• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEARIFAN LOKAL HADINGMULUNG DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR DAN LAUT DI DESA BLANGMERANG PANTAR BARAT KABUPATEN ALOR ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEARIFAN LOKAL HADINGMULUNG DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR DAN LAUT DI DESA BLANGMERANG PANTAR BARAT KABUPATEN ALOR ABSTRACT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KEARIFAN LOKAL HADINGMULUNG DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR DAN LAUT DI DESA BLANGMERANG PANTAR

BARAT KABUPATEN ALOR

Hikmah Rahmawati Aliudin Basir1, Ignasius Suban Angin2, Email: Hikmahbasir@gmail.com

ABSTRACT

This research was conducted with the aims (1) to find out the early history of the traditional ritual of Hadingmulung, (2) to understand the implementation process of Hadingmulung (3) to find out the purpose and benefits of the traditional ceremony of Hadingmulung.The type of research used is interpretative qualitative research with the setting of Blangmerang village. The method of collecting data through interviews and observations using interview guidance instruments. The determination of informants was carried out deliberately, with the snowball method for primary data while the secondary data was carried out by the study of documentation. The data obtained were analyzed using qualitative descriptive analysis.

Based on the results of data analysis the results of the research concluded that the:

Hadingmulung traditional ritual (tancap prohibition) had existed for a century ago during the kingdom era. Hadingmulung is a traditional ritual intentionally carried out by the people of the kingdom of Baranusa to protect the sea products in the waters of the island of Lapang and Batang island to remain available so that people can use the marine products to support their families. Hadingmulung traditional rituals are carried out on the agreement of five villages along with the traditional leader and the village government. Local people believe that natural law will apply to anyone who violates the rules of Hadingmulung. The form of punishment that nature provides can be in the form of accidents both on land and at sea.

Keywords: Local wisdom Hadingmulung, public Blangmerang village West Pantar, management of coastal and marine area resources

A. LATAR BELAKANG

Sumberdaya alam wilayah pesisir dan laut, saat ini di sadari merupakan suatu potensi sumberdaya yang cukup menjanjikan dalam mendukung tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Konsekuensi logis dari sumberdaya pesisir dan laut sebagai sumberdaya milik bersama (common property) dan terbuka untuk umum (open acces) maka pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut semakin meningkat di hampir semua wilayah.

Seiring dengan meningkatnya usaha penangkapan dalam memenuhi kebutuhan pangan baik bagi masyarakat di sekitarnya maupun terhadap permintaan pasar antar pulau dalam negeri dan luar negeri.

Terdapat 3 isu utama yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir ini, antara lain;

pertama isu degradasi biofisik lingkungan pesisir (karang, stok ikan, erosi pantai, pencemaran, sedimentasi dan siltasi, kedua isu konflik pemanfaatan dan kewenangan di wilayah pesisir sehingga mengurangi efektivitas pengelolaan pesisir secara lestari, dan ketiga ketidakpastian hukum sering terjadi karena adanya ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir (Ernan Rustiadi, 2015 dalam Luky Adrianto, et al 2015).

(2)

Angin (2010), mengatakan bahwa degradasi lingkungan laut dapat terjadi karena eksploitasi sumberdaya laut yang tidak rasional, penangkapan ikan secara berlebihan hingga melampaui kemampuan produksi lestari. Kerusakan-kerusakan kawasan pantai dapat terjadi karena pengambilan karang batu atau pasir secara tidak terkendali hingga dapat menyebabkan erosi pantai.

