan hutan dan kemungkinan solusinya proses ‘teritorisasi’

yang dapat berdampak pada ketimpangan, terpinggirkannya hak, partisipasi dan akses, serta risiko kontestasi yang semakin memuncak, juga ketimpangan dalam klaim atas hutan dan sumber dayanya.

Demikian juga dengan Erbaugh (2019) yang menggunakan ‘responsibilization theory’ dalam melihat bagaimana perhutanan sosial di Indonesia bekerja.

Dalam studinya, Erbaugh (2019) menyimpulkan dua hal penting. Pertama,

fase perhutanan sosial dalam hal formalitas cukup unik karena bertujuan

memperpanjang hak atas sumber daya kepada kelompok pengguna (user

groups) dan memperpanjang area hutan negara yang dialokasikan bagi

inisiatif perhutanan sosial. Kedua, kelompok-kelompok pengguna yang

didefinisikan dalam aktivitas administratif mendapat tanggung jawab

untuk pengelolaan hutan yang bertujuan untuk menyatukan kesejahteraan

komunitas yang lebih besar, antara manfaat ekonomi dan lingkungan

hidup. Proses ‘responsibilization’ kepada kelompok pengguna menyebabkan

ketegangan yang kuat antara memberikan keuntungan bagi komunitas

dan populasi yang lebih luas. Ketegangan ini memberikan trade off dalam

beberapa hal yaitu: pemberdayaan masyarakat dan kontrol negara; pilihan

ketidakpastian dalam inisiatif perhutanan sosial dan informasi asimetris

(33)

antara para aktor yang berkepentingan mengimplementasikan inisiatif perhutanan sosial dengan aktor-aktor yang berkepentingan pada outcome dari perhutanan sosial. Erbaugh (2019) memberikan pandangan akan pentingnya melakukan analisis trade off antara tujuan-tujuan well-being dan well-doing, negosiasi pada tingkat tapak, opsi-opsi dari tanggung jawab, serta bagaimana transfer tanggung jawab dalam satu domain atau bagian memengaruhi perilaku individu atau kelompok dalam memberikan arahan-arahan baru untuk memahami tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam.

Lebih jauh belajar dari kebijakan perhutanan sosial, tampak bahwa implementasi tataran idealis akan selalu berbenturan dengan kepentingan lainnya. Sebagai salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial, maka banyak negara di dunia menjalankan program perhutanan sosial. Sahide dkk., (2020), menggunakan kerangka siapa yang mendapatkan keuntungan atau mendapatkan akses (access) dan siapa yang tersisih (exclusion) dalam tiga tahapan perhutanan sosial yaitu: formulasi awal, pengalihan secara formal, dan implementasi kebijakan. Dalam tahap awal Sahide dkk., (2020) memperlihatkan telah terjadi kondisi access dan exclusion dalam hal pengumpulan dan pengendalian informasi. Dalam tahapan pengalihan, aktor-aktor kunci berkompetisi dengan aturan dan membangun batas- batas tata kelola kewenangan atas perhutanan sosial. Selanjutnya, dalam tahapan implementasi access dan exclusion terjadi melalui manajemen dan penggunaan sumber daya.

Masalah Baru dalam Pembangunan Perdesaan: Upaya Meningkatkan Resiliensi Desa dari Dampak Negatif Pandemi Covid-19

Perkembangan kondisi saat ini menunjukkan adanya permasalahan baru

dengan adanya wabah Covid-19 yang menyebar cepat dan memukul sisi

permintaan dan penawaran dalam perekonomian secara dalam (World

Bank, 2020). Adanya pandemi ini menjadi tantangan baru pembangunan

perdesaan yang ada (OECD, 2020). Respons perdesaan dalam menghadapi

pandemi perlu didorong dalam menjaga kesinambungan pembangunan

(34)

yang telah ada. Gambar 2.1 menunjukkan bahwa setidaknya empat hal yang perlu menjadi perhatian dalam pembangunan perdesaan di kala pandemi. Model tata kelola yang memungkinkan terbangunnya resiliensi (ekonomi, sosial, dan lingkungan) di tengah masyarakat desa mencakup empat hal yang disampaikan oleh OECD (2020). Pentingnya skema pembangunan seringkali menjadi landasan pembangunan bagi pemangku kepentingan, namun belum menjadi suatu arus utama (mainstreaming) dalam program-program pembangunan (Evans dkk., 2015; Redman, 1980).

