• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ecosystem-Based Approach to Fishery Management

Banyak konsep yang telah dihasilkan para akademisi dalam upaya memecahkan persoalan kemiskinan masyarakat pesisir dan nelayan.

Bahkan setidaknya sejak tahun 1990-an, Kedeputian Bidang IPSK LIPI telah menghasilkan sekitar 60 kajian yang berkaitan dengan permasalahan masyarakat pesisir dan nelayan. Cakupan kajian yang dilakukan oleh berbagai Pusat Penelitian di lingkup Kedeputian IPSK LIPI sangat luas tetapi intisarinya berkaitan dengan pengelolaan lingkungan alam, masalah aksesibilitas terhadap akses ekonomi, dan kualitas sumber daya manusia.

Meskipun demikian, berbagai kelemahan yang umum dilakukan para akademisi yakni model penanggulangan kemiskinan pada masyarakat pesisir dan nelayan yang dihasilkannya lebih banyak masih pada tataran konsep, belum diuji pada tataran empiris.

Sejauh ini, berbagai hasil kajian terhadap masyarakat pesisir selalu dipengaruhi oleh kekuatan eksternal dan perubahan internal masyarakat terhadap sistem pengelolaan sumber daya alam wilayah pesisir (Satria dkk., 2017). Pengaruh eksternal dan perubahan sosial masyarakat atas pengelolaan mengakibatkan terjadinya dinamika yang begitu beragam dan cepat dalam pengelolaan kawasan pesisir yang secara pasti akan berdampak terhadap sosial ekonomi dan ekologi masyarakat. Hal ini masih kurang diperhatikan dalam merumuskan model pemberdayaan masyarakat sehingga terkesan bersifat fragmented dan sektoral, tidak memerhatikan unsur budaya masyarakat pesisir, utamanya nelayan yang sangat khas dan berbeda dengan masyarakat daratan. Pola pendapatan nelayan yang tidak teratur berakibat menciptakan perilaku ekonomi yang spesifik dan spekulatif serta selanjutnya berpengaruh pada pranata ekonomi dalam kehidupan sosial masyarakat nelayan (Acheson, 1981) yang berbeda dengan petani. Oleh karena itu, selama ini terdapat kesalahpahaman terhadap masyarakat nelayan yang mengakibatkan program-program kepada mereka seringkali tidak sesuai dengan target outcome. Kesalahpahaman tersebut antara lain disebabkan oleh:

1. Kurang tepat dalam mengategorisasikan masyarakat nelayan sehingga pengertian nelayan meliputi pula kelompok masyarakat yang sebenarnya

bukan nelayan. Dilihat dari budaya ekonominya, bukan termasuk dalam kategorisasi nelayan, meskipun bergerak di sektor perikanan dan orientasinya ke laut. Diantaranya adalah usaha budidaya ikan dan rumput laut, mereka lebih tepat dikategorisasikan sebagai “pembudidaya” atau

“petani”.

2. Kesalahan memahami budaya ekonomi nelayan. Selama ini banyak yang menyamakan budaya ekonomi nelayan sama dengan petani. Budaya ekonomi nelayan berbeda jauh dan sangat kontras dibandingkan dengan petani. Adanya pengaruh usaha yang berbeda dari kedua komunitas tersebut telah berpengaruh pada perbedaan perilaku ekonominya.

Perilaku ekonomi petani dipengaruhi oleh proses produksi pertanian yang didasarkan atas perhitungan yang rumit dan penuh kehati-hatian serta penuh keteraturan sehingga para petani tidak atau kurang berani berspekulasi. Etika petani dalam menghadapi masalah dikenal dengan etika yang mengutamakan selamat atau disebut “etika subsistensi”

(Scott, 1976). Sebaliknya, perilaku ekonomi nelayan dipengaruhi oleh ketidakpastian hasil, ketidakteraturan pendapatan, dan risiko yang besar dalam penangkapan ikan sehingga perilaku ekonominya sarat dengan spekulasi, risiko, dan ketidakteraturan. Etika nelayan dalam menghadapi masalah dikenal dengan apa yang disebut “etika pemerataan risiko”

(Masyhuri, 2006).