Potensi sumberdaya alam laut dan pesisir yang begitu besar dengan cepatnya tergerus akibat pola pengelolaan yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip keseimbangan (Principle of harmony) dan nilai-nilai lestari (sustainable values). Pada sub-sektor perikanan tangkap misalnya, menunjukan bahwa stok ikan dibeberapa wilayah perairan laut seperti Selat Malaka, Laut Jawa, Pesisir Selatan Sulawesi, Selat Bali dan Laut Arafura telah mengalami tangkap jenuh (over fishing). Hal ini terutama akibat dari pengelolaan yang tidak mengindahkan prinsip keberlanjutan (sustainable), sehingga dikhawatirkan jika tidak ada pengelolaan yang arif, maka eksploitasi terhadap sumberdaya ikan akan melebihi produksi potensi lestari (Maximu Sustainable Yield /MSY) (Kementrian Kelautan : 2013).

Pengelolaan sumberdaya alam wilayah pesisir merupakan salah satu aspek yang dikaji oleh

ilmu geografi. Geografi adalah ilmu yang bersifat “human oriented’’ sehingga manusia dan kegiatan manusia selalu menjadi fokus analisis dalam keterkaitannya dengan lingkungan biotik, abiotik, maupun lingkungan sosial, ekonomi, dan kulturnya (Dangana and Tropp, 1995). Manusia dalam hal ini tidak boleh diartikan sebagai makhluk biologis semata yang setaraf dengan makhluk hidup lainnya, namun adalah sosok yang dikaruniai daya cipta, rasa, karsa, dan karya atau makhluk yang berbudi daya.

Pola kearifan lokal umumnya menempatkan kapasitas budaya, sistem pengetahuan dan teknologi, religi, tradisi, dan modal sosial (etika dan kearifan lingkungan, norma-norma dan institusi hukum) sebagai sesuatu yang penting dalam rangka memanfaatkan sumberdaya.

Kapasitas budaya tersebut yang digunakan untuk menyeimbangkan antara pemanfaatan dan penangkapan dan potensi yang diperkirakan. Konsep tersebut sebenarnya tujuan keberlanjutan dan kelestarian sebagai pertimbangan penting masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumberdaya laut dan pesisir.

Secara konsepsional kearifan lokal yang berkembang di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Hak Ulayat Laut (HUL) merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, seatenure. Selanjutnya Sudo (1983) mengatakan bahwa seatanure merupakan suatu sistem, di mana beberapa orang atau dapat dikatakan beberapa kelompok sosial yang memanfaatkan wilayah laut, mengatur tingkat eksploitasinya termasuk melindunginya dari eksploitasi yang berlebihan (overexploitation).

Sumarmi dan Amirudin (2014) menjelaskan bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Fungsi kearifan lokal adalah sebagai berikut. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, sebagai elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan. Ketiga, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. Keempat, mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common ground/ kebudayaan yang dimiliki. Kelima, mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi (Sumarmi dan Amirudin, 2014).

Kearifan lokal merupakan wujud dari perilaku komunitas atau masyarakat tertentu sehingga

(3)

menguraikan bahwa kearifan lokal merupakan suatu kegiatan unggulan dalam masyarakat tertentu, keunggulan tersebut tidak selalu berwujud dan kebendaan, sering kali di dalamnya terkandung unsur kepercayaan atau agama, adat istiadat dan budaya atau nilai-nilai lain yang bermanfaat seperti untuk kesehatan, pertanian, pengairan, dan sebagainya. Merujuk pengertian tersebut dapat dijelaskan pula bahwa kearifan lokal sudah mengakar, bersifat mendasar, dan telah menjadi wujud perilaku dari suatu warga masyarakat guna mengelola dan menjaga lingkungan dengan bijaksana.

Kabupaten Alor memiliki potensi pengembangan perikanan laut yang tercatat sebesar 23.920,7 ton dengan didominasi berbagai jenis ikan seperti demersal dan pelagis (BPS Kabupaten alor, 2012). Disamping potensi perikanan, gugus pulau-pulau besar dan kecil serta keindahan alam bawah laut berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata alam laut.

Nilai strategis lainnya dari keberadaan laut Kabupaten Alor adalah letaknya yang berada pada wilayah terluar dan berbatasan langsung dengan Negara Republik Demokrat Timor Leste.

Pentingnya upaya pelestarian kawasan perairan laut Kabupaten Alor ditunjukkan dengan tingginya nilai keanekaragaman hayati yang ada. Data kajian ekologi menunjukkan keanekaragaman hayati perairan Kabupaten Alor memiliki tingkat keragaman yang tinggi. Ini dapat dilihat jenis karangya, dimana terdapat 31 genus yang tergolong dalam 13 famili kerang keras. Namun demikin, akibat aktivitas manusia yang merusak telah mengakibatkan persentase tutupan karang keras berkurang.

Salah satu bentuk kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam wilayah pesisir dan kelautan yang masih berjalan hingga saat ini di kabupaten Alor adalah hadingmulung di wilayah ulayat adat Kerajaan Baranusa desa Blangmerang (perairan Pulau Lapang dan Pulau Batang) Kecamatan Pantar Barat. Hadingmulung (Hading berarti tancap, dan Mulung berarti larangan) merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat setempat berupa sistem pengaturan pemanfaatan sumberdaya laut secara berkala dengan tujuan menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya laut. Dalam kurun waktu tertentu yang disepakati dewan hukum adat dan masyarakat, wilayah Hadingmulung akan ditutup. Aktifitas pemanfaatan sumberdaya laut sama sekali tidak diperbolehkan. Setelah masa “tutup” selesai, sumber daya dapat dimanfaatkan kembali secara bersama. Sumberdaya laut yang disepakati untuk dikelola dengan Hadingmulung antara lain kima, siput, lola, teripang, ikan karang dan ikan pelagis.

Meningkatnya permintaan pasar akan hasil perikanan yang berkualitas telah memberikan tekanan pada keberlangsungan perikanan di wilayah perairan Kabupaten Alor seluas 10.773,62 km². Nelayan dari luar kawasan Alor banyak yang tergoda untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan atau sumberdaya laut lainnya dengan menggunakan alat penangkapan yang merusak dan melupakan segala bahaya yang mengancam ekosistem laut serta kerugian yang harus diderita masyarakat sekitar yang menggantungkan hidupnya pada perairan yang sama.

Tradisi Hadingmulung telah lama hilang di kalangan masyarakat Pantar Barat, Alor, Nusa Tenggara Timur. Padahal tradisi yang telah ada sejak ratusan tahun lalu itu adalah bentuk kearifan lokal yang mampu menjaga kelestarian alam bawah laut dari eksploitasi berlebihan.

Setelah 20 tahun hilang, kini Hadingmulung berusaha dimunculkan kembali.

Sumberdaya laut yang disepakati untuk dikelola dengan Hadingmulung antara lain rumput laut, kima, siput, lola, teripang, ikan karang dan ikan pelagis. Meningkatnya permintaan pasar akan hasil perikanan yang berkualitas telah memberikan tekanan pada keberlangsungan perikanan di wilayah perairan Kabupaten Alor seluas 10.773,62 km². Nelayan dari luar kawasan Alor banyak yang tergoda untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan atau sumberdaya laut lainnya dengan menggunakan alat penangkapan yang merusak dan

(4)

melupakan segala bahaya yang mengancam ekosistem laut serta kerugian yang harus diderita masyarakat sekitar yang menggantungkan hidupnya pada perairan yang sama.