Gambar 2.1 Area Respons Covid-19 di Wilayah Perdesaan (Sumber: OECD, 2020).

Dampak berat akibat Covid-19 yang memengaruhi kondisi pembangunan

di wilayah perkotaan akan memberikan pengaruh pada pembangunan

desa. Hal ini dikarenakan menurut Li, Westlund, dan Lie (2019)

bahwa kemajuan desa akan sangat tergantung pada kemampuannya

(35)

untuk membangun keterkaitan dengan lingkungan perkotaan (urban).

Kemampuan desa untuk mendukung kebutuhan perkotaan akan banyak memberikan kesempatan ekonomi. Hal ini juga akan membantu desa untuk mendorong transformasi dari hanya bergantung pada sumber daya alam (natural resources) menjadi ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan (knowledge economy). Selanjutnya Li, Westlund, dan Lie (2019) juga mengatakan bersamaan dengan berkembangnya knowledge economy maka kewirausahaan lokal dapat mengembangkan aktivitas-aktivitas baru. Tentu saja, peranan modal sosial dapat memberikan dukungan berarti pada penguatan peran kewirausahaan lokal.

Permasalahan terkait protokol kesehatan (akibat pandemi Covid-19) yang berdampak secara ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam pembangunan perdesaan memerlukan solusi agar capaian pembangunan di perdesaan tetap dapat sesuai target pembangunan nasional. Tentu saja, banyak lokus-lokus di perdesaan yang mampu bertahan dalam kondisi ekonomi di tengah resesi, namun banyak juga yang membutuhkan bantuan dari pemerintah. Dengan demikian, model tata kelola seperti apa yang memungkinkan terbangunnya resiliensi ekonomi, sosial, dan lingkungan di tengah masyarakat desa.

Bjørkhaugh dan Knickel (2018) memberikan ringkasan akan empat

konsep tematik yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan resiliensi

desa. Pertama, yaitu konsep resiliensi dikaitkan dengan spesialisasi dan

diversifikasi. Keduanya memiliki dampak yang berbeda pada resiliensi

petani. Spesialisasi mengandung risiko dalam bentuk ketergantungan yang

lebih besar terhadap aktor lainnya di dalam rantai nilai sistem pangan dan

juga atas kondisi pasar yang tidak stabil. Sebaliknya, diversifikasi dalam

konteks produksi dan pemasaran akan memperkuat posisi resiliensi. Agar

diversifikasi bisa berjalan sukses, maka diperlukan kolaborasi dalam

jejaring rantai nilai produksi untuk meminimalkan risiko. Konsep kedua,

terkait dengan ‘prosperity’ yang lingkupnya tidak terbatas pada capaian

ekonomi semata, namun membutuhkan keseimbangan dengan dua

dimensi lainnya yaitu sosial dan lingkungan. Dengan mempertimbangkan

konsep ‘prosperity’ yang bersifat multidimensi, maka penting untuk

melihat aspirasi dan realitas dari pandangan para aktor. Beberapa elemen

(36)

yang disebutkan ‘beyond monetary’ seperti kesehatan, budaya, nilai, etika, kualitas lingkungan hidup, dan kelangsungan hidup komunitas.

Persoalan selanjutnya adalah seperti apa konstruksi modal (sumber daya) alam dan sosial yang menyertainya, serta bagaimana mengendalikan atau meminimalkan adanya praktik-praktik ketamakan ekonomi (moral hazards) di dalam masyarakat desa. Kedua pertanyaan tersebut dapat diatasi melalui konsep ketiga dari Bjørkhaugh dan Knickel (2018) yaitu sisi tata kelola (governance) yang menekankan peran pemerintah dari posisi ‘provider’ menjadi ‘enabler’. Hal ini dikaitkan pada upaya untuk bekerjanya ‘multi actor rural governance’ secara baik. Konsep keempat atau yang terakhir disampaikan oleh Bjørkhaugh dan Knickel (2018) yaitu knowledge and learning, yang memperlihatkan akan adanya potensi konflik antara local knowledge dengan formal knowledge. Mempertemukan keduanya diperlukan ‘kompromi’ dalam hal menerima nilai dan asumsi, dukungan untuk menerima pandangan, praktik-praktik, dan arah yang berbeda.

