• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Edible Film Definisi Edible Film

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Edible Film Definisi Edible Film"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

4 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Edible Film

2.1.1 Definisi Edible Film

Edible film adalah lembaran tipis yang memiliki fungsi menjadi pelapis atau

pengemas utama di makanan yang berasal dari bahan ramah lingkungan serta bisa dikonsumsi. Umumnya, edible film berperan menjadi pembawa komponen bahan pangan seperti antioksidan, antimikroba, pengawet, ataupun bahan lain yg bisa memperbaiki organoleptik kuliner yg dikemas. Selain itu, penggunaan edible film berfungsi agar dapat mencegah hilangnya komponen yang terdapat pada dalam makanan akibat proses perpindahan massa serta melindungi bahan pangan yang rusak akibat mikroorganisme sehingga bisa memperpanjang daya simpan makanan (Comelia, 2012). Edible film dirancang dari bahan yang dapat terurai secara alami serta mudah diperbaharui mirip polisakarida, protein, lemak, ataupun komposit. Jenis polisakarida yang biasanya digunakan sebagai bahan dasar pembuatan edible

film yaitu pati yang secara alami ada dalam bahan pangan hewani serta nabati antara

lain, umbi-umbian. Contoh aplikasi dari edible film itu yaitu sebagai bahan pengemas produk segar dan produk olahan. Contoh aplikasi bahan pengemas produk segar adalah pada buah dan sayur serta bahan pengemasan pada produk olahan seperti sosis, permen, fillet ikan, dan dodol (Ginting, 2012).

Prinsip dasar pada pembuatan edible film yaitu pada proses gelatinisasi. Proses gelatinisasi mulai berlangsung saat pati dengan penambahan air dan mengalami proses pemanasan. Granula pati yang mengalami pemanasan akan membesar yang disebabkan karena ikatan hidrogen yang terputus sehingga air terserap kedalam granula pati. Kemudian, molekul amilosa terlepas dan larut dalam air mengakibatkan struktur granula pati menjadi terbuka dan masuknya air serta akan semakin membengkak, hingga akhirnya terjadi pemecahan. Pembengkakan granula pati inilah yang disebut proses gelatinisasi (Imanningsih, 2012). Suhu ketika granula pati pecah tersebut biasanya disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pada edible film umumnya berkisar pada suhu antara 50ºC – 80ºC yang ditandai meningkatnya kekentalan suspensi pati (Lismawati, 2017). Nilai standar mutu edible film dapat dilihat di Tabel 1.

(2)

5 Tabel 1. Standart Mutu Edible Film

Paramter Standar

Ketebalan <0,25mm

Kuat Tarik Min. 0,392 Mpa

Elongasi 10%-50% (Baik)

>50% (Sangat Baik)

WVTR <7 g/m2/24 jam

Sumber : Japan Industrial Standard (1997) 2.1.2 Bahan Penyusun Edible Film

Bahan penyusun Edible film umumnya terdiri dari tiga golongan komponen utama penyusun diantaranya komposit, hidrokoloid, dan lipida. Hidrokoloid dapat berupa polisakarida dan protein Contoh dari polisakarida adalah karagenan, pati, dan sodium alginate dan contoh dari protein adalah protein gandum, protein whey, protein jagung, protein susu, protein kacang kedelai, gelatin, dan kolagen. Kelompok lipida dapat berupa lilin atau wax, gliserol dan asam lemak kemudian untuk komposit sendiri adalah campuran hidrokoloid dan lipida (Ginting, 2012). 1. Hidrokoloid

Menurut Skurtys et al. (2011), Hidrokoloid adalah polimer yang mempunyai sifat suka berikatan dengan air yang berasal dari nabati, hewani, mikroba dan sintetis, yang umumnya mengandung banyak gugus hidroksil dan dapat berupa polimer yang memiliki gugus elektrolit pada satuan berulangnya atau polielektrolit contoh dari polielektrolit adalah alginat,karagenan, karboksimetil selulosa, gum arab, pektin dan getah xanthan. Bahan hidrokoloid yang banyak digunakan dalam pembentukan edible film adalah polisakarida dan protein. Sumber protein yang dapat digunakan untuk bahan baku edible film adalah kedelai, gluten dari gandum, protein susu, gelatin, jagung, kolagen, protein whey, dan kasein. Kemudian, sumber polisakarida yang biasa digunakan sebagai bahan pembuatan edible film adalah pati , selulosa, ekstrak ganggang laut, pektin, kitosan, dan xanthan gum (Listyawati, 2012).

