• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN DANA DESA. Rizcha Ega Permata, Aprina Nugrahesty Sulistya Hapsari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN DANA DESA. Rizcha Ega Permata, Aprina Nugrahesty Sulistya Hapsari"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN DANA DESA

Rizcha Ega Permata, Aprina Nugrahesty Sulistya Hapsari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Progam Studi Akuntansi

Universitas Kristen Satya Wacana (Jalan Diponegoro 52-60, Salatiga 50711)

[email protected]

PENDAHULUAN

Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional guna menggerakkan roda perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, maka pemerintah harus memulainya dari tingkatan yang paling rendah yaitu desa. Upaya yang dilakukan pemerintah yaitu dengan mengucurkan dana desa ke desa-desa agar tidak terjadi kesenjangan antara masyarakat di desa dan kota (kominfo.go.id, 2018). Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (Pemerintah Republik Indonesia, 2005) menyatakan bahwa desa telah diberikan kewenangan berdasarkan konsep otonomi desa untuk melaksanakan tugas pemerintahan secara mandiri.

Kewenangan tersebut sejalan dengan UUD Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pemerintah Republik Indonesia, 2014), yang telah memberikan kedudukan penting bagi desa untuk menjalankan peran dan tanggung jawabnya dalam mengelola keuangan desa guna memenuhi program-program yang ada di desa.

Dana desa merupakan alokasi dana yang berasal dari APBN. Ketentuan perolehan, pelasaksanaan dan pengelolaan dana desa diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN (Pemerintah Republik Indonesia, 2014). Hingga saat ini kucuran dana desa masih menjadi pendapatan terbesar bagi desa. Hal tersebut terbukti dari penggelontoran dana desa yang terbilang cukup besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun dengan akumulasi penggelontoran dana desa dari tahun 2015 hingga tahun 2017 mencapai angka Rp122,09 triliun sedangkan hingga tahun 2018 tahap II telah mencapai angka Rp149,31 triliun (kemenkeu.go.id, 2018).

Jumlah penggelontoran dana desa pada tahun 2015 yaitu sebesar Rp20,67 triliun,

(2)

2

di tahun 2016 sebesar Rp46,98 triliun, di tahun 2017 sebesar Rp60 triliun, dan di tahun 2018 sebesar Rp60 triliun.

Penggelontoran dana desa yang besar nyatanya tidak sejalan dengan pengelolaannya yang baik. Faktanya masih banyak ditemukan kasus penyelewengan dana desa di beberapa daerah. Indonesia Coruption Watch (ICW) mencatat kasus korupsi kepala daerah terbanyak terjadi pada tahun 2018. Hingga akhir tahun 2018 setidaknya 23 kepala daerah tertangkap karena tindak korupsi, mulai dari gubernur, bupati/walikota, hingga perangkat daerah (Sahbani, 2018).

ICW mencatat bahwa kerugian negara yang disebabkan oleh korupsi mencapai Rp9,29 triliun. Selain itu telah terkumpul setidaknya ada 1.053 perkara korupsi dengan 1.162 terdakwa yang diputus pada ketiga tingkatan pengadilan yang terjadi selama tahun 2018 (Rachman, 2019).

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah adanya kecurangan yaitu melalui pengawasan dan whistleblowing. Bahkan Pemerintah juga mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dinilai belum cukup karena pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk memitigasi adanya tindak kecurangan.

Masyarakat memiliki peran yang sama pentingnya dalam mencegah terjadinya kebijakan yang tidak sesuai dalam pengelolaan keuangan desa. Salah satu upaya pemberantasan kecurangan dalam masyarakat yaitu melalui penerapan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat. Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Umum PHDI Pusat, menyatakan bahwa untuk bisa memberantas korupsi maka diperlukan kembali kekuatan nilai-nilai kearifan lokal yang kini sudah mulai melemah (Sudarsana, 2017). Busyro Muqoddas, mantan wakil ketua KPK periode 2005- 2010, menyatakan bahwa sulitnya upaya untuk mengakhiri korupsi dikarenakan masyarakat dan juga para pemimpin selalu tidak menghiraukan adanya nilai-nilai kearifan lokal.

Saputra dan Sujana (2019), melakukan penelitian berkaitan dengan penerapan konsep tri hita sebagai kearifan lokal dalam pengelolaan dana desa.

Dalam penelitian ini ingin diketahui bagaimana perspektif tri hita yang

merupakan salah satu bentuk kearifan lokal Bali sebagai upaya pencegahan

(3)

3

kecurangan pada pengelolaan dana desa. Hasil yang didapat yaitu bahwa kearifan lokal dapat memitigasi adanya tindak kecurangan pada pengelolaan dana desa.

Darmada, dkk. (2016), melakukan penelitian untuk melihat akuntabilitas tahapan pengelolaan keuangan yang berbasis pada kearifan lokal Bali yaitu pade gelahang. Penelitian tersebut menyatakan bahwa akuntabilitas dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan tidak terlepas dari kearifan lokal pade gelahang. Nurinten, dkk (2016) menyatakan bahwa penguatan nilai-nilai kearifan lokal yang ditanamkan pada anak usia dini pada kelas PAUD yaitu melalui stategi Dongkrak (Dongeng jeung Kaulinan Barudak) yang merupakan kearifan lokal suku Sunda dengan memfokuskan pada nilai kejujuran, disiplin, kerja keras, tanggung jawab, dan sederhana, menunjukkan hasil yang signifikan sebagai salah satu upaya pencegahan korupsi. Penelitian Utami, Utami, dan Hapsari, (2017) menunjukkan bahwa kearifan lokal Jawa yang dilakukan di Desa Beringin Jawa Tengah, yaitu nilai-nilai yang diambil dari ritual popokan, tradisi nyadran dusun, merti bumi, dan filosofi nilai Jawa “Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara”, dapat menampik hal-hal buruk yang ada pada desa, khusunya korupsi pada pengelolaan dana desa, karena nilai-nilai kearifan lokal tersebut mampu mendorong seseorang untuk bersikap peduli pada desa serta menginginkan kehidupan yang terlepas dari segala macam gangguan dan kecurangan. Penelitian Novitasari (2019), menyatakan bahwa pelaksanaan kearifan lokal yaitu melalui tradisi Banjar khususnya dalam begawe meriraq dapat menjadi upaya masyarakat dalam memitigasi adanya kecurangan yaitu dengan membudayakan nilai-nilai anti korupsi, antara lain jujur disiplin, kerja keras, berani, tanggung jawab, sederhana, adil, mandiri, dan peduli.