Hal penting lainnya yang perlu mendapat perhatian terkait dengan kemungkinan terjadinya ‘marginalisasi’ dari proses perubahan yang terjadi. Tentu saja, terjadinya proses marginalisasi perlu dihindari karena akan menjadi paradoks atas proses perubahan yang terjadi. Pentingnya dimensi-dimensi ini seringkali disebutkan oleh banyak pemangku kepentingan, namun belum menjadi suatu arus utama (mainstreaming) dalam program-program pembangunan di kawasan perdesaan.

Syarat bagi Percepatan Transformasi Pembangunan Perdesaan

Berdasarkan pembahasan permasalahan umum di atas, maka diperlukan

adanya suatu aktualisasi konsep dan model pembangunan perdesaan

yang berbasis komunitas. Basis komunitas ini akan digunakan untuk

mencapai berbagai macam target pembangunan perdesaan yaitu

menciptakan kemandirian, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan

pembangunan. Kemandirian desa tidak hanya dilihat dari capaian hasil

indeks pembangunan desa saja, tetapi secara menyeluruh sebagai bentuk

atau upaya percepatan transformasi pembangunan perdesaan melalui

implementasi program dan kebijakan pemerintah yang memanfaatkan

(37)

inovasi sosial dalam menciptakan nilai tambah dari aktivitas produksi dan reproduksi kapital yang menyinergikan peran aktor-aktor pembangunan perdesaan di perdesaan secara inklusif, berdaya saing, dan berkelanjutan.

Habiyaremye, Kruss, dan Booyens (2020) mengungkapkan bahwa transformasi perdesaan membutuhkan solusi yang inovatif yang mengarah pada perluasan basis produksi perdesaan, dari aktivitas tradisional menjadi sektor yang lebih produktif, yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat perdesaan. Transformasi perdesaan dapat dicapai melalui proses yang melibatkan pendekatan inklusif terhadap inovasi, dengan partisipasi aktif baik dari masyarakat perdesaan maupun dari pemerintah. Proses yang inklusif dalam inovasi ini dapat membantu mengurangi efek disruptif dari perubahan sosial, serta adopsi terhadap metode produksi dan teknologi baru. Pemerintah dapat berperan penting dalam memanfaatkan kebijakan inovasi, misalnya untuk mengembangkan metode produksi pertanian, serta untuk intervensi dalam mencapai transformasi yang inklusif dan menjamin adanya inovasi sosial yang pro-poor.

Berdasarkan studi dari Habiyaremye, Kruss, dan Booyens (2020) ini,

ketika pemerintah lebih terlibat secara langsung pada setiap level dan

seluruh wilayah, terdapat potensi besar agar transformasi dapat berhasil

mengarah sesuai tujuan. Namun demikian, ketika agen pemerintah

berperan dalam intervensi untuk mendorong peningkatan kapabilitas

lokal, peluang keberhasilan transformasi perdesaan bahkan dapat menjadi

lebih besar lagi. Dengan kata lain, pemerintah juga perlu mengupayakan

pemberdayaan masyarakat perdesaan agar dapat mengoptimalkan

peluang yang ada, selagi mengurangi ancaman yang mungkin timbul

dengan adanya proses transformasi ini. Habiyaremye, Kruss, dan Booyens

(2020) juga mengatakan bahwa negara berkembang membutuhkan adanya

percepatan transformasi perdesaan agar dapat mengatasi ketimpangan

dengan cara meningkatkan partisipasi masyarakat pedesaan dalam

perekonomian serta meningkatkan pencapaian tujuan pembangunan

berkelanjutan. Dalam hal tersebut, negara berperan untuk mempromosikan

inovasi untuk transformasi pedesaan guna mendorong inklusi sosial dan

ekonomi masyarakat. Negara dan badan pembangunan daerah memiliki

(38)

peran sentral untuk merancang inovasi dan strategi pembangunan untuk transformasi struktural yang seimbang dan inklusif.

