yang tepat. Argumentasi yang hampir sama juga dikemukakan oleh Leach dan Smith (2001) dalam konsep new local governance. Keduanya dengan tegas menekankan pentingnya mengintegrasikan antara old government concept yang lebih menekankan fungsi sebagai “instrumen” dan new governance concept, di mana lebih menekankan pada fungsi “proses” yang melibatkan negara dan masyarakat. Lebih jelasnya, Leach dan Smith (2001) menulis:
Governance is the process by which we collectively solve our problems and meet our society’s need. Government is the instrument we use.
This process is perceived as inclusive rather than confined to office holders. While government is widely seen as “them”, governance includes “us”. Government implies politicians and public officials governing, doing things, delivering service, with the rest of ‘us’
as passive recipients. Governance blurs the distinction between governors and governed. While government is about “rowing and providing”, governance is more about “steering and enabling”.
Pada bagian lain, Nanda (2006), secara tegas mengatakan, untuk dapat berhasil dalam melakukan reformasi konsep maupun kebijakan tata kelola maka tidak cukup hanya menghadirkan good governance, tetapi juga harus disertai oleh eksisnya kepemilikan (ownership), komitmen (commitment), serta tidak diabaikannya konteks budaya dan sejarah (cultural and historical context). Argumentasi senada dengan Nanda juga dikemukakan oleh Grindle (2011) dalam apa yang ia sebut sebagai a new generation thinking of governance bahwa desain konsep maupun implementasi tata kelola niscaya tidak mengabaikan ruang, waktu, dan konteks historis.
Dengan merujuk pada kerangka berpikir a new generation of thinking tersebut, maka Hidayat (2016), telah menyodorkan gagasan konsep alternatif yang ia sebut sebagai proper governance. Konstruksi konsep proper governance yang diajukan oleh Hidayat, bertumpu pada, sedikitnya, empat prinsip utama, yaitu: Developmental, Democratic, Socially Inclusive, dan Cultural and Historical Context (Local Content). Ini berarti, arena state dan society harus didudukkan secara setara (sama pentingnya). Di sisi lain, keberadaan dari governance itu sendiri harus lebih diposisikan sebagai alat untuk mencapai tiga tujuan hakiki sebagaimana dikemukakan di
atas, dengan memberikan perhatian khusus terhadap keadilan (equity) dan inklusivitas (inclusiveness). Pertanyaannya kemudian adalah, apakah konsep maupun implementasi tata kelola pembangunan desa di Indonesia, pada umumnya, telah dihadirkan dengan tidak semata-mata bertujuan untuk memenuhi persyaratan administratif—mengintegrasikan antara struktur dan aktor,—tetapi juga telah dirancang secara tepat (proper) sesuai kebutuhan, dengan mempertimbangkan “kultur” (tata nilai) yang berlaku dalam masyarakat. Pada konteks inilah kita sampai pada arti penting dari upaya melakukan revitalisasi model pembangunan perdesaan dengan merujuk pada konsep proper governance.
Pada BAB 3. telah dikemukakan dan diulas secara komprehensif tiga model pembangunan perdesaan berbasis masyarakat, yaitu: Community-Based Forest Management (CBFM); Integrated Agriculture Development (IAD); dan Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM). Secara keseluruhan, bila ditarik generalisasi tentang esensi dari tiga model pembangunan berbasis masyarakat tersebut, di antara persamaan mendasarnya adalah terletak pada penekanan akan pentingnya memosisikan peran komunitas lokal sebagai lokus dalam tata kelola pembangun perdesaan. Kehadiran konsep dan model pembangunan perdesaan harus berorientasi pada penguatan dan pengakuan atas hak dari komunitas lokal dalam mengelola, mengontrol, dan menggunakan, serta mendapatkan manfaat dari sumber daya yang ada. Intervensi peran dari berbagai pemangku kepentingan, seperti dalam bentuk bantuan dana dan program dari pihak dalam dan luar negeri, bukanlah dimaksudkan untuk memanfaatkan komunitas lokal untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari para pemangku kepentingan (outsiders). Tetapi, harus berorientasi pada upaya mendukung ataupun membantu komunitas lokal dalam mencapai tujuan yang mereka yakini, melalui penguatan peran dalam pemanfaatan dan tata kelola sumber daya alam.