Berdasarkan fenomena yang terjadi dan juga penelitan-penelitan terdahulu

yang telah dilakukan. Maka penelitian ini bertujuan untuk melihat peran kearifan

lokal untuk memitigasi resiko kecurangan/korupsi yang mungkin terjadi pada tiap

tahapan pengelolaan dana desa di Desa Lerep, Ungaran Barat, Kabupaten

Semarang, Jawa Tengah. Alasan pemilihan objek penelitian yaitu dikarenakan

Desa Lerep merupakan salah satu desa wisata berbasis budaya di Kabupaten

Semarang dengan kearifan lokal yang masih kental. Hal tersebut terbukti dari

beberapa tradisi yang masih dijunjung dengan baik dan rutin dilaksanakan di Desa

(4)

4

Lerep, khusunya untuk tradisi iriban, kadeso desa/merti bumi, dan sadranan.

Tradisi-tradisi tersebut yang pada akhirnya menjadi bentuk kearifan lokal yang memiliki filosofi dan nilai-nilai yang lekat dengan kehidupan bermasyarakat bagi warga Desa Lerep. Melihat potensi kecurangan yang masih memungkinkan terjadi pada pengelolaan dana desa membuat warga Desa Lerep lebih memilih untuk mengencangkan nilai-nilai budaya lokal yang mereka miliki sebagai penguat di tengah derasnya arus globalisasi untuk memerangi segala hal yang dapat berdampak buruk bagi keberlangsungan desa dan masyarakatnya, seperti kecurangan. Untuk tradisi iriban sendiri dapat dikatakan istimewa bagi Desa Lerep, karena tidak banyak desa yang masih melestarikan tradisi iriban tersebut.

Begitu pula dengan tradisi kadeso desa dan sadranan yang memiliki keunikan dari sisi filosofi. Filosofi yang terkandung dalam ketiga tradisi tersebut mengandung konsep yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Sehingga pengangkatan kearifan lokal akan menjadi menarik ketika dikaitkan dengan pengelolaan dana desa.

Penelitian ini diharapkan dapat melihat peran dari nilai-nilai kearifan lokal yang dapat digunakan sebagai alat untuk memitigasi adanya kemungkinan terjadinya kecurangan dalam pengelolaan dana desa di Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Bagi seluruh masyarakat Desa Lerep, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengelolaan dana desa dengan tidak meninggalkan kearifan lokal sebagai basis dalam pengelolaan dana desa. Bagi pemerintah, penelitian ini membantu memberikan informasi mengenai kearifan lokal dan potensi korupsi terkait pengelolaan dana desa. Bagi akademisi, penelitian dapat dijadikan salah satu kajian terkait pengelolaan dana desa terutama di bidang audit.

TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Dana Desa

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang

Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Pemerintah Republik

Indonesia, 2014), menyatakan bahwa Dana Desa (DD) merupakan dana yang

(5)

5

bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang digunakan untuk membiayai program-program yang ada di daerah setempat untuk pemberdayaan masyarakat. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pemerintah Republik Indonesia, 2014) menyatakan bahwa besaran alokasi anggaran desa ditentukan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah secara bertahap. Dasar hukum pengelolaan keuangan desa yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa (Pemerintah Republik Indonesia, 2014). Pengeloaan dana desa dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban.

Penggelontoran dana desa yang besar di tiap-tiap desa harus dibarengai dengan pengawasan yang ekstra dari pemerintah desa agar dalam pengelolaannya dapat terhindar dari praktik-praktik kecurangan yang selama ini menjadi momok tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat. Kurangnya pengawasan dan lemahnya sistem pengendalian merupakan salah satu celah terjadinya kecurangan dengan permasalahan yang sering timbul yaitu pada pelaporan keuangan desa (Saputra dan Sujana, 2019).

Kecurangan

Kecurangan menurut Association of Certified Fraud Examiners ACFE (2014) yaitu suatu perilaku yang menjurus pada penipuan yang dilakukan oleh seorang atau badan yang dengan sadar mengetahui akibat dari kekeliruan tersebut dapat memberikan dampak negatif. Sementara kecurangan menurut Tuanakotta (2013) yaitu suatu tindakan ilegal yang dilakukan dengan cara suatu individu atau organisasi melakukan pelanggaran dan tipu daya dengan tujuan untuk mendapatkan kekayaan/keuntungan pribadi.

Korupsi merupakan satu dari tiga bentuk kecurangan yang disebut oleh

ACFE. Sampai saat ini Indonesia masih rentan dengan kasus korupsi. Korupsi

memegang peranan sebagai kecurangan yang menyebabkan tingkat kerugian

terbesar di Indonesia (ACFE, 2016). Kemerosotan karakter menjadi salah satu

sebab korupsi sulit untuk diatasi. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan

menanamkan kembali nilai-nilai karakter yang baik yang dapat mencegah

kemungkinan korupsi terjadi. Santoso dan Meyrasyawati (2015) menyatakan

(6)

6

bahwa masyarakat perlu memperoleh pendidikan anti korupsi dengan baik untuk mengetahui sebab-sebab dan hal-hal lain yang terkait dengan korupsi. Hal tersebut dapat dilakukan melalui internalisasi pendidikan anti korupsi lewat sistem pembelajaran di sekolah maupun langsung ke kelompok-kelompok masyarakat.

Penanaman nilai-nilai karakter tersebut bertujuan agar setiap individu memiliki kendali dalam dirinya untuk mencegah melakukan tindak kecurangan atau pun korupsi. Menurut aclc.kpk.go.id (2019), nilai-nilai antikorupsi ada sembilan nilai yaitu jujur, disiplin, tangggung jawab, adil, berani, peduli, kerja keras, sederhana, dan mandiri.

Kearifan Lokal

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pemerintah Republik Indonesia, 2009) bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara lain melindungi dan mengelola hidup secara lestari. Sedangkan (Sibarani, 2012) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang sudah lama ada dan tumbuh berkembang di suatu wilayah dengan nilai-nilai luhur budaya yang digunakan sebagai pegangan hidup masyarakat setempat.

Santoso, Listiyono, dan Meyrasyawati (2015) mengungkapkan bahwa

pencegahan dan pemberatasan korupsi tidak bisa hanya menggunakan pendekatan

hukum melainkan juga dengan pendekatan kearifan lokal. Suja (2017)

mengungkapkan bahwa upaya pemberantasan korupsi harus dimulai dari

kesadaran diri dengan menguatkan karakter, moral, dan mental masyarakat yang

sudah mulai melemah melalui kekuatan agama, budaya, adat, dan tata cara

kehidupan masyarakat daerah. Dana desa dikerahkan untuk melakukan

pembangunan desa karena masih adanya ketimpangan pembangunan antara desa

dan kota. Pembangunan desa diharapkan tidak menabrak kearifan-kearifan lokal

yang ada karena kearifan lokal menjadi penyejuk di tengah-tengah kehidupan

masyarakat akibat adanya dampak modernisasi. Namun, tanpa disadari, seiring

perkembangan jaman, nilai-nilai budaya yang telah lama ada semakin lama terus

terkikis keberadaannya (Rostanti, 2016).

(7)

7 METODA PENELITIAN

Jenis Penelitian dan Teknik Pengolahan Data

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian dilakukan di Desa Lerep, Ungaran Barat, Kabupten Semarang. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data primer yang diperoleh secara langsung melalui wawancara mendalam dengan beberapa narasumber untuk melihat nilai-nilai kearifan lokal sebagai suatu bentuk pencegahan korupsi dana desa. Narasumber dalam penelitian ini adalah aparat desa dan tokoh masyarakat. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan pengelolaan dana desa dan kearifan lokal yang ada di Desa Lerep.

Teknik Analisis Data

Setelah memperoleh data dari proses wawancara dan dokumentasi, selanjutnya data akan dianalisis melalui beberapa tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Pada tahap reduksi data, peneliti akan melakukan pengumpulan data primer melalui wawancara dengan narasumber yaitu perangkat desa Lerep dan beberapa warga desa. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini berkaitan dengan pengelolaan keuangan desa dan kearifan lokal yang ada di Desa Lerep. Setelah itu, peneliti akan melakukan pengelompokkan hasil wawancara dengan cara mencocokkan pertanyaan dan jawaban yang sesuai dan berfokus pada hal-hal yang penting, serta menghilangkan beberapa bagian dari hasil wawacara yang tidak diperlukan.

Selain itu peneliti juga akan mengumpulkan bukti-bukti dan dokumen terkait, seperti bukti transaksi, laporan keuangan dan dokumen pendukung lainnya.

Selanjutnya adalah tahap penyajian data. Pada tahap ini data yang telah diperoleh

akan dianalisis dan dideskripsikan untuk menyusun data yang relevan. Dalam

penelitian ini akan dicari pola dan makna tersembunyi dari data-data yang telah

ditemukan dengan melakukan komparasi antara hasil yang telah direduksi dan

bukti yang ada. Tahap terakhir yaitu penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan

dilakukan dengan melakukan verifikasi secara terus menerus selama proses

penelitian dilakukan agar menghasilkan informasi yang relevan. Selain itu,

dilakukan pula triangulasi data. Triangulasi dilakukan sebagai pengecekan

(8)

8

keabsahan data sehingga dihasilkan data yang valid. Dalam hal ini, peneliti akan melakukan konfirmasi dan pengecekan terkait dengan bukti dan dokumen- dokumen yang diperoleh.

Sumber : Agusta (2003)

Gambar 1

Teknik Analisis Data Kualitatif HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Objek Penelitian

Desa Lerep merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Sejak tahun 2016, Desa Lerep sudah menjadi desa wisata yang berbasis kearifan lokal dan dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Luas wilayah keseluruhan Desa Lerep yaitu 682,32 ha dan terletak pada ketinggian yang berkisar antara 310-940 mdpl. Sebagian wilayah Desa Lerep berada di dekat kota dan sebagian wilayahnya lagi berada di Lereng Gunung Ungaran. Satuan lingkungan setempatnya terdiri 10 RW, 66 RT, dan 8 dusun, antara lain yaitu Indrokilo, Lerep, Soka, Tegalrejo, Lorog, Karangbolo, Kretek dan Mapagan.

Jumlah penduduk Desa Lerep pada tahun 2019 yaitu sebanyak 11.970 jiwa yang terdiri dari 6.022 laki-laki dan 5.948 perempuan. Penduduk Desa Lerep sebagian besar memeluk agama Islam yaitu sebesar 11.186 jiwa, sementara lainnya menganut agama Kristen, Katholik, Budha, Konghuchu, dan Kepercayaan. Tingkat pendidikan penduduk Desa Lerep yaitu mulai dari tidak/belum bersekolah sampai strata III dengan angka tertinggi yaitu tidak/belum sekolah sebanyak 2.640 jiwa. Sementara karyawan swasta merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh penduduk Desa Lerep yaitu sebanyak 3441 jiwa. Berikut tabel data jumlah penduduk Desa Lerep untuk setiap dusun tahun 2019 :

Reduksi Data Penyajian Data Penarikan

Kesimpulan

(9)

9

Tabel 1 Jumlah Penduduk Desa Lerep setiap dusun tahun 2019

Sumber : Data Primer Desa Lerep, 2019

Tahapan Pengelolaan Dana Desa di Desa Lerep

Pengelolaan dana desa di Desa Lerep dilalakunan dari tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, penatausahaan hingga pelaporan dan pertanggungjawaban. Dalam tahap perencanaan akan diawali dengan MusDus (Musyawarah Desa). Kades bersama tim perencanaan desa dan KPMD (Kader Pemberdayaan masyarakat desa) akan melakukan kegiatan Jaring Asmara (Penjaringan Aspirasi Masyarakat) yang dilakukan untuk menampung usulan setiap warga sesuai prioritas setiap dusun. Hasil dari Jaring Asmara akan dijadikan sebagai acuan RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) dan dibawa ke MusDes.

RPJMDes dibuat oleh kades untuk mendukung visi misi kepala desa saat mencalonkan diri yang berlaku selama rentang waktu jabatan kades yaitu enam tahun. Walaupun dalam melakukan perencanaan berdasarkan oleh usulan warga, namun usulan-usulan yang disatukan tetap tidak boleh melenceng dari visi misi kades.

Musdes dilakukan untuk mengkomunikasikan lebih lanjut hasil dari Jaring Asmara untuk mendapatkan hasil dan kesepakatan bersama. Kepala desa memiliki kebijakan sendiri yang dimaksudkan agar tingkat partisipasi warga tinggi yaitu No Dusun

Jumlah RT

Jumlah RW

Jumlah KK

Jumlah Jiwa

Total Laki-

laki

Perempuan

1 Indrokilo 4 1 264 402 414 816

2 Lerep 15 2 773 1.245 1.199 2.444

3 Soka 8 1 603 1.007 949 1.956

4 Tegalrejo 3 1 217 326 371 697

5 Lorog 5 1 302 477 470 947

6 Karangbolo 3 1 233 419 377 796

7 Kretek 9 1 574 977 952 1.929

8 Mapagan 19 2 752 1.169 1.216 2.385

Jumlah 66 10 3.718 6.022 5.948 11.970

(10)

10

dengan tidak memberikan program bagi kadus atau pun ketua rt yang tidak hadir dalam Musdes. Musdes sendiri biasanya akan dihadiri oleh perangakat desa, perwakilan masyarakat (RT/RW), tokoh agama, PKK, karang taruna, LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang telah disampaikan oleh Bapak S selaku kepala desa:

“ Kita menyusun perncanaan di sini secara partisipatif, berarti kita selenggarakan MusDes. Untuk MusDes sendiri InsyaAllah semuanya hadir.

Kalau untuk yang hadir itu ada LKMD, BPD, perangkat desanya sendiri, rt, rw, tokoh agama, PKK, sama karang taruna. ” ( S – Kepala Desa)

Hasil dari MusDes yaitu RKPDes (Rencana Keja Pembangunan desa).

RKPDes merupakan turunan dari RPJMDes. Jadi dalam menyusun RKPDes harus sesuai dengan yang ada di dalam RPJMDes. RKPDes digunakan sebagai pedoman untuk menyusun RAPBDes. Kepala desa akan melakukan sosialisasi terlebih dahulu berkenaan dengan RAPBDes sebelum APBDes ditetapkan.

Tahap berikutnya adalah tahap pelaksanaan. Dalam tahap ini akan dibentuk TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) yang bertugas untuk melaksanakan, mengawasi, dan melaporkan kegiatan. Kegiatan yang dilakukan terkait dengan yang sudah tertuang dalam APBDes. Pelaksana kegiatan di Desa Lerep bukan perangkat desa melainkan langsung dari warga. Kepala dusun otomatis menjadi ketua dengan anggota lain yang akan ditetapkan dengan SK (surat keputusan) dari kepala desa. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Ibu SL selaku sekretaris desa :

“ TPK-nya bukan perangkat desa tapi langsung warga jadi murni panitia dari warga, kita persilakan monggo. Mereka paling pertanggungjawabannya ngasih SPJ ke kita.”( SL – Sekretaris Desa )

Bapak S selaku kepala desa menambahkan :

“ TPK kalau syarat mutlak unsur kewilayahan itu kepala dusun, kemudian

tokoh masyarakat yang mereka percaya. Intinya partisipatif. Mereka biasanya

mengajukan diri dan hasil usulan mereka kan nanti saya SK.” ( S – Kepala Desa)

(11)

11

Begitu pula jika kegiatan dilakukan dalam tingkatan RT maka otomatis ketua RT akan menjadi ketua pelaksana. Dalam melakukan Pengadaan barang langsung dilakukan oleh panitia kegiatan dan akan diawasi oleh PTPKD yang terdiri dari kaur dan kasi serta sekretaris desa sebagai Koordinator. PTPKD bertanggungjawab ke kepala desa selaku PKPKD. Setiap dusun dapat menerima jumlah dana yang berbeda, tergantung dari prioritas masing-masing dusun atau rt.

Pencairan akan dilakukan oleh bendahara desa setelah pengajuan SPP (Surat Permintaan Pembayaran) yang diajukan oleh masing-masing tim pelaksana yang sudah disetujui oleh sekretaris desa. Dana desa yang sudah dicairkan akan langsung diserahkan ke tim pelaksana masing-masing, baik yang di tingkat dusun maupun rt. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibu I selaku kaur keuangan

“ Ya langsung dicairkan mbak. Kan kita tidak boleh ngendem uang nggih.

Uang yang ada di bendahara tidak boleh lebih dari 15 juta 2x24 jam. Jadi harus langsung dibagikan atau diserahkan.” ( I – Kaur Keuangan)

Tahap selanjutnya adalah tahap penatausahaan. Dalam tahap ini akan dilakukan pencatatan keluar masuknya keuangan desa oleh bendahara desa yang sekaligus merangkap sebagai kaur keuangan. Pencatatan ini dibuat ke dalam buku kas umum, buku bank, dan buku pembantu pajak. Setelah itu masuk ke tahap pelaporan dan pertanggungjawaban. Tahap ini adalah tahap kaur keuangan melaporkan seluruh SPJ yang telah terkumpul dari setiap kegiatan yang telah selesai dilakukan oleh tim pelaksana. Setiap tim pelaksana wajib membuat laporan pertanggungjawaban yang akan dibantu dalam penyusunan oleh kaur keuangan dengan melampirkan berita acara serah terima, nota, kwitansi, SIM dan STNK (khusus pembelian bahan material yang tidak dilakukan di toko melainkan dari truk-truk muatan), serta foto 0%-100%. Selain SPJ, setiap tim pelaksana juga memiliki buku kas pembantu masing-masing untuk kegiatan yang telah dicairkan.

Buku pembantu tersebut juga harus diserahkan ke kaur keuangan untuk

dilaporkan ke kecamatan. Sebelum diserahkan ke kecamatan, kasi keuangan akan

menyerahkan ke kepala desa untuk diperiksa oleh BPD. Setelah mendapat

persetujuan BPD baru akan dilaporkan ke kecamatan kemudian diteruskan ke

kabupaten sebagai pertanggungjawaban bahwa kegiatan yang ada di desa sudah

terlaksana. Baru kemudian dapat melanjutkan ke tahap berikutnya. Hal ini sesuai

(12)

12

dengan pernyataan yang disampaikan oleh Ibu I selaku bendahara dan Ibu I selaku kaur keuangan:

“Jadi setelah bener-bener dilaksanakan Nggih. Sudah selesai 100%, baik fisik maupun SPJ-nya, kita serahin ke kepala desa lalu diteruskan ke BPD-nya untuk mendapat persetujuan. Setelah disetujui baru SPJ kita kirim ke kecamatan, setelah ke kecamatan diteruskan lagi ke kabupaten untuk petanggungjawaban kalo dana desa tahap satu bener-bener sudah terlaksana. Baru kemudian masuk untuk pencairan ke tahap duanya” ( I – Kaur Keuangan).

Pengelolaan dana desa di Desa Lerep tentu saja tidak lepas dari adanya pengawasan yang dilakukan oleh KPMD dan BPD. Sehingga jika terjadi kecurangan akan lebih cepat terdeteksi. Selain itu pengelolaan dana desa juga diawasi langsung oleh pusat, inspektorat dan kejaksaan, dengan melakukan sidak dadakan di kantor desa. Penggunaan dana desa yang ada di tingkat dusun dan rt sangat minim dengan tindak kecurangan karena dana yang dikucurkan tidak selalu mencukupi karena terjadi pembengkakan biaya dan mengingat pula banyaknya jumlah dusun dan rt yang ada Desa Lerep. Sehinggawarga mengambil inisiatif dengan menambahkan dana dari kas rt atau pun iuran warga untuk melengkapi kekurangan yang terjadi sehingga pembangunan dapat disempurnakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibu S selaku sekretaris desa:

“ Kalau kecolongan sih nggak mungkin. Karena lebih sering volume itu melebihi dari dana yang diberikan. Malah dengan diserahkan ke rt kalau kurang kan mereka nomboki pakai kas rt. Jadi dapat menyempurnakan istilahnya.

Bapak R selaku ketua RT 1 Dusun Lerep menambahkan :

“ Kalau cuma mengandalkan dana desa aja sih gak cukup Mbak. Malah biasanya kami pakai kas bapak-bapak. Kalau masih kurang ya kita mintai iuran satu-satu dan biasanya mereka nggak ada yang keberatan. Karena ini kan buat mereka juga.”

Peran Kearifan Budaya Lokal dalam Pengelolaan Dana Desa di Desa Lerep

Desa Lerep merupakan desa di wilayah Kabupaten Semarang yang masih

menjunjung nilai-nilai tradisi yang menjadi bentuk kearifan lokal. Tradisi yang

(13)

13

dimasud adalah, pertama, tradisi iriban, merupakan tradisi bersih-bersih sungai atau sumber mata air yang diakhiri dengan makan bersama (nasi iriban) yang dikemas dalam acara selamatan. Makna dari tradisi iriban yaitu ungkapan syukur dan pengharapan kepada Tuhan agar warga desa dapat dijauhkan dari segala hal yang sifatnya buruk. Kedua, tradisi kadeso desa, merupakan sebuah acara pesta desa yang diadakan sebagai perwujudan dari sedekah desa. Kadeoso desa di Desa Lerep dimeriahkan dengan serangkaian pertunjukan budaya lain,seperti kiraban, dan ditutup dengan pagelaran wayang kulit sehari semalam. Makna diadakan kadeso desa adalah ungkapan rasa syukur dan juga sebagai permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dapat dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Ketiga, tradisi sadranan, dilakukan dengan mengunjungi dan membersihkan makam/kuburan kebarat yang dirangkai dalm acara kenduri dan ditutup dengan makan bersama. Dalam tradisi sadranan, setiap warga desa membawa sendiri-sendiri makanan dari rumah lengkap dengan sayur dan lauk pauknya lalu dibawa ke kenduri untuk dimakan bersama-sama. Makna dari tradisi sadranan yaitu ungkapan syukur dan permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tradisi iriban, kadeso desa, sadranan memiliki hubungan yang mengatur

antara manusia dengan Tuhan. Ungkapan permohonan atau pengharapan kepada

Tuhan yang dilakukan oleh warga desa mengartikan bahwa ke depannya desa

ingin selalu dijauhkan dari hal-hal buruk yang dapat menangungi mereka. Dari

sini tertanamlah nilai-nilai karakter yang baik sebagai kendali diri untuk

menghidar dari segala bentuk kecurangan. Nilai karakter yang diturunkan dengan

adanya hubungan ini yaitu, pertama, nilai kejujuran. Nilai jujur terbentuk karena

sikap kehati-hatian manusia kepada Tuhan sehingga seseorang menjadi waspada

dan takut jika perbuatannya akan dilihat oleh Tuhan. Penerapan ini dapat dilihat

pada tahap perencanaan. Partisipasi masyarakat desa dalam memberikan usulan-

usulan disesuaikan dengan kondisi desa yang senyatanya yang dimaksudkan

untuk kemajuan desa. Hal tersebut didukung oleh perangkat desa dengan

memberikan transparansi penerimaan dan pembangunan dana desa disertai syarat

pembangunan yang telah ditetapkan dengan jelas.