Sejalan dengan Li (2015), narasumber FGD_9,

6

menyebutkan pentingnya menghargai proses dalam pembangunan perdesaan. Li (2015) mendasari argumennya dari contoh dua proyek, yakni pertama adalah proyek dari The Nature Conservancy untuk meningkatkan kesadaran masyarakat desa terhadap pentingnya konservasi; dan yang kedua adalah proyek dari World Bank untuk pembangunan berbasis komunitas (Community Driven Development). Dari pembelajaran kedua proyek tersebut, beberapa permasalahan diidentifikasi. Pertama, kurangnya perhatian mengenai peningkatan kapasitas masyarakat desa karena dipandang sebagai sesuatu yang belum mendesak untuk diprioritaskan. Kedua, kecilnya insentif bagi pejabat pemerintah, termasuk pemerintah desa, untuk terlibat dalam proses desain proyek. Peran mereka yang hanya untuk mengawasi dan berkoordinasi, tanpa dapat turut campur dalam aktivitas proyek.

Ketiga, masyarakat desa tidak memiliki insentif tertentu untuk fokus pada proyek pemberdayaan karena sudah cukup banyaknya pendanaan proyek mikro dari berbagai kementerian. Keempat, terkait opportunity cost yang dihadapi masyarakat desa dalam menjalani proyek pemberdayaan desa dan konservasi, yang dianggap kurang menarik karena panjangnya proses partisipatif dan aturan yang dianggap memberatkan. Terlebih lagi, rangkaian aktivitas pelatihan atau banyaknya pertemuan konsultasi mengenai aksi konservasi tersebut, dianggap tidak memberikan imbalan atau keuntungan materi secara riil padahal masyarakat juga perlu memenuhi kebutuhan hidup yang masih bersifat subsisten. Artinya, mereka lebih memilih untuk melakukan kegiatan yang dapat langsung atau lebih cepat menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek.

6 Penyusunan buku ini melibatkan narasumber dari berbagai pemangku kepentingan melalui rangkaian focus group discussion (FGD) secara daring dan luring di tahun 2020. Hal ini dilakukan untuk dapat menggali dan mengumpulkan serta mendalami dinamika pembangunan perde- saan dengan berbagai permasalahan, tantangan, dan capaiannya selama ini. FGD_9 dilaksana- kan pada tanggal 6 November 2020.

(39)

Beberapa faktor tersebut yang diungkapkan oleh Li (2016) mengakibatkan

‘sistem proyek’ menjadi penghambat untuk mencapai tujuan transformasi perilaku melalui pemberdayaan masyarakat desa, termasuk perilaku pejabat pemerintahannya. Proyek rancangan World Bank dalam pemberdayaan telah berupaya untuk mengembangkan kapasitas yang terdapat dalam modal sosial dan mengarahkannya agar masyarakat perdesaan di Indonesia mampu mengejar capaian pembangunan melalui cara mereka sendiri. Proses pemberdayaan ini termasuk pula berupaya memperkuat sensitivitas terhadap kalangan miskin (pro-poor), meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana proyek, serta implementasi reward and punishment terhadap tindak korupsi.

Akan tetapi, dominasi dari elite desa dan keterbatasan komitmen dari pejabat pemerintah masih menjadi kendala utama yang terjadi sehingga transformasi yang diharapkan masih sulit terjadi (Li, 2016). Permasalahan semacam ini menurut Damayanti dan Syarifuddin (2020) juga menjadi penghambat tercapainya pendekatan partisipatif sebagai wujud dari pemberdayaan masyarakat.

