PROPOSAL SKRIPSI
ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE PADA 10 SCANE LAYANGAN PUTUS
( Sifat Egois dalam Series Layangan Putus Analisis Semiotika John Fiske )
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Komunikasi
Program Studi Ilmu Komunikasi Broadcasting Communication
Disusun oleh
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS KOMUNIKASI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TELKOM BANDUNG
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... I DAFTAR TABEL ... II DAFTAR GAMBAR ... III
BAB I PENDAHULUAN ...4
1.1 Latar Belakang ...4
1.2 Identifikasi Masalah...13
1.3 Tujuan Penelitian ...13
1.4 Manfaat dan Kegunaan Penelitian ...14
1.5 Waktu dan Periode Penelitian ...15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...16
2.1 Rangkuman Teori...16
2.1.1 Defenisi Film ...16
2.1.2 Jenis Film ...18
2.1.3 Defenisi Semiotika ...30
2.1.4 Model Semiotika Jhon Fiske ...33
2.2 Penelitian Terdahulu ...34
2.3 Kerangka Pemikiran ...54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...56
3.1 Paradigma penelitian ...56
3.2 Metode Penelitian ...57
3.3 Objek Subjek Penelitian ...58
3.4 Defenisi Konsep ...59
3.4.1 Semiotika ...60
3.4.2 Egois ...61
3.4.3 Isu ...62
3.4.4 Film ...62
3.5 Unit Analisis Penelitian ...63
3.6 Teknik Pengumpulan Data ...74
3.7 Teknik Analisis Data ...75
DAFTAR PUSTAKA ...78
DAFTAR TABEL Tabel 1. 1 Waktu Penelitian ...15
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ...34
Table 3.1 Profil Film Layangan Putus ...59
Table 3.2 Unit Analisis ...62
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Poster Film Layangan Putus ...10
Gambar 1.2 Novel Layangan Putus ...11
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran ...55
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitia
Manusia tercipta sebagai makhluk social yang artinya manusia membutuhka n manusia lainya begitu juga dengan lingkungan sosialnya sebagai wadah dimana manusia itu bersosialisasi. Bersosialisasi mengartikan bahwasanya manusia membutuhkan lingkungan sosial sebagai habitatnya, ini mengartikan bahwasanya manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya untuk melakukan sosialisasi dan interaksi (Dr. Ratna Puspitasari, M.Pd., 2017, p. 1). Namun menurut Sigmund Freud manusia akan mencari keuntungan yang dihasilkan oleh lingkungan sekitarnya baik untuk diri mereka secara individu, sebelum memahami peran yang mereka peroleh bagi lingkungan tersebut. Hal semacam ini lebih dapat dikenal dengan sebutan ego manusia. (Koeswara, 1991, p. 32)
Sifat egois sendiri merupakan keinginan–keinginan dari manusia kepada persoalan hal yang lahiriah, contohnya saja kekayaan. Banyak orang yang memanipulasi orang lain, melakukan pembohongan, bahkan sampai melakukan tindak criminal supaya memperoleh kekayaan. Stephanie dalam jurnalnya megatakan bahwa Sifat egois seperti apapun itu akan selalu mempunyai beberapa unsur yang pertama, dilandasi oleh keinginan dari individu itu sendiri, dan yang kedua, keinginan tersebut berusaha digapai dengan segala upaya, tanpa memikirkan danpak dan pengaruhnya bagi individu lain atau lingkungan dimana individu berada. Egois berarti selalu mempriotitaskan konsep “ke-akuan”, yaitu yang penting oleh seseorang adalah diri
sendiri, atau diri mereka sendiri yang selalu harus diutamakan. (Stephanie Theora Agatha, 2021, p. 3)
Adanya sifat egois dapat membuat sikap dan tindakan manusia diasumsikan selalu memprioritaskan naluri mereka, walaupun tingkatan dari sifat egois bagi setiap orang itu berbeda-beda. Perbedaan tersebut bermula dari pandangan yang berbeda dimana oleh setiap individu, oleh karena itu lingkungan begitulah penting dalam memengaruhi bagaimana seseorang bersikap. Fenomena egois sendiri tentunya bisa dilihat pada kehidupan, apalagi pada zaman teknologi yang maju seperti saat ini membuat kita dapat dengan mudah melihat setiap segi kehidupan bahkan hanya lewat layar kaca saja.
Sifat egois secara nyata ataupuin tidak dapat dengan mudah kita jumpai, kita dapat menemukan drama ataupun sinetron yang didalamnya terdapat sifat egois yang diperankan beberapa akor dan aktrisnya, contohnya dalam film Harry Poter yang mana pada awalnya, Dumbledore nampak seperti penyihir yang baik, strategis, dan mentor yang bijaksana. Namun ia tetap menjadi karakter yang kontroversial. Seiring berjalannya waktu, kita akan sadar kalau Harry hanya bidaknya. saat Dumbledore dengan jelas menyadari bahwa Harry harus menghancurkan Horcrux di dalam diirnya dan Dumbledore siap melakukan apapun untuk mencapai tujuan itu.
Sedangkan pada dunia nyata kita dapat melihat hal tersebut lewat berita misalnya, dimana tidak sedikit kita temukan unsur-unsur egois yang diperlihatkan oleh manusia, contohnya saja seperti berita liputan 6 pada 14 maret 2021 pemilik rumah di Ciledug yang memagari rumahnya dengan menutup akses keluar masuk tetangga
lainya sehingga tetangga tersebut kesulitan untuk keluar masuk dari rumahnya sendiri.
Egois diangkat menjadi sebuah penelitian karena merupakan sesuatu hal yang menarik yang ada pada kehidupan manusia sehari-hari dan merupakan fenomena yang mudah kita temui, dapat kita jumpai bagaimana seseorang menunjukkan egois melalui komunikasi. Pernyaluran sifat egois melalui komunikasinya dapat terjadi baik secara langsung melalui perkataan ataupun dengan menggunakan tindakan.
Komunikasi sebagai cara dalam berinteraksi tentunya memiliki pposisi yang sangat berguna dalam alur kehidupan, adanya komunikasi manusia dapat saling berinteraksi dan menyarankan suatu pola pemikian, makna ataupun suatu pesan yang dianut agar sama (Mulyana, 2014, p. 40). Komunikasi terbagi menjadi 2 jenis diantaranya adalah komunikasi non verbal dan komunikasi verbal, 2 jenis komunikasi tersebut tentunya dapat menggambarkan ataupun memperlihatkan rasa egois dari seeorang atau pun kelompok, misalnya dalam komunikasi verbal dapat terlihat bagaimana seseorang berbicara dengan mementingkan pendapatnya sendiri serta menganggap pendapatnyalah yang paling benar dibandingkan pendapat orang lain, atau dalam komunikasi nonverbal dapat ditemui bagaimana sekelompok buruh melakukan aksi mogok kerja untuk menunjukkan keinginan mereka mendapatkan kenaikkan gaji.
Komunkasi juga memiliki pola yang dapat dipahami sebagai sebuah hubunga n yang diperoleh baik bagi individu dengan individu, individu dengan kelompok serta kelompok dengan kelompok (Djamarah, 2014, p. 1). Komunikasi massa sendiri menurut Gerbner adalah distribusi dan produksi yang dilandasi lemnaga dan teknologi
dari pesan berkelanjutan serta sangat besar yang dipunyai oleh orang pada suatu masyarakat industry (Elvinaro, 2017, p. 134). Saat ini komunikasi massa adalah suatu media yang mempunyai pengaruh besar bagi setiap orang di dunia.
Media memiliki banyak bentuk serta juga beragam, misalkanya saja film. Film adalah gambaran dari komunikasi massa visual yang memiliki dampak besar. Film bisa menjadi sebuah wadah komunikasi yang sangat baik di dalam upaya menyampaika n pesan secara non verbal maupun verbal, penyebaran informasi dengan mengguna ka n media film ini dapat menjadi sebuah komunikasi yang baik kepada orang banyak. Film memiliki andil sebagai media yang dipergunakan sebagai alat menyebarkan hiburan dan memberikan sajian musik, pristiwa, cerita, drama dan beragam hal lainya secara luas kepada orang-orang. Film dinyatakan sebagai domain dari komuniksi massa audio visual yang mendunia, disebabkan lebih dari ratusan juta khalayak yang menyaksika n film di televisi, DVD, atau bioskop (Elvinaro, 2017, p. 134).
Film adalah media audio visual yang sangat baik dalam mengubah sentiment dan emosi serta tingkah laku khalayak yang menyaksikanya dimana kehadiran film menjadi makna sendiri bagi para penikmatnya, karena film dapat menghadirkan berbagai hal hingga kepada hal-hal yang tidak mungkin ada di dunia nyata. Film memiliki kemampuan dalam menghipnotis para penontonya karena itulah film perlu untuk di awasi. Film dapat membuat para penontonya menjadi terlalu pasif dan menerima begitu saja apa yang ditayangkan dalam sebuah film. Maka dari itu penonton sebagai audiens atau si penerima pesan perlu cermat dalam memfilter pesan yang termuat pada suatu film. Film merupakan sebauah media ekspresi dan komunikasi
karena sering membuat penonton sebuah film terbawa dan terbuai suasana setra mengartikan apa yang diberikan dalam film tersebut benar adanya.