Menurut (Ginting, 2012), menyatakan edible film yang berasal dari golongan hidrokoloid adalah polisakarida yang memiliki kelebihan, diantaranya tahan

(3)

6 terhadap karbondioksida, oksigen, senyawa aromatik, dan lemak, kenampakan yang tidak berminyak, kandungan kalorinya rendah, serta memiliki sifat mekanis yang bagus dan meningkatkan kekompakan struktural produk. Namun selain kelebihan edible film dari hidrokoloid juga memiliki kekurangan yaitu kemampuan penghambat kelembaban yang rendah karena sifat suka berikatan dengan air yang dimiliki polisakarida

2. Lipid

Dalam arti luas, Lipid dapat didefinisikan sebagai molekul kecil yang mempunyai sifat susah bercampur dengan air. Lipid yang umum digunakan dalam pembuatan edible film adalah emulsifier lilin alami, asam lemak, resin dan monogliserida. Contoh dari lilin alami adalah beeswax, carnauba wax, paraffin wax. Contoh dari asil gliserol asam lemak adalah asam laurat dan asam oleat (Ginting, 2012). Menurut Murni et al. (2013) edible film yang terbuat dari senyawa lipida umumnya memiliki sifat permeabilitas uap air yang sangat baik karena senyawa lipida tergolong senyawa yang mempunyai sifat hidrofobik atau susah bercampur dengan air. Selain kelebihan, edible film dari senyawa lipida murni memiliki kelemahan yaitu sangat terbatas dalam pemakaian, karena tidak memiliki konsistensi dan ketahanan yang baik (Irianto et al., 2006).

3. Komposit

Komposit film gabungan yang terdiri dari komponen hidrokoloid dan lipida. Aplikasi dari komposit film dapat dalam lapisan ganda yang di mana dua bahan berbeda disatukan, di mana satu lapisan merupakan lapisan lipida dan satu lapisan lain merupakan lapisan hidrokoloid, atau dapat berupa gabungan hidrokoloid dan lipida dalam satu kesatuan lapisan edible film. Edible film yang hanya terdiri dari satu komponen bahan tidak dapat memberikan hasil yang maksimal dibandingkan dengan yang dibuat dari dua bahan yang dikombinasikan(Garnida, 2006). Edible film dari komposit dapat memperbaiki film dari kedua bahan serta mengurangi kelemahannya dari kedua bahan. Gabungan dari hidrokoloid dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen lipida dan komponen hidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap permeabilitas uap air dan hidrokoloid dapat memberikan daya tahannya terhadap oksigen dan karbon dioksida (Murni dkk, 2013).

(4)

7 2.1.3 Karakteristik Edible Film

Secara umum parameter yang sering digunakan dalam mengukur sifat mekanik

edible film adalah ketebalan, kuat tarik (tensile strength), persen pemanjangan

(elongation), laju transmisi uap air. 1. Ketebalan edible film

Ketebalan edible film merupakan salah satu karakteristik fisik edible film yang nilainya dipengaruhi oleh konsentrasi komponen hidrokoloid dari pembentuk

edible film dan ukuran cetakan plat kaca yang digunakan dalam proses pembuatan edible film. Konsentrasi total padatan dari senyawa hidrokoloid berbanding lurus

dengan nilai ketebalan edible film dimana semakin besar konsentrasi total padatan terlarut maka semakin besar pula ketebalan edible film yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena jumlah komponen polimer penyusun edible film yang dapat menyebabkan peningkatan pada nilai ketebalan edible film. Ketebalan edible film merupakan salah satu parameter penting karena secara langsung dapat mempengaruhi sifat edible film baik itu laju transmisi uap air, persen pemanjangan dan kuat tarik serta berpengaruh pada daya simpan bahan pangan yang dilapisi. Semakin tinggi nilai ketebalan edible film yang dihasilkan maka semakin tinggi kemampuan edible film untuk menghambat laju oksigen dan permeabilitas uap air. Sebagai salah satu bahan pengemas bahan pangan, semakin tinggi nilai ketebalan

edible film, maka kemampuan untuk menghambat akan semakin besar atau semakin

sulit untuk dilewati uap air, sehingga daya simpan produk pangan yang dilapisi akan semakin panjang. Sebaliknya, apabila nilai ketebalan edible film terlalu tinggi akan berpengaruh terhadap kenampakan dan rasa atau tekstur produk yang dilapisi saat dimakan (Afriyah, 2015).

2. Kuat Tarik Edible Film

Kuat tarik merupakan keregangan maksimum yang dapat diterima edible film sebelum putus ketika ditarik dengan alat. Pengukuran kuat tarik edible film digunakan untuk mengetahui besarnya suatu gaya yang digunakan untuk mencapai peregangan maksimum pada setiap sudut edible film untuk mencapai peregangan maksimum (Purwanti, 2010). Kuat tarik yang tinggi pada edible film dijadikan salah satu parameter perlindungan yang baik bagi bahan produk yang dikemasnya dari gangguan kerusakan mekanis dan fisik. Kandungan total padatan terlarut dalam

(5)

8 senyawa hidrokoloid mempengaruhi kekuatan tarik dari edible film (Gela, 2016). Semakin banyak total padatan yang terlarut menjadikan ikatan komponen penyusun

edible film semakin kuat sehingga berpengaruh terhadap gaya yang diberikan untuk

memutus edible film. Namun, dengan penambahan plasticizer dapat menurunkan fleksibilitas dan gaya tarik pada edible film.