Damayanti dan Syarifuddin (2020) menyatakan bahwa partisipasi

masyarakat secara inklusif dalam proses perencanaan pembangunan,

yang tidak hanya secara fisik, tetapi juga terlibat langsung dalam mengkaji

masalah dan menentukan aktivitas yang dibutuhkan, kurang dapat

terealisasi karena adanya distorsi untuk kepentingan politik dan ekonomi

tertentu. Terkait hal ini, dibutuhkan upaya meminimalisasi kesenjangan

kekuasaan antara pemangku kepentingan, penegakan hukum dan

peraturan, serta dukungan integrasi pengetahuan dan proses pembelajaran

yang efektif dengan basis data yang memadai dalam implementasi proses

partisipasi dalam perencanaan pembangunan perdesaan (Akbar dkk.,

2020). Belum tercapainya tujuan transformasi pembangunan masyarakat

perdesaan berkaitan dengan yang dikatakan oleh narasumber FGD_9

bahwa proses adopsi inovasi tidaklah mudah, terutama di level

masyarakat bawah. Dengan keragaman masalah dan tantangan dalam

upaya transformasi pembangunan, maka cara pemerintah yang cenderung

mengukur keberhasilan dari segi proporsi penyerapan anggaran atau

secara kuantitas dianggap kurang tepat karena tidak terlalu berfokus pada

keberhasilan program secara kualitas.

(40)

Pemberdayaan Masyarakat, Kemiskinan, dan Transformasi Hijau dalam Pembangunan Perdesaan

Friedman (2012) menyebutkan bahwa Bappenas pada masa proyek pemberdayaan masyarakat desa mengalami kesulitan untuk mengukur kontribusi suatu proyek atau program pembangunan terhadap pengurangan kemiskinan. Penyebabnya diduga karena proyek tersebut berfokus pada pemberdayaan dan lebih berorientasi pada proses sehingga output yang dihasilkan dan peran yang dijalankan dalam pembangunan perdesaan sulit terukur. Selain itu, kemungkinan kegagalan suatu proyek atau program pemberdayaan masyarakat karena belum mengakomodasi apa yang disebut oleh Carr (2019) sebagai upaya mengurangi beban dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.

Masyarakat yang masih subsisten dan struggling dalam kehidupan mereka sehari-hari semestinya dipenuhi kebutuhannya atau setidaknya diringankan bebannya. Ketika sebuah rumah tangga telah merasa aman dengan pendapatannya, maka membuka peluang bagi rumah tangga untuk memberikan ruang bagi anggota keluarganya (misalnya istri) untuk mengambil tindakan baru, seperti budidaya pada plot area yang lebih luas, yang artinya dapat mendorong ruang inovasi sekaligus peningkatan peran perempuan. Hal ini akan memberikan kesempatan bagi terciptanya peningkatan pendapatan dan kesempatan ekonomi bagi perempuan yang dapat memperluas manfaat lainnya seperti peningkatan pemenuhan gizi rumah tangga.

Penurunan kemiskinan yang menjadi tujuan pembangunan yang paling krusial dan merupakan salah satu kriteria untuk mencapai green transformation (Barbier, 2020). Terdapat dua prasyarat utama agar program transformasi hijau dapat berhasil diberlakukan di negara berkembang.

Menurut Barbier (2020), pertumbuhan hijau harus selaras dengan tujuan pembangunan, yaitu pengentasan kemiskinan, serta harus disertai dengan kebijakan penanganan penggunaan sumber daya alam dan kemiskinan.

Transformasi hijau perdesaan (green rural transformation) merupakan

salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap produksi

primer dan kegiatan berbasis sumber daya alam, serta perubahan yang

cukup besar dalam penggunaan lahan yang menyertai aktivitas pertanian

(41)

dan produksi primer lainnya dengan tetap mengupayakan peningkatan pendapatan masyarakatnya. Narasumber FGD_9 menjelaskan bahwa menurut data Survei Pertanian Antar Sensus dari BPS tahun 2018, petani di Indonesia mayoritas berusia lebih dari 45 tahun dan tingkat pendidikan petani masih rendah, sebagian besar hanya tamat SD (41,79%) dan tidak tamat SD (24,62%).

Nilai tambah dari pertanian, kehutanan, dan perikanan di Indonesia masih berkontribusi rendah, yakni sekitar 12,7% terhadap PDB pada tahun 2019 (World Bank, 2020). Adanya berbagai kondisi tersebut, dapat menjadi hambatan struktural dalam mencapai transformasi hijau perdesaan yang merujuk pada Barbier (2020) membutuhkan adanya empat aspek utama yaitu: (i) meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan terhadap produksi primer untuk keuntungan ekonomi secara luas; (ii) kemungkinan adanya kerusakan lingkungan diperhitungkan dalam estimasi keuntungan sosial- ekonomi dari pembangunan berbasis sumber daya; (iii) menguatkan pertanian rakyat, distribusi lahan, dan mata pencaharian di daerah pertanian terpencil dan marginal; serta (iv) mengadopsi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat perdesaan.