Dengan bertumpu pada kerangka berpikir pembangunan perdesaan berbasis masyarakat yang diungkap dalam BAB 5., maka upaya aktualisasi konsep dan model yang dapat dikontribusikan antara lain, melakukan kontekstualisasi tiga model pembangunan berbasis masyarakat tersebut pada kasus tiga tipologi desa, yaitu: Desa Pertanian, Desa Pesisir/Perikanan, dan Desa Kehutanan. Tiga model pembangunan perdesaan berbasis
masyarakat tersebut, tentunya, masih bersifat generik. Oleh karena itu, niscaya menghendaki adanya penyesuaian dengan karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya (kearifan lokal) pada tiga kategori desa sehingga dapat diaplikasikan secara tepat (proper). Untuk tujuan tersebut, sedikitnya ada 3 (tiga) dimensi utama yang menjadi fokus kerja akademik, yaitu: a) memahami secara mendalam esensi dari konsep pembangunan berbasis masyarakat itu sendiri (IAD, EAFM, dan CBFM); b) mengevaluasi konsep dan kebijakan pemerintah Indonesia dalam pembangunan perdesaan; dan c) mengevaluasi realitas implementasi program pembangunan perdesaan pada tingkat praksis. Tiga tahapan ini selanjutnya dijadikan sebagai asupan utama dalam melakukan aktualisasi konsep pembangunan perdesaan berbasis masyarakat dengan merujuk pada empat prinsip dari konsep proper governance (Developmental, Democratic, Socially Inclusive, dan Local Context). Lebih spesifiknya, konstruksi aktualisasi konsep dan model pembangunan perdesaan berbasis masyarakat yang akan dihasilkan tersebut mencakup sedikitnya empat elemen utama, yaitu model kelembagaan, pembiayaan, pendampingan, dan strategi keberlanjutan pembangunan. Secara singkat, alur pikir aktualisasi konsep dan model tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.1.
Konsep dan Kebijakan
Prinsip Proper Governance dan
Inovasi Sosial Konstruksi Aktualisasi Konsep & Model
Gambar 6.1 Aplikasi Proper Governance dalam Aktualisasi Konsep dan Model Pembangunan Perdesaan Berbasis Masyarakat.
Pada Gambar 6.1. ditunjukkan ada empat elemen utama dari konstruksi aktualisasi konsep dan model pembangunan perdesaan berbasis masyarakat, yaitu model kelembagaan, pembiayaan, pendampingan, dan
strategi keberlanjutan pembangunan. Empat elemen model ini selanjutnya akan diformulasi berdasarkan pada empat prinsip konsep proper governance, yaitu developmental, democratic, socially inclusive, dan local content. Dalam narasi yang lebih lugas, misalnya saja, pada proses desain kelembagaan (elemen pertama), akan dilakukan dengan memastikan bahwa beberapa parameter utama dari empat prinsip proper governance eksis di dalamnya.
Dengan demikian desain kelembagaan yang dihasilkan, betul-betul merefleksikan hadir dan inherennya prinsip developmental, democratic, socially inclusive, dan local content. Hal yang sama juga berlaku dalam desain tiga elemen lainnya. Inilah sejatinya, bila harus ditegaskan, di antara perbedaan esensial antara rancang-bangun aktualisasi konsep dan model pembangunan perdesaan yang akan dihasilkan bila dibandingkan dengan desain kelembagaan lainnya yang sudah ada, yaitu dibangun dengan bertumpu pada empat prinsip proper governance.