3. Persen Pemanjangan Edible Film

Persen perpanjangan edible film atau persen elongasi merupakan kemampuan perpanjangan edible fillm disaat diberikan gaya tarik samapi terputus. Persen perpanjangan dimaksudkan sebagai perbandingan antara perubahan pemanjangan dengan panjang awal dari edible film yang mengalami perbedaan wujud. Nilai perpanjangan yang lebih dari 50% dikategorikan sangat baik namun apabila nilainya kurang dari 10% maka edible film tersebut dikategorikan jelek (Gela, 2016). Semakin besar nilai persen pemanjangan semakin baik edible film yang dihasilkan karena lebih fleksibel dan tidak mudah sobek. Seperti halnya pengaruhnya pada sifat kuat tarik edible film, dengan adanya penambahan plasticizer di dalam komponen penyusun edible film akan menyebabkan ikatan antar polimer menjadi berkurang dan membuat edible film menjadi lebih elastis (Purwanti, 2010).

4. Laju Transmisi Uap Air Edible Film

Salah satu sifat penting bahan pengemas produk pangan adalah kemampuannya untuk menghambat permeabilitas uap air antara produk pangan dan lingkungan sekitarnya. Permeabilitas uap air adalah kemampuan edible film untuk menyerap uap air yang ada pada lingkungan dapat menembus bahan pangan. Laju transmisi uap air (Water Vapor Transmission Rate/WVTR) adalah jumlah molekul uap air yang melalui suatu permukaan edible film persatuan luas atau jumlah uap air dibagi luas area. Kemampuan penghambat kelembaban edible film dapat digunakan untuk menentukan daya simpan produk pangan, jika kemampuan penghambat kelembaban dapat ditahan maka daya simpan produk akan semakin lama. Oleh karena itu, laju transmisi uap air produk pangan harus dibuat serendah mungkin (Afifah, 2018).

Perpindahan uap air biasanya terjadi pada bagian edible film yang susah berinteraksi dengan air. Keseimbangan antara komponen yang suka berikatan

(6)

9 dengan air dan susah berikatan dengan air dalam sistem matrik film sangat berpengaruh pada percampuran suspensi film dan karakteristik edible film yang dihasilkan. Rasio bagian yang suka berikatan dengan air dan susah berikatan dengan air komponen edible film akan mempengaruhi nilai laju transmisi uap air edible film. Semakin edible film mempunyai sifat hidrofobik, maka nilai laju transmisi uap air edible film tersebut akan semakin menurun. Sebaliknya semakin edible film mempunyai sifat hidrofilik, maka nilai laju transmisi uap air film tersebut akan semakin naik. Hal ini diakibatkan Bagian yang susah berikatan dengan air cenderung berikatan dengan senyawa nonpolar dan bagian yang mempunyai sifat suka dengan air berikatan dengan senyawa polar (Santoso et al., 2012).

2.2 Edible Coating

Pengertian dari Edible Coating adalah bahan pengemas yang berperan sebagai bahan berlapis tipis yang diaplikasikan pada produk pangan. Edible coating termasuk bahan pengemas biodegradable yang termasuk teknologi terbaru yang diperkenalkan dalam pengolahan pangan yang berfungsi sebagai untuk memperoleh produk dengan masa simpan lebih lama(Kenawi, 2011). Edible

coating biasanya bersumber pada material biologis semacam lipida , polisakarida

dan protein. Polisakarida adalah bahan yang sering digunakan sebagai edible

coating antara lain kitosan, alginat, pektin, gum, pati dan turunannya, serta selulosa

dan turunannya. Edible coating yang memakai bahan dasar polisakarida memiliki keahlian dalam berperan selaku membran permeabel yang selektif terhadap pertukaran gas karbon dioksida dan oksigen. Kemampuan tersebut bisa memperpanjang usia simpan sebab respirasi buah serta sayuran menjadi menurun (Anandito, 2012).

Edible coating memberikan lapisan semi-permeabel terhadap gas oksigen dan

karbon dioksida, uap air, dan pergerakan larutan. Edibel Coating yang berperan sebagai barrier, edible coating dapat memperlambat transfer gas, uap air, dan senyawa volatil, lalu memodifikasi komposisi lingkungan sehingga menurunkan respirasi, pembusukan, menurunkan kehilangan aroma, mempertahankan uap air, serta menunda pergantian warna selama penyimpanan. Kelebihan lain dari pemakaian edible coating adalah sifatnya yang natural dan non tidak beracun serta

(7)

10 dapat dimakan (edible) bersama produk yang dilapisi sehingga tidak meninggalkan limbah seperti pengemas plastik (Mulyadi, 2016). Metode pencelupan (dipping) adalah metode yang paling sering digunakan paling utama pada sayur-mayur, buah-buahan, ikan dan daging, dimana produk dicelupkan ke dalam larutan edible

coating yang digunakan sebagai bahan pelapis produk pangan. Perihal ini

disebabkan karena metode pencelupan (dipping) memiliki kelebihan seperti ketebalan edible coating yang lebih tebal serta mempermudah pembuatan dan pengaturan kekentalan larutan sedangkan kekurangannya merupakan timbulnya residu kotoran dari larutan edible coating (Arief, 2012).

2.3 Pati Ubi Jalar Ungu

Ubi jalar ungu fresh mempunyai komposisi karbohidrat yang besar (18-35%) sehingga bisa dijadikan sebagai sumber energi. Karbohidrat yang ada didalam ubi jalar sebagian besar berbentuk pati dan tergolong Low Glycemic Index, yang temasuk tipe karbohidrat yang tidak menaikkan secara pesat kandungan gula dalam darah jika disantap (Tsaalitsati, 2016). Pati ialah polimer glukosa yang tersusun dari 2 jenis, yakni amilosa dan amilopektin. Kandungan amilosa dalam pati ubi jalar ungu bisa dikategorikan cukup besar, yaitu berkisar diantara 8,50-37,40%. Kandungan lain dalam pati ubi jalar ungu adalah serat pangan, lemak, protein, dan pigmen. Ubi jalar ungu memiliki sebagian tipe glukosa semacam sukrosa, maltosa, fruktosa, dan glukosa dengan kandungan total glukosa berkisar antara 0,38% sampai 5,64% dalam wet basis (Widayanti, 2017).

Gambar 1. Ubi Jalar Ungu Sumber : Montilla, 2011

(8)

11 Bahan pangan yang memiliki komposisi amilosa yang banyak dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan edible film. Komposisi amilosa yang tinggi pada pati akan membuat edible film yang kokoh dan elastis sehingga kemampuan kuat tariknya lebih besar daripada edible film dengan kandungan utama amilopektin (Warkoyo, 2014). Amilosa berfungsi dalam pembuatan matriks film sehingga komposisi amilosa yang besar akan menghasilkan edible film lebih kokoh. Tidak hanya itu, amilosa juga mempunyai peran yang lebih baik dalam pembentukan gel dibanding amilopektin (Lismawati, 2017). Usia panen dan cara pengolahan akan berpengaruh terhadap tinggi dan rendahnya amilosa dalam pati ubi jalar ungu. Komposisi amilosa akan mempengaruhi terhadap suhu gelatinisasi, daya pembengkakan, dan tingkatan retrogradasi. Biasanya, bila komposisi amilosa dalam bahan pangan besar maka suhu gelatinisasi pati pula dapat meningkat, daya pembengkakan menurun, dan pati cepat melalui proses retrogradasi. Amilosa berperan dalam menentukan sifat edible film yang dihasilkan, walaupun hasilnya juga disebabkan oleh korelasi antara amilopektin dan plasticizer (Hozeimah, 2018). 2.3.1 Cara Pembuatan Pati Ubi Jalar Ungu

Ubi jalar ungu adalah sumber karbohidrat yang bisa digunakan selaku sumber bahan pangan, pakan ternak, serta bahan baku industri. Ubi jalar ungu merupakan tumbuhan menjalar yang sangat banyak jenisnya. Ubi jalar ungu dalam bentuk yang fresh dan cepat rusak akibat kerusakan mekanik, fisiologis, serta mikrobiologis yang berkaitan dengan kandungan air yang tinggi dan tidak mudah rusak jika disimpan dalam kurun waktu yang lama. Ubi jalar ungu yang mempunyai sifat cepat rusak ini dapat dimanfaatkan menjadi bermacam-macam produk olahan pangan. Salah satu pengolahan ubi jalar ungu adalah pengolahan menjadi pati. Pati diperoleh dari proses ekstraksi karbohidrat yaitu menurunkan ukuran partikel melewati proses pemarutan (grinding) dan dilanjutkan proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut dan umumnya menggunakan air untuk mengeluarkan kadar pati melalui pengendapan atau sedimentasi, kemudian dikeringkan pada suhu dan lama waktu tertentu hingga mendapatkan pati yang bisa dipakai (Martunis, 2012).

Pati ubi jalar dihasilkan dari umbi ubi jalar ungu menggunakan teknik pengolahan basah. Proses pembuatan pati ubi jalar ungu di Indonesia masih belum berkembang, seperti halnya pati yang berasal dari ubi kayu atau tapioka yang

(9)

12 berkembang secara drastis. Pemilihan jenis ubi jalar ungu sangatlah penting dan harus disesuaikan dengan tujuan penggunaanya, karena setiap varietas ubi jalar ungu memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pemilihan jenis ubi jalar ungu yang dipakai untuk suatu jenis produk tertentu memiliki karakteristik tertentu, contohnya untuk pembuatan tepung ubi jalar ungu hendaknya memakai jenis yang memiliki rendemen tepung yang lebih besar dari 25% menggunakan bentuk umbi yang apik. Ubi jalar ungu sebelum dilakukan proses pengolahan menjadi pati agar dapat memperpanjang umur simpan ubi jalar ungu maka dilakukan proses pengeringan terlebih dahulu. Secara umum, pengeringan pati dapat dilakukan dengan dua metode yakni pengeringan dengan sinar surya dan alat pengering atau menggunakan cabinet dryer serta oven. Pengeringan pati dengan cara penjemuran di sinar matahari masih dipakai oleh industri pengolahan pembuatan tepung tapioka. Kelebihan dari pengeringan pati dengan menggunakan sinar surya adalah lebih murah dan simpel. Pengeringan ini juga memiliki kekurangan, yakni prosesnya membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga pati yang dihasilkan mudah mengalami pembusukan. Kekurangan lainnya yaitu, hasil pengeringan tidak menyeluruh serta adanya pencemaran dari bahan bahan yang tidak baik selama proses pengeringan. Salah satu cara lain pengeringan pati adalah dengan menggunakan alat pengeringan seperti oven dan cabinet dryer. Proses pengeringan menggunakan oven memiliki kelebihan yakni waktu dan suhu pemanasan yang dipergunakan dapat ditentukan (Alim, 2004). Waktu dan suhu pengeringan yang dipergunakan tidak dapat diatur dengan sempurna untuk bahan pangan yang berbeda-beda, namun hal tersebut bergantung pada tipe bahan yang akan dikeringkan, diantaranya untuk tipe bahan pangan yang mempunyai bentuk bubuk dapat menggunakan suhu 40–60 °C selama 6–8 jam. Pada proses pengeringan pati dengan bantuan alat pengering seperti oven dan cabinet dryer maka proses tersebut dapat berlangsung lebih cepat yakni kurang lebih 6 jam (Irhami, 2019)

2.4 Ekstrak Jahe Merah

2.4.1 Karakteristik Ekstrak Jahe Merah

Salah satu bahan pangan lokal yang kaya akan kandungan antioksidan adalah jahe merah. Jahe merah (Zingiber officinale) adalah salah satu dari banyaknya jenis tanaman obat-obatan dan dapat berfungsi juga sebagai rempah, yang telah lama

(10)

13 digandrungi oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Jahe merah mengandung banyak senyawa antioksidan alami yang cukup banyak dan sangat efektif dalam menghambat radikal bebas. Kemudian jahe merah memiliki aktivitas antioksidan yang sangat tinggi. Kandungan minyak atsiri jahe merah lebih banyak dibandingkan berbagai jenis jahe lainnya. Kandungan dan kelarutan minyak atsiri menentukan kandungan antioksidan dan total fenol yang terkandung dalam jahe merah (kusumadewi,2020). Komponen utama jahe merah antara lain minyak volatil dan minyak non-volatil. Kandungan minyak volatil akan menghasilkan aroma yang khas, sedangkan kandungan minyak non volatil adalah oleoresin yang memberikan rasa pahit dan pedas pada jahe (Saptiwi, 2018). Jahe merah mengandung 6-shogaol,

6-gingerol, 8-gingerol, dan 10-gingerol yang kandungannya lebih tinggi

dibandingkan dengan jahe gajah sehingga banyak dikonsumsi masyarakat sebagai bahan obat (Fathona,2011). Jahe merah juga memiliki kandungan minyak atsiri 2,58% -3,90%, sehingga cocok sebagai bahan obat-obatan (Setyawan,2015)

Gambar 2. Jahe Merah (Rahmadani et al., 2018)

Rasa pedas dari Jahe merah segar berasal dari golongan senyawa gingerol, yakni senyawa turunan fenol (Ibrahim, 2015). Kandungan senyawa gingerol tertinggi yakni 6-gingerol. Rasa pedas dari jahe merah berasal dari senyawa aktif yakni shogaol, yang termasuk hasil dehidrasi dari gingerol (Sugiarti, 2017). Komponen yang penting dari jahe segar adalah senyawa fenolik homolog yang disebut sebagai gingerol. Gingerol sangat tidak stabil pada kondisi yang mempunyai suhu tinggi dan akan diubah menjadi shogaol pada suhu panas. Shogaol memiliki rasa yang lebih pedas dibandingkan gingerol. Gingerol yang merupakan

(11)

14 komponen penting dalam jahe merah, dapat berubah menjadi shogaol jika dikenai suhu tinggi. Bau dan aroma khas jahe merah berasal dari campuran senyawa zingeron, shogaol serta minyak atsiri jumlah berkisar dari 1-3% dalam berat jahe merah segar. Rasa pedas dari jahe disebabkan karena adanya turunan senyawa non-volatil yakni fenilpropanoid seperti gingerol dan shogaol. Zingeron memiliki kepedasan dan rasa manis yang lebih rendah (Hernani, 2011). Data kandungan fisikokimia rimpang jahe merah dapat dilihat di Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Fitokimia Rimpang Jahe

Kandungan Jahe Merah Jahe Gajah

6-gingerol 18,05 mg/g 9,56 mg/g

8-gingerol 4,09 mg/g 1,49 mg/g

10-gingerol 4,61 mg/g 2,96 mg/g

6-shogaol 1,39 mg/g 0,92 mg/g

Sumber: Fathona (2011)

2.4.2 Cara Pembuatan Ekstrak Jahe Merah

Ekstraksi adalah suatu metode yang digunakan untuk mendapatkan senyawa di dalam suatu tanaman, melarutkannya dan membiarkannya terpisah dari zat yang tidak dapat larut dari pelarut cair. Maserasi adalah proses perendaman sampel dalam pelarut organik dengan pengadukan beberapa kali pada suhu ruang. Proses ini memiliki keuntungan karena perbedaan tekanan antara diluar sel dan didalam sel akan menghancurkan dinding sel dan membran sel dengan cara perendaman sel tumbuhan sehingga metabolit sekunder yang ada di sitoplasma akan terlarut dengan pelarut organik yang sesuai. Proses ekstraksi akan berjalan dengan sempurna karena dapat disesuaikan waktu proses maserasi yang akan dilakukan. Pemilihan pelarut dalam proses maserasi akan sangat efektif dengan memperhatikan kelarutan senyawa alami dalam pelarut organik tersebut. Secara umum, etanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses pemisahan senyawa organik bahan alami karena dapat melarutkan senyawa jenis metabolit sekunder (Rahmadani et al., 2018). Metode maserasi jahe merah akan menghasilkan senyawa

oleorisin seperti zingeron, gingerol, fenol, shogaol, minyak atsiri dan resin. Pada

penelitian Fathona (2018), mengatakan bahwa ekstraksi jahe merah dengan etanol mengandung senyawa 6-gingerol, 8-gingerol, 10-gingerol, dan 6-shogaol

(12)

15 2.5 Buah Nanas

2.5.1 Karakteristik Buah Nanas

Nanas berasal dari Amerika Selatan dan termasuk varietas Ananas comosus L. yang pertama kali ditemukan oleh orang Eropa. Pada abad ke-16, penjajahan yang berasal dari Spanyol dan Portugis memperkenalkan tumbuhan nanas (Ananas

comosus L.) ke benua Asia. Beberapa negara di Pasifik Selatan dan Afrika

membudidayakan tanaman nanas (Ananas comosus L.) hingga saat ini (Lawal, 2013). Nanas (Ananas comosus) termasuk kategori tanaman tahunan. Struktur buah nanas adalah akar, batang, daun, bunga dan buah. Akar nanas dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu akar tanah dan akar samping. Akar menempel pada pangkal batang dapat disebut dengan akar serabut. kedalaman akar media tanah yang bagus memiliki ukuran antara 30-50 cm. Batang merupakan bagian dari struktur buah nanas melekatnya akar, daun, bunga, kuncup dan buah. Batang tumbuhan nanas memiliki ukuran cukup Panjang sekitar 20-25 cm, tebalnya mencapai 2,0-3,5 cm, serta memiliki ruas-ruas yang pendek. Daun nanas mempunyai panjang sekitar 130-150 cm, lebar kurang lebih 3-5 cm, memiliki ujung yang runcing dan terdapat beberapa bagian tidak berduri dan tidak memiliki tulang daun. Jumlah daun pada batang sangat beragam berkisar antara 70-80 cabang. Nanas mempunyai rangkaian bunga yang kompleks di ujung batangnya. Bunga bersifat biseksual yang tumbuh diketiak daun pelindung. Waktu berbunga dari bagian akar hingga bagian ujung berlangsung kurang lebih 10-20 hari. Waktu dari menabur hingga berbunga adalah sekitar 6-16 bulan (Suprianto, 2016).

(13)

16 Buah nanas (Ananas comosus) memiliki kadar air dan serat yang besar antara lain, , selulosa sekitar 38-48 %, hemiselulosa sebesar 67 %, lignin sebesar 17 %, alfa selulosa sebesar 31 %, dan pentose sebesar 26 %. Daun buah nanas (Ananas

comosus) mengandung zat pektin, kalsium oksalat, dan enzim bromelain

(Yulianingsih,2018). Nanas mempunyai komposisi nutrisi yakni rendah kalori, jadi anda tidak perlu khawatir akan konsumsi buah nanas saat sedang berdiet. Buah nanas mengandung karbohidrat termasuk fruktosa yang dapat meningkatkan kekurangan kadar gula dalam darah. Buah nanas mempunyai kadar air dan serat yang besar, yang berperan sebagai pembersih permukaan mulut dan memiliki efek pencernaan (Sarwendah,2020). Tabel berikut ini merupakan kandungan buah nanas dalam 100 gram menurut Suprianto (2016) sebagai berikut :