Transformasi Pembangunan Perdesaan Adaptif

Efek transformasi ekosistem dapat merugikan kesejahteraan manusia karena membatasi pilihan untuk masa depan. Dalam keadaan seperti itu, masyarakat dihadapkan pada pilihan yang jelas untuk pindah atau tinggal dan mencoba beradaptasi dan mencari nafkah sehingga dibutuhkan proses adaptasi transformatif. Colloff, Wise, Palomo, Lavorel, dan Pascual (2020) mendefinisikan adaptasi transformatif sebagai perubahan sistemik terhadap paradigma, visi, tujuan, aturan, dan pengetahuan masyarakat, sebagai respons terhadap perubahan aktual atau yang diantisipasi dalam variabel pendorong yang secara fundamental mengubah sifat sistem sosial-ekologi.

Colloff dkk., (2020) juga menawarkan konsep Nature’s Contribution to

Adaptation (NCA) guna membantu para aktor dalam menyusun

ulang konteks keputusan untuk mengimplementasikan adaptasi dan

transformasi ekosistem. Konsep NCA juga membantu mengungkapkan

(42)

pentingnya properti ekosistem untuk adaptasi dan proses perubahan masyarakat dalam nilai, aturan, dan pengetahuan yang diperlukan untuk adaptasi transformatif. Dari studi kasus adaptasi transformatif, Colloff dkk., (2020) menemukan adanya hubungan positif yang signifikan antara produksi bersama dari pilihan adaptasi dan tingkat adaptasi yang dicapai.

Adaptasi tingkat menengah-tinggi dikaitkan dengan proses partisipatif yang melibatkan pemikiran sistem dan produksi bersama pendekatan adaptasi, tingkat kontestasi yang rendah atas nilai dan kepentingan, ketidakseimbangan kekuasaan yang rendah, dan keberadaan pengaturan tata kelola yang terkoordinasi. Variabel-variabel ini menunjukkan bahwa masyarakat diberdayakan untuk terlibat dan memiliki kepemilikan dan agen untuk mengubah cara berpikir dan bertindak mereka dalam menerapkan adaptasi.

Vanbergen dkk., (2020) berpendapat bahwa reformasi pertanian merupakan kebutuhan untuk transisi menuju produksi pangan berkelanjutan, menanggapi perubahan global, dan menjaga ketahanan pangan dan gizi.

Transformasi pertanian membutuhkan perencanaan lanskap multifungsi dengan pengelolaan lintas sektoral dan partisipatif untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan dan pada akhirnya bergantung pada kapasitas masyarakat untuk menerima cara-cara baru dalam beroperasi dalam menanggapi krisis lingkungan. Demikian juga dalam tataran realitas, apa yang dituliskan dalam regulasi kerapkali berjalan secara administrative procedural tanpa jejak yang mendalam dari sisi substansi.

Damayanti dan Syarifuddin (2020), memperlihatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan masih bersifat simbolis. Dengan demikian akan menjadi sulit untuk mewujudkan keberlanjutan dan keadilan pembangunan, khususnya pada kelompok yang marginal. Partisipasi masyarakat desa tidak hanya terbatas pada kehadiran fisik dalam proses diskusi, namun yang jauh lebih penting membangun keterlibatan mereka dalam mengidentifikasi masalah dan menentukan aktivitas yang mereka perlukan (Damayanti dan Syarifuddin, 2020).

Oleh karenanya, ketika berbicara akan transformasi dalam konteks

transformasi hijau, Barbier (2020) mengatakan bahwa transformasi hijau

akan memberikan hasil jika pertumbuhan hijau kompatibel dengan tujuan

pembangunan yang lebih utama yaitu penurunan tingkat kemiskinan.