Berdasarkan latar belakang tersebut yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Kearifan Lokal Hadingmulung Dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Dan Laut Di Desa Blangmerang Pantar Barat Kabupaten Alor”. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ekologi. Pendekatan ekologi dalam geografi mempunyai 4 tema analisis utama dan tema analisis yang sejalan adalah Human behavior yang mana memfokuskan pada perilaku manusia baik perilaku sosial, perilaku ekonomi, perilaku cultural dan bahkan perilaku politik baik yang dilakukan oleh seseorang atau komunitas tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah awal terbentuknya ritual adat Hadingmulung, mengetahui proses pelaksanaan upacara adat Hadingmulung, mengetahui tujuan dan manfaat upacara adat Hadingmulung di Desa Blangmerang Kecamatan Pantar Barat Kabupaten Alor.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di desa blangmerang kecamatan pantar barat kabupaten alor. Dalam mengumpulkan berbagai informasi peneliti memperoleh data dari beberapa tokoh masyarakat yang mampu dan memahami serta mengetahui tentang ritual adat Hadingmulung yang terdiri dari Tua Adat 1 Orang, Staf Desa 1 Orang, Masyarakat 2 Orang. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif interpretatif yaitu menelaah secara detail terhadap data yang telah dikumpulkan dan kemudian dilakukan interpretasi, informasi data yang telah terkumpul dianalisis dengan teknik deskriptif interpretatif yaitu akan dilakukan penafsiran (interpretasi) terhadap obyek berdasarkan data yang diperoleh kemudian diambil kesimpulan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Letak, Batas dan Luas Wilayah.

Desa Blangmerang merupakan salah satu desa di kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor, yang secara astronomis terletak antara 13’14,80’’ Lintang Selatan dan 02’13,44’’

Bujur Timur, sedangkan secara geografis Desa Blangmerang mempunyai batas-batas sebagai berikut: Sebelah barat berbatasan dengan kawasan hutan, Sebelah timur berbatasan dengan laut, Sebelah utara berbatasan dengan laut Lembata, Sebelah selatan berbatasan dengan desa Baraler. Secara administrasi luas wilayah desa blangmerang adalah 18,38 Km².

(5)

Gambar 1. Peta administrasi Desa Blangmerang (google earth) Aspek Kependudukan

Berdasarkan data yang diperoleh pada lokasi penelitian, jumlah penduduk di Desa Blangmerang tahun 2018 berjumlah 1.821 jiwa yang terdiri dari 416 kepala keluarga (KK) dengan jumlah laki-laki 916 jiwa dan perempuan 905 jiwa yang tersebar di 2 wilayah dusun dengan laju pertumbuhan penduduk 2,9 persen dan tergolong dalam kategori tinggi. Hal yang menyebabkan pertumbuhan penduduk tinggi ialah bertambahnya kelahiran dan migrasi penduduk dari luar daerah.

a. Sejarah ritual adat Hadingmulung Di Desa Blangmerang, Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor.

Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Blangmerang ialah hadingmulung yakni suatu tradisi larangan secara adat bagi masyarakat untuk tidak mengambil hasil- hasil laut secara bebas. Hadingmulung yang merupakan kearifan lokal masyarakat Desa Blangmerang berasal dari dua kata yaitu “hading” yang berarti tancap dan “mulung” yang berarti larangan.

Jadi hadingmulung berarti tancap tanda larangan. Pengertian umum hadingmulung adalah memancang bendera dalam sebuah upacara adat untuk satu kurun waktu tertentu dan akan dibuka untuk di kelola kembali sementara waktu dan ditutup kembali berdasarkan kondisi hasil laut yang telah di sepakati dalam musyawarah adat.

Awal munculnya upacara adat Hadingmulung pada masa kerajaan sampai tahun 1960 dan berhenti. Pada periode tersebut peraturan yang berlaku adalah peraturan adat. Siapa saja yang melanggar aturan saat itu akan mendapat sanksi sosial dari raja. Diantaranya adalah duduk di bawah meja dan kemudian diberikan nasehat oleh Sang Raja ataupun berlari mengelilingi lapangan. Masyarakat setempat juga percaya bahwa hukum alam akan berlaku bagi siapapun yang melanggar aturan Hadingmulung. Menurut sistem kepercayaan masyarakat setempat bentuk hukuman yang alam berikan dapat berupa sakit yang tidak dapat diobati secara medis,

(6)

kecelakaan baik di laut dan di darat (tenggelam, tersandung batu, digigit buaya). Resiko dan hukuman alam ini dapat dialami secara fatal yakni menimbulkan kematian.