Narasumber FGD_2 menyebutkan bahwa saat ini praktik pengelolaan perikanan masih dilakukan secara terpusat baik dari segi regulasi, kelembagaan, maupun investasinya. Selain itu, implementasi dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 menjadi salah satu kendala dalam pengelolaan kawasan pesisir berdasarkan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) karena kewenangan diberikan kepada provinsi dalam pengelolaan laut.

Hal ini menjadikan pemerintahan di Kabupaten/Kota kesulitan untuk bisa mengoptimalkan potensi kawasan pesisir yang ada di wilayahnya.

Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah pusat melalui RPJMN 2020–

2024 akan meningkatkan prinsip optimalisasi pengembangan kawasan pesisir dan perikanan melalui rencana pengelolaan (RPP) berbasis WPP-NRI dan spesies sesuai dengan karakteristik di masing-masing wilayah pengelolaan perikanan.

Narasumber FGD_2 lebih lanjut menjelaskan bahwa praktik pengelolaan perairan di Indonesia memerlukan pendekatan yang khas dan sesuai dengan karakteristik sistem sosial ekologisnya dan masyarakat pesisirnya yang sangat beragam sehingga tidak bersifat “one size fits all” dan hanya menerapkan satu model saja untuk semua wilayah. Di sisi lain, keterlibatan berbagai stakeholders sangat dimungkinkan dalam penentuan kebijakan teknis di setiap WPP. Penguatan kapasitas bagi pemangku kepentingan daerah terutama akademisi dalam memperkuat pengambilan kebijakan berdasarkan basis ilmiah (science-based) dengan tidak melupakan local knowledge serta sistem manajerial yang kuat sebagai basis dalam mengelola WPP. Adapun anggota badan pengelolaan WPP disarankan oleh narasumber FGD_2 meliputi SKPD pemerintah daerah, masyarakat sipil perikanan, pelaku bisnis, dan akademisi.

Menurut Charles (2001), pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang saling terkait. Ketiga dimensi tersebut meliputi (1) sumber daya perikanan dan ekosistemnya, (2) pemanfaatannya untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat, dan (3) kebijakan.

Dengan demikian, diperlukan keseimbangan dan integrasi atas ketiga dimensi tersebut. Untuk itu, pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (Ecosystem Approach to Fisheries Management, EAFM) menjadi sangat penting. Di lain pihak, tata kelola kawasan pesisir dan laut juga melibatkan banyak pihak dan kompleksitas relasi yang menentukan kesejahteraan komunitas pesisir. Dengan mengadaptasi model Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) untuk pengelolaan perikanan, keterlibatan banyak pihak dalam pembangunan desa pesisir dan laut dapat dilakukan. Dalam hal ini, model EAFM melakukan pendekatan integrated/holistic baik dalam melihat relasi antara elemen-elemen yang ada dalam sistem ekologi perikanan (sumber daya ikan, habitat, dan ekosistem yang mengitarinya), maupun sistem sosial-ekonomi yang terkait. Dengan demikian, EAFM merupakan suatu konsep untuk menyeimbangkan tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan secara terpadu, komprehensif, dan berkelanjutan.

Definisi EAFM menurut panduan yang disusun oleh FAO (Garcia dkk., 2003), menyebutkan bahwa:

“an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge an uncertainties about biotic, abiotic, and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”.

Berpijak dari konsep tersebut, pendekatan EAFM bermanfaat untuk keseimbangan antara tujuan sosial ekonomi dalam suatu kawasan (kesejahteraan, keadilan dalam pemanfaatan dan sebagainya) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi, dan ketidakpastian dari komponen biotik, abiotik serta interaksi manusia dalam ekosistem dalam mencapai tujuan pengelolaan terpadu, komprehensif, dan berkelanjutan.

Namun, tentu saja masih diperlukan upaya lanjutan untuk melakukan telaah atas model ini termasuk aplikasi modelnya. Menurut narasumber FGD_2, di Indonesia, definisi dan implementasi EAFM memerlukan adaptasi struktural dan fungsional di setiap level operasional, baik pusat maupun daerah. Hal ini dikarenakan adanya perubahan kerangka berpikir yang tidak lagi sebatas menjalankan fungsi administrasi perikanan semata (fisheries administration functions), namun lebih dari itu untuk menjalankan fungsi pengelolaan perikanan (fisheries management functions).

Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir (coastal management planning) merupakan salah satu instrumen penting untuk mengetahui dinamika masyarakat terkait dengan pola pemanfaatan dan apresiasi terhadap sumber daya pesisir dan lautan. Salah satu prinsip dasar penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir adalah adanya keterpaduan dan prinsip aspiratif. Terpadu dalam konteks pendekatan komprehensif yang memadukan dinamika sistem alam (ecological systems) dan sistem manusia (social systems) serta antara wilayah daratan dan lautan. Aspiratif lebih pada pendekatan dari bawah, di mana proses perencanaan wilayah pesisir dan laut dilakukan dengan melibatkan masyarakat desa pesisir sebagai subjek sekaligus objek dari perencanaan itu sendiri. Pendekatan tersebut (Cumming, 2011) dikenal dengan Socio-Ecological Systems (Sistem Ekologi-Sosial), di mana pengelolaan pesisir dan lautan berbasis ekologi-sosial sebagai bentuk integrasi antara pemahaman ekologi (ecological understanding) dan nilai-nilai sosial ekonomi (socio-economic value). Sistem sosial-ekologi menurut Anderies dkk., (2004) adalah sistem ekologi yang

berhubungan erat dan terpengaruh oleh satu atau lebih sistem sosial.

Dengan demikian, sistem sosial dan ekologi mengandung unit yang saling bergantung dan berinteraksi antara satu sama lain yang melibatkan berbagai subsistem. Ketika sistem sosial dan ekologi saling berhubungan, menciptakan sistem sosial ekologi yang kompleks, bersifat adaptif yang terdiri atas beberapa subsistem yang menyatu dengan beberapa sistem yang lebih besar.

Gambar 3.3 Model Konseptual Socio-Ecological Systems (SES)(Sumber: Anderies dkk., 2004)

Dalam kerangka SES terdapat 4 komponen yang saling memengaruhi, yaitu meliputi komponen sumber daya, pengguna sumber daya, penyedia infrastruktur sumber daya, dan infrastruktur sumber daya. Komponen sumber daya yaitu komponen yang digunakan oleh beberapa pengguna sumber daya. Komponen pengguna sumber daya dan penyedia infrastruktur sumber daya adalah komponen yang terdiri atas manusia (human). Di sisi lain, komponen infrastruktur sumber daya menggabungkan dua bentuk modal buatan manusia yang meliputi modal fisik dan modal sosial. Sumber daya alam dapat dimanfaatkan oleh para pengguna sumber daya alam (Gambar 3.3 poin 1). Dalam memanfaatkan sumber daya alam tersebut,

pengguna membutuhkan alat bantu berupa infrastruktur (Gambar 3.3 poin 2,3,5,6). Infrastruktur sebagai alat bantu akan memengaruhi keadaan sumber daya alam tersebut (Gambar 3.3 poin 4). Dalam hal ini, infrastruktur sebagai alat bantu dapat berupa perangkat fisik maupun sosial. Perangkat fisik dapat berupa jaring, perahu, dermaga, kincir angin tambak, dan lainnya, sedangkan perangkat sosial berupa kelembagaan, peraturan yang berlaku (termasuk kearifan lokal atau local wisdom). Dalam model ini, faktor eksternal yang berupa gangguan biofisik dapat memberi pengaruh (Gambar 3.3 poin 7), seperti gempa bumi, perubahan iklim, dan perubahan alam lainnya yang memengaruhi kondisi sumber daya alam dan infrastruktur. Selain itu, terdapat pula gangguan sosial ekonomi (Gambar 3.3 poin 8) seperti pertambahan jumlah penduduk, politik, inflasi, dan lainnya yang memengaruhi penggunaan sumber daya alam dan penyediaan infrastruktur (Anderies dkk., 2004).

Dengan demikian, tujuan dari pengelolaan pesisir dan lautan berbasis sosial ekologi dimaksudkan untuk memelihara dan menjaga kelestarian serta integritas ekosistem sehingga pada saat yang sama mampu menjamin keberlanjutan suplai sumber daya untuk kepentingan sosial ekonomi manusia. Sistem Ekologi-Sosial (SES) dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu memberikan suatu pendekatan yang interdisipliner dan framework pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan (Glaeser dkk., 2007). Objek diagnosis dilakukan terkait dengan segala hal yang berhubungan dengan kondisi Socio-Ecological Systems (SES). Informasi tersebut dikumpulkan dan dianalisis untuk melihat tantangan dan peluang serta opsi-opsi pengelolaan serta pengembangan livelihoods. Selain itu, juga melihat serta merumuskan relasi kolaborasi dan sinergi antara berbagai stakeholder terkait. Oleh karena itu, solusi peningkatan kesejahteraan komunitas pesisir dan nelayan seharusnya lebih pada pemahaman yang sistemis dan pengembangan relasi sosial (ekonomi) yang bersifat kolaboratif. Realitas ini menunjukkan kebutuhan akan perspektif holistik (menyeluruh), terintegrasi dalam melihat gejala-gejala kemiskinan, serta usaha-usaha mengatasinya secara kolaborasi. Dengan demikian, pendekatan relatif akan lebih berhasil bila dilakukan sesuai dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Sejalan dengan itu, konsep inovasi sosial juga menitikberatkan pada partisipasi masyarakat di mana konsep ini dapat membantu komunitas/masyarakat

dalam merespons masalah setempat yang dapat memberikan efek perubahan berkelanjutan dan bereaksi terhadap tantangan lingkungan, ekonomi, dan sosial (Kirwan dkk., 2013). Muliawan dkk., (2014) dengan menggunakan pendekatan ekosistem (EAFM) mengidentifikasi strategi dalam pengelolaan perikanan Kerapu di kawasan Pulau Spermonde Kota Makasar. Pendekatan ekosistem dilakukan dengan menggunakan analisis stakeholder dan analisis hubungan entitas Socio-Ecological System (SES). Hasil analisisnya menunjukkan bahwa tantangan dari implementasi penggunaan model EAFM ini adalah pada kerja sama stakeholder penyedia infrastruktur dalam menyusun perencanaan kebijakan, perencanaan strategis, dan perencanaan operasional manajemen yang implementatif.

Adapun tantangan dari implementasi pada entitas SES adalah munculnya permasalahan dalam pengembangan kapasitas yang dapat dijadikan sebagai langkah strategis dalam pengelolaan perikanan tangkap dan Kerapu.

Dalam konteks ini, masalah kemiskinan masyarakat pesisir dan nelayan terkait dengan usaha perikanan yang bersifat sistemis. Keberhasilan usaha masyarakat pesisir hanya bisa terjadi kalau keseluruhan elemen dari usaha mereka yang saling terkait berada dalam kondisi optimal atau “sehat”.

Pendekatan yang sifatnya parsial atau hanya fokus pada elemen tertentu tanpa memperhitungkan hubungan kait mengait dengan elemen yang lain, bisa dipastikan akan gagal. Hal tersebut dipertegas oleh Nugroho (1995) yang menyatakan bahwa upaya pengentasan kemiskinan dapat memiliki hasil yang optimal apabila dilakukan dengan cara melakukan perbaikan secara langsung terhadap sumber-sumber terjadinya kemiskinan. Dalam kerangka ini, seperti contoh bahwa elemen-elemen usaha perikanan tidak semuanya ada dalam otoritas Kementerian atau Dinas Kelautan dan Perikanan.

Penerapan EAFM merupakan langkah panjang yang membutuhkan komitmen kuat semua pemangku kepentingan dan dilakukan secara bertahap. Konsepsi ideal EAFM yang menekankan pada keseimbangan pemanfaatan ekosistem, benefit ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat perlu terus diadopsi dan diadaptasi dalam konteks Indonesia oleh semua kalangan. Model EAFM sangat memerhatikan aspek keberlanjutan dengan mengupayakan kesejahteraan masyarakat. Point utama adanya

interaksi dalam ekosistem yang dilakukan komprehensif dan bottom-up.

Konsekuensinya, implementasi model harus disesuaikan dengan wilayah pesisir sehingga beda wilayah beda pendekatan model.

Narasumber FGD_7 menjelaskan pentingnya pengembangan konsep inovasi sosial dalam meningkatkan nilai tambah pengolahan sumber daya dan mempercepat pembangunan perdesaan. Modal sosial (trust, norma) saat ini seringkali tidak disadari oleh desa-desa yang didampingi sebagai satu kekuatan karena lebih banyak melihatnya dari modal SDA, finansial, fisik/infrastruktur, dan manusia. Dalam perkembangannya, narasumber FGD_7 memberikan contoh inovasi sosial yang dilakukan adalah pada Kelompok Budidaya Perikanan (POKDAKAN) Mangalepang antara lain:

terdapat beberapa kelompok seperti Kelompok Wadowun Beberin, Papua (beranggotakan pemuda, pemburu cendrawasih, pengurus gereja, tukang kayu, nelayan, serta ibu rumah tangga); Kelompok Mangalepang, Alor (beranggotakan pembudidaya rumput laut, pertanian, dan perikanan tangkap); serta Pokmaswas Kambau Borneo (beranggotakan pertanian/

perkebunan, nelayan, serta pemburu telor penyu). Pengalaman di lapangan tersebut menunjukkan banyak masyarakat belum menyadari arti pentingnya dari inovasi sosial.

Lebih lanjut, narasumber FGD_7 juga menjelaskan bahwa permasalahan selalu terjadi dalam implementasi suatu program. Hal yang terpenting yakni solusi atau strategi dalam mengatasi permasalahan tersebut melalui pendekatan yang dilakukan berdasarkan pada spesifik lokasi. Bekerja dengan kelompok masyarakat desa terpencil memiliki tantangan utama yakni mengelola harapan baik dari individu, kelompok, donor, desa, dan pihak lain terutama dengan durasi waktu yang terbatas, sementara itu prosesnya jauh lebih panjang. Selanjutnya, tantangan dalam proses perencanaan, yaitu menentukan indikator keberhasilan. Indikator keberhasilan masing-masing individu berbeda karena dari ekspektasi dan individu yang berbeda. Kemudian mendorong munculnya kesadaran kritis atas pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Secara tidak langsung, kemiskinan banyak dirasakan namun tidak diakui oleh masyarakat di desa yang mayoritas menggunakan pemanfaatan yang merusak. Kondisi ini dirasakan dari melaut yang semakin jauh dan lama serta modal yang dibutuhkan lebih banyak. Tantangan

selanjutnya, bagaimana mengembangkan diversifikasi produk termasuk pada daerah-daerah yang cukup terisolir di mana era digital ini bisa membantu pemasaran mereka. Tantangan lainnya, seringkali project/

kegiatan merekrut orang dari luar dan tidak menguasai bahasa. Ini juga permasalahan yang serius dan prosesnya i panjang (tidak bisa hit and run).

Oleh karenanya, kunci pendampingan perlu dilakukan.

Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui berbagai kebijakan pemberdayaan dengan tujuan meningkatkan nilai tambah ekonomi menjadi penting untuk diupayakan. Hingga saat ini, masyarakat pesisir masih relatif tertinggal dibandingkan dengan masyarakat lain yang bermatapencarian di luar perikanan. Berbagai kebijakan pemberdayaan telah banyak dilakukan melalui peningkatan kualitas SDM, aksesibilitas terhadap infrastruktur, serta perbaikan kelembagaan/tata kelola dalam tataran masyarakat (civil society) dan negara/ pemerintahan (state).