Terdapat beragam penelitian mengenai sebuah film berefek kepada masyarakat, korelasi diantara masyarakat dengan film terus di mengerti.secara.linier. Menurut Irwanto film terus saja membentuk atau mempengaruhi khalayak dengan pesan di dalamnya, tanpa.berlaku secara timbal balik. Kritikan yang.muncul.terhadap perspektif tersebut bedasarkan argument.bahwa.film merupakan gambaran oleh masyarakat yang mana film..itu diciptakan. Film..selalu mengabadikan realitas..yang muncul dan bertumbuh dalam suatu masyarakat.dan setelah itu memproyeksikannya (Sobur, 2009, p. 127).
Sifat egois tidak hanya coba diteliti melalui objek film saja namun penelitian fenomena egois ini juga banyak yang mengenai kehidupan sehari-hari yang nyata, contohnya penelitian dari Dudy Imanuddin Effendi yang berjudul Egois dalam Cara Beragama yang membahas mengenai cara beragama merasa benar sendir, perilaku- perilaku egois dalam beragama. Namun pada penelitian yang dilakukan peneliti lebih tertarik untuk fokus kepada isu egois yang muncul pada sebuah film dikarenakan peneliti ingin mengkaji bagaimana sebuah film dapat menimbulkan secara sengaja kepada actor dan aktrisnya sifat egois itu sendiri serta bagaimana bentuk yang coba disajikan oleh film tersebut mengenai egois.
Pengaplikasian komunikasi pastinya juga terdapat dalam scenario maupun teks pada sebuah film. Sekian banyaknya film-film yang telah di tayangkan dan tentunya memiliki genre film yang beragam pula, film bertemakan keluarga tidak kalah
memiliki daya tarik oleh sebagian penikmat film, contohnya saja film bertemakan keluarga adalah series yang belakangan ini viral yang berjudul Layangan Putus, dimana series ini mengangkat cerita tentang kehidupan berumah tangga dengan dibumbui dengan konfil-konfil yang ada dalam cerita berupa perselingkuhan yang dilakukan oleh suami pemeran utama. Film ini dapat dilihat dari segala aspek seperti ekonomi, sosial, psikologi dan tentunya komunikasi. Terdapat dibeberapa scane dimana memperlihatkan pertengkaran antara Aris dan Kinan karena adanya sebuah perselingkuhan yang dilakukan Aris bersama Lydia.
Dengan tanda-tanda yang diperlihatkan menuntun kinan dalam kebenaran pasangan hidupnya telah berselingkuh, dan sebaliknya beraneka ragam tanda yang memiliki makna keegoisan Aris menuntun keluarga ini untuk mengetahui kebenaran dari segala konflik yang terjadi. Kinan mengumpamakan rumah tangganya bersama Aris seperti sebuah layangan dengan Kinan sebagai layanganya, seiring berjalanya waktu ada hal yang mengancam rumah tangga mereka dimana Aris memiliki perempuan lain yang mengancam layangan Kinan putus. Dalam mengarungi bahtera rumah tangga dengan kondisi tersebut Kinan dan Aris bingung dalam mengambil sebuah keputusan yang terbaik untuk dirinya masing-masing dan keluarga.
Gambar 1.1: Poster Film Layangan Putus
Sumber: Screenshoot Peneliti
Bukan hanya ada pada sebuah film, dalam kehidupan nyata pun masih banyak kita dengar dan temui konflik dalam rumah tangga tidak terkecuali dengan masalah perselingkuhan yang juga disebabkan keegoisan salah satu pihak. Dalam film bertemakan keluarga dan konflik perselingkuhan yang dialami sepasangan suami dan istri pada suatu keluarga yang mana sang penulis cerita ini berharap agar pembaca dan penontonya dapat menarik pesan moral dari pengalaman penulis novel yang diangkat menjadi sebuah series ini.
Film Layangan Putus yang mempunyai 10 episode ini sudah resmi tamat pada hari Sabtu (22/1) dengan di sutradarai oleh Benni Setiawan yang sukses mengangkat sebua novel dari cerita nyata. Cerita Iayangan putus tetap merupakan bahan..perbincangan pada banyak media.sosial. Cerita ini banyak memperoleh simpati
penonton dari berbagai media.sosial. Kisah Layangan Putus ini pada awalnya diunggah oleh sebuah akun Facebook bernama Mommi ASF. Pengungga h menceritakan kehidupanya yang seperti sebuah layangan putus setelah bercerai dengan suami. Di twittwr, facebook hingga Instagram, unggahan kisah Layangan Putus itu telah diunggah ulang dan dibicarakan oleh warganet. Kisah layangan putus ini menceritakan tentang seorang istri yang memiliki mpat orang anak yang harus dibesarkannya. Dalam ceritanya sang suami yang cukup dikenal religious dan punya beberapa channel YouTube dakwah. Belakangan suami tersebut diketahui menikah dengan seorang selebgram yang sekarang telah hijrah.
Gambar 1.2 : Novel Layangan Putus
Sumber : (Bustamil Arifin, 2021, p. 1)
Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan Jhon Fiske, dimana teori semiotika ini memiliki berbagai fokus yakninya idiologi, representasi dan realitas serta pesan moral terutama dengan 3 hal yang dapat diperoleh merujuk kepada sebuah keegoisan yang dapat diambil dengan menggunakan pendekatan Semiotika Jhon Fiske, peneliti tertarik untuk meneliti semiotika yang ada pada film Layangan Putus karena sebagai penguat tanda atau pesan yang mengandung sifat egois dan ingin mengetahui bagaimana penyampaian melalui film yang merupakan sebuah media komunikasi massa.
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif karena penelitian tidak bersinggungan dengan angka-angka dan juga peneliti ingin menggambarka n bagaimana sifat egois yang ditampilkan dalam series Layangan Putus secara detail dengan memfokuskanya kedalam 10 scane yang akan diteliti. Metode yang diguankan adalah kualitatif deskriptif dimana akan meneliti status set kondisi, objek, pemikiran, system dan sebuah peristiwa. Tujuanya adalah untuk membuat gambaran dan deskripsi secara sistematis, actual dan faktual tentang sifat, fakta serta hubungan dengan suatu fenomena yang diteliti dalam Series Layangan Putus tersebut mengenai sifat egois.
Banyak sekali tanda dan pesan yang terdapat pada series layangan putus dan juga banyak hal-hal menarik lainya yang dapat di teliti pada film layangan putus namun penulis fokus pada isu egois verbal dan non verbal yang ada pada film. Bedasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk membedah dan menelusuri tanda-tanda Egois pada film layangan putus dengan menggunakan analisis semiotika dari Jhon Fiske dimana teori ini juga sering berhubungan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat dalam
bersosialisasi yang dimana selain untuk menemukan fokus ideologi, representasi, dan realitas serta pesan moral social yang dapat diambil maka dari itu penulis tertarik untuk mengangkat penelitian yang berjudul “ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE PADA 10 SCANE LAYANGAN PUTUS “
1.2 Identifikasi Masalah
Bedasarkan uraian latar belakang tersebut, peneliti menetapkan identifikasi masalah yang akan disajikan dalam bentuk pertayaan penelitian. Identifikasi masalah menjadi panduan awal bagi peneliti untuk menjelajahi objek yang diteliti. Berikut pertanyaan terbagi sebagai berikut ;
1. Bagaimana Realitas keegoisan pada adegan film Layangan Putus Analisis Semiotika John Fiske pada 10 Scane Layangan Putus ( ISifat Egois dalam Series Layangan Putus Analisis Semiotika John Fiske)?
2. Bagaimana Representsi keegoisan pada adegan film Layangan Putus Analisis Semiotika John Fiske pada 10 Scane Layangan Putus ( Sifat Egois dalam Series Layangan Putus Analisis Semiotika John Fiske)?
3. Bagaimana Ideologi keegoisan pada adegan film Layangan Putus Analisis Semiotika John Fiske pada 10 Scane Layangan Putus ( Sifat Egois dalam Series Layangan Putus Analisis Semiotika John Fiske)?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan pada penelitian ini untuk menguraikan factor penelitian yaitu sebagai berikut ;
1. Untuk mengetahui ideologi, representasi dan realitas keegoisan pada 10 scane adegan film Layangan Putus menggunakan Analisis Semiotik Jhon Fikse.