(43)

Selanjutnya, transformasi ini perlu didampingi oleh kebijakan-kebijakan yang secara nyata bersentuhan langsung dengan ciri-ciri struktural dari sumber daya kunci yang digunakan dan juga kemiskinan. Belajar dari pengalaman pengembangan teknologi energi terbarukan dan efisiensi energi, paling tidak ada lima kendala yang perlu mendapatkan perhatian yaitu (Barbier, 2020): skema pembiayaan jangka panjang, partisipasi sektor swasta, struktur kelembagaan, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, dan daya beli masyarakat desa.

Arti Penting Aktualisasi Konsep dan Model Pembangunan Berbasis Komunitas

Dalam Peraturan Menteri Desa PDTT No. 2 Tahun 2016 dan No. 16 Tahun 2018, disebutkan Desa Mandiri adalah ‘desa maju yang memiliki kemampuan melaksanakan pembangunan desa untuk peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa dengan ketahanan sosial, ketahanan ekonomi, dan ketahanan ekologi secara berkelanjutan’. Selanjutnya didefinisikan juga bahwa Desa Maju adalah ‘desa yang memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi, serta kemampuan mengelolanya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, kualitas hidup manusia, dan menanggulangi kemiskinan’. Aspek penting untuk digali lebih mendalam adalah seperti apa mekanisme/proses, tata kelola, dan ekosistem yang membuat desa lebih mampu bertransformasi menjadi desa mandiri dan desa maju. Dimensi ini penting untuk dipahami baik dalam formula yang bersifat umum (generalis) ataupun khusus/spesifik/lokal. Desain kebijakan dalam bentuk struktur, aktor, prosedur, dan pembiayaan seperti apa yang memungkinkan menuju desa mandiri, perlu untuk dirumuskan. Dengan pengetahuan ini, maka desa akan lebih mampu bergerak lebih progresif dan bukan sebaliknya bergerak mundur (regresif).

Hingga akhir periode pertama pemerintahan Joko Widodo (2014–2019), jumlah desa mandiri adalah sebanyak 1.444 desa atau belum mencapai 2%

dari total jumlah desa yang ada. Dalam RPJMN 2020–2024, pemerintah

menargetkan angka ini naik menjadi sekitar 14% dari total desa di Indonesia

yang meningkat menjadi desa mandiri. Tentu saja pencapaian target

Gambar

Gambar 1.1  Sustainable Development Goals dalam Aspek Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan  (Sumber: Bappenas, 2018 (Dimodifikasi)
Tabel 1.1 Persamaan dan Perbedaan dalam Pembentukan IPD, IKG, dan IDM
Gambar 2.1  Area Respons Covid-19 di Wilayah Perdesaan (Sumber: OECD, 2020).
Gambar 3.1  Tahapan dalam Daur Hidup Inovasi Sosial (Sumber: Bacon dkk., 2008).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang sama bahwa tingkat ekspresi mRNA LOXL-1 pada dinding vagina wanita dengan POP lebih tinggi dari non POP, namun setelah pemberian

Dengan kata lain penyuluhan tidak berhenti pada penyebar-lauasan informasi/inovasi dan memberikan penerangan tetapi merupakan proses yang dilakukan terus menerus,

Keterangan: hubungan antara defisiensi besi dan perilaku, dapat menyebabkan beberapa efek biologis yang berperan penting dalam perkembangan dan fungsi saraf, gangguan fungsi pada

Keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik antara lain: (i) mampu mengontrol heterogenitas individu; (ii) memberikan informasi yang lebih banyak dan

Dengan adanya aplikasi E-learning ini, apakah dapat meningkatkan minat belajar siswa SMA Plus Pembangunan Jaya melalui internet?. Dengan adanya aplikasi E-learning ini,

Penggunaan etiket, harus memiliki informasi yang sangat banyak, atau keterangan yang lebih lengkap, oleh karena itu digunaka QR Code yang dapat menampung informasi yang sangat

Dalam pelaksanaannya juga terdapat kendala atau permasalahan yang dihadapi guru yaitu, (Orientasi) masalah waktu yang ditetapkan dalam tujuan pembelajaran apabila siswa

1) Orientasi kepada masalah. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya,