• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek, Variabel, dan Indikator yang Dibutuhkan dalam Penyusunan Konsep dan Model Pembangunan Perdesaan

Sebelum lebih jauh dalam memetakan aspek, variabel, dan indikator maka diperlukan adanya pendalaman pemahaman tentang konsep-konsep yang digunakan. Tiga konsep yang tidak dapat dilepaskan (mutually inclusive) dalam pembangunan yaitu keberlanjutan (sustainability), inklusif (inclusiveness), dan daya saing (competitiveness). Bending dkk., (2019), menyebutnya sebagai ‘three foundations’ yang dirancang dalam suatu bangun yang utuh atau holistik12. Bending dkk., (2019) mengatakan, konstruksi masyarakat yang produktif (represented competitiveness),

12 htt ps://www.eib.org/att achments/efs/three_foundations_report_en.pdf

berkelanjutan, dan inklusif, memang perlu untuk dirancang dengan baik.

Hal senada akan pandangan ini juga dijelaskan dalam ‘Defining Sustainable Competitiveness’ oleh World Economic Forum.13 Setidaknya terdapat empat konteks tantangan yang tidak dapat dilepaskan untuk membangun ‘three foundations’ yaitu: (i) disrupsi perubahan teknologi yang semakin cepat; (ii) meningkatnya persaingan global; (iii) kekuatan destruksi dari perubahan iklim yang kuat; dan (iv) ancaman wabah Covid-19.

Model-model pembangunan seperti CBFM dan EAFM harusnya mempertimbangkan keempat tantangan tersebut. Walaupun Bending dkk., (2019) berbicara konsep ‘three foundation’ dalam konteks Eropa, filosofi yang dibangun tidak terbatas dalam lingkup wilayah bahkan bisa diadaptasi pada lingkup desa ataupun kawasan perdesaan di kawasan lain.

Gambar berikut memberikan suatu prinsip bahwa masyarakat (society), ekosistem (ecosystem), dan ekonomi (economy) adalah tiga hal yang tidak dapat dilepaskan. Jika melihat hulu dari suatu kemajuan, dimulai dengan inovasi, yang mendorong pertumbuhan produktivitas, daya saing, serta kesempatan kerja dan pendapatan. Hal menarik disampaikan oleh World Economic Forum, bahwa keberlanjutan sosial (social sustainability) merupakan bahan bakar untuk produktivitas dan kesejahteraan.14 Damodaran (2015) mengatakan agar inovasi bekerja efektif maka dibutuhkan keterlibatan yang bersifat multilevel dan multistakeholder, bahkan juga multilevel of governance structures.15

13 htt ps://reports.weforum.org/global-competitiveness-report-2014-2015/defi ning-sustainable-competitiveness/

14 htt ps://reports.weforum.org/global-competitiveness-report-2014-2015/defi ning-sustainable-competitiveness/

15 htt ps://smartnet.niua.org/sites/default/fi les/resources/giz20162d0389en2dindo2dgerman2d-sustainable2dcities.pdf

Gambar 5.2 Lingkungan dan Keberlanjutan Sosial – Lingkaran Ganda (A Double Circle) (Sumber: Bending, dkk., 2019)

Gambar di atas menunjukkan area dalam lingkaran, tampak bahwa efisiensi menjadi basis penting untuk semuanya. Efisiensi diwujudkan dalam re-investment, re-training, repair, reuse, dan recycle. Dengan demikian, tampak jelas efisiensi merujuk pada minimalisasi pemborosan sumber daya. Selanjutnya, elemen-elemen yang berada di luar lingkaran terkoneksi dengan inovasi serta pekerjaan dan pendapatan. Bagian-bagian yang perlu mendapat perhatian sebagai dampak/ekses/eksternalitas dari proses interaksi yaitu: social dumping dan waste/leakage. Tentu saja bagaimana keduanya dapat diperbaiki ataupun dihindari melalui orientasi pencapaian sustainable society dan sustainable natural resource management.

D a l a m t u l i s a n n y a B e n d i n g d k k ., (2 019) m e n c o b a u n t u k mengoperasionalisasikan konsepnya, sebagai berikut16:

a. Fundamen Daya Saing (Competitiveness)

Pengembangan inovasi harusnya menjadi bagian integral dalam tata kehidupan masyarakat desa. Hal ini sesuai dengan tuntutan

16 Direinterprestasikan kembali oleh penulis dalam konteks desa

perkembangan jaman di era digital yang senantiasa mengalami perubahan dengan cepat. Program desa pintar dan desa digital idealnya dapat menjadi katalis penting untuk mengembangkan ‘frontier innovation’.

Orientasi investasi dalam wujud peningkatan kapabilitas sumber daya manusia perlu mendapat perhatian untuk mempertahankan sumber daya manusia yang handal agar tetap mau bekerja di desa. Cara lainnya adalah dengan membuat gerakan kembali ke desa sebagai sebuah bangun ‘mini’ diaspora dalam lingkup desa. Tentu saja hal ini tidak harus diartikan dalam dimensi fisik, namun integrasi modal jejaring (network capital) yang ‘bersinggungan’ dengan desa.

Politik anggaran pembangunan desa perlu semakin difokuskan pada penguatan fundamen daya saing. Sumber-sumber pembiayaan pembangunan desa perlu dengan mudah diakses dalam skema yang inklusif dan mencerminkan pada pembagian risiko dan tanggung jawab yang berkeadilan termasuk juga regulasi di tingkat desa perlu dibangun atau semakin diarahkan pada upaya membangun semangat kolaborasi, persaingan sehat, akuntabel, dan transparan. Sementara itu, untuk mengatasi ketidakpastian yang kerap kali terjadi maka keterampilan penduduk desa perlu untuk terus dikembangkan. Skill upgrading perlu menjadi bagian dalam pemanfaatan dana desa yang selama ini cenderung lebih pada pembangunan fisik. Sementara itu, sisi intangible kurang mendapat perhatian untuk dikembangkan pada kegiatan-kegiatan yang produktif. Tentu saja dalam tantangan wabah Covid-19, pembangunan desa juga perlu memiliki instrumen dan infrastruktur yang mampu mengembangkan less contact economy.

b. Fundamen Keberlanjutan (Sustainability)

Pembangun desa perlu diletakkan pada landasan yang semakin sensitif atas risiko perubahan iklim. Hal ini tentu saja tidak bisa diselesaikan oleh satu sektor, namun perlu mengintegrasikan semua sektor yang ada.

Pemerintah Indonesia sudah memiliki program Desa Proklim (proiklim).

Gagasan untuk mewujudkan zero carbon economy dari unit desa akan menjadi pilar penting. Namun tentu saja, bagaimana agar transisi menuju

‘zero carbon economy’ tanpa mengorbankan sisi kemanusiaan atau hak atas pekerjaan untuk penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

c. Fundamen Inklusivitas (Inclusiveness)

Melihat pembangunan desa dalam konteks kawasan berangkat dari pemahaman bahwa pada prinsipnya ekonomi tidak bergerak sendiri.

Spesialisasi dan kolaborasi dapat dibangun mengikuti keunggulan komparatif yang dimiliki. Hal ini dapat membangun poros-poros baru pembangunan yang lebih merata dalam kawasan perdesaan.

Dengan demikian, batas dan ruang inklusif sebetulnya mencakup partisipasi semua aktor dan potensi ekonomi untuk bekerja bersama-sama. Desa yang kuat membantu desa sekitar yang lemah dan belum berkembang. Ide desa gotong-royong (semangat solidaritas dan respons kolektif untuk saling bekerja sama) dalam menciptakan nilai tambah ekonomi hendaknya menjadi prinsip dalam melihat kawasan perdesaan.

Selanjutnya penting juga menggali bagaimana mekanisme kearifan lokal mampu mengendalikan tindakan eksploitasi ataupun pengabaian kepada pihak yang lemah. Bagaimana kearifan lokal membangun kehidupan kerja yang berimbang (work-life balance); melakukan perbaikan antara kehidupan yang layak (well-being) dan produktivitas. Demikian pula, seperti apa upaya-upaya untuk membangun kualitas dan aksesibilitas dari pelayanan-pelayanan dasar kepada seluruh masyarakat desa.