2. Untuk mengetathui bagaiumana bentuk egois dalam 3 level realitas representasi dan idiologi pada 10 scane fil Layangan Putus
1.4 Manfaat dan Kegunaan Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi perkembangan penelitian serta memberikan manfaat dan juga informasi bagi penelitian yang berkaitan dengan program studi ilmu komunikasi, khususnya mengenai analisis simiotik Jhon Fiske pada film Layangan Putus dalam mengungkap makna dari setiap tanda dalam beberapa adegan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat menjadi wawasan dan bertujuan memberikan pandangan tentang sisi yang terkandung dalam sebuah film Layangan putus dari pandangan penontonya yang menunjukkan pesan moral sosial dalam keluarga yang bersangkutan, mempunyai kaitan dengan kehidupan sehari-hari dan memiliki makna bedasarkan tanda-tanda yang ada pada beberapa adegan film Layangan Putus
1.5 Waktu dan Periode Penelitian
Tabel 1. 1: Waktu Penelitian
Kegiatan Tahun 2022
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Mencari ide
dan mengajukan
judul penelitian Menonton
dan menganalisis
film Mencari informasi
dan referensi penelitian Penyusunan
proposal Menyiapkan
instrument penelitian
Turun lapangan
Mengolah hasil penelitian Pengajuan
siding skripsi Revisi skripsi
Sumber : Olahan peneliti
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rangkuman Teori
2.1.1 Komunikasi massa
Komunikasi massa dapat diartikan sebagai perantara dalam media massa mencakup surat kabar yang mana memiliki cakupan luas, penayangan televisi atau radio yang diperuntukan untuk khalayak umum dan juga film yang dipertontonkan pada layer lebar (Effendy, 1986, p. 79). Sedangkan Komunikasi massa sendiri menurut penyampaian Gerbner merupakan distribusi dan produksi yang dilandasi Lembaga dan teknolog dari alur pesan berkelanjutan dan juga besar cakupanya yang dimiliki orang di dalam sebuah masyarakat industry (Elvinaro, 2017, p. 56). Saat ini komunikasi massa adalah suatu media yang mempunyai pengaruh besar bagi setiap manusia di dunia.
2.1.2 Defenisi Film
Film merupakan kombinasi antara upaya untuk pemberian informasi dengan menggunakan gambar yang bergerak, memanfaatkan warna, suara dan teknologi kamera. Unsur ini di peroleh dari sebuah cerita”yang mempunyai pesan yang akan diberikan oleh sutradara pada orang banyak melalui film (Susanto, 1982., p. 60). Film tercipta jika memiliki sebuah cerita yang mengandung suatu pesan untuk disampaikan kepada public atau penonton. Film memberikan pesannya dengan mengguna ka n gambar bergerak, suara lalu warna. Dengan begitu film melingkupi segalanya sehingga penonton mudah melihat apa yang terkandung di dalam aebuah film. Sedangkan
Menurut Effendy (Effendy, 1986, p. 239) film merupakan capaian suatu alat ekspresi dan budaya yang digunakan untuk sebuah seni. Komunikasi massa yang ada pada sebuah film, menjadi camouran dari bermacam teknologi contohnya saja rekaman suara lalu fotografi, baik seni rupa dan musik serta arsitektur.
Film dapat dibagi menjadi beberapa bagian dasar, yakni film documenter dan film. Film fiksi adalah film yang diciptakan dari sebuah cerita yang dibuat. Pada dasarnya film fiksi bersifat komersial,yang maksudnya untuk dipertontonkan di bioskop atau diputar pada televisi Bersama dengan sponsor”iklan tertentu. Pembahasan fiksi tidak banyak karena dalam proposal ini lebih fokus ke pada film documenter.
2.1.3 Jenis Film (Baksin, 2003, p. 68) A. Drama
Tema drama mempersoalkan kepada sisi human interest yang berupaya membawa penonton”merasakan peristiwa yang pemeranya alami, sehingga”penonto n merasa ada pada sebuah film. Tidak sedikit juga penonton yang merasa senang, sedih, ikut marah, bahkan kecewa dalam menyaksikanya.
B. Action
Action sendiri adalah sebuah tema yang memperlihatkan tayangan pertempuran, perkelahian baik menggunakan atau tidak menggunakan senjata,”atau balapan antara pemeran sifar baik dengan pemeran sifat jahat, dengan begitu penonton menjadi merasakan cemas, tegang, bangga bahkan ketakutan dengan peristiwa yang terjadi..
C. Komedi
Komedi adalah sebuah tema film yang menampilkan sajian dimana menjadikan penikmat film tertawa atau tersenyum dan terbahak-bahak dalam menyaksikanya.
Tema komedi memiliki perbedaan dengan candaan dan tingkah karena film komedi tidak secara keseluruhan dimainkan oleh para pelawak tapi juga dimainkan atau diperankan oleh pemain”biasa yang lucu.
D. Tragedi
Tragedy merupakan tema yang memperlihatkan situasi atau takdir yang dijalani oleh aktor pada”film”tersebut. Garis takdir dirasakan oleh pemeran kerapkali menjadikan penikmat film menjadi prihatin atau iba dan kasihan.
E. Horor
Tema horror salah satu sub film dimana mempertontonkan memiliki part-part yang menakutkan, mengerikan serta juga menyeramkan yang menjadikan penonton takut”karena perasaan yang diarasakanya. Film horror”berhubungan dengan hal”magis atau gaib, yang dirancang memakai animasi, special affect, atau secara langsung dari pemeran.
2.1.4 Alur Film Pengertian Alur
(Wiyanto., 2005, p. 112) dalam bukunya menjelaskan alur merupakan rentetan peristiwa yang tersambung dan berhubungan pada suatu cerita dengan memiliki logika akibat dan sebab. Pada susatu cerita memiliki bermacam kejadian. namun, kondisi atau
peristiwa pada cerita tidak dapat berdiri secara sendiri, karena berhubungan antara kejadian satu dan lainnya. Kejadian-kejadian inilah yang menciptakan jalan atau plot cerita. Plot itu menyajikan bagaimana berjalannya cerita. contohnya, sebuah cerita yang dimulai dari peristiwa A dan diakhiri dengan peristiwa B itulah plot cerita.
Jenis Alur
Secara umum alur bisa dikelompokkan atas tiga kelompok. klasivikasi ini bedasarkan urutan kronologi dan waktunya yakni Alur mundur, maju, serta campuran.
2.1.5 Unsur Pembentuk Film
Menurut (Pratista, 2008, p. 78) dalam film terdapat dua”unsur pembentuka n yaitu sinematik dan naratif yang melengkapi dalam menciptakan suatu film.
1) Unsur Naratif a) Ruang
Tempat untuk para pemeran untuk berkreatifitas dan bergerak disebut dengan ruang. Biasanya cerita pada film mempunyai penampakan latar yang realistis.
b) Waktu
Waktu memiliki hubungan dengan narasi pada film, seperti lamanya, susunanya dan frekuensi dari waktu itu sendiri. lama waktu juga sebuah rentang waktu dimana dipunyai suatu film agar menyuguhkan sebuah cerita yang apik. Sedangkan frekuensi merupakan”kembaliya suatu part atau scane yang bersamaan pada rentang waktu yang berbeda, lalu urutan sendiri adalah pola dimana berjalan dan bergeraknya waktu pada sebuah cerita.
c) Pelaku Cerita
Terbagi atas beberapa yakni karakter”utama serta karakter pendukung.
Karakter utama umumnya mempunyai watak protagonist, lalu karakter pendukung umumnya mempunyai watak antagonis.
d) Konflik
Konflikt disebut sebagai”suatu kendala atau penghalang”yang berusaha dilewati oleh tokoh protagonis untuk mendapatkan tujuannya.”Konflik kerap kali terjadi”karena pemeran protagonis mempunyai capaian dan keinginan yang tidak sama dengan pemeran satunya lagi.
e) Tujuan
Harapan yang diinginkan oleh pemeran utama merupakan tujuan atau sebuah capaian. Sifat dari tujuan sendiri seperti bersifat”nonfisik ataupun”fisik. Sebuah tujuan yang realistis merupakan tujuan fisik, lalu ujuan yang”bersifat tidak jelas merupakan tujuan non fisik.
2) Unsur Sinematik
Menurut (Pratista, 2008, p. 107) Aspek-aspek”teknis dalam membuat sebuah film merupakan unsur sinematik, dimana di bagi menjadi”empat bagian jenis pokok sebagai berikut :
a) Mise en Scene
Hal yang”terdapat pada depan kamera guna mengambil gambar dalam produksi suatu film adalah sebuah Mise en Scene, yang terbagi kedalam empat jenis utama, yakninya: kostum, pencahayaan, akting dan latar.
1. Desain Latar (Setting)
Merupakan suatu tempat adegan dilakukan dan berlangsung di dalam tempat tertutup maupun terbuka seperti didalam maupun luar ruangan. Pada elemen ini dapat mengeksplorasi serta mengembangkan Karakter pada film. Ini berfungsi sebagai sarana menguatkan emosi pada karakter, ataupun menggambarkan nilai psikologis, sosial, ekonimi, budaya dan emosional. Terdapat pilihan penting yang”dibuat oleh desainer dan”sutradara dimana harus mempertimbangkan dimana pengambilan adegan tersebut akan diambil.