Hadingmulung kembali di berlakukan pada tahun 1977 sampai tahun 1992 dan berhenti, kemudian diberlakukan kembali pada tahun 2016 hingga sekarang. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan adat cukup tinggi sebelum akhir 1970-an

b. Proses pelaksanaan ritual adat Hadingmulung Di Desa Blangmerang, Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor.

Ritual adat hadingmulung dilakukan atas kesepakatan 5 desa, ketua adat, dan pemerintah desa yang berada di kerajaan Baranusa. Setelah mendapat kesepakatan dari semua masyarakat beserta pemerintah setempat, maka dilakukannya sidang adat. Setelah sidang adat selesai dan telah mengetahui keputusan waktu dari ketua adat, maka dipersiapkan semua keperluan yang berkaitan dengan upacara tersebut yaitu sirih, pinang, tembako, dan telur kemudian masyarakat beserta aparat desa berangkat menuju lokasi dimana dilakukannya hadingmulung yaitu di pulau lapang. Setelah sampai di pulau lapang, dimulailah upacara adat/ ritual adat tersebut yang hanya di lakukan oleh ketua adat beserta beberapa orang yang ditunjuk sendiri oleh ketua adat tersebut. Ketua adat yang berperan memimpin ritual adat ini adalah ketua adat yang berasal dari suku sandiata yang bernama bapak Sengaji Gini.

Adapun rincian Kegiatan yang dilakukan pada saat upacara adat hadingmulung ialah ketua adat dari suku sandiata dan juga beberapa orang yang sudah dipilih oleh beliau mereka pergi menuju lokasi yang biasa dilakukan ritual adat, lebih tepatnya tempat yang terdapat sebuah lubang dan ada batu di dalamnya. Setelah tiba di tempat tersebut, barang-barang yang di bawa yaitu sirih, pinang, tambako, dan telur tersebut di taruh di dekat tempat tersebut kemudian mulai melakukan ritual adat tersebut hingga penancapan bendera yang terdapat gambar buaya di beberapa titik yang dianggap strategis agar bisa dilihat oleh para nelayan dari arah laut.

Daerah cakupan hadingmulung sendiri berada di wilayah selatan, timur, dan barat Pulau Lapang dengan total seluas 146,22 hektar.

c. Tujuan dan manfaat upacara adat Hadingmulung Di Desa Blangmerang, Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor.

Potensi wilayah pesisir dan laut yang menjadi penyangga kerajaan Baranusa yang sekarang berada dalam wilayah administratif Desa Blangmerang Kecamatan Pantar Barat Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur ini menjadi sumber pangan dan penghidupan masyarakat di Desa Blangmerang khususnya dan semua masyarakat kerajaan Baranusa pada umumnya. Hasil laut yang telah didapatkan, kemudian dimanfaatkan dengan cara menjual hasil tersebut ke masyarakat sekitar dan juga dijual ke ibu kota kabupaten yaitu Kalabahi. Yang di perjualkan ke ibu kota kabupaten adalah hasil laut seperti ikan yang sudah di keringkan. Dari hasil penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan juga membiayai pendidikan anak- anak.

Hasil laut yang dulunya paling berpotensi di wilayah laut kerajaan Baranusa dan dijadikan sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat sekarang telah berkurang, bahkan ada yang sudah hampir punah seperti lola, teripang, dan siput. Hal ini dikarenakan nelayan luar yang memasuki wilayah perairan kerajaan Baranusa yang dengan tujuan mencari hasil laut itu menggunakan alat- alat penangkap yang merusak. Karena alasan inilah setelah dilalui beberapa pertimbangan dari orang tua adat beserta masyarakat setempat hadingmulung

(7)

yang sering masuk secara diam-diam untuk mengambil hasil laut dengan metode penagkapan yang merusak laut seperti penggunaan bom dan potasium. Selain itu hadingmulung juga berlaku pada masyarakat/ nelayan setempat. Alasan lain diberlakukan kembali hadingmulung adalah untuk menjaga hasil laut agar tetap selalu ada karena bagi sebagian besar masyarakat Desa Blangmerang, hasil laut adalah tumpuan harapan terbesar mereka untuk memenuhi kehidupan sehari- hari mereka dan juga untuk menyekolahkan anak- anak mereka.

