• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Perdesaan Berbasis Masyarakat yang Berdaya Saing

Pembangunan ekonomi diwujudkan dengan berbagai kebijakan makro dan mikro (yang menjadi arah pelaksanaan program pusat dan daerah) untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera. Terminologi masyarakat sejahtera terjadi bila pendapatan masyarakat secara agregat mengalami peningkatan. Peningkatan pendapatan tersebut merupakan cerminan dari proses terjadinya peningkatan nilai tambah akibat proses produksi yang dilakukan masyarakat (baik individu maupun komunitas).

Proses produksi yang dilakukan harus mengarah pada penciptaan ekonomi produktif di mana menurut Porter penciptaan ekonomi produktif harus dilakukan dengan menciptakan lingkungan strategis baik makro maupun mikro.8 Peningkatan kapasitas ekonomi lokal (dalam hal ini perdesaan) akan menjadi pondasi bagi peningkatan kapasitas ekonomi di atasnya (nasional). Berdasar pemahaman ini, kedudukan perdesaan sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi dinilai penting sehingga melalui UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pembangunan perdesaan diyakini akan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat desa. Hal tersebut menjadi relevan karena konsep peningkatan kesejahteraan terkait dengan kemiskinan, di mana desa diyakini menjadi wilayah paling krusial dalam menghadapi kemiskinan sesuai fakta yang ditunjukkan dalam data BPS (2020c) bahwa angka kemiskinan di wilayah perdesaan lebih tinggi hampir dua kali lipat dari wilayah perkotaan.

Langkah peningkatan kapasitas ekonomi wilayah perdesaan melalui berbagai aspek produksi (pertanian dalam arti luas; pendidikan;

kesehatan; infrastruktur dalam bentuk fisik dan non fisik) dilakukan

8 Michael E.Porter. (1993) Keunggulan Bersaing, Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggul.

dengan tujuan mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan masyarakat terjadi bila terdapat perubahan sosial. Hal tersebut mengacu pada pandangan Adam Smith bahwa perubahan sosial terjadi karena aktivitas ekonomi manusia.9 Interaksi yang berlangsung dalam aktivitas ekonomi diyakini akan mendorong terjadinya perubahan sosial. Hubungan tersebut memunculkan konsep modal sosial sebagai akibat adanya kelas sosial dan bentuk-bentuk ketimpangan (Field, 2010). Modal sosial yang dimaksud merupakan bentuk realitas yang diamati oleh pemikir sosiologi hingga menghasilkan pandangan berupa jumlah sumber daya, aktual atau maya yang berkumpul pada sesorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalkan (Bourdieu, 1997).

Pemikiran lain terkait konsep modal sosial dianalisis oleh Coleman (1994) hingga mendefinisikan modal sosial sebagai seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif ke arah identitas yang lebih mapan. Pandangan Putnam (2000) dalam memahami tentang modal sosial dan dijadikan banyak rujukan mengungkapkan bahwa gagasan inti dari modal sosial adalah jaringan sosial yang memiliki nilai, kontak sosial memengaruhi produktivitas individu dan kelompok.

Berdasar beberapa pandangan tentang modal sosial tersebut dikaitkan dengan realitas yang ada dalam ranah pembangunan ekonomi perdesaan menjadi hal penting untuk dipahami. Modal sosial sebagai instrumen sosial dapat menggerakkan ekonomi masyarakat perdesaan dalam lingkup individu maupun kelompok. Peningkatan kegiatan produksi ekonomi desa akan mendorong daya saing berdasar potensi wilayah baik dengan desa dalam satu wilayah administrasi maupun dengan luar wilayah administrasi lain, bahkan antar batas negara. Pemahaman wilayah dalam konteks pembangunan ekonomi ada banyak terminologi, salah satunya definisi dari Murty (2000), wilayah sebagai suatu area geografis, teritorial atau tempat yang dapat berwujud sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik (kabupaten), dan perdesaan. Dalam memahami wilayah

9 htt ps://pspk.ugm.ac.id/2009/07/15/pembangunan-dan-kesejahteraan-masyarakat-sebuah-keti-dakberdayaan-para-pihak-melawan-konstruksi-neoliberalisme/

banyak aspek yang memengaruhi mencakup suatu kesatuan ekonomi, politik, sosial, administrasi, iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan (Rustiadi dkk., 2009). Kebijakan pemerintah dalam proses pembangunan perdesaan dengan harapan dapat meningkatkan daya saing ditempuh dengan program pemberdayaan masyarakat.

Keberhasilan program pemberdayaan masyarakat dilandasi pada tiga hal utama, yaitu norma, perilaku, dan hubungan sosial (Sulistyani, 2004). Ketiga hal tersebut harus berjalan secara bersamaan membentuk kepercayaan. Kepercayaan dalam bentuk keterkaitan interpersonal sebagai dasar jaringan kerja merupakan sumber daya modal sosial yang dapat diinvestasikan dalam barang modal untuk tujuan menurunkan ongkos produksi barang privat dan publik (Rustiadi dkk., 2009). Proses pembangunan dengan mengedepankan modal sosial membutuhkan waktu yang lama karena perlu adanya proses membangun kepercayaan dalam komunitas masyarakat. Setelah terbentuk kepercayaan di dalam komunitas masyarakat maka kerja sama antarindividu dan kelompok dalam menjalankan rencana program kegiatan dapat berlangsung dalam waktu yang singkat. Dengan demikian, pemahaman aspek dan unsur yang melandasi terbangunnya modal sosial penting dipahami sebagai dasar pola pembangunan sosial yang akan diterapkan.

