Tipologi Wilayah
Bab 3
dalam tata kelola hutan yang berkesinambungan. Lebih dari itu, melalui model CBFM, diyakini dapat lebih memastikan hadirnya kebijakan yang baik (good policy) dalam rangka melahirkan keterkaitan antara tata kelola hutan dengan pengurangan kemiskinan, serta menjaga kesinambungan lingkungan (World Bank, 2008).
Pelibatan pengelola lokal dalam membuat keputusan, penerapan kebijakan, pengawasan atau evaluasi hasil terkait dengan manajemen hutan memberikan kepastian dalam pemberdayaan masyarakat (Ostrom, 1990; Persha dkk., 2011; Wollenberg dkk., 2007). Namun demikian, Erbaugh (2019) dalam studinya menjelaskan bahwa dalam kasus pengelolaan hutan berbasis komunitas di Indonesia terdapat tiga hal yang menjadi perhatian, yaitu kesejahteraan dan tujuan baik tidak selalu sejalan, perhutanan sosial tampaknya masih pilihan karena mudah mendapatkan dan sangat tergantung dari pemerintah, dan terjadi jarak antara sumber daya yang diberikan dengan peningkatan kapasitas, pemantauan, dan evaluasi hasil pengelolaan.
Secara umum, konsep dasar dari CBFM bertumpu pada penguatan dan pengakuan atas hak dari komunitas lokal dalam mengelola, mengontrol, dan menggunakan, serta mendapatkan manfaat dari sumber daya hutan. Selain itu, penerapan CBFM menjadi cara bagi pemerintah dalam melakukan transfer hak khusus dan tanggung jawab kepada individu dan kelompok/komunitas (Anderson dkk., 2015). Pemberian tanggung jawab ini merupakan strategi adaptif yang menunjukkan bahwa pemerintah memiliki keterbatasan dan sebagai upaya menekan biaya operasional pengelolaan hutan (Argüelles dkk., 2017 dalam Erbaugh, 2019). Hal ini menunjukkan konsep dasar dari CBFM mendudukkan secara tegas peran dari komunitas lokal sebagai lokus dalam tata kelola hutan. Untuk lebih jelasnya, World Bank (2008), menyebutkan:
“CBFM includes the empowerment of, or in some cases, the recognition of the rights of, local communities to sustainably manage, control, use, and benefit from local forest resources. It implies a legal, political, and economic framework that puts local people at the center of forestry. Community objectives for managing forest land can include conservation, sustainable use, local control, economic
development, and mixes of these objectives. While the state and large private operators have a role to play in the management of forests, in many instances, improved effectiveness, equity, and efficiency are outcomes of community-based approaches”.
Berpijak pada prinsip dasar sebagaimana dikemukakan di atas, maka dalam implementasi konsep CBFM, asumsi dasar yang harus dibangun bukanlah didasarkan pada pemahaman bahwa telah terjadi kekosongan dalam tata kelola hutan (vacant forest management) dan selanjutnya diarahkan untuk mengintrodusir dan memaksakan “tata kelola lain”
(outside management). Tetapi, lebih didasarkan pada asumsi akan pentingnya memahami secara teliti dan penuh kehati-hatian tentang tradisi, sistem kepemilikan, dan pemanfaatan hutan yang berlaku pada komunitas lokal (World Bank, 2008). Dengan demikian, CBFM hadir bukan untuk menegasikan sistem dan tradisi tata kelola hutan yang telah berlaku dalam komunitas lokal, tetapi lebih sebagai upaya mengakui, mendukung, dan memperkuat keberadaannya.