Bagaimana keterkaitannya dengan konsep inovasi sosial?. Secara umum, sejauh ini inovasi sosial cenderung didefinisikan sebagai suatu proses menemukan dan menerapkan solusi baru untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah sosial (Phills Jr, Deiglmeier, dan Miller, 2008). Mengingat, essensi dari inovasi sosial adalah upaya untuk mengatasi kebutuhan sosial yang belum terpenuhi, dan tidak dapat diselesaikan hanya oleh pemerintah atau pemangku kepentingan tertentu, maka secara implisit konsep ini mengisyaratkan perlunya suatu pendekatan unik untuk memecahkan permasalahan sosial yang dihadapi tersebut. Dengan demikian, sebagai suatu aktivitas, maka inovasi sosial niscaya berbentuk kolaborasi lintas sektor publik, swasta dan warga, serta harus bersifat lintas batas-batas tradisional (Tucker, Ali, dan Sanders, 2007). Ini berarti menyiratkan bahwa gagasan inovasi sosial harus berdampak positif bagi kehidupan masyarakat, pada umumnya, dan dalam peningkatan kapasitas masyarakat untuk bertindak, pada khususnya (The Young Foundation, 2012)
Dalam diskursus kontemporer, isu inovasi sosial telah mendapat banyak perhatian baik dari kalangan akademisi maupun praktisi kebijakan.
Dengan mengacu pada kisah sukses dari beberapa negara Eropa dan Amerika Utara dalam melakukan inovasi sosial, sejumlah contoh kasus keberhasilan pun telah diangkat dan diperbicangkan dalam wacana akademik. Misalnya saja, sitem Charter Schools di Amerika utara, sebagai
model pendidikan alternatif; the fair-trade movement, untuk mengatasi kondisi ekonomi para petani dan untuk menciptakan lingkungan yang berkelanjutan; micro-finance model, untuk mengatasi mereka yang tidak dapat memperoleh akses terhadap layanan perbankan konvensional, dan seterusnya (The Hope Institute, 2017: 250). Namun demikian, studi-studi yang secara khusus berupaya untuk melakukan eksplorasi tentang adaptasi transkultural dalam praktik inovasi sosial pada konteks komunitas tentertu, belum banyak dilakukan oleh para akademisi. Studi yang telah dan sedang kami lakukan ini berupaya untuk mengisisi kekosonan tersebut, dengan lebih memfokuskan perhatian pada tiga tipologi perdesaan di Indonesia, yaitu, Desa Pertanian, Desa Hutan, dan Desa Nelayan.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Hope Institute (2017: 251-52), bahwa inovasi sosial itu sendiri adalah bidang yang multi-lapis dan suatu arena yang lebih mengarus utamakan praktik nyata (practice-led field). Oleh karena itu, dapat dimengerti jika tidak terdapat satu definisi baku tentang inovasi sosial yang disepakati secara universal. Kalau pun ada, lebih bersifat “definisi oprasional” dalam rangka membatasi ruang-lingkup studi, atau aktivitias inovasi sosial yang sedang dilakukan. Di antara banyak definisi yang ada tentang inovasi sosial, Tim peneliti kami secara khusus merujuk pada definisi yang digunakan oleh Theoretical, Empiris and Policy Foundations for Building Social Innovation in Europe (TEPSIE), yang mengatakan: Inovasi sosial adalah solusi baru (produk, layanan, model, pasar, proses, dll.) yang dapat memenuhi kebutuhan sosial (lebih efektif daripada solusi yang telah ada) dan mengarah pada adanya perbaikan kapabilitas dan relasi baru, serta perbaikan dalam penggunaan aset dan sumber daya (The Young Foundation, 2012: 18-21).
Merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh TEPSIE di atas, dapat dicatat setidaknya ada lima dimensi utama inovasi sosial, yaitu: (1) kebaruan, (2) pemenuhan kebutuhan sosial, (3) realisasi ide kedalam implementasi, (4) efektivitas, dan (5) peningkatan kapasitas masyarakat untuk bertindak. Dengan kata lain, inovasi sosial adalah sesuatu yang baru, dan harus diterapkan dengan cara baru. Proses tersebut secara eksplisit dirancang untuk memenuhi kebutuhan sosial dengan cara yang lebih efektif daripada solusi yang telah ada, guna menghasilkan
keluaran (output) yang lebih baik dan terukur. Inilah sejatinya essensi dari inovasi sosial, yaitu upaya meningkatkan kapasitas masyarakat untuk bertindak melalui pengembangan tata kelola aset dan kemampuan yang dimiliki (Howaldt dan Schwarz, 2012). Secara singkat, keterkaitan antara lima dimensi inovasi sosial sebagaimana dikemukakan di atas, dapat ditunjukkan pada Gambar 6.2.
Gambar 6.2 Aplikasi Social Innovation dalam Aktualisasi Konsep dan Model Pembangunan Perdesaan Berbasis Masyarakat.
Sehubungan dengan studi yang kami lakukan, lima dimensi inovasi sosial tersebut telah di-derivasi, dan/atau di-kontekstualisasi sebagai berikut.
Pertama, Kebaruan. Dalam hal ini, unsur kebaruan bukan sama sekali dimaksudkan sebagai sebagai suatu kebaruan yang universal atau mutlak, tetapi lebih merupakan 'kebaruan relatif' untuk memenuhi kebutuhan sosial (lebih efektif daripada solusi yang telah ada) dan mengarah pada adanya perbaikan kapabilitas dan relasi baru, serta perbaikan dalam penggunaan aset dan sumber daya (The Young Foundation, 2012). Untuk itu, studi yang kami lakukan mencoba menelusuri kasus-kasus yang menunjukkan adanya inovasi sosial baru di tiga tipologi desa (Pertanian, Kehutanan, dan Nelayan) yang menjadi objek penelitian. Ini termasuk, penemuan solusi baru, atau hanya tentang rekonstruksi atau elaborasi dari solusi yang ada. Kedua, Memenuhi Kebutuhan Sosial. Dimensi kedua ini lebih diartikulasi sebagai, seberapa efektif inovasi sosial yang dilakukan telah memenuhi kebutuhan sosial.
Ketiga, Realissasi Ide kedalam Implementasi. Dimensi ini mencakup implementasi praktis dari ide inovasi sosial. Oleh karena itu, meskipun sebuah ide tentang inovasi sosial telah dikonstruksi dan diuji secara akademis, namun ide tersebut harus dibuktikan pada tingkat empris (diimplementasikan), sehingga memenuhi kualifikasi dan layak diklaim sebagai inovasi sosial. Pada konteks inilah kita sampai pada arti penting dari dimensi tatakelola yang tepat (proper governance) sebagai salah satu diterminan faktor dari keberhasilan implementasi inovasi sosial.
Keempat, adalah Efektivitas. Dimensi ini berfokus pada gagasan bahwa inovasi sosial harus lebih efektif dalam hal hasil (seperti kualitas, kepuasan, biaya, dan dampak), dibandingkan dengan solusi yang telah ada. Pada penelitian yang kami lakukan, dimensi ini dikaji melalui beberapa kasus inovasi sosial di tiga tipologi desa yang diteliti.
Kelima, Meningkatkan Kapasitas Masyarakat untuk Bertindak. Dimenensi ini menekankan bahwa inovasi sosial bertujuan tidak hanya untuk mengatasi kebutuhan sosial yang belum terpenuhi secara efektif, tetapi juga untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Oleh karena itu, inovasi sosial menyangkut proses inklusif yang melibatkan pengguna, penerima manfaat, minoritas dan orang-orang terpinggirkan dengan tujuan meningkatkan kapasitas mereka untuk bertindak (The Hope Institute, 2017:
255). Dalam upaya mengkaji dimensi ini, maka pada penelitian yang kami lakukan, fokus perhatian ditujukan pada, antara lain, mengidentifikasi dan menganalisis dampak inovasi sosial terhadap peningkatan kapasitas masyarakat untuk bertindak, baik pada pelaksanaan program maupun keberlanjutannya, di tiga tipologi desa yang diteliti.
Aplikasi konsep proper governance dan social innovation dalam aktualisasi model pembangunan berbasis masyarakat, sebenarnya telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI (2020), dalam skema model Pancung Alas. Konstruksi model Pancung Alas--untuk tata kelola hutan inklusif dan berkelanjutan--yang dihasilkan oleh P2E-LIPI (2020) tersebut, memasukkan struktur, aktor, pembiayaan, dan prosedur, yang keempatnya tentu akan berhasil apabila ada inovasi sosial dan dilaksanakan dengan menganut konsep proper-governance (tata kelola yang tepat). Hal ini memunculkan adanya pertanyaan kritis terhadap tata kelola pembangunan perdesaan yang proper dan memanfaatkan inovasi
sosial. Apakah implementasi tata kelola pembangunan desa di Indonesia, pada umumnya, telah dihadirkan dengan tidak semata-mata bertujuan untuk memenuhi persyaratan administratif—mengintegrasikan antara struktur dan aktor,—tetapi juga telah dirancang secara tepat (proper) sesuai kebutuhan, dengan mempertimbangkan “kultur” (tata nilai) yang berlaku dalam masyarakat. Dari hasil studi literatur dan serangkaian FGD yang telah dilakukan, secara umum dapat dikatakan bahwa kelemahan mendasar dari konsep pengembangan perdesaan di Indonesia sejauh ini, antara lain: kebijakan cenderung state centre, fragmented (tidak terintegrasi), dominasi strategi one size fits all, dan perdesaan hanya difungsikan sebagai ruang produksi sektor pertanian.
Oleh karena itu, diperlukan suatu konsep dan model, yang tidak saja melibatkan negara, tetapi juga masyarakat dengan kebijakan dan strategi yang holistik atau terintegrasi dalam pembangunan desa. Perdesaan tidak hanya sebagai ruang produksi dan ruang konsumsi, namun juga berperan dalam mengembangkan modal sosial, berorientasi pada lokal, nasional, dan internasional. Dengan demikian maka fokus utamanya adalah melakukan aktualisasi tata kelola pembangunan perdesaan yang berbasis masyarakat dengan mengimplementasikan proper governance dan inovasi sosial. Dalam hal ini, pemerintah pusat, provinsi, kabupaten tetap dapat melakukan intervensi kebijakan pembangunan ke desa, namun intervensi pemerintah ini bukan untuk menutup peluang bagi adanya inisiatif pembangunan yang berasal dari masyarakatnya. Peran pemerintah selain sebagai regulator juga dapat menjadi fasilitator yang memberikan ruang dan keleluasaan bagi terciptanya inovasi di dalam masyarakat.Adanya interaksi dua arah yang saling mendukung ini maka akan menjadi embrio model pembangunan perdesaan yang benar-benar mampu menciptakan sinergi pembangunan perdesaan yang mengoptimalkan potensi sumberdaya yang ada di desa, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
Perlu dipahami bahwa pembangunan perdesaan ini tidak bergerak di ruang hampa melainkan ada konteksnya. Konteks pembangunan perdesaan dibingkai oleh sistem tata kelola pemerintahan desa yang setidaknya memiliki dua isu penting dalam pembangunan desa yang saling berkaitan. Pertama, tata kelola pemerintahan desa itu sendiri.
Kedua, tata kelola pembangunan perdesaan berbasis masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Indonesia mengakui keberadaan desa dinas dan desa adat. Kedua status desa tersebut tidak untuk dipertentangkan ataupun diperbandingkan namun harus digabungkan dalam suatu kerangka model pembangunan perdesaan berbasis masyarakat yang juga menjadikan kearifan lokal sebagai aspek penting bagi terciptanya tata kelola pembangunan desa yang tepat.
Namun demikian, antara tata kelola pemerintah desa dengan tata kelola pembangunan berbasis masyarakat yang saling terkait satu sama lain tersebut perlu dielaborasi sehingga menjadi konteks pembangunan desa yang lebih utuh. Keutuhan ini menjadi penting dikarenakan tata kelola pembangunan perdesaan berbasis masyarakat tentunya tidak bisa dilepaskan dari tata kelola pemerintahan desa. Hal ini dikarenakan tata kelola perdesaan berbasis masyarakat juga akan terkait dengan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintahan desa itu.
Sebagai catatan penutup, perlu digarisbawahi bahwa aktualisasi konsep dan model pembangunan perdesaan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan dua unsur penting yaitu pemerintah dan masyarakat. Secara bersama-sama, keduanya menjadi subyek dan sekaligus obyek dalam tatakelola (governance). Pemerintah dan masyarakat bisa menjadi trigger dan sekaligus inisiator dalam menciptakan inovasi sosial yang mampu meningkatkan pembangunan di desa. Masing-masing tentunya memiliki sejumlah kekuatan dan kelemahannya. Ide utama dari sinergi keduanya adalah memanfaatkan kekuatan masing-masing untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan yang selama ini dihadapi dalam proses pembangunan perdesaan.
Oleh karena itu, solusi terbaik yang harus dilakukan ke depan adalah menghadirkan model pembangunan (model hibrid) yang mampu memberikan ruang bagi terciptanya sinergitas yang optimal antara pemerintah dan masyarakat, yang pada akhirnya akan mampu mewujudkan transformasi pembangunan desa yang semakin mandiri dan berkelanjutan.
Inovasi sosial (social innovation), yaitu kebaruan dalam pemenuhan kebutuhan sosial), tidak dipungkiri, berperan sebagai sebagai salah satu faktor penentu bagi terwujudnya apa yang disebut Ketahanan
Pembangunan Berbasis Masyarakat (Community Based Development Resilience). Namun, inovasi sosial dengan sendirinya tidak akan menghasilkan output dan outcome yang optimal (seperti, efektivitas, peningkatan kapasitas masyarakat dan keberlanjutan program) jika tidak disertai oleh adanya tata kelola yang tepat (proper governance). Singkatnya, inovasi sosial dan tata kelola yang baik, harus bekerja untuk saling melengkapi, seperti dua sisi mata uang. Untuk itu, sinergi yang tepat antara peran pemerintah dan peran masyarakat niscaya diperlukan untuk mencapai output dan outcome yang optimal dari proses inovasi sosial. Kolaborasi antara negara dan masyarakat dalam konteks ini setidaknya mencakup empat dimensi utama, yaitu dalam hal: pengaturan kelembagaan, skema pembiayaan, pendampingan, dan keberlanjutan program pembangunan.
Acheson, J. M. (1981). “Anthropology of Fishing”, Annual Review of Anthropology. Vol 10, 275-316. Bisa diakses dari: https://doi.org/10.1146/annurev.an.10.100181.001423 Adhuri, D., Nadjib, M., Wahyono, A., Indrawasih, R., Suryanto, J., Abdurrahim, A.Y.,
Putri, I. A. P., Syafii, I., Sarana, J., Lestari, E., Rahmayanti, A.Z., Cahyono, B. D., Illiani, M., Ratri, A. M., Febiyansyah, P. T., & Triyanto. (2019). Program Prioritas Nelayan, Peningkatan Nilai Tambah Ekonomi Nelayan: Implementasi Model Pengentasan Kemiskinan di Wilayah Pesisir. Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan-LIPI.
Agrawal, A., Chhatre, A., & Hardin, R. (2008). Changing Governance of the World’s Forests. 320(June), 1460-1462. Bisa diakses dari: https://doi.org/10.1126/
science.1155369
Akbar, A., Flacke, J., Martinez, J., & Van Maarseveen, M. F. A. M. (2020). Participatory planning practice in rural Indonesia: A sustainable development goals-based evaluation. Journal of Community Development Society, 51(3), 243-260. Bisa diakses dari https://doi.org/10.1080/155755330.2020.1765822
Alene, A. D., & Manyong, V. M. (2007). The effects of education on agricultural productivity under traditional and improved technology in Northern Nigeria:
An endogenous switching regression analysis. Empirical Economics, 32(1), 141-159. Bisa diakses dari https://doi.org/10.1007/s00181-006-0076-3
Anderies, J. M., Janssen, M.A., & Ostrom, E. (2004). A Framework to Analyze the Robustness of Social-ecological Systems from an Institutional Perspective.
Ecology and Society, 9(1). Bisa diakses dari https://doi.org/10.5751/es-00610-090118