2. Makeup dan kostum pemain
Ini berarti mencerminkan bagaimana karakter dan penggambaran yang ada di film sesuai dengan tema cerita yang ditentukan. Pertimbangan warna dan desain tertentu dan membentuk perubahan dan ciri karakter dibentuk oleh keduanya. Kostum dan makeup juga bisa memiliki tanda dan penanda yangbermakna terkait pada zaman, negara, status sosial ataupun berkaitan dalam berbagai bidang ekonomi, budaya, yang membangun ciri khas latar belakang dan identitas yang merupakan elemen utama dalam mise en scene.
3. Akting Pemain
Para pemain harus mampu mengikuti arahan sutradara sesuai dengan naskah yang dipelajari oleh setiap pemain utnuk menciptakan estetika yang sesuai dengan mise en scene, perlunya pendalaman karakter dan tentunya tidak instan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, perlu latihan yang ekstra agar sesuai dengan direct shot sutradara.
4. Blocking/ Depth of space
Membahas tentang bagaimana posisi gambar yang pantas dalam sebuah layar kaca yang dipengaruhi oleh kamera dan jenis lensanya. Keharusan memiliki deep focus dari berbagai posisi agar sesuai dengan Storyboard film.
5. Pencahayaan (Lighting)
Pencahayaan berpengaruh besar di dalam dunia fotografi maupun perfilman.
Fungsinya tidak sekedar menerangi set. Arah, kualitas pencahayaan dan Intensitas pencahayaan bisa memperlihatkan bentuk, jarak, waktu, suasana tekstur, sehingga dapat mengalihkan pemahaman”penonton kepada film”yang diproduksi. Pemakaian cahaya redup contohnya, lebih menunjukkan kesan tersembunyi, rasa ketakutan atau misteri, dibandingkan dengasn pemakaian cahaya terang. Tata cahya merupakan pengaruh besar yang menentukan pandangan terhadap suatu film dan berpengaruh kepada psikologis orang yang menonton.
6. Ruang
Kedekatan, ukuran, proporsi dan kedalaman dari benda dan tempat dalam suatu film dapat mempengaruhi pemaknaan film.
7. Komposisi
Merupakan penempatan objek dalam bingkai atau frame dalam sebuah film. Ini merupakan elemen yang sangat pentingnya. Komposisi simetris digunakan untuk memberi gambaran artistik di setiap shot. Komposisi dapat diatur dengan mengacu pada intensitas Gerakan, warna, cahaya dan benda pada pengambilan”gambar.
8. Pewarnaan film (colour grading)
Pewarnaan pada film juga memengaruhi film dan kondisi penonton. Dengan begitu juga sering menampilkan analisis dari suatu simbol yang berkaitan dengan cerita atau karakter. Misalkan penggunaan nuansa biru untuk scene yang sunyi, dingin, dan mencekam. Begitu juga dengan nuansa kekuningan untuk adegan yang menampilkan kehangatan, keceriaan pemain. Hal terpenting adalah mampu menempatkanya dengan tepat.
9. Aspek rasio
Aspek”rasio dalam media film menggunakan”16:9 (wide screen) atau 4:3 (square screen). Saluran distribusi”film yang akan”diproduksi berganting pada pemilihan aspek rasio.
b) Sinematografi
ilmu yang mengkaji tentang sebuah cara”menangkap, mengambil dan”menggabungkan suatu”gambar agar terbentuk rangkaian gambar”sehingga mampu menyalurkan sebuah cerita dan ide merupakan pengertian dari aspek sinematografi.
1. Kamera dan lensa
yang digunakan Pada umumnya, semakin mahal kamera dan lensa tersebut maka akan semakin bagus gambar yang akan dihasilkan. Namun pernyataan tersebut tidak selamanya benar, penggunaan kamera dan lensa oleh setiap orang akan berbeda dan akan mengahsilkan kualitas gambar yang berbeda. Oleh karena itu pentingnya penyesuaian terhadap kamera dan lensa yang digunakan. Setiap orang akan
menemukan tipenya masingmasing. Layakanya mencari jodoh harus ada kesesuaian dan kecocokan antara alat dengan penggunanya.
2. Pergerakan Kamera
Zoom : Pergerakan memainkan lensa menjadi lebih dekat kepada objek atau lebih jauh kepada objek yang di shot.
Dolly : Pergerakan dari kamera menggunakan bantuan alat seperti rel atau
slider. Namun untuk saat ini semakin mudahnya alat untuk memproduksi film,orang- orang banyak menggunakan stabilizer yang relative mudah dibawa dan murah bagi independent production.
Tilt : artinya pergerakan kamera dari atas kebawah atau dari bawah keatas (tilt
up dan tilt down) dengan cara sumbu kameranya yang bergerak. ruang kamera bergerak secara vertikal.
Pedestal: Hampir sama dengan tilt yang membedaknya adalah sumbu kamera tetap dan tidak berubah, hanya pergerakan atas bawah yang berubah.
Panning : digunakan untuk pergerakan antara kiri ke kanan dan sebaliknya.
Pergerakan kamera secara horizontal dengan mengubah sumbu kamera ataupun tetap.
Lensa yang direkomendasikan dengan shot ini adalah menggunakan lensa wide, namun tergantung kepada kebutuhan produksi.
Follow Pan: sesuai dengan katanya ‘mengikuti’ maka kamera akan mengikuti pergerakan kemana objek itu bergerak sehingga butuhnya bantuan alat ketiga seperti stabilizer agar pergerakan kamera tetap mulus dan nyaman saat dilihat di layar kamera.
3. Sudut Kamera (camera angle)
Sudut kamera berpengaruh terhadap visual dan estetika objek yang diambil serta memengaruhi psikologis penonton. Penentuan angle juga memberikan efek sinematik yang lebih bervariasi untuk memberikan kesan ‘hidup’ terhadap objek yang mati.
Bird angle : pengambilan gambar dari sudut atas dan bisa mencakup
pengambilan seluruh objek. Alat yang digunakan biasanya adalah drone.
High angle : pengambilan gambar dari sudut atas namun tidak se-ekstrem bird
angle. Tujuan pengambilan seperti ini untuk memandang rendah subyek yang diambil
Eye level : artinya jenis pengambilan yang sejajar dengan subyek. Biasanya terdapat pada shot wajah seseorang agar tampak lebih jelas dan menarik.
Low angle : gambar yang diambil dari sudut bawah yang gunanya agar dapat
merepresentasikan kekuatan dari subyek yang diambil.
Frog angle : pengambilan dari sudut bawah yang lebih ekstrem dari low angle
untuk mengambil gambar secara keseluruhan dari sudut pandang bawah.
4. Komposisi
Komposisi”membentuk sebuah cara”tentang apa yang dilihat”atau tidak dilihat”oleh audiens atau penikmat film dan upaya agar”gambar tersebut disajikan.
komposisi merutut dengan pembingkaian sebuah gambar, warna, ruang dan pencahayaan dimana sangat diperlukan dalam suatu gambar”dan memberikan kesan”mendalam terhadap penonton.
Rule of Thirds :”Sebuah teknik komposisi”yang mengkelompokkan frame ke
dalam 3×3 adalah apa yang”dimaksud”dengan rule of thirds. Titik ini berfungsi untuk meletakkan point of interest pembuat film kepada subyek yang ditangkap. Aturan komposisi ini berguna untuk andalan seniman manapun yang digunakan berabad-abad lamanya.
Headroom : pembahasan mengenai posisi”vertikal relative subyek untuk
memberikan ruang kosong saat pengambilan gambar orang agar kesanya tidak menimbulkan ruang yang penuh terhadap subyek yang diambil merupakan salah satu”komposisi estetika.
Leading Lines : Garis imajiner yang terbentang berawal dari sebuah obyek
menuju ke obyek lainya supaya menarik perhatian khalayak dari fokus obyek”utama ke obyek sekunder adalah pengertian dari Leading line. Leading lines membuat sebuah pergerakan yang memberi energi pada gambar yang dibuat..
Deep Space Composition: Komposisi yang meletakkan objek dan subjek atau
pada seluruh frame lalu adanya objek dan subjek yang menjadi background atau sebuah latar belakang untuk menciptakan ilusi deep atau mendalam.
Pattern Composition: sebuah komposisi yang membentuk sebuah pola atau
bentukan tertentu seperti susunan jendela gedung dengan sebuah shot yang simetris, atau susunan orang yang sedang berbaris dengan rapi. Biasanya untuk menciptakan pola minimalis pada sinematografi.