Namun realitasnya, masyarakat pesisir masih belum dapat keluar dari permasalahan kemiskinan. Mengacu kajian Mubyarto dkk., (1984) telah mencatat bahwa rata-rata masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan, kenyataannya lebih miskin dari petani miskin. Namun, lebih dari 3 dekade sejak temuan Mubyarto dkk., tersebut, Badan Pusat Statistik (2016) mencatat sekitar 63,47% penduduk miskin di Indonesia berada di kawasan pesisir. Di sisi lain, berdasarkan data Podes 2018, sekitar 21,82% penduduk mempunyai sumber penghasilan utama pada subsektor perikanan dari 15,32% wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang berada di tepi laut (BPS, 2018b). Data penduduk miskin juga menunjukkan adanya 7,87 juta penduduk dengan mata pencaharian sebagai nelayan, atau sekitar 25,14% dari seluruh penduduk miskin di Indonesia.

Kesuksesan usaha perikanan tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan dalam penangkapan ikan, tetapi juga pada pengolahan pasca tangkap serta pemasaran. Hal ini menunjukkan keperluan akan adanya sinergi dan kolaborasi dengan pihak-pihak lain untuk mengatasi masalah tersebut.

Untuk kasus Desa Pesisir melalui Program Desa Pesisir Tangguh juga membuktikan bahwa program yang memiliki tujuan yang kompleks membuat desa-desa pesisir belum mampu menunjukkan hasil yang sesuai harapan. Limitasi kemampuan baik sumber daya manusia, pengetahuan, kapasitas kelembagaan desa, dan pola pikir masih belum bisa sejalan

dengan output program. Solusi model semacam ini telah coba dilakukan dalam riset aksi yang dilakukan oleh tim dari Kedeputian IPSK LIPI melalui program Prioritas Nasional Nelayan7, meski hasilnya masih belum optimal. Oleh karenanya, diperlukan kesinambungan kegiatan dalam bentuk riset aksi untuk menghasilkan model yang dapat diaplikasikan dengan baik.

Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir (coastal management planning) merupakan salah satu instrumen penting untuk mengetahui dinamika masyarakat terkait dengan pola pemanfaatan dan apresiasi terhadap sumber daya pesisir dan lautan. Salah satu prinsip dasar penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir adalah adanya keterpaduan dan prinsip aspiratif. Oleh karena Indonesia memiliki keragaman kawasan, maka dalam RPJMN 2020–2024 dilakukan prinsip optimalisasi dalam pengembangan kawasan pesisir berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang memiliki keragaman spesies maupun karakteristik sumber dayanya. Narasumber FGD_2 menjelaskan bahwa selama ini WPP hanya bermanfaat sebatas untuk menghitung stok ikan, ke depan diharapkan dapat sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pengembangan ekonomi regional yang tidak hanya sebatas perikanan tangkap tapi juga budidaya. Secara umum, persoalan lokus memang menjadi perhatian sebagaimana ditegaskan oleh narasumber FGD_6 yang menyebutkan bahwa sinkronisasi kegiatan dengan penetapan lokasi yang tepat akan menentukan keberhasilan atau capaian dari program yang dijalankan dengan melibatkan semua stakeholders.

Praktik pengelolaan perairan di Indonesia memerlukan pendekatan yang khas berdasarkan karakteristik sosial dan ekologisnya, bukan kebijakan yang bersifat one size fits all. Untuk itu, diperlukan inovasi untuk mengelola kawasan pesisir diantaranya dilakukan secara kolaborasi berbasis partisipatif, multistakeholder, dan inklusif. Narasumber FGD_2 menegaskan bahwa penerapan Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) dan Socio-Ecological Systems (SES) merupakan langkah panjang yang membutuhkan komitmen kuat bagi semua pemangku kepentingan.

7 Lihat seri Laporan Program Prioritas Nasional Nelayan 2018 dan 2019 Kedeputian IPSK LIPI

Oleh karena itu, konsepsi ideal model tersebut yang menekankan keseimbangan dalam pemanfaatan ekosistem, keuntungan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat perlu terus diadopsi serta diadaptasi dalam konteks Indonesia.

Pembangunan Perdesaan Berbasis Masyarakat yang Berdaya