Masyarakat pesisir dan nelayan pada lokasi penelitian mempunyai aspirasi, gagasan, ide dan kehendak yang kuat untuk melestarikan, kearifan lokal, adat istiadat, dan hukum adat yang dimilikinya. Timbulnya aspirasi dan keinginan ini, dilandasi oleh adanya kesadaran masyarakat tentang nilai penting dan filosofi dasar kearifan lokal sebagai aspek penuntun moral dalam menata hubungan yang harmonis antara manusia dengan sumberdaya alam yang terdapat di sekitarnya. Mereka sangat menyadari bahwa nilai-nilai tersebut merupakan warisan leluhur yang perlu ditumbuh-kembangkan kembali agar menjadi penuntun moral dan pranata untuk mengatur masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Kesadaran masyarakat dalam melestarikan kearifan lokal, adat istiadat dan hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, juga disebabkan oleh adanya kekhawatiran akan pudarnya atau hilangnya nilai-nilai kearifan lokal.

D. SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa Awal munculnya upacara adat Hadingmulung pada masa kerajaan sampai tahun 1960 dan berhenti. Kemudia diberlakukan kembali pada tahun 2016 sampai sekarang.

Ritual adat Hadingmulung yang merupakan kearifan lokal masyarakat Desa Blangmerang adalah memancang bendera dalam sebuah upacara adat untuk satu kurun waktu tertentu dan akan dibuka untuk di kelola kembali sementara waktu dan ditutup kembali berdasarkan kondisi hasil laut yang telah di sepakati dalam musyawarah adat. Kegiatan yang dilakukan pada saat upacara adat hadingmulung ialah ketua adat dari suku sandiata dan juga beberapa orang yang sudah dipilih oleh beliau mereka pergi menuju lokasi yang biasa dilakukan ritual adat, lebih tepatnya tempat yang terdapat sebuah lubang dan ada batu di dalamnya. Setelah tiba di tempat tersebut, barang-barang yang di bawa yaitu sirih, pinang, tambako, dan telur tersebut di taruh di dekat tempat tersebut kemudian mulai melakukan ritual adat tersebut hingga penancapan bendera yang terdapat gambar buaya di beberapa titik yang dianggap strategis agar bisa dilihat oleh para nelayan dari arah laut. Upacara adat hadingmulung dijalankan untuk mencegah nelayan luar yang sering masuk secara diam-diam untuk mengambil hasil laut dengan metode penagkapan yang merusak laut seperti penggunaan bom dan potasium. Alasan lain diberlakukan kembali hadingmulung adalah untuk menjaga hasil laut agar tetap selalu ada karena bagi sebagian besar masyarakat Desa Blangmerang, hasil laut adalah tumpuan harapan terbesar mereka untuk memenuhi kehidupan sehari- hari mereka dan juga untuk menyekolahkan anak- anak mereka.

E. DAFTAR PUSTAKA

Afiati, N., 1999. Aspek Hayati Teknik Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Pesisir, Bapedalda, Semarang

(8)

Angin, Ignas. Suban (2008). Peran Sektor Kelautan dalam Pembangunan. Jurnal Geografi:

Jurusan pendidikan geografi FKIP UNDANA. Kupang.

Angin, Ignas. Suban (2010). Oseanografi dan Pratikum. Bahan Ajar Mandiri Geografi:

Jurusan pendidikan Geografi FKIP UNDANA. Kupang.