(14)

14

Kedua, nilai disiplin. Ketika seseorang telah percaya kepada Tuhan, maka sebisa mungkin akan patuh terhadap norma-norma yang ada, baik norma agama, norma hukum, hingga norma adat yang berlaku di masyarakat. Tujuan yang ingin diraih yaitu kebahagian dan kesejahteraan bersama dengan tidak merugikan yang lain. Sehingga seseorang yang taat pada peraturan akan menghindar dari segala bentuk kecurangan. Penerapan nilai ini dapat dilihat pada tahap pelaporan dan pertanggungjawaban. Kaur keuangan selalu tepat waktu dalam menyelesaikan pelaporan keuangan hanya saja kaur keuangan kadang mengalami kendala dalam pengumpulan SPJ dikarenakan lamanya pengumpulan SPJ dari panitia pelaksana yang ada di tingkat RT. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibu I selaku kaur keuangan :

“ Kalau kendala nggak ada Nggih. Cuma biasanya dari pelaksana kegiatan yang di tingkat rt kalo mengumpulkan SPJ-nya itu kan lama. Ya jadinya harus diwiyak sampai selesai. harus ada tanggal deadline-nya tanggal berapa harus selesai.” ( I – Kaur Keuangan)

Ketiga, nilai sederhana. warga desa Lerep memohon kepada Tuhan agar dijauhkan dari sifat tamak yang merupakan sifat dasar korupsi. Sehingga warga desa selalu mengusahakan keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagian bagi mereka bersama. Keempat, nilai kerja keras. Keinginan positif selalu dihasilkan dengan kerja, bukan menempuh jalan yang instan (Nurinten, dkk. 2016).

Seseorang yang takut pada Tuhan akan menghindari untuk menempuh jalan instan yang tentu tidak dibenarkan secara moral. Nilai kerja keras tercermin pada tahap pelaksanaan. Pembangunan dan pemberdayaan yang ada di masyarakat tidak akan selalai dan berjalan lancar tanpa usaha dan campur tangan dari masyarakat desa.

Pembangunan yang ada tentu selalu didukung dengan gotong royong warga desa.

Selain konsep hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antar manusia juga terjalin dalam tradisi ini sehingga lahirlah nilai toleransi, gotong royong dan guyub rukun. Desa Lerep dikenal dengan warganya yang guyub rukun.

Kebersamaan yang mereka miliki menjadikan mereka lebih mengesampingkan

sikap egois dan individualis masing-masing warga karena adanya rasa saling

(15)

15

memiliki satu sama lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Bapak A selaku ketua RT 5 Dusun Soka :

“ Dari kekompokan kita kan masyarakat jadi punya rasa ingin memiliki.

Dari tradisi seperti iriban menggambarkan kekompokan itu. Jadi semua saling melengkapi. Kita semua bersama-sama. Nggak ada yang egois.” (A-Ketua RT)

Nilai karakter yang diturunkan yaitu nilai peduli. Ketika seseorang memiliki sikap peduli yang tinggi dengan sesamanya maka akan senantiasa menghindar dari kecurangan. Korupsi terjadi ketika seseorang sudah tidak memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Seseorang dengan sikap kepedulian yang tinggi, khususnya kepada masyarakat, tidak akan mengorbankan kepentingan banyak orang hanya untuk kesenangan pribadi. Kepedulian tercermin dari upaya warga desa dan perangkat desa dalam memajukan dan membangun desa

Nilai keadilan. Filosofi lain dari tradisi sadranan yaitu ketika kita mengingat Tuhan maka sebagai manusia tidak sepatutnya kita membeda-bedakan antara manusia satu dengan yang lain apalagi hingga berlaku sombong karena Tuhan tidak pernah berlaku begitu. Seseorang yang suka membeda-bedakan tidak akan bisa untuk berlaku adil. Sikap adil tentu dibutuhkan untuk menjauhi perbuatan korupsi karena korupsi dapat terjadi ketika seseorang memiliki keberpihakan dengan pihak lain. Nilai keadilan terlihat ketika dilakukan Jaring Asmara dan pencairan dana desa yang disesuiakan dengan kebutuhan warga dan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan. Dusun dengan keperluan paling mendesak akan didahulukan dan anggaran untuk dusun yang tidak terlalu mendesak akan dianggarkan sesuai kebutuhan dan kesepakatan. Sehinga penggunaan dana desa akan adil dan merata.

Hubungan manusia dengan lingkungan. Manusia adalah bagian dari

Lingkungan yang sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Sehingga sudah sepatutnya

kita menjaga alam ini dengan sebaik mungkin. Alam yang lestari akan dapat

dimanfaatkan dalam waktu yang lama karena alam yang baik merupakan

perwujudan dari kesejahteraan dan kebahagian dengan harapan membuang hal-

hal yang buruk.

(16)

16

Nilai karakter yang diturunkan yaitu nilai tanggung jawab. Tanggung jawab tercermin dari tanggung jawab dalam menjaga alam dan lingkungan.

Menjaga lingkungan dapat dilihat dari perilaku yang diemban warga desa, seperti tradisi iriban yang memiliki tujuan untuk melestarikan sumber mata air agar mata air tersebut terus lestari sehingga airnya dapat dimanfaatkan terus menerus.

Tanggung jawab muncul dari kesadaran diri manusia. Sikap ini mengacu kepada seseorang yang dapat dipercaya dan mampu menjalankan tugasnnya. Sehingga ketika seseorang sadar akan apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan, maka akan sangat jauh bagi seseorang itu untuk berbuat kecurangan karena sikapnya yang bijak dalam menjalankan amanah. Tanggung jawab dapat dilihat pada tahap pelaksanaan. Tanggung jawab tercermin pada panitia pelaksana yang melakukan tugas mereka dengan baik sesuai dengan harapan warga dan perangkat desa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak S selaku Kepala Desa :

“ Ya delalah ya tertata sendiri. Kalau sini, mohon maaf ya, orang minoritas itu kalau dibutuhke desa kan seneng banget. Sehingga tanggung jawabnya malah lebih besar. Nah dari situ pula biasanya akan ditunjuk juga mana sing sregep. Mana sing tanggung jawab. Kan warga sudah tau sendiri. ( S – Kepala Desa)

Pembahasan

Secara umum tidak ditemukan potensi kecurangan dalam siklus pengelolaan dana desa di Desa Lerep. Diduga tidak ditemukan potensi kecurangan dikarenakan nilai-nilai tradisi yang merupakan bentuk kearifan lokal di Desa Lerep, yang mana nilai-nilai positif tersebut mampu menanamkan karakter baik sebagai kendali diri untuk menghindar dari perbuatan kecurangan. Adapun pun nilai-nilai yang dimaksud merupakan nilai yang dihasilkan dari filosofi dan pelaksanaan tradisi iriban, merti bumi/kadeso desa, dan sadranan. Nilai tersebut merupakan nilai yang dijabarkan dari konsep hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan.

Wandasari (Utami, Utami, dan Hapsari, 2017) mengatakan jika

masyarakat desa mampu memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal yang mereka

miliki dengan sebaik mungkin maka dapat berdampak pula pada kesuksesasan

(17)

17

pembangunan di desa. Sama halnya dengan kearifan lokal yang ada di Desa Lerep nilai-nilainya dapat mendorong perangkat desa dan masyarakat untuk tidak berbuat kecurangan. Pertama konsep hubungan manusia dengan Tuhan, memiliki makna permohonan kepada Tuhan agar desa selalu dijauhkan dari hal yang buruk terutama kecurangan yang merupakan salah satu wujud keburukan dan kesialan.

Konsep hubungan tersebut diperkuat dengan nilai karakter jujur, disiplin, kerja keras, dan sederhana yang ditanamakan agar seorang memiliki kendali diri untuk mengindar dari kecurangan. Sehingga berdasarkan kehati-hatian dan ketakutan kepada Tuhan, nilai karakter tersebut dapat tertanam kuat untuk menampik segala kecurangan, khususnya dalam pengelolaan dana desa. Hal ini sesuai dengan penelitian Saputra dan Sujana (2019) yang mengatakan bahwa segala hal yang berhubungan dengan kecurangan akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, sehingga pengelolaan dana desa yang rentan dengan kecurangan harus dijauhi.

Kedua. konsep hubungan manusia dengan manusia mewujudkan sikap toleransi, gotong royong, dan guyub rukun. Semangat gotong royong warga lahir dari toleransi dan keguyub rukunan warga. Dengan adanya guyub rukun inilah yang pada akhirnya dapat memunculkan rasa kebersamaan yang terjalin erat antar warga Desa Lerep. Ketika setiap warga telah menjiwai semangat gotong royong ini maka kecurangan dan korupsi akan mudah diberantas karena tujuan yang ingin dicapai dari gotong royong ini adalah kesejahteraan, kebahagian, dan keselamatan bersama. Konsep ini diperkuat dengan nilai karakter peduli dan adil. Ketiga.

Konsep hubungan manusia dengan lingkungan. Hal yang ingin diraih dari konsep ini adalah kebahagian dan kesejahteraan karena adanya keseimbangan yang terjadi antara lingkungan beserta isinya, termasuk alam dan manusia. Nilai yang diturunkan dari hubungan ini yaitu nilai tanggung jawab.

Dasar-dasar nilai karakter anti korupsi yang harus ditanamkan yaitu jujur,

disiplin, kerja keras sederhana, dan tanggung jawab (Nurinten, dkk. 2016). Sama

halnya dengan kearifan lokal di Desa Lerep yang telah memuat nilai-nilai karakter

baik yaitu nilai jujur, disiplin, sederhana kerja keras, dan tanggung jawab serta

diiikuti dengan nilai adil, peduli dan semangat gotong royong. Namun disisi lain

warga desa Lerep belum sepenuhnya menjiwai nilai disiplin ini walaupun begitu

tingkat keparahan masih tergolong kecil sehingga tidak berpotensi pada

(18)

18

kecurangan pengelolaan dana desa di Desa Lerep. Menurut Saputra dan Sujana (2019) mengatakan bahwa konsep kearifan lokal tri hita karana dapat mencegah dan melindungi desa dari adanya kecurangan, sehingga nilai-nilai kearifan lokal Jawa di Desa Lerep (iriban, kadeso desa, sadranan) mampu melindungi desa dan menolak kemungkinan kecurangan karena masyarakat desa telah menjiwai nilai- nilai kearifan lokal sehingga mereka memiliki kendali diri untuk menghindar dari perbuatan kecurangan.

SIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pengelolaan dana desa di Desa Lerep sudah dilakukan sesuai Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Selain itu, di tahap perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban secara umum tidak ditemukan adanya kemungkinan terjadi kecurangan diduga adanya nilai-nilai budaya/tradisi yang menjadi kearifan lokal yang kuat yang dijiwai oleh warga Desa Lerep, sesuai dengan visi misi desa dan semangat gotong royong antar warga desa yang juga ikut berperan dalam menjiwai nilai-nilai karakter yang baik sebagai kendali diri untuk menjauhi sikap kecurangan. Namun nilai disiplin belum sepenuhnya diterapkan oleh warga desa Lerep. Begitu pula dengan nilai sederhana dan peduli yang sudah dimiliki oleh Desa Lerep, namun dalam implementasinya belum ditemukan secara jelas dalam tahap pengelolaan dana desa di Desa Lerep.

Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu hasil penelitian yang tidak dapat

digeneralisasikan karena penelitian ini hanya dilakukan di satu objek penelitian

sehingga akan terdapat perbedaan kearifan lokal, nilai-nilai, dan perilaku di lokasi

penelitian yang lain karena setiap daerah memiliki kearifan lokalnya masing-

masing yang menjadikan hasil penelitian ini tidak bisa sepenuhnya

menggambarkan bahwa nilai kearifan sudah pasti dapat mengurangai potensi

kecurangan. Karena tidak semua nilai yang terkandung di dalam kearifan lokal

dapat memitigasi potensi korupsi. Berdasarkan keterbatasan dari penelitian ini,

saran yang dapat diberikan untuk ke depannya adalah agar dapat dilakukan

(19)

19

penelitian di tempat/objek penelitian lain dengan budaya yang berbeda dengan

budaya Jawa.

(20)

20 Daftar Pustaka

ACFE. (2014). Association of Certified Fraud Examiners.

ACFE. (2016). Survai, 1–62.

aclc.kpk.go.id. No Title (2019). Retrieved from https://aclc.kpk.go.id/materi/sikap-antikorupsi/infografis

Agusta, I. (2003). Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Kualitatif. Metode Penelitian Kualitatif, 1–11.

Darmada, D. K., Atmadja, A. T., & Sinarwati, N. K. (2016). Kearifan Lokal Pade Gelahang dalam Mewujudkan Integrasi Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Organisasi Subak. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 7(1), 51–60.

https://doi.org/10.18202/jamal.2016.04.7004

kemenkeu.go.id. No Title (2018). Retrieved from https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/akumulasi-penyaluran-dana- desa-hingga-tahun-2018-tahap-2-mencapai-rp149-31-triliun/

kominfo.go.id. (2018). Dana Desa sebagai Pelumas Roda Pembangunan

Ekonomi Desa. Retrieved from

https://www.kominfo.go.id/content/detail/15154/kurangi-kesenjangan- pemerintah-telah-kucurkan-rp-187-triliun-dana-desa/0/kerja_kita

Novitasari, N. (2019). Upaya Menciptakan Budaya Anti Korupsi melalui Tradisi

Banjar. Jurnal Sosial Politik, 5(1), 1–20.

https://doi.org/10.22219/SOSPOL.V5I1.6827

Nurinten, D., Mulyani, D., Alhamuddin, & Permatasari, A. N. (2016). Kearifan Lokal Sebagai Media Pendidikan Karakter Antikorupsi Pada Anak Usia Dini Melalui Strategi Dongkrak. Anti Corruption Clearing House (ACCH).

Retrieved from https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/kearifan-lokal- sebagai-media-pendidikan-karakter-antikorupsi-pada-anak-usia-dini-melalui- strategi-dongkrak

Pemerintah Republik Indonesia. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

(21)

21

Nomor 72 Tahun 2005, 1–74.

https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2007.03.021

Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (2009).

Pemerintah Republik Indonesia. (2014). PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA.

Pemerintah Republik Indonesia. (2014). Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber Dari APBN, 1–18.

https://doi.org/10.1053/j.jfas.2007.01.005

Pemerintah Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, 1–71.

Rachman, D. A. ICW: Kerugian Negara akibat Korupsi pada 2018 Capai Rp 9,29

Triliun (2019). Retrieved from

https://nasional.kompas.com/read/2019/04/28/15294381/icw-kerugian- negara-akibat-korupsi-pada-2018-capai-rp-929-triliun

Rostanti. (2016). Dana Desa Harus Perhatikan Kearifan Lokal. Retrieved from https://www.republika.co.id/berita/nasional/desa-

membangun/16/05/22/o7jzoq365-dana-desa-harus-perhatikan-kearifan-lokal Sahbani, A. 2018 “Darurat” Korupsi Kepala Daerah (2018). Retrieved from

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c225b3630aa2/2018-darurat- korupsi-kepala-daerah

Santoso, L., & Meyrasyawati, D. (2015). Model Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Review Politik, 5(2), 22–45.

Saputra, K. A. K., & Sujana, E. (2019). Perspektif Budaya Lokal Tri Hita Karana dalam Pencegahan Kecurangan pada, (August 2018).

https://doi.org/10.32554/jap.v1.i1.p28-41

Sibarani, R. (2012). Kearifan lokal : Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan.

(22)

22 Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

Sudarsana, I. W. (2017). Berantas Korupsi Melalui Kearifan Lokal. Retrieved from https://balitribune.co.id/content/berantas-korupsi-melalui-kearifan-lokal Suja, I. W. (2017). 7 Integrasi Kearifan Lokal Ke Dalam Kurikulum Ilmu Alamiah Dasar. Wahana Matematika Dan Sains: Jurnal Matematika, Sains, Dan Pembelajarannya, 11(1), 77–93.

Tuanakotta, T. M. (2013). Berfikir Kritis dalam Auditing. Jakarta: Salemba Empat.

Utami, K. D., Utami, I., & Hapsari, A. N. S. (2017a). Nilai Kearifan Lokal, Moral dan Etika dalam Potensi Whistleblowing Pengelolaan Dana Desa, 1–14.

Utami, K. D., Utami, I., & Hapsari, A. N. S. (2017b). Whistleblowing

Pengelolaan Dana Desa: Studi Atas Nilai Kearifan Lokal.

(23)

23

Gambar

Tabel 1 Jumlah Penduduk Desa Lerep setiap dusun tahun 2019

Referensi

Dokumen terkait

Probiotik didefinisikan sebagai kultur bakteri tunggal atau campuran yang ketika dikonsumsi oleh ternak atau manusia akan memberikan efek yang menguntungkan bagi

Kedua selebiti tersebut adalah Eko patrio dan Primus Yustisio, artinya hanya 11% saja rasio keberhasilan caleg dari kalangan artis yang memenangkan pertarungan

Selain itu, pralakuan koagulasi menurunkan beban penyaringan membran yang karena air yang diumpankan lebih jernih, karena sebagian partikel pengotor (berupa flok) telah

Jadi, kesimpulan dari pengakuan nasab anak menurut Hukum Islam maupun Hukum Positif dalam menetapkan asal-usul anak yang tidak diketahui nasabnya mempunyai

Berdasarkan hasil penelitian diketahui gambaran nyata bahwa variabel prediktor yang diteliti, yakni Kemampuan Manajerial Kepala Sekolah, Budaya Organisasi dan

kemakmuran masyarakat serta kelestarian fungsi lingkungan hidup dengan baik, harus dijalin hubungan sinergis antara Pemerintah Kabupaten Mamuju Utara dengan para pelaku

Awalnya, Workshop akan dibuat untuk mengenalkan dasar-dasar pembuatan videografi pada adik-adik tersebut, lalu sebagai bentuk praktik, mereka juga akan

Grafik rata-rata kepemilikan manajerial yang cenderung meningkat daripada kebijakan hutang karena tingkat kepemilikan saham oleh manajerial telah banyak dimiliki