Kalaupun pada tataran praksis, implementasi CBM harus melibatkan intervensi peran dari berbagai pemangku kepentingan, seperti misalnya, dalam bentuk bantuan dana dan program dari pihak dalam dan luar negeri. Namun demikian, keberadaan dari sejumlah intervensi tersebut bukanlah dimaksudkan untuk memanfaatkan komunitas lokal untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari para stakeholders. Di sisi lain, penerapan perhutanan sosial dalam konsep CBFM mungkin memberikan solusi, namun dapat menciptakan ketidakadilan karena hak eksklusif, partisipasi, dan akses, dan persaingan internal kelompok dalam klaim terhadap lahan dan sumber daya hutan (Wong dkk., 2020). Untuk itu, implementasi CBFM yang benar adalah harus berorientasi pada upaya untuk mendukung komunitas lokal dalam mencapai tujuan mereka melalui penguatan peran dalam pemanfaatan dan tata kelola hutan. Lebih spesifiknya, the World Bank (2008), menggarisbawahi sebagai berikut:
“A variety of outside interventions can be used to support CBFM, including grants and loans, policy support programs and projects, global environment funds, and biodiversity conservation activities.
However, CBFM is not the use of communities to achieve the objectives of outsiders, no matter how laudable these objectives may be. CBFM is the empowerment of communities to use and manage forests to achieve their own objectives”
Menimbang pada tantangan yang ada dan komitmen maka perlu untuk dilakukan suatu telaah yang lebih komprehensif akan masa depan desa yang berada di kawasan hutan. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) (2005) menyebutkan bahwa pendekatan analisis pasar dan pengembangan (Market Analysis and Development [MA&D]) dapat menjadi instrumen dalam memahami struktur dalam upaya pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan pemanfaatan sumber daya hutan. Pendekatan ini bersifat partisipatoris dengan memerhatikan isu capacity building, tinjauan aspek sosial, dan lingkungan yang sejalan dengan teknologi, komersial, serta keuangan atas pendirian usaha. Untuk mengukur hasil capaian, maka beberapa indikator digunakan, seperti dampak kebijakan, ekonomi, sosial, ekologi, dan kelembagaan.
Studi yang dilakukan oleh Rodríguez-Carreras, Úbeda, Outeiro, dan Asperó (2013) cukup menarik untuk diulas. Mereka melakukan telaah atas kondisi lanskap di pegunungan Mediterania atau tepatnya di timur laut Catalonia di daerah Gavarres Massif, yang sudah mengalami suatu transformasi besar. Mereka menemukan bahwa turunnya peluang ekonomi dari produk-produk hutan telah menyebabkan berkurangnya kawasan hutan dan lahan pertanian. Ekonomi sektor primer dan sekunder sudah kian tergerus oleh pertumbuhan sektor tersier yaitu perumahan dan arena wisata. Studi dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dengan melakukan wawancara mendalam kepada banyak pihak. Studi mereka mengatakan bahwa hilangnya desa karena hancurnya sistem ekonomi yang bergantung pada ekosistem hutan. Terkait dengan perubahan ini, perspektif masyarakat terpecah menjadi dua, yaitu: perlunya upaya-upaya untuk mengembalikan fungsi ekosistem seperti sedia kala; dan melakukan pengelolaan atas perubahan serta melakukan konservasi atas lanskap yang masih ada. Hal terpenting dari kedua opsi tersebut, yaitu perlunya melakukan dialog sosial. Studi lain (Gerard dkk., 2020)
menemukan beberapa masalah utama yang memengaruhi perubahan lanskap lahan pertanian. Pertama, masalah sosial, ekonomi, teknologi, dan demografi akan memengaruhi bentuk dari lanskap pertanian dan pengaruhnya terhadap keanekaragaman hayati. Kedua, teknologi baru, seperti pengeditan gen, biologi sintetik. Ketiga, skala atau keadaan dari sistem pertanian yang ada, khususnya yang terkait pertanian rakyat.
Transformasi lanskap pertanian akan membutuhkan multifungsi perencanaan dengan manajemen lintas sektoral dan partisipatif untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan dan pada akhirnya bergantung pada kemampuan orang untuk beradaptasi menanggapi krisis lingkungan saat ini.