Framing: Posisi kamera dengan mengacu pada adegan yang diputuskan untuk
diambil merupakan pengertian dari framing, yang terbagi atas frame statis ataupun frame bergerak bergantung terhadap jenis adegan.
C. Penyuntingan Video (Editing)
Proses dimana menggabungkan beberapa gambar berbagai macam shoot tunggal sehingga”menjadi gabungan cerita yang lengkap disebut sebagai editing.
layaknya membuat cerita,sebuah”shoot bisa diartikan sebagai sebuah kata,”kalimat dan sequence adalah paragraph didalamnya. Sebuah cerita lengkap jika mempunyai beberapa unsur, sama halnya dengan film.
D. Suara (audio) 1. Original Sound
Suara asli sebuah objek yang digunakan bertepatan dengan penggunaan gambar yang secara langsung, yakninya ketika proses syuting berlangsung.
2. Sound effect
Merupakan suara yang diciptakan dari sebuah editing, baik original sound ataupun sebuah atmosfer yang ditujukan agar menyokong adegan supaya dapat menyajikan kondisi yang diinginkan.
3. Atmosfer
berguna mendukung suasana yang lebih realistis dengan suara background.
4. Music Illustration
Bermacam-macam bunyian berupa nada secara elektik atau akustik yang diberikan supaya menciptakan ilustrasi untuk meningkatkan emosi penonton yang merasa turut telibat didalam film tersebut.
Menurut (Bayu, 2014, p. 89) teknik pengambilan gambar terbagi atas beberapa macam yaitu::
1. Medium Close Up merupakan pengambilan cuplikan mengguna ka n komposisi framing lebih jauh”dari Close Up serta juga lebih”jauh dari Medium Shot.
2. Medium Shot adalah teknik mengambil cuplikan lebih dari setengah badan.
Medium Full(Knee Shot) Medium Full Shot mengambuil cuplikan subjek kurang lebih ¾ dari ukuran tubuh. Pengambilan”dengan menggunakan cara atau teknik ini berfungsi”untuk sarana penyampaian”informasi dari”aksi yang”dilakukan.
3. Full Shot adalah pemilihan cuplikan yang”dilakukan pada”subjek dengan Teknik dan cara secara menyeluruh”dari ujung kaki hingga ujung kepala.
4. Medium Long Shot adalah pemakaian cuplikan yang melibatkan latar suasana yang diperlukan karena ada kesinambungan cerita”dan aksi dalam latar yang disajikan.
5. Long Shot Long Shot memiliki jangkauan framing yang lebih besar dari Medium Long Shot, namun lebih ramping dibandingkan dengan Extreme Long Shot.
6. Extreme Long Shot menjadikan tokoh terlihat ada di kejauhan. Dalam pemakaian cuplikan jenis ini, latar juga ikut ambuil bagian. Objek cuplikan senduiri terdiri dari pemeran atau tokok serta interaksinya dengan ruang.
Sekaligus menegaskan atau membawa imajinatif ruang cerita dan kondisi pada penonton.
2.1.6 Defenisi Semiotika
Istilah semiotika sendiri bermula dari Bahasa yunani yakni semion yang memiliki arti sebuah tanda menurut alex sobur secara etimologis. Tanda dijelaskan atas konvensi sosial yang ada sebelumnya dapat juga dikatakan memiliki”hal yang”lain juga (Sobur, 2009, p. 95).
Ilmu tentang”tanda-tanda merupakan semiotika itu sendiri. Pembelajaran mengenai tanda dimana memiliki hubungan cara fungsinya, yang berarti”hubungan tanda dengan tanda lainya. Penerimaan dan pengirimanya oleh”orang-orang yang memakainya. Studi tersebuit berganggapan bahwa kebudayaan dan fenomena sosial itu termasuk kedalam suatu tanda juga. Semiotika mengkaji cara, sistem, aturan, konvensi yang mempunyai makna (Kriyantono, 2006, p. 256).
Ide semiotik (makna, tanda, interpretasi dan denotatum) dapat digunakan untuk segala aspek kehidupan selama tidak ada syarat yang terpenuhi, yaitu ada artinya diberikan, ada makna dan interpretasi (Cristomy dan Lucky Yuwono 2004: 79). Kajian semiotika”berkembang menjadi dua klasifikasi, yakni semiotika signigfikasi dan semiotika komunikasi. Semiotika signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Sedangkan semiotika komunikasi
menekankan”pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan”adanya enam factor”dalam komunikasi. (Sobur, 2009, p. 15). Di sinilah terciptanya berbagai jenis kajian semiotika”seperti semiotika binatang, semiotika medis dan lain-lain, yang”mana menurut Eco mencapai 19 bidang kajian (Sobur, 2009, p. 109).
Berdasarkan ruang lingkupnya, semiotika dibagi atas tiga macam berikut (Vera, 2014, p. 4) :
1. Semiotika Murni/Pure semiotic mengkaji mengenai filosofis semiotika, dimana berhubungan dengan metabahasa, dalam cakupan yang arti hakikat bahasa universal. seperti, pembahasan mengenai hakikat bahasa sebagaimana disusung oleh Saussure dan pierce.
2. Semiotika Deskriptif/Descriptive semiotic adalah ruang lingkup semiotika yang mengkaji mengenai semiotika tertentu saja, misalnya Bahasa tertentu atau sistem tanda tertentu, secara deskriptif.
3. Semiotika Terapan/Applied semiotic adalah lingkup semiotika yang membahas tentang penerapan semiotika pada bidang atau konteks tertentu, misalnya dengan kaitanya sistem tanda sosial, sastra, komunikasi, periklanan, dan lain sebagainya.
a. Kategori – Kategori Tanda
Pierce dan Soussure mengatakan tentang cara memberikan makna. Pierce menciptakan”tiga kategori tanda yang mana menunjukan”korelasi yang tidak sama
diantara tanda atas lambang, ikon dan indeks. Dapat perjelas sebagai berikut (Kriyantono, 2006, p. 264):
1. Lambang : sebuah tanda yang hubungan diantara tandanya dan acuannya adalah yang”sudah tercipta secara konvensional.
2. Lambang ini merupakan tanda”yang diciptakan oleh sebuah consensus dari orang-orang pengguna tanda. Warna merah bagi”masyarakat Indonesia melambangka n berani, mungkin”di Amerika bukan
3. Ikon : sebuah tanda”dimana terdapat hubungan didalam acuanya dan tandanya berupa”hubungan bedasarkan kemiripan. Oleh karena itu, ikon adalah bentuk tanda berbagai”bentuk yang mirip dengan objek dari tanda.
4. Indeks : sebuah tanda mengenai hubungan antara acuanya dan tandanya yang timbul karena sebuah kedekatan eksistensi. Jadi indeks adalah sebuah tanda yang mempunyai korelasi langsung dengan objeknya.
2.1.4 Model Semiotika dari Jhon Fiske
Dalam penelitian ini memakai teori semiotika John Fiske, semiotika memiliki dua fokus utama, yakni hubungan dengan tanda dan maknanya dan bagaimana sebuah tanda dikolaborasikan menjadi sebuah kode (Elvinaro, 2017, p. 22). Teks merupakan perhatian tersendiri di dalam semiotika.”Teks mengenai ini”dapat dijelaskan secara luas, bukan hanya sebuah teks tertulis. Semua hal mengenai sesuatu yang memmpunyai sistem tanda komunikasi, contophnya yang dimiliki pada teks tertulis, dapat dianggap teks, seperti sinetron, drama film, opera sabun, fotografis, kuis, iklan, sehingga tayangan sepakbola (Fiske, 2007, p. 282).
Fiske menganalisis acara televisi sebagai teks yang berguna untuk mengecek berbagai lapisan social budaya isi dan makna. Fiske tidak sepaham dengan teori yang mana massa menggunakan produk yang diberikan pada mereka dengan tanpa berpikir.
Fiske menolak gagasan mengenai penonton yang mengartikan massa yang tidak kritis.
Fiske memberitau audiensi dengan banyak latar belakang dan identitas sosial yang menjadikan mereka untuk menerima sebuah teks yang berbeda. Menurutnya, semiotika merupakan ilmu mengenai petanda dan makna dalam sistem tanda; ilmu tentang media atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya. John Fiske berargumen bahwasanya ada tiga bidang utama dalam semiotika, yaitu :
a. Tanda itu sendiri terdiri atas ilmu berbagai macam tanda berbeda, cara tanda- ini berhubungan dengan manusia”yang menggunakannya. Tanda merupakan konstruksi manusia”dan hanya dapat dimengerti”dalam pemahaman manusia yang mem,akainya.
b. Kode atau sistem mengorganisasikan tanda. Studi ini termasuk cara berbagai kode dikembangkan dan digunakan untuk”memenuhi keperluan suatu”masyarakat atau budaya untuk mendalami saluran”komunikasi yang ada”untuk mengtransmisikannya.
c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini adalah caranya”bergantung pada kode dan tanda itu yang berguna”sebagai bentuknya”sendiri dan keberadaan..
Dalam kode-kode televisi yang dikatakan teori Jhon Fiske, memperlihatkan kejadian yang ditampilkan pada televisi telah dienkode oleh kode sosial yang terbagi dalam tiga level yaitu :
1. Level Realita, Kode kode sosial yang masuk ke dalam sebuah level pertama ini yakni mencakup penampilan, kostum, make up, lingkungan, perilaku, gaya bicara, Gerakan, ekspresi. Dalam bahasa tertulis seperti misalnya wawancara, dokumen, teks dan sebagainya.
2. Level Representasi, Kode kode yang termasuk dalam level kedua ini berkaitan dengan kode kode teknik, seperti kamera, pencahayaan, editing, pertelevisian, Musik dan suara. Dalam Bahasa”tulis ada kata, kalimat, proposisi, dan lain sebagainya. Mencakup kode kode representasi”seperti narasi, konflik, karakter, aksi, dialog, latar dan pemeran.
3. Level Ideologi, Terorganisir”mengenai penerimaan”hubungan sosial oleh kode ideology seperti nasionalis, patriarki, ras, kelas, kapitalisme, individualis, materialism”dan lain lain (Fiske, 2007, p. 3)
2.2 Penelitian Terdahulu
Penulis merunut bedasarkan beberapa referensi mengenai analisis semioka pada sebuah film. Referensi yang menjadi acuan berupa jurnal dan skripsi. Berikut spenelitian terdahulu yang menjadi acuan penulis :
SKRIPSI DAN JURNAL
1 Judul ANALISIS SEMIOTIKA REPRESENTASI BODY SHAMING PADA FILM IMPERFECT: KARIR, CINTA & TIMBANGAN
Peneliti Umi Nurul Fadilah
Tahun 2021
Sumber (Fadilah, 2021, pp. 1-141)
Hasil Terdapat beberapa hal yang peneliti temukan dalam skripsi berjudul Imperfect: Karir, Cinta & Timbangan dengan”tiga level sosial John Fiske. Mengenai representasi body shaming, sebagai berikut : 1. dalam segi realitas kode yang diperlihatkan seperti kode dalam berpenampilan dan menggunakan make upyang ditunjjukan dalam film tersebut yakninya: penampilan dari seorang Rara dimana Rara menjadi korban dari aksi body shaming ditunjukkan dengan perawakannya yang gemuk juga hitam, selain itu penampilan dari orang yang merupakan pelaku bodyshaming ini di perlihatkan dengan perawakan ramping dan putih serta cantik. Kode ekspresi di perlihatkan pada film ini seperti berikut ekspresi korban”body shaming diperlihatkan murung, sedih, kesal dan marah, ekspresi dari pelaku body shaming terlihat cuek dan menganggap meremehkan. Dan kode bahasa tubuh yang di perlihatkan pada pelaku body shaming layaknya membuang muka atau cuek dan mengalihkan pandangan dari si korban body shaming.
2. Pada level representasi, kode yang diperlihatkan layaknya kode dalam pengambilan gambar yang dipakai pada film sebagai berikut : medium close up, Medium long shot, extreme long shot pada tiga teknik pengambilan gambar ini bisa menunjukkan bagaimana
interaksi antar pemeran selama melakukan tindakan body shaming dan memperlihatkan bagaimana ekspresi yang dikeluarkan karakter pelaku dan korban body shaming.
3. Pada level ideologi yakninya adalah body shaming direpresentasi dalam dialog”yang memperlihatkan body shaming bentuk nonverbal dan verbal.
Perbedaan Fokus penelitian berbeda dimana penelitian diatas mencoba menganalisis mengenai body shaming sedang kan penelitian yang dilakukan menganalisis egois di dalam sebuah film. Film yang menjadi objek penelitian pun berbeda.
2 Judul REPRESENTASI ISLAMPHOBIA DALAM FILM BULAN TERBELAH DI LANGIT AMERIKA (Analisis Semiotika John Fiske)
Peneliti Khori Thesa Khomsani Tahun 2020
Sumber (KHOMSANI, 2020, pp. 1-153)
Hasil Pada penelitian serta pembahasan”tentang representasi Islamphobia pada film Bulan Terbelah di Langit Amerika,”peneliti memfokuskan kepada visual dan audio serta”dianalisis lewat semiotika John Fiske. Film ini menunjukan representasi
Islamphobia yang ada dalam film”dilihat bedasarkan level”yang dikatakan oleh John Fiske yaitu:
1. Pada level Realitas, Islamphobia dapat di lihat dari aspek cara bicara, penampilan, ekspresi, perilaku dan lingkungan. Ketika masyarakat non muslim bertemu atau melihat dengan orang Islam mereka akan menghujat, menghindar dan”mencaci maki, serta juga memperlihatkan ketakutan dan ketidaksukaan mereka terhadap”Islam.
2. Pada level representasi kode teknis”dan konvensional”yang terdapat pada film ini yang memperlihatkan Islamphobia tercermin lewat aspek pencahayaan, kamera, suara, dan musik. Bedasarkan Asepek kamera dan pencahayaan penikmat film dapat memahami dan melihat cerita bagaimana Islam ditakuti”oleh masyarakat non muslim Amerika dan memperoleh pesan”,yang ada pada film agar bisa menyimpulkan bagaimana kondisi Islam yang terdapat dalam film. Suara dan musik sangat mendukung suasana yang memperlihatkan Islamphobia pada scane atau adegan yang”ditampilkan.
3. Level ideologi yang dapat”disimpulkan penggambaran Islamphobia dan”perilaku Islamphobia yang dilakukan”oleh
masyarakat non muslim Amerika sehingga”ideologi yang peneliti simpulkan”adalah kepercayaan.
Perbedaan Memiliki objek dan focus penelitian yang berbeda terkait dengan film yang digunakan dan dengan isu yang diangkat menjadi focus penelitian
3 Judul FEMINISME DALAM FILM PENDEK “TILIK” (Analisis Semiotika John Fiske)
Peneliti Ela Indah Dwi Syayekti Tahun 2021
Sumber (SYAYEKTI, 2021, pp. 1-80)
Hasil Pembahasan yang telah dikaji mengenai bagaimana feminisme dalam film Tilik yaitu:
1. Level realitas feminisme pada film ini diperlihatkan oleh gaya bahasa tubuh dan berpakaian Dian, Bu Tejo dan yang lainya pada pemain film Tilik. Ibu-ibu menggunakan pakaian sederhana yang dapat digunakan dalam hidup kesehari-harian yaitu dengan pakaian yang panjang serta jilbab biasa, make upnya diperlihatkan tanpa make up dan tipis. Dian memakai kemeja dengan rok span selutut serta make up sedang. Lalu bu tejo mengenakan jilbab, pakaian dan rok panjang tidak lupa aksesoris berupa bross dan perhiasan seperti
cincin dan gelang, dia menggunakan make up sedang dengan bahasa tubuh yang terkesan patriarki.
2. Level representasi feminisme tergambar pada dialog dan shot pada beberapa scene, diantaranya:
a. Scene 15, dimana Yu Ning terlihat khawatir melihat kondisi Bu Lurah.
b. Scene 17, dimana Dian mengatakan kepada Mas Minto mengenai niatnya untuk jujur dalam menjalin hubungan.
c. Scene 6, dimana Bu Tejo memberikan beberapa uang pada Gotrek untuk kampanyenya dalam pencalonan Lurah suaminya.
d. Scene 3, ketika Yu Sam sedang mabuk, scene 12 ketika Bu Tejo menjelek-jelekan Dian dan Yu Ning melakukan pembelaan Dian, scene 14, ketika Yu Ning memberikan uang untuk membayar pengobatan Bu Lurah.
e. Scene 1, dimana ibu-ibu berdiri di atas truk dan scene 11, ketika ibu-ibu mendorong truk.
3. Level ideologi feminisme pada film tilik dapat dttemui melalui kepemimpinan seorang perempuan yang disukai oleh masyarakat, perempuan yang sangat mandiri pada setiap pengambilan keputusanya, dukungan terhadap sesame perempuan, partisipasi politik perempuan dan kekuatan perempuan. Hal ini
memperlihatkan bagaimana gambaran tentang ideologi feminisme yang ada pada masyarakat.
Perbedaan Pokok bahasan pada penelitian tersebut berbeda dengan focus yang akan peneliti teliti, scane yang digunakan sebagai unit analisis pun berbeda dalam segi jumlah dimana peneliti hanya menggunakan 4 scane yang akan di teliti.