Angin, Ignas. Suban., & Sunimbar (2016). Mitigasi Bencana Gempa Bumi Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Tanaai Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP, 4(1), 101. Diambil dari https://nanopdf.com, diakses tgl 14-8-2018

Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (local genius). Jakarta: Pustaka Jaya.

Badan Pusat Statistik, 2016, Alor Dalam Angka 2016, Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Alor.

Dahuri, R., 1996, Ekosistem Pesisir, Makalah/Materi Kuliah, IPB, Bogor

Effendi, Mahmud (2009). Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu: Solusi Pemanfaatan Ruang, Pemanfaatan Sumberdaya Dan Pemanfaatan Kapasitas Asimilasi Wilayah Pesisir Yang Optimal Dan Berkelanjutan. Jurnal Kelautan, Vol: 2 No: 1. Hal. 82-86.

Diambil dari Journal.trunojoyo.ac.id, diakses tgl 17-7-2019

---., 1999, Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat, LiSPI berkerjasama dengan Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP, Jakarta.

---,. Et. al., 2001, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pn. Pradnya Paramita, Jakarta.

---., 2001, Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia, LIPSI, Jakarta.

---.,2003, Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

---.,2015, Laporan Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI.

Diambil dari https://www.bphn.go.id, diakses tgl 17-7-2019

Ghofar, A., 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Cipayung-Bogor.

Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, 2013, Pentingnya Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Perikanan Budi Daya, www.djpb.kkp.go.id , diakses tgl 18-7-2018 Mikkelsen B., 2003, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan,

(9)

Purwanto, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan,Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Rohana, Sufia. Sumarmi., & Amirudin, Ach (2016). Kearifan Lokal Dalam Melestarikan Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat Adat Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi). Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan Vol: 1 No: 4. Hal. 726-731. Diambil dari journal.um.ac.id, diakses tgl 18-7-2019

Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:

ALFABETA.

Supriharyono, 2000, Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, Pn. Djambatan, Jakarta.

Undang-Undang Negara RI Nomor 32 tentang Perikanan dan Kelautan, Tahun 2004

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Tahun 2007

Wahyono, A., 2001, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Media Pressindo, Yogjakarta.

Yunus, Sabari. Hadi, 2008, Konsep dan Pendekatan Geografi. Memaknai Hakekat Keilmuannya: Makalah Dipresentasikan Dalam Sarasehan Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Geografi Indonesia, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

1. Kepercayaan atau pantangan berupa : a) pelaksanaan upacara adat/selamatan kampung/pesta laut dan selamatan pada saat pertama kali mennggunakan perahu dan mesin

1. Kepercayaan atau pantangan berupa : a) pelaksanaan upacara adat/selamatan kampung/pesta laut dan selamatan pada saat pertama kali mennggunakan perahu dan mesin

NGARAS : SEBUAH KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK TENTANG NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM EKSIKON UPACARA ADAT DI KECAMATAN CILILIN KABUPATEN BANDUNG BARAT.. Universitas Pendidikan

Penelitian Utami, Utami, dan Hapsari, (2017) menunjukkan bahwa kearifan lokal Jawa yang dilakukan di Desa Beringin Jawa Tengah, yaitu nilai-nilai yang diambil dari

Hasil wawancara yang dilakukan kepada kepala desa membuktikan bahwa di desa Cilandak terdapat Tim pengembang kebijakan pengelolaan desa berbasis kearifan lokal. Bukti

Dengan demikian dapat diperoleh simpulan bahwa Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam ialah (1)

Faktor dasar yang memengaruhi terpelihara- nya kearifan lokal dalam mengelola hutan TWA Sicike-Cike terdiri dari adat istiadat dalam bentuk pola hidup gotong-royong didasarkan

Dengan beberapa nilai yang terkandung dalam kearifan lokal di gili Nangu Desa Sekotong Barat ini sesuai degan apa yang dijelaskan bahwasannya nilai merupakan standar penuntun orang