Perdesaan sebagai basis usaha pertanian masih menjadi banyak perhatian, karena dua hal. Pertama, di banyak perdesaan jumlah petani masih relatif lebih besar dibanding dengan pengusaha petani. Kedua, pertumbuhan penduduk yang sangat cepat telah menimbulkan masalah pengadaan pangan yang sebagian besar dipasok dari perdesaan. Konsekuensi dari kondisi tersebut diterangkan oleh Muhammad (2019) telah mengakibatkan terjadinya modernisasi pertanian dilihat dari aspek nonteknis material berupa upaya mengubah petani tradisional menjadi petani modern.
Kondisi tersebut tidak lepas dari perkembangan ekonomi pasar, di mana praktik komersialisasi telah mendorong kegiatan pertanian pedesaan dari subsistem ke arah ekonomi komersial. Konsekuensi perubahan tersebut telah mengubah bentuk hubungan sosial ekonomi masyarakat perdesaan. Termasuk penggunaan teknologi dan keanekaragaman hayati dari ekosistem pertanian masyarakat (Vanbergen dkk., 2019). Upaya melakukan transformasi kegiatan pertanian di perdesaan membutuhkan pemahaman yang kompleks dari berbagai aspek (sosial, budaya, ekonomi, dan teknis) sehingga membutuhkan perencanaan yang melibatkan banyak sektor dan partisipasi masyarakat menjadi kunci penting.
Wong dkk., (2020) menyampaikan bahwa perhutanan sosial telah berkembang dari tujuan awal, dari pemberdayaan dan pemberian hak atas lahan menjadi reformasi dalam pasar ideal yang bertujuan untuk pengelolaan hutan berkelanjutan, mitigasi perubahan iklim, dan kewirausahaan. Kemudian, Wong dkk., (2020) menyebutkan bahwa negara-negara di Asia Tenggara telah merumuskan banyak program
dan standardisasi perhutanan sosial yang bertujuan sebagai prioritas pembangunan. Namun, permasalahannya, hal ini tidak selalu berhasil dalam memberikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat sehingga solusi atas pengelolaan hutan yang berkelanjutan, yaitu kewirausahaan yang berbasis pada pasar (Erbaugh, 2019; Wong dkk., 2020). Colloff dkk., (2020) menambahkan transformasi ekologi sosial dalam menghadapi perubahan iklim membutuhkan respons transformasi yang adaptif. Hal ini sejalan dengan proses transformasi tujuan perhutanan sosial.
Masyarakat yang bergantung pada lingkungan hutan, mau tidak mau atau suka tidak suka, akan menghadapi suatu perubahan yang disebabkan oleh kondisi alam, ekonomi, sosial, dan politik, dan bukan tidak mungkin semuanya akan mendorong pada suatu transformasi. Davis dan Greed (2013) mengatakan perubahan akibat adanya kejutan (shock) terhadap sistem dapat bergerak statis (maintenance), adaptif, dan transformasi. Skala gejolak akan menentukan seperti apa tingkatan respons (perubahan) yang diperlukan (Davis dan Greed, 2013). Hal terpenting di balik ini semua tentu saja kemampuan untuk kembali pulih dari kondisi guncangan bahkan dalam posisi yang lebih baik dari semula (resilience). Davis dan Greed (2013), memberikan 5 (lima) tuntunan terkait dengan ketahanan (resilience) yaitu: (i) komunitas perlu waspada akan risiko sosial-ekonomi yang akan dihadapi termasuk sisi ketidakadilan dan membangun sumber daya ekonomi; (ii) membangun dan akses terhadap modal sosial dengan melibatkan peranan komunitas secara substantif; (iii) melakukan mobilisasi terhadap hubungan dan jejaring yang ada; (iv) dukungan-dukungan sosial penting untuk didorong; serta (v) komunitas perlu sadar akan adanya hal-hal yang berada di luar jangkauan mereka sehingga mereka tetap perlu fleksibel, responsif, dan bersiap untuk hal yang tidak mereka ketahui. Selain itu, Duguma dkk., (2018) merangkum sejumlah ukuran penting yang dapat meningkatkan model pemanfaatan hutan oleh masyarakat, seperti (i) capacity building, (ii) perbaikan jenis hutan yang dialokasikan pemanfaatannya kepada masyarakat, (iii) mendesain pembagian tanggung jawab pelestarian hutan yang adil antara masyarakat dan pemerintah, (iv) memberdayakan masyarakat lokal terkait manajemen hutan, (v) mengizinkan akses permodalan awal kepada pengembangan
usaha masyarakat yang berhasil, serta (vi) merancang strategi untuk ditujukan pada kompleksitas baik interkelompok dan intrakelompok.