4 Judul ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE MENGENAI REALITAS BIAS GENDER PADA IKLAN KISAH RAMADHAN LINE VERSI ADZAN AYAH
Peneliti Della Fauziah Ratna Puspita Tahun 2018
Sumber (Puspita, Della Fauziah Ratna, 2018, pp. 1-15)
Hasil Pada analisis melalui level realitas, dalam kode pakaian, tampilan, ekspresi, gesture, suara, teks dan percakapan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa digambarkan dengan memperlihatkan perempuan dan laki-laki secara bersamaan. Pada aspek tempat digambarkan dari sebuah pekerjaan yang dikerjakan oleh Ida sebagai perempuan di wilayah domestik dan Ari sebagai laki – laki yang ada pada wilayah publik. Dalam kode tampilan, perempuan diperlihatkamn mengenakan tata rias walau tata rias ini nampak natural. Sedangkan laki-laki diperlihatkan tanpa riasan wajah akan
tetapi tampilan dari fisiknya yang memperlihatkan kekuatan. Dalam kode gesture, bias gender digambarkan dengan sosok Ida yang begitu lemah lembut, kasih saying dan tidak cekatan seorang ibu.
Sedangkan laki-laki, digambarkan dengan gesture yang lebih kuat, bersemangat, serta cekatan. Setelah itu pada kode ekspresi, digambarkan pada kedua iklan ini sosok perempuan ditampilkan sosok yang lebih ekspresif terhadap kesedihan, kegelisahan, dan juga kebahagiaan. Pada kedua iklan ini beberapa kali memperlihatkan, bahwa perempuan lebih emosional tidak bisa menahan ekspresi kesedihannya, walau dalam adegan nampak kesedihan itu ditutupi dibalik senyuman. Akan tetapi, laki-laki ditampilkan nampak kurang ekspresif, pada beberapa adegan yang sedih, ekspresi dari sang ayah masih dapat dikendalikan. Kode percakapan pada kedua iklan ini memperlihatkan bahwa pasangan suami istri memiliki hubungan komunikasi yang baik. Kode suara yang muncul memperlihatkan identitas dari kedua pemeran pada iklan Ramadhan Line versi Adzan Ayah, dan yang terakhir kode teks, pada iklan tanda- tanda bias gender yang ada pada isi percakapan Ida dan Ari melalui aplikasi Line sangat kuat.
Perbedaan Penelitian tersebut menjadikan iklan sebagai objek penelitianya sedangkan peneliti meneliti 10 scane dari film layangan putus
sebagai objek penelitian yang akan memfokuskan penelitian terhadap isu egoism yang ada pada 10 scane tersebut.
5 Judul IDEOLOGI PATRIARKI DALAM FILM (SEMIOTIKA JOHN FISKE PADA INTERAKSI AYAH DAN ANAK DALAM FILM CHEF)
Peneliti Harry Setiawan Tahun 2020
Sumber (Setiawan, 2020, pp. 1-12)
Hasil Pada penelitian ini Film dengan judul diatas dapat dijadikan acuan membangun interaksi anak dan ayah karena capaian dari temuan data film yang dianlisis dengan pendekatan semiotika John Fiske level realitas, representasi, dan ideologi yang dimunculka n memperlihatkan realitas keluarga interaksi anak dan ayah.
Penuturan atau adegan pada film ini dibentuk sebisa mungkin fokus dalam interkasi ayah dan anak dalam membentuk hubunga nnya pasca bercerai. Dalam aspek pendekatan semiotika John Fiske pada level realitas dimunculkan dengan setting lingkungan lokasi food truck dan lokasi lain mampu memberikan sensasi visual yang fokus dan padat ditambah dengan narasi melalui dialog antar karakter tersebut
ditunjukan ruang-ruang sempit di dalam area food truck maupun area lain membentuk interaksi karakter Carl dan Percy semakin dalam terjadi. Level representasi pada film ini diperlihatkan dengan baik pada pemilihan sudut pangambilan gambar dan komposisi gambar merepresentasikan interaksi ayah dan anak. Level Ideologi yang dimunculkan pada film adalah patriarki yang menyajikan gambaran tentang membangun interaksi anak dan ayah tidaklah mudah tetapi bukan tidak mungkin terjadi. Interaksi antara anak dan ayah perlu terus dilakukan agar anak tidak kehilangan seorang ayah dan film ini memunculkam realitas yang baik untuk ideologi patriarki tersebut.
Perbedaan Perbedaan terletak pada isu yang diangkat sebagai subjek penelitian dimana penelitan tersebut mengangkat dan membqahas isu terkait dengan isu patriarki sedangkan peneliti mengangkat isu egoism sebagai subjek dari penelitian.
1 Judul REPRESENTASI INDIVIDUALISME (Analisis Semiotika John Fiske Dalam Drama School 2017)
Peneliti Azhari Bevarlia Tahun 2018
Sumber (Bevarlia, Azhari, 2018, pp. 1-10)
Hasil Hasil analisis data tentang representasi perilaku individualis pelajar pada drama School 2017 yang memakai Analisa semiotika John Fiske, oleh karna itu terdapat kesimpulan yang dapat dipetik dari sequence dari hasil penelitian yakninya:
1. Level Realitas Dari enam sequence yang peneliti amati, pada level realitas peneliti menyimpulkan bahwa terdapat kode-kode sosial pada drama yang mana tingkah laku dan lingkungan adalah rupa dari konteks social dan budaya yang saling berkaitan dan berpengaruh dengan kemajuan dari teknologi dan kemajuan pada suatu negara. Jika kemajuan suatu negara sangat cepat maka masyarakat didalamnya pun akan ikut mengalami pergantian dengan cepat untuk menyesuaikan. Oleh karna itu kehadiran karakteristik individualisme dapat diperhatikan pada masyarakat terutama pelajar.
2. Level Representasi Pada level ini peneliti dapat berkesimpulan bagaimana kode-kode konvensional dan teknis yang memperlihatkan tindakan individualisme yang terdapat pada kalangan pelajar Korea yang terlihat lewat konteks kamera, karakter dan konflik. Penyampaian cerita yang baik lewat kamera dapat menjadikan penonton ikut merasakan serta melihat dengan jelas realita yang ada dipertunjukkan dengan sesuai pada level ini.
Selain itu, konfliknya mengenai perundungan, individualis yang juga sebagai persamaan dari realita yang ada di pelajar Korea.
Perubahan yang cepat telah memunculkan dampak pada perubahan karakteristik pelajar Korea saat ini dengan sebelumnya.
3. Level Ideologi Individualisme adalah ideologi yang tercipta dan banyak tumbuh di negara. Perubahan yang terjadi di semua aspek kehidupan, tidak terkecuali pada aspek teknologi dan pekerjaan telah menjadikan banyak pelajar terpengaruh, ini menjadikan persaingan dalam dunia pendidikan di Korea pun ketat yang memunculkan individualisme. Kesimpulan yang dapat peneliti tarik pada drama ini adalah memiliki ideologi individualisme yang terlihat melalui tokoh pendukung yaitu Yoo Bitna, Kim Heechan, dan Ahn Jungil. Dapat digambarkan dari bagaimana mereka mengambil kepentingan diri sendiri terlebih dulu, tidak memiliki toleransi dalam menggapai target yang di inginkan serta mengandalkan segala cara.
Perbedaan Penelitian mengkaji makna individualisme yang ada di film tersebut dengan beberapa shot yang diambil. Sedangkan peneliti fokus kepada isu egois dengan representasi masalah konflik pasangan
2 Judul ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE DALAM TAYANGAN LENTERA INDONESIA EPISODE MEMBINA POTENSI PARA PENERUS BANGSA DI KEPULAUAN SULA
Peneliti Trivosa Pah
Tahun 2019
Sumber (Pah, 2019, pp. 1-22)
Hasil Berdasarkan analisis pembahasan, maka pesan yang ingin diberikan kepada Penonton melalui Film Lentera Indonesia episode Membina Potensi Para Penerus Bangsa di Kepulauan Sula, Maluku Utara”
yang tayang pada 6 Mei 2018, adalah:
(1) Pada segmen 1, Perjuangan pemeran anak muda yang bernama Yosa dalam memperjuangkan pendidikan di pelosok yang terdapat di Indonesia, dengan kepribadian yang kreatif, tegas dan sederhana serta.memiliki sifat pemimpin mudah berbaur dengan lingkunga n sekitar.
(2) Pada segmen 2, memperlihatkan pelajaran hidup yang memberikan semangat juang, menginspirasi, kerelaan memberi, kebaikan hati dan kehangatan yang dimunculkan dari pemeran lain selain pemeran utama.
(3) Pada segmen 3, penonton digiring agar melihat potensi daerah Maluku yang memiliki gelar sebagai city of music in Indonesia. Di
sisi yang lain, film ini juga ingin mengkritik tmengenai keadaan pendidikan di Indonesia yang belum merata, terutama di Desa Lekokadai. Kesadaran pemeran Yosa yang ambil bagian dalam pendidikan di daerah tersebut, ingin menyadarkan kepada masyarakat dan pemerintah mengenai pentingnya sentuhan pemerintah serta masyarakat untuk ikut andil dalam membangun pendidikan di daerah tersebut.