Tabel 3. Kandungan Gizi buah nanas dalam 100 gr bahan

Kandungan Gizi Nilai

Kalori 54 kal Protein 0,40 gram Lemak 0,20 gram Karbohidrat 16 gram Fosfor 11 mg Zat besi 0,30 mg Vitamin C 24 mg Vitamin A 130 S.I Vitamin B1 0,08 mg Air 85,30 gram

Persen berat dapat dimakan 53%

Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1998) dalam Suprianti (2016) 2.5.2 Penyebab Kerusakan Buah Nanas Potong

Buah nanas yang rusak dapat disebabkan oleh faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor abiotik dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal, lalu faktor biotik disebabkan oleh serangan serangga dan mikrobiologi. Faktor internal adalah proses metabolisme seperti respirasi dan aktivitas enzimatik, kemudian faktor

(14)

17 ekstrinsik meliputi kerusakan mekanis, cahaya, suhu,dan kelembapan. Buah nanas dapat rusak sebelum, sesudah, dan selama proses pengolahan dan penyimpanan. Upaya yang telah dilakukan untuk menghindari kerusakan buah nanas potong adalah dengan cara penyimpanan menggunakan suhu rendah, pengeringan beku (freeze drying) dan pembekuan. Cara ini masih diyakini belum dapat meningkatkan kualitas buah nanas potong sebab pemakaian suhu rendah saat penyimpanan buah nanas potong akan menyebabkan kerusakan dingin (chilling injury) dan mempengaruhi perubahan warna buah nanas potong menjadi warna kecoklatan. Maka dari itu, diperlukan cara lain untuk mempertahankan kualitas buah nanas potong yang baik (Harnanik,2011)

Laju respirasi menunjukkan laju perubahan kandungan produk pangan dan secara umum laju respirasi juga tanda dari kualitas umur simpan buah nanas (Martinez-Ferrer, 2002). Laju respirasi buah dirangsang oleh suhu tinggi, yang dapat menyebabkan perubahan komposisi senyawa dalam bahan lebih cepat rusak (Lozano, 2006). Berdasarkan Gonzales- Aquilar, (2004), proses pernapasan oleh tanaman dapat meningkat ketika buah terluka atau dipotong. Proses pemotongan meningkatkan aktivitas metabolisme dan memecah enzim dan substrat, menghasilkan pencoklatan, pelunakan, dan perubahan rasa.

Menurut Marrero dan Kader (2006) melaporkan bahwa akhir dari usia simpan buah nanas potong di indikasikan dengan naik secara drastisnya dalam laju respirasi dan produksi etilen. Buah nanas yang rusak di indikasikan dengan perbedaan warna, penurunan aroma, tercium bau tidak sedap, turunnya kadar vitamin C, pelunakan dan menurunnya tekstur (Torri, 2010). Perubahan warna yang mengindikasikan nanas yang rusak ialah browing atau kecoklatan. Warna coklat dapat disebabkan oleh reaksi enzimatik dan non-enzimatik. pencoklatan dari dalam terjadi selama penyimpanan, terutama bila disimpan pada suhu rendah untuk rentang waktu yang lama. Kerusakan ini sering diindikasikan dengan kerusakan dingin ( chilling injury). Nanas hijau rentan terhadap kerusakan dingin bila disimpan pada suhu di bawah 10° C, dan nanas jenis Smooth Cayenne pada suhu di bawah 7° C. Buah nanas yang rusak akibat kerusakan dingin dapat diidentifikasi dengan ciri-ciri seperti warna kulit berubah dari kuning ke coklat, bagian atas buah kering, layu, layu, dan jaringan bagian dalam tampak berair (Thomson2003).

(15)

18 Menurut Rocculi, (2009) bahwa aktivitas enzim polifenol oksidase membentuk pigmen melanin. Pigmen melanin tersebut mengubah warna buah nanas potong menjadi coklat dan mengurangi warna kuning setelah penyimpanan pada suhu 4oC selama 6 hari.

2.6 Penelitian Terkait

2.6.1 Penelitian Aplikasi Pati Ubi Jalar Ungu

Berdasarkan penelitian Hozeimah (2018) yaitu aplikasi edible coating pati ubi jalar ungu dengan penambahan minyak atsiri temulawak pada buah stroberi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 2 faktor yaitu konsentrasi pati ubi jalar ungu dan minyak atsiri temulawak. Konsentrasi pati ubi jalar ungu menggunakan 2 taraf yaitu 2,5% dan 5 %. Minyak atsiri temulawak menggunakan 4 taraf yaitu 0%, 1,5%, 2,5%, 3,5%. Parameter pengamatan meliputi susut bobot, intensitas warna, organoleptik dan persentase keparahan penyakit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan konsentrasi pati 5% dan minyak atsiri temulawak 4,5% yang memiliki nilai susut bobot 11,36%, intensitas warna (L=39,5; a+=10,03; b+=6,45), zona hambat 13,80 mm, organoleptik kecerahan 4,44 (cerah), organoleptik kesegaran 3,11 (cukup segar) dan organoleptik aroma 2,33 (tidak kuat) dan edible film dapat mempertahankan mutu buah stroberi selama 3 hari.