Selanjutnya, dalam meningkatkan ketahanan sosial maka diperlukan adanya inovasi sosial dalam kehidupan masyarakat atau komunitas.
Inovasi sosial sendiri merupakan hal yang esensial dalam melakukan transformasi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat atau komunitas yang dinamis. Berdasarkan hasil studi kasus oleh Bacon dkk., (2008), yang menemukan bahwa kapasitas inovasi dapat muncul meski dalam kondisi yang tidak ideal. Beberapa faktor, seperti peran dari kepemimpinan, budaya organisasi, dan struktur keterikatan antarsektor publik dan lintas organisasi, sangat diperlukan dalam menghadapi permasalahan dan kinerja buruk dalam organisasi atau komunitas. Permasalahan yang dihadapi masyarakat atau komunitas yang tinggal di sekitar hutan ialah ketergantungan terhadap hutan yang tinggi.
Namun, minimnya sumber daya (keahlian, permodalan, dan jaringan) menyebabkan eksploitasi atas sumber daya hutan melalui penebangan pohon kayu, pembukaan kawasan hutan (untuk berladang, berkebun), dan perburuan hewan menjadi masif (Pusat Penelitian Ekonomi [P2E]-LIPI, 2020). Hal ini berdampak pada rusaknya ekosistem sehingga kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat semakin tertekan. Bacon dkk., (2008) menekankan bahwa sumber daya permodalan (finansial) diperlukan namun apabila berlebihan akan menghambat munculnya inovasi. Sebaliknya, kebebasan kelembagaan lokal dalam menghadapi keterbatasan dan permasalahan bisa menjadi pemicu munculnya inovasi dalam masyarakat atau komunitas (Bacon dkk., 2008).
Gambar 3.1 Tahapan dalam Daur Hidup Inovasi Sosial (Sumber: Bacon dkk., 2008).
Selanjutnya, Bacon dkk., (2008) dalam studi mampu membangun social innovation-lifecycle yang terdiri dalam empat fase, yaitu latent (fase 0), design and discovery (fase 1), mobilisation (fase 2), main streaming (fase 3), dan embedding (fase 4). Hal ini seperti yang berada dalam Gambar 3.1, di mana fase tersebut dari kondisi awal (early) hingga akhir (late). Kemudian, Bacon dkk., (2008) memberikan rekomendasi yang tertuang dalam tiga kelompok kritikal yang dapat menjelaskan dinamika dari inovasi, yaitu pertama, keinginan untuk berubah datang dari ancaman atau kegagalan (dan kemampuan melihat kesempatan baru); kedua, kapasitas untuk berubah termasuk kapasitas kepemimpinan dan budaya; dan ketiga, akses kepada sumber daya eksternal membantu terjadinya perubahan, seperti masyarakat, pendanaan, skill, dan jaringan serta masukan dari komunitas yang telah berhasil.
Sebagaimana menjadi bagian dari Kesepakatan Paris, Indonesia telah berkomitmen dan menetapkan Nationally Determined Contribution (NDC), yaitu target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dari skenario biasa (business as usual) di tahun 2030, dan menjadi 41% dengan bantuan global, seperti teknologi dan pendanaan. Sektor kehutanan akan memberikan kontribusi paling besar dalam upaya pengurangan emisi yaitu 17,2% dari target 29%, dan disusul oleh sektor energi 11%.
Dengan demikian, keberhasilan Indonesia dalam menjaga kelestarian kawasan hutan akan memberikan dampak besar bagi upaya pengendalian perubahan iklim. Sejalan dengan ini, pemerintah menyadari upaya membangun ketahanan Indonesia dari dampak perubahan iklim dengan cara menjaga kondisi yang mendukung ketahanan iklim, ekonomi, sosial, dan sumber penghidupan, ekosistem, dan lanskap (Masripatin dkk., 2017). Secara lebih spesifik khususnya di sektor kehutanan, beberapa hal penting perlu mendapat perhatian seperti: (i) laju deforestasi, (ii) produksi kayu, (iii) hutan tanaman industri, (iv) pembukaan kawasan hutan, (v) kondisi pertumbuhan tanaman sawit dan karet, (vi) restorasi gambut, serta (vii) rehabilitasi lahan. Hal ini menjadi basis dalam menilai kemampuan Indonesia dalam mencapai target pengurangan emisi dari sektor kehutanan. Namun demikian, Bappeda Sumsel (2020) menyebutkan keberhasilan pengelolaan hutan mensyaratkan beberapa ketentuan, yaitu (1) komitmen dan sinergi visi pemerintah/kepala daerah
dari tingkat provinsi, kabupaten, dan desa dalam perhutanan sosial, (2) tingkat pemahaman perhutanan sosial harus terus ditingkatkan, (3) peran kelembagaan di tingkat tapak menjadi sangat penting, (4) perhutanan sosial harus bisa menjawab bagaimana masyarakat bisa mengelola hutan untuk meningkatkan produktivitas efisiensi usaha, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, serta meningkatkan kesadaran dalam melestarikan fungsi lingkungan hidup, dan (5) perlunya kemitraan antara sektor, antara pelaku kepentingan, (6) mekanisme pemantauan yang mudah, transparan, dan akuntabel serta bisa diakses oleh pemangku kepentingan.
Perlu untuk disadari bahwa sumber daya alam pada dasarnya bukanlah sebuah kutukan, namun lebih pada belum bijaknya dalam pengelolaan.
Artinya pemanfaatan sumber daya alam dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mengedepankan aspek keberlanjutan belum didukung oleh desain dan implementasi kebijakan yang tepat.
Terkait dengan sumber daya hutan, pendekatan pengelolaan hutan dengan menekankan pada keterlibatan masyarakat atau Community-Based Forest Management (CBFM) dapat menjadi solusi kebijakan yang inovatif dan merupakan mandat untuk mengelola hutan secara lestari dengan tetap memberi kebermanfaatan bagi pengelolanya. Konsep CBFM yang menitikberatkan pada peran aktif masyarakat merupakan sebuah rancangan yang memberikan masyarakat kekuasaan untuk dapat memengaruhi kebijakan pengelolaan hutan beserta regulasinya. Dengan kata lain, CBFM adalah manifestasi dari sebuah pergeseran paradigma kekuasaan atas hutan dari negara kepada masyarakat (decentralised strategy) dengan harapan bahwa masyarakat dapat berkreasi dan berdaya. Hal ini merujuk pada Ribot dan Peluso (2003) yang menyatakan bahwa access is the ability/power to benefit, not only the rights to benefit. Ada tiga karakteristik utama dari hutan kemasyarakatan yang ideal, yaitu (i) otoritas dan kewajiban mandat kepada masyarakat sekitar hutan, (ii) komunitas lokal menerima manfaat sosial dan ekonomi, dan (iii) masyarakat didorong untuk berkontribusi dalam upaya mempertahankan kondisi hutan agar tetap lestari.
Namun demikian, dalam praktiknya pendekatan CBFM tidak bisa dilakukan generalisasi jika dikaitkan dengan konteks perhutanan sosial yang secara konseptual mengadopsi pendekatan tersebut. Di sini
negara tidak bisa memaksakan model yang generik (one-size-fits-all) dan menegasikan praktik-praktik yang sudah berkembang dengan baik di masyarakat. Selain itu, perhutanan sosial sebenarnya mirip dengan konsep Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), namun lebih seperti ada nuansa sosial. Perhutanan sosial adalah bentuk upaya pemerintah dalam konteks reforma agraria untuk meminimalkan gap akses terhadap sumber daya hutan yang berupa peningkatan skala ekonomi melalui penciptaan sentra-sentra produksi desa.
Narasumber FGD_1 dan FGD_4 memiliki kesepahaman yang sama yaitu bahwa pemberian kehutanan sosial sebaiknya tidak membebani masyarakat, utamanya jika terjadi tumpang tindih lahan, seperti isu tambang dan penggunaan lahan non kehutanan yang sangat dinamis (konflik di tingkat tapak). Terlepas dari isu yang ada terkait dengan CBFM dan perhutanan sosial, narasumber FGD_1 menyebutkan tantangan dalam implementasi perhutanan sosial adalah kurangnya perhatian pemerintah dalam melihat kondisi atau dinamika yang terjadi di tingkat tapak. Dalam hal ini, pemerintah perlu untuk selalu memperbarui data dan informasinya secara detail di tingkat tapak agar pendekatan lanskap dapat menjadi katalisator pengembangan perhutanan sosial. Lebih lanjut, narasumber FGD_4 menjelaskan bahwa pengembangan perhutanan sosial tidak hanya berfokus pada memberikan akses terhadap sumber daya hutan saja, namun juga akses lainnya seperti modal dan pasar, termasuk bagaimana pola-pola integrasi dengan kegiatan ekonomi lainnya (silvofishery, silviopasture, agroforestry). Hal ini menegaskan bahwa (i) pemahaman mengenai konsep perhutanan sosial masih minim termasuk hak dan kewajiban serta bagaimana membangun kelembagaan untuk mengelola perhutanan sosial, (ii) belum ada kolaborasi antarsektor dalam pembangunan perhutanan sosial, dan (iii) isu perhutanan sosial di level pemerintah daerah yang belum fokus. Di sisi lain, narasumber FGD_4 juga sepakat bahwa menggerakkan ekonomi desa dengan saluran BUMDes menjadi penting karena sesungguhnya BUMDes adalah roda ekonomi desa. Dengan demikian, BUMDes harus dapat dilibatkan atau diarahkan untuk mendukung upaya pengembangan perhutanan sosial.
Hasil FGD_1 yang mendiskusikan dinamika perkembangan perhutanan sosial secara umum dan desa perhutanan secara khusus setidaknya
menghasilkan empat catatan kritis atas dinamika perhutanan sosial dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Pertama, dalam konsepsi ideal hutan kemasyarakatan memberikan otoritas dan kewajiban kepada masyarakat sekitar hutan. Harapannya dapat meningkatkan kemanfaatan sosial, ekonomi, dan juga ekologis dari hutan. Hal ini tentu saja akan mendorong masyarakat untuk memberikan kontribusi lebih nyata dalam membangun hutan yang lebih lestari. Kedua, tingkat kemiskinan di desa hutan masih cukup tinggi dan hal ini juga terjadi di desa lain yang lokasinya berdekatan dengan hutan. Ketiga, sebetulnya sebelum ada perhutanan sosial, masyarakat dengan kearifannya sudah memiliki cara-cara tersendiri dalam mengelola hutan. Namun, permasalahan utama hutan yang mereka kelola tidak diakui oleh negara dan hutan yang dikelola tetap dimiliki oleh negara. Keempat, ketersediaan lahan dari citra satelit, ternyata sejalan dengan kondisi riil di lapangan. Cukup sulit untuk mencari lahan yang bisa dialokasikan untuk tujuan perhutanan sosial akibat posisi kepemilikan yang saling tumpang tindih dengan berbagai kepentingan sektoral. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa implementasi perhutanan sosial belum mampu mencapai tujuan yang diharapkan dan model perhutanan sosial cenderung mengabaikan pola-pola pengelolaan berbasis lokalitas, serta tingginya konflik kepentingan dalam pemanfaatan lahan.
Hasil FGD_1 juga menjelaskan implementasi dalam tata kelola perhutanan sosial yang diindikasikan masih melakukan generalisasi model pembangunan. Negara (dalam hal ini pemerintah pusat) berupaya untuk mempertahankan posisinya dalam menguasai hutan dan menawarkan narasi-narasi pemberdayaan kepada masyarakat, namun belum dilaksanakan secara optimal. Narasumber FGD_1 menjelaskan bahwa seharusnya pemerintah dapat lebih serius memberikan kewenangan pengelolaan hutan dan memastikan masyarakat dapat mengelolanya secara baik. Negara idealnya perlu mengakui dan memberikan apresiasi atas praktik kearifan lokal dalam mengelola hutan, serta memberikan ruang pada kearifan lokal untuk beradaptasi dengan dinamika yang terjadi. Hal ini penting untuk mendorong kreasi ataupun inovasi di tengah masyarakat dan meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging) atas sumber daya hutan. Tantangan saat ini dalam implementasi perhutanan
sosial adalah bagaimana mendorong semakin banyaknya model atau varian dalam pengelolaan hutan yang sensitif dengan karakteristik desa.
Pemerintah lebih memosisikan diri sebagai fasilitator atau agensi yang menjalankan fungsi enabling sebagaimana disampaikan oleh Bjørkhaugh dan Knickel (2018).
Pengelolaan hutan secara berkelanjutan akan membantu Indonesia menuju pembangunan rendah karbon. Narasumber FGD_4 sepakat bahwa pengelolaan hutan berbasis perhutanan sosial juga diharapkan menambah tutupan lahan hutan sehingga meningkatkan karbon stok dan mendorong kegiatan ekonomi dan sosial dengan menciptakan sentra-sentra produksi desa dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat dan penurunan kemiskinan. Narasumber FGD_4 juga menyatakan bahwa kelembagaan dalam penerapan perhutanan sosial juga dapat menurunkan konflik karena diselenggarakan secara kelompok, menentukan hak dan kewajiban masyarakat sebagai kelompok dan individu, dapat mengatasi konflik internal, dan pengelola dana publik.
Dalam kaitannya dengan perhutanan sosial, narasumber FGD_8 memberikan perspektif tentang faktor krusial yang menghambat belum maksimalnya pemanfaatan perhutanan sosial dalam rangka pembangunan kawasan perdesaan. Faktor krusial tersebut adalah keterbatasan baik dari sisi kapasitas kelembagaan maupun sumber daya (misalnya finansial, literasi, pendidikan), khususnya pada masyarakat lokal (pendatang biasanya memiliki jaringan yang kuat dan permodalan yang cukup).
Artinya ada semacam persaingan dan bahkan pada tahap konflik. Namun untuk konflik sendiri, cakupannya lebih luas, termasuk berkaitan dengan politik yang kenyataannya di lapangan sangat powerful.
Dari sisi Pemerintah, terutama Pemerintah Daerah belum banyak memberikan bantuan pendanaan untuk pengembangan bisnis perhutanan sosial padahal dukungan mereka sangat dibutuhkan. Artinya follow-up dari perhutanan sosial maupun goodwill pemerintah perlu untuk diperhatikan.
Dana desa yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk perhutanan sosial, dalam kenyataannya masih sulit untuk diimplementasikan. Sejalan dengan ini, permasalahan pendampingan pun jadi hal yang serius dalam mendukung pengembangan perhutanan sosial. Selain itu, meskipun
sudah ada perhutanan sosial, namun praktik illegal logging, perburuan, dan pembakaran hutan masih tetap berjalan.
Semua narasumber terkait desa perhutanan (FGD_1, FGD_4, dan FGD_8) sebenarnya sepakat bahwa perhutanan sosial sebenarnya dapat menjadi solusi atas konflik lahan yang sering terjadi di tingkat tapak (perusahaan vs masyarakat, dan masyarakat vs pemerintah). Secara ekologi memang belum terlihat dampak yang signifikan, namun ada
Semua narasumber terkait desa perhutanan (FGD_1, FGD_4, dan FGD_8) sebenarnya sepakat bahwa perhutanan sosial sebenarnya dapat menjadi solusi atas konflik lahan yang sering terjadi di tingkat tapak (perusahaan vs masyarakat, dan masyarakat vs pemerintah). Secara ekologi memang belum terlihat dampak yang signifikan, namun ada