Perbedaan Penelitian tersebut berfokus kepada persoalan keluarga dan juga penelitian tersebut membagi focus penelitian kepada beberapa segmen yang akan diteliiti
3 Judul ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE MENGENAI REALITAS BIAS GENDER PADA IKLAN KISAH RAMADHAN LINE VERSI ADZAN AYAH
Peneliti Della Fauziah Ratna Puspita Tahun 2018
Sumber (Puspita, 2018, pp. 1-15)
Hasil Berdasarkan level realitas, dalam kode tampilan, pakaian, gesture, ekspresi, percakapan, suara dan teks. Dapat disimpulkan bahwasannya”iklan Ramadhan Line versi Adzan Ayah mengandung”realitas”bias”gender. Dengan”menampilkan laki-laki dan perempuan secara”bersamaan. Dalam aspek tempat
diperlihatkan dari pekerjaan”yang dilakukan oleh Ida sebagai perempuan”di wilayah domestic”dan Ari sebagai laki – laki berada pada wilayah publik. Pada kode tampilan, perempuan”ditampilka n menggunakan tata rias walaupun”tata rias tersebut nampak natural.
Sedangkan”laki-laki ditampilkan tidak dengan”riasan wajah akan tetapi tampilan”dari fisiknya sendiri yang”menampilkan sebuah kekuatan. Pada kode gesture, bias gender”digambarkan pada sosok Ida yang begitu”lemah lembut, tidak cekatan, dan menampilkan gesture kasih saying”seorang ibu. Sedangkan laki-laki, ditampilkan dengan gesture yang lebih”bersemangat, kuat, cekatan. Selanjutnya pada kode ekspresi, Nampak”jelas pada kedua iklan ini sosok perempuan”ditampilkan sebagai sosok yang”lebih ekspresif terhadap kegelisahan, kesedihan, dan juga”kebahagiaan. Pada kedua iklan ini beberapa kali”menampilkan, bahwa perempuan lebih emosional”tidak bisa menahan ekspresi kesedihannya, walaupun dibeberapa"adegan nampak kesedihan itu disembunyika n dibalik senyuman. Sedangkan, laki-laki ditampilkan nampak kurang ekspresif, dalam beberapa adegan”yang haru, ekspresi dari sang ayah masih dalam kendali. Kode”percakapan pada kedua iklan ini menunjukan”bahwa pasangan suami istri ini memiliki hubunga n komunikasi yang baik. Kode suara yang muncul menunjuka n
identitas dari”kedua tokoh pada”iklan Ramadhan Line versi Adzan Ayah, dan yang”terakhir kode teks, pada”iklan ini memperkuat tanda- tanda bias”gender yang ada pada”isi percakapan Ida dan Ari melalui aplikasi”Line.
Perbedaan Focus penelitian tersebut terdapat pada genre yang dilihat dari bagaimana ekspresi, make up dan lain sebagainya mendukung perbedaan genre, sedangkan penelitian penulis berfokus pada isu egois yang lebih dilihat dari gestur, mimik wajah dan bagaimana para aktris berkomunikasi.
4 Judul REPRESENTASI TERORISME DALAM DUA ADEGAN FILM DILAN 1990 DENGAN ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE Peneliti Rizca Haqqu
Tahun 2022
Sumber (Haqqu, 2022, pp. 1-14)
Hasil Bedasarkan pada asumsi”awal penelitian ini hanya berfokus kepada dua scane yang merepresentasikan teroisme sebagai keterbatasan penelitian bukan dalam keseluruhan adegan. Berdasarakan hasil dan pembahasan penelitian menggunakan teori Semiotika John Fiske dalam membedah dan menganalisis, diketahui dua scane yang digunakan sebagai unit analisis menunjukkan Tindakan terorisme. Pada level realitas kode yang dimunculkan dalam bentuk
kostum yang dipakai, dialog dengan kalimat memprovokasi, ekspresi yang diberikan pemeran pada scane penyerangan, dan penampilan preman mempertegas aksi teror pada scane sebuah.film.
Kemudian di level representasi, kodd pengambilan instrument music, sudut gambar, dan penokohan bertujuan untuk memunculkan kesan kondisi menakutkan dan mencekam yang dapat memperkuat makna terorisme dalam visualisasi film. Di level ideologi, makna terorisme dijelaskan pada alur film dalam bagian kedua. Konflik yang dihadirkan pada cerita film menunjukan aksi kelompok anak remaja yang ada dalam sebuah geng motor berniat melakukan penyerangan, mempersenjatai.diri dengan senjata tajam, menggunakan kekerasan, mengancam, menimbulkan.ketakuta n kepada orang banyak secara luas, merusak.fasilitas umum atau lingkungan, melakukan aksi konvoi di sepanjang jalan, dan..melakukan..semua..secara..terorganisasi..dengan.tujuan.untuk melakukan suatu aksi teror.
Perbedaan Perbedaanya terletak pada jumlah scane yang diteliti oleh peneliti dimana jurnal ini meneliti 2 adegan sedangkan peneliti meneliti 10 scane. Focus penelitian juga berbeda dimana jurnal ini membahas
mengenai isu terorisme sedangkan peneliti membahas isu tentang egoism.
5 Judul REPRESENTASI POLIGAMI DALAM FILM ATHIRAH ( STUDI ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE)
Peneliti Erik Pandapotan Simanullang Tahun 2018
Sumber (Simanullang, 2018, pp. 1-15)
Hasil Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian tentang representasi poligami pada film Athirah, penelitian yang berfokus dalam visual dan audio serta”dianalisis dengan semiotika John Fiske, maka bisa disimpulkan”beberapa kesimpulan tentang poligami pada film Athirah ini.
Film Athirah memperlihatkan bahwa representasi poligami yang ada pada film dilihat dari tiga”level.yang”dikemukakan.oleh Jhon Fiske, sebagai berikut: Pada level”realitas, dampak”poligami”bagi isteri dan”anak dapat dilihat pada aspek”cara bicara, penampilan, gerak”tubuh, perilaku, ekspresi dan”lingkungan pada film Athirah.
Pada level representasi, kode”konvensional dan teknis dan yang terdapat dalam film Athirah memberlihatkan dampak poligami bagi isteri dan anak dilihat melalui aspek music, pencahayaan, kamera, dan suara. Level ideologi yang diperoleh, nilai poligami dan usaha
isteri yang dipoligami sehingga ideologi yang peneliti simpulkan sebagai ideologi dari patriarki dan feminism
Perbedaan Focus penelitian berbeda dimana penelitian pada jurnal ini membahas mengenai isu poligami sedangan penelitian yang dilakukan membahas mengenai isu egosime
2.3 Kerangka Pemikiran
Penelitian film yang bersifat visual-audio dapat mengambil salah”satu model semiotika sebagaimana”analisis ini dipakai dalam sebuah film, penelitian”yang mebahas mengenai layangan putus bisa menjadi contoh dalam penelitian ini.
Dengan”menggunakan analisis dari Jhon Fiske peneliti akan membahas kode yang di film. Film ini”sarat dengan pesan-pesan moral, terutama sifat”keegoisan dengan konteks yang”bervariasi, seperi keegoisan”yang dimunculkan oleh Aris suami dari Kinan.
Gambar Kerangka Pemikiran Analisis Semiotika John Fiske pada 10 Scane Layangan Putus ( Sifat Egois dalam Series Layangan Putus Analisis Semiotika
John Fiske)?
Egois
Model Analisis Semiotika Jhon Fiske
Realita Representasi idiologi
BAB III
MERODE PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian
Suatu pemikiran dimana diperlukan untuk mencapai target atau keinginan peneliti dari penelitian ini disebut dengan paradigma. Penelitian sendiri merupakan sebuah usaha untuk mengungkapkan kebenaran dan memperkuat pernyataan yang telah ada pada penelitian sebelumnya. Berbagai usaha tentunya dilakukan oleh para ahli, filsuf, maupun peneliti dari manapun untuk mendapat hasil yang akurat. Paradigma penelitian juga menerangkan bagaimana peneliti memakai pemahaman pada sebuah permasalahan dan juga kriteria dalam menguji landasan dalam memecahkan permasalahan pada penelitian (Guba, 1981, p. 89).
Paradigma awalnya dikemukakan Thomas Kuhn, lalu setelah itu diperkenalkan Friedrichs pada 1970. Menurut Kuhn,”paradigma merupakan upaya mencari tahu kenyataan yang dibentuk oleh”mode of thought tertentu yang selanjutnya memperoleh“mode of knowing tertentu. pengertian tersebut bagi Friedrichs, adalah sebuah pandangan”yang mendasari suatu”disiplin kajian mengenai apa yang”menjadi persoalan.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktiv dimana memandang komunikasi menganalisis secara sistematiskepada social meaningfulaction dengan pengamatan secara langsung dan rinci kepada perilaku social dalam setting keseharian