Pembangunan perdesaan tidak terlepas dari kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Untuk itu, pembangunan perdesaan harus melibatkan unsur pemberdayaan dan peningkatan kualitas SDM. Keberadaan SDM yang kompeten akan mendorong terciptanya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Pembangunan SDM yang kompeten, pada dasarnya perlu memenuhi beberapa prinsip, yaitu prinsip multilayer di mana pembangunan SDM mencakup seluruh tingkatan level masyarakat, prinsip penyesuaian maksudnya pengembangan SDM memerhatikan perkembangan ekonomi dan struktur industri, prinsip jangka panjang, pengembangan SDM merupakan sebuah pekerjaan besar dan berkesinambungan, prinsip penerapan di mana pengembangan SDM bersifat aplikatif, komprehensif, dan memenuhi tujuan utama pengembangan SDM (Wu, 2015).

Peningkatan kualitas SDM memang memerlukan waktu, kesinambungan program dan harus bersifat komprehensif. Dengan demikian, peran

berbagai stakeholder sangat diperlukan pada berbagai level dan kondisi.

Peningkatan daya saing masyarakat di perdesaan akan terjadi apabila peran dari setiap elemen berjalan sesuai dengan tanggung jawabnya.

Hasil penelitian di Ukraina menunjukkan bahwa pengembangan wilayah perdesaan memerlukan kontrol yang komprehensif, meningkatkan variasi kegiatan ekonomi, dan dukungan peraturan perundangan yang memadai (Kulish, 2016). Kulish (2016) menunjukkan hasilnya terjadi peningkatan daya saing dan pembangunan ekonomi dan sosial pada wilayah perdesaan tersebut. Hal ini pula sejalan dengan produktivitas menjadi kunci utama untuk berdaya saing (Krugman, 1991; Porter & Ketels, 2003).

Kendati demikian, pemahaman mengenai daya saing berbeda-beda, yang menimbulkan perdebatan antara Merkantilis, Klasikis, Strategis, dan Realist (Thompson & Ward, 2005). Pemerintah Inggris telah menetapkan lima area prioritas untuk mendorong pertumbuhan produktivitas, yang tertulis pada gambar di bawah ini.

Gambar 3.4 Lima Prioritas untuk Meningkatkan Produktivitas (Sumber: Thompson & Ward, 2005).

Investasi fisik menjadi hal yang penting dalam menunjang produktivitas yang mendukung peningkatan daya saing. Peningkatan skill dan SDM merupakan langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yang menjadi input bagi produksi dan perkembangan teknologi. Kemudian, peran inovasi akan semakin mendorong pertumbuhan ekonomi yang

lebih tinggi. Inovasi akan terbentuk salah satunya dengan melakukan penelitian dan pengembangan. Kompetisi juga berkontribusi terhadap daya saing, namun hal ini berdampak negatif terhadap pertumbuhan produktivitas. Hal yang terakhir, perusahaan dan kewirausahaan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan bisnis.

Peningkatan produktivitas masyarakat akan meningkatkan daya saing.

Pembangunan ekonomi di tingkat perdesaan yang mengarah pada peningkatan produktivitas tentu juga akan meningkatkan kemampuan daya saing bagi perdesaan tersebut.

Namun demikian, Wu (2015) menuliskan bahwa pembangunan SDM di wilayah perdesaan harus mencapai empat tujuan besar. Pertama, meningkatkan kualitas budaya, moral, kemampuan profesional, dan manajemen SDM. Hal ini dilakukan dengan penguatan teknik pendidikan, pendidikan masyarakat, dan pendidikan dasar. Kedua, melakukan kontrol terhadap pertumbuhan populasi di perdesaan dengan menerapkan keluarga berencana. Ketiga, optimalisasi alokasi SDM sehingga semua komponen warga terlibat dalam pembangunan perdesaan. Keempat, melaksanakan pengembangan SDM dengan juga menciptakan sistem jaminan perdesaan. Hal ini untuk memberikan jaminan pekerjaan kepada setiap warga yang terlibat dalam pengembangan SDM. Oleh karenanya, pengembangan SDM harus seiring sejalan dengan proses bisnis yang ada dalam perdesaan tersebut.

Apabila hal ini terealisasi maka perlu ada proses selanjutnya yaitu evaluasi program pengembangan SDM untuk meningkatkan daya saing perdesaan.

Evaluasi dimaksud untuk terus meningkatkan kemampuan daya saing di wilayah perdesaan. Peningkatan daya saing perdesaan di Rumania cukup mengacu pada peningkatan sektor utama penggerak ekonomi di perdesaan tersebut, yaitu pertanian (Bojnec & Ferto, 2009; Fogarasi, 2008;

Sarris dkk., 1999). Indeks kompetitif perdesaan menjadi gambaran daya saing antarwilayah dalam suatu regional tertentu (Tudor, 2016). Tudor dalam mengungkapkan indikator yang dimasukkan dalam melakukan model evaluasi kompetitif pada tingkat perdesaan (Gambar 3.5).

Gambar 3.5 Model Evaluasi Kompetitif Perdesaan (Sumber: Tudor, 2016).