Berdasarkan penelitian (Basuki, 2014) yaitu edible film dari pati ubi jalar ungu dengan penambahan gliserol. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 2 faktor yaitu konsentrasi pati ubi jalar ungu dan konsentrasi gliserol. Konsentrasi pati ubi jalar ungu ini menggunakan 3 taraf yaitu 1%, 2% dan 3% dan konsentrasi gliserol menggunakan 3 taraf yaitu 5%, 10% dan 15%. Parameter pengamatan meliputi ketebalan edible film, persen pemanjangan, kuat tarik dan laju transmisi uap air. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Perlakuan terbaik pada konsentrasi pati ubi jalar 3% b/v dan gliserol 15% b/b dengan ketebalan 0,041 mm, persen perpanjangan (elongasi) 56,59%, kekuatan peregangan (tensile strength) 26,594 Mpa, kadar air 11,974%, laju transmisi uap air 0,147 g.mm/m2.jam, dan rendemen 55,567%

(16)

19 2.6.2 Penelitian Aplikasi Ekstrak Jahe Merah

Berdasarkan penelitian Nurfadhilah, (2019) yaitu edible film dari pati jagung dengan penambahan bubuk jahe merah sebagai penambah fungsi antioksidan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 2 faktor yakni konsentrasi pati jagung dan konsentrasi bubuk jahe merah. Konsentrasi pati jagung ini menggunakan 3 taraf yaitu 2%, 3% dan 4% dan konsentrasi bubuk jahe merah menggunakan 3 taraf yaitu 0,5%, 1,0 % dan 1,5%. Parameter pengamatan meliputi ketebalan edible film, persen pemanjangan, kuat Tarik, laju transmisi uap air, transparansi, kelarutan dalam air dan aktivitas antioksidan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan terbaik pada konsentrasi pati jagung 3% dan bubuk jahe 0,5% dengan menghasilkan ketebalan 0,188 mm; transparansi 3,55 A546/mm; kuat tarik 20,698 MPa; elongasi 22,86 %; kelarutan dalam air 62,97 %; WVTR 4,82 g/m2/24 jam; dan aktivitas antioksidan 81,1 %.

Berdasarkan penelitian Sulistyowati, (2019) yaitu edible coating dari pati ganyong dengan penambahan ekstrak jahe merah terhadap masa simpan buah tomat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 2 faktor yaitu konsentrasi pati ganyong dan konsentrasi ekstrak jahe merah. Konsentrasi pati ganyong ini menggunakan 2 taraf yaitu 3% dan 6% dan konsentrasi ekstrak jahe merah menggunakan 3 taraf yaitu 0,5%, 0,75% dan 1%. Parameter pengamatan meliputi susut bobot dan tingkat kekerasan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pelapisan edible film dari pati ganyong dan lidah buaya dengan penambahan ekstrak jahe yang diaplikasikan pada buah tomat menunjukkan bahwa berpengaruh nyata. Penambahan ekstrak jahe untuk edible film berperan dalam menjaga kualitas dan masa simpan buah tomat jika ditinjau berdasarkan 63% kerusakan tekstur dan 50% penyusutan bobot

Gambar

Gambar 1. Ubi Jalar Ungu  Sumber : Montilla, 2011
Gambar 2. Jahe Merah (Rahmadani et al., 2018)
Tabel 2.  Kandungan Fitokimia Rimpang Jahe
Gambar 3. Buah Nanas (Winasti, 2011)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Masalah jaringan yang sering dialami pada Badan Sar Nasional adalah seringnya Downtime (Lambatnya Waktu Akses) pada jaringan komputer, pada Badan Sar Nasional

nasabah beranggapan ini biasa saja sama seperti pada koperasi umunya yaitu ada bunganya tanpa ada bagi hasil, maka BMT El Kedawung akan meningkatkan kualitas pelayanan yang

Penelitian Noviana Dini Rahmawati (2011) yang melakukan penelitian dalam bentuk skripsi eksperimen dengan judul Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

Laju fotosintesis, laju transpirasi, dan konduktivitas stomata berlangsung secara optimal pada kondisi tanah dengan adanya peningkatan bahan organik dalam tanah sebagai

Dengan demikian pada level tiga tersebut akan diperoleh sejumlah angka indeks konsistensi yang banyaknya sama dengan unsur-unsur dalam level dua. Langkah selanjutnya adalah

Untuk menganalisa tingginya indeks produktivitas produk non teh karena output produk non teh pada periode 1 meningkat daripada periode 0 dan input yang dikeluarkan

Clelland, dan teori ERG (existence relatedness and growth) dari Alderfer. 1) Teori motivasi Klasik dan Taylor. Teori motivasi Frederick Winslow Taylor dinamakan teori motivasi

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Fisioterapi pada